Anda di halaman 1dari 13

HUBUNGAN ANTARA KESESUAIAN TERAPI ANTIBIOTIK EMPIRIS DENGAN

KADAR PROCALCITONIN PADA PASIEN COVID-19 DENGAN


INFEKSI SEKUNDER PARU DI ICU RSUP DR SARDJITO

Untuk memenuhi sebagian persyaratan


Mencapai derajat Spesialis Anestesi dan Terapi Intensif

Program Pendidikan Dokter Spesialis I


Bidang Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif

Diajukan oleh
Febrian Naufaldi
NIM 19/453458/PKU/18355

DEPARTEMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT
DAN KEPERAWATAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
2022
LEMBAR PENGESAHAN

HUBUNGAN ANTARA KESESUAIAN TERAPI ANTIBIOTIK EMPIRIS DENGAN


KADAR PROCALCITONIN PADA PASIEN COVID-19 DENGAN
INFEKSI SEKUNDER PARU DI ICU RSUP DR SARDJITO

Diajukan oleh

Febrian Naufaldi

NIM 19/453458/PKU/18355

PPDS 1 Anestesiologi dan Terapi Intensif

Telah Disetujui Oleh:

Pembimbing Materi

dr. Calcarina Fitriani Retno Wisudarti, Sp.An KIC Tanggal…..

Pembimbing Metodologi

dr. Akhmad Yun Jufan, M.Sc, Sp.An KIC Tanggal….

DEPARTEMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN, KESEHATAN MASYARAKAT
DAN KEPERAWATAN UNIVERSITAS GADJAH MADA
RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
2022

2
PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Febrian Naufaldi

NIM : 19/453458/PKU/18355

Menyatakan bahwa dalam proposal ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga

tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara

tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya dan penuh tanggung jawab dan saya bersedia

menerima sanksi apabila di kemudian hari diketahui menyalahi aturan dan tidak benar

Yogyakarta, Januari 2022

Febrian Naufaldi

3
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang
merupakan salah satu syarat akademis dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan
(FKKMK) Universitas Gadjah Mada / RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Ucapan terima kasih
penulis ucapkan kepada:

1. Dr. dr. Djayanti Sari, M.Kes, Sp.An, KAP sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi
dan Terapi Intensif FKKMK UGM / RSUP Dr. Sardjito dan pembimbing materi.
2. dr. Yunita Widyastuti, Sp.An, KAP, M.Kes, Ph.D sebagai Kepala Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKKMK UGM / RSUP Dr. Sardjito dan pembimbing
metodologi penelitian.
3. Dekan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK)
Universitas Gadjah Mada beserta staf.
4. Direktur RSUP Dr. Sardjito yang telah memberikan tempat dan fasilitas pendidikan serta
penelitian.
5. Pasien selama masa pendidikan sehingga penulis dapat banyak belajar.
6. Orang tua, Istri, Anak dan seluruh keluarga besar penulis yang tanpa henti berdoa dan
mendukung sepenuh hati selama penulis menjalani masa pendidikan ini.
7. Tim rekam medis RSUP Dr. Sardjito untuk semua bantuannya.
8. Seluruh rekan residen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKKMK UGM / RSUP Dr.
Sardjito untuk bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa proposal penelitian ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran dan
kritik dari semua pihak untuk perbaikan sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga
proposal penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua.

Yogyakarta, Januari 2022

4
Febrian Naufaldi

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sejak Desember 2019, ketika kasus pertama penularan sindrom pernafasan akut
coronavirus 2 ( Severe acute respiratory syndrome coronavirus/ SARS-Cov 2) dilaporkan di
Wuhan (Cina), lebih dari seratus juta kasus yang dikonfirmasi penyakit coronavirus 2019 (Covid
19) telah dilaporkan di seluruh dunia, dan pandemi diumumkan pada tanggal 11 Maret 2020 oleh
Organisasi Kesehatan Dunia dan masih berlangsung sampai dengan saat ini. Pandemi penyakit
infeksi covid 19 telah merenggut lebih dari 1.000.000 nyawa hingga saat ini dan dampak jangka
panjang penyakit ini masih belum dapat ditentukan. Infeksi pernafasan akibat virus dikenal
memiliki resiko terjadinya koinfeksi pada pasien dan hal ini menyebabkan peningkatan
keparahan dari penyakit dan kematian seperti yang terjadi pada wabah influenza tahun 1918, di
mana sebagian besar kematian terjadi akibat sekunder dari infeksi bakteri. (Zhang Haocheng, et
al., 2020)
Sindrom pernapasan akut berat coronavirus 2 (SARSCoV-2) adalah anggota virus novel
RNA -coronavirus, yang merupakan penyebab pneumonia berat dengan gejala klinis yang
berbeda dari coronavirus lain yang diketahui menyebabkan pneumonia, seperti SARS-CoV dan
MERS-CoV. Pneumonia yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 dikenal sebagai penyakit
coronavirus 2019 (COVID-19) oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Organization/WHO) pada 11 Februari 2020. Organisasi Kesehatan Dunia telah menyatakan
virus corona sebagai wabah darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian dunia
internasional. COVID-19 menyebar dengan cepat dan menjadi pandemi global. (De Santis, et al.,
2021)
Spektrum klinis infeksi SARS-CoV-2 berkisar dari penyakit tanpa gejala hingga penyakit
parah yang memerlukan rawat inap dan masuk ke unit perawatan intensif (ICU). Studi
multisenter baru-baru ini menunjukkan bahwa 5–32% pasien rawat inap dengan COVID-19

5
membutuhkan perawatan ICU, terutama untuk sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) yang
membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis invasif. Menurut data yang
dipublikasikan yang tersedia, kematian pasien yang sakit kritis dengan COVID-19 berkisar
antara 16 hingga 78%. (Giacomo Graselli et al., 2021)
Koinfeksi SARS-CoV-2 dengan mikroorganisme lainnya, seperti virus, bakteri, dan
jamur, merupakan faktor resiko penting dalam penyakit COVID-19, dan hal itu dapat
meningkatkan kesulitan dalam diagnosis, pengobatan, prognosis COVID-19, dan bahkan
meningkatkan gejala penyakit dan kematian. Koinfeksi bakteri dan jamur umum terjadi pada
pneumonia akibat virus terutama pada pasien dengan kondisi sakit kritis. (De Santis, et al., 2021)
Insiden terjadinya koinfeksi bakteri pada pasien COVID-19 adalah rentang dari 3%
sampai 30%. Penelitian Zhou et al. menunjukkan bahwa pada saat pandemi COVID-19, 50%
pasien yang meninggal memiliki infeksi bakteri sekunder. Sementara itu penelitian lain
menunjukkan adanya infeksi sekunder bakteri dan jamur. Karena fenotipe klinis yang serupa dan
kesulitan dalam mengidentifikasi penyakit COVID-19 dengan pneumonia bakteri atipikal atau
pneumonia nosokomial beberapa pedoman menyarankan penggunaan antibiotik empiris. Dalam
sebuah penelitian yang dilakukan di 38 rumah sakit di Michigan, 56,6% pasien menerima terapi
antibiotik empiris. (Garcia-Vidal, et al., 2021)
Pada epidemi SARS dan MERS lainnya, pasien mendapatkan ventilasi mekanis invasif
yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi sekunder dan memiliki tingkat kematian atau
mortalitas yang tinggi. Studi menunjukkan bahwa peningkatan tajam infeksi dari spesies MRSA,
Stenotrophomonas, dan Candida pada pasien SARS yang dirawat di ICU. Oleh karena itu,
infeksi sekunder bakterial mungkin menjadi elemen kunci yang menyebabkan penyakit menjadi
parah dan tingkat kematian yang tinggi. Infeksi sekunder didiagnosis ketika pasien memiliki
gejala klinis yang menunjukkan infeksi atau bukti radiologis positif, dan hasil etiologi positif
yang dikonfirmasi laboratorium (kultur positif) setelah 48 jam perawatan ICU. (Zhang
Haocheng, et al., 2020)
Patogenesis yang mendasari terjadinya infeksi sekunder pada kasus pasien COVID-19
yang parah dan kritis terletak pada interaksi antara inang dan patogen, termasuk virulensi
patogen, disregulasi respon imun dan mikrobiota yang terganggu selama infeksi pneumonia
virus. Pneumonia virus dan infeksi sekunder bertindak sebagai faktor yang saling memperkuat
tingkat keparahan pasien COVID-19. Infeksi SARS-CoV-2 yang parah menyebabkan kerusakan

6
pada paru-paru yang sebagian besar dapat menurunkan kapasitas difusi oksigen dan karbon
dioksida. Infeksi sekunder didiagnosis ketika pasien memiliki gejala klinis yang menunjukkan
infeksi atau bukti radiologis positif, dan hasil etiologi positif yang dikonfirmasi laboratorium
(kultur positif) setelah 48 jam perawatan ICU. (Russell, et al., 2021)
Studi kasus retrospektif antara lain pada 55 pasien dengan kondisi berat dan 166 pasien
tidak berat yang terkonfirmasi laboratorium menderita pneumonia SARS-CoV-2, Zhang et al.
(2020) menemukan bahwa secara keseluruhan dari 221 pasien tersebut tingkat koinfeksi bakteri
adalah 7,7%, dan tingkat koinfeksi jamur adalah 3,2%. 4 Zhou dkk. melaporkan 50% kejadian
infeksi sekunder pada pasien yang meninggal (27/54) dan kejadian pneumonia terkait ventilator
(ventilator-associated pneumonia) terjadi pada 31% (10/32) pasien yang membutuhkan bantuan
pernapasan invasif. (Garcia-Vidal, et al., 2021)
Studi sebelumnya menunjukkan bahwa pneumonia SARSCoV-2 yang parah dikaitkan
dengan perawatan intensif, peningkatan tingkat infeksi sekunder, dan memiliki resiko yang lebih
tinggi dilakukan prosedur invasif. Sampai saat ini, resiko dan karakteristik yang berkaitan
dengan infeksi sekunder pada pasien COVID-19 yang parah belum dijelaskan secara rinci. Pada
epidemi SARS dan MERS lainnya, pasien mendapatkan ventilasi mekanis invasif yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksi sekunder dan memiliki tingkat kematian atau mortalitas yang
tinggi. Studi menunjukkan bahwa peningkatan tajam infeksi dari spesies MRSA,
Stenotrophomonas, dan Candida pada pasien SARS yang dirawat di ICU. Oleh karena itu,
infeksi sekunder bakterial mungkin menjadi elemen kunci yang menyebabkan penyakit menjadi
parah dan tingkat kematian yang tinggi. (De Santis, et al., 2021)
Procalcitonin (PCT) adalah suatu protein fungsional yang terdiri dari 114 sampai 116
asam amino. PCT merupakan prekursor hormon kalsitonin dan disintesis secara fisiologis oleh
sel C kelenjar tiroid. Jika tidak terdapat infeksi, transkripsi gen CALC-I dihambat dan
ekspresinya hanya ditemukan di sel neuroendokrin tiroid dan paru. (Dana Dharaniyadewi, et al.,
2015)
Pada infeksi bakteri, PCT juga disintesis diberbagai jaringan ekstratiroid. Pelepasan
produk gen CALC dapat diinduksi langsung oleh toksin mikroba (yaitu endotoksin) atau secara
tidak langsung melalui respon pejamu humoral atau selular (yaitu IL-1b, TNF-a, IL-6). Sekresi
PCT sistemik merupakan komponen respon inflamasi yang cukup spesifik untuk infeksi bakteri

7
sistemik. PCT sangat meningkat pada infeksi bakteri dibandingkan pada infeksi virus atau
infeksi bakteri lokal atau intrasel. (Dana Dharaniyadewi, et al., 2015)
Peningkatan serum PCT sering terlihat pada pasien yang dirawat di rumah sakit untuk
penyakit coronavirus-19 (COVID-19) derajat sedang atau berat. Pemicu utama sintesis PCT
adalah adanya endotoksin yang bersirkulasi yang disebabkan oleh adanya infeksi bakteri
sekunder. Untuk alasan ini, dalam praktik klinis, PCT umumnya dianggap sebagai biomarker
infeksi bakteri sistemik dan telah ditafsirkan sebagai indikator infeksi bakteri sekunder pada
COVID-19. (Andrea Ticinesi et al., 2021)
Beberapa tinjauan sistematis dan meta-analisis telah menunjukkan peningkatan PCT
sebagai biomarker prognostik dari hasil yang merugikan pada COVID-19, termasuk
perkembangan dari bentuk penyakit sedang hingga parah dan kritis, masuk ke unit perawatan
intensif (ICU), kebutuhan akan ventilasi mekanis, dan kematian. (Andrea Ticinesi et al., 2021)
Perbedaan bakteri dari infeksi virus merupakan tantangan klinis yang sering
menyebabkan penggunaan antibiotik yang tidak perlu. Selama pandemi SARS-CosV-2,
peningkatan multifaktorial dalam resep antimikroba telah dicatat pada pasien dengan COVID-19
yang parah, meskipun prevalensi koinfeksi bakteri yang rendah (3,5-8%) saat masuk. Faktor-
faktor ini termasuk kesulitan untuk mendapatkan sampel pernapasan, gangguan dalam
pengawasan dan program pengawasan antimikroba dan tidak adanya pengobatan antivirus
berbasis bukti. (Bernardo Martinez-Guerra et al., 2021)

B. Perumusan Masalah

Terapi antibiotik empiris pada pasien covid-19 dengan infeksi sekunder paru
menghasilkan kadar procalcitonin yang bervariasi. Kadar procalcitonin yang dihasilkan
kemungkinan dipengaruhi oleh pemberian jenis antibiotik, kesesuaian dengan hasil kultur bakteri
yang terjadi di suatu rumah sakit, serta tingkat keparahan penyakit.

Atas perumusan tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara
kesesuaian terapi antibiotik empiris dengan kadar procalcitonin pada pasien covid-19 dengan
infeksi sekunder paru di ICU RSUP Dr Sardjito.

8
C. Pertanyaan Penelitian

Apakah ada hubungan antara kesesuaian terapi antibiotik empiris dengan kadar
procalcitonin pada pasien covid-19 dengan infeksi sekunder paru di ICU RSUP Dr Sardjito.

D. Tujuan Penelitian

Mengetahui hubungan antara kesesuaian terapi antibiotik empiris dengan hasil kadar
procalcitonin pada pasien covid-19 dengan infeksi sekunder paru di ICU RSUP Dr Sardjito.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Peneliti, dalam hal mengoptimalkan pengembangan potensi diri dan keilmuan terkait
penyakit baru berupa Covid-19.
2. Perawatan intensif pada pasien covid-19 dengan infeksi sekunder paru di RSUP dr.
Sardjito.
3. Mengetahui hubungan antara kesesuaian terapi antibiotik empiris dengan kadar
procalcitonin pada pasien covid-19 dengan infeksi sekunder paru di ICU RSUP Dr
Sardjito.
4. Perkembangan ilmu pengetahuan, sebagai sumber informasi dan bahan referensi b
penelitian selanjutnya terkait Covid-19 pada pasien dengan infeksi sekunder paru,
terutama dalam lingkungan kedokteran anestesiologi dan terapi intensif.

F. Keaslian Penelitian

Sejauh ini penulis belum menemukan penelitian serupa di RSUP Dr. Sardjito yang
menganalisis hubungan antara kesesuaian terapi antibiotik empiris dengan hasil uji sensitivitas
antibiotik pada pasien covid-19 dengan kadar procalcitonin pada pasien covid-19 dengan infeksi

9
sekunder paru di ICU RSUP Dr Sardjito. Tabel 1 memuat beberapa penelitian tentang infeksi
sekunder pada pasien covid-19.

Tabel 1. Penelitian tentang infeksi sekunder pada pasien Covid-19


No Peneliti Tahun Sampel Desain Hasil ket

1 Zhang et al 2020 Terdiri dari 612 pasien di Retrospective Sebanyak 57,89%


Tongji Hospital, Shanghai Multicenter kohort (22/38) pasien
Republic of China study terjadi infeksi
sekunder

2 Vincenzo et al 2021 Terdiri dari 248 pasien covid Prospective Sebanyak 90


19 di ICU Edolo Hospital, observational (36,3%) pasien
Italy multicenter study mengalami
setidaknya satu
episode infeksi
sekunder

Pasien yang
mengalami
bakteremia memiliki
resiko kematian ICU
yang lebih tinggi
[45,9% vs 31,6%,
rasio odds 1,8 (95%
CI 0,9-3,7),p=0,069]
3 Rusdi et al 2017 Terdiri dari 81 pasien infeksi Retrospective cohort Tidak didapatkan
sekunder di ICU RSUP Dr study perbedaan bermakna
Sardjito, Indonesia antara kesesuaian
terapi antibiotik
empiris dengan
tingkat mortalitas
4 Natale et al 2020 Terdiri dari 256 pasien covid- Retrospective Sebanyak 163 dari
19 di Magati Hospital, Italy multicenter cohort 256 pasien dengan
study PCT tinggi
mengalami penyakit
parah (63,7%)

Tingkat infeksi
sekunder bakteri
berkisar antara
4,7%-19,5%
5 Owen et al 2021 Terdiri dari 66 pasien covid- Single-center Peningkatan PCT
19 di ICU Grange University Retrospective terjadi pada 97,0%
Hospital, Wales observational study pasieng dengan
setidaknya satu

10
kejadian VAP

Hasil pengukuran
PCT dapat
memprediksi
munculnya infeksi
sekunder bakteri di
ICU

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Andrea Ticinesi et al. 2021. The clinical significance of procalcitonin elevation in


patients over 75 years old admitted for COVID-19 Pneumonia. Hindawi Mediators of
Inflammation 2021. https://doi.org/10.1155/2021/5593806
2. Bernardo Martinez-Guerra et al. 2021. Antimicrobial resistance patterns and antibiotic
use during hospital conversion in the covid-19 pandemic. Antibiotic 2021, 10, 182.
https://doi.org/10.3390/antibiotics10020182
3. Dana D., Khie CL., Suhendro S. 2015. Peran procalcitonin sebagai penanda inflamasi
sistemik pada sepsis. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia Vol.2, 116-123.
4. De Santis, V., Corona, A., Vitale, D. 2021. Bacterial infections in critically ill patients
with SARS-2-COVID-19 infection: results of a prospective observational multicenter
study. Infection, 1-10
5. Garcia-Vidal, C., Sanjuan, G., Moreno-García, E. 2021. Incidence of co-infections and
superinfections in hospitalized patients with COVID-19: a retrospective cohort study.
Clinical Microbiology and Infection, 27(1), 83-88
6. Giacomo Gracelli, Emanuele Cattaneo, Gaetano Florio, 2021. Secondary infections in
critically ill patients with COVID-19. Annual Update in Intensive Care and Emergency
Medicine 2021. https://doi.org/10.1186/s13054-021-03672-9
7. Russell, C. D., Fairfield, C. J., Drake, T. M. 2021. Co-infections, secondary infections,
and antimicrobial use in patients hospitalised with COVID-19 during the first pandemic
wave from the ISARIC WHO CCP-UK study: a multicentre, prospective cohort study.
The Lancet Microbe.
8. Zhang, H., Zhang, Y., Wu, J. 2020. Risks and features of secondary infections in severe
and critical ill COVID-19 patients. Emerging microbes & infections, 9(1), 1958-1964.

12
KERANGKA TEORI

Pasien COVID-19 Rawat Inap di ICU

Faktor Predisposisi :

 Daya tahan tubuh (termasuk usia)


 Pembedahan
 Antibiotik
 Peralatan terapi pernafasan (termasuk ET dan
ventilator)
 Kateter urin
 Lingkungan rumah sakit

Infeksi Sekunder

Diberikan antibiotik empiris

Hasil uji sensitivitas antibiotik

Sesuai Tidak Sesuai

Kadar procalcitonin

13

Anda mungkin juga menyukai