net/publication/358285746
CITATIONS READS
4 7,665
1 author:
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Ulfi Putra Sany on 03 February 2022.
Abstrak
Gangguan kesehatan mental merupakan masalah serius yang membutuhkan solusi
terbaik guna mengurangi dampak negatifnya. Di antara berbagai gangguan
kesehatan mental yang memiliki prevalensi tertinggi adalah gangguan kecemasan
dan depresi. Dua gangguan ini merupakan yang lumrah dialami oleh masyarakat
dunia, tidak terkecuali masyarakat Indonesia. Pandemi yang terjadi makin menjadi
faktor yang dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan mental. Islam mengakui
pentingnya kesehatan mental bagi umat manusia. Islam bahkan menjadikan
pemeliharaan kesehatan mental sebagai salah satu maqasid yang harus dijaga. Islam
memberikan tuntunan bagi penanganan gangguan kecemasan dan depresi itu di
dalam Al Qur’an. Setidaknya ada tiga terapi bagi gangguan kecemasan dan depresi
dalam Al Qur’an, yaitu terapi zikir, terapi Al Qur’an dan terapi doa. Terapi zikir,
terapi Al Qur’an dan terapi doa dapat memberikan perasaan optimis dan
mengurangi emosi negatif yang sering dikaitkan dengan gangguan kecemasan dan
depresi.
Abstract
Mental health disorder is a serious problem that requires the best solution to
reduce its negative impact. Among the various mental health disorders that have
the highest prevalence are anxiety disorders and depression. These two disorders
are the most common mental disorders experienced by people all over the world,
including the people of Indonesia. The ongoing pandemic is becoming a factor that
can trigger mental health disorders. Islam recognizes the importance of mental
health for mankind. Islam even makes mental health maintenance one of the
maqasid that must be maintained. To realize the benefits of mental health for
mankind, Islam provides guidelines for dealing with anxiety and depression
disorders in the Qur'an. There are at least three therapies for anxiety and
depression disorders in the Qur'an, namely zikir therapy, Qur'an therapy, and doa
therapy. Zikir therapy, Qur'an therapy, and doa therapy can provide a feeling of
optimism and reduce negative emotions that are often associated with anxiety
disorders and depression. These three therapies can reduce the level of anxiety and
depression in sufferers.
How to cite: Sany. U. P. (2022) Gangguan Kecemasan dan Depresi Menurut Perspektif Al Qur’an, Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia, 7(1).
E-ISSN: 2548-1398
Published by: Ridwan Institute
Gangguan Kecemasan dan Depresi Menurut Perspektif Al Qur’an
Pendahuluan
Kesehatan mental dan masalah-masalah psikososial merupakan masalah serius
dan membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Menurut data dari Balitbangkes,
jumlah rumah tangga dengan anggota yang memiliki gangguan jiwa berat di Indonesia
mencapai 1,7 per mil. Dengan kata lain, setidaknya 1-2 orang per 1000 penduduk
Indonesia menderita gangguan jiwa berat. Di tahun 2013, dilaporkan bahwa jumlah
penderita gangguan jiwa yang menerima layanan terapi oleh petugas kesehatan adalah
kurang dari 10%. Sebuah angka yang bisa dikatakan masih jauh dari ideal. Pada tahun
2018, dalam survei yang dilakukan oleh Riset Kesehatan Dasar, angka prevalensi
gangguan jiwa berat penduduk Indonesia meningkat signifikan menjadi 7 per mil. Hal
ini berarti, 7 dari 1000 penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa berat, atau
meningkat 311% dibandingkan angka di tahun 2013. Peningkatan ini menunjukkan
bahwa masalah kesehatan mental tidak bisa dianggap remeh (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2018).
Pada level global, dari tiap 100 orang penduduk tidak kurang dari 6 orang
menderita gangguan kesehatan mental atau mengalami ketergantungan obat-obatan dan
alkohol (Baasher, 2001). Berbagai faktor sosial, psikologis, dan biologis mempengaruhi
tingkat kesehatan mental seseorang. Misalnya, tindak kekerasan dan tekanan sosial-
ekonomi yang terus-menerus disebut sebagai faktor risiko bagi munculnya gangguan
kesehatan mental. Kesehatan mental yang buruk juga dikaitkan dengan kondisi kerja
yang penuh tekanan, gaya hidup tidak sehat, diskriminasi gender, perubahan sosial
yang cepat, pengucilan sosial, kesehatan fisik yang buruk, dan pelanggaran hak asasi
manusia (World Health Organization, 2018).
Kesehatan mental juga memiliki korelasi dengan tindak kekerasan dan terorisme.
Beberapa studi yang telah meneliti peran masalah kesehatan mental dalam proses
radikalisasi menunjukkan hubungan antara gangguan kesehatan mental dan
ekstremisme. Studi ini juga menunjukkan bahwa kesehatan mental yang buruk membuat
penderitanya lebih rentan terpapar paham dan ideologi ekstremis dan mengurangi
kemampuannya untuk melawan wacana radikal, dan pengaruh atau manipulasi dari
perekrut ekstremis. Orang-orang yang memiliki gangguan kesehatan mental sulit
mempertahankan pekerjaan dan membina hubungan sosial yang positif, dan mungkin
mengalami pengucilan oleh jejaring sosial konvensional. Hal ini dapat menimbulkan
perasaan termarginalisasi yang dapat membuat pengaruh wacana-wacana ekstremis
lebih kuat (Copeland & Marsden, 2020).
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan tafsir tematik
atau tafsir maudhu’i. Metode tafsir maudhu’i atau menurut Muhammad Baqir al-Shadr
sebagai metode al-Taukhidiy adalah metode tafsir yang mencoba mengeksplorasi
perspektif al-Qur’an terhadap suatu topik atau permasalahan. Metode ini ditempuh
dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang sama,
atau berkaitan dengan topik dan permasalahan tertentu. Kemudian menafsirkannya
dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain dan
memperhatikan sumber-sumber lain seperti hadis Nabi SAW (Khilmi Hidayatulloh,
2019).
Metodologi tafsir tematik atau tafsir maudhu’i adalah sebagai respons mufassir
atas persoalan yang membutuhkan perspektif al-Qur’an sebagai solusinya. Metode ini
dinilai sebagai metode yang paling sesuai untuk menjawab permasalahan baru yang
tidak ditemukan kejadiannya di masa Nabi SAW, atau permasalahan yang
membutuhkan insight dari berbagai bidang ilmu (Yamani, 2015).
Depresi adalah keadaan emosional yang diketahui, namun tidak dialami oleh
semua orang. Depresi adalah keadaan yang menguras energi, dan menempatkan
penderitanya dalam emosi negatif, dan jauh dari semua alasan positif untuk bahagia.
Depresi juga didefinisikan dengan elegan oleh ulama besar muslim, Abu Zaid al-
Balkhi, dalam bukunya Masalih al-Abdan wa al-Anfus. Abu Zayd mengungkapkan
bahwa depresi adalah keadaan kegelisahan yang dapat dijelaskan sebagai kesedihan
yang paling mendalam. kegelisahan seperti nyala api yang menyala, dan kesedihan
seperti bara api yang tersisa setelah nyala api ini padam (Bulut et al., 2021).
Menurut Beck (Beck et al., 1985), depresi merupakan sebuah “primary mood
disorder” atau sebagai suatu “affective disorder”. Depresi memiliki beberapa
komponen. Komponen yang pertama yaitu komponen afektif di mana penderitanya
merasakan kesedihan yang berkepanjangan dan keadaan jiwa yang apatis. Komponen
kognitif adalah cara berpikir yang salah dalam memandang realitas di luar dan di
dalam diri sendiri, sehingga terbentuk konsep diri yang negatif yang berlanjut pada
perasaan rendah diri. Di samping itu, aspek fisiologis juga terpengaruh yang antara
lain menyebabkan insomnia, rendahnya nafsu makan serta hilangnya gairah seksual.
Aspek perilaku juga terdampak dengan hilangnya kemampuan untuk berfungsi secara
wajar serta rendahnya dorongan dan energi untuk bertindak.
Lebih jauh, Beck menerangkan bahwa kognisi negatif adalah sumber primer
depresi. Orang yang sedang mengalami depresi biasanya mempunyai pandangan diri
yang negatif. Pandangan negatif ini juga dapat mengenai dunianya dan mengenai
masa depannya. Orang yang mengalami depresi mengambil kesimpulan yang salah
sebagai akibat dari penilaian negatif dirinya, dunianya dan masa depannya.
Akibatnya, suasana hatinya menjadi murung, kemampuannya menurun drastis,
dirinya menolak harapan-harapan dan mungkin mempunyai pikiran untuk menyakiti
diri sendiri.
Beck menghubungkan tingkat depresi dengan gejala-gejala antara lain,
menurunnya selera makan, gangguan tidur, hilangnya gairah seksual, dan kelelahan
yang tinggi.
3. Kecemasan
Kecemasan atau anxiety adalah salah satu gangguan kesehatan mental yang
paling banyak ditemui (Kessler et al., 2005). Kecemasan atau anxiety adalah respons
manusia terhadap ancaman atau bahaya. Setiap pengalaman kecemasan melibatkan
persepsi bahaya dan pikiran tentang bahaya (Moss, n.d.). Nevid dkk. menjelaskan
bahwa kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri
keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan
aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi (Nevid et al., 2014). Menurut Gail
W. Stuart, kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, dan
berkaitan dengan perasaan ketidakpastian dan ketidakberdayaan (Stuart, 2013).
Dewasa ini, gangguan kecemasan telah menjadi masalah kesehatan mental
global. Gangguan kecemasan juga membebankan biaya besar pada masyarakat.
Mengingat efek pribadi dan sosial yang merugikan dari gangguan kecemasan, beban
ekonomi dari kecemasan sangat besar, baik dalam beban biaya langsung layanan
maupun biaya tidak langsung yang bersumber dari hilangnya produktivitas.
Kecemasan dalam satu penelitian di Amerika mengakibatkan sekitar 60,4 juta hari
per tahun dalam penurunan produktivitas, yang setara dengan tingkat penurunan
produktivitas yang terkait dengan pneumonia. Berdasarkan penelitian, beban tahunan
di Amerika Serikat yang disebabkan oleh gangguan kecemasan mencapai 42 miliar
dolar (Greenberg et al., 1999). Indonesia juga mencatat prevalensi gangguan jiwa
yang mengkhawatirkan. Di tahun 2020 setidaknya 18.373 jiwa mengalami gangguan
kecemasan, lebih dari 23.000 menderita depresi dan sekitar 1.193 jiwa melakukan
percobaan bunuh diri (antaranews.com, 2021).
Kecemasan adalah hal yang lumrah dan normal, sebagai respons manusia
terhadap ancaman dan kekhawatiran. Kecemasan bahkan bisa merupakan hal yang
positif karena membuat manusia lebih berhati-hati dalam menjalankan hidupnya.
Contohnya, kecemasan mungkin membuat seseorang menjalani medical check-up
karena khawatir akan kesehatannya. Contoh lain adalah seorang mahasiswa yang
belajar sebelum menempuh ujian karena khawatir tidak mendapatkan hasil maksimal
dalam ujian. Kecemasan menjadi masalah ketika dirasakan tidak proporsional, atau
jauh lebih besar dari yang seharusnya, atau ketika kecemasan ini dirasakan tanpa
adanya stimulus atau ancaman yang benar-benar terjadi. Respons kecemasan yang
abnormal ini bisa menyebabkan tekanan terhadap kesehatan mental seseorang.
Respons abnormal ini dinamakan gangguan kecemasan atau anxiety disorder (Nevid
et al., 2014).
Clark dan Beck menyebutkan beberapa gejala kecemasan, antara lain gejala
fisiologis: jantung berdebar, sesak nafas, berkeringat, nyeri dada, menggigil, gemetar,
mulut kering dan pingsan. Gejala afektif yaitu meliputi mudah tersinggung, gugup,
gelisah dan tegang. Gejala berikutnya yaitu meliputi aspek kognitif seperti rasa takut
tidak dapat menyelesaikan masalah, takut mendapatkan komentar dan umpan balik
yang negatif, kurang konsentrasi dan fokus, serta sulit melakukan penalaran. Respons
perilaku yang biasanya berkaitan dengan gangguan kecemasan adalah kecenderungan
menghindari situasi yang mengancam, mencari perlindungan, dan kesulitan bicara
(Clark & Beck, 2011).
Gail W. Stuart (2013) mengelompokkan gejala kecemasan dalam respons
perilaku, kognitif, dan afektif.
Respons perilaku, di antaranya gelisah, ketegangan fisik, tremor atau gemetar,
bicara dengan cepat, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri dari
masalah, hiperventilasi, dan kewaspadaan yang berlebihan.
Respons kognitif di antaranya: perhatian yang mudah terganggu, konsentrasi
yang buruk, kecenderungan melupakan sesuatu, hambatan berpikir, menurunnya
jangkauan persepsi, menurunnya kreativitas dan produktivitas, mudah bingung,
kewaspadaan yang berlebihan, kehilangan objektivitas, timbulnya perasaan takut
kehilangan kontrol, ketakutan yang tidak wajar terhadap cedera atau kematian,
meningkatnya frekuensi kilas balik, dan mengalami mimpi buruk.
kebajikan, tidak memiliki harta dan kendaraan untuk dinafkahkan guna keperluan
perang, dan kedurhakaan atau ketidaktaatan anak terhadap orang tua (Tampubolon,
2020).
Al Qur’an menggunakan kata khauf dan berbagai derivasinya untuk
menggambarkan kecemasan dan ketakutan. Kata khauf dalam Al Qur’an disebutkan
pada 124 tempat (Abdul-Baqi, 1945).
Kata Khauf berasal dari kata kha, waw dan fa’ yang merujuk kepada makna
ketakutan dan keterkejutan. Raghib al-Ashfahani menyebutkan bahwa khauf
memiliki arti antisipasi diri manusia terhadap bahaya atau hal yang tidak diinginkan
dari tanda atau informasi yang diprediksi. Al-Ashfahani menganggap bahwa khauf
itu bersifat naluriah, ia selalu mendampingi manusia kapan dan di mana saja berada.
Al Qur’an menggunakan kata khauf dengan berbagai derivasinya yang berarti
takut kepada Allah sebanyak 14 kali. Di samping itu, kata khauf juga digunakan
dengan makna ketakutan akan azab di dunia dan di akhirat sebanyak 28 kali.
5. Korelasi Antara Religiositas Dan Kesehatan Mental
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang religius. Identitas religius
masyarakat Indonesia ini sejak lama ada dalam kehidupan bangsa-bangsa di Asia
Tenggara, bahkan sebelum menjadi negara-negara yang merdeka (Zulkarnain, 2017).
Agama merupakan faktor pendukung yang menunjang pemeliharaan kesehatan
mental bagi pemeluk-pemeluknya. Abdel-Khalek menjelaskan bahwa religiositas
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan mental dan tingkat
religiositas yang tinggi adalah indikator tingginya kesehatan mental dan kebahagiaan
seseorang (Abdel-Khalek, 2019). Ada korelasi positif antara religiositas dengan
kesehatan mental dan kebahagiaan, dan korelasi negatif antara keberagamaan dan
masalah kesehatan mental (Abdel-Khalek, 2011). Tiliouine dkk. mengatakan bahwa
religiositas dan kesehatan mental mempunyai korelasi yang kuat (Tiliouine et al.,
2009). Studi pada masyarakat Indonesia menunjukkan korelasi yang kuat antara
religiositas dengan kesehatan mental dan kebahagiaan (Akhyar et al., 2019; Fitriani,
2016; Hamidah et al., 2019; Nasution & Fakhrurrozy, 2018; Saifuddin & Andriani,
2018). Di samping itu, sejumlah penelitian (Lucia & Kurniawan, 2017; Rachman et
al., 2018; Risnawati et al., 2019; Suryaman et al., 2013) menunjukkan korelasi positif
antara religiositas dan ketahanan atau kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh
dalam situasi sulit (Reivich & Shatté, 2002).
Korelasi positif antara religiositas dan kesehatan mental dan ketahanan tidak
hanya ditemukan pada masyarakat yang beragama Islam, akan tetapi juga ditemukan
pada masyarakat yang beragama lain (Daniele Mugnaini, 2015; Edara et al., 2021;
Foy et al., 2011; Schwalm et al., 2021).
Dalam agama Islam, aspek mental manusia mempunyai kedudukan yang penting
dan mendapatkan perhatian. Di dalam terminologi Al Qur’an terdapat beberapa
istilah yang berkaitan dengan istilah mental. Di antaranya adalah nafs yang berarti
jiwa, dan ‘aql yang berarti akal pikiran. Kata nafs dan berbagai derivasinya
disebutkan di dalam Al Qur’an sebanyak 196 kali, sedangkan kata ‘aql dan
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” Zikir
mempengaruhi dinamika psikologis seseorang. Zikir dapat membuat hati menjadi
tenang. Hati yang tenang berakibat kepada bersihnya pikiran dan sehatnya jasmani.
Zikir akan membawa pemikiran dan kondisi jiwa seseorang menjadi terarah dan
seimbang (Sumarni, 2020). Dengan berzikir, seseorang akan merasakan kedekatan
dirinya dengan Sang Pencipta, serta merasakan penjagaan perlindungan dari-Nya.
Hal ini lebih lanjut akan menimbulkan percaya diri, kekuatan, perasaan aman,
tenteram dan bahagia. Timbulnya perasaan-perasaan ini dalam diri seseorang dapat
menjaga mental dan memelihara kesehatan jiwanya. Zikir merupakan terapi yang
efektif dalam menangani gangguan kecemasan dan depresi.
Fitriani dan Supradewi (2019) melakukan penelitian mengenai terapi relaksasi
zikir terhadap pasien kasus gangguan fobia, salah satu jenis gangguan kecemasan
(anxiety). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti sampai pada kesimpulan
bahwa terapi relaksasi Zikir dapat menurunkan kecemasan penderita fobia yang pada
akhirnya menurunkan tingkat fobia pasien. Pada penelitian ini juga ditemukan
penurunan gejala kecemasan sesudah mengikuti terapi. Salah satu subjek yang diteliti
mengalami perubahan tingkat fobia dari berat menjadi sedang. Terdapat juga pasien
yang mengalami penurunan tingkat fobia berat menjadi fobia ringan. Relaksasi yang
disertai dengan Zikir mendorong munculnya rasa berserah diri pada Sang Pencipta,
hilangnya perasaan sendiri (loneliness), dan munculnya pemikiran bahwa Allah akan
selalu bersama kita. Perasaan-perasaan tersebut memperkuat kondisi nyaman yang
ditimbulkan saat proses relaksasi, yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat
kecemasan.
8. Terapi Al Qur’an
Terapi dengan Al Qur’an maksudnya adalah menggunakan Al Qur’an sebagai
media atau cara memberikan pelayanan penyembuhan pada gangguan kesehatan,
baik kesehatan fisik maupun psikis. Allah berfirman dalam Al Qur’an, “Hai manusia!
Telah datang nasihat dari Tuhanmu sekaligus sebagai obat bagi hati yang sakit,
petunjuk serta rahmat bagi yang beriman.” QS. Yunus: 57. Terapi menggunakan Al-
Qur’an dibagi menjadi dua cara yaitu dengan membaca dan menyimak bacaan Al
Qur’an.
Sebuah penelitian dilakukan oleh Mashitah & Lenggono (2020), mengenai
pengobatan dengan pembacaan Al Qur’an dan dampaknya terhadap depresi pada
pasien yang menjalani sesi pengobatan hemodialisis. Dalam penelitian tersebut
ditemukan bahwa dengan menerapkan bacaan Al-Qur'an kepada pasien selama
perawatan, pasien menunjukkan penurunan yang signifikan dari tingkat depresi,
mereka juga menunjukkan peningkatan kualitas spiritual hidup mereka. Menariknya,
pembacaan Alquran selama perawatan medis tidak hanya mengurangi tingkat depresi
tetapi juga memiliki pengurangan tingkat kecemasan yang efektif.
Lebih jauh, pembacaan dan pemaknaan Al Qur’an mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap penurunan tingkat kecemasan dan depresi. Hal ini terjadi karena
seseorang selain mendapatkan ketenangan dalam membaca Al-Qur’an yang
Kesimpulan
Kecemasan dan depresi merupakan dua gangguan kesehatan mental yang banyak
menjangkiti masyarakat dunia, tidak terkecuali masyarakat Indonesia. Islam
memandang bahwa kesehatan mental merupakan hal utama yang harus dijaga dan
dipelihara demi kesejahteraan dan maslahat umat manusia. Oleh karena itu, menjaga
kesehatan mental merupakan bagian dari ibadah. Al Qur’an memberikan solusi untuk
memelihara mental dari gangguan kecemasan dan depresi, yaitu terapi zikir, terapi Al
Qur’an dan terapi doa.
BIBLIOGRAFI
Akhyar, M., Ifthiharfi, R., Wahyuni, V., Ardhani, M., Putri, V. Y., & Rafly, M. (2019).
Hubungan Religiusitas Dengan Subjective Well-Being Pada Lansia Di Jakarta. Mind
Set: Jurnal Ilmiah Psikologi, 10(2), 7. Google Scholar
Al-Ghazali, A.-H. (N.D.). Al-Mustasfa Min ’Ilm Al-Ushul. Syarikat Al-Madinah Al-
Munawwarah. Google Scholar
Alivian, G. N., Purnawan, I., & Setiyono, D. (2019). Efektifitas Mendengarkan Murottal
Dan Doa Terhadap Penurunan Kecemasan Pada Pasien Hemodialisis Di RSUD Wates.
6, 5. Google Scholar
Baxter, A. J., Vos, T., Scott, K. M., Norman, R. E., Flaxman, A. D., Blore, J., &
Whiteford, H. A. (2014). The Regional Distribution Of Anxiety Disorders: Implications
For The Global Burden Of Disease Study, 2010: The Regional Distribution Of Anxiety
Disorders. International Journal Of Methods In Psychiatric Research, 23(4), 422–438.
Https://Doi.Org/10.1002/Mpr.1444. Google Scholar
Beck, A. T., Emery, G., & Greenberg, R. L. (1985). Anxiety Disorders And Phobias: A
Cognitive Perspective ([15th Anniversary Ed.], Rev. Pbk. Ed). Basic Books. Google
Scholar
Bulut, S., Hajiyousouf, I. I., & Nazir, T. (2021). Depression From A Different
Perspective. Open Journal Of Depression, 10(04), 168–180.
Https://Doi.Org/10.4236/Ojd.2021.104011. Google Scholar
Clark, D. A., & Beck, A. T. (2011). Cognitive Therapy Of Anxiety Disorders: Science
And Practice. Guilford Press. Google Scholar
Copeland, S., & Marsden, S. (2020). The Relationship Between Mental Health
Problems And Terrorism (Knowledge Management Across The Four Counterterrorism
‘Ps’). Centre For Research And Evidence On Security Threats. Google Scholar
Edara, I. R., Del Castillo, F., Ching, G. S., & Del Castillo, C. D. (2021). Religiosity,
Emotions, Resilience, And Wellness During The COVID-19 Pandemic: A Study Of
Taiwanese University Students. International Journal Of Environmental Research And
Public Health, 18(12), 6381. Https://Doi.Org/10.3390/Ijerph18126381. Google Scholar
Fitriani, A., & Supradewi, R. (2019). Desensitisasi Sistematis Dengan Relaksasi Zikir
Untuk Mengurangi Gejala Kecemasan Pada Kasus Gangguan Fobia. PHILANTHROPY:
Journal Of Psychology, 3(2), 75. Https://Doi.Org/10.26623/Philanthropy.V3i2.1689.
Google Scholar
Foy, D. W., Drescher, K. D., & Watson, P. J. (2011). Religious And Spiritual Factors In
Resilience. In S. M. Southwick, B. Litz, D. Charney, & M. J. Friedman (Eds.),
Resilience And Mental Health (Pp. 90–102). Cambridge University Press.
Https://Doi.Org/10.1017/CBO9780511994791.008. Google Scholar
Fuad, I. (2016). Menjaga Kesehatan Mental Perspektif Al-Qur’an Dan Hadits. Journal
An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 1(1), 31–50.
Https://Doi.Org/10.33367/Psi.V1i1.245. Google Scholar
Greenberg, P. E., Sisitsky, T., Kessler, R. C., Finkelstein, S. N., Berndt, E. R.,
Davidson, J. R. T., Ballenger, J. C., & Fyer, A. J. (1999). The Economic Burden Of
Anxiety Disorders In The 1990s. The Journal Of Clinical Psychiatry, 60(7), 427–435.
Https://Doi.Org/10.4088/JCP.V60n0702. Google Scholar
Kessler, R. C., Chiu, W. T., Demler, O., & Walters, E. E. (2005). Prevalence, Severity,
And Comorbidity Of 12-Month DSM-IV Disorders In The National Comorbidity
Survey Replication. ARCH GEN PSYCHIATRY, 62, 12. Google Scholar
Lucia, R., & Kurniawan, J. E. (2017). Hubungan Antara Regiliusitas Dan Resiliensi
Pada Karyawan. 11. Google Scholar
Mashitah, M. W., & Lenggono, K. A. (2020). Quran Recitation Therapy Reduces The
Depression Levels Of Hemodialysis Patients. International Journal Of Research In
Medical Sciences, 8(6), 2222. Https://Doi.Org/10.18203/2320-6012.Ijrms20202271.
Google Scholar
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2014). Abnormal Psychology In A Changing
World (Nineth Edition). Pearson. Google Scholar
Olatunji, B. O., Cisler, J. M., & Tolin, D. F. (2007). Quality Of Life In The Anxiety
Disorders: A Meta-Analytic Review. Clinical Psychology Review, 27(5), 572–581.
Https://Doi.Org/10.1016/J.Cpr.2007.01.015. Google Scholar
Pieper, J., & Van Uden, M. (2005). Religion And Coping In Mental Health Care.
BRILL. Https://Doi.Org/10.1163/9789401202954. Google Scholar
Reivich, K., & Shatté, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills For
Overcoming Life’s Inevitable Obstacles (1st Ed). Broadway Books. Google Scholar
Risnawati, E., Arisandi, A., & Dawanti, R. (2019). Peran Religiusitas Dan
Psychological Well-Being Terhadap Resiliensi Korban KDRT. Mind Set: Jurnal Ilmiah
Psikologi, 10(2), 11. Google Scholar
Schwalm, F. D., Zandavalli, R. B., De Castro Filho, E. D., & Lucchetti, G. (2021). Is
There A Relationship Between Spirituality/Religiosity And Resilience? A Systematic
Review And Meta-Analysis Of Observational Studies. Journal Of Health Psychology,
135910532098453. Https://Doi.Org/10.1177/1359105320984537. Google Scholar
Tiliouine, H., Cummins, R. A., & Davern, M. (2009). Islamic Religiosity, Subjective
Well-Being, And Health. Mental Health, Religion & Culture, 12(1), 55–74.
Https://Doi.Org/10.1080/13674670802118099. Google Scholar
World Health Organization. (2018, March 30). Mental Health: Strengthening Our
Response. World Health Organization. Https://Www.Who.Int/News-Room/Fact-
Sheets/Detail/Mental-Health-Strengthening-Our-Response. Google Scholar
Copyright holder:
Ulfi Putra Sany (2022)