Anda di halaman 1dari 13

Jurnal Teslink : Teknik Sipil dan Lingkungan ISSN 2715-6141 (print) | 2715-4831 (online)

98
Vol. 4., No. 2, September 2022, pp. 98-106 https://teslink.nusaputra.ac.id/index

Analisis Efektivitas Mesin dengan Total Productive


Maintenance (Studi Kasus pada Proses Mixing)
Oki Sunardi b,1,* Mardiana b,2, Isdaryanto Iskandar a,3
a Program Studi Profesi Insinyur, UNiversitas Katolik Atma Jaya, Jakarta 12930, Indonesia
bProgram Studi Teknik SIpil, Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta 11470, Indonesia
1oki.sunardi@ukrida.ac.id ; 2 mardiana.2013ti032@civitas.ukrida.ac.id, 3isdaryanto@atmajaya.ac.id;
* Corresponding Author : oki.sunardi@ukrida.ac.id

Diterima 1 Agustus 2022 ; diperbaiki 8 Agustus 2022 ; disetujui 7 September 2022

ABSTRACT
Agar tetap kompetitif, para pelaku industri manufaktur senantiasa berusaha agar proses
produksinya tetap kompetitif dan berusaha mencari metode untuk meningkatkan kualitas,
efisiensi dan produktivitas melalui perawatan berkala terhadap mesin-mesin produksi yang
dimiliki. Mesin-mesin yang beroperasi 24 jam/hari memiliki kemungkinan mengalami kerusakan
mesin (breakdown). Penelitian ini berfokus pada proses mixing, dengan tujuan mencegah KATA KUNCI
breakdown mesin sehingga proses mixing dapat terus berjalan sesuai target. Data studi kasus Efektivitas mesin
Kerusakan mesin
menunujukkan persentase rata-rata breakdown tertinggi terjadi pada mesin proses mixing Proses pencampuran
sebesar 7,23%. Perhitungan Availibility, Performance dan Quality (APQ) dilakukan untuk dapat Efektivitas peralatan secara
mengkalkulasi nilai Overall Equipment Effectiveness. Kemudian dilakukan pendekatan Six Big keseluruhan
Pemeliharaan preventif
Losses untuk mengetahui penyebab-penyebab utama ketidaksesuaian. Perhitungan dengan Pemeliharaan produktif total
pendekatan Mean Time Between Failure (MTBF) dan Mean Time To Repair (MTTR) dilakukan.
Berdasarkan pendekatan-pendekatan tersebut, usulan-usulan perbaikan dan preventive
maintenance guna meningkatkan usia mesin direkomendasikan.
ABSTRACT KEYWORDS
Machine effectiveness
In order to remain competitive, manufacturing industry players always strive to keep their Machine breakdown
production processes competitive and seek methods to improve quality, efficiency and Mixing process
Overall equipment effectiveness
productivity through regular maintenance of their production machines. Machines that operate Preventive maintenance
24 hours / day have the possibility of experiencing engine damage (breakdown). This research Total productive maintenance
focuses on the mixing process, with the aim of preventing engine breakdown so that the mixing
process can continue to run on target. The case study data shows that the highest average
breakdown percentage occurs in the mixing process machine at 7.23%. Calculation of
Availability, Performance and Quality (APQ) is done to be able to calculate the value of Overall
Equipment Effectiveness. Then the Six Big Losses approach is carried out to find out the main
causes of non-conformance. Calculations using the Mean Time Between Failure (MTBF) and
Mean Time To Repair (MTTR) approaches were carried out. Based on these approaches,
suggestions for repair and preventive maintenance to increase machine life are recommended.

This is an open-access article under the CC–BY-SA license

1. Pendahuluan
Keberhasilan pertumbuhan ekonomi suatu negara salah satunya sangat dipengaruhi oleh
keberhasilan sektor industri manufaktur [1]. Pada sektor industri manufaktur, perusahaan berlomba-
lomba meningkatkan kualitas produk melalui penggunaan teknologi serta mesin-mesin yang memiliki
efektivitas dan efisiensi yang tinggi. Agar tetap kompetitif, para pelaku industri manufaktur senantiasa
berusaha agar proses produksinya tetap kompetitif dan berusaha mencari metode untuk meningkatkan
kualitas, efisiensi dan produktivitas [2].
Pemeliharaan (maintenance) fasilitas produksi seringkali belum menjadi prioritas utama dalam
pengelolaan pabrik. Kegiatan pemeliharaan pada fasilitas produksi (peralatan atau mesin) merupakan
aktivitas memastikan agar setiap fasilitas berada pada kondisi yang dapat diterima, sesuai standar yang
telah ditetapkan dalam manual, serta pada tingkat biaya yang wajar. Oleh karena itu, kegiatan
pemeliharaan dan perbaikan yang dilakukan perusahaan harus dapat memberikan kontribusi terhadap
peningkatan produktivitas produksi [3].

10.52005/teslink.v115i1.xxx teslink@nusaputra.ac.id
99 Jurnal Teslink : Teknik Sipil dan Lingkungan
ISSN 2715-6141 (print) | 2715-4831 (online) Vol. 4., No. 2, September 2022, pp. 98-106

Manajemen pemeliharaan dan rekayasa pemeliharaan berperanan signifikan dalam meningkatkan


produktivitas dan menurunkan biaya kerusakan mesin. Tim pemeliharaan bertugas mengembangkan
metode perawatan yang baku dalam meminimasi breakdown mesin sekaligus menekan biaya
perawatannya [4]. Pencegahan kerusakan mesin dapat juga berperan menekan jumlah kecelakaan
yang melibatkan pekerja [5]. Melalui pemeliharaan yang terjadwal, kerusakan pada fasilitas dan
peralatan dapat diprediksi. Predictive ability akan mempermudah proses pemeliharaan, sehingga
potensi kerugian akibat berhentinya proses produksi dapat ditekan seminimal mungkin.
PT. HAN, sebagai perusahaan multinasional yang bergerak dibidang industri manufaktur ban
mobil berlokasi di Cikarang-Bekasi, merupakan objek penelitian dalam penelitian ini. 95% hasil
produksi PT. HAN ditujukan untuk kebutuhan ekspor ke beberapa negara di Eropa, Asia, Amerika
dan Afrika. Sedang 5% hasil produksi untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Secara gar1`2q is
besar, produksi pembuatan ban mobil dimulai dari proses mixing, proses extruding, proses
calendering, proses bead, proses cutting, proses building, proses curing, sampai proses inspection.
Perusahaan beroperasi dalam 3 shift atau selama 24 jam per hari. Mesin-mesin yang beroperasi 24
jam/hari memiliki kemungkinan mengalami kerusakan mesin (breakdown). Laporan bulanan
menunjukkan rutinitas terjadi breakdown mesin. Persentase rata-rata breakdown tertinggi terjadi pada
mesin proses mixing sebesar 7,23%. Mesin mixing C1002 mewakili breakdown tertinggi dari delapan
mesin yang ada pada proses mixing yaitu sebesar 14,57%. Data breakdown mesin pada proses
pembuatan ban mobil sebagai berikut (Gambar 1):

Gambar 1. Grafik downtime machine periode januari – maret 2022 (dalam %)

Penelitian ini berfokus pada proses mixing, dengan tujuan mencegah breakdown mesin sehingga
proses mixing dapat terus berjalan sesuai target. PT. HAN memiliki delapan mesin mixing, dimana
mesin C1002 menunjukkan breakdown yang paling sering (Gambar 2). Atas dasar data di atas,
penelitian awal akan difokuskan pada mesin C1002.

Gambar 2. Grafik downtime machine proses mixing (%)


Rencana dan pemilihan solusi menggunakan tinjauan literatur terkait kasus serupa atau yang
mendekati. Fore dan Zuze (2010) melakukan penelitian untuk meningkatkan efektifitas mesin squirrel

Oki Sunardi et al. (Analisis Efektivitas Mesin dengan Total…)


Jurnal Teslink : Teknik Sipil dan Lingkungan 100
Vol. 4., No. 2, September 2022, pp. 98-106 SSN 2715-6141 (print) | 2715-4831 (online)

caged induction motors dengan mengimplementasikan innovative maintenance strategies [6]. Sistem
ini berjalan efektif namun perlu memiliki data corrective maintenance jobs dan preventive
maintenance inspections yang jelas. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa untuk industri yang
berskala besar innovative maintenance strategies tidak dapat dilakukan secara manual. Penelitian ini
merekomendasikan perusahaan menerapkan Computerized Maintenance Management System
(CMMS).
Rajput & Jayaswal (2012) melakukan penelitian untuk meningkatkan efektifitas mesin serta
mengindentifikasi akar penyebab dari permasalahan pada mesin shot peening [7]. Melalui pendekatan
Total Productive Maintenance (TPM) diperoleh nilai OEE sebesar 66,4% dengan Availability
87,15%, Performance Efficiency 79,4% dan Rate of Quality 98%. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
adanya gangguan kecil akan berkontribusi besar terhadap time losses. Untuk mencapai world class
standard 85% OEE maka diperlukan maintenance efficiency dengan penerapan TPM melalui
pembentukan Autonomous Maintenance Teams dan perlunya terjalin komunikasi serta dan kerja tim
yang baik.
Kasim et al (2015) melakukan studi kasus di beberapa industri manufaktur berbeda yaitu industri
elektronik, industri baja dan industri komponen lokomotif untuk menunjukkan peningkatan OEE
melalui implementasi TPM [8]. Penelitian berhasil menunjukkan adanya peningkatan OEE dari
sebelum dan setelah diterapkan TPM. Namun penelitian ini tidak memaparkan secara jelas
permasalahan yang terjadi pada perusahaan.
Nallusamy et al (2018) melakukan penelitian untuk meningkatkan nilai OEE menuju world class
standard OEE 85% [9]. Penelitian ini menerapkan lean tools TPM yaitu Autonomous Maintenance,
Jishu Hozen dan Kobetsu Kaizen pada industri manufaktur yang memproduksi pipa PVC. Hasil
penelitian menunjukkan adanya peningkatan nilai OEE dari 55,45% menjadi 68,04%. Penelitian ini
berhasil memaparkan permasalahan yang terjadi serta memberikan usulan perbaikan. Namun pada
penelitian tidak membahas mengapa setelah penerapan TPM belum dapat meningkatkan nilai OEE
secara signifikan.
Nurprihatin et al (2019) melakukan penelitian untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
menyebabkan penurunan efektifitas mesin WP-ATB 08 pada Line 7 di industri makanan [10]. Melalui
pendekatan Total Productive Maintenance (TPM) dengan menggunakan Metode Overall Equipment
Effectiveness (OEE) dan Six Big Losses, penelitian ini mampu mengetahui nilai rata-rata OEE pada
mesin WP-ATB 08 sebesar 71,27% dengan faktor terbesar yang mempengaruhi rendahnya OEE yaitu
pada breakdown mesin sebesar 11,67% dari seluruh time losses. Kemudian untuk mengetahui waktu
diantara mesin breakdown dan waktu perbaikan dihitung dengan dengan Mean Time Between Failure
(MTBF) dan Mean Time to Repair (MTTR). Diperoleh nilai MTBF sebesar 2317 menit dan MTTR
sebesar 289 menit dengan indikasi mesin breakdown sebanyak 53 kali dalam setahun. Dari penelitian
ini merekomendasikan perusahaan menerapkan 8 pilar TPM dan 5S untuk meningkatkan efektifitas.

2. Metode
Penelitian di PT. HAN akan menggunakan kombinasi pendekatan yang telah dilakukan oleh
peneliti-peneliti sebelumnya. perhitungan Availibility, Performance dan Quality (APQ) akan
dilakukan untuk dapat mengkalkulasi nilai OEE. Kemudian dilakukan pendekatan Six Big Lossess
untuk mengetahui penyebab-penyebab utama ketidaksesuaian. Kemudian dilanjutkan dengan
pendekatan Mean Time Between Failure (MTBF) dan Mean Time To Repair (MTTR) untuk
menghitung waktu antara mesin breakdown dan waktu repair. Berdasarkan pendekatan-pendekatan
tersebut, usulan-usulan perbaikan guna meningkatkan efektifitas mesin akan direkomendasikan.
2.1 Total productive maintenance
Total Productive Maintenance (TPM) dikenal sebagai salah satu metode optimalisasi efektivitas
mesin, yang bertujuan mengurangi tingkat kerusakan (breakdown) dan melalui self-maintenance oleh
operator mesin. Berbagai literatur menunjukkan penerapan TPM telah terbukti berhasil meningkatkan
produksi, meningkatkan moral karyawan, serta memperbaiki tingkat kepuasan kerja [11]. Penerapan
TPM yang konsisten mampu mencegah keborosan akibat perbaikan mesin rusak. Secara umum,

Oki Sunardi et al. (Analisis Efektivitas Mesin dengan Total…)


101 Jurnal Teslink : Teknik Sipil dan Lingkungan
ISSN 2715-6141 (print) | 2715-4831 (online) Vol. 4., No. 2, September 2022, pp. 98-106

penerapan TPM terbukti dapat meningkatkan nilai efektitivitas peralatan secara keseluruhan
(OEE- Overall Equipment Effectiveness).
Konsep OEE pertama kali ditulis tahun 1989 dalam buku yang berjudul ‘TPM Development
Program: Implementing Total Productive Maintenance’ dan telah diperbaharui oleh Seiichi Nakajima
(Japan Institute of Plant Maintenance). Pengukuran nilai OEE disajikan dalam bentuk rasio. Tujuan
OEE yaitu untuk mengukur efektifitas dan performansi dari suatu mesin. Tiga variabel penting dalam
menghitung OEE yaitu tingkat ketersediaan mesin (availability rate), tingkat efisiensi produksi
(performance rate) dan kualitas output (quality rate) [12]. Tabel 1 menggambarkan target penilaian
OEE untuk menuju World Class Standard.
Tabel 1. Faktor OEE dan standard kelas dunia
OEE Factor World Class
Availability 90%
Performance 95%
Quality 99%
Overall OEE 85%

Adapun formula perhitungan OEE sebagai berikut :


Availability (A) = (Loading time-Downtime)/(Loading time) × 100%
Performance (P) = (Theoritical cycle time x Processed amount)/(Operation time) × 100%
Quality Rate (Q) = (Process amount-Defect amount)/(Process amount) × 100%
OEE = (A)(P)(Q)

2.2 Six big losses


Perhitungan nilai OEE akan sangat membantu menentukan penyebab-penyebab kerugian dalam
proses produksi. Pendekatan Six Big Losses dapat mengetahui komponen mana yang memiliki
efektivitas paling rendah yang kemudian dapat dilakukan analisis akar masalahnya. Rumus
perhitungannya adalah sebagai berikut:
1. Kerugian karena kerusakan peralatan sehingga membutuhkan perbaikan.
Breakdown losses = downtime/(loading time)×100%
2. Kerugian karena set up mesin sebelum dimulainya proses produksi.
Set up and adjustment losses = (set up time)/(loading time)×100%
3. Kerugian akibat mesin mati dalam waktu yang singkat dan harus di-restart namun tidak
diperlukan perbaikan.
Idle and minor stoppage losses = (non-productive time)/(loading time)×100%
4. Kerugian akibat mesin bekerja lebih lambat dari yang seharusnya.
Reduced speed losses = (operation time - (idle cycle time x total produksi))/
(loading time) × 100%
5. Kerugian akibat produk tidak diproduksi dengan benar tetapi masih dapat diperbaiki (rework).
Defect losses = (idle cycle time x total product defect)/(loading time)×100%
6. Kerugian akibat adanya cacat pada proses produksi sehingga produk tidak dapat digunakan
lagi.
Scrap losses = (idle cycle time x scrap)/(loading time)×100%.

2.3 Mean time between failure (MTBF) dan mean time to repair (MTTR)
MTBF adalah rata-rata uptime suatu mesin diantara failure yang terjadi. MTBF diaplikasikan pada
mesin yang bersifat ‘dapat diperbaiki’ setelah mengalami kerusakan. Dengan menggunakan MTBF,
perusahaan dapat mengetahui ketersediaan dan ketahanan dari mesin atau komponen.
Sedangkan MTTR adalah waktu rata-rata yang dihabiskan untuk proses perbaikan (repair) suatu
mesin. Perhitungan MTTR dimulai ketika alat rusak sampai kembali beroperasi normal. Rumus untuk
menghitung MTBF dan MTTR sebagai berikut:
MTBF = (Total uptime mesin)/(Total breakdown)
MTTR = (Total breakdown time)/(Total breakdown).

Oki Sunardi et al. (Analisis Efektivitas Mesin dengan Total…)


Jurnal Teslink : Teknik Sipil dan Lingkungan 102
Vol. 4., No. 2, September 2022, pp. 98-106 SSN 2715-6141 (print) | 2715-4831 (online)

3. Hasil dan Pembahasan


Langkah awal dalam pengukuran OEE, yaitu mengukur Availability Rate, Performance Rate, dan
Quality Rate. Untuk dapat menghitung ketiga variabel di atas dibutuhkan data penunjang seperti data
breakdown (downtime), loading time, operation time, product result, dan product defect yang
terngkum pada tabel berikut.
Tabel 2. Data dalam pengukuran OEE

Hasil pengukuran OEE pada mesin mixing C1002 ditampilkan pada tabel 3. Didapat availability
rate sebesar 77,66%, performance rate sebesar 87,12% dan quality rate sebesar 99,97%.

Tabel 3. Hasil pengukuran OEE mesin mixing C1002


Month Availability (%) Performance (%) Quality (%)
Januari 72.68 51.80 99.97
Februari 78.69 53.76 99.97
Maret 81.61 55.28 99.98
Average 77.66 87.12 99.97

Hasil perhitungan OEE sebagai berikut:


OEE (%) = (Availability Rate)(Performance Rate)(Quality Rate)
= (77,66%)(87,12%)(99,97%)
= 67,64%
Perbandingan hasil perhitungan OEE dengan world class standard ditunjukkan pada tabel 4.

Tabel 4. Permbandingan OEE hitung dengan world class standard

Rendahnya nilai availability (77,66%) mengindikasi bahwa mesin belum beroperasi secara
maksimal. Faktor availability adalah faktor paling jauh dari world class standard dalam hitungan
persentasenya (12,34%). Hal ini menunjukkan bahwa faktor availability memberikan kontribusi
terbesar pada rendahnya nilai OEE.

Analisis six big losses kemudian dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab yang
memberikan kerugian terbesar pada mesin. Setiap faktor dalam six big losses menyediakan informasi
mengenai down time losses, speed losses, dan quality losses. Data yang diperlukan untuk menentukan
six big losses terangkum pada tabel 5

Oki Sunardi et al. (Analisis Efektivitas Mesin dengan Total…)


103 Jurnal Teslink : Teknik Sipil dan Lingkungan
ISSN 2715-6141 (print) | 2715-4831 (online) Vol. 4., No. 2, September 2022, pp. 98-106

Tabel 5. Data terkait six big losses

Data kemudian diurutkan berdasarkan konsep pareto (Gambar 3)

Gambar 3. Pareto Chart six big losses


Berdasarkan diagram pareto time losses terbesar yaitu pada breakdown losses (14,57%) dan
reduced speed losses (9,95%). Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan membutuhkan perawatan
yang tepat untuk mengatasi kerusakan mesin dan memperbaiki performa mesin.
Kemudian dilakukan perhitungan Mean Time between Failure (MTBF) dan Mean Time to Repair
(MTTR) untuk mengkalkukasi waktu rata-rata antara mesin dapat beroperasi sebelum terjadi
kerusakan lagi dan waktu perbaikan yang diperlukan oleh perusahaan ketika kerusakan terjadi. Tabel
6 berisi data pendukung untuk menghitung MTBF dan MTTR pada mesin mixing C1002.

Tabel 6. Data pendukung perhitungan MTBF dan MTTR


Month Breakdown count. Breakdown time Loading time

Januari 59 8494 41478


Februari 61 5247 41547
Maret 31 4657 43287
Total 151 18398 126312

Perhitungan nilai MTBF dan MTTR diperoleh sebagai berikut:


MTBF = (Total uptime mesin)/(Total breakdown )
= 126,312/(151 )
= 836,5 menit atau 13,9 jam
MTTR = (Total breakdown time)/(Total breakdown )
= 18,398/(151 )
= 121,8 menit atau 2,03 jam

Oki Sunardi et al. (Analisis Efektivitas Mesin dengan Total…)


Jurnal Teslink : Teknik Sipil dan Lingkungan 104
Vol. 4., No. 2, September 2022, pp. 98-106 SSN 2715-6141 (print) | 2715-4831 (online)

Hasil perhitungan menunjukkan waktu rata-rata mesin sebelum mengalami kerusakan lagi
berdasarkan nilai MTBF yaitu 836,5 menit atau 13,9 jam dengan indikasi kerusakan mesin sebanyak
151 kali dalam periode Januari sampai dengan Maret 2022. Yang artinya kerja mesin mixing C1002
tidak efektif dikarenakan sering mengalami breakdown. Penyebabnya bisa karena belum
diterapkannya preventive maintenance, kurangnya kesadaran dari operator maintenance untuk
merawat mesin atau adanya trouble yang berulang (yang belum diketahui solusinya). Sedangkan
waktu rata-rata yang digunakan untuk memperbaiki mesin berdasarkan nilai MTTR yaitu 121,8 menit
dimana mewakili kerusakan mesin periode tersebut sebanyak 151 kali. Hasil MTTR menunjukkan
lamanya waktu repair yang dibutuhkan operator maintenance untuk memperbaiki mesin. Hal ini bisa
disebabkan oleh kurangnya skill operator maintenance dalam melakukan perbaikan atau tidak
tersedianya sparepart yang dibutuhkan.
Peningkatan nilai OEE dapat dilakukan dengan mengurangi faktor kegagalan yang terjadi.
Penerapan pilar TPM yaitu Autonomous maintenance dan 5S merupakan langkah yang tepat guna
meningkatkan kinerja operator dan mesin. Operator dilatih dalam proses produksi sesuai jobdesk nya
masing-masing agar dapat bekerja dengan lebih efisien, teliti, dan tepat waktu, sehingga proses
produksi tidak terhambat. Operator juga harus ditanamkan rasa peduli akan nperalatannya masing-
masing.
Metode preventive maintenance yang diterapkan oleh perusahaan saat ini adalah periodic
maintenance dan breakdown maintenance. Untuk periodic maintenance yaitu sekali dalam sebulan
dengan durasi waktu 2 jam. Selebihnya diterapkan breakdown maintenance yang artinya dilakukan
perbaikan ketika mesin sudah dalam kondisi rusak. Berdasarkan penelitian ini, sebaiknya perusahaan
juga menerapkan predictive maintenance. Predictive maintenance adalah kegiatan pengecekan guna
memprediksi mesin sebelum terjadi kerusakan (breakdown). Dengan adanya predictive maintenance
tentunya akan berdampak pada lifetime mesin dapat diprediksi dan dapat segera diperbaiki. Peneliti
juga merekomendasikan untuk periodic preventive maintenance yang sebelumnya diadakan sekali
dalam sebulan, dapat ditambah menjadi dua kali dalam sebulan guna meminimalisasi breakdown dan
meningkatkan efektifitas mesin.

a.
4. Kesimpulan
Perhitungan Overall Equipment Effectiveness menunjukkan nilai 67,64%. Nilai ini masih belum
mendekati world class standard yaitu 85%. Faktor pemicu rendahnya OEE yaitu dari nilai availability
rate sebesar 77,66%, disusul performance rate 87,12% dan quality rate 99,97%. Nilai rata-rata quality
rate sebesar 99,97% menunjukkan kualitas output yang dihasilkan mesin ini sudah baik, dimana sudah
melebihi standar dunia sebesar 99%. Namun dilihat nilai availability (77,66%) menunjukkan bahwa
mesin mixing C1002 belum beroperasi maksimal yang mengarah pada kinerja bagian maintenance
yang kurang efektif.
Kegagalan mencolok yang membuat rendagnya nilai OEE adalah breakdown losses dan reduced
speed losses. Breakdown losses merupakan faktor terbesar dari keseluruhan losses yaitu sebesar
44,93% dan reduced speeds losses di tempat kedua dengan nilai 30,7%. Hal ini mengindikasikan
bahwa perusahaan membutuhkan perawatan yang tepat untuk mengatasi kerusakan mesin dan
memperbaiki performa mesin.
Waktu rata-rata mesin mixing C1002 dapat beroperasi sebelum mengalami kerusakan berdasarkan
perhitungan MTBF yaitu 836,5 menit atau 13,9 jam dengan kerusakan mesin sebanyak 151 kali dalam
periode tiga bulan. Sedangkan waktu rata-rata yang digunakan untuk memperbaiki mesin berdasarkan
nilai MTTR yaitu 121,8 menit dimana mewakili kerusakan mesin periode tersebut sebanyak 151 kali.
Hal ini mengindikasi kerja mesin mixing C1002 tidak efektif dikarenakan sering terjadi breakdown.
Penyebabnya karena kurangnya preventive maintenance, kurangnya kesadaran dari operator untuk

Oki Sunardi et al. (Analisis Efektivitas Mesin dengan Total…)


105 Jurnal Teslink : Teknik Sipil dan Lingkungan
ISSN 2715-6141 (print) | 2715-4831 (online) Vol. 4., No. 2, September 2022, pp. 98-106

merawat mesin atau adanya trouble yang berulang. Nilai MTTR menunjukkan lamanya waktu
repair yang dibutuhkan operator maintenance untuk memperbaiki mesin. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya skill operator dalam melakukan perbaikan atau tidak tersedianya sparepart yang
dibutuhkan.
Untuk meningkatkan efektifitas mesin, perusahaan perlu mengurangi losses yang terjadi. Operator
sebaiknya diberi kesadaran akan kepedulian untuk merawat mesin dan diberi peningkatan skill dalam
proses produksi agar dapat bekerja dengan cepat, teliti dan tepat waktu. Hal ini bisa melalui penerapan
autonomous maintenance dan 5S.
Metode preventive maintenance yang diterapkan oleh perusahaan saat ini adalah periodic
maintenance dan breakdown maintenance. Untuk periodic maintenance dilakukan sekali dalam
sebulan dengan durasi waktu 2 jam. Selebihnya diterapkan breakdown maintenance yang artinya
dilakukan perbaikan ketika mesin sudah dalam kondisi rusak. Perusahaan sebaiknya menerapkan
predictive maintenance setiap 8 jam sekali, yang akan berdampak pada perpanjangan lifetime mesin,
mengingat setiap 13,9 jam pemakaian akan terjadi breakdown.

Oki Sunardi et al. (Analisis Efektivitas Mesin dengan Total…)


Jurnal Teslink : Teknik Sipil dan Lingkungan 106
Vol. 4., No. 2, September 2022, pp. 98-106 SSN 2715-6141 (print) | 2715-4831 (online)

References
[1] Alfaris. (2006). Daerah Aliran Cimandiri.
[2] K.E. Chong and K.C. Ng, “Relationship Between Overall Equipment Effectiveness Throughput and Production Part
Cost in Semiconductor Manufacturing Industry,” International conference on industrial engineering and engineering
management (IEEM), 2016, 75-79.
[3] R. Rasheed and S. Rasheed, “Advancement of Overall Equipment Effectiveness (OEE) IN Machining Process
Industry,” International Journal for research in electronics & electrical engineering, 2016, 2(8), 01-14.
[4] P. Carlborg, D. Kindstrom, and C. Kowalkowski, "A lean approach for service productivity improvements: synergy or
oxymoron?" Managing Service Quality: An International Journal, 2013, 23 (4), 291-304.
[5] D.P. Sari and M.F. Ridho, “Evaluasi Manajemen Perawatan dengan Metode Reliability Centered Maintenance (RCM)
II Pada Mesin Blowing I di Plant I PT. Pisma Putra Textile.” Jurnal Teknik Industri, 2016, 11(2), 73-80.
[6] J. Pranoto, N. Matondang, and I Siregar, “Implementasi Studi Preventive Maintenance Fasilitas Produksi dengan
Metode Reliability Centered maintenance pada PT. XYZ.” E-jurnal Teknik Industri FT USU, 2013, 1(3),18-24.
[7] S. Fore and L. Zuze, “Improvement of Overall Equipment Effectiveness Though Total Productive Maintenance,” World
Academy of Science, Engineering and Technology, 2010, 37, 402-410.
[8] H.S. Rajput and P. Jayaswal, “A Total Productive Maintenance (TPM) Approach To Improve Overall Equipment
Efficiency,” International Journal of Modern Engineering Research, 2012, 2(6), 4383-4386.
[9] N.I. Kasim, M.A. Musa, A.R. Razali, N.M. Noor, W.A.N.W. Saidin, “Improvement of Overall Equipment Effectiveness
(OEE) Through Implementation of Total Productive Maintenance (TPM) in Manufacturing Industries,” Applied
Mechanics and Materials, 2015, 761, 180-185.
[10] S. Nallusamy, V. Kumar, V. Yadav, U.K. Prasad and S.K. Suman, “Implementation of Total Productive Maintenance
To Enhance The Overall Equipment Effectiveness In Medium Scale Industries,” International Journal of Mechanical
and Production Engineering Research and Development, 2018, 8(1), 1027-1038.
[11] F. Nurprihatin, M. Angely and H. Tannady, “Total Productive Maintenance Policy to Increase Effectiveness and
Maintenance Performance Using Overall Equipment Effectiveness,” Journal of Applied Research on Industrial
Engineering, 2019, 6(3), 184-199.
[12] S. Nakajima, Introduction to TPM (Total Productive maintenance), Cambridge,1988.
[13] Vorne Industries Inc., “Fast Guide to OEE,” website www.oee.com (accessed on Juni 2, 2021).

Oki Sunardi et al. (Analisis Efektivitas Mesin dengan Total…)

Anda mungkin juga menyukai