Anda di halaman 1dari 11

2.

LANDASAN TEORI

2.1 Kualitas laba


Menurut FASB (Financial Accounting Standards Board) informasi yang
relevan tentang entitas harus mempunyai kemampuan untuk memprediksi kinerja
perusahaan di masa yang akan datang. Salah satu informasi yang paling relevan
adalah laba (income). Tujuan utama dalam melaporkan laba adalah untuk
membantu investor dan kreditor dalam memprediksi arus kas yang akan datang.
Mayangsari dan Wilopo (2002) mengatakan bahwa pemilihan metode akuntansi
tidak terbatas hanya pada unsur-unsur yang dapat mempengaruhi arus kas tetapi
juga mempengaruhi nilai perusahaan yang tercermin pada laba perusahaan. Oleh
karena itu, dilakukan pengukuran kualitas laba untuk menilai keadaan perusahaan
yang sebenarnya.
Dalam literatur-literatur akuntansi dikemukakan beberapa definisi dari
kualitas laba. Penman dan Zhang (2002) mendefinisikan kualitas laba berasal dari
perubahan tingkat konservatisma perusahaan melewati satu periode waktu. Hodge
(2003) mendefinisikan kualitas laba adalah tingkat perbedaan antara laba bersih
yang dilaporkan dengan laba yang sesungguhnya.
Definisi kualitas laba menurut Schroeder et al. (2001) adalah korelasi
antara laba akuntansi dan laba ekonomi. Tingkat kualitas laba ditentukan melalui
selisih antara laba akuntansi dan laba ekonomi. Jika laba akuntansi mendekati laba
ekonomi maka laba tersebut dapat dikatakan berkualitas. Angka laba akan lebih
bermakna kalau laba tersebut mencakup perubahan kemakmuran (wealth) atau
penciptaan nilai (value creation) sebagai hasil kinerja ekonomik suatu kesatuan
usaha. Diharapkan bahwa laba akuntansi akan mendekati laba ekonomik yang
berarti bahwa perubahan laba akuntansi diharapkan merefleksikan pula perubahan
ekonomik perusahaan. Dengan demikian, laba akuntansi masih tetap bermanfaat
bagi investor yang mungkin lebih berkepentingan dengan laba ekonomik.
Menurut Chandrarin (2003) laba akuntansi yang berkualitas adalah laba
akuntansi yang mempunyai sedikit atau tidak mengandung gangguan persepsian
di dalamnya dan dapat mencerminkan kinerja keuangan perusahaan yang
sesungguhnya. Menurut Hayn (1995) gangguan persepsian dalam laba akuntansi

5
Universitas Kristen Petra
6

dapat disebabkan oleh peristiwa transitori atau penerapkan konsep akrual dalam
akuntansi.
Walaupun peneliti-peneliti diatas telah mengemukakan karakteristik laba
akuntansi yang berkualitas tetapi dalam praktiknya, kualitas laba akuntansi sulit
untuk diukur. Oleh karena itu, masing-masing peneliti menggunakan pendekatan
yang berbeda untuk mengukur kualitas laba akuntansi. Ada bermacam-macam
variabel yang digunakan sebagai proksi dari kualitas laba akuntansi, antara lain
metode akuntansi, luas ungkapan sukarela (Widiastuti, 2001), konservatisma
akuntansi (Dewi, 2003), kualitas auditor (Suryono, 2003), kompleksitas informasi
(Cheng et al., 1992), absolut abnormal accrual (discretionary accrual) (Francis et
al., 2002 dan Aboody et al., 2004).
Penelitian ini menggunakan variabel tingkat manajemen laba (earnings
management) yang diproksi dengan absolut abnormal accrual(discretionary
accrual) sebagai proksi kualitas laba akuntansi. Alasan menggunakan akrual
sebagai proksi dari kualitas laba karena menurut Richardson (2003) pengukuran
besarnya akrual merupakan indikator yang baik untuk menentukan tingkat
kualitas laba. Hal ini juga didukung oleh pendapat dari Dewi (2003) yang
menyatakan bahwa laba yang berkualitas tidak dapat dilepaskan dari abnormal
(discretionary) akrual yang terkandung dalam angka laba.

2.2 Manajemen Laba (Earnings Management)


Laba yang menjadi pertimbangan investor dalam mengukur kinerja
manajemen dan bagi keputusan investasinya tanpa mempertimbangkan prosedur
yang digunakan dalam menghasilkan informasi tersebut mendorong manajer
untuk melakukan manajemen laba (Suranta dan Merdistusi, 2004).
K. Schipper (1989) mendefinisikan manajemen laba sebagai “disclosure
management in the sense of a purposeful intervention in the external financial
reporting process, with the intent of obtaining some private gain”. Dari definisi
ini manajemen laba dapat dipandang sebagai upaya manajer untuk mendapatkan
keuntungan-keuntungan pribadi tertentu.

Universitas Kristen Petra


7

Menurut Scott (2003) manajemen laba adalah tindakan manajer untuk


melaporkan laba yang dapat memaksimalkan kepentingan pribadi atau perusahaan
dengan menggunakan kebijakan metode akuntansi.
Menurut Healy dan Wahlen (1998) manajemen laba terjadi ketika manajer
menggunakan keputusan tertentu dalam laporan keuangan dan transaksi untuk
mengubah laporan keuangan sebagai dasar kinerja perusahaan yang bertujuan
menyesatkan pemilik atau pemegang saham atau untuk mempengaruhi hasil
kontraktual yang mengandalkan angka-angka akuntansi yang dilaporkan.
Menurut Scott (2003) ada beberapa faktor yang mendorong manajer
melakukan aktivitas manajemen laba, antara lain :
• Kontrak bonus
• Kontrak hutang
• Faktor politik
• Faktor pajak
• Perubahan CEO
• Penawaran saham perdana (IPO)
Dalam bukunya Scott (2003) mengemukakan bentuk-bentuk manajemen
laba yang dilakukan oleh manajer antara lain :
a. Taking a bath
Dilakukan ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan tidak bisa
dihindari pada periode berjalan, dengan cara mengakui biaya-biaya pada
periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan.
b. Income minimization
Dilakukan saat perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan
tujuan agar tidak mendapat perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil
berupa pembebanan pengeluaran iklan, riset dan pengembangan yang cepat
dan sebagainya.
c. Income maximization
Memaksimalkan laba agar manajer memperoleh bonus yang lebih besar dan
juga dilakukan ketika perusahaan mendekati suatu pelanggaran kontrak hutang
jangka panjang, manajer akan cenderung untuk memaksimalkan laba.

Universitas Kristen Petra


8

d. Income smoothing
Income smoothing merupakan bentuk manajemen laba yang paling popular
karena paling sering dilakukan oleh manajer. Melalui income smoothing
manajer menaikkan atau menurunkan laba untuk mengurangi fluktuasi laba
yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat stabil dan tidak beresiko tinggi.
Standar akuntansi yang memberikan kebebasan kepada pihak manajemen
untuk memilih dan menggunakan kebijakan atau metode akuntansi tertentu
dijadikan sebagai alasan bagi pihak manajer untuk melakukan aktivitas
manajemen laba. Menurut Ayres (1994) yang dikutip dalam Gumanti (2000) ada
tiga faktor yang bisa dikaitkan dengan munculnya praktek manajemen laba, yaitu
manajemen akrual, penerapan suatu kebijakan akuntansi yang wajib dan
perubahan akuntansi secara sukarela.
Faktor pertama dikaitkan dengan segala aktivitas yang dapat
mempengaruhi aliran kas dan juga keuntungan yang secara pribadi merupakan
wewenang dari para manajer (manager’s discretion) contohnya adalah dengan
mempercepat atau menunda pengakuan akan pendapatan, menganggap sebagai
ongkos (beban biaya) atau menganggap sebagai suatu tambahan investasi atas
suatu biaya, beban piutang ragu-ragu,dll.
Faktor kedua berkaitan dengan keputusan manajer untuk menerapkan
suatu kebijaksanaan akuntansi yang wajib diterapkan oleh perusahaan, yaitu
antara menerapkannya lebih awal dari waktu yang diterapkan atau menundanya
sampai saat berlakunya kebijakan tersebut.
Faktor ketiga yaitu perubahan metode akuntansi secara sukarela, biasanya
berkaitan dengan upaya manajer untuk mengganti atau merubah suatu metode
akuntansi tertentu di antara sekian banyak metode yang dapat dipilih yang tersedia
dan diakui oleh GAAP, antara lain merubah metode penilaian persediaan dari
FIFO ke LIFO atau sebaliknya, merubah metode penyusutan aktiva dari metode
garis lurus ke metode penyusutan yang dipercepat atau sebaliknya, dan pengakuan
atas biaya produksi yaitu antara metode biaya penuh atau biaya langsung/variabel.
Manajemen laba paling sering dilakukan dengan cara manajemen akrual
yaitu dengan meningkatkan atau menurunkan angka-angka akrual untuk
menjadikan laba lebih rendah atau lebih tinggi (Guenther, 1994 ; Frankel dan

Universitas Kristen Petra


9

Trezevant, 1994 ; Maydew, 1997). Di luar negeri, praktik manajemen laba ini
sudah menjadi perhatian para praktisi dan akademis dan sudah banyak pula
penelitian mengenai manajemen laba. Di Indonesia sendiri penelitian mengenai
manajemen laba sudah banyak dilakukan antara lain Setiawati (1999), Kiswara
(1999), Sutanto (1999) dan Nursanto (2002) semuanya menggunakan proksi
discretionary accrual dalam menilai besarnya manajemen laba yang terjadi dalam
perusahaan.

2.3 Akrual, normal akrual dan abnormal akrual


Healy (1985) menyatakan manajemen suatu perusahaan dapat melakukan
manajemen laba dengan dua cara yaitu dengan memilih prosedur akuntansi atau
mengontrol berbagai akrual (discretionary accrual). Pendeteksian manajemen
laba dalam penelitian ini menggunakan komponen discretionary accrual.
Basis akuntansi merupakan prinsip-prinsip akuntansi yang menentukan
kapan pengaruh atas transaksi atau kejadian harus diakui untuk tujuan pelaporan
keuangan. Basis akuntansi ini berhubungan dengan waktu kapan pengukuran
dilakukan. Dalam akuntansi dikenal istilah basis kas dan basis akrual.
Istilah akrual ini digunakan untuk menentukan penghasilan (revenue) pada
saat diperoleh dan untuk mengakui beban yang sepadan dengan revenue pada
periode yang sama, tanpa memperhatikan waktu penerimaan kas dari penghasilan
yang bersangkutan. Sedangkan basis kas adalah pengakuan revenue dan beban
atas dasar kas tunai yang diterima. Pengakuan atas dasar kas ini menyimpang dari
konsep dasar akuntansi yaitu matching of cost with revenue sehingga konsep
pengakuan revenue dan beban atas dasar kas tunai yang diterima tidak sesuai
dengan prinsip akuntansi yang diterima umum. Oleh karena itu pengakuan
pendapatan dan beban menurut standar akuntansi yang diterima oleh umum
digunakan konsep akrual.
Dalam prosesnya konsep akrual ini memungkinkan adanya perilaku untuk
manajer melakukan rekayasa laba atau earnings management guna menaikkan
atau menurunkan porsi angka akrual dalam laporan laba rugi. Perkayasaan laba
merupakan salah satu praktek manajemen laba melalui rekayasa akrual.

Universitas Kristen Petra


10

Konsep akrual dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : Normal akrual (non


discretionary) dan Abnormal akrual (discretionary). Normal akrual (non
discretionary) merupakan akrual yang jumlahnya tidak dapat dikendalikan oleh
manajemen karena berhubungan dengan aktivitas bisnis. Sedangkan Abnormal
akrual (discretionary) merupakan akrual yang jumlahnya dapat dikendalikan
secara flexible oleh manajemen perusahaan sehingga manajemen dapat mengatur
besarnya laba yang diinginkan. Oleh karena itu bentuk akrual yang dianalisis
dalam penelitian ini adalah abnormal accrual (discretionary accrual).
Scott (2003) mengasumsikan ada empat komponen akrual yang sifatnya
diskretioner (discretionary accrual) yang dapat digunakan untuk meningkatkan
laba jangka pendek yang dilaporkan, antara lain :
a. Biaya depresiasi dan amortisasi, dalam komponen tersebut penentuan
masa manfaat dari aktiva tetap merupakan akrual yang diskretioner atau
dapat dikendalikan oleh manajemen.
b. Kenaikan pada net account receivable, diasumsikan adanya penurunan
pada cadangan kerugian piutang. Penentuan besarnya cadangan kerugian
piutang merupakan akrual yang diskretioner.
c. Kenaikan pada persediaan, dengan memasukkan biaya overhead tetap ke
dalam besarnya persediaan daripada mengakui biaya tersebut sebagai
beban.
d. Penurunan pada accounts payable dan accrual liabilities, diasumsikan
perusahaan telah membebankan biaya klaim atas garansi pada tahun
sebelumnya sehingga beban garansi pada tahun berjalan kecil sehingga
laba tahun berjalan lebih besar.

Nelson et al. (2000) meneliti praktik manajemen laba yang dilakukan oleh
manajemen di Amerika Serikat dan menyimpulkan bahwa lebih banyak
perusahaan yang melakukan manajemen laba yang berdampak pada meningkatnya
laba tahun berjalan daripada penurunan laba dan praktek manajemen laba yang
paling banyak dilakukan adalah yang berkaitan dengan cadangan karena
manajemen mempunyai kemampuan untuk mengontrol besarnya cadangan
tersebut, kemudian berdasarkan urutan frekuensi kejadiannya adalah pengakuan

Universitas Kristen Petra


11

pendapatan, penggabungan badan usaha, aktiva tidak berwujud, aktiva tetap,


investasi dan sewa guna usaha.
Dalam buku Accounting Theory 5th Edition (Ahmed Riahi dan Belkaoui,
2004) dikemukakan ada 6 model untuk mengukur discretionary accrual, antara
lain :
• The De Angelo Model
• The Healy Model
• The Jones Model
• The modified Jones Model
• The Industry Model
• The Kang and Sivaramakrishnan Model
Dalam penelitian ini, peneliti mengukur discretionary accrual dengan
menggunakan model Jones yang dimodifikasi, karena model tersebut dianggap
paling baik diantara model lain yang sama-sama digunakan untuk mengukur
manajemen laba (Francis et al., 2002 ; Dechow et al., 1995 ; Bartov dan Gul,
2000 ; Lobo dan Zhou, 2001).

2.4 Pengukuran kualitas laba


Yuliati (2004) meneliti variabel akrual yang diukur dengan tiga
pendekatan terhadap probabilitas perusahaan melakukan manajemen laba untuk
menghindari pelaporan kerugian dan hasilnya menunjukkan pengaruh positif dan
signifikan terhadap probabilitas perusahaan melakukan manajemen laba untuk
menghindari kerugian. Hubungan positif menunjukkan bahwa semakin besar
akrual perusahaan berarti semakin besar probabilitas perusahaan melakukan
manajemen laba. Hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa akrual merupakan alat yang paling sering digunakan untuk
melakukan manajemen laba. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan
manajemen laba sebagai proksi dari kualitas laba. Pendeteksian manajemen laba
dalam penelitian ini menggunakan komponen abnormal accrual(discretionary
accrual) dengan melihat nilai absolutnya.
Dalam penelitian ini, kualitas laba menggunakan pengukuran berdasarkan
pada estimasi absolut abnormal akrual yang dikemukakan oleh Jones (1991) yang

Universitas Kristen Petra


12

kemudian dimodifikasi oleh Dechow, Sloan and Sweeney (1995). Tingkat kualitas
laba ditentukan oleh nilai absolut dari abnormal komponen. Semakin besar nilai
absolut maka semakin rendah kualitas labanya. Untuk mendeteksi ada tidaknya
manajemen laba, maka pengukuran atas akrual adalah hal yang sangat penting
untuk diperhatikan. Langkah pertama adalah mencari nilai total akrual. Total
akrual dibedakan menjadi dua bagian yaitu normal akrual dan abnormal akrual.
Perhitungan total akrual menggunakan informasi yang didapatkan dari neraca dan
laporan laba rugi dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

TA j ,t = (∆CA j ,t − ∆CL j ,t − ∆Cash j ,t + ∆STDEBT j ,t − DEPN j ,t ) (2.1)

Dimana :
TA j ,t = total akrual perusahaan j pada tahun t

∆CA j ,t = perubahan aktiva lancar perusahaan j antara tahun t-1 dan t

∆CL j ,t = perubahan hutang lancar perusahaan j antara tahun t-1 dan t

∆Cash j ,t = perubahan kas perusahaan j antara tahun t-1 dan t

∆STDEBT j ,t =perubahan hutang jangka pendek perusahaan j antara tahun t-1 dan t

DEPN j ,t = biaya penyusutan dan amortisasi perusahaan j pada tahun t

Total akrual tersebut dapat dipergunakan sebagai perhitungan dalam


mencari nilai discretionary accrual yang merupakan ukuran manajemen laba.
Total akrual sebuah perusahaan dapat dipisahkan menjadi non discretionary
accrual dan discretionary accrual. Jones (1991) membuat sebuah model untuk
memisahkan tingkat akrual discretionary dan non discretionary. Model Jones
untuk tersebut adalah :

TA j ,t 1 ∆ Re v j ,t PPE j ,t
= κ1 + κ2 + κ3 + ε j ,t (2.2)
Asset j ,t −1 Asset j ,t −1 Asset j ,t −1 Asset j ,t −1

Universitas Kristen Petra


13

Dimana :
Asset j ,t −1 = total aset perusahaan j pada awal tahun t

∆ Re v j ,t = perubahan revenue perusahaan j antara tahun t-1 dan t

PPE j ,t = nilai keseluruhan dari property, plant and equipment perusahaan j pada

tahun t

Jones menggunakan aktiva tetap dan perubahan pendapatan untuk


mengontrol perubahan non discretionary karena perubahan kondisi yang terjadi.
Perubahan pendapatan dimasukkan ke dalam model untuk mengendalikan
perubahan dalam non discretionary accruals yang disebabkan oleh perubahan
kondisi. Pendapatan digunakan sebagai kontrol terhadap lingkungan perusahaan
karena pendapatan merupakan ukuran objektif dari operasi perusahaan sebelum
manipulasi manajer. Aktiva tetap dimasukkan dalam model karena berkaitan
dengan biaya depresiasi yang non discretionary. Kemudian oleh Jones model
tersebut dibagi dengan total aktiva tahun sebelumnya dengan tujuan untuk
menghilangkan pengaruh heteroskedasitas.
Penelitian ini menggunakan model Jones yang telah dimodifikasi oleh
Dechow, Sloan dan Sweeney (1995) yaitu perubahan pendapatan disesuaikan
dengan perubahan piutang ( ∆AR j ,t ) karena dalam pendapatan atas penjualan

sudah tentu ada yang berasal dari penjualan secara kredit. Pengurangan terhadap
nilai piutang untuk menunjukkan bahwa pendapatan yang diterima benar-benar
merupakan pendapatan bersih. Model modifikasi Jones untuk melakukan estimasi
terhadap akrual tersebut adalah sebagai berikut :

TA j ,t 1 (∆ Re v j ,t − ∆AR j ,t ) PPE j ,t
= κ1 + κ2 + κ3 + ε j,t (2.3)
Asset j ,t −1 Asset j ,t −1 Asset j ,t −1 Asset j ,t −1

Dari hasil regresi yang diperoleh, maka koefisiennya akan diambil untuk
menentukan besarnya nilai normal akrual (non discretionary) dengan rumus
sebagai berikut :

Universitas Kristen Petra


14

1 (∆ Re v j ,t − ∆AR j ,t ) ˆ PPE j ,t
NA j ,t = κˆ1 + κˆ 2 + κ3 (2.4)
Asset j ,t −1 Asset j ,t −1 Asset j ,t −1

Setelah diketahui besarnya normal akrual, maka dapat dicari besarnya


abnormal akrual dengan rumus sebagai berikut :

TA j ,t
AA j ,t = − NA j ,t (2.5)
Asset j ,t −1

Nilai absolut dari abnormal akrual ( AA ) merupakan proksi dari kualitas laba.

Semakin besar nilai AA mengindikasikan semakin rendahnya kualitas laba.

2.5 Perumusan Hipotesis


Dalam hubungannya dengan manajemen laba dan kualitas laba, ada
pendapat dari Porter (1992) yang berpandangan bahwa investor biasanya terfokus
pada current earnings, akibatnya manajer terpaksa untuk melakukan tindakan
yang dapat meningkatkan laba jangka pendek, misalnya dengan melakukan
manipulasi laba. Bila dihubungkan dengan kualitas laba, maka hal ini akan
menyebabkan penurunan kualitas laba yang dilaporkan karena laba tersebut tidak
dapat lagi dipakai sebagai indikator nilai perusahaan.
Imhoff and Thomas (1994) membuktikan bahwa kualitas rating dari analis
berhubungan positif dengan konservatisma dalam estimasi dan pemilihan metode
akuntansi dan dengan jumlah pengungkapan rinci atas angka yang dilaporkan.
Implikasi dari penemuan ini adalah perusahaan yang lebih konservatif dalam
membuat estimasi dan memilih metode akuntansi (atau perusahaan dengan tingkat
manajemen laba yang rendah) akan mengungkapkan informasi yang lebih banyak
(berkualitas).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Verrechia (1990) dan Dye (1988)
membuktikan bahwa ada korelasi positif antara tingkat pengungkapan dengan
kinerja perusahaan. Terkait dengan kinerja, manajer perusahaan dengan kinerja

Universitas Kristen Petra


15

yang baik cenderung untuk mengungkapkan lebih banyak informasi (manajemen


laba rendah) dibandingkan dengan perusahaan yang kinerjanya tidak terlalu baik.
Setiawati (1999) dalam penelitiannya mengevaluasi perilaku manajemen
laba dalam industri perbankan di Indonesia. Proksi yang digunakan adalah
discretionary accrual. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai
discretionary accruals bank yang mengalami penurunan kesehatan lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai discretionary accruals bank yang tidak mengalami
penurunan kesehatan. Temuan ini mengindikasikan adanya manajemen laba oleh
bank yang mengalami penurunan tingkat kesehatan. Dari dua hasil penelitian
diatas dapat disimpulkan ada kecenderungan perusahaan dengan kualitas laba
yang baik juga mempunyai kinerja yang baik.
Healy (1985) menunjukkan bahwa kualitas laba dipengaruhi oleh motivasi
manajerial dalam melakukan pelaporan. Jika manajer sebagai agen penghasil
informasi, mengendalikan informasi untuk tujuan mereka (melakukan manajemen
laba) khususnya jika kepentingan itu akan merugikan pemegang saham, maka
kualitas laba akan turun.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu maka dapat dikatakan
laba yang berkualitas adalah laba yang bebas dari aktivitas manajemen laba dan
perusahaan yang manajemen labanya rendah cenderung mempunyai kinerja
keuangan yang lebih baik. Maka dalam penelitian ini disusun hipotesis sebagai
berikut :

H : Laba yang berkualitas akan terbebas dari aktivitas manajemen laba

Universitas Kristen Petra

Anda mungkin juga menyukai