Anda di halaman 1dari 13

Singgasana Penuh Luka

Pemain

1. Sean (Anak bungsu; Adik)


2. Juliana (Ibu)
3. Adam (Ayah)
4. Sharon (Anak sulung; Kakak)
5. Detektif
6. Sosok 1,2,...
Di sebuah malam di meja makan, Adam tengah berbincang kecil dengan
istrinya, Juli. Adam masih lengkap dengan jas kantor dan tas kerjanya. Muram jelas
tercetak di wajah Juli yang enggan menatap suaminya.

1. Juli : Pulangmu larut terus ya?


2. Adam : Temanku sedang senang, mereka memberi traktiran hari ini.
Hari lalu kepala divisiku juga menyuruh kita untuk makan
malam bersama sepulang kerja.
3. Juli : Berkhayal lagi ya? Kamu bukan bos ataupun tipe rekan kerja
yang disenangi banyak orang, tidak mungkin seseorang
sepertimu diajak makan setiap hari.
Menjengkelkan, terus sajalah bermimpi menjadi direktur atau
apalah itu.
4. Adam : Permisi? (sarkas) Bukankah kau yang terlalu memaksaku untuk
menjadi direktur, hm? Lagipula dengan gajiku sebagai seorang
pekerja tetap sudah bisa mencukupi kebutuhan kita, bahkan
lebih. Jika tidak bisa menghasilkan uang lebih baik diam saja.
Kau bahkan gagal menjadi model yang mewakili daerahmu. Ini
hanya tingkat daerah, dan kau tereliminasi di babak pertama.
Dan apakah perlu kuingatkan, jika kau yang hobi bermimpi?
Siapa yang suka menghabiskan uang suaminya untuk merias
diri, membeli barang-barang mewah? Kau bukan seorang model
lagi, Juli. Kau gagal, jangan merasa percaya diri!
5. Juli : Kau masih beruntung ada yang mau menikahi pria penipu
sepertimu. Menempuh pendidikan tinggi hanya untuk menjadi
sebuah anjing yang tunduk kepada majikannya. Ekspektasiku
hancur, asal kau tahu. Kukira kau akan menjadi seorang bos,
ataupun menteri. Tapi jadi apa kau sekarang? Kau sama
gagalnya denganku.
6. Adam : (tertawa) Apa? Perlu berapa banyak kaca lagi yang kuberikan
untukmu sampai kau mampu melihat dirimu sendiri? Maksudku,
lihatlah dirimu. Memperkenalkan dirimu sebagai seorang model
yang suatu saat akan mewakili negaranya. Sekarang, coba
lihatlah, wajah keriputmu yang kau rawat dengan jutaan rupiah
itu. Sia-sia, kau sama sekali tidak terlihat seperti model.
Memang benar kalau kita berjodoh, Juli. Kita sama-sama
mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin.

Juli yang pikirannya tengah kacau itu menghentakkan tangannya ke meja,


Adam sedikit terlonjak kaget, namun ia malah tertawa.
7. Adam : Oh, marah ya? (berdiri) Sebaiknya aku pergi, huu iblis
menyeramkan sekali.
8. Juli : Hei, pengecut! Aku belum selesai bicara!

Adam out, sementara Juli duduk dengan gumaman kesal. Terdapat


keheningan sebentar sebelum Juli tiba-tiba membanting sebuah garpu ke lantai keras-
keras. Ia lantas memijat kepalanya cepat. Sebelum tiba-tiba anak bungsunya, Sean,
datang untuk makan malam.

9. Sean : Ehm, Ibu...


10. Juli : Hah! Lagi-lagi kau, bocah. Duduk dan cepatlah makan! (pergi
mengambil obat)
11. Sean : Iya, Bu.

Sean segera menyendokkan nasi goreng masakan Ibu ke piringnya, tapi ia


terkejut dengan udang yang menjadi makanan pelengkap menu itu. Sean alergi
terhadap udang, dan ia ingin memberitahu Juli, karena besok adalah waktunya ujian
masuk universitas. Jika kondisi badannya tidak fit, hasil yang ia berikan tidak akan
maksimal.

12. Sean : Bu....


13. Juli : (duduk dan hanya mengangkat alisnya sebagai jawaban)
14. Sean : Apakah ini udang? Aku alergi dengan—
15. Juli : (memotong) Ada apa dengan udang? Cepatlah makan dan pergi
belajar.
16. Sean : Tapi Bu, aku...
17. Juli : Cepat makan, bocah! Waktumu untuk mengoceh ini bisa
dimanfaatkan untuk belajar! Kau selalu menghabiskan waktu
hanya untuk menjadi lelet, tidak bisa melakukan apa-apa. Apa
kau mau menjadi seperti Ayahmu? (meminum obatnya)
18. Sean : Tidak, Bu. Maaf.
19. Juli : Besok adalah hari pertama ujian masuk universitas, persiapkan
dengan baik. Jangan membuatku malu dengan hasilmu. Selesai
ujian jangan kelayapan seperti Ayahmu. Pulanglah dan belajar!
20. Sean : (mengangguk) Iya, Bu.

Mereka menghabiskan waktu di meja makan dengan hening, Sean sibuk


mengunyah udang yang harus tetap ia makan, sedangkan Juli tengah sibuk dengan
ponselnya. Sean merasa mual dan tidak kuat untuk menghabiskan makannya.

21. Juli : Hasil try out anak Bu Nada kemarin mengalahkan peringkatmu.
Apa yang kau lakukan di tempat bimbel, ha? Bermalas-malasan?
22. Sean : (hanya menggeleng karena sibuk menelan makanannya)
23. Juli : Kalau menjawab itu yang benar! (menjewer telinga Sean)
24. Sean : T-tidak, Bu. Aku memperhatikan guru baik-baik. (merintih)
25. Juli : Lalu kenapa peringkatmu turun?! Kalau begini saja turun
bagaimana dengan ujian besok? Kau pikir dengan nilai begitu
kau akan diterima di universitas favorit?
26. Sean : Bu, l-lepaskan. Sakit... (meraih tangan ibunya)
27. Juli : Apanya yang sakit? Ini karena kau terus bermalas-malasan,
28. Sean : Tapi aku tidak pernah bermalas-malasan.
29. Juli : Darimananya? Makan segini saja leletnya minta ampun.
(mencengkram rambut Sean dan menghentakkannya ke kursi
makan)
30. Sean : Uhuk, uhuk!
31. Juli : Aku tak mau tahu bagaimana caramu, intinya aku ingin
mendengar kabar kau diterima di universitas pilihan pertamamu,
ingat itu.

Juli pergi meninggalkan Sean dengan meremat kepalanya. Sean masih


terbatuk-batuk karena alerginya terhadap udang dan benturan di kepalanya tadi. Di
saat yang bersamaan, kakaknya Sharon baru saja pulang dari rumah temannya.

32. Sharon : Sean! Sean! Ya ampun kamu kenapa? (melirik piringnya) Ck,
udang...? (bergegas mengambilkan obat di kotak obat)
33. Sean : Kakak... bagaimana ini. Besok aku ujian...
34. Sharon : (menyodorkan obat) Masa bodoh dengan ujian, minumlah ini
dulu, Kakak beresin makananmu.

Sean segera meminum tablet antialerginya tergesa-gesa. Sharon pergi


membereskan piring Sean dan meja makannya, lantas ia mengeluarkan sebungkus roti
dari kresek belanjaannya.

35. Sharon : (menarik kursi makan untuk duduk lebih dekat) Maaf Sean, aku
cuma punya ini. Besok pagi kamu bisa bawa kartuku buat beli
sarapan dan pergi ke dokter. Selama kurang lebih dua hari, pakai
ini juga buat beli makan. Pasti Ibu sudah beli banyak udang buat
dimasak sampai entah berapa hari. (merogoh saku dan
mengeluarkan kartu)
36. Sean : Kakak... peduli denganku?
37. Sharon : Apa? Tentu dong. Aku ‘kan kakakmu, bodoh. (memeluk leher
adiknya dan mengelus kepalanya)
38. Sean : Tapi bukankah kau tidak ingin berhubungan lagi dengan Ayah,
Ibu dan aku.
39. Sharon : Ha, omong kosong. Aku memang lepas dari Ayah dan Ibu, tapi
kalau kamu nggak. Aku malah ingin membawamu ke asramaku
besok. Tapi bisa-bisa kau malah dimarahi lebih parah.
(tersenyum)
Kenapa... kenapa kamu nggak melawan, Sean? Kamu nggak
capek begini terus? Sakit terus?
40. Sean : Kakak pikir aku bisa melawan Ayah dan Ibu?
41. Sharon : Harus, kamu nggak bisa diam aja, setidaknya melawanlah
besok. Aku tidak bisa menemanimu seharian penuh, besok siang
aku harus kembali ke asrama.
42. Sean : Tapi, Kak, aku bisa langsung dibunuh jika aku melawan. Aku
hanya ingin hidup. (memberikan kartu Sharon)
Aku terima rotinya, Kak, tapi tidak dengan ini. Aku sudah besar
dan punya tabungan, tidak usah mengkhawatirkanku.
43. Sharon : (menghela nafas) Ya sudah, tapi di hari terakhir setelah kau
ujian, kita harus ketemu ya. Aku traktir makan enak! Masa’
sehabis ujian tidak ada pesta? (berdiri dan mengelus kepala
adiknya)
Segera tidur, aku akan menjagamu dari Ibu. Kau pantas
beristirahat. (mengecup kepala Sean)
Kakak tunggu kau di kamar ya!
44. Sean : Ya, Kak. (memeluk roti itu dan tersenyum lebar)

Lighting meredup. Sean out.

Setting berganti ke seminggu setelahnya. Adam tengah bersantai di meja


makan sambil membersihkan cincin akiknya. Pipa rokok tampak bertengger di
mulutnya, lalu di letakkan di meja. Ia berulang kali melihat pintu masuk, menunggu
anaknya.

45. Sean : Aku pulang, Ayah.


46. Adam : Baru pulang? Kenapa? Seharusnya ujian tidak memakan waktu
selarut ini.
47. Sean : T-tadi aku pergi ke perpustakaan dahulu...
48. Adam : (meletakkan batu akiknya) Sejak kapan Ayah mengajarkanmu
untuk menjadi pembohong? Tadi Ayah lihat kau di kafe distrik
sebelah bersama kakakmu.
Untuk apa kau masih berhubungan dengan Sharon? Sean tahu
‘kan jika Ayah sangat membencinya? Ia hanyalah bocah nakal,
tidak pernah membanggakan orang tua, dan selalu seenaknya
sendiri. Kau bisa tertular nantinya, Sean.
Seminggu lalu, dengan berat hati aku ijinkan dia menginap
disini, dengan syarat tidak berinteraksi denganmu. Tapi apa?
Paginya dia malah tidur di kamarmu.
49. Sean : Kakak hanya mentraktirku, Yah. Bukannya Ayah juga selalu
ditraktir oleh teman kerja Ayah? Bahkan lebih larut pulangnya.
50. Adam : (menarik lengan Sean) Sean, lihat, Ayah masih berusaha baik
kepadamu, jadi putuskanlah hubunganmu dengan Sharon, dan
buang jauh-jauh ingatanmu tentangnya. Yang ada nanti
kerjaanmu membantah terus.
51. Sean : K-kenapa... (meneguk salivanya gugup) Kenapa Ayah sampai
seperti ini? Kita bertemu untuk membicarakan tentang ujianku
seminggu ini, bukan sesuatu yang bisa membahayakan nyawa
Ayah dan Ibu.
52. Adam : Sharon? Ujian? Ha, anak bodoh itu tahu apa soal ujian! Kuliah
saja tidak pernah, bagaimana ia tahu soal pendidikan tinggi.
53. Sean : Ayah, aku hanya berbincang ringan dengan Kakak, kita juga
jarang bertemu.
54. Adam : Oh, sekarang kau bisa membantah, ha? (mencengkram lengan
Sean) Inilah mengapa Ayah melarangmu untuk bertemu dengan
Sharon!
55. Sean : Ayah, apakah aku terkesan seperti membantah? Kenapa Ayah
seperti ini? Aku sudah menghabiskan waktuku untuk menuruti
Ayah dan Ibu. Belajar, belajar, belajar! Setiap hari! Aku bahkan
tidak punya waktu bermain sejak aku kecil.
56. Adam : Anak nakal! (memukul kepala Sean dengan pipa rokok) Si
Sharon itu sudah mencuci otakmu! Kau terus membantah
sepertinya!
57. Sean : Ayah! Hentikan! (mundur) Bagaimanapun Kak Sharon adalah
anak Ayah, dan Kakak itu tidak nakal, Ayah! (berlari
meninggalkan Adam)
58. Adam : Oi, sini kamu! Ayah tidak mengajarkanmu untuk bertingkah
tidak sopan! Dimana tata kramamu, Sean!

Adam out, mengejar Sean.

Setting berganti ke sebulan berikutnya, makan malam di meja makan,


beberapa jam setelah pengumuman masuk universitas. Sean, Adam, dan Juli tengah
makan bersama. Di tengah-tengah kegiatan itu, Adam menyeletuk.
59. Adam : Sean, bagaimana hasil ujianmu? Oh iya by the way, selamat
ulang tahun, Ayah akan adakan pesta untukmu. (mengangkat
alis ke arah Sean)
60. Juli : (kesal) Adam, habiskan makananmu dulu baru berbicara, bisa?
61. Adam : Hoo... bukankah kau yang lebih terobsesi dengan nilai Sean
daripada aku? Sekarang malah mengutamakan table manner.
62. Juli : (mengepalkan tangannya yang menggenggam garpu) Ck,
menjengkelkan.
63. Adam : (mengangkat alis ke Sean) Jadi, bagaimana, Sean?
64. Sean : A-aku...
Aku diterima di... pilihan k-kedua.

Selanjutnya yang bisa didengar adalah kepalan Juli yang memukul meja.
Sementara Adam menyudahi makannya dengan mendorong piringnya halus dan
mengeluarkan pipa rokoknya, tidak tertarik untuk menyimak.

65. Juli : Ada apa denganmu? Untuk apa aku mengeluarkan banyak uang
jika kau tidak diterima di pilihan pertama?
66. Sean : Maafkan aku, Bu.
67. Juli : Maaf maaf, kau pikir dengan maaf itu bisa dengan ajaib
membuatmu masuk di pilihan pertama?!
68. Sean : Tidak, Bu. Maafkan aku.
69. Juli : Semua bimbel sudah aku ikutkan, makan sudah aku cukupi tiga
kali sehari, fasilitas buku persiapan ujian dan lainnya sudah aku
belikan, tapi ini yang kau berikan kepadaku? Malu... aku malu
memiliki anak yang gagal sepertimu.
70. Sean : Jadi Ibu marah karena malu? Aku tidak gagal, pilihan keduaku
itu saja juga termasuk ke universitas favorit tingkat nasional.
71. Juli : Belajar membantah darimana kau, bocah?!
72. Adam : Anak sulungmu, Sharon.
73. Juli : Sumpal saja mulutmu dengan rokok, Adam. Dia sudah tidak
kuanggap sebagai anggota keluarga ini, ia adalah anak yang
gagal. (menghadap Sean) Aku tidak ingin kau menjadi gagal
seperti dia dan Ayahmu, aku berbuat begini karenamu.
74. Sean : Tapi aku tidak bahagia, Bu. Aku tidak suka belajar terus-
menerus.
75. Juli : (mengangguk-angguk) Aku sungguh kecewa denganmu.
Kemana dirimu yang penurut? Kau menjadi tidak berguna, dan
bodoh. Aku menyesal sudah melahirkanmu.
76. Sean : Memang seharusnya begitu, lebih baik tidak melahirkanku dan
Kakak jika akhirnya kita akan terus disiksa oleh orang tua
sendiri.
77. Juli : (berdiri menghampiri Sean) Sini kau, sepertinya perlu diberi
pelajaran.

Sean diseret oleh Juli seraya berteriak, memohon untuk dilepaskan. Juli
berulang kali, mencubit dan memukul Sean agar anak itu tidak melawan. Sean juga
berulang kali memanggil ayahnya, tapi Adam hanya melihat datar.

Begitu Juli kembali ia meminum gelasnya dengan penuh amarah.

78. Adam : Kau kunci di gudang itu? Mengerikan...


79. Juli : Hm...
80. Adam : Sayang sekali, padahal aku ingin minum dengannya malam ini,
karena sekarang Sean sudah masuk usia legal, hahaha.
81. Juli : Bodoh sekali, tidak heran anakmu juga sama. Setiap aku
melihatnya, aku ingin segera memukulnya, karena kalian sangat
mirip.
82. Adam : Ck, norak. Biarkanlah dia sedikit menikmati dunia luar.
83. Juli : Segera habiskan makananmu, Adam!
84. Adam : Cerewet.

Paginya, Adam yang akan berangkat ke kantor berencana untuk mengeluarkan


Sean dari gudang dan memintanya untuk sarapan bersama. Tapi gudang itu tidak ingin
terbuka, nampaknya dikunci dari dalam.

85. Adam : Pagi, pagii! Sarapan? (membuka tudung saji) Nol. Oke, beli
saja. Nampaknya nenek tua itu belum bangun. Huu, gitu-gitu
mengatai aku pemalas.
(menghampiri gudang dan mengetoknya)
Sean, ini Ayah. Sudah bangun belum?
(membuka pintu gudang dengan kunci, tapi tetap tidak bisa
terbuka) Oi, Nak. Jangan dikunci dari dalam dong. Ayo sarapan
bersama Ayah di luar.
86. Sean : Kenapa Ayah diam saja? Padahal aku sedang dipukuli oleh Ibu...
87. Adam : Apa? Tidak terdengar?
(tidak ada jawaban dari balik gudang)
S e a n, ayo keluar, sarapan.
88. Juli : Berisik, bodoh.
89. Adam : Woi, ini lho, anakmu mengunci dirinya di dalam gudang.
90. Juli : Biarkan.
91. Adam : Dia bisa pingsan. Makan malam kemarin saja dia belum habis.
92. Juli : Gila kau, Adam. Mencemaskan anakmu? Anak gagal itu? Sejak
kapan, ha?
93. Adam : Kau yang gila! Anakmu sendiri lho itu?
94. Juli : Lalu bagaimana dengan Sharon? Dia juga anakmu.
95. Adam : (memalingkan muka) Ck, keparat.
96. Juli : (mengetok pintu) Buka pintunya, lalu segeralah keluar.
Jangan diam saja! Jawab!
97. Sean : Ayah, Ibu. Minta maaflah kepadaku, berterima kasihlah padaku,
tolong. Aku selama ini selalu melakukan yang aku bisa, aku
selalu melakukan yang terbaik, tapi itu selalu kurang di mata
kalian, terutama Ibu. Sedetikpun, kau tidak pernah bersyukur
atas apa yang telah kucapai.
98. Juli : Anak gagal sepertimu tidak bisa mendapatkan terima kasih
dariku. Teruslah disitu sampai kau mati kelaparan! (berbalik)

Ketika Juli berbalik, pintu gudang mengeluarkan bunyi dibuka.

99. Adam : Lho, Sean. Kamu—

Sean melompat keluar membawa sebuah bongkahan kayu. Lighting off


bebarengan dengan suara teriakan Juli dan Adam.

Sharon datang diam-diam untuk berkunjung ke rumah dalam rangka ulang


tahun adiknya. Ia sudah membawa satu kantung jajanan manis untuknya. Namun
begitu masuk, ia tidak dapat menemukan adiknya, ayahnya, maupun ibunya.

100. Sharon : Sean, halo. Kok nggak ada orang ya? Padahal pintunya kebuka
lebar.
(melihat di meja makan) Tas kerja Ayah disini, tapi mana
orangnya? Ups, jangan dipegang, Sharon. Jangan dipegang.
(membuka tudung saji) Ibu belum masak sarapan, mungkin
masih tidur. (menaruh kantung jajan di meja makan)

Alarm ponselnya berbunyi.

101. Sharon : Gawat, telat kerja ‘kan. Ini gara-gara motor mogok, haish.
Kutinggalkan catatan saja disini. (merogoh kertas di saku dan
menuliskan pesan di kantung jajan itu)
102. Sharon : Semoga kamu baik-baik aja, Sean. Nanti sore aku mampir sini
lagi kok.
Sharon out, Sean yang bersembunyi di gudang sejak tadi pun akhirnya keluar
dan duduk di kursi makan. mengambil pesan yang dituliskan tadi. Sean mulai
menangis. Menyilangkan tangannya dan menenggelamkan wajahnya.

103. Sean : Kak, maafkan Sean. Mungkin benar kalau Sean itu anak yang
gagal. Kakak pasti membenci Sean sekarang.

Panggung ditata sedemikian rupa, mengubah setting meja makan rumahan


menjadi ruang interogasi. Sean tertunduk dengan satu orang detektif di kepolisian.

104. Detektif : Sean, apa kamu baik-baik saja?


105. Sean : (mengangguk) Baik-baik saja.
106. Detektif : (bersandar ke kursi) Kamu bisa berbohong jika kamu tidak
membunuh mereka, tapi kamu tidak bisa berbohong jika kamu
tidak baik-baik saja.
Kamu menyayangi mereka ya? Orang tuamu.
107. Sean : ...Tidak ada anak yang tidak menyayangi orang tuanya.
108. Detektif : Aku tahu kalau kamu adalah anak yang baik, semua tindakan
pasti memiliki motif.
Jadi, kenapa kamu melakukannya?
109. Sean : Kecewa... saya kecewa.
110. Detektif : Mereka memperlakukanmu dengan buruk?
111. Sean : (menunduk) Ibu... Ibu tidak pernah bersyukur telah memilikiku,
tidak pernah bersyukur atas pencapaianku. Ayah tidak pernah
benar-benar mempedulikanku, ia hanya main-main. Mulutnya
juga selalu digunakan untuk bertengkar dengan Ibu.
Ibu tidak pernah menampakkan senyumnya kepadaku, tidak
pernah berkata maaf dan terima kasih, yang bahkan sudah aku
tunggu di saat sebelum aku memukulnya, di saat-saat
terakhirnya.
Ia selalu menyakiti aku dan kakakku, tapi dia lebih menyakitiku
karena aku lebih pendiam dan penurut daripada Kakak. Jadilah
aku, satu-satunya harapan untuk mimpi-mimpi mereka, dan
akhirnya membunuhku perlahan.
Setiap selesai bertengkar dengan Ayah soal bagaimana gagalnya
mereka berdua, Ibu selalu melampiaskannya kepadaku,
mengatakan jika ia membenciku karena wajahku mirip dengan
Ayah.
Ayah... aku merasakan ada hal yang sedikit rumit dengan Ayah.
Mulutnya itu selalu mengatakan bualan-bualan dan suka ikut
campur, namun itu membuatku merasa sedikit diperhatikan
olehnya. Tapi, ia tidak pernah menolongku jika aku dipukuli
oleh Ibu, bahkan sampai aku dikurung di gudang ia tampak
biasa saja. Ia hanya berkata peduli di mulutnya, tidak pernah
benar-benar peduli dengan anaknya. Bahkan ia benar-benar
membenci kakakku karena ia tidak suka anak yang membantah.
112. Detektif : Pasti itu sangat berat untukmu.
113. Sean : Sejak dulu, Ibu tidak pernah benar-benar mengenalku. Saat Ibu
memasak nasi goreng udang, ia malah berkata kenapa dengan
udang, dan menyuruhku untuk cepat menyelesaikan makanku
dan pergi belajar. Ibu tidak tahu jika aku alergi terhadap udang,
dan hasilnya di hari pertama ujian aku sangat tidak bisa fokus
karena gatal-gatal yang hebat. Untung saja hari itu ada kakakku.
Tapi dengan kondisi seperti itu dan berhasil diterima di pilihan
kedua universitas, Ibu tidak pernah mengucapkan terima kasih.
Ia malah mengurungku di dalam gudang, padahal aku sangat
takut dengan gelap.
114. Detektif : Kenapa kamu tidak melawan?
115. Sean : (tertawa getir) Aku tidak bisa melawan, apakah aku terlihat
seperti orang yang bisa melawan?
116. Detektif : Pasti sangat sakit ya.
117. Sean : (berkaca-kaca) Andai saja, saat itu mereka mengetuk pintu
gudang dan berkata maaf sekali saja, aku akan memaafkan
mereka. Dan mungkin mereka akan berubah, menerimaku... atau
mungkin kakakku kembali ke keluarga. Dan merasakan untuk
pertama kalinya rasa hangatnya makan bersama di meja makan,
seperti menghidupkan ulang kehidupan kita.
Tapi nyatanya aku hanya hidup untuk menunggu mereka
mengucapkan kata maaf kepadaku. Terkadang aku bertanya-
tanya, apakah mereka menyesal telah menyakiti aku dan
kakakku sampai anaknya melakukan hal tecela begini?
118. Detektif : Pasti mereka menyesal telah menyakiti hati murni anak-
anaknya. Mereka hanya belum sadar akan kebaikan hati kalian.
Dan aku rasa kamu juga menyesal telah membunuh mereka.
119. Sean : A-aku sangat menyayangi mereka... aku hanya ingin mereka
memperlakukan aku sebagaimana orang tua lain memperlakukan
anaknya. Tapi sekarang aku sudah tidak peduli. (menangis) Aku
tidak peduli.
120. Detektif : Kamu tidak bisa menipu hatimu, Nak. Kau masih peduli dengan
mereka.
Tapi, yang namanya pembunuhan tetaplah pembunuhan, suatu
tindak kejahatan tingkat tinggi. Kuharap kamu bersedia
menerimanya, dan menerima hukumanmu.
121. Sean : Aku akan menerimanya, itu lebih baik daripada aku terus hidup
bersama mereka.
Semoga suatu saat, saat aku mati, mereka bisa minta maaf
kepadaku.
122. Detektif : (menghampiri Sean untuk memeluknya) Kau anak yang hebat,
diterima di universitas impian semua orang adalah pencapaian
terbaik. Aku bangga kepadamu.
123. Sean : (memeluk detektif dan menghapus air matanya)
124. Detektif : Kuharap kamu menyadarinya.
Selamat ulang tahun, Sean. Kau sudah bertahan dengan baik
selama ini. (berdiri)
125. Sean : (tersenyum dan mengangguk) Terima kasih, Pak detektif.
(berdiri)
126. Detektif : Eits, tunggulah disitu. Kami mempersiapkan kejutan untukmu.

Detektif out, sementara Sean masih duduk di bangkunya. Sedikit penasaran


dengan kejutan yang disiapkan. Hingga seorang figur familiar terlihat.

127. Sharon : Sean...

Sean menatap kakaknya itu lembut dengan senyuman yang tercetak di


wajahnya. Sharon duduk di bangku yang bersebrangan dengan adiknya.

128. Sharon : Sean, maafkan aku.


129. Sean : Kak, Kakak tidak perlu berkata seperti itu. Ini murni
kesalahanku sendiri.
130. Sharon : Harusnya aku bisa mencegahmu kalau aku datang lebih awal.
Lagi-lagi aku nggak bisa melindungimu.
Maafkan aku, Sean.
131. Sean : Kakak tidak salah, berhentilah meminta maaf.
132. Sharon : (tertawa getir) Yang menganggapku keluarga satu-satunya
hanya kamu, dan aku menyia-nyiakan itu. Aku nggak pernah
bisa melindungi siapapun.
133. Sean : Sudah, lupakan, Kak. Setidaknya lindungilah dirimu sendiri
sekarang, aku sudah di tempat yang aman, rumah juga sudah
aman sekarang. Kakak bisa kembali ke rumah tanpa dipukuli
Ayah dan Ibu.
134. Sharon : ...Terima kasih, Sean. Kamu bertahan dengan baik, baik sekali.
135. Sean : Aku kotor, Kak. Aku tidak bisa mendapatkan kasih sayangmu.
Seorang pembunuh tidak pantas menerimanya.
136. Sharon : Kamu memang membuatku terluka saat melakukan itu. Tapi
Sean, aku akan selalu ada disisimu, kau adik sangat yang hebat.

Rekan detektif masuk, memberi postur waktu habis dan mulai membawa Sean
untuk keluar ruangan.

137. Sean : Selamat tinggal, Kak.


138. Sharon : (melambaikan tangannya) Kuharap kita akan bertemu lagi, Sean.

Anda mungkin juga menyukai