Anda di halaman 1dari 23

Kamis, 05 Agustus 2010

INCOME SMOOTHING
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada tahun 1953 Heyworth mengamati “.... lebih banyak teknik akuntansi yang

dapat diterapkan untuk mempengaruhi pelekatan income bersih pada periode akuntansi

yang berturut-turut ....”. Untuk meratakan atau penyamarataan amplitudu fluktuasi

income bersih periodik. Kemudian diikuti dengan argumen yang dibuat oleh Mousen &

Downs dan Gordon bahwa manajer korporat mungkin terdorong untuk

meratakan income mereka sendiri (atau sekuritas) dengan asumsi bahan stabilitas

dalam income dan tingkat pertumbuhan akan lebih dipilih daripada arus income rata-rata

yang besar dengan variabilitas yang lebih besar.

Laporan keuangan dapat mempengaruhi pasar modal berarti menunjukkan betapa

pentingnya laporan keuangan. Karena pentingnya laporan keuangan ini di masyarakat

barat khususnya, maka mengundang manajemen melakukan hal-hal yang mengubah

laporan laba rugi untuk kepentingan pribadinya seperti mempertahankan jabatan atau

mendapatkan bonus yang tinggi. Biasanya laba yang stabil di mana tidak banyak

fluktuasi atau variance dari suatu periode ke periode lain dinilai sebagai prestasi baik.

1.2 Identifikasi Masalah


1. Apa definisi dari Income Smoothing ?

2. Sebutkan beberapa hipotesis dalam perataan income !

3. Motivasi apa saja yang timbul dalam perataan ?

4. Bagaimana hubungan rugi laba dengan neraca ?

1.3 Maksud dan Tujuan


1. Dapat menyebutkan dan menjelaskan definisi dari Income Smoothing.

2. Dapat menyebutkan dan menjelaskan tentang hipotesis dalam perataan income.


3. Dapat menjelaskan tentang motivasi apa saja yang timbul dalam perataan.

4. Dapat menjelaskan bagaimana hubungan rugi laba dengan neraca.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Income Smoothing


Income Smoothing adalah bentuk manajemen pendapatan yang merefleksikan

akibat atau hasil ekonomi, bukan karena hasil-hasil tersebut, melainkan karena

manajemen menghasilkan kualitas laba atau keuntungan yang lebih rendah karena

pendapatan tidak menggambarkan kinerja ekonomi suatu bisnis selama periode tertentu.

Income Smoothing tidak tergantung pada kecurangan dan distorsi atau perubahan,

melainkan pada peluang yang muncul dalam alternatif prinsip-prinsip akuntansi transaksi

yang diterima dan penyebarannya.

Teori Efficiency Market Hypothesis (EMH) menyebutkan bahwa laporan

keuangan dapat mempengaruhi pasar modal. Ini menunjukkan betapa pentingnya

peranan laporan keuangan. Karena pentingnya laporan keuangan ini di masyarakat barat

khususnya, maka menunjang manajemen melakukan hal-hal yang mengubah laporan

laba rugi untuk kepentingan pribadinya, seperti mempertahankan jabatan atau


mendapatkan bonus yang tinggi. Biasanya laba yang stabil di mana tidak banyak

fluktuasi atau variance dari suatu periode lain dinilai sebagai prestasi baik. Upaya

menstabilkan laba ini disebut income smoothing.

Income Smoothing biasanya dilakukan dengan berbagai cara yaitu :

1. Mengatur waktu kejadian transaksi.

2. memilih prinsip atau metode alokasi.

3. mengatur penggolongan antara laba operasi normal dan laba yang bukan dari modal

normal.
Tidak semua negara menganggap Income Smoothing ini merupakan pekerjaan

haram. Swedia misalnya membenarkan perlakuan ini sepanjang dibuat secara transparan

dan memang pada hakikatnya hasilnya sama dalam jangka panjang.

2.2 Hipotesis Perataan Income

2.2.1 Sifat Perataan Income


Perataan income dapat dipandang sebagai upaya yang sengaja dilakukan untuk

menormalkan income dalam rangka mencapai kecenderungan atau

tingkat income yang diinginkan.

Secara lebih spesifik, teorisasi Gordon tentang perataan income adalah sebagai

berikut :

Proporsi 1 : Kriterium yang digunakan manajemen korporat dalam memilih prinsip

akuntansi adalah memaksimalkan utilitas atau kemakmurannya.

Proporsi 2 : Utilitas manajemen meningkatkan seiring dengan :

1. Keamanan kerjanya.

2. Aras (level) dan tingkat pertumbuhan dalam income manajemen.

3. Aras dan tingkat pertumbuhan besarnya korporasi.

Proporsi 3 : Pencapaian tujuan manajemen yang dinyatakan dalam proporsi 2

sebagian tergantung pada kepuasan pemegang saham terhadap kinerja


korporasi yaitu jika hal-hal lain sama, makin bahagia pemegang

saham, makin besar keamanan kerja, income dan sebagainya dari

manajemen.

Proporsi 4 : Kepuasan pemegang saham terhadap korporasi meningkat seiring dengan

rata-rata tingkat pertumbuhan income korporasi (atau rata-rata

tingkat return terhadap modalnya) dan stabilitas income-nya.

Teorema : Apabila ke tempat proporsi di atas diterima atau terbukti benar, maka

manajemen dalam lingkup kekuasaannya. Yaitu ruang gerak yang

diijinkan oleh aturan akuntansi akan (1) meratakan income yang

dilaporkan (2) meratakan tingkat pertumbuhan income.


2.2.2 Motivasi Perataan
Motivasi dibalik perataan meliputi peningkatan hubungan dengan kreditor,

investor, dan memperkecil siklus bisnis melalui proses psikologi.

Gordon mengemukakan bahwa :

1. Kriterium yang digunakan manajemen korporasi atau korporat dalam memilih

prinsip akuntansi adalah untuk memaksimalkan utilitas atau kemakmurannya.

2. Utilitas yang sama adalah sebuah fungsi keamanan kerja, aras dan tingkat

pertumbuhan gaji dan aras tingkat pertumbuhan ukuran perusahaan.

3. Kepuasan pemegang saham terhadap kinerja korporasi meningkatkan status dan

penghargaan terhadap manajer.

4. Kepuasan yang sama tergantung pada tingkat pertumbuhan dan

stabilitas income perusahaan.

Manajemen juga ditugasi untuk menggalakkan berita tentang kendala-kendala

prinsip akuntansi borcerima umum dengan berusaha meratakan

angka income sedemikian rupa untuk menyampaikan ekspektasi mereka terhadap arus

kas masa depan, mempertinggi keandalan prediksi yang didasarkan pada serangkaian

angka income yang telah diratakan.


Ada tiga kendala yang dianggap mengiring manajer untuk melakukan perataan

yaitu :

1. Mekanisme pasar kompetitif, yang mengurangi pilihan bagi manajemen.

2. Skema kompensasi manajemen, yang secara langsung terkait dengan kinerja

perusahaan.

3. Ancaman penggantian.

2.2.3 Dimensi-dimensi Perataan


Dimensi perataan pada dasarnya adalah alat yang digunakan untuk melakukan

perataan angka income. Dascher dan Malcolm membedakan antara perataan riil dan

perataan artifisial sebagai berikut :

Perataan riil merujuk pada transaksi aktual yang dilakukan atau tidak

dilakukan atas dasar efek perataannya terhadap income. Sedangkan perataan artifisial

merujuk pada prosedur akuntansi yang diimplementasikan untuk memindahkan biaya

dan atau pendapatan dari satu periode ke periode yang lain.

Kedua tipe perataan tersebut mungkin tidak dapat dibedakan untuk kedua tipe

tersebut. Uji operasional disarankan adalah mencocokkan kurva dengan arus

dua income dihitung dengan dua cara :

a) Mengeluarkan variabel manipulatif yang mungkin dan

b) Memastikannya.

Selain perataan riil dan artifisial, juga dikenal perataan klasifikator sebagai

dimensi perataan yang ke tiga. Barnet et.al membedakan tiga dimensi sebagai berikut

1. Perataan melalui terjadinya peristiwa atau pengakuan.

2. Perataan melalui alokasi dari waktu ke waktu.

3. Perataan melalui klasifikasi (sehingga disebut perataan klasifikator).

2.3 Hubungan Rugi Laba dan Neraca


Dalam teori akuntansi dikenal dua pendekatan dalam menilai hubungan antara

neraca dan laba rugi yaitu articulated dan non-articulated.

Pendekatan articulated artinya laporan laba itu dianggap sebagai subklasifikasi dari pos

modal. Laba rugi hanya merupakan hasil matematis yang berasal dari perubahan modal

dari suatu periode ke periode lainnya. Sedangkan dalam pendekatan non-

articulated artinya neraca dan laporan laba rugi secara matematis independen satu sama

lain. Pendekatan ini tidak banyak menjadi perhatian, dalam konsep ini ada transaksi yang

tidak mempengaruhi laba tetapi langsung dioper ke pos yang bukan hasil dan biaya.
BAB III

KESIMPULAN
Income Smoothing adalah bentuk manajemen pendapatan yang merefleksikan akibat

atau hasil ekonomi, bukan karena hasil-hasil tersebut, melainkan karena manajemen

menghasilkan kualitas laba atau keuntungan yang lebih rendah, karena pendekatan ini

menggambarkan kinerja ekonomi suatu bisnis selama periode tertentu.

Income Smoothing terdiri dari beberapa hipotesis perataan income yang meliputi

sifat income perataan, motivasi perataan dan dimensi-dimensi perataan.

Income Smoothing ini tidak tergantung pada kecurangan dan distorsi atau perubahan,

melainkan pada peluang yang muncul dalam alternatif prinsip-prinsip akuntansi transaksi

yang diterima dan penyebarannya.

DAFTAR PUSTAKA
Chairi, Anis dan Imam Nazah. 2003. Teori Akuntansi. Semarang : Badan Penerbit Universitas
Dipenogoro.
Harahap, Sopyan Syafri. 2004. Teori Akuntansi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Riahi Ahmed, Belkaoul. 2000. Teori Akuntansi. Jakarta : Salemba Empat.
PERATAAN LABA (INCOME SMOOTING)
BAB III
PEMBAHASAN

Perataan laba dalam laporan keuangan merupakan hal yang biasa dan dianggap masuk akal
(Bartov, 1993). Praktik perataan laba didorong oleh berbagai faktor. Faktor-faktor pendorong
perataan laba dapat dibedakan atas faktor konsekuensi ekonomi dari pilihan akuntansi dan faktor-
faktor laba. Faktor-faktor konsekuensi dari pilihan akuntansi merupakan kondisi yang dipengaruhi
oleh angka-angka akuntansi , sehingga perubahan akuntansi yang mempengaruhi angka-angka
akuntansi akan mempengaruhi kondisi itu. Sedangkan faktor-faktor laba adalah pengaruh dari angka-
angka laba periodik yang dengan sendirinya juga mendorong perilaku perataan laba. Perataan laba
tidak akan terjadi jika laba yang diharapkan tidak terlalu berbeda dengan laba yang sesungguhnya
(Prasetio, dkk., 2002).

1.1 Pengertian Perataan Laba

Menurut Belkaoui perataan laba (income smoothing) adalah pengurangan fluktuasi laba dari
tahun ke tahun dengan memindahkan pendapatan dari tahun-tahun yang tinggi pendapatannya ke
periode-periode yang kurang menguntungkan.

Fuddenberg dan Tirole dalam penelitian Budileksamana dan Andriani berpendapat


bahwa perataan laba adalah suatu proses manipulasi waktu terjadinya laba atau laporan laba
agar laba yang dilaporkan terlihat stabil.

Beidleman dalam Ghozali dan Chariri mengartikan perataan laba yang dilaporkan dapat
didefinisikan sebagai usaha yang disengaja untuk meratakan atau memfluktuasikan tingkat laba
sehingga pada saat sekarang dipandang normal bagi suatu perusahaan. Dalam hal ini, perataan laba
menunjukan suatu usaha manajemen perusahaan untuk mengurangi variasi abnormal laba dalam
batas-batas yang diijinkan dalam praktik akuntansi dan prinsip manajemen yang wajar (sound).

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perataan laba adalah suatu
tindakan manipulasi yang sengaja, yang dilakukan oleh manajemen terhadap fluktuasi laba yang
dilaporkan agar laba perusahaan berada di tingkat yang dianggap normal oleh perusahaan atau
dengan kata lain agar laba yang dilaporkan perusahaan terlihat stabil sepanjang diizinkan oleh prinsip
akuntansi dan manajemen yang sehat.

Income Smoothing tidak tergantung pada kecurangan dan distorsi atau perubahan,
melainkan pada peluang yang muncul dalam alternatif prinsip-prinsip akuntansi transaksi yang
diterima dan penyebarannya.

Teori Efficiency Market Hypothesis (EMH) menyebutkan bahwa laporan keuangan dapat
mempengaruhi pasar modal. Ini menunjukkan betapa pentingnya peranan laporan keuangan. Karena
pentingnya laporan keuangan ini di masyarakat barat khususnya, maka menunjang manajemen
melakukan hal-hal yang mengubah laporan laba rugi untuk kepentingan pribadinya, seperti
mempertahankan jabatan atau mendapatkan bonus yang tinggi. Biasanya laba yang stabil di mana
tidak banyak fluktuasi atau variance dari suatu periode lain dinilai sebagai prestasi baik. Upaya
menstabilkan laba ini disebut income smoothing.
Income Smoothing biasanya dilakukan dengan berbagai cara yaitu :

1. Mengatur waktu kejadian transaksi.


2. Memilih prinsip atau metode alokasi.
3. Mengatur penggolongan antara laba operasi normal dan laba yang bukan dari modal normal.
Tidak semua negara menganggap Income Smoothing ini merupakan pekerjaan haram.
Swedia misalnya membenarkan perlakuan ini sepanjang dibuat secara transparan dan memang pada
hakikatnya hasilnya sama dalam jangka panjang.
1.2 Tujuan Dilakukannya Perataan Laba

Menurut Nasser dan Parulian tujuan dilakukannya perataan laba adalah perataan laba
mempunyai tujuan untuk mengurangi variabilitas atas laba yang dilaporkan guna mengurangi
resiko pasar atas saham perusahaan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan harga pasar
perusahaan.

Menurut Foster dalam penelitian Dwimulyani dan Abraham, tujuan perataan laba
adalahmemberikan informasi yang relevan dalam melakukan prediksi terhadap laba di masa yang
akan datang.

1. Memprediksi citra perusahaan dimata pihak luar bahwa perusahaan tersebut memiliki resiko yang
rendah.

2. Meningkatkan persepsi pihak eksternal terhadap kemajuan manajemen.

3. Meningkatkan kompensasi bagi pihak manajemen.

4. Meningkatkan kepuasan relasi bisnis.

1.3 Dimensi Perataan Laba

Ada berbagai dimensi atau media yang biasanya digunakan manajemen dalam melakukan
praktik perataan laba. Dimensi parataan laba pada dasarnya merupakan alat yang digunakan untuk
menyelesaikan perataan angka pendapatan.

Menurut Eckel yang didukung oleh Nesser dan Parulina, perataan laba dapat dibedakan menjadi dua
jenis utama yaitu :

 Artificial Smoothing

Yaitu perataan laba yang dilakukan melalui prosedur akuntansi yang diterapkan untuk
memidahkan biaya atau pendapatan dari satu periode ke periode yang lain yaitu dengan mengubah
kebijakan akuntansi.

 Real Smoothing

Yaitu perataan laba yang dimanipulasi melalui transaksi nyata dengan mengatur (
menunda atau mempercepat) transaksi.

Selain yang disebutkan di atas, ada dimensi lain dari perataan laba yang dibahas oleh
Barneaet. al. dalam Belkaoui mengenai dimensi atau jenis ketiga dari perataan laba
yaitu classificatory smoothing. Belkaoui juga membedakan tiga dimensi perataan laba, antara lain:
 Perataan melalui terjadinya peristiwa dan atau pengakuan peristiwa

Artinya manajemen dapat menentukan waktu terjadinya transaksi aktual sehingga


pengaruhnya terhadap laba yang dilaporkan akan cendrung rata sepanjang waktu.

Cara yang pertama ini merupakan rekayasa laba berdasarkan pada penetapan waktu
terjadinya transaksi yang lebih fokus pada pilihan manajemen dari pada persoalan akuntansi. Oleh
karena itu, perataan laba jenis ini tidak hanya dibahas pada literatur akuntansi. Disamping karena
sulit untuk diidentifikasi, hal ini juga hampir dapat dikatakan menyimpang.

Contoh yang paling sederhana mungkin dapat ditunjukan dengan penetuan nilai saat
penjualan. Menyadari bahwa laba perusahaan pada tahun berjalan sudah terlalu tinggi dan
mengkhawatirkan sehingga pihak manajemen memutuskan untuk menangguhkan transaksi penjualan
yang seharusnya terjadi pada akhir tahun berjalan menjadi penjualan awal tahun. Dengan
bertambahnya laba tersebut akan mengakibatkan penurunan laba pada periode yang akan datang.

 Perataan melalui alokasi sepanjang waktu

Atas dasar terjadinya dan diakuinya peristiwa tertentu, manajemen memiliki media
pengendalian dalam penentuan laba pada periode yang terpengaruh oleh kualifikasi peristiwa
tersebut.

 Perataan melalui klasifikasi

Jika angka-angka dalam laporan laba rugi selain laba bersih merupakan objek dari perataan
laba, maka manajemen dapat dengan mudah mengklasifikasikan elemen-elemen dalam laporan laba
rugi sehingga dapat mengurangi variasi laba setiap periodenya.

Kedua cara perataan laba ini dapat digolongkan menjadi satu karena rekayasa laba cara ini
sama-sama jatuh pada permasalahan akuntansi terlepas dari apa yang menjadi kebijakan pihak
manajemen. Kedua cara ini juga telah menarik minat banyak peneliti, terutama karena dua hal ini
berkaitan dengan SAK.

1.4 Objek Perataan Laba

Sasaran dalam melakukan perataan laba dapat difokuskan pada aktivitas yang umumnya
dilakukan oleh pihak manajemen untuk mempengaruhi aliran dana atau informasi. Artinya untuk
menciptakan laporan keuangan yang diinginkan, manajemen dapat memasukkan informasi yang
seharusnya dilaporkan pada periode yang telah lalu atau yang akan datang ke dalam laporan periode
saat ini atau sebaliknya.

Beberapa unsur dalam laporan keuangan yang sering kali dijadikan sasaran untuk melakukan
perataan laba, antara lain :

 Unsur Penjualan, yaitu:


1) Pada saat pembuatan faktur penjualan, misalnya pihak manajemen melakukan transaksi penjualan
yang sebenarnya terjadi untuk periode yang akan datang tetapi pembuatan fakturnya dilakukan dan
dilaporkan sebagai penjualan pada periode saat ini.

2) Pembuatan pesanan atau penjualan fiktif. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar penghasilan
perusahaan periode saat ini menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya dilaporkan.

3) Dengan cara downgrading (menurunkan nilai produk), misalnya dengan cara menuliskan dalam faktur
penjualan bahwa produk yang dijual termasuk dalam kelompok produk rusak atau cacat, sehingga
harga yang tercantum menjadi lebih rendah dari harga yang sebenarnya terjadi. Dengan hasil akhir
dalam laporan keuangan bahwa penghasilan dari penjualan perusahaan menjadi lebih rendah dari
penjulan yang seharusnya terjadi.

 Unsur Biaya, Yaitu:

1) Mencegah faktur pembelian misalnya faktur untuk sebuah pembelian atau pesanan dipecah menjadi
beberapa pembelian atau pesanan dan selanjutnya dan selanjutnya dibuatkan beberapa faktur
dengan tanggal yang berbeda, sehingga kemudian dilaporkan ke dalam beberapa periode akuntansi
yang berbeda.

2) Dengan memecah faktur pembelian juga memungkinkan terjadinya peningkatan biaya angkut barang
dan atau peningkatan baiaya administrasi yang semula hanya satu kali menjadi beberapa kali.

3) Mencatat biaya dibayar dimuka (prepayment) sebagai biaya. Misalnya melaporkan sewa dibayar
dimuka untuk periode yang akan datang sebagai biaya sewa untuk periode saat ini.

1.5 Alasan Manajemen Melakukan Perataan Laba

Dalam hubungan keagenan, manajer memiliki asimetri informasi terhadap pihak eksternal
perusahaaan seperti kreditor dan investor. Hal ini terjadi ketika manajer memiliki informasi internal
perusahaan relatif lebih banyak dan mengetahui informasi tersebut relatif lebih cepat.

Manajemen sebagai agen yang mengetahui lebih banyak informasi, akan memanfaatkan
informasi yang tidak diketahui oleh prinsipal (pemilik) untuk memaksimalkan kepentingannya. Dalam
hal ini adalah pada nilai perusahaan dan manajer percaya bahwa pasar mendasarkan pada angka
akuntansi. Oleh karena itu, manajer dapat menggunakan informasi yang diketahui untuk
memanipulasi laporan keuangan dalam usaha memaksimalkan kemakmuran.

Menurut Hepworth dalam penelitian Nasser dan Parulina mengungkapkan bahwa manajer
yang termotivasi untuk melakukan perataan laba karena ingin mendapatkan berbagai keuntungan
ekonomis dan psikologis, yaitu:

1. Mengurangi total pajak yang terutang.

2. Meningkatkan kepercayaan diri manajer karena penghasilan yang stabil mendukung kebijakan
deviden yang stabil.

3. Mengingkatkan hubungan antar manajer dan karyawan karena pelaporan laba yang meningkat tajam
memberi kemungkinan munculnya tuntutan kenaikan gaji dan upah.
4. Siklus peningkatan dan penurunan penghasilan dapat ditandingkan dengan gelombang optimisme
dan pesimisme dapat diperlunak.

Secara rasional, manajer ingin meratakan penghasilan yang dilaporkannya dengan alasan
memperkecil tuntutan pemilik perusahaan. Menurut Dwimulyana dan Abraham, ada dua alasan
mengapa manajemen melakukan praktik perataan laba. Alasan tersebut antara lain:

1. Skema kompensasi manajemen dihubungkan dengan kinerja perusahaan yang digambarkan melalui
laba akuntansi yang dilaporkan, karena itu setiap fluktasi dalam laba akan berpengaruh langsung
dalam kompensasinya.

2. Fluktuasi dalam kinerja manajemen dapat mengakibatkan intervensi pemilik untuk mengganti
manajemen dengan cara pengambilalihan atau pengganti manajemen secara langsung. Ancaman
penggantian ini mendorong manajemen untuk membuat laporan kinerja yang sesuai dengan
keinginan pemilik.

1.6 Jenis Perataan Laba


Ada dua jenis perataan laba, yaitu (Riahi-Belkaoui, 2004):
1. Intentional atau designed smoothing
Intentional atau smoothing ialah keputusan atau pilihan yang dibuat untuk mengatur fluktuasi earnings
pada level yang diinginkan.
2. Natural Smoothing
Natural smoothing adalah income generating process yang natural, bukan dari hasil tindakan yang
diambil manajemen.

1.7 Faktor Pendorong Perataan Laba

Tidak semua Negara melarang dilakukannya perataan laba (Harahap, 2005). Seperti Swedia
misalnya, di negara ini perataan laba diperbolehkan, asalkan perataan laba ini dilakukan dengan
transparan.

Beberapa factor yang mendorong manajemen melakukan perataan laba adalah (Sugiarto, 2003):
1. Kompensasi bonus
Pada penelitiannya, Healy menemukan bukti bahwa manajer yang tidak dapat memenuhi target laba
yang ditentukan akan memanipulasi laba agar dapat mentransfer laba masa kini menjadi laba masa
depan. Selain itu, menurut Harahap(2005), pentingnya laporan keuangan mengundang manajemen
untuk meratakan laba demi mendapatkan bonus yang tinggi.

2. Kontrak Utang

Defond dan Jimbalvo (1994) dengan menggunakan model Jones, mengeveluasi tingkat akrual
perusahaan yang tidak dapat memenuhi target laba. Mereka menemukan bahwa perusahaan yang
melanggar perjanjian utang telah merekayasa labanya, satu periode sebelum perjanjian utang itu
dibuat.

3. Faktor Politik

Jones (1991) meneliti perusahaan yang sedang diinvestigasi oleh International Trade Commision
(ITC). Ia menemukan bukti bahwa produsen domestic cenderung menurunkan laba dengan teknik
discretionary accrual untuk mempengaruhi keputusan regulasi impor. Naim dan Hartono (1996)
meneliti perusahaan yang diduga melakukan monopoli dan menemukan bahwa manajer perusahaan
melakukan perataan laba untuk menghindari UU Anti-Trust.

4. Pengurangan Pajak

Perusahaan melakukan perataan laba untuk mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada
pemerintah (Arens, Elder, Beasley, 2002).

5. Perubahan CEO

Pouciao (1993) menemukan bukti bahwa perekayasaan laba dilakukan dengan meningkatkan
unexpected accruals pada periode satu tahun sebelum penggantian eksekutif tak rutin.

6. Penawaran saham perdana

Clarkson et al (1992) menyatakan ada reaksi positif dari pengumuman earnings forecast yang ada di
prospektus dengan tingkat penjualan saham, karena public hanya melihat laporan keuangan yang
dilaporkan pada regulator. Banyak perusahaan yang melakukan perataan laba demi mendapatkan
dan mempertahankan investor (Jones, 2005).

Faktor yang diasumsikan menyebabkan manajer melakukan perataan laba menurut buku Accounting
Theory (Riahi-Belkaoui, 2004:451), ialah :

1. Mekanisme pasar kompetitif, ysng mengurangi pilihan-pilihan yang tersedia untuk manajemen.
2. Skema kompensasi manajemen, yang terkait langsung dengan kinerja perusahaan.
3. Ancaman pergantian manajemen.

1.8 Teknik Perataan Laba


Berbagai teknik yang dilakukan dalam perataan laba diantaranya ialah (Sugiarto, 2003:
1. Perataan melalui waktu terjadinya transaksi.atau pengakuan transaksi. Pihak manajemen dapat
menentukan atau mengendalikan waktu transaksi melalui kebijakan manajemen sendiri (accruals)
misalnya biaya riset dan pegembangan.

2. Perataan melalui alokasi untuk beberapa periode tertentu. Manajer mempunyai wewenang untuk
mengalokasikan pendapatan atau beban untuk periode tertentu. Misalnya: jika penjualan meningkat
maka manajemen dapat membebankan biaya riset dan pengembangan serta amortisasi goodwill
pada periode itu untuk menstabilkan laba.

3. Perataan melalui klasifikasi. Manajemen memiliki kewenangan untuk mengklasifikasikan pos-pos rugi
laba dalam kategori yang berbeda. Misalnya jika pendapatan non-operasi sulit didefinisikan, maka
manajer dapat mengklasifikasikan pos itu pada pendapatan operasi atau pendapatan non-operasi.

Keleluasaan untuk memakai teknik-teknik akuntansi dalam mencatat terbukti telah


disalahgunakan oleh manajemen untuk melakukan perataan laba. Bahkan disinyalir bahwa perataan
laba banyak dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik akuntansi yaitu dengan merubah
kebijakan akuntansi (Koeh, 1981). Berdasarkan hal tersebut maka penelitian tentang perataan laba ini
dilakukan dengan mengambil perubahan kebijakan akuntansi sebagai objek dihubungkan dengan
antisipasi laba masa depan untuk menghindari pemecatan

Perataan Laba
JUNE 16, 2010 65 COMMENTS
Perataan Laba (Income Smoothing)
Oleh: Harry Andrian Simbolon SE., M.Ak., QIA
Laporan keuangan merupakan sarana utama untuk mengkomunikasikan informasi keuangan kepada pihak di
luar perusahaan. Laporan keuangan memberikan informasi mengenai sumber daya perusahaan dan klaim
terhadap sumber daya itu serta perubahan dalam sumber daya tersebut yang berguna bagi pengambilan
keputusan investasi dan kredit serta mengukur prospek arus kas (Kieso dan Weygandt, 2001). Untuk itu
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan tersebut harus dapat dipahami, relevan, andal, dan dapat
diperbandingkan serta menggambarkan kondisi perusahaan pada masa lalu dan proyeksi masa datang.
ada kecendrungan para pemakai laporan keuangan untuk lebih memperhatikan laba yang terdapat pada laporan
laba-rugi seperti yang dikemukakan oleh banyak peneliti diantaranya Ball and Brown, 1968; Beaver et al, 1968;
Ohlson and Ahroff, 1992 dalam Jurnal Riset Akuntansi Indonesia (JRAI) 1998 yang ditulis Liaw She Jin dalam
Ariyani (2004). Selain itu manajer juga dinilai kinerjanya berdasarkan atas informasi tersebut, sehingga hal ini
memacu timbulnya perilaku yang tidak sesuai (dysfunctional behavior). Perilaku yang tidak sesuai tersebut
digunakan oleh para manajer untuk memanipulasi laba guna meningkatkan kinerja perusahaan (Ji dan
Machfoedz, 1998).
Deteksi atas kemungkinan dilakukannya manipulasi laba atau yang disebut juga dengan manajemen laba
(earning management) dalam laporan keuangan diteliti melalui penggunaan akrual. Jumlah akrual yang
tercermin dalam penghitungan laba terdiri dari discretionary dan nodiscretionary.
Transaksi nodiscretionary merupakan transaski yang dicatat dengan menggunakan satu prosedur dan apabila
prosedur tersebut dipilih maka manajemen diharapkan konsisten dalam menggunakan prosedur tersebut. Contoh
dari transaksi ini adalah metode penentuan harga pokok persediaan dan metode penyusutan. Sebaliknya
transaksi discretionary memberikan kebebasan kepada manajemen menentukan jumlah transaksi akrual secara
fleksibel. Contohnya seperti penentuan cadangan kerugian piutang yang berasal dari manajemen laba yang
dilakukan manajer.
Diskresi manajerial tersebut dapat meningkatkan kandungan informasi laba karena memungkinkan adanya
pengkomunikasian informasi privat. Penggunaan discretionary seperti ini disebut efficient earning
management (EEM). Di lain pihak, adannya ketidaksamaan insentif antara manajer dan pemegang saham dapat
menyebabkan manajer menggunakan fleksibilitas yang diperbolehkan dalam pernyataan akuntansi yang berlaku
umum untuk melakukan earning management secara oportunistik, sehingga menciptakan distorsi dalam laba
yang dilaporkan. Hal ini disebut opportunistic earnings management (OEM) (Sylvia dan Yanivi, 2003).
Kebijakan akrual ini oleh manajer perlu diungkapkan dalam laporan keuangan. Pengungkapan (disclosure)
dalam laporan keuangan, dalam bentuk catatan atas laporan keuangan digunakan untuk
memperkecil gap antara manajemen sebagai penyusun laporan dengan pihak luar yang menggunakan laporan
keuangan.
Manajemen Laba dan Perataan Laba
Menurut Scoot (2000) dalam Dewi (2001) Manajemen laba merupakan cara yang digunakan oleh manajemen
untuk mempengaruhi angka laba secara sistematis dan sengaja dengan cara memilih kebijakan akuntansi dan
prosedur akuntansi tertentu dengan tujuan memaksimalkan utility manajemen dan harga saham. Manajemen
laba menjadi suatu hal yang tidak baik dilakukan karena informasi laporan keuangan yang disajikan berkurang
reliabilitasnya, sehingga dikuatirkan akan berakibat pada pengambilan keputusan yang keliru.
Manajemen laba mencakup dua bentuk utama yaitu yang pertama manajemen melakukan upaya perataan laba
(Income Smoothing) untuk setiap periode dan yang kedua manajemen melakukan upaya peningkatan
(Pemaksimalan) atau penurunan (peminimalan) laba dalam suatu periode. Barnea et al (1976) dalam Dwiatmini
dan Nurcolis (2001) mendefenisikan perataan laba sebagai pengurangan yang disengaja terhadap fluktuasi pada
beberapa level laba supaya dianggap normal bagi perusahaan. Defenisi perataan laba menurut Beildman (1973)
adalah suatu usaha yang dilakukan manajemen untuk menekan variasi dalam laba sejauh yang dimungkinkan
oleh prinsip akuntansi.
Koch (1981) dalam Hermawan (1998) yang dikutip Ariyani (2004) menyatakan bahwa perataan laba merupakan
alat yang digunakan oleh manajemen untuk mengurangi besarnya variabilitas pendapatan atau laba yang
dilaporkan untuk tujuan tertentu dengan cara memanipulasi variable artifical (akuntansi) atau
variable real (transaksi). Sofyan Syafri dalam bukunya yang berjudul Analisa Kritis Atas Laporan Keuangan,
menyatakan bahwa praktik perataan laba adalah upaya menstabilkan laba dimana tidak banyak variance dari
satu periode ke periode lain sehingga dinilai sebagai prestasi baik.
Menurut Hepworth (1953) yang didukung Ashari, dkk (1994) dan Zuhroh (1996) dalam Jatiningrum (2000),
bahwa tindakan perataan laba merupakan tindakan yang logis dan rasional bagi manajer untuk meratakan laba
dengan menggunakan cara atau metode akuntansi tertentu, alasannya antara lain pertama, rekayasa untuk
mengurangi laba dan menaikkan biaya pada periode berjalan dapat mengurangi hutang pajak. Kedua, tindakan
perataan laba dapat meningkatkan kepercayaan investor, karena mendukung kestabilan penghasilan dan
kebijakan deviden sesuai dengan keinginan. Ketiga, tindakan perataan laba dapat mempererat hubungan antara
manajer dan karyawan, karena dapat mengindari permintaan kenaikan upah/gaji oleh karyawan/pekerja. Dan
keempat, tindakan perataan laba memiliki dampak psikologis pada perekonomian, dimana kemajuan dan
kemunduran dapat dibandingkan dan gelombang optimisme dan pesimisme dapat ditekan.
Ditambahkan pula oleh Gordon (1964) dalam Jatiningrum (2000), bahwa perataan laba mempunyai peranan
yang penting untuk mengurangi bias dari pemegang saham dalam memperhitungkan laba di masa lalu, yang
digunakan untuk memprediksi laba di masa depan. Lebih lanjut, Lambert (1984) dan Dye (1988) dalam
Jatiningrum (2000) dalam seting keagenan menyebutkan bahwa manajer yang mempunyai resiko menolak untuk
terhindar dari hutang dan pinjaman di dalam pasar modal, memiliki daya dorong untuk melakukan tindakan
perataan laba. Pendapat ini didukung oleh Trueman dan Tritman (1998) dalam Jatiningrum (2000) dalam seting
market yang berhubungan dengan kreditor, menunjukkan bahwa manajer lebih menyukai alternatif yang
menghasilkan aliran kas yang lebih merata.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perataan Laba
Terdapat banyak faktor yang mungkin menentukan adanya praktik perataan laba. Ilmainir (1993) yang dikutip
Kikky (2002) melakukan penelitian faktor-faktor pendorong perataan laba pada perusahaan di Indonesia dengan
menggunakan sebanyak 15 sampel perusahaan yang terdaftar di BEJ. Hasilnya menunjukkan bahwa harga
saham, perbedaan laba aktual dan laba normal, serta kebijakan akuntansi mengenai laba terbukti sebagai faktor
yang mempengaruhi perataan laba.
Moses (1987), Albrecht dan Richardson (1990) dalam Ariyani (2004) membuktikan bahwa ukuran perusahaan,
kelompok usaha (sektor industri) menunjukkan adanya asosiasi dengan perataan laba. Tetapi Ashari (1994) Jin
dan Machfoedz (1998), dan Priyo (2001) tidak membuktikan bahwa hal-hal tersebut sebagai faktor yang
mempengaruhi perataan laba. Ilmainir (1993) seperti yang dikutip Kiky (2002) menunjukkan hasil yang sama
yaitu tidak berpengaruhnya ukuran perusahaan terhadap perataan laba. Menurut pendapatnya, perbedaan ini
kemungkinan disebabkan karena adanya perbedaan perlakuan pemerintah antara negara maju dan negara
berkembang.
Sedangkan Archibald (1967), Carlson dan Chenchuramaiah (1997), Ashari (1994) dalam penelitiannya mereka
membuktikan salah satu variabel diantaranya profitabilitas perusahaan yang merupakan faktor yang
mempengaruhi perataan laba. Tetapi Zuhroh (1996), Jin dan Machfoedz (1998) tidak berhasil membuktikan
profitabilitas, mereka hanya membuktikan bahwa leverage operasi adalah sebagai faktor yang berpengaruh
terhadap praktik perataan laba yang dilakukan perusahaan di Indonesia. Sedangkan Jatiningrum (2000)
mencoba menguji faktor sektor industri sebagai variabel penelitiannya, namun penelitiannya tidak berhasil
menunjukkan bukti bahwa sektor industri merupakan faktor pendorong dilakukannya tindakan perataan laba.
Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Ashari, dkk (1994). Hermawan (1997) dengan sampel perusahaan
publik sektor industri manufaktur yang terdaftar di BEJ serta Priyo (2001) dalam penelitiannya dengan 313
sampel perusahaan di ASEAN, membuktikan ukuran perusahaan, dividen payout, debt equity ratio serta
nasionalitas perusahaan sebagai faktor-faktor yang tidak mempengaruhi perataan laba. Ini berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Deefond dan Jiambalvo (1994), Sweeney (1994) yang tidak membuktikan
bahwa dividen payout ratio, debt equity ratio sebagai faktor yang mempengaruhi perataan laba.
White (1970), Moses (1987), Beattie (1993), dan Houilthausen (1995) seperti yang dikutip Salmawi dan
Bambang Sudibyo (1999) dalam Ariyani (2004) meneliti tentang tujuan yang hendak dicapai dengan melakukan
praktik perataan laba. Kikky (2002) melakukan penelitian tentang ada tidaknya perataan laba pada lembaga
keuangan non bank dan faktor-faktor yang mempengaruhi perataan laba. Dari hasil penelitiannya tersebut
terbukti bahwa ukuran perusahaan mempengaruhi praktik perataan laba, tetapi debt equity ratio serta
profitabilitas tidak terbukti mempengaruhi perataan laba.
Pendekatan yang Digunakan Dalam Perataan laba
Albercht dan Richarson (1999) menyatakan bahwa terdapat tiga pendekatan dalam studi yang berkaitan dengan
perataan laba. Ketiga pendekatan tersebut adalah:
1. The classical approach. Pendekatan ini digunakan untuk menguji hubungan antara variabel-variabel yang
dapat digunakan untuk melakukan penstabilan laba dan pengaruhnya terhadap laba yang dilaporkan.
2. The income variability approach. Pendekatan ini digunakan untuk membedakan tindakan/perilaku
manajemen yang dapat menyebabkan timbulnya penstabilan laba secara artificial dengan peraturan yang
bersiat real dan natural.
3. The dual economy approach. Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan perubahan laba operasi dan
laba normal dengan perubahan-perubahan biaya pada perusahaan-perusahaan berdasarkan sektor-sektor
tertentu (di Amerika Serikat terdapat 2 sektor yaitu core dan periphery sector). Core sector terdiri dari durabel
manufacturingdan industri yang mengolah hasil alam. Peripheri sector terdiri dari industri pertanian, non
durable manufacturing, dan industri eceran.
Teknik perataan Laba
Berbagai teknik yang digunakan dalam perataan laba diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Perataan melalui waktu terjadinya transaksi atau pengakuan transaksi melalui kebijakan manajemen itu
sendiri (accrual), misalnya: pengeluaran biaya riset dan pengembangan. Selain itu banyak juga perusahaan
yang menerapkan kebijakan diskon dan kredit sehingga hal ini dapat menyebabkan meningkatnya jumlah
piutang dan penjualan pada akhir bulan terakhir tiap kuarter, sehingga laba kelihatan stabil pada periode
tertentu.
2. Perataan melalui alokasi untuk beberapa periode tertentu. Manajer memiliki kewenangan untuk
mengalokasikan pendapatan dan atau beban untuk periode tertentu. Misalnya, jika penjulan meningkat maka
manajemen dapat membebankan biaya riset dan penelitian serta amortisasi goodwill pada periode itu untuk
mensabilkan laba.
3. Perataan melalui klasifikasi. Manajemen memiliki kewenangan dan kebijakan sendiri untuk
mengklasifikasikan pos-pos rugi laba dalam katagori yang berbeda. Misalnya, jika pendapatan operasi sulit
untuk didefenisikan maka manajer dapat mengklasifikasikan pos itu pada pendapatan operasi atau
pendapatan non operasi. Dalam hal ini dapat digunakan sewaktu-waktu untuk meratakan laba melihat kondisi
pendapatan periode itu.
Teknik-teknik itu memang mungkin untuk dilakukan karena Prinsip Akuntasi Berterima Umum (PABU)
memberikan berbagai pilihan dalam mencatat berbagai peristiwa keuangan. Manajemen memiliki keleluasan
untuk mengganti satu metode ke metode lain. Keleluasan untuk memakai teknik-teknik akuntansi dalam
mencatat terbukti telah disalahgunakan oleh manajemen untuk melakukan perataan laba. Bahkan Koch (1981)
mensinyalir bahwa perataan laba banyak dilakukan dengan mengunakan teknik-teknik akuntansi yaitu dengan
merubah kebijakan akuntansi. (Sopa Sugiarto, 2003)
Koch (1981) Menyatakan bahwa peratan laba dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Artificial smoothing, perataan laba yang mengacu pada prosedur akuntansi yang diimplementasikan dimana
manajemen melakukan tindakan untuk mengakui biaya dan atau pendapatan dari satu periode ke periode
lain (manipulasi melalui metode akuntansi).
2. Real smoothing, Perataan laba yang mengacu pada transaksi aktual yang dilakukan oleh entitas dimana
manajemen mempunyai kendali terhadap transaksi yang akan mempengaruhi laba di masa depan
(manipulasi melalui transaski).
Sasaran Praktik Perataan Laba
Adapun yang dapat dijadikan sebagi sasaran praktik peratan laba adalah aktivitas-aktivitas yang dapat
digunakan oleh manajemen untuk mempengaruhi aliran data atau informasi. Untuk menciptakan laporan
keuangan yang sesuai dengan keinginan manajemen, manejer dapat memasukkan informasi yang akan datang
kedalam laporan periode ini atau sebaliknya (Priyo, 2001 dalam Ariyani, 2004).
Seperti yang dikutip dari Jin dan Machfoedz (1998) instrumen yang dapat digunakan dalam perataan laba antara
lain adalah pendapatan, deviden, perubahan dalam kebijakan akuntansi, biaya pensiun, pos luar biasa, kredit
pajak investasi, depresiasi dan biaya tetap, perubahan mata uang, klasifikasi akuntansi dan pencadangan.
Foster (1986) mengklasifiksikan unsur-unsur laporan keuangan yang dijadikan dalam praktik perataan laba,
yaitu;
1. Unsur Penjualan
1. Saat pembuatan faktur. Misalnya: penjualan yang sebenarnya untuk periode yang akan datang
pembuatan fakturnya dilakukan pada periode ini dan dilaporkan sebagai penjualan periode ini.
2. Pembuatan pesanan atau penjulan fiktif.
3. Downgrading (penurunan) produk. Misalnya dengan cara mengklasifikasikan produk yang belum rusak
kedalam kelompok produk yang rusak dan selanjutnya dilaporkan telah terjual dengan harga yang lebih
rendah dari harga yang sebenarnya.
2. Unsur Biaya
1. Memecah faktur. Misalnya faktur untuk sebuah pembelian/pesanan dipecah menjadi beberapa
pembelian/pesanan dan selanjutnya dibuatkan beberapa faktur dengan tanggal berbeda kemudian
dilaporkan dalam beberapa periode akuntansi.
2. Mencatat prepayment (biaya dibayar dimuka) sebagai biaya. Misalnya melaporkan biaya advertensi
dibayar dimuka untuk tahun depan sebagai biaya advertensi tahun ini.

SEPTEMBER 16, 2017 BY KRESNA


Manajemen Laba dan Perataan Laba (skripsi dan tesis)
Belkaoui (2007:201) menyatakan pada dasarnya definisi
operasional dari manajemen laba adalah potensi penggunaan
manajemen akrual dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi.
Sedangkan Fischer dan Rosenzweig (1995) dalam Khafid
(2004:42) mendefinisikan manajemen laba sebagai, …action of a
manager which serve to increase (decrease) current reported
earnings of the unit which the manager is responsible without
generating a corresponding increase decrease) in a long term
economics profitability of the unit. Definisi tersebut tidak hanya
terbatas pada perilaku tetapi lebih luas mencakup seluruh tindakan
yang dilakukan oleh manajemen untuk mengelola laba. Praktek
mengenai manajemen laba dipandang sebagai bentuk manipulasi
akuntansi (Stolowy dan Breton 2003 dalam Juniarti 2005:150).
Sedangkan Wild et al (2001) dalam Poll (2004) dalam Juniarti
(2005:150) mengatakan earning management sebagai a purposeful
intervention by management in the earning determination process,
usually to satisfy objectives.

Menurut Arthur Levitt dalam Hall (2002) dalam Juniarti (2005:150)


menyebutkan bahwa manajemen laba didefinisikan sebagai suatu
praktek pelaporan earnings yang lebih merefleksikan keinginan
manajemen daripada performa keuangan perusahaan. Adapun
Merchant (1989) dalam Wirda (2007:15) mendefinisikan
manajemen laba sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh
manajemen perusahaan untuk mempengaruhi laba yang dilaporkan
yang dapat memberikan informasi mengenai keuntungan ekonomis
yang dalam jangka panjang dapat merugikan perusahaan. Dengan
adanya praktek manajemen laba, reliabilitas dari laba akan
tereduksi. Hal ini disebabkan karena di dalam manajemen laba
terdapat pembiasan pengukuran income (dinaikkan atau
diturunkan) sehingga melaporkan income yang tidak
representationally faithfulness seperti yang seharusnya dilaporkan.
Menurut Belkaoui (2007:206) isu-isu dalam manajemen laba antara
lain:

1. Manajemen laba bertujuan untuk memenuhi harapan dari analis


keuangan atau manajemen (yang diwakili oleh peramalan laba dari
publik).
2. Manajemen laba bertujuan untuk mempengaruhi kinerja harga
jangka pendek dengan berbagai cara.
3. Manajemen laba berakhir dan dapat bertahan karena informasi
yang asimetris suatu kondisi yang disebabkan ileh informasi yang
diketahui manajemen namun tidak ingin untuk mereka ungkapkan.
4. Manajemen laba terjadi dalam konteks suatu kumpulan pelaporan
yang fleksibel dan seperangkat kontrak tertentu yang menentukan
pembagian aturan diantara pemegang kepentingan.
5. Strategi perusahaan bagi manajemen laba mengikuti satu atau
lebih dari tiga pendekatan (memilih dari pilihan-pilihan yang ada
dalam GAAP, pilihan aplikasi yang ada dalam opsi menggunakan
akuisisi serta deposisi aktiva dan waktu untuk melaporkannya).
6. Manajemen laba merupakan suatu hasil usaha untuk melewati
ambang batas.
7. Manajemen laba dapat berasal dari pemenuhan perjanjian dari
kontrak kompensai implisit.
8. Manajemen laba tumbuh dari ancaman dua bentuk aturan yakni
aturan industri spesifik dan aturan antitrust.
9. Laba negatif secara tiba-tiba umumnya lebih merugikan daripada
revisi ramalan negatif.

Salah satu pola atau tindakan manajemen atas laba yang dapat
dilakukan yaitu income smoothing (perataan laba). Menurut Koch
(1981) dalam Mursalim (2003:162) tindakan perataan laba dapat
didefinisikan sebagai suatau sarana yang digunakan manajemen
untuk mengurangi variabilitas urut-urutan, pelaporan laba relatif
terhadap beberapa urut-urutan target yang terlihat karena adanya
manipulasi variabel-variabel akuntansi semu (artificial smoothing)
atau transaksi riil (real smoothing).

Sedangkan definisi dari Poll (2004) dalam Juniarti


(2005:150) smoothing of income is a way of removing volatility in
earnings by leveling off the earnings peaks and raising the valleys.
Definisi lain menganai income smoothing adalah definisi yang
dikemukakan oleh Belkaoui (2007:192) perataan laba merupakan
normalisasi laba yang dilakukan secara sengaja untuk mencapai
trend atau tingkat yang diinginkan.

Adapun Frudenberg dan Tirole (1995) dalam Nurkhabib (2004:11)


mendefinisikan perataan laba sebagai proses manipulasi profil
waktu earning atau pelaporan earning agar aliran laba yang
dilaporkan perubahannya lebih sedikit. Definisi income smoothing
lainnya yang dikemukakan Beidelman (1973) Anis C (2000:231)
adalah perataan laba yang dilaporkan dapat didefinisikan sebagai
usaha yang disengaja untuk meratakan atau memfluktuasikan
tingkat laba sehingga pada saat sekarang dipandang normal bagi
suatu perusahaan. Dalam hal ini perataan laba menunjukkan suatu
usaha manajemen perusahaan untuk mengurangi variasi abnormal
laba dalam batasbatas yang diizinkan dalam praktek akuntansi dan
prinsip manajemen yang wajar. Beidleman dalam Belkaoui
(2007:193) mempertimbangkan dua alas an menejemen meratakan
laporan laba. Pendapat pertama berdasar pada asumsi bahwa
suatu aliran laba yang stabil dapat mendukung deviden dengan
tingkat yang lebih tinggi daripada suatu aliran laba yang variabel
sehingga memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi nilai
saham perusahaan seiring dengan turunnya tingkat resiko
perusahaan secara keseluruhan.

Argumen kedua berkenaan pada perataan kemampuan untuk


melawan hakikat laporan laba yang bersifat siklus dan
kemungkinan juga akan menurunkan korelasi antara ekspektasi
pengembalian perusahaan dengan pengembalian fortofolio pasar.
Hal tersebut merupakan hasil dari kebutuhan manajemen untuk
menetralisir ketidakpastian lingkungan dan menurunkan fluktuasi
yang luas dalam kinerja operasi perusahaan terhadap siklus waktu
baik maupun waktu buruk yang berganti-ganti.

Manajemen laba berbeda dengan kecurangan. Perbedaan tersebut


terletak pada tingkat kepatuhan terhadap standar akuntansi.
Manajemen laba merupakan rekayasa pelaporan keuangan dalam
batas-batas tertentu yang tidak melanggar standar pelaporan
keuangan. Hal ini dilakukan oleh menejemen dengan
memanfaatkan wewenangnya dalam memilih metode akuntansi
yang diizinkan oleh standar. Manajer memiliki fleksibilitas dalam
membuat pilihan metode maupun kebijakan akuntansi dari berbagai
alternative metode dan kebijakan akuntansi yang ada, yang
menurut preferensi manajer paling menguntungkan pada periode
pelaporan.
Manajemen banyak memanfaatkan standar pelaporan keuangan
dengan cara menerapkan standar yang dipercepat
pengadobsiannya. Selain itu standar juga dijadikan sebagai alat
untuk melaporkan kondisi perusahaan. Fleksibilitas yang terdapat
dalam standar akuntansi pada akhirnya menyebabkan tindakan
tersebut sah dengan sendirinya. Sedangkan kecurangan dalam
pelaporan keuangan lebih merupakan upaya manajemen untuk
menyembunyikan atau memanipulasi sebagian atau seluruh
informasi keuangan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan
standar akuntansi yang berlaku.

Konsep perataan laba mengasumsikan bahwa investor adalah


orang yang menolak resiko (Fudenberg dan Tirole 1995 dalam
Salno 2000:16) dan manajer yang menolak resiko terdorong untuk
melakukan perataan laba. Demikian juga dalam hubungannya
dengan kreditur, manajer lebih menyukai alternatif yang
menghasilkan perataan laba (Trueman dan Titman 1988 dalam
Salno 2000:16). Hasil penelitian Suh (1990) dalam Khafid (2004:42)
juga menunjukkan adanya motivasi kuat yang mendorong manajer
melakukan perataan laba.

Adapun Bidleman dalam Assih (2000:37) percaya bahwa


manajemen melakukan perataan laba untuk menciptakan suatu
aliran laba yang stabil dan mengurangi covariance atas return
dengan pasar. Sedangkan Barnea et. al (1976) dalam Assih
(2000:37) menyatakan bahwa manajer melakukan perataan laba
untuk mengurangi fluktuasi dalam laba yang dilaporkan dan
meningkatkan kemampuan investor untuk memprediksi aliran kas
dimasa yang akan datang.

Di lain pihak menurut Dye (1988) dalam Khafid (2004:43)


menyatakan pemilik mendukung perataan laba karena adanya
motivasi internal dan motivasi eksternal. Motivasi internal
menunjukkan maksud pemilik untuk meminimalisasi biaya kontrak
manajer dengan membujuk manajer agar melakukan praktek
manajemen laba. Motivasi eksternal ditujukan oleh usaha pemilik
saat ini untuk mengubah persepsi investor prospektif atau potensial
terhadap nilai perusahaan. Menurut Belkaoui (2007:194) tiga
batasan yang mungkin mempengaruhi para manajer untuk
melakukan perataan laba adalah:
1. Mekanisme pasar yang kompetitif sehingga mengurangi jumlah
pilihan yang tersedia bagi manajemen.
2. Skema kompensasi manajemen yang terhubung langsung dengan
kinerja perusahaan.
3. Ancaman penggantian manajemen.

Dipandang dari sisi manajemen, Hepworth (1953) dalam Harry dan


Murtanto (2004), mengungkapkan bahwa manajer melakukan
perataan laba pada dasarnya ingin mendapat berbagai keuntungan
ekonomi dan psikologis, yaitu :

1. Mengurangi total pajak terutang


2. Meningkatkan kepercayaan diri manajer yang bersangkutan karena
penghasilan yang stabil mendukung kebijakan dividen yang stabil
pula.
3. Meningkatkan hubungan antara manajer dengan karyawan karena
pelaporan penghasilan meningkat tajam memberi kemungkinan
munculnya tuntutan gaji dan upah.
4. Siklus peningkatan dan penurunan penghasilan dapat ditandingkan
dan gelombang optimisme dan pesimisme dapat diperlunak.

Dilain pihak Dye (1988), pemilik mendukung perataan laba karena


adanya motivasi internal dan eksternal. Motivasi internal
menunujukkan maksud pemilik untuk meminimalisasi biaya
kontrak manajer dengan membujuk manager agar melakukan
praktik manajemen laba. Motivasi eksternal ditunjukkan oleh usaha
pemilik saat ini untuk mengubah persepsi investor potensial
terhadap nilai perusahaan.

Adapun tujuan perataan laba menurut Foster (1986) adalah


sebagai berikut:

1. Memperbaiki citra perusahaan di mata pihak luar, bahwa


perusahaan tersebut memiliki risiko yang rendah.
2. Memberikan informasi yang relevan dalam melakukan prediksi
terhadap laba di masa mendatang.
3. Meningkatkan kepuasan relasi bisnis.
4. Meningkatkan persepsi pihak eksternal terhadap kemampuan
manajemen.
5. Meningkatkan kompensasi bagi pihak manajemen.
Dalam Imam Subekti (2005) Dascher dan Malcom (1970)
menyatakan bahwa terdapat 2 (dua) tipe perataan laba yaitu:

1. Real smooting, yaitu merupakan suatu transaksi yang


sesungguhnya untuk dilakukan atau tidak dilakukan berdasar
pengaruh perataannya pada laba.
2. Artificial smooting, yaitu merupakan perataan laba dengan
menerapkan prosedur akuntansi untuk memindahkan biaya dan/
atau pendapatan dari suatu perioda ke perioda lainnya.

Beidlemen (1973), yang dikutip Assih dan Gudono (2000) dalam


Imam Subekti (2005) menyatakan bahwa tujuan manajemen
perusahaan melakukan keputusan perataan laba adalah untuk
menciptakan suatu aliran laba yang stabil dan
mengurangi covariance atas return dengan pasar.

Dalam beberapa penelitian sebelumnya, fokusnya selalu pada


timbulnya tindakan perataan laba dan faktor-faktor yang
berhubungan dengannya. Menurut Ronen dan Sadan (1981) yang
dikutid dalam Jatiningrum, perataan penghasilan bersih/laba dapat
dilakukan dalam 3 cara, yaitu :

1. manajemen dapat menetapkan waktu terjadinya peristiwa tertentu,


untuk mengurangi perbedaan laba yang dilaporkan, jadi
alternatifnya, manajemen juga dapat menentukan waktu pengakuan
beberapa peristiwa.
2. manajemen dapat mengalokasikan pendapatan atau dan beban
tertentu pada periode akuntansi yang berbeda
3. manajemen dengan kebijaksanaannya mengelompokkan item laba
tertentu ke dalam kategori yang berbeda.

Brayshaw dan Eldin (1989) dalam Edy dan Arleen (2005),


mengungkapkan bahwa manajemen perusahaan diuntungkan
dengan praktek perataan laba. Sedangkan Mulyani dan Carmel
(2003) menyatakan bahwa motivasi perataan laba lebih banyak
menguntungkan pemegang saham dan pengguna eksternal
utamanya serta manajer itu sendiri

Anda mungkin juga menyukai