Anda di halaman 1dari 2

BAB I

LATAR BELAKANG

PT. PLN (Persero) merupakan suatu badan usaha milik negara (BUMN) dibidang kelistrikan yang
melayani masyarakat diseluruh nusantara, bertekad untuk memberikan pelayanan jasa
ketenagalistrikan yang terbaik dan memenuhi standar ketenagalistrikan yang dapat diterima di dunia
internasional. PLN memiliki visi “Menjadi Perusahaan Listrik Terkemuka se-Asia Tenggara dan #1
Pilihan Pelanggan untuk Solusi Energi.” Energi listrik merupakan kebutuhan yang sangat vital dalam
menunjang aktivitas masyarakat sehari-hari. Oleh karena itu PLN menjadi sorotan utama dalam
memberikan pelayanan publik terkait dengan pemenuhan kebutuhan listrik kepada masyarakat.

Diantara bentuk pelayanan PLN yang sangat buruk dirasakan oleh pelanggan adalah gangguan
“Periksa” dan pulsa boros pada kWh Meter Prabayar. Jumlah pelanggan prabayar mengalami
pertumbuhan setiap bulannya. Komposisi pelanggan prabayar PLN ULP Lakawan pada bulan
November 2023 mencapai 57.2% dari total pelanggan 90,735. Jumlah pengaduan karena Meter
Prabayar (MPB) mengalami gangguan “Periksa” cenderung mengalami peningkatan dari rata-rata 31
pengaduan/bulan di tahun 2016 menjadi rata-rata 140 pengaduan/bulan di tahun 2017. Drastisnya
kenaikan jumlah pengaduan MPB “Periksa” terjadi sejak diberlakukannya ketentuan pada surat
Direktur Utama PLN No 331/110/DIRUT/2012 pada desain MPB baru yang disuplai ke PLN.
Ketentuan tersebut mengatur bahwa fitur arus bocor harus mengacu pada threshold arus bocor 300mA
yang berlangsung kontinyu lebih dari 60 detik. Umumnya gangguan MPB “Periksa” terjadi karena
MPB mendeteksi adanya kebocoran arus listrik. Kebocoran ini terjadi karena adanya kawat netral
yang diketanahkan di IML (Instalasi Milik Langganan) pelanggan baik diketanahkan langsung atau
karena isolasi kabel instalasi pelanggan yang rusak (tidak langsung). Gangguan MPB “Periksa”
menyebabkan pelanggan tidak bisa memasukkan pulsa isi ulang, biasanya pelanggan menyampaikan
pengaduan ketika pulsa listrik yang tersisa masih 5-10 kWh. Dengan pulsa tersebut, pelanggan hanya
bertahan sekitar 5 menit sebelum listrik pelanggan padam. Pelanggan baru bisa menikmati listrik
kembali setelah dilakukan pemulihan gangguan oleh petugas Pelayanan Teknik. Selama proses
pemulihan, terdapat potensi tidak terjualnya energi listrik yang besarnya tergantung dari lamanya
petugas Pelayanan Teknik memulihkan gangguan. Kondisi gangguan MPB “Periksa” terus mengikis
penjualan. Dampak lain yang muncul akibat pentanahan di instalasi pelanggan baik pentanahan
langsung maupun tidak langsung adalah pelanggan akan mengalami pulsa boros karena arus yang
diukur oleh MPB lebih besar daripada beban yang dipakai. Tambahan arus yang dibaca oleh MPB
diperoleh dari arus beban MPB lain yang dibuang ke tanah melalui netral MPB yang bersangkutan.
Permasalahan MPB “Periksa” maupun pulsa boros akan terus terjadi dan kejadiannya dapat berulang
kali pada pelanggan yang sama selama IML pelanggan tidak diperbaiki. Kondisi ini semakin parah
mengingat jumlah pelanggan MPB akan terus tumbuh. Dengan kondisi ini maka dampak yang
dirasakan oleh PLN adalah menurunnya citra Pelayanan dan terkikisnya potensi penjualan maupun
pendapatan. Dan akan menjadi permasalahan tersendiri dengan semakin meningkatnya pertumbuhan
pelanggan maka akan terus meningkat pula potensi gangguan MPB “periksa”. Ini berarti biaya
operasional untuk pembiayaan pemborongan pekerjaan Pelayanan Teknik (YANTEK) menjadi tidak
efektif karena waktu petugas YANTEK akan dihabiskan untuk menyelesaikan masalah gangguan
MPB “periksa”. Sekalipun demikian MPB menjadi solusi untuk mempercepat cash flow dan
mengeliminir terjadinya PRR (Piutang Ragu – ragu) baik karena pelanggan berhenti berlangganan
ataupun karena menunggak bongkar rampung. Untuk itu maka pada kesempatan ini, kami akan
mengkaji solusi terbaik untuk mencegah terjadinya gangguan “periksa” pada MPB maupun pulsa
boros berdasarkan penyebabnya. Dengan demikian maka penjualan tenaga listrik bisa dioptimalkan
dan perbaikan citra pelayanan bisa diwujudkan.

Anda mungkin juga menyukai