Singgasana Penuh Luka
Singgasana Penuh Luka
Pemain
21. Juli : Hasil try out anak Bu Nada kemarin mengalahkan peringkatmu.
Apa yang kau lakukan di tempat bimbel, ha? Bermalas-malasan?
22. Sean : (hanya menggeleng karena sibuk menelan makanannya)
23. Juli : Kalau menjawab itu yang benar! (menjewer telinga Sean)
24. Sean : T-tidak, Bu. Aku memperhatikan guru baik-baik. (merintih)
25. Juli : Lalu kenapa peringkatmu turun?! Kalau begini saja turun
bagaimana dengan ujian besok? Kau pikir dengan nilai begitu
kau akan diterima di universitas favorit?
26. Sean : Bu, l-lepaskan. Sakit... (meraih tangan ibunya)
27. Juli : Apanya yang sakit? Ini karena kau terus bermalas-malasan,
28. Sean : Tapi aku tidak pernah bermalas-malasan.
29. Juli : Darimananya? Makan segini saja leletnya minta ampun.
(mencengkram rambut Sean dan menghentakkannya ke kursi
makan)
30. Sean : Uhuk, uhuk!
31. Juli : Aku tak mau tahu bagaimana caramu, intinya aku ingin
mendengar kabar kau diterima di universitas pilihan pertamamu,
ingat itu.
32. Sharon : Sean! Sean! Ya ampun kamu kenapa? (melirik piringnya) Ck,
udang...? (bergegas mengambilkan obat di kotak obat)
33. Sean : Kakak... bagaimana ini. Besok aku ujian...
34. Sharon : (menyodorkan obat) Masa bodoh dengan ujian, minumlah ini
dulu, Kakak beresin makananmu.
35. Sharon : (menarik kursi makan untuk duduk lebih dekat) Maaf Sean, aku
cuma punya ini. Besok pagi kamu bisa bawa kartuku buat beli
sarapan dan pergi ke dokter. Selama kurang lebih dua hari, pakai
ini juga buat beli makan. Pasti Ibu sudah beli banyak udang buat
dimasak sampai entah berapa hari. (merogoh saku dan
mengeluarkan kartu)
36. Sean : Kakak... peduli denganku?
37. Sharon : Apa? Tentu dong. Aku ‘kan kakakmu, bodoh. (memeluk leher
adiknya dan mengelus kepalanya)
38. Sean : Tapi bukankah kau tidak ingin berhubungan lagi dengan Ayah,
Ibu dan aku.
39. Sharon : Ha, omong kosong. Aku memang lepas dari Ayah dan Ibu, tapi
kalau kamu nggak. Aku malah ingin membawamu ke asramaku
besok. Tapi bisa-bisa kau malah dimarahi lebih parah.
(tersenyum)
Kenapa... kenapa kamu nggak melawan, Sean? Kamu nggak
capek begini terus? Sakit terus?
40. Sean : Kakak pikir aku bisa melawan Ayah dan Ibu?
41. Sharon : Harus, kamu nggak bisa diam aja, setidaknya melawanlah
besok. Aku tidak bisa menemanimu seharian penuh, besok siang
aku harus kembali ke asrama.
42. Sean : Tapi, Kak, aku bisa langsung dibunuh jika aku melawan. Aku
hanya ingin hidup. (memberikan kartu Sharon)
Aku terima rotinya, Kak, tapi tidak dengan ini. Aku sudah besar
dan punya tabungan, tidak usah mengkhawatirkanku.
43. Sharon : (menghela nafas) Ya sudah, tapi di hari terakhir setelah kau
ujian, kita harus ketemu ya. Aku traktir makan enak! Masa’
sehabis ujian tidak ada pesta? (berdiri dan mengelus kepala
adiknya)
Segera tidur, aku akan menjagamu dari Ibu. Kau pantas
beristirahat. (mengecup kepala Sean)
Kakak tunggu kau di kamar ya!
44. Sean : Ya, Kak. (memeluk roti itu dan tersenyum lebar)
Selanjutnya yang bisa didengar adalah kepalan Juli yang memukul meja.
Sementara Adam menyudahi makannya dengan mendorong piringnya halus dan
mengeluarkan pipa rokoknya, tidak tertarik untuk menyimak.
65. Juli : Ada apa denganmu? Untuk apa aku mengeluarkan banyak uang
jika kau tidak diterima di pilihan pertama?
66. Sean : Maafkan aku, Bu.
67. Juli : Maaf maaf, kau pikir dengan maaf itu bisa dengan ajaib
membuatmu masuk di pilihan pertama?!
68. Sean : Tidak, Bu. Maafkan aku.
69. Juli : Semua bimbel sudah aku ikutkan, makan sudah aku cukupi tiga
kali sehari, fasilitas buku persiapan ujian dan lainnya sudah aku
belikan, tapi ini yang kau berikan kepadaku? Malu... aku malu
memiliki anak yang gagal sepertimu.
70. Sean : Jadi Ibu marah karena malu? Aku tidak gagal, pilihan keduaku
itu saja juga termasuk ke universitas favorit tingkat nasional.
71. Juli : Belajar membantah darimana kau, bocah?!
72. Adam : Anak sulungmu, Sharon.
73. Juli : Sumpal saja mulutmu dengan rokok, Adam. Dia sudah tidak
kuanggap sebagai anggota keluarga ini, ia adalah anak yang
gagal. (menghadap Sean) Aku tidak ingin kau menjadi gagal
seperti dia dan Ayahmu, aku berbuat begini karenamu.
74. Sean : Tapi aku tidak bahagia, Bu. Aku tidak suka belajar terus-
menerus.
75. Juli : (mengangguk-angguk) Aku sungguh kecewa denganmu.
Kemana dirimu yang penurut? Kau menjadi tidak berguna, dan
bodoh. Aku menyesal sudah melahirkanmu.
76. Sean : Memang seharusnya begitu, lebih baik tidak melahirkanku dan
Kakak jika akhirnya kita akan terus disiksa oleh orang tua
sendiri.
77. Juli : (berdiri menghampiri Sean) Sini kau, sepertinya perlu diberi
pelajaran.
Sean diseret oleh Juli seraya berteriak, memohon untuk dilepaskan. Juli
berulang kali, mencubit dan memukul Sean agar anak itu tidak melawan. Sean juga
berulang kali memanggil ayahnya, tapi Adam hanya melihat datar.
85. Adam : Pagi, pagii! Sarapan? (membuka tudung saji) Nol. Oke, beli
saja. Nampaknya nenek tua itu belum bangun. Huu, gitu-gitu
mengatai aku pemalas.
(menghampiri gudang dan mengetoknya)
Sean, ini Ayah. Sudah bangun belum?
(membuka pintu gudang dengan kunci, tapi tetap tidak bisa
terbuka) Oi, Nak. Jangan dikunci dari dalam dong. Ayo sarapan
bersama Ayah di luar.
86. Sean : Kenapa Ayah diam saja? Padahal aku sedang dipukuli oleh Ibu...
87. Adam : Apa? Tidak terdengar?
(tidak ada jawaban dari balik gudang)
S e a n, ayo keluar, sarapan.
88. Juli : Berisik, bodoh.
89. Adam : Woi, ini lho, anakmu mengunci dirinya di dalam gudang.
90. Juli : Biarkan.
91. Adam : Dia bisa pingsan. Makan malam kemarin saja dia belum habis.
92. Juli : Gila kau, Adam. Mencemaskan anakmu? Anak gagal itu? Sejak
kapan, ha?
93. Adam : Kau yang gila! Anakmu sendiri lho itu?
94. Juli : Lalu bagaimana dengan Sharon? Dia juga anakmu.
95. Adam : (memalingkan muka) Ck, keparat.
96. Juli : (mengetok pintu) Buka pintunya, lalu segeralah keluar.
Jangan diam saja! Jawab!
97. Sean : Ayah, Ibu. Minta maaflah kepadaku, berterima kasihlah padaku,
tolong. Aku selama ini selalu melakukan yang aku bisa, aku
selalu melakukan yang terbaik, tapi itu selalu kurang di mata
kalian, terutama Ibu. Sedetikpun, kau tidak pernah bersyukur
atas apa yang telah kucapai.
98. Juli : Anak gagal sepertimu tidak bisa mendapatkan terima kasih
dariku. Teruslah disitu sampai kau mati kelaparan! (berbalik)
100. Sharon : Sean, halo. Kok nggak ada orang ya? Padahal pintunya kebuka
lebar.
(melihat di meja makan) Tas kerja Ayah disini, tapi mana
orangnya? Ups, jangan dipegang, Sharon. Jangan dipegang.
(membuka tudung saji) Ibu belum masak sarapan, mungkin
masih tidur. (menaruh kantung jajan di meja makan)
101. Sharon : Gawat, telat kerja ‘kan. Ini gara-gara motor mogok, haish.
Kutinggalkan catatan saja disini. (merogoh kertas di saku dan
menuliskan pesan di kantung jajan itu)
102. Sharon : Semoga kamu baik-baik aja, Sean. Nanti sore aku mampir sini
lagi kok.
Sharon out, Sean yang bersembunyi di gudang sejak tadi pun akhirnya keluar
dan duduk di kursi makan. mengambil pesan yang dituliskan tadi. Sean mulai
menangis. Menyilangkan tangannya dan menenggelamkan wajahnya.
103. Sean : Kak, maafkan Sean. Mungkin benar kalau Sean itu anak yang
gagal. Kakak pasti membenci Sean sekarang.
Rekan detektif masuk, memberi postur waktu habis dan mulai membawa Sean
untuk keluar ruangan.