Anda di halaman 1dari 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/358285746

Gangguan Kecemasan dan Depresi Menurut Perspektif Al Qur’an

Article in Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia · January 2022


DOI: 10.36418/syntax-literate.v7i1.6055

CITATIONS READS

4 7,665

1 author:

Ulfi Putra Sany


Universitas Islam Negeri Salatiga
3 PUBLICATIONS 32 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ulfi Putra Sany on 03 February 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849
e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022

GANGGUAN KECEMASAN DAN DEPRESI MENURUT PERSPEKTIF AL


QUR’AN

Ulfi Putra Sany


IAIN Salatiga (Institut Agama Islam Negeri Salatiga), Indonesia
Email: ulfiputra@iainsalatiga.ac.id

Abstrak
Gangguan kesehatan mental merupakan masalah serius yang membutuhkan solusi
terbaik guna mengurangi dampak negatifnya. Di antara berbagai gangguan
kesehatan mental yang memiliki prevalensi tertinggi adalah gangguan kecemasan
dan depresi. Dua gangguan ini merupakan yang lumrah dialami oleh masyarakat
dunia, tidak terkecuali masyarakat Indonesia. Pandemi yang terjadi makin menjadi
faktor yang dapat memicu terjadinya gangguan kesehatan mental. Islam mengakui
pentingnya kesehatan mental bagi umat manusia. Islam bahkan menjadikan
pemeliharaan kesehatan mental sebagai salah satu maqasid yang harus dijaga. Islam
memberikan tuntunan bagi penanganan gangguan kecemasan dan depresi itu di
dalam Al Qur’an. Setidaknya ada tiga terapi bagi gangguan kecemasan dan depresi
dalam Al Qur’an, yaitu terapi zikir, terapi Al Qur’an dan terapi doa. Terapi zikir,
terapi Al Qur’an dan terapi doa dapat memberikan perasaan optimis dan
mengurangi emosi negatif yang sering dikaitkan dengan gangguan kecemasan dan
depresi.

Kata kunci: kecemasan; depresi; alquran

Abstract
Mental health disorder is a serious problem that requires the best solution to
reduce its negative impact. Among the various mental health disorders that have
the highest prevalence are anxiety disorders and depression. These two disorders
are the most common mental disorders experienced by people all over the world,
including the people of Indonesia. The ongoing pandemic is becoming a factor that
can trigger mental health disorders. Islam recognizes the importance of mental
health for mankind. Islam even makes mental health maintenance one of the
maqasid that must be maintained. To realize the benefits of mental health for
mankind, Islam provides guidelines for dealing with anxiety and depression
disorders in the Qur'an. There are at least three therapies for anxiety and
depression disorders in the Qur'an, namely zikir therapy, Qur'an therapy, and doa
therapy. Zikir therapy, Qur'an therapy, and doa therapy can provide a feeling of
optimism and reduce negative emotions that are often associated with anxiety
disorders and depression. These three therapies can reduce the level of anxiety and
depression in sufferers.

Keywords: worry; depression; Al-Qur'an

How to cite: Sany. U. P. (2022) Gangguan Kecemasan dan Depresi Menurut Perspektif Al Qur’an, Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia, 7(1).
E-ISSN: 2548-1398
Published by: Ridwan Institute
Gangguan Kecemasan dan Depresi Menurut Perspektif Al Qur’an

Pendahuluan
Kesehatan mental dan masalah-masalah psikososial merupakan masalah serius
dan membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Menurut data dari Balitbangkes,
jumlah rumah tangga dengan anggota yang memiliki gangguan jiwa berat di Indonesia
mencapai 1,7 per mil. Dengan kata lain, setidaknya 1-2 orang per 1000 penduduk
Indonesia menderita gangguan jiwa berat. Di tahun 2013, dilaporkan bahwa jumlah
penderita gangguan jiwa yang menerima layanan terapi oleh petugas kesehatan adalah
kurang dari 10%. Sebuah angka yang bisa dikatakan masih jauh dari ideal. Pada tahun
2018, dalam survei yang dilakukan oleh Riset Kesehatan Dasar, angka prevalensi
gangguan jiwa berat penduduk Indonesia meningkat signifikan menjadi 7 per mil. Hal
ini berarti, 7 dari 1000 penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa berat, atau
meningkat 311% dibandingkan angka di tahun 2013. Peningkatan ini menunjukkan
bahwa masalah kesehatan mental tidak bisa dianggap remeh (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2018).
Pada level global, dari tiap 100 orang penduduk tidak kurang dari 6 orang
menderita gangguan kesehatan mental atau mengalami ketergantungan obat-obatan dan
alkohol (Baasher, 2001). Berbagai faktor sosial, psikologis, dan biologis mempengaruhi
tingkat kesehatan mental seseorang. Misalnya, tindak kekerasan dan tekanan sosial-
ekonomi yang terus-menerus disebut sebagai faktor risiko bagi munculnya gangguan
kesehatan mental. Kesehatan mental yang buruk juga dikaitkan dengan kondisi kerja
yang penuh tekanan, gaya hidup tidak sehat, diskriminasi gender, perubahan sosial
yang cepat, pengucilan sosial, kesehatan fisik yang buruk, dan pelanggaran hak asasi
manusia (World Health Organization, 2018).
Kesehatan mental juga memiliki korelasi dengan tindak kekerasan dan terorisme.
Beberapa studi yang telah meneliti peran masalah kesehatan mental dalam proses
radikalisasi menunjukkan hubungan antara gangguan kesehatan mental dan
ekstremisme. Studi ini juga menunjukkan bahwa kesehatan mental yang buruk membuat
penderitanya lebih rentan terpapar paham dan ideologi ekstremis dan mengurangi
kemampuannya untuk melawan wacana radikal, dan pengaruh atau manipulasi dari
perekrut ekstremis. Orang-orang yang memiliki gangguan kesehatan mental sulit
mempertahankan pekerjaan dan membina hubungan sosial yang positif, dan mungkin
mengalami pengucilan oleh jejaring sosial konvensional. Hal ini dapat menimbulkan
perasaan termarginalisasi yang dapat membuat pengaruh wacana-wacana ekstremis
lebih kuat (Copeland & Marsden, 2020).

Syntax Literate, Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022 1263


Ulfi Putra Sany

Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan tafsir tematik
atau tafsir maudhu’i. Metode tafsir maudhu’i atau menurut Muhammad Baqir al-Shadr
sebagai metode al-Taukhidiy adalah metode tafsir yang mencoba mengeksplorasi
perspektif al-Qur’an terhadap suatu topik atau permasalahan. Metode ini ditempuh
dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang sama,
atau berkaitan dengan topik dan permasalahan tertentu. Kemudian menafsirkannya
dengan memperhatikan sebab-sebab turunnya, kaitannya dengan ayat-ayat yang lain dan
memperhatikan sumber-sumber lain seperti hadis Nabi SAW (Khilmi Hidayatulloh,
2019).
Metodologi tafsir tematik atau tafsir maudhu’i adalah sebagai respons mufassir
atas persoalan yang membutuhkan perspektif al-Qur’an sebagai solusinya. Metode ini
dinilai sebagai metode yang paling sesuai untuk menjawab permasalahan baru yang
tidak ditemukan kejadiannya di masa Nabi SAW, atau permasalahan yang
membutuhkan insight dari berbagai bidang ilmu (Yamani, 2015).

Hasil dan Pembahasan


1. Hakikat Kesehatan Mental
Kesehatan adalah keadaan sejahtera fisik, mental, dan sosial yang utuh, dan
bukan hanya bebas dari penyakit atau kelemahan (World Health Organization, 2004).
Kata mental berasal dari Bahasa Inggris mental yang artinya berkaitan dengan
pikiran, atau melibatkan proses berpikir. Kata ini diserap ke dalam Bahasa Indonesia
yang artinya batin atau watak, atau berkaitan dengan batin dan watak manusia, yang
bukan bersifat badan atau tenaga.
WHO sendiri memberikan definisi kesehatan mental sebagai sebuah keadaan
yang sejahtera di mana individu menyadari kemampuannya, dapat mengatasi tekanan
kehidupan yang normal, dapat bekerja secara produktif dan mampu memberikan
kontribusi kepada komunitasnya (World Health Organization, 2018). Pemerintah
Indonesia melalui UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa telah
mendefinisikan kesehatan mental atau kesehatan jiwa sebagai kondisi di mana
seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual dan sosial sehingga
individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat
bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Pemerintah Indonesia sendiri melalui undang-undang tersebut menjamin agar
setiap orang mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang
sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu
kesehatan jiwa. Undang-undang tersebut juga bertujuan menjamin setiap orang dapat
mengembangkan potensi kecerdasan dan keterampilannya. Untuk mewujudkan hal
tersebut, pemerintah memberikan pelindungan dan menjamin pelayanan kesehatan
jiwa bagi ODMK (orang dengan masalah kejiwaan) dan ODGJ (orang dengan
gangguan kejiwaan) berdasarkan hak asasi manusia. Pelayanan ini diberikan secara

1264 Syntax Literate, Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022


Gangguan Kecemasan dan Depresi Menurut Perspektif Al Qur’an

terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan melalui berbagai upaya, seperti


menjamin ketersediaan sumber daya dalam upaya kesehatan jiwa; meningkatkan
mutu upaya kesehatan jiwa sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Pieper dan van Uden mendefinisikan kesehatan mental sebagai suatu keadaan di
mana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri,
memiliki estimasi yang realistis terhadap dirinya sendiri dan dapat menerima
kekurangan atau kelemahannya, mampu menghadapi masalah-masalah dalam
hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki
kebahagiaan dalam hidupnya (Pieper & van Uden, 2005).
Zakiah Daradjat (dalam Fuad, 2016) mengemukakan sebuah rumusan kesehatan
jiwa sebagai berikut.
1. Kesehatan mental adalah terhindarnya orang dari gejala gangguan jiwa dan dari
gejala-gejala penyakit jiwa. Definisi ini banyak dianut di kalangan psikiatri
(kedokteran jiwa) yang memandang manusia dari sudut pandang kesehatan jiwa.
2. Kesehatan mental adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya
sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan tempat ia hidup.
Pengertian ini lebih umum daripada pengertian yang pertama, karena berkaitan
dengan kehidupan sosial seorang individu. Kemampuan menyesuaikan diri
diharapkan akan menimbulkan ketenteraman dan kebahagiaan hidup.
3. Kesehatan mental berarti terwujudnya harmoni antara fungsi-fungsi jiwa, serta
adanya kemampuan untuk menghadapi masalah dan tantangan normal, serta
terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Definisi ini
menunjukkan bahwa fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap,
pandangan dan keyakinan harus saling menunjang dan bekerja sama sehingga
menciptakan keharmonisan hidup.
4. Kesehatan mental merupakan pemahaman dan perbuatan yang bertujuan untuk
mengembangkan dan memanfaatkan potensi, bakat dan pembawaan yang ada
semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan orang lain,
serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.
2. Depresi
Depresi adalah respons yang normal terhadap berbagai tekanan kehidupan.
Depresi dianggap abnormal apabila terjadi di luar kewajaran dan berlanjut melebihi
batas di mana mayoritas orang sudah dapat pulih kembali. Chaplin dalam
Dirgayunita (2016) mendefinisikan depresi pada dua keadaan, yaitu depresi pada
orang normal dan pada kasus patologis. Pada orang normal, depresi merupakan
keadaan kemurungan yang ditandai dengan perasaan tidak nyaman, menurunnya
produktivitas, dan pesimisme menghadapi masa depan. Sedangkan pada kasus
patologis, depresi merupakan keengganan yang ekstrem untuk bereaksi terhadap
stimulus, disertai turunnya nilai diri, delusi negatif, perasaan tidak mampu dan putus
asa.

Syntax Literate, Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022 1265


Ulfi Putra Sany

Depresi adalah keadaan emosional yang diketahui, namun tidak dialami oleh
semua orang. Depresi adalah keadaan yang menguras energi, dan menempatkan
penderitanya dalam emosi negatif, dan jauh dari semua alasan positif untuk bahagia.
Depresi juga didefinisikan dengan elegan oleh ulama besar muslim, Abu Zaid al-
Balkhi, dalam bukunya Masalih al-Abdan wa al-Anfus. Abu Zayd mengungkapkan
bahwa depresi adalah keadaan kegelisahan yang dapat dijelaskan sebagai kesedihan
yang paling mendalam. kegelisahan seperti nyala api yang menyala, dan kesedihan
seperti bara api yang tersisa setelah nyala api ini padam (Bulut et al., 2021).
Menurut Beck (Beck et al., 1985), depresi merupakan sebuah “primary mood
disorder” atau sebagai suatu “affective disorder”. Depresi memiliki beberapa
komponen. Komponen yang pertama yaitu komponen afektif di mana penderitanya
merasakan kesedihan yang berkepanjangan dan keadaan jiwa yang apatis. Komponen
kognitif adalah cara berpikir yang salah dalam memandang realitas di luar dan di
dalam diri sendiri, sehingga terbentuk konsep diri yang negatif yang berlanjut pada
perasaan rendah diri. Di samping itu, aspek fisiologis juga terpengaruh yang antara
lain menyebabkan insomnia, rendahnya nafsu makan serta hilangnya gairah seksual.
Aspek perilaku juga terdampak dengan hilangnya kemampuan untuk berfungsi secara
wajar serta rendahnya dorongan dan energi untuk bertindak.
Lebih jauh, Beck menerangkan bahwa kognisi negatif adalah sumber primer
depresi. Orang yang sedang mengalami depresi biasanya mempunyai pandangan diri
yang negatif. Pandangan negatif ini juga dapat mengenai dunianya dan mengenai
masa depannya. Orang yang mengalami depresi mengambil kesimpulan yang salah
sebagai akibat dari penilaian negatif dirinya, dunianya dan masa depannya.
Akibatnya, suasana hatinya menjadi murung, kemampuannya menurun drastis,
dirinya menolak harapan-harapan dan mungkin mempunyai pikiran untuk menyakiti
diri sendiri.
Beck menghubungkan tingkat depresi dengan gejala-gejala antara lain,
menurunnya selera makan, gangguan tidur, hilangnya gairah seksual, dan kelelahan
yang tinggi.
3. Kecemasan
Kecemasan atau anxiety adalah salah satu gangguan kesehatan mental yang
paling banyak ditemui (Kessler et al., 2005). Kecemasan atau anxiety adalah respons
manusia terhadap ancaman atau bahaya. Setiap pengalaman kecemasan melibatkan
persepsi bahaya dan pikiran tentang bahaya (Moss, n.d.). Nevid dkk. menjelaskan
bahwa kecemasan adalah suatu keadaan emosional yang mempunyai ciri
keterangsangan fisiologis, perasaan tegang yang tidak menyenangkan, dan perasaan
aprehensif bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi (Nevid et al., 2014). Menurut Gail
W. Stuart, kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, dan
berkaitan dengan perasaan ketidakpastian dan ketidakberdayaan (Stuart, 2013).
Dewasa ini, gangguan kecemasan telah menjadi masalah kesehatan mental
global. Gangguan kecemasan juga membebankan biaya besar pada masyarakat.
Mengingat efek pribadi dan sosial yang merugikan dari gangguan kecemasan, beban

1266 Syntax Literate, Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022


Gangguan Kecemasan dan Depresi Menurut Perspektif Al Qur’an

ekonomi dari kecemasan sangat besar, baik dalam beban biaya langsung layanan
maupun biaya tidak langsung yang bersumber dari hilangnya produktivitas.
Kecemasan dalam satu penelitian di Amerika mengakibatkan sekitar 60,4 juta hari
per tahun dalam penurunan produktivitas, yang setara dengan tingkat penurunan
produktivitas yang terkait dengan pneumonia. Berdasarkan penelitian, beban tahunan
di Amerika Serikat yang disebabkan oleh gangguan kecemasan mencapai 42 miliar
dolar (Greenberg et al., 1999). Indonesia juga mencatat prevalensi gangguan jiwa
yang mengkhawatirkan. Di tahun 2020 setidaknya 18.373 jiwa mengalami gangguan
kecemasan, lebih dari 23.000 menderita depresi dan sekitar 1.193 jiwa melakukan
percobaan bunuh diri (antaranews.com, 2021).
Kecemasan adalah hal yang lumrah dan normal, sebagai respons manusia
terhadap ancaman dan kekhawatiran. Kecemasan bahkan bisa merupakan hal yang
positif karena membuat manusia lebih berhati-hati dalam menjalankan hidupnya.
Contohnya, kecemasan mungkin membuat seseorang menjalani medical check-up
karena khawatir akan kesehatannya. Contoh lain adalah seorang mahasiswa yang
belajar sebelum menempuh ujian karena khawatir tidak mendapatkan hasil maksimal
dalam ujian. Kecemasan menjadi masalah ketika dirasakan tidak proporsional, atau
jauh lebih besar dari yang seharusnya, atau ketika kecemasan ini dirasakan tanpa
adanya stimulus atau ancaman yang benar-benar terjadi. Respons kecemasan yang
abnormal ini bisa menyebabkan tekanan terhadap kesehatan mental seseorang.
Respons abnormal ini dinamakan gangguan kecemasan atau anxiety disorder (Nevid
et al., 2014).
Clark dan Beck menyebutkan beberapa gejala kecemasan, antara lain gejala
fisiologis: jantung berdebar, sesak nafas, berkeringat, nyeri dada, menggigil, gemetar,
mulut kering dan pingsan. Gejala afektif yaitu meliputi mudah tersinggung, gugup,
gelisah dan tegang. Gejala berikutnya yaitu meliputi aspek kognitif seperti rasa takut
tidak dapat menyelesaikan masalah, takut mendapatkan komentar dan umpan balik
yang negatif, kurang konsentrasi dan fokus, serta sulit melakukan penalaran. Respons
perilaku yang biasanya berkaitan dengan gangguan kecemasan adalah kecenderungan
menghindari situasi yang mengancam, mencari perlindungan, dan kesulitan bicara
(Clark & Beck, 2011).
Gail W. Stuart (2013) mengelompokkan gejala kecemasan dalam respons
perilaku, kognitif, dan afektif.
Respons perilaku, di antaranya gelisah, ketegangan fisik, tremor atau gemetar,
bicara dengan cepat, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri dari
masalah, hiperventilasi, dan kewaspadaan yang berlebihan.
Respons kognitif di antaranya: perhatian yang mudah terganggu, konsentrasi
yang buruk, kecenderungan melupakan sesuatu, hambatan berpikir, menurunnya
jangkauan persepsi, menurunnya kreativitas dan produktivitas, mudah bingung,
kewaspadaan yang berlebihan, kehilangan objektivitas, timbulnya perasaan takut
kehilangan kontrol, ketakutan yang tidak wajar terhadap cedera atau kematian,
meningkatnya frekuensi kilas balik, dan mengalami mimpi buruk.

Syntax Literate, Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022 1267


Ulfi Putra Sany

Respons afektif di antaranya: mudah tersinggung, tidak sabar, gelisah, tegang,


gugup, ketakutan, waspada yang berlebihan, kengerian, kekhawatiran yang di luar
kewajaran, rasa bersalah, dan rasa malu yang berlebihan.
Terdapat beberapa jenis gangguan kecemasan yang sulit untuk didiagnosis dan
sulit dibedakan dari kondisi kesehatan mental lainnya (Baxter et al., 2014).
Gangguan kecemasan, atau bahkan hanya gejala kecemasan, dikaitkan dengan
penurunan kualitas hidup fungsi sosial dan pekerjaan yang signifikan (Mendlowicz,
2000). Dalam sebuah studi metaanalitik dari 23 penelitian, Olatunji. Cisler dan Tolin
mengemukakan bahwa penderita gangguan kecemasan mengalami penurunan
kualitas hidup (quality of life) dibandingkan dengan populasi kontrol. Penurunan
kualitas hidup ini ditemukan dalam seluruh jenis gangguan kecemasan (Olatunji et
al., 2007).
Tidak ada jawaban jelas mengenai penyebab gangguan kecemasan. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa terdapat sejumlah hal yang disinyalir menjadi faktor
penyebab gangguan kecemasan. Tidak berbeda dengan gangguan kesehatan mental
lainnya, gangguan kecemasan dapat disebabkan oleh kombinasi dari beberapa faktor,
di antaranya faktor biologis dan faktor psikologis. Pengalaman hidup yang berat
seperti kejadian dalam hidup yang traumatis, masalah perkembangan anak,
penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan, serta masalah kesehatan mental yang lain.
Kecemasan bisa berasal dari faktor eksternal dan internal seseorang. Ramaiah
(dalam Nugraha, 2020) menjelaskan bahwa faktor eksternal antara lain lingkungan di
mana kita tinggal yang memberi warna pola berpikir seseorang mengenai diri sendiri
ataupun orang lain. Peristiwa ini disebabkan adanya peristiwa dan pengalaman yang
kurang menyenangkan pada seseorang terhadap keluarga, teman, atau dengan teman
kerja. Akibatnya seseorang tersebut merasa insecure terhadap lingkungan tempat
tinggalnya. Selanjutnya faktor internal adalah perasaan yang tidak diungkapkan dan
di-repress. Kecemasan dapat terjadi jika seseorang kurang mampu menemukan
solusi untuk perasaannya sendiri, terutama jika dirinya memendam perasaan marah
atau frustrasi dalam tempo yang panjang. Faktor lainnya adalah hal- hal mengenai
tubuh dan pikiran selalu saling terhubung dan mampu menimbulkan kecemasan.
Peristiwa ini biasa terjadi pada peristiwa-peristiwa dalam kehidupan seperti pada saat
hamil, sewaktu remaja dan setelah pulih dari sebuah penyakit atau cedera. Setelah
mengalami peristiwa-peristiwa tersebut kecemasan adalah hal yang lumrah terjadi.
4. Depresi dan kecemasan dalam Al Qur’an
Istilah yang terkait dengan kecemasan dan depresi telah banyak disebut dalam
Al-Qur'an. Istilah kecemasan dan depresi juga disebutkan bersamaan dalam satu ayat
di banyak tempat dalam Al Qur’an. Istilah yang terkait dengan kecemasan dan
depresi disebutkan secara bersama dalam 12 ayat di dalam Al Qur’an. Di mana 6 ayat
di antaranya terdapat dalam Surat Al Baqarah. Ayat-ayat tersebut adalah QS. 2: 38,
62, 112, 262, 274, dan 277, QS. 3: 170. QS. 5: 69. QS 6: 48. QS 7: 35, 49. Dan QS
10: 62. Banyaknya penyebutan kedua gangguan kesehatan mental ini secara bersama-
sama menunjukkan perhatian Al Qur’an terhadap dua gangguan kesehatan mental ini.

1268 Syntax Literate, Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022


Gangguan Kecemasan dan Depresi Menurut Perspektif Al Qur’an

Al Qur’an ingin menyampaikan bahwa kecemasan dan depresi merupakan emosi


terkuat yang mempengaruhi kehidupan manusia. Di samping itu, kecemasan dan
depresi mewakili dua kutub waktu di mana kecemasan merupakan emosi negatif
manusia yang terkait dengan masa yang akan datang, sedangkan depresi umumnya
terkait dengan masa lalu.
Allah SWT berbicara tentang kecemasan (khauf) dalam bentuk kata benda dan
berbicara tentang kesedihan (huzn) dalam bentuk kata kerja. Hal ini menunjukkan
bahwa rasa takut dan cemas adalah respons manusia terhadap bahaya dan ancaman,
serta merupakan sebuah reaksi bawah sadar. Karenanya rasa takut dan cemas yang
normal tidak berada dalam kendali manusia. Karena itu, di dalam Al Qur’an
ketakutan dan kecemasan banyak disebutkan menggunakan bentuk kata benda
(khauf) Di lain pihak, kesedihan dan perasaan depresi merupakan tindakan sadar.
Satu orang bisa berduka dan yang lain mungkin tidak berduka dalam keadaan yang
sama, oleh karena itu, itu datang dalam bentuk kata kerja (yahzan).
Selain itu, akibat yang ditimbulkan oleh rasa takut lebih besar daripada akibat
yang disebabkan oleh kesedihan, dan itulah sebabnya Allah menghadirkan
penyebutan rasa takut di atas penyebutan kesedihan. Penyebutan kata yang terkait
dengan kecemasan dan ketakutan dalam Al Qur’an juga lebih banyak jika
dibandingkan dengan kata yang terkait dengan kesedihan.
Al Qur’an menggunakan kata huzn dan berbagai derivasinya untuk
menggambarkan kesedihan dan depresi. Kata huzn dalam Al Qur’an disebutkan
dalam 42 tempat. Mayoritas kata huzn dalam Al Qur’an yang terdapat dalam Al
Qur’an berbentuk fi’l mudhari’ bercorak negatif atau larangan, dan beberapa dalam
bentuk isim atau kata benda (Abdul-Baqi, 1945). Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, seorang
ulama abad ke-8 H mengatakan bahwa kata huzn dalam Al Qur’an seluruhnya dalam
bentuk negatif (menidakkan) atau bentuk larangan (Ibnu-Qayyim, 1996), namun
penulis menemukan lima ayat yang mengandung kata huzn dalam bentuk kata benda
yang bukan dalam bentuk negatif dan larangan,1 dan satu ayat yang mengandung kata
huzn dalam bentuk fi’l mudhari’, bukan dalam bentuk negatif dan larangan.2
Perasaan sedih dan depresi akan dirasakan oleh manusia berkaitan dengan
sejumlah persoalan yang dihadapi atau menghampirinya. Dalam Al Qur’an
disebutkan sejumlah faktor penyebab munculnya rasa sedih dan depresi dalam jiwa
manusia, di antaranya adalah diusir dari tempat tinggal dan negeri kediaman, tidak
merasakan kenikmatan hidup, ketidakmampuan menjaga kenyamanan tamu, tidak
diterimanya dakwah, perpisahan dengan atau khawatir akan keselamatan anak,
penghinaan dan perbuatan licik orang-orang kafir terhadap Al Qur’an, ditimpa
bencana, tidak taat kepada perintah Rasul, kecemasan berkaitan dengan peristiwa
hari pembalasan, ancaman azab neraka. rasa sakit menjelang melahirkan anak,
perceraian, pembicaraan rahasia, teman-teman yang tidak mau berjihad di jalan-Nya,
kesesatan, siksa dan dosa, orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak berbuat
1
QS Yusuf:84, 86, QS Fathir: 34, QS At-Taubah 92, QS Al-Qasas:8
2
QS Yusuf: 13

Syntax Literate, Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022 1269


Ulfi Putra Sany

kebajikan, tidak memiliki harta dan kendaraan untuk dinafkahkan guna keperluan
perang, dan kedurhakaan atau ketidaktaatan anak terhadap orang tua (Tampubolon,
2020).
Al Qur’an menggunakan kata khauf dan berbagai derivasinya untuk
menggambarkan kecemasan dan ketakutan. Kata khauf dalam Al Qur’an disebutkan
pada 124 tempat (Abdul-Baqi, 1945).
Kata Khauf berasal dari kata kha, waw dan fa’ yang merujuk kepada makna
ketakutan dan keterkejutan. Raghib al-Ashfahani menyebutkan bahwa khauf
memiliki arti antisipasi diri manusia terhadap bahaya atau hal yang tidak diinginkan
dari tanda atau informasi yang diprediksi. Al-Ashfahani menganggap bahwa khauf
itu bersifat naluriah, ia selalu mendampingi manusia kapan dan di mana saja berada.
Al Qur’an menggunakan kata khauf dengan berbagai derivasinya yang berarti
takut kepada Allah sebanyak 14 kali. Di samping itu, kata khauf juga digunakan
dengan makna ketakutan akan azab di dunia dan di akhirat sebanyak 28 kali.
5. Korelasi Antara Religiositas Dan Kesehatan Mental
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang religius. Identitas religius
masyarakat Indonesia ini sejak lama ada dalam kehidupan bangsa-bangsa di Asia
Tenggara, bahkan sebelum menjadi negara-negara yang merdeka (Zulkarnain, 2017).
Agama merupakan faktor pendukung yang menunjang pemeliharaan kesehatan
mental bagi pemeluk-pemeluknya. Abdel-Khalek menjelaskan bahwa religiositas
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan mental dan tingkat
religiositas yang tinggi adalah indikator tingginya kesehatan mental dan kebahagiaan
seseorang (Abdel-Khalek, 2019). Ada korelasi positif antara religiositas dengan
kesehatan mental dan kebahagiaan, dan korelasi negatif antara keberagamaan dan
masalah kesehatan mental (Abdel-Khalek, 2011). Tiliouine dkk. mengatakan bahwa
religiositas dan kesehatan mental mempunyai korelasi yang kuat (Tiliouine et al.,
2009). Studi pada masyarakat Indonesia menunjukkan korelasi yang kuat antara
religiositas dengan kesehatan mental dan kebahagiaan (Akhyar et al., 2019; Fitriani,
2016; Hamidah et al., 2019; Nasution & Fakhrurrozy, 2018; Saifuddin & Andriani,
2018). Di samping itu, sejumlah penelitian (Lucia & Kurniawan, 2017; Rachman et
al., 2018; Risnawati et al., 2019; Suryaman et al., 2013) menunjukkan korelasi positif
antara religiositas dan ketahanan atau kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh
dalam situasi sulit (Reivich & Shatté, 2002).
Korelasi positif antara religiositas dan kesehatan mental dan ketahanan tidak
hanya ditemukan pada masyarakat yang beragama Islam, akan tetapi juga ditemukan
pada masyarakat yang beragama lain (Daniele Mugnaini, 2015; Edara et al., 2021;
Foy et al., 2011; Schwalm et al., 2021).
Dalam agama Islam, aspek mental manusia mempunyai kedudukan yang penting
dan mendapatkan perhatian. Di dalam terminologi Al Qur’an terdapat beberapa
istilah yang berkaitan dengan istilah mental. Di antaranya adalah nafs yang berarti
jiwa, dan ‘aql yang berarti akal pikiran. Kata nafs dan berbagai derivasinya
disebutkan di dalam Al Qur’an sebanyak 196 kali, sedangkan kata ‘aql dan

1270 Syntax Literate, Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022


Gangguan Kecemasan dan Depresi Menurut Perspektif Al Qur’an

derivasinya disebutkan sebanyak 49 kali (Abdul-Baqi, 1945). Imam Al Ghazali


menyebut akal manusia sebagai “karakteristik manusia yang paling mulia (al-
Ghazali, n.d.).”
Islam mendudukkan kesehatan mental (hifz al ‘Aql) sebagai salah satu dari 5
maqashid utama yang merupakan ruh dari syari’at islam (maqashid syari’ah). Islam
menjadikan hifz al ‘aql sebagai maqashid syari’ah yang ketiga, setelah hifz ad din
(memelihara agama) dan hifz an nafs (memelihara nyawa dan kehidupan). Hal ini
menunjukkan kepada kita sejauh mana Islam memandang kesehatan mental.
Memelihara agama adalah yang pertama; karena itulah tujuan penciptaan manusia.
Memelihara nyawa dan kehidupan adalah yang kedua; karena nyawa dan kehidupan
adalah wadah yang memelihara badan, hati dan pikiran. Memelihara pikiran dan
mental berada di tempat ketiga, karena akal pikiran adalah sarana untuk menerima
ilmu dan memahami perintah dan larangan Allah.
Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, kebenarannya bersifat hakiki dan tidak
ada keraguan di dalamnya. Al Qur’an diturunkan oleh Allah SWT sebagai kitab suci
yang berisi petunjuk dan hidayah bagi umat manusia. Di dalam Al Qur’an sendiri
banyak terdapat ayat-ayat yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan mental dan
terapi gangguan kecemasan dan depresi sebagai sesuatu yang hendak dicapai oleh
setiap manusia.
Muhammad Utsman Najati, berpendapat bahwa Al-Quran diturunkan untuk
mengarahkan pikiran manusia, kecenderungan dan tingkah lakunya. Al Qur’an juga
turun dengan tujuan memberi petunjuk pada manusia, mengarahkan manusia kepada
yang lebih baik dan membekali manusia dengan pikiran-pikiran baru tentang tabiat
manusia. Al-Quran berhasil membentuk kepribadian manusia yang utuh dan
seimbang, sehingga manusia terhindar dari gejala-gejala terganggunya jiwa yang
mengakibatkan terganggunya perilaku manusia tersebut.
Lebih lanjut, Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: masa mudamu sebelum masa
tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu
sebelum waktu sempitmu, dan hidupmu sebelum kematianmu." Diriwayatkan oleh
Abdullah Ibnu Abbas sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Dunya (1995).
Memanfaatkan hidup sebelum mati bisa mengacu pada menjaga kesejahteraan dan
kesehatan mental yang tinggi karena tanpa kesehatan mental yang optimal seseorang
tidak dapat menyadari dan memenuhi potensinya. Itulah sebabnya menjaga kondisi
mental yang baik juga dapat dianggap sebagai tindakan ibadah.
6. Terapi Gangguan Kecemasan Dan Depresi Dalam Al Qur’an
Al Qur’an Telah Memberikan Beberapa Terapi Yang Bisa Menjadi Solusi
Dalam Menangani Gangguan Kecemasan Dan Depresi.
7. Terapi Zikir
Salah satu terapi gangguan kesehatan mental yang disebutkan dalam Al Qur’an
adalah berzikir mengingat Allah. Allah berfirman dalam QS Ar Ra’d: 28 “(yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat

Syntax Literate, Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022 1271


Ulfi Putra Sany

Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” Zikir
mempengaruhi dinamika psikologis seseorang. Zikir dapat membuat hati menjadi
tenang. Hati yang tenang berakibat kepada bersihnya pikiran dan sehatnya jasmani.
Zikir akan membawa pemikiran dan kondisi jiwa seseorang menjadi terarah dan
seimbang (Sumarni, 2020). Dengan berzikir, seseorang akan merasakan kedekatan
dirinya dengan Sang Pencipta, serta merasakan penjagaan perlindungan dari-Nya.
Hal ini lebih lanjut akan menimbulkan percaya diri, kekuatan, perasaan aman,
tenteram dan bahagia. Timbulnya perasaan-perasaan ini dalam diri seseorang dapat
menjaga mental dan memelihara kesehatan jiwanya. Zikir merupakan terapi yang
efektif dalam menangani gangguan kecemasan dan depresi.
Fitriani dan Supradewi (2019) melakukan penelitian mengenai terapi relaksasi
zikir terhadap pasien kasus gangguan fobia, salah satu jenis gangguan kecemasan
(anxiety). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti sampai pada kesimpulan
bahwa terapi relaksasi Zikir dapat menurunkan kecemasan penderita fobia yang pada
akhirnya menurunkan tingkat fobia pasien. Pada penelitian ini juga ditemukan
penurunan gejala kecemasan sesudah mengikuti terapi. Salah satu subjek yang diteliti
mengalami perubahan tingkat fobia dari berat menjadi sedang. Terdapat juga pasien
yang mengalami penurunan tingkat fobia berat menjadi fobia ringan. Relaksasi yang
disertai dengan Zikir mendorong munculnya rasa berserah diri pada Sang Pencipta,
hilangnya perasaan sendiri (loneliness), dan munculnya pemikiran bahwa Allah akan
selalu bersama kita. Perasaan-perasaan tersebut memperkuat kondisi nyaman yang
ditimbulkan saat proses relaksasi, yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat
kecemasan.
8. Terapi Al Qur’an
Terapi dengan Al Qur’an maksudnya adalah menggunakan Al Qur’an sebagai
media atau cara memberikan pelayanan penyembuhan pada gangguan kesehatan,
baik kesehatan fisik maupun psikis. Allah berfirman dalam Al Qur’an, “Hai manusia!
Telah datang nasihat dari Tuhanmu sekaligus sebagai obat bagi hati yang sakit,
petunjuk serta rahmat bagi yang beriman.” QS. Yunus: 57. Terapi menggunakan Al-
Qur’an dibagi menjadi dua cara yaitu dengan membaca dan menyimak bacaan Al
Qur’an.
Sebuah penelitian dilakukan oleh Mashitah & Lenggono (2020), mengenai
pengobatan dengan pembacaan Al Qur’an dan dampaknya terhadap depresi pada
pasien yang menjalani sesi pengobatan hemodialisis. Dalam penelitian tersebut
ditemukan bahwa dengan menerapkan bacaan Al-Qur'an kepada pasien selama
perawatan, pasien menunjukkan penurunan yang signifikan dari tingkat depresi,
mereka juga menunjukkan peningkatan kualitas spiritual hidup mereka. Menariknya,
pembacaan Alquran selama perawatan medis tidak hanya mengurangi tingkat depresi
tetapi juga memiliki pengurangan tingkat kecemasan yang efektif.
Lebih jauh, pembacaan dan pemaknaan Al Qur’an mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap penurunan tingkat kecemasan dan depresi. Hal ini terjadi karena
seseorang selain mendapatkan ketenangan dalam membaca Al-Qur’an yang

1272 Syntax Literate, Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022


Gangguan Kecemasan dan Depresi Menurut Perspektif Al Qur’an

dilakukan berulang-ulang namun juga mengalami masukan kognitif dari ayat-ayat


Al-Qur’an yang dibaca, dihafalkan, dan dimengerti arti dan maknanya sehingga
memiliki pemahaman yang tepat dalam menilai permasalahan dan mendapatkan
insight dari makna kandungan Al-Qur’an.
9. Terapi Doa
Doa mengandung kekuatan spiritual yang dapat meningkatkan rasa percaya diri
dan optimisme, dua hal yang esensial untuk memelihara mental yang sehat. Metode
doa dapat memelihara rasa optimis di dalam diri serta menjauhkan rasa pesimis dan
putus asa. Lebih dari itu, doa memainkan peranan penting dalam penciptaan
kesehatan mental dan semangat hidup. Doa mempunyai makna penyembuhan bagi
stres dan gangguan kejiwaan. Doa juga mengandung manfaat untuk pencegahan
terhadap terjadinya keguncangan jiwa dan gangguan kejiwaan. Lebih dari itu, doa
mempunyai manfaat bagi pembinaan dan peningkatan semangat hidup. Atau dengan
kata lain, doa mempunyai fungsi kuratif, preventif dan konstruktif bagi kesehatan
mental (Samsidar, 2020).
Doa yang berkualitas tinggi akan menimbulkan di dalam jiwa pasien perasaan
kehadiran Allah SWT., kedamaian, ketenangan, semangat hidup, sugesti dan
motivasi yang positif, rasa optimis, dan rasa percaya diri. Semuanya ini merupakan
unsur-unsur yang penting bagi penyembuhan gangguan kecemasan dan depresi.
Sedang bagi terapis doa yang berkualitas tinggi akan mempunyai efek yang sangat
besar untuk membantu memelihara mental.
Berdoa dan mendengarkan doa-doa dapat menurunkan tingkat kecemasan secara
signifikan. Pada sebuah penelitian, ditemukan bahwa terapi doa dapat menurunkan
tingkat kecemasan. Skor kecemasan pada pasien hemodialisis sebelum dan sesudah
mendengarkan doa mengalami penurunan yang signifikan (Alivian et al., 2019).

Kesimpulan
Kecemasan dan depresi merupakan dua gangguan kesehatan mental yang banyak
menjangkiti masyarakat dunia, tidak terkecuali masyarakat Indonesia. Islam
memandang bahwa kesehatan mental merupakan hal utama yang harus dijaga dan
dipelihara demi kesejahteraan dan maslahat umat manusia. Oleh karena itu, menjaga
kesehatan mental merupakan bagian dari ibadah. Al Qur’an memberikan solusi untuk
memelihara mental dari gangguan kecemasan dan depresi, yaitu terapi zikir, terapi Al
Qur’an dan terapi doa.

Syntax Literate, Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022 1273


Ulfi Putra Sany

BIBLIOGRAFI

Abdel-Khalek, A. M. (2011). Islam And Mental Health: A Few Speculations. Mental


Health, Religion & Culture, 14(2), 87–92.
Https://Doi.Org/10.1080/13674676.2010.544867. Google Scholar

Abdel-Khalek, A. M. (2019). Religiosity And Well-Being. In V. Zeigler-Hill & T. K.


Shackelford (Eds.), Encyclopedia Of Personality And Individual Differences (Pp. 1–8).
Springer International Publishing. Https://Doi.Org/10.1007/978-3-319-28099-8_2335-1.
Google Scholar

Abdul-Baqi, M. F. (1945). Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfazh Al-Qur’an Al-Karim. Dar


Al-Kutub Al-Mishriyah. Google Scholar

Akhyar, M., Ifthiharfi, R., Wahyuni, V., Ardhani, M., Putri, V. Y., & Rafly, M. (2019).
Hubungan Religiusitas Dengan Subjective Well-Being Pada Lansia Di Jakarta. Mind
Set: Jurnal Ilmiah Psikologi, 10(2), 7. Google Scholar

Al-Ghazali, A.-H. (N.D.). Al-Mustasfa Min ’Ilm Al-Ushul. Syarikat Al-Madinah Al-
Munawwarah. Google Scholar

Alivian, G. N., Purnawan, I., & Setiyono, D. (2019). Efektifitas Mendengarkan Murottal
Dan Doa Terhadap Penurunan Kecemasan Pada Pasien Hemodialisis Di RSUD Wates.
6, 5. Google Scholar

Antaranews.Com. (2021, October 8). Antara News. Antara News.


Https://Www.Antaranews.Com/Berita/2444893/Kemenkes-Angka-Gangguan-
Kecemasan-Naik-68-Persen-Selama-Pandemi. Google Scholar

Baasher, T. A. (2001). Islam And Mental Health. Eastern Mediterranean Health


Journal, 7(3), 372–371. Google Scholar

Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. (2018). Laporan Nasional


RISKESDAS 2018 (P. 674). Lembaga Penerbit Badan Penelitian Dan Pengembangan
Kesehatan. Http://Labdata.Litbang.Kemkes.Go.Id/Ccount/Click.Php?Id=19. Google
Scholar

Baxter, A. J., Vos, T., Scott, K. M., Norman, R. E., Flaxman, A. D., Blore, J., &
Whiteford, H. A. (2014). The Regional Distribution Of Anxiety Disorders: Implications
For The Global Burden Of Disease Study, 2010: The Regional Distribution Of Anxiety
Disorders. International Journal Of Methods In Psychiatric Research, 23(4), 422–438.
Https://Doi.Org/10.1002/Mpr.1444. Google Scholar

Beck, A. T., Emery, G., & Greenberg, R. L. (1985). Anxiety Disorders And Phobias: A
Cognitive Perspective ([15th Anniversary Ed.], Rev. Pbk. Ed). Basic Books. Google
Scholar

1274 Syntax Literate, Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022


Gangguan Kecemasan dan Depresi Menurut Perspektif Al Qur’an

Bulut, S., Hajiyousouf, I. I., & Nazir, T. (2021). Depression From A Different
Perspective. Open Journal Of Depression, 10(04), 168–180.
Https://Doi.Org/10.4236/Ojd.2021.104011. Google Scholar

Clark, D. A., & Beck, A. T. (2011). Cognitive Therapy Of Anxiety Disorders: Science
And Practice. Guilford Press. Google Scholar

Copeland, S., & Marsden, S. (2020). The Relationship Between Mental Health
Problems And Terrorism (Knowledge Management Across The Four Counterterrorism
‘Ps’). Centre For Research And Evidence On Security Threats. Google Scholar

Daniele Mugnaini, S. L. (2015). Role Of Religion And Spirituality On Mental Health


And Resilience: There Is Enough Evidence. International Journal Of Emergency
Mental Health And Human Resilience, 17(3). Https://Doi.Org/10.4172/1522-
4821.1000273. Google Scholar

Dirgayunita, A. (2016). Depresi: Ciri, Penyebab Dan Penanganannya. Journal An-Nafs:


Kajian Penelitian Psikologi, 1(1), 1–14. Https://Doi.Org/10.33367/Psi.V1i1.235.
Google Scholar

Edara, I. R., Del Castillo, F., Ching, G. S., & Del Castillo, C. D. (2021). Religiosity,
Emotions, Resilience, And Wellness During The COVID-19 Pandemic: A Study Of
Taiwanese University Students. International Journal Of Environmental Research And
Public Health, 18(12), 6381. Https://Doi.Org/10.3390/Ijerph18126381. Google Scholar

Fitriani, A. (2016). PERAN RELIGIUSITAS DALAM MENINGKATKAN. Al-Adyan,


XI(1), 24. Google Scholar

Fitriani, A., & Supradewi, R. (2019). Desensitisasi Sistematis Dengan Relaksasi Zikir
Untuk Mengurangi Gejala Kecemasan Pada Kasus Gangguan Fobia. PHILANTHROPY:
Journal Of Psychology, 3(2), 75. Https://Doi.Org/10.26623/Philanthropy.V3i2.1689.
Google Scholar

Foy, D. W., Drescher, K. D., & Watson, P. J. (2011). Religious And Spiritual Factors In
Resilience. In S. M. Southwick, B. Litz, D. Charney, & M. J. Friedman (Eds.),
Resilience And Mental Health (Pp. 90–102). Cambridge University Press.
Https://Doi.Org/10.1017/CBO9780511994791.008. Google Scholar

Fuad, I. (2016). Menjaga Kesehatan Mental Perspektif Al-Qur’an Dan Hadits. Journal
An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 1(1), 31–50.
Https://Doi.Org/10.33367/Psi.V1i1.245. Google Scholar

Greenberg, P. E., Sisitsky, T., Kessler, R. C., Finkelstein, S. N., Berndt, E. R.,
Davidson, J. R. T., Ballenger, J. C., & Fyer, A. J. (1999). The Economic Burden Of
Anxiety Disorders In The 1990s. The Journal Of Clinical Psychiatry, 60(7), 427–435.
Https://Doi.Org/10.4088/JCP.V60n0702. Google Scholar

Syntax Literate, Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022 1275


Ulfi Putra Sany

Hamidah, T., Diponegoro, J., & Gamal, H. (2019). HUBUNGAN RELIGIUSITAS


DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA ANGGOTA SATPAMWAL
DENMA MABES TNI. IKRA-ITH HUMANIORA : Jurnal Sosial Dan Humaniora, 3(2),
8. Google Scholar

Ibnu-Qayyim, M. Ibn A. B. (1996). Madarij Al-Salikin Bayna Manazil Iyyaka Na’budu


Wa Iyyaka Nasta’in (Vol. 1). Dar Al-Kutub Al-’Arabi. Google Scholar

Kessler, R. C., Chiu, W. T., Demler, O., & Walters, E. E. (2005). Prevalence, Severity,
And Comorbidity Of 12-Month DSM-IV Disorders In The National Comorbidity
Survey Replication. ARCH GEN PSYCHIATRY, 62, 12. Google Scholar

Lucia, R., & Kurniawan, J. E. (2017). Hubungan Antara Regiliusitas Dan Resiliensi
Pada Karyawan. 11. Google Scholar

Mashitah, M. W., & Lenggono, K. A. (2020). Quran Recitation Therapy Reduces The
Depression Levels Of Hemodialysis Patients. International Journal Of Research In
Medical Sciences, 8(6), 2222. Https://Doi.Org/10.18203/2320-6012.Ijrms20202271.
Google Scholar

Mendlowicz, M. V. (2000). Quality Of Life In Individuals With Anxiety Disorders.


American Journal Of Psychiatry, 157(5), 669–682.
Https://Doi.Org/10.1176/Appi.Ajp.157.5.669. Google Scholar

Moss, D. (N.D.). PSYCHOLOGICAL PERSPECTIVES ANXIETY DISORDERS. 50.


Google Scholar

Nasution, D. E., & Fakhrurrozy, M. (2018). KONTRIBUSI RELIGIUSITAS


TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA PECANDU NARKOBA
YANG SEDANG MENJALANI REHABILITASI DI BNN. Jurnal Psikologi, 11(2),
126–134. Https://Doi.Org/10.35760/Psi.2018.V11i2.2257. Google Scholar

Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2014). Abnormal Psychology In A Changing
World (Nineth Edition). Pearson. Google Scholar

Nugraha, A. D. (2020). Memahami Kecemasan: Perspektif Psikologi Islam. IJIP :


Indonesian Journal Of Islamic Psychology, 2(1), 1–22.
Https://Doi.Org/10.18326/Ijip.V2i1.1-22 Google Scholar

Olatunji, B. O., Cisler, J. M., & Tolin, D. F. (2007). Quality Of Life In The Anxiety
Disorders: A Meta-Analytic Review. Clinical Psychology Review, 27(5), 572–581.
Https://Doi.Org/10.1016/J.Cpr.2007.01.015. Google Scholar

Pieper, J., & Van Uden, M. (2005). Religion And Coping In Mental Health Care.
BRILL. Https://Doi.Org/10.1163/9789401202954. Google Scholar

1276 Syntax Literate, Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022


Gangguan Kecemasan dan Depresi Menurut Perspektif Al Qur’an

Rachman, M. P. N., Fahmi, I., & Hermawati, N. (2018). HUBUNGAN


RELIGIUSITAS DENGAN RESILIENSI PADA SURVIVOR KANKER
PAYUDARA. Jurnal Psikologi, 3, 11. Google Scholar

Reivich, K., & Shatté, A. (2002). The Resilience Factor: 7 Essential Skills For
Overcoming Life’s Inevitable Obstacles (1st Ed). Broadway Books. Google Scholar

Risnawati, E., Arisandi, A., & Dawanti, R. (2019). Peran Religiusitas Dan
Psychological Well-Being Terhadap Resiliensi Korban KDRT. Mind Set: Jurnal Ilmiah
Psikologi, 10(2), 11. Google Scholar

Saifuddin, M., & Andriani, I. (2018). RELIGIUSITAS DAN SUBJECTIVE WELL-


BEING PADA WANITA YANG MENGGUNAKAN CADAR. Jurnal Psikologi,
11(2), 200–206. Https://Doi.Org/10.35760/Psi.2018.V11i2.2265. Google Scholar

Samsidar, S. (2020). DOA SEBAGAI METODE PENGOBATAN PSIKOTERAPI


ISLAM. Al-Din: Jurnal Dakwah Dan Sosial Keagamaan, 6(2).
Https://Doi.Org/10.35673/Ajdsk.V6i2.1132. Google Scholar

Schwalm, F. D., Zandavalli, R. B., De Castro Filho, E. D., & Lucchetti, G. (2021). Is
There A Relationship Between Spirituality/Religiosity And Resilience? A Systematic
Review And Meta-Analysis Of Observational Studies. Journal Of Health Psychology,
135910532098453. Https://Doi.Org/10.1177/1359105320984537. Google Scholar

Stuart, G. W. (2013). Principles And Practice Of Psychiatric Nursing (10th Ed).


Elsevier Saunders. Google Scholar

Sumarni, S. (2020). Proses Penyembuhan Gejala Kejiwaan Berbasis Islamic


Intervention Of Psychology. NALAR: Jurnal Peradaban Dan Pemikiran Islam, 3(2),
134–147. Https://Doi.Org/10.23971/Njppi.V3i2.1677. Google Scholar

Suryaman, M. A., Stanislaus, S., & Mabruri, M. I. (2013). PENGARUH RELIGIUSITAS


TERHADAP RESILIENSI PADA PASIEN REHABILITASI NARKOBA YAYASAN
RUMAH DAMAI SEMARANG. 5. Google Scholar

Tampubolon, I. (2020). BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM: METODOLOGI


MENGHILANGKAN KETAKUTAN DAN KESEDIHAN. Al-Muaddib :Jurnal Ilmu-
Ilmu Sosial Dan Keislaman, 5(2). Google Scholar

Tiliouine, H., Cummins, R. A., & Davern, M. (2009). Islamic Religiosity, Subjective
Well-Being, And Health. Mental Health, Religion & Culture, 12(1), 55–74.
Https://Doi.Org/10.1080/13674670802118099. Google Scholar

World Health Organization. (2004). Promoting Mental Health. World Health


Organization.
Https://Public.Ebookcentral.Proquest.Com/Choice/Publicfullrecord.Aspx?P=4978588.
Google Scholar

Syntax Literate, Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022 1277


Ulfi Putra Sany

World Health Organization. (2018, March 30). Mental Health: Strengthening Our
Response. World Health Organization. Https://Www.Who.Int/News-Room/Fact-
Sheets/Detail/Mental-Health-Strengthening-Our-Response. Google Scholar

Zulkarnain. (2017, November 11). Warga Negara Religius Sebagai Identitas


Kewarganegaraan Di Indonesia. Prosiding Konferensi Nasional Kewarganegaraan III.
Konferensi Nasional Kewarganegaraan III, Yogyakarta.
Http://Eprints.Uad.Ac.Id/9756/1/37-44%20Zulkarnain.Pdf. Google Scholar

Copyright holder:
Ulfi Putra Sany (2022)

First publication right:


Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

This article is licensed under:

1278 Syntax Literate, Vol. 7, Special Issue No. 1, Januari 2022

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai