Pada suatu hari, ayam mulai berkokok menyambut terangnya sang surya yang mulai naik dari
pelosok timur. Kicauan burung terdengar merdu. Namun entah mengapa, suara keributan silih
berganti menyertai kicauan indah burung itu. Pak Adi bangun dalam suasana hati yang tidak bagus.
Teriakan dari dalam rumah memaksa Bu Elin untuk menghentikan sejenak kegiatannya dan
menghampiri sumber suara.
Bu Elin : “Ya gimana mau ada makanan, mas. Mas aja belum ngasih uang bulanan.“
Pak Adi : (sambil menunjuk-nunjuk meja makan) “Ya gamau tahu! Sekarang juga aku mau
makanannya ada!” (diakhiri gebrakan meja.)
Bu Elin : (dengan intonasi yang tinggi) “Gimana mau belinya mas! Makanan tuh juga butuh uang!”
Sebuah pemandangan pagi yang tidak indah. Dua anak Pak Adi dan Bu Elin mungkin sudah terbiasa.
Namun, tak disangka dari sanalah terbentuknya karakter anak, yaitu melalui dunia pertamanya,
keluarga.
Narendra, sang anak pertama, tidak peduli dengan kejadian tersebut dan memilih keluar rumah
dengan membanting pintu, sedangkan Aura, sang anak kedua, menatap sinis kedua orang tuanya.
Menganggap seolah-olah kejadian ini memang sudah ditakdirkan untuk selalu ada. Sang ayah yang
sudah emosi makin tersulut emosi ketika mendengar bantingan pintu.
Pak Adi : “KALIAN SEMUA DASAR TIDAK BERGUNA APA APA NGGA BISA!“
Bu Elin : “Sudah, sudah. Lebih baik kamu berangkat ke sekolah saja.” (katanya pada Aura)
Bu Elin : “SANA KAMU KERJA BIAR BISA MAKAN! “ (katanya pada Pak Adi)
Di sekolah, terus saja Narendra memasang wajah datar. Terkadang hingga melamun juga. Tak kuasa
menahan penasaran, sang teman, Silvi, bertanya pada Narendra.
Silvi : “Gimana, ya. Emang solusinya sebenernya bapak kamu kerja. Udah lah, tar kalau butuh apa-
apa bilang aja, dibantu kok sama aku, sama temen-temen juga”
Narendra : “Ga enak lah aku. Mau kerja juga belum lulus SMA. Ga bisa dapet kerjaan”
Silvi : “Udah, ah. Jangan dipikirin terus. Mending sekarang kita cari sarapan di kantin. Aku traktir
deh”
Sepulang sekolah, Narendra memilih untuk pergi menuju tongkrongan yang sering ia kunjungi. Di
sana dia bertemu dengan teman luar sekolahnya. Tak disangka, sang adik pun ada di tempat yang
sama.
Herlin : “Ni Aura sama gue. Mending nyebat ni” (sambil memberikan seputung rokok)
Herlin : “Bawa aja sapa tau butuh. Ga bakal mabuy. Obat sakit kepala, doang.”
(karena paksaan temannya itu, Narendra terpaksa membawa pulang barang terlarang tersebut)
Narendra : “Yeu, dibilang kaga butuh juga. Ga akan gue pake nih”
Karena matahari sudah mulai tengelam di pelosok barat, Narendra dan Aura bergegas pulang,
menikmati kembali raungan-raungan berisik sang Ibu dan Bapak.
Pak Adi : “Yaudah! Minta tetangga sana! Biasanya juga Bu Vasa kasih”
Bu Elin : “Mau ditaruh di mana mukaku kalau kerjaannya minta terus, mas!”
Pak Adi : “Urusanmu. Yang penting aku makan.” (sambil melenggang pergi)
Bu Elin lagi-lagi hanya bisa menghela nafas dan sedikit menurunkan harga dirinya, lagi, untuk
meminta bantuan pada Bu Vasa.
Narendra : “Alah, dikit aja paling ga bikin gue kenapa-napa. Seengganya biar ga pening sama ibu
bapak. Herlin juga bilang ini obat sakit kepala, kan.”
(dicobanya satu kali, hingga bertambah rasa ingin tahunya dan berakhir disesap hingga habis.
Setelah itu tertidur)
Narendra tertidur lelap. Sangat lelap. Hingga tak sadar jam menunjukkan pukul 06.35. Lima belas
menit lagi, pintu sekolahnya akan ditutup. Bangun dengan tergesa-gesa, ia berlari menuju sekolah
tanpa menghiraukan sang ibu yang sedang berada di depan ruang tamu.
Bel berbunyi tepat ketika Narendra mencapai kursinya. Kepalanya pusing. Benar-benar pusing hingga
tanpa sadar ia malah tertidur selama pelajaran berlangsung. Bel istirahat pun berbunyi.
Narendra : “Ga”
Silvi : “Oke”
Waktu berlalu begitu saja. Tibalah saatnya pulang sekolah. Saat ini, keinginan Narendra satu-satunya
adalah mengunjungi Herlin untuk meminta kembali ‘obat sakit kepala’ nya itu. Tak ingin berlama-
lama, ia bergegas menuju ke tempat tongkrongannya. Namun, Herlin tidak ada saat itu.
Narendra : “Kepala gue butuh obatnya lagi, gila. Kenapa Herlin ga dating. Arghh”
Narendra : “Narendra”
Narendra : “Lu punya? Bagi lah, kepala gue lagi pening nih”
Nabil : “Eits, motor punya lu ya? Kasih gue, ntar gue gratisin lima bulan obatnya”
Narendra dalam hati mengatakan, “aku masih bisa jalan kaki. Ga perlu motor gapapa lah.”
Nabil : “Nah, gitu dong. Nih gue kasih segepok. Jangan bilang dari gue. Juga, abisinnya pelan pelan
kalo ga mau mati. Haha”
Sebelum kembali pulang, Narendra menyesap satu kantung dari banyak kantung yang diberikan
Nabil. Tiba-tiba, kepalanya terasa berat dan akhirnya dia berjalan sambil tak sadarkan diri. Tak jarang
pula ia mengigau dalam perjalanannya pulang.
Narendra : “Pak,Bu. Aku ga punya motor, hehe. Aku beli obat, hehe”
Tak sadar dirinya mendekati rel kereta api, seseorang meneriakinya dari belakang.
Tak sempat menolong, Narendra begitu saja meninggalkan dunia di tempat itu. Bu Vasa segera
menghubungi keluarga Pak Adi
Bu Vasa : “Halo Bu Elin, ini bu Vasa. Narendra buu.. Narendra tertabrak kereta”
Bu Vasa : “Ini Bu, Ibu datang saja kesini. Sudah ada polisi. Di depan Puri nggih bu.”
Sesampainya di sana, tak ada lagi yang bisa dilakukan. Nasi telah menjadi bubur. Pak polisi
memberitahu bahwa ternyata Narendra sedang berada di bawah pengaruh obat-obatan terlarang
ketika menyebrang rel. Bu Elin pun hanya bisa menangis. Tak tahu lagi hendak berbuat apa.
Tak pedulinya kita, acuhnya kita, apalagi pada anak akan membawa nasib tidak beruntung pada
kemudian hari. Tidak hanya masalahmu yang kau pedulikan, anak pun ingin orang tuanya tahu
tentang masalah yang ia alami. Tanyakan, bagaimana harinya, apa yang dia rasakan, itu saja sudah
cukup untuk menunjukkan kita peduli. Jangan sampai anak merasa kesepian. Komunikasikan segala
hal dengannya, dengan begitu dia akan merasa dibutuhkan.
Dalam cerita ini, Aura menunjukkan pribadi yang cuek namun sebenarnya dia hanya merasa
kesepian. Sedangkan Narendra, terjerumus ke dalam pengaruh teman yang tidak baik. Kami harap
teman-teman yang nantinya juga akan menjadi orang tua, dapat setidaknya mengambil hikmah dari
drama yang kami tampilkan.
Terima kasih.