Akhir-akhir Papua tengah menjadi sorotan berbagai media, baik cetak maupun
elektronik. Ada dua persoalan utama yang menjadi pusat perhatian. Persoalan pertama
adalah mengenai aksi mogok yang dimotori oleh serikat pekerja P.T Freeport, terkait
kongres Papua, dan pemukulan warga Papua yang berada di sekitar area oleh aparat
keamanan hingga babak belur, pada hari ini tanggal 19 Oktober 2011.
Kedua persoalan adalah turunan dari persoalan utama antara rakyat Papua dan
pemerintah Indonesia, yaitu mengenai dialog yang demokratis antara keduanya. Selama
ini, dari berbagai era pemerintahan, dari mulai era Orde Lama, Orde Baru, dan
Reformasi, hal yang prinsipil dalam sebuah negara demokrasi tersebut belum juga
kunjung terjadi. Hal inilah yang kiranya membuat persoalan Papua tak kunjung selesai
juga.
antikolonial Presiden Soekarno. Ini bisa dilihat dari salah satu poin Trikora, yang isinya
menyerukan penggagalan pembentukan negara boneka Papua Barat. Papua yang masih
berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda, sampai tahun 1963 dirasa penting untuk
ketika dan pascaperebutan kepulauan Papua dari Belanda, ada banyak persoalan
demokrasi, karena berdasarkan data sejarah jumlah orang yang dipilih oleh TNI untuk
ikut serta dalam PEPERA adalah sebanyak hanya 1025 orang. Untuk hal ini,
pascakejatuhan Soeharto pada tahun 1998, Uskup Desmond Tutu, dan beberapa anggota
parlemen Eropa, dan Amerika sempat meminta PBB, yang ketika itu dipimpin oleh Kofi
Annan, untuk mengkaji ulang peran PBB pada PEPERA, dan validitas dari PEPERA,
bahkan mereka meminta PBB untuk melakukan referendum ulang, hanya saja hal ini
tidak tercapai.
Selain persoalan PEPERA, ada juga persoalan PT. Freeport, sebuah perusahaan
Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Sejarah berdirinya PT.Freeport ini banyak
sekitar. Pemindahan suku Amugme pada awal pendirian Freeport tahun 1971, keluar
dari wilayah mereka ke kaki pegunungan. Berdasarkan data berupa surat-surat dan
dokumen yang diberikan oleh pemerintah kepada New York Times, ternyata sejak tahun
Terjaganya hubungan baik antara Freeport dengan penguasa pada era orde baru yang
dalam hal ini adalah Soeharto, dan kroni-kroninya adalah faktor penting yang
adalah sebuah ironi tersendiri jika melihat kondisi sosial masyarakat Papua yang belum
semaju daerah-daerah lainnya di Indonesia. Sederhananya, mereka adalah penduduk asli
di suatu daerah yang kaya, tetapi mereka sendiri sebagai pemilik tanah belum bisa ikut
Kedua persoalan tersebutlah yang menjadi alasan utama bahwa proses dialog
politik yang luas dan demokratis harus dibangun antara pemerintah Indonesia dan
rakyat Papua. Dialog politik tersebut fungsinya adalah untuk mendengarkan aspirasi,
dan apa yang benar-benar menjadi keinginan rakyat Papua. Karena kalau pemerintah
SBY yang direpresentasikan oleh TNI dan Polri di Papua tetap menggunakan jalan
kekerasan bersenjata untuk meredam aspirasi rakyat Papua, sama saja mengulang
kesalahan sejarah yang telah dibuat oleh Pemerintah Orde Baru. Merdekanya Timor-
Timur pada tahun 1999 adalah akibat dari pendekatan militeristik untuk meredam
Adat Papua pada tahun 2001, adalah salah satu bentuk pendekatan militeristik, yang
melukai hati rakyat Papua. Peristiwa inilah yang menjadi pendorong menguatnya
gerakan menuntut kemerdekaan di Papua. Jika hal ini terulang kembali maka tidak
menutup kemungkinan bahwa kasus Timor-Timur akan terulang lagi dalam bentuk yang
berbeda. Untuk itulah maka pemerintah seharusnya melihat kembali peristiwa sejarah
dan konflik yang telah terjadi di Papua dalam menentukan pendekatan yang digunakan
adalah harga mati di Papua”, tidak akan ada artinya jika hanya menggunakan
dialog politik di Papua. Karena konsep nasionalisme kita berakar bukanlah dari
dasar kesamaan nasib akibat penjajahan bangsa asing selama ratusan tahun.
Artikel ini ditulis oleh Harsa Permata, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Filsafat
6460128364