Anda di halaman 1dari 108

REPRESENTASI DISKRIMINASI GENDER PADA

PROFESI DOKTER PEREMPUAN DALAM FILM


HABIBIE & AINUN 3

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi


untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh:
Azizah Refifa Aqsha
11190510000079

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023 M/1445 H
ii
iii
ABSTRAK

Azizah Refifa Aqsha / 11190510000079


Representasi Diskriminasi Gender pada Profesi Dokter
Perempuan dalam Film Habibie & Ainun 3
Salah satu isu yang sering ditampilkan dalam film adalah
isu mengenai diskriminasi gender terhadap perempuan. Film
Habibie & Ainun 3 adalah salah satu film yang mengandung isu
mengenai diskriminasi gender terhadap profesi dokter perempuan
didalamnnya.
Rumusan masalah pada penilitian ini adalah Bagaimana
makna denotasi, konotasi, dan mitos diskriminasi gender yang
terkandung dalam film Habibie & Ainun 3; Apa saja bentuk-
bentuk diskriminasi gender yang direpresentasikan dalam film
Habibie & Ainun 3.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan
dalam pengumpulan data menggunakan metode semiotika Roland
Barthes dengan melakukan pengamatan, wawancara dan
observasi. Teori yang digunakan dalam penilitian ini yaitu teori
ketidakadilan gender Mansour fakih yang membagi ketidakadilan
gender kedalam 5 bentuk. Dari penelitian yang dilakukan
ditemukan 4 bentuk ketidakadilan gender yaitu marginalisasi,
subordinasi, streotipe, dan kekerasan.
Kata kunci : Diskriminasi, Gender, Film Habibie & Ainun 3

iv
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang tak
henti-hentinya melimpahkan rahmat dan karunianya kepada
penulis, karena berkat karunia-Nya lah penulis dapat
menyelasaikan skripsi yang berjudul “Representasi Diskriminasi
Gender pada Profesi Dokter Perempuan dalam Film Habibie
& Ainun 3” sebagai salah stau syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sosial pada bidang komunikasi di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat beserta salam
senantiasa dikirimkan kepada Rasulullah SAW yang telah
membawa umatnya kepada jalan kebaikan.
Selama penelitian, penyusunan serta penulisan skripsi ini
penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan dalam
pengerjaannya. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis
mengharapkan kritikan dan saran yang membangun agar skripsi ini
dapat menjadi lebih baik.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak
yang telah memberikan dukungan berupa doa, bantuan dan saran
selama proses penyusunan skripsi ini. Tanpa adanya dukungan dan
bantuan tersebut skripsi ini tidak akan dapat diselesaikan dengan
baik dan tepat waktu. Oleh karena itu, penulis ingin
menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah


Jakarta beserta jajarannya

v
2. Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Ketua Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam serta
Sekretaris Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam
4. Pia Khoirotun Nisa, M.I.Kom. selaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang telah meluang waktunya untuk membimbing,
mengarahkan dan memotivasi penulis dalam proses
penyelesaian skripsi sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik.
5. Dr. Dudun Ubaedullah, M. Ag selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang telah memberikan banyak bantuan dan
bimbingan selama perkuliahan dan proses penyusunan
skripsi.
6. Seluruh Dosen Program Studi Komunikasi Penyiaran
Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga selalu
dilimpahkan kebaikan atas segala ilmu yang telah
diberikan.
7. Drs Joni Arman Hamid, M.Ikom dan Nadya Kharima,
M.Kesos yang telah meluangkan waktunya untuk
berdiskusi sebagai narasumber dalam penelitian ini.
8. Terimakasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua
tercinta Bunda Refni Andora, S.Pd dan Papa Suhanta yang
tiada henti-hentinya memberikan dukungan dan kasih
sayang yang sangat besar kepada penulis. Berkat doa dan
cintanya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Skripsi ini penulis dedikasikan sepenuhnya

vi
untuk kedua orang tua yang dengan sepenuh hati menjaga
dan menyayangi penulis selama ini.
9. Untuk Ayah Efrizal tersayang penulis haturkan doa dengan
tulus untuknya yang telah menjadi motivasi bagi penulis
untuk meraih gelar sarjana.
10. Adik-adikku tercinta, Hilma Marisa Zakiyah dan Hulwa
Qalbi Afifa yang menjadi alasan penulis untuk terus
bersemangat dan bertahan dalam menghadapi berbagai
masalah dalam penulisan skripsi ini.
11. Untuk keluarga besar, Adang, Anin, Mama dan Ibu yang
terus memberikan dukungan kepada peneliti. Semoga
kebaikan selalu menyertai kalian.

Demikian ucapan terimakasih ini penulis sampaikan


kepada semua pihak yang disebut maupun tidak dapat
disebutkan satu-persatu yang telah memberikan bantuan,
doa dan dukungan kepada penulis, semoga Allah SWT
melimpahkan kebahagian dan keberkahan atas kebaikan
yang telah diberikan. Kemudian diharapkan skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi orang banyak.

Jakarta, 21 Juli 2023

Azizah Refifa Aqsha

vii
DAFTAR ISI

ABSTRAK ................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ................................................................ xi
DAFTAR TABEL .................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Fokus Penelitian ................................................................. 8
C. Rumusan Masalah............................................................... 8
D. Tujuan Penelitian ................................................................ 9
E. Manfaat Penelitian .............................................................. 9
1. Manfaat Akademis ......................................................... 9
2. Manfaat Praktis .............................................................. 9
F. Metodologi Penelitian....................................................... 10
1. Pendekatan Penelitian .................................................. 10
2. Paradigma Penelitian .................................................... 10
3. Subjek dan Objek Penelitian ........................................ 11
4. Tahapan Penelitian ....................................................... 11
G. Kajian Terdahulu .............................................................. 12
H. Sistematika Penulisan ....................................................... 16
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................... 17
A. LANDASAN TEORI ....................................................... 17
1. Konsep Semiotika Roland Barthes............................... 17
B. KAJIAN TEORITIS ......................................................... 20
1. Representasi ................................................................. 20

viii
2. Gender .......................................................................... 22
3. Diskriminasi Gender .................................................... 24
4. Profesi Dokter Perempuan ........................................... 27
5. Film .............................................................................. 27
6. Semiotika ..................................................................... 30
7. Perempuan Menurut Perspektif Islam .......................... 32
C. KERANGKA BERFIKIR................................................. 36
BAB III GAMBARAN UMUM .............................................. 37
A. Gambaran Umum Film Habibie & Ainun 3 ..................... 37
B. Produksi Film Habibie & Ainun 3 .................................... 39
C. Profil Sutradara Film Habibie & Ainun 3 ........................ 39
D. Profil Pemain Film Habibie & Ainun 3 ............................ 41
BAB IV ANALISIS DATA ..................................................... 48
A. Analisis Semiotika Scene Diskriminasi Gender ............... 48
1. Scene 1 ......................................................................... 48
2. Scene 2 ......................................................................... 50
3. Scene 3 ......................................................................... 52
4. Scene 4 ......................................................................... 55
5. Scene 5 ......................................................................... 58
6. Scene 6 ......................................................................... 61
7. Scene 7 ......................................................................... 64
BAB V PEMBAHASAN ......................................................... 67
A. Marginalisasi .................................................................... 67
B. Subordinasi ....................................................................... 69
C. Stereotipe .......................................................................... 73
D. Kekerasan ......................................................................... 76
BAB VI PENUTUP ................................................................. 80
A. Kesimpulan ....................................................................... 80

ix
B. Saran ................................................................................. 81
C. Implikasi ........................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 83
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................ 87

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.2 Maudi Ayunda ................................................... 40

Gambar 3.3 Jefri Nichol ........................................................ 42

Gambar 3.4 Reza Rahadian ................................................... 44

Gambar 3.5 Arya Saloka ....................................................... 45

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Peta Tanda Roland Barthes ................................... 18

Tabel 3.1 Produksi Film Habibie & Ainun 3 ........................ 39

Tabel 4.1 Scene 1 .................................................................. 47

Tabel 4.2 Scene 2 .................................................................. 50

Tabel 4.3 Scene 3 .................................................................. 52

Tabel 4.4 Scene 4 .................................................................. 55

Tabel 4.5 Scene 5 .................................................................. 58

Tabel 4.6 Scene 6 .................................................................. 60

Tabel 4.7 Scene 7 .................................................................. 62

xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkembangan media massa dari masa ke masa telah
mampu membawa perubahan yang semakin realistis.
Perkembangan ini membawa dampak baik dan buruk terhadap
berbagai sektor kehidupan manusia seiring dengan
pertumbuhannya yang begitu pesat. Dengan adanya media massa
yang telah canggih pada masa sekarang ini dapat memudahkan
manusia untuk berkomunikasi dan mengakses segala hal dimana
saja.
Salah satu media massa yang banyak diminati pada saat ini
adalah film. Film sudah menjadi salah satu tontonan wajib bagi
semua kalangan di Indonesia. Bagi sebagian orang film dijadikan
sebagai sumber hiburan dan juga sebagai sarana dalam
memperoleh informasi serta film juga dapat dijadikan sebagai
media pembelajaran. Film mempunyai kekuatan besar melalui
audio visual dan suara yang nyata sehingga film dapat merangkul
masyarakat dari berbagai kalangan masyarakat mulai dari
kalangan atas hingga kalangan bawah. Oleh karena itu, Film
menjadi salah satu media massa yang paling diminati masyarakat.
Meskipun film sering dianggap sebagai media hiburan, film juga
dapat bereperan sebagai media untuk membujuk khalayak.1
Dengan memahami pesan dan makna yang terkandung dalam film

1
William L. Rivers & Jay W. Jensen Theodore Peterson, Media Massa
& Masyarakat Modern (Jakarta: Prenada Media, 2003) h.252

1
2

kita bisa mengetahui apa yang terkandug di dalam film tersebut


baik itu ekspresi atau pernyataan dari adat dan kebudayaan atau
bisa memahami hal yang kadang masih ambigu atau masih
membingungkan di masyarakat.
Film terbagi ke dalam beberapa genre, salah satu genre
yang memiliki banyak peminat yaitu film bergenre biopic
(biographical motion picture) atau yang dikenal dengan film
biografi, yaitu film yang alur ceritanya diambil dari kisah nyata
seorang tokoh terkenal atau sosok yang memiliki pengaruh yang
besar semasa hidupnya. Film biopic memiliki ciri khas yaitu nama
pemeran utama dalam film biopic menggunakan nama asli dari
tokoh yang diangkat kisahnya. Di Indonesia sudah banyak film
yang mengangkat perjalanan hidup dari tokoh-tokoh berpengaruh,
seperti: GIE (2005). Sang Pencerah (2010), Soegija (2012),
Habibie dan Ainun (2012), Soekarno (2013), Jenderal Soedirman
(2015), Kartini (2017), dan lain sebagainya.
Film pada umumnya mengandung pesan-pesan tertentu
yang ingin disampaikan oleh para penulis naskah kepada para
penontonnya sebagaimana judul film diatas. Selain itu, film juga
berisikan kritikan-kritikan sosial serta refleksi atas kenyataan yang
sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Film memiliki beberapa
fungsi, seperti film sebagai seni, film sebagai media edukasi atau
pembelajaran, hingga sebagai sektor media massa.2 Keunikan film
yang menggabungkan antara suara dan gambar serta penokohan

2
Euis Komalawati. (2017). Industri Film Indonesia: Membangun
Keselarasan Ekonomi Media Film dan Kualitas Konten, Jurnal Komunikasi,
Vol. 1, No. 1, h.2
3

dan latar yang sesuai dapat membius khalayak hingga dapat


merasakan dan masuk kedalam alur cerita lebih dalam sehingga
khalayak akan mudah terpengaruh oleh film itu sendiri.
Salah satu pesan yang sering disampaikan oleh para penulis
naskah yaitu mengenai diskriminasi gender. Isu mengenai
diskriminasi gender selalu menjadi isu yang penting dan menarik
untuk disampaikan dan diangkat menjadi sebuah
film. Diskriminasi gender ini terletak pada peran dan fungsi laki-
laki dan perempuan yang dibedakan berdasarkan gender.
Diskriminasi gender adalah sistem dan struktur, dimana baik pria
maupun wanita menjadi korban dalam struktur tersebut.3 Isu
diskriminasi gender yang dimaksud dalam penelitian ini ialah
menempatkan perempuan pada posisi yang lemah dan
mendapatkan ketidakadilan hanya karena alasan jenis gender
mereka.
Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah berbeda-
beda. Mulai dari ciri fisik, sifat, biologis ras hingga gender.
Namun, perbedaan itu bukanlah alasan untuk dapat membeda-
bedakan antara satu dengan yang lainnya. Seperti halnya
membedakan manusia berdasarkan gender yang ia miliki.
Terutama pada perempuan dimana perempuan dianggap lemah dan
tidak bisa memimpin dan menyaingi laki-laki. Padahal dalam
perspektif Islam laki-laki dan perempuan mendapatkan kedudukan
yang sama di hadapan Allah sebagai seorang hamba. Kesejajaran

3
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
(Yogyakarta: INSISTtPress, 2008) h.12
4

kedudukan antara laki-laki dan perempuan juga dijelaskan dalam


Al-Quran Q.s. Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:
ۤ
‫َّاس اِ ََّّن َخلَ ْق ٓن ُك ْم ِم ْن ذَ َك ٍر َّواُنْثٓى َو َج َعلْ ٓن ُك ْم ُشعُ ْواًب َّوقَبَا ِٕى َل‬
ُ ‫ٓاٰيَيُّ َها الن‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ٌ‫لتَ َع َارفُ ْوا ۚ ا َّن اَ ْكَرَم ُك ْم عْن َد ٓاّلل اَتْ ٓقى ُك ْم ۗا َّن ٓاّللَ َعلْي ٌم َخبِ ْي‬
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,
kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”
Pada ayat diatas diterangkan bahwa Allah SWT tidak
membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan sejak pertama
kali diciptakan sebagai hamba. Laki-laki maupun perempuan
memiliki kesempatan dan peluang yang sama untuk berlomba-
lomba menjadi orang yang bertakwa kepada Allah. Tidak ada
perbedaan antara keduanya meskipun berasal dari jenis kelamin,
kelompok etnis dan suku bangsa yang berbeda.4
Meskipun laki-laki dalam Islam mendapatkan kelebihan-
kelebihan seperti dalam pembagian harta warisan, anak laki-laki
mendapatkan bagian yang lebih besar dibandingkan anak
perempuan, setelah menikah laki-laki memiliki posisi setingkat
lebih tinggi daripada istri dan diizinkan untuk melakukan poligami
bagi mereka yang memenuhi syarat yang telah ditentukan. Namun,

4
Sarifa Suhra, (2013). Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-quran
dan Implikasinya terhadap Hukum Islam, Jurnal Al-Ulum, Vol 13, No 2, h. 374
5

hal ini bukan berarti laki-laki menjadi hamba yang lebih utama
dibandingkan perempuan. Islam sangat menjunjung keadilan bagi
umatnya, oleh karena itu Islam tidak menerima segala bentuk
ketidakadilan termasuk ketidak adilan terhadap gender.5
Film memiliki berbagai tema seperti nasionalisme,
romantisme dan lain sebagainya. Namun, berdasarkan berbagai
tema yang ada peneliti tertarik untuk meneliti film yang
mengangkat isu diskriminasi gender yang terjadi pada perempuan.
Hal ini dikarenakan, film sebagai salah satu media untuk
menyampaikan pesan dibutuhkan untuk melihat kejadian yang
sebenarnya yang ada didalam masyarakat.
Pada film banyak digambarkan bahwa perempuan adalah
manusia yang lemah, tidak bisa untuk melakukan pekerjaan yang
dikerjakan oleh laki-laki dan memiliki emosional yang lebih tinggi
jika dibandingkan dengan laki-laki. Padahal perempuan juga
memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam
berbagai aspek seperti pendidikan dan pekerjaan. Perempuan juga
bisa membuktikan bahwa ia mampu untuk menggapai cita-citanya
sama halnya dengan laki-laki. Maka dari itu, melalui film
diharapkan dapat menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa
diskriminasi gender terhadap perempuan harus dihapuskan.
Pada masa sekarang ini isu terkait gender menjadi isu yang
sering disuarakan, banyak film-film Indonesia yang mengangkat
isu permasalahan diskriminasi gender yang sering terjadi dalam

5
Sarifa Suhra, (2013). Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-quran
dan Implikasinya terhadap Hukum Islam, Jurnal Al-Ulum, Vol 13, No 2, h. 386
6

lingkungan masyarakat Indonesia. Salah satu film biopic yang


mengangkat isu mengenai ketidakadilan gender yakni film Habibie
& Ainun 3. Film ini adalah prequel dari film Habibie & Ainun yang
telah tayang pada 19 desember 2019 silam. Film ini menceritakan
perjalanan karir dari seorang wanita tangguh yakni Hasri Ainun
Besari atau yang lebih dikenal dengan nama Ainun, yang
merupakan istri dari presiden Republik Indonesia yang ke-3,
Bacharuddin Jusuf Habibie.
Sejak kecil Ainun merupakan sosok yang cerdas dan selalu
mendapatkan nilai yang baik dibangku sekolah. Ibunya yang
berprofesi sebagai bidan desa, menjadi panutan bagi Ainun untuk
bercita-cita menjadi seorang yang dapat berguna dan membantu
orang lain. Oleh karena itu, Ainun memiliki cita-cita untuk
melanjutkan pendidikan kuliah kedokteran.
Namun, akibat adanya diskriminasi dan ketimpangan
gender yang terjadi pada masa itu, seperti dalam beberapa profesi
pekerjaan perempuan belum mendapatkan keadilan dengan kaum
laki-laki. Meskipun perempuan seharusnya memiliki hak yang
sama dalam mendapatkan pendidikan, akan tetapi, adat serta tradisi
yang ada dalam masyarakat di Indonesialah yang menjadikan
mereka tidak dapat melanjutkan mimpi untuk menempuh
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.6 Dimana pada masa itu
perempuan dianggap tidak pantas untuk bercita-cita menjadi

6
Siti Utami Dewi Ningrum, (2018). Perempuan Bicara dalam Majalah
Dunia Wanita: Kesetaraan Gender dalam Rumah Tangga di Indonesia, 1950-an,
Lembaran Sejarah, Vol.14, No.2, h.195
7

seorang dokter, karena perempuan dianggap lemah dan tidak


memiliki daya yang sama seperti laki-laki.
Banyak penelitian yang telah meneliti tentang diskriminasi
gender pada sebuah film. Seperti penelitian yang berjudul Analisis
Wacana Feminisme pada Naskah Film “Nay” Karya Djenar Maesa
Ayu, pada tahun 20187, Analisis Semiotika Diskriminasi Gender
dalam Film “Kartini” 2017 Karya Hanung Bramantyo, pada tahun
2019, Bentuk Ketidakadilan Gender Pada Perempuan dalam Film
“Jamila dan Sang Presiden”, pada tahun 2020, Stereotip
Perempuan dalam Film Habibie & Ainun 3: Analisis Semiotika
Roland Barthes, pada tahun 2021. Namun, dari beberapa penelitian
tersebut belum ada yang meneliti mengenai diskriminasi gender
pada film Habibie & Ainun 3. Oleh sebab itu, peneliti
menggunakan film ini sebagai subjek penelitian.
Film Habibie & Ainun 3 yang dibintangi oleh Maudy
Ayunda menjadi salah satu film terlaris di tanah air. Film ini
berhasil mencapai lebih dari 2 juta penonton selama masa
penayangannya.8 Dalam film ini terdapat banyak pesan moral dari
berbagai aspek seperti, perempuan, nasionalisme, cinta hingga
perjuangan, sehingga menjadikan film ini patut untuk diteliti lebih
dalam, terutama pada aspek perempuan, dimana pada film ini
digambarkan bentuk diskriminasi gender terhadap tokoh utamanya
yaitu Ainun. Selain itu film Habibie & Ainun 3 mengandung kisah

8
Habibie dan Ainun 3 Tembus 2 Juta Penonton, Peta Box Office
Indonesia Berubah - ShowBiz Liputan6.com Diakses pada 20 Juli 2023 pukul
16.56
8

perjuangan hidup Ainun memberikan banyak inspirasi bagi


perempuan dan dapat mengingatkan para perempuan bentuk-
bentuk diskriminasi gender yang lazim terjadi ditengah lingkungan
sosial masyarakat Indonesia. Berangkat dari berbagai macam latar
belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas peneliti
memilih judul “Representasi Diskriminasi Gender pada Profesi
Dokter Perempuan dalam Film Habibie & Ainun 3”

B. Fokus Penelitian
Untuk memperjelas dan memfokuskan penyusunan skripsi
ini peneliti memfokuskan ruang lingkup penelitian hanya pada
bentuk diskriminasi gender yang ditampilkan pada setiap scene
yang menunjukkan diskriminasi gender dalam film Habibie &
Ainun 3 dari awal hingga bagian akhir dalam film tersebut. Dengan
menggunakan teori analisis semiotika Roland Barthes yang
membagi semiotika kedalam tiga unsur, yakni denotasi, konotasi
dan mitos.

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana makna denotasi, konotasi, dan mitos diskriminasi
gender yang terkandung dalam film Habibie & Ainun 3?
2. Apa saja bentuk-bentuk diskriminasi gender yang
direpresentasikan dalam film Habibie & Ainun 3?
9

D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana makna denotasi, konotasi, dan
mitos diskriminasi gender yang terkandung dalam film Habibie
& Ainun 3
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk diskriminasi gender yang
direpresentasikan dalam film Habibie & Ainun 3.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan mampu
menyumbang kontribusi terhadap dunia pendidikan terutama pada
bidang ilmu komunikasi. Serta memberikan pengetahuan
mengenai analisis semiotika dalam film Habibie & Ainun 3.

2. Manfaat Praktis
Dapat menyumbang kontribusi bagi para tim produksi dan
sutradara dalam menciptakan film yang berkualitas dalam
menyampaikan pesan, agar pesan yang terdapat dalam film dapat
tersampaikan dengan baik dan diterima oleh masyarakat.
Kemudian, hasil penelitian ini diharapkan mampu
meningkatkan kesadaran dalam masyarakat terhadap bentuk-
bentuk diskriminasi gender yang biasa terjadi dilingkungan
masyarakat sehingga masyarakat lebih peduli terhadap keadilan
gender.
10

F. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaiu
penelitian kualitatif. Menurut Straus dan Corbin, penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang mampu menghasilkan
penemuan yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan
prosedur-prosedur statistik atau dengan menggunakan metode
pengukuran lain.9
Bogdan dan Biklen mengartikan penelitian kualitatif
berupa penelitian yang menghasilkan data deskriptif dalam bentuk
ucapan, tulisan ataupun tingkah laku dari orang yang diamati.
Penelitian kualitatif memiliki tujuan untuk memberikan
pemahaman umum terhadap kenyataan sosial berdasarkan
perspektif partisipan. Pemahaman ini diperoleh setelah melakukan
analisis terhadap kenyataan sosial yang menjadi fokus dari
penelitian.10

2. Paradigma Penelitian
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini yakni
paradigma konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme
menganggap bahwa kebenaran realitas sosial bersifat relatif dan
realitas sosial yang terjadi merupakan hasil dari konstruksi sosial.

9
Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif,
(Yogyakarta:Pustaka pelajar Offset, 2007), h.4.

10
Pupu Saeful Rahmat, (2009) “Penelitian Kualitatif”,
EQUILIBRUM,Vol.5, No. 9, h. 2-3
11

Paradigma konstruktivisme menurut weber merupakan paradigma


yang memandang bahwa realitas sosial kehidupan di masyarakat
tidak semata-mata dipandang berdasarkan penilaian objektif,
melainkan dilihat dari tindakan-tindakan individu yang
diakibatkan oleh alasan-alasan subjektif.

3. Subjek dan Objek Penelitian


Yang menjadi subjek pada penelitian ini adalah film
Habibie & Ainun 3, sedangkan yang menjadi objek dari penelitian
ini yakni adegan-adegan dalam film Habibie Ainun 3 yang
berkaitan dengan diskriminasi gender.

4. Tahapan Penelitian
Pada penelitian ini peneliti menggunakan beberapa tahapan
penelitian dalam pengumpulan data-data terkait permasalahan
yang dibahas, yaitu:
a. Observasi
Observasi ialah tahapan pengumpulan data dengan cara
melakukan pengamatan dan mencatat hasil yang diamati11. Pada
penelitian ini peneliti melakukan pengamatan secara cermat dan
berulang terhadap objek yang akan diteliti dengan cara menonton
dan mengamati mise en scene, dialog dan adegan-adegan yang
menunjukkan diskriminasi gender dalam bentuk audio maupun
video yang terdapat dalam film Habibie & Ainun 3. Kemudian

11
Moh. Nazin, Metode Penelitian, (Bandung: Ghalia Indonesia, 2013),
h. 234.
12

mencatat semua data yang diperoleh untuk dapat dianalisis


berdasarkan model penelitian yang digunakan.

b. Dokumentasi
Tahap dokumentasi merupakan tahap melakukan
pengumpulan data dari sumber yang berupa buku, majalah, catatan
dan lain sebagainya.12 Pada penelitian ini peneliti mengumpulkan
data-data dari berbagai literatur yang memiliki relevansi dengan
diskriminasi gender. Selain itu, peneliti juga mengkaji dari video
dan audio dari film Habibie & Ainun 3.
c. Wawancara
Tahap wawancara merupakan pertemuan yang
direncanakan antara dua pihak yaitu pewawancara sebagai pihak
yang mengajukan pertanyaan dan pihak terwawancara atau pihak
yang memberikan jawaban atas pertanyaan pewawancara untuk
mendapatkan informasi tertentu13

G. Kajian Terdahulu
Peneliti melakukan tinjauan terhadap beberapa penelitian
terdahulu yang telah dilakukan mengenai semiotika dan
diskriminasi dalam film, sehingga penelitian ini dapat melengkapi
dari tulisan-tulisan terdahulu. Penelitian tersebut diantaranya:

12
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan r&d,
(Bandung: Alfabeta, 2014) h. 293.
13
Mamik, Metodologi Kualitatif, (Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2015),
h.3
13

1. Penelitian “Analisis Semiotika Diskriminasi Gender dalam


Film ‘Kartini’.” Oleh Sandra Oktaviani pada tahun 2019.
Terdapat kesamaan dengan penelitian ini yakni objeknya
sama-sama film yang mengangkat isu mengenai diskriminasi
gender dan juga memakai teori yang sama yaitu teori Roland
Barthes. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan
diteliti ialah terletak pada subjek yang akan diteliti. Pada
penelitian ini menggunakan film Kartini sebagai subjek dalam
penelitian, sedangkan penelitian yang akan dilakukan
menggunakan film Habibie & Ainun 3 sebagai subjek
penelitian. Hasil dari penelitian ini yaitu diskriminasi gender
pada film ini menggambarkan bahwa perempuan adalah
makhluk nomer dua setelah laki-laki dan mitos yang terdapat
dalam penelitian ini yaitu diskriminasi gender adallah adanya
budaya patriarki dalam konstruksi pola pikir masyarakat
Indonesia14
2. Penelitian “Bentuk Ketidakadilan Gender Pada Perempuan
dalam Film “Jamila dan Sang Presiden” oleh Melisa
Sudharman pada tahun 2020. Memiliki persamaan dengan
penelitian ini yaitu sama-sama meneliti mengenai bentuk
diskriminasi gender atau ketidakadilan gender dalam film.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan diteliti
yaitu penelitian ini menggunakan teori semiotika Charles S.
Pierce dalam penulisannya sedangkan penelitian yang akan
diteliti menggunakan teori semiotika Roland Barthes.

14
Sandra Oktaviani, Analisis Semiotika Diskriminasi Gender dalam
Film ‘Kartini’, KPI, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.
14

Perbedan selanjutnya yaitu terletak pada subjek film yang akan


diteliti. Penelitian ini menggunakan film Jamila dan Sang
Presiden sebagai subjek sedangkan penelitian yang hendak
diteliti akan meneliti film Habibie & Ainun 3. Hasil dari
penelitian ini yaitu ditemukan empat bentuk diskriminasi
gender yaitu marginalisasi, subordinasi, stereotip dan
kekerasan.15
3. Penelitian “Stereotip Perempuan dalam Film Habibie & Ainun
3: Analisis Semiotika Roland Barthes” oleh Yustika Aini
Arrochmah pada tahun 2021. Penelitian ini memiliki kesamaan
dengan penelitian yang hendak diteliti dalam hal subjek
penelitian. Yaitu, sama-sama meneliti film Habibie & Ainun 3
karya Hanung Bramantyo. Selain itu, persamaan lainya yaitu
sama-sama menggunakan teori semiotika Roland Barthes yang
mengelompokan semiotika kedalam tiga unsur, yakni denotasi,
konotasi dan mitos. Perbedaan dari penelitian ini dengan
penelitian yang akan diteliti yaitu penelitian ini meneliti
mengenai stereotip perempuan dalam film Habibie & Ainun 3,
sedangkan penelitian yang akan diteliti akan meneliti
mengenai bentuk-bentuk diskriminasi gender dalam film
Habibie & Ainun 3. Hasil dari penelitian ini yaitu stereotip
terhadap perempuan terjadi bukan akibat perbedaan sifat

15
Melisa Sudharman, Bentuk Ketidakadilan Gender pada Perempuan
dalam Film “Jamila dan Sang Presiden”, Ilmu Komunikasi, Universitas Atma
Jaya Yogyakarta, 2020
15

alamiah antara laki-laki dan perempuan, melainkan hasil


konstruksi dari budaya masyarakat.16
4. Penelitian “Analisis Semiotika Ketidakadilan Gender dalam
Film Dangal Karya Amir Khan Production” oleh Yulia Nur
Sofiani pada tahun 2017. Persamaan penelitian ini dengan
penelitian yang akan diteliti terletak pada teori yang digunakan
dalam penelitian, yaitu teori semiotika Roland Barthes. Selain
itu, penelitian ini juga meneliti isu mengenai ketidakadilan
gender dalam sebuah film. Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian yang akan diteliti adalah subjek yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu film Dangal sedangkan penelitian
yang akan diteliti menggunakan film Habibie & Ainun 3
sebagai subjeknya. Hasil penelitian ini yaitu diskriminasi
gender digambarkan kedalam empat bentuk diskriminasi
gender yaitu marginalisasi, subordinasi, stereotip, dan
kekerasan17
5. Penelitian “Representasi Ketidakadilan Gender dalam Film
Televisi (FTV) Suara Hati Istri” oleh Lilik Fatimah pada
tahun 2021. Terdapat kesamaan dengan penelitian ini yakni
objeknya sama-sama film yang mengangkat isu mengenai
diskriminasi gender dan juga menggunakan teori yang
sama dalam penelitian, yaitu teori Roland Barthes.

16
Yustika Aini Arrochmah, Stereotip Perempuan dalam Film Habibie
& Ainun 3: Analisis Semiotika Roland Barthes, Ilmu Komunikasi, UIN Sunan
Ampel Surabaya, 2021
17
Yulia Nur Sofiani, Analisis Semiotika Ketidakadilan Gender dalam
Film Dangal Karya Amir Khan Production, KPI, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2017
16

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan


diteliti ialah terletak pada subjek yang akan diteliti. Pada
penelitian ini menggunakan film Televisi Suara Hati Istri
sebagai subjek penelitian, sedangkan penelitian yang akan
diteliti menggunakan film Habibie & Ainun 3 sebagai
subjek penelitian. Hasil dari penelitian ini yaitu bentuk
representasi ketidakadilan gender dalam FTV Suara Hati
Istri Episode Suamiku pada Wanita Lain, Kebahagiaanku
pada Anakku tercermin dari berbagai perlakuan yang
dialami Rina meliputi marginalisasi, subordinasi,
stereotype, dan kekerasan 18

H. Sistematika Penulisan
Supaya penelitian ini terstruktur dan mempermudah dalam
memahami pembahasan, maka penelitian ini dibagi kedalam
beberapa BAB:
BAB I PENDAHULUAN : Dalam bab ini peneliti menguraikan
mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metodologi penelitian, kajian terdahulu dan
sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA : Bagian ini membahas tentang teori
yang digunakan dalam penelitian, kajian teoritis dan kerangka
berfikir.
BAB III GAMBARAN UMUM : Pada bagian ini peneliti
membahas mengenai gambaran umum film Habibie & Ainun 3

18
Lilik Fatimah, Representasi Ketidakadilan Gender dalam Film
Televisi (FTV) Suara Hati Istri, KPI, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2021
17

yang berisikan sinopsis film, struktur organisasi film, profil


sutradara, serta profil pemain dalam film Habibie & Ainun 3.
BAB IV TEMUAN PENELITIAN : Pada bab ini memaparkan
data temuan pada film Habibie & Ainun 3 yaitu meliputi scene-
scene yang mengandung diskriminasi gender dan makna denotasi,
konotasi dan mitos yang terkandung didalam scene-scene tersebut.
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN : Bab ini berisikan
uraian yang dikaitkan dengan latar belakang, teori dan rumusan
masalah yang telah ditentukan berupa bentuk-bentuk diskriminasi
gender dalam film Habibie & Ainun 3.
BAB VI PENUTUP : Bab ini merupakan penutup yang berisi
kesimpulan dari hasil yang telah didapatkan dari penelitian yang
telah dilakukan, saran dan ditutup dengan implikasi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. LANDASAN TEORI
1. Konsep Semiotika Roland Barthes
Roland Barthes tidak lepas dari kajian semiotika karena
pemikiran dan karya-karya semiotika Roland Barthes banyak
dijadikan sebagai acuan untuk penelitian, khususnya di Indonesia.
Ia merupakan seorang kritikus dan intelektual yang berasal dari
Bayone, kota kecil yang tidak jauh dari pantai atlantik di sebelah
barat daya paris dan prancis. Secara harfiah teori semiotika Barthes
diturunkan dari teori bahasa de Saussure. Berbeda dengan
Saussure, Barthes beranggapan bahwa semiologi termasuk dalam
bidang linguistik bukan sebaliknya.1Menurut Barthes bahasa
merupakan sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-
asumsi dari masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.2 Pemikiran
semiotika Saussure memakai istilah signifier dan signified dalam
mengelompokan tanda. Sedangkan, Barthes dalam menunjuk
tingkatan makna menggunakan istilah denotasi dan konotasi.
Menurut pemikiran Roland Barthes, semiotika merupakan
suatu teknik yang dipakai untuk melihat cara kemanusian
(humanity) dalam memaknai suatu hal (things).3 Kata “memaknai”

1
Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi.”terj”. M Ardiansyah.
(Yogyakarta: BASABASI,2017), h.7
2
Michael & Diana, “Representasi Makna Feminisme Pada Sampul
Majalah Vogue Versi Arabia Edisi Juni 2018”, Jurnal SEMIOTIKA Vol.13 (No.
2 ) : no. 207 - 231. Th. 2019
3
Kurniawan, Semiologi Roland Barthes. (Magelang: Yayasan
Indonesiatera, 2001), h 53

17
18

dalam hal ini bukan berarti disamaaartikan dengan


mengkomunikasikan. Melainkan kata “memaknai” disini memiliki
arti bahwa suatu objek itu tidak semata-mata berfungsi sebagai
pembawa informasi, melainkan objek tersebut juga dapat
menentukan suatu sitem dari sebuah tanda. Oleh sebab itu, Roland
Barthes melihat signifikasi (penandaan) sebagai suatu proses yang
total dengan susunan yang sudah terstruktur.4
Berikut peta mengenai bagaimana tanda dapat bekerja:

1.Signifer 2.Signifed (Petanda)


(Penanda)

3. Denotative signifer (Tanda


Denotatif)

4.Connotative Signifer (Penanda 5. Connotative


Konotatif) Signifed (Petanda
Konotatif)

6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)


Tabel 2. 1 Peta Tanda Roland Barthes

Berdasarkan dari tabel peta tanda diatas dapat dijelaskan


bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2).
Namun, pada waktu yang bersamaan tanda denotatif tersebut juga
merupakan penanda konotatif (4). Jadi, berdasarkan konsep
semiotika oleh Roland Barthes tanda kontotatif tidak hanya

4
h.53
19

sekedar mempunyai makna tambahan melainkan juga


mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi
keberadaannya. Berdasarkan pernyataan diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa pemikiran dari Roland Barthes
menyempurnakan semiologi Saussure yang hanya berhenti pada
penandaan dalam tataran denotatif.5
Dalam menunjuk tingkatan makna, Barthes menggunakan
istilah denotasi dan konotasi kedua istilah ini disebut dengan
model dua tahap (two order of signification). Istilah denotasi yakni
makna harfiah atau makna yang sesunguhnya. Denotasi
merupakan signifikasi tahap pertama yaitu hubungan antara
signifier (penanda) dan signified (petanda) di dalam bentuk nyata.6
Dengan kata lain denotasi adalah makna sebenarnya yang
digambarkan tanda terhadap objek.
Signifikasi tahap kedua yaitu konotasi, secara harfiah
makna konotasi adalah makna yang tidak sebenarnya atau makna
secara tersirat. Konotasi mengambarkan interaksi ketika tanda
bergabung dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-
nilai kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif
sehingga keberadaannya tidak disadari. Oleh sebab itu, analisis
semiotika hadir untuk mengatasi terjadinya kesalahpahaman dalam
mengartikan suatu tanda. Jika denotasi adalah apa yang

5
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2013), cet. Ke-5, h. 69

6
Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi: Sistem Tanda Bahasa,
Hermeutika dan struktuaslis”terj”. M Ardiansyah, (Jogjakarta: IRCiSoD,2012),
h. 13
20

digambarkan tanda terhadap suatu objek, maka konotasi adalah


bagaimana cara menggambarkannya. 7
Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi,
tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah sistem
pemaknaan atau memahami beberapa aspek realitas atau gejala
alam oleh kebudayaan.8 Mitos bisa dikatakan sebagai produk kelas
sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Oleh karena itu,
menimbulkan prasangka tertentu atas suatu hal yang dinyatakan
pada mitos tersebut.
Berdasarkan penjelasan mengenai denotasi, konotasi dan
mitos diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa denotasi
pada hakikatnya merupakan makna yang sesungguhnya dengan
kebenaran yang ada. Oleh karena itu, makna denotasi memiliki
informasi-informasi yang benar dan faktual objektif.

B. KAJIAN TEORITIS
1. Representasi
Representasi secara umum diartikan sebagai cara
memproduksi makna untuk dipertukarkan antar anggota
masyarakat. Sedangkan menurut Marcel Danesi, representasi
diartikan sebagai penggunaan tanda, (bunyi, gambar, dan lain
sebagainya) untuk menghubungkan, menggambarkan, memotret

7
Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis Bagi
Penelitian dan Skripsi Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), h. 22
8
h. 22
21

atau memproduksi sesuatu yang dilihat, diindera, dibayangkan,


atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu. 9
Representasi menurut Stuart Hall yaitu:10
Representation: Cultural Representation and signifying
Practice, “Representation connect meaning and language to
culture...representation is an essential part of the process by wich
meaning is produced and exchanged between member of culture.”
Perwakilan budaya dan praktek yang signifikan, “perwakilan
menghubungkan makna dan bahasa atas kebudayaan... perwakilan
merupakan bagian penting dari proses yang berarti dihasilkan dan
ditukar diantara para anggota”.
Reperesentasi terikat pada tanda dan citra yang telah ada
dan dipahami secara kultural, pada pembelajaran bahasa dan
penandaan yang berbagai macam atau sistem tekstual secara timbal
balik. Oleh sebab itu, kesamaan latar belakang pengetahuan dalam
kelompok masyarakat sangat penting pada sistem representasi agar
sebuah kelompok masyarakat dapat saling bertukar makna dan
menciptakan pemahaman yang sama.
Definisi representasi menurut Marcel Danesi yaitu
pemakaian tanda (bunyi, gambar dan lainya) untuk
menggambarkan, menghubungkan, memotret atau memproduksi
sesuatu yang dilihat, diindera, dibayangkan dan dirasakan dalam

9
Marcel Danesi, Pesan,Tanda,dan Makna, terj. Evi Setyarini dan Lusi
Lian Piantari (Yogyakarta: Jalasutra,2010), h. 20.
10
Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek, (Bantul: Kreasi
Wacana Offset, 2000), h. 19.
22

bentuk fisik tertentu.11 Berdasarkan dari pengertian representasi


yang telah dipaparkan daiatas, dapat dipahami bahwa representasi
adalah hasil dari sebuah pemikiran atau pandangan seseorang
terhadap apa yang dilihat, dibayangkan dan dirasakan berupa fisik
seperti tanda maupun simbol.

2. Gender
Secara bahasa kata gender berasal dari bahasa inggris yang
berarti jenis kelamin.12 Pengertian Gender seringkali dianggap
sama dengan seks, padahal pada kenyataanya gender dan seks
memiliki pengertian yang berbeda. Seks merupakan perbedaan
secara biologis komposisi genetis dan fungsi anatomi reproduksi
manusia atau lebih sederhananya seks adalah pembagian laki-laki-
laki dan perempuan berdasarkan kepada kondisi biologis.
Sedangkan gender yaitu pembedaan antara laki-laki dan
perempuan berdasarkan kebiasaan atau karakteristik sosial
masyarakat yang membentuknya. 13
Gender biasanya terbentuk berdasarkan karakteristik yang
diciptakan oleh sosial atau budaya sekitar. Karakteristik tersebut
misalnya, laki merupakan jenis manusia yang kuat, logis, tidak
cengeng, dan sebagainya. Sedangkan, perempuan adalah makhluk
yang penuh empati, lemah lembut, keibuan dan lainnya.

11
Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, (Yogyakarta: Jalasutra,
2010), h. 24
12
Suwondo Admojo, Darseno, Kamus Lengkap Inggris-Indonesia:
Indonesia-Inggris, (Semarang: Bintang Jaya, 2005), h. 127.
13
Haris Herdiansyah, Gender dalam Perspektif Psikologi, (Jakarta:
Penerbit Salemba Humanika, 2016), h.4
23

Berdasarkan hal teresebut dapat disimpulkan bahwa gender lebih


menekankan terhadap aspek maskulinitas yang disematkan pada
laki-laki dan feminimitas pada perempuan.
Karena terbentuk oleh lingkungan sosial dan kebudayaan
maka karakteristik gender tersebut dapat mengalami perubahan
yang terjadi dari masa ke masa dari suatu tempat ke tampat yang
lain. Misalnya pada masa dahulu perempuan memiliki kekuatan
yang lebih besar dibanding laki-laki namun dizaman lain dan
tempat yang berbeda laki-laki memiliki kekuatan yang lebih besar
daripada perempuan.
Terdapat beberapa asumsi pokok mengenai gender14,
Sebagai berikut:
1. Gender menyangkut hubungan antara laki-laki dan perempuan
yang terbentuk secara sosiokultural, dan bukan atas dasar alamiah
(biologis).
2. Berdasarkan pembentukan sosiokultural tersebut, menjadikan
hubungan antara laki-laki dan perempuan membuat sebuah sistem
dominasi dan subordinasi. Dalam hal ini, laki-laki mengambil
bentuk dominasi, sedangkan, perempuan mengambil bentuk
subordinasi.
3. Pembagian kerja serta perbedaan antara laki-laki dan
perempuan yang bersifat sosial, seringkali dianggap sebagai suatu
hal yang alamiah (natural) melalui ideologi mitos dan agama.

14
A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam
Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, dan HAM, (Magelang:
Indonesiatera, 2004), 60
24

4. Gender juga menyangkut tentang stereotip feminism dan


maskulin.
3. Diskriminasi Gender
Diskriminasi gender adalah bentuk perlakuan tidak adil
antara laki-laki perempuan yang dapat mempengaruhi kehidupan
individu. Diskriminasi gender dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) daring, yaitu pembedaan sikap dan perlakuan
terhadap sesama manusia berdasarkan pembedaan jenis kelamin.
Jadi Diskriminasi gender dapat diartikan sebagai bentuk tindakan
yang memihak kepada jenis kelamin tertentu baik laki-laki maupun
perempuan. Diskriminasi gender ini merupakan sistem dan
struktur yang dapat menjadikan laki-laki ataupun perempuan
sebagai korban dari struktur tersebut. Ketidakadilan ini dapat
terjadi akibat dari perbedaan gender pada laki-laki dan
perempuan.15
Menurut Mansour Fakih bentuk-bentuk ketidakadilan
gender terbagi kedalam 5 bentuk sebagai berikut:16
a. Marginalisasi
Marginalisasi adalah proses pemiskinan atas suatu jenis
kelamin tertentu Baik laki-laki maupun perempuan yang
menimbulkan ketidakadilan diantara kedua belah pihak.
Marginalisasi perempuan juga dapat terjadi di rumah tangga
seperti istri dianggap kurang etis jika memiliki pangkat yang lebih
tinggi daripada suami atau mendapatkan penghasilan yang lebih

15
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
(Yogyakarta: INSISTtPress, 2008), h. 12.
16
h. 14-22.
25

besar dari suaminya. Marginalisasi ini biasanya disebabkan oleh


beberapa hal seperti, kebijakan pemerintah, tradisi, kebiasaan atau
bahkan tafsir agama.

b. Subordinasi
Subordinasi adalah suatu kondisi dimana sesuatu dianggap
tidak begitu penting, tidak utama, dan tidak terlalu diperhatikan.
Subordinasi didalam gender sendiri dapat diartikan sebagai bentuk
memposisikan salah satu jenis kelamin didalam kedudukan lebih
tinggi daripada jenis kelamin yang lain. Subordinasi terhadap
perempuan berarti meletakkan perempuan dalam posisi yang tidak
begitu penting misalnya pada saat mengambil keputusan, pendapat
perempuan diaanggap tidak terlalu penting, melainkan keputusan
tertinggi terletak pada tangan laki-laki.
Di lingkungan keluarga subordinasi terhadap perempuan
dapat terjadi seperti misalnya anak perempuan dianggap tidak
terlalu penting untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi
dibandingkan anak laki-laki karena berkembangnya pandangan
bahwa perempuan akan kembali ke dapur, sumur, dan kasur. Oleh
karena itu, memberikan stigma kepada masyarakat bahwa anak
laki-laki lebih penting untuk memperoleh pendidikan yang lebih
baik.

c. Stereotip
Stereotip merupakan pelabelan kepada suatu kelompok,
individu, atau jenis pekerjaan tertentu. Stereotip gender yakni
pelabelan atau pemberian sifat bahkan karakter terhadap suatu
26

gender tertentu yang dapat menimbulkan ketidakadilan terhadap


salah satu pihak. Misalnya pelabelan pada anak laki-laki bahwa
laki-laki adalah manusia yang jantan, tidak cengeng, rasional dan
kuat, sedangkan perempuan merupakan manusia yang lemah
lembut, keibuan, cantik, dan emosional. Di masyarakat, banyak
pelabelan yang memojokkan kaum perempuan sehingga pelabelan
teresebut dapat menghambat kaum perempuan untuk mendapatkan
hak yang sama dan bersaing dengan kaum laki-laki dalam berbagai
bidang.17

d. Kekerasan
Kekerasan pada gender dapat terjadi karena terdapat
ketidaksetaraaan kekuatan antara laki-laki dan perempuan. Dalam
arti lain, siapa yang mempunyai kekuatan yang besar maka dapat
mengendalikan yang lain. Kekerasan tersebut dapat dalam bentuk
fisik maupun psikologis. Kekerasan dalam bentuk fisik adalah
kekerasaan yang ditujukan terhadap fisik seseorang contohnya
kasus KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga, sedangkan
kekerasan psikologis adalah segala bentuk kejahatan yang
beebentuk verbal seperti hinaan, cacian dan lain-lain.

e. Beban Kerja Ganda


Beban kerja yang tidak imbang biasanya terjadi pada
perempuan yang dianggap berkewajiban untuk mengurus berbagai
pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, memasak, mengepel dan

17
Haris Herdiansyah, Gender dalam Perspektif Psikologi, (Jakarta:
Penerbit Salemba Humanika, 2016), h.6
27

lain sebagainya. Para istri harus melayani suami dan anak mereka
secara bersamaan apalagi jika mereka harus bekerja untuk
mencukupi kebutuhan rumah tangga. Dalam kata lain, mereka
mendapatkan bebean kerja ganda (double-burden), disinalah
terjadi ketidakadilan gender dalam kehidupan.

4. Profesi Dokter Perempuan


Secara operasional, dokter dapat diartikan sebagai seorang
tenaga kesehatan yang menjadi tempat kontak pertama dengan
pasien untuk mengatasi semua permasalahan mengenai kesehatan
tanpa melihat jenis penyakit, golongan usia, organologi, jenis
kelamin sedini dan sedapat mungkin secara menyeluruh, paripurna
dan berkesinambungan dan dalam koordinasi dan kolaborasi
dengan profesional kesehatan lainya.
Menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
mengenai Praktik Kedokteran, profesi dokter memiliki definisi
sebagai suatu pekerjaan kedokteran yang dilakukan berdasarkan
keilmuan, kompetensi yang didapat melalui pendidikan berjenjang
dan kode etik dokter yang bersifat melayani. 18

5. Film
a. Pengertian Film
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, film diartikan
dalam dua pengertian, yaitu film merupakan selaput tipis yang dibuat
dari soluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau

18
https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2004/29TAHUN2004UU.HTM
diakses pada 10 Februari 2023 Pukul 19.30
28

untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop dan


televisi), yang kedua, film diartikan sebagai lakon (cerita) gambar
hidup.19 Film merupakan bagian dari komunikasi yang berperan pentig
dalam sistem yang digunakan oleh individu atau kelompok untuk
mengirim dan menerima pesan.
Definisi film secara harfiah yaitu cinematographie yang berasal
dari kata cinema yang berarti gerak dan Tho atau pyhtos yang berarti
cahaya. Jadi, film juga dapat diartikan sebagai melukis sebuah gerak
dengan menggunakan cahaya.20
Menurut UU Perfilman No 8 Tahun 1992, film adalah karya
cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa
pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi
dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video,
dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala
bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses
elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang
dapat dipertunjukkan dan/atau ditayangkan dengan sistem
proyeksi mekanik, elektronik, dan/atau lainnya.21
Dari beberapa definisi diatas, dapat dipahami bahwa film
merupakan media gambar bergerak dan bersifat massal yang
ditayangkan sebagai bahan hiburan atau tontonan bagi penonton.

19
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembang Bahasa:
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 242
20
Muhammad Ali, Dani Manesah, Pengantar Teori Film, (Yogyakarta:
Deepublish Publisher, 2020), h. 2
21
UU Republik Indonesia No 8 Tahun 1992 tentang perfilman Bab 1,
Pasal 1 ayat 1. Departemen Penerangan RI.
29

b. Jenis Film
Secara umum film dapat dibagi kedalam 3 jenis, yaitu:22
1) Film Dokumenter
Film dokumenter yaitu film yang mengandung fakta
sebagai kunci utamanya. Film dokumenter erat hubunganya
dengan data maupun fakta dalam menyampaikan informasi. Film
dokumenter bertujuan memvisualisasikan sebuh peristiwa yang
benar-benar pernah terjadi. Berbeda dengan film fiksi yang terikat
oleh plot. Dalam poduksi film dokumenter terdapat karakter teknik
yang khas agar mendapatkan kemudahan, kecepatan, fleksibilitas
dan auntentitas dari sebuah peristiwa.23

2) Film Fiksi
Film fiksi yaitu film yang menggunakan cerita yang sudah
dibuat atau dikarang oleh penulis naskah tidak berdasarkan
kejadian nyata serta konsep pengadeganan sudah disusun sejak
awal. Lain hal nya dengan film dokumenter, film fiksi terikat plot
yang sudah ditentukan. Cerita dalam film fiksi berbagai jenis mulai
dari tentang kehidupan sosial, kebudayaan hingga percintaan.

3) Film Eksperimental
Film eksperimental adalah jenis film yang tidak sama
dengan film dokumenter maupun film fiksi. Hal ini dikarenakan,

22
Muhammad Ali, Dani Manesah, Pengantar Teori Film, (Yogyakarta:
Deepublish Publisher, 2020), h. 49-51
23
Muhammad Ali, Dani Manesah, Pengantar Teori Film, (Yogyakarta:
Deepublish Publisher, 2020), h. 50
30

film eksperimental tidak memiliki plot, namun memiliki struktur.


Struktur ini dipengaruhi oleh insting subjektif berupa gagasan ide,
emosi, serta pengalaman batin sineas. Film eksperimental pada
umumnya berbentuk abstrak karena tidak bercerita apapun bahkan
terkadang menentang kausalitas. Selain itu, film eksperimental
mengandung simbol-simbol yang meraka ciptakan sendiri. Oleh
sebab itu, film eksperimental sering kali sulit untuk dipahami.

6. Semiotika
a. Pengertian Semiotika
Secara etimologis, kata semiotika diambil dari bahasa
yunani yaitu kata Semeion yang berarti tanda. Tanda ini dianggap
sebagai suatu hal yang menunjuk pada hal lainya.24 Contohnya
seperti bendera kuning menandakan adanya kematian, asap yang
menandakan adanya api. Selain itu semiotika juga dapat dilihat
dalam komunikasi nonverbal seperti acungan jempol sebagai
bentuk apresiasi terhadap orang lain, dan ketika seseorang
mengerutkan kening merupakan tanda bahwa ia tidak mengerti dan
tanda-tanda semiotika lainya. Secara terminologis semiotika dapat
diartikan sebagai ilmu yang mempelajari mengenai tanda. Tanda
yang dimaksud ia lah segala hal yang ada di dunia baik fisik
maupun mental, yang diberi makna oleh manusia. Bagi semiotik
dibalik sebuah fakta ada makna lain yang terjadi 25

24
Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis Bagi
Penelitian dan Skripsi Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013), h. 7
25
Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, (Depok:
Komunitas Bambu, 2014)
31

Semiotika juga dikenal dengan nama lain semiologi. Kata


semiologi biasanya digunakan oleh orang yang memahami
pemikiran Saussurean sedangkan kata semiotika biasa dipakai oleh
mereka yang menggunakan pemikiran Charles Sanders Peirce dan
Charles Morris.26 Meskipun demikian, kedua istilah tersebut
memiliki makna yang sama. Dalam sejarah linguistik semiotika
juga dikenal dengan istilah lain seperti semasiologi, sememik, dan
semik yang artinya adalah bidang studi yang mempelajari
mengenai makna atau arti dari sebuah tanda atau lambang.27
Pengertian semiotika menurut Saussure adalah sebuah ilmu
yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah masyarakat. Oleh
karena itu, semiotika termasuk kedalam bagian dari disiplin
psikologi sosial. Hal ini bertujuan untuk memperlihatkan
bagaimana tanda-tanda beserta kaidah-kaidah yang mengaturnya
dapat terbentuk.28 Menurut Sausurre tanda itu terbagi menjadi dua,
yakni signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifer atau
penanda merupakan sesuatu yang menunjukkan aspek material,
seperti tulisan, gambar, ucapan. Sedangkan, signified atau petanda
merupakan sesuatu yang menunjukkan kepada aspek mental,
gambaran atau konsep dari tanda. Keduanya unsur ini saling
berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Jika salah satu
unsur tidak ada makan unsur lainya tidak akan berarti apa-apa.29

26
h. 12
27
h. 11
28
h. 12
29
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2013), cet. Ke-5, h. 46
32

Sementara, definisi semiotika menurut Charles Sanders


Pierce adalah doktrin formal tentang tanda-tanda. Pemikiran ini
muncul pada abad ke 19 di Amerika Serikat. Pada dasarnya
semiotika adalah konsep mengenai tanda. Tidak hanya bahasa dan
konsep komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda melainkan
duniapun seluruhnya terdiri atas tanda-tanda. Karena tanda-tanda
inilah hubungan antar manusia dapat terjalin dengan baik.
Berdasarkan pengertian semiotika menurut beberapa ahli
diatas dapat disimpulkan bahwa semiotika merupakan sebuah ilmu
atau sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Semiotika
mengungkapkan sesuatu makna yang berada dibalik sebuah tanda,
dimana tanda tersebut mewakili hal lain selain tanda itu sendiri.

7. Perempuan Menurut Perspektif Islam


Perempuan yang hidup pada zaman jahiliyah memiliki
kedudukan yang tidak ada artinya dimasyarakat. Laki-laki bebas
melakukan segala hal yang mereka inginkan terhadap perempuan
dan menganggap perempuan adalah barang yang dapat
diperlakukan dengan sesuka hati. Bahkan, melahirkan seorang
bayi perempuan dianggap merupakan suatu aib bagi keluarga.
Oleh sebab itu, bayi perempuan yang baru lahir akan dibunuh
dengan cara dikubur hidup-hidup demi menutupi aib keluarga
tersebut. Jika tidak dibunuh, maka anak perempuan hanya akan
dijadikan sebagai pemuas nafsu bagi para laki-laki bahkan yang
lebih menyedihkan bagi ayahnya sekalipun. Masyarakat jahiliyah
pada saat itu memiliki pemikiran bahwa perempuan hanya
memiliki kewajiban di dapur sumur dan kasur. Anak perempuan
33

juga dilarang untuk melakukan pekerjaan diluar rumah dan hanya


diperbolehkan berdiam diri melakukan tugas dirumah. 30
Hingga akhirnya Islam membawa keadilan dan
mengembalikan hak-hak yang memang pada hakikatnya harus
didapatkan oleh para perempuan. Islam mengangkat kehormatan
dan derajat perempuan yang dahulunya dianggap lemah dan tak
berharga dipandangan masyarakat. Dalam Al-quran Islam
memberikan kedudukan yang mulia terhadap perempuan agar
mereka tidak merasa rendah dan tidak berharga karena pada
hakikatnya laki-laki dan perempuan memiliki hak-haknya masing-
masing dalam Islam. Perempuan sangat dimuliakan dalam Islam
bahkan surga itu berada dibawah telapak kaki ibu seperti yang
dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Ibnu
‘Adi di dalam kitabnya Al-Kamil fi AdDhu’afa Ar-Rijal:
Dari Musa bin Muhammad bin Atha, Abu Al-
Malih,Maimunah, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu, ia berkata,
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Surga itu di
bawah telapak kaki-kaki para ibu, siapa yang mereka kehendaki,
maka mereka akan memasukkannya, dan siapa yang mereka
kehendaki, maka mereka akan mengeluarkannya.” Imam Ibnu
‘Addi berkata, Musa bin Muhammad Al-Maqdisi itu munkarul
hadist.
Dalam perspektif Al-quran antara laki-laki dan perempuan
memiliki kedudukan yang sejajar, dimana mereka memiliki hak
dan kewajiban yang sama dimata Allah, yang membedakanya

Sutiono AZ, “Pendidikan Perempuan Sebelum Islam” Tahdzib Akh


30

laq No VI/2/2 0 2 0
34

hanyalah amalannya. Hal ini tercantum dalam Alquran surat Ali-


Imran ayat 195:
ِ ِ ِ
ُ ‫ن َلا اُ ِضْي ُع َع َم َل َعام ٍل مْن ُك ْم م ْن ذَ َك ٍر اَْو اُنْثٓى ۚ بَ ْع‬
‫ض ُك ْم‬ ِ
ْ َ‫اب ََلُْم َرُُّّبُْم ا‬
َ ‫استَ َج‬
ْ َ‫ف‬
ٍ ‫ِم ْن بَ ْع‬
‫ض‬
Artinya: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
(dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan
amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau
perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain.” (QS. Ali-Imran: 195).
Meskipun dalam Alquran juga dijelaskan bahwa laki-laki
adalah pemimpin bagi perempuan, namun tidak menjadi alasan
bagi laki-laki untuk berbuat sewenang-wenang terhadap
perempuan melainkan laki-laki harus menjadi pemimpin yang
mengayomi dan membimbing perempuan. Bahkan islam tidak
pernah mengajarkan perempuan untuk tunduk dan dan patuh
terhadap laki-laki melainkan hanya perintah untuk tuduk kepada
Allah SWT karena laki-laki dan perempuan hanyalah seorang
hamba yang memiliki kedudukan yang sama seperti yang telah
dijelaskan dalam Alquran Surat Al-Hujurat ayat 13:
ۤ
‫َّاس اِ ََّّن َخلَ ْق ٓن ُك ْم ِم ْن ذَ َك ٍر َّواُنْ ٓثى َو َج َعلْ ٓن ُك ْم ُشعُ ْواًب َّوقَبَا ِٕى َل لِتَ َع َارفُ ْوا‬
ُ ‫ٓاٰۚيَيُّ َها الن‬
ِ ِ ِ ِ ِ
ٌ‫ا َّن اَ ْكَرَم ُك ْم عنْ َد ٓاّلل اَتْ ٓقى ُك ْم ۗا َّن ٓاّللَ َعلْي ٌم َخبِ ْي‬
Artinya: Wahai manusia! Sungguh, Kami telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,
kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
35

agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara


kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui, Maha teliti.
Pada ayat diatas dijelaskan bahwa Allah menciptakan laki-
laki dan perempuan dengan kedudukan yang sama sebagai seorang
hamba. Tidak ada yang lebih tinggi antara laki-laki dan perempuan
dihadapan Allah SWT melainkan yang membedakannya hanya
amal perbuatan dan ketakwaannya sebagai seorang hamba semata.
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk tunduk dan
patuh kepada-Nya dan hidup berdampingan dengan saling tolong
menolong dan bekerjasama dalam kebaikan tanpa saling
menjatuhkan dan merugikan antara satu dengan yang lainnya..
36

C. KERANGKA BERFIKIR

REPRESENTASI DISKRIMINASI GENDER PADA


PROFESI DOKTER PEREMPUAN DALAM FILM
HABIBIE & AINUN 3

ANALISIS SEMIOTIKA
ROLAND BARTHES

DENOTASI MITOS KONOTASI

BENTUK-BENTUK DISKRIMINASI GENDER


TERHADAP PROFESI DOKTER
PEREMPUAN DALAM FILM HABIBIE &
AINUN 3:
1. MARGINALISASI
2. SUBORDINASI
3. STEREOTIP
4. KEKERASAN
5. BEBAN GANDA
BAB III
GAMBARAN UMUM

A. Gambaran Umum Film Habibie & Ainun 3


Film ini mereupakan prequel dari film Habibie dan Ainun
yang sutradarai oleh Hanung Bramantyo. Film ini ditayangkan di
layar lebar Indonesia pada 19 Desember 2019 dan berhasil
mencapai lebih dari 2.000.000 penonton selama penayangannya.
Film Habibie & Ainun 3 menceritakan mengenai masa muda Hasri
Ainun Besari yang merupakan istri dari presiden 3 Indonesia yaitu
Bacharuddin Jusuf Habibie.
Film Habibie Ainun merupakan film yang mengusung
tema biografi dan percintaan yang berfokus menceritakan
mengenai masa muda Ainun Asri Besari. Film ini juga
menggunakan alur maju mundur dari masa sekarang dan tahun
1950an dimana saat Ainu masih muda.

B. Sinopsis Film Habibie & Ainun 3


Dalam film ini diceritakan bahwa Habibie dimasa tua yang
sedang mengenang sang istri dan kemudian menceritakan masa
muda Ainun kepada cucu-cucunya. Sejak kecil Ainun merupakan
anak yang pintar dan tekun dalam menuntut ilmu. Ia memimiliki
cita-cita untuk menjadi seorang dokter. Hal ini, juga
dilatarbelakangi oleh profesi ibunya yang seorang bidan sehingga
Ainun sejak kecil sudah terbiasa dengan dunia kesehatan. Oleh

37
38

karena itu, ia bermimpi untuk melanjutkan pendidikan di jurusan


kedokteran.
Dalam perjalanannya untuk mencapai mimpinya Ainun
mendapatkan banyak rintangan. Pada masa itu perempuan
dianggap tidak cocok bagi perempuan karena profesi dokter
merupakan profesi yang berat bagi perempuan. Namun, karena
tekad yang kuat ia berahasil lulus di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, dimana pada masa itu untuk masuk pada
Universitas tersebut cukup sulit dan sistem penyaringannya yang
cukup ketat.
Meskipun Ainun telah berhasil masuk Fakultas
Kedokteran, ia masih mendapatkan berbagai bentuk diskriminasi
dikampusnya. Ainun dan teman-teman perempuannya seringkali
diremehkan oleh seniornya karena mereka memandang perempuan
sebagai makhluk yang lemah dan tidak cocok menjadi dokter.
Namun, Ainun tetap teguh atas mimpinya dan ia berusaha berjuang
untuk membuktikan bahwa perempuan juga layak mendapatkan
pendidikan yang sama dan perempuan mampu untuk menjadi
seorang dokter. Karena kegigihannya dalam belajar Ainun berhasil
menjadi lulusan fakultas kedokteran terbaik diangkatannya.
Film ini mendapatkan banyak apresiasi dari para
penontonnya. Pada hari pertama penayangan telah berhasil meraih
218.253 penonton, sehingga menjadi peringkat ketiga dalam 10
besar film terlaris pada hari pembukaan di Indonesia. Dengan
antusias penonton hiingga akhir pekan pembukaan penayangan
film ini memperoleh 715.338 penonton. Hingga saat ini, film ini
39

telah mencapai 2.242.782 penonton dan berhasil menempati


peringkat ke 5 film indonesia terlaris pada tahun 2019.1

C. Produksi Film Habibie & Ainun 3


JABATAN NAMA
Perusahaan Produksi MD Pictures
Produser Manoj Punjabi

Sutradara Hanung Bramantyo

Yudi Datau
Sinematografer
Galang Galih
Penulis Skenario Ifan Ismail
Penyunting Wawan I. Wibowo
Penata Musik Tya Subiakto
Tabel 3. 1 Produksi Film Habibie & Ainun 3

D. Profil Sutradara Film Habibie & Ainun

Gambar 3. 1 Hanung Bramantyo

1
Habibie & Ainun 3 - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
diakses pada 17 Februari 2023 pukul 9.13 WIB.
40

Hanung Bramantyo adalah seorang sutradara, produser,


penulis skenario dan aktor yang dikenal melalui karya-karya
hebatnya. Pria kelahiran Yogyakarta, 1 Oktober 1975 ini
merupakan keturunan Jawa dan Tionghoa. Ia pernah menempuh
pendidikan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam
Indonesia, namun ia tidak menyelasaikan studinya disana. Setelah
itu, ia memutuskan untuk pindah ke Institut Kesenian Jakarta untuk
memperdalam ilmu perfilman di jurusan Film Fakultas Film dan
Televisi.
Selama perjalanan karirnya ia pernah terpilih sebagai
sutradara terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) untuk Piala
Citra – film layar lebar melalui filmnya yang berjudul
BROWNIES. Pada tahun 2007 ia juga berhasil menyabet
penghargaan sebagai Sutradara Terbaik melalui filmnya yang
berjudul Get Married. Hingga tahun 2019, ia berhasil sebagai
sutradara yang paling banyak dinominasikan dalam kategori
Sutradara Terbaik pada ajang Festival Film Indonesia.2

2
https://id.wikipedia.org/wiki/Hanung_Bramantyo diakses pada 17
Februari 2023 pukul 9.03 WIB.
41

E. Profil Pemain Film Habibie & Ainun 3


1. Maudy Ayunda sebagai Ainun

Gambar 3. 2 Maudi Ayunda

Dalam film Habibie & Ainun 3 Maudy Ayunda Dipercaya


untuk menjadi pemeran utama yaitu sebagai Hasri Ainun Besari.
Tokoh Ainun didalam film ini digambrakan sebagai perempuan
cerdas, bijaksana dan memiliki tekad yang kuat dalam meraih cita-
citanya. Ia memiliki cita-cita untuk menjadi seorang dokter.
Namun, usahanya untuk menggapai cita-citanya ini tidak berjalan
mulus. Ia mendapatkan banyak rintangan dan tekanan selama
perjalanannya menuju kesuksesan. Ia mendapatkan berbagai
bentuk diskriminasi karena pandangan masyarkat pada saat itu
mengenai perempuan yang dianggap tidak penting untuk sekolah
lebih tinggi karena kodrat perempuan adalah mengurusu pekerjaan
ruamah tangga.
Namun, dengan usaha dan kerja keras yang telah ia lakukan
dan Ainun tetap teguh atas apa yang ia impikan. Ia berhasil
membuktikan bahwa pandangan masyarakat kepada perempuan itu
salah. Karena, perempuan juga dapat berdaya dan memiliki hak
42

untuk memiliki cita-cita dan melanjutkan pendidikan yang lebih


tinggi.
Ayunda Faza Maudya atau yang biasa dikenal dengan
Maudy Ayunda merupakan gadis kelahiran 19 Desember 1994. Ia
merupakan seorang aktris muda berbakat yang memiliki segudang
prestasi. Ia mengawali karirnya di dunia film pada film pertamanya
yang berjudul Untuk Rena. Pada film ini ia dipercaya memainkan
peran sebagai rena dan beradu akting bersama Surya Saputra.
Berkat debutnya ini ia berhadil meraih penghargaan Aktris Utama
oleh Festival Film Indonesia pada tahun 2006 diusianya yang
masih menginjak 11 tahun. Setelah itu ia juga membintangi
beberapa judul film, seperti Perahu Kertas tahun 2012, Refrain
tahun 2013, dan Habibie Ainun 3 tahun 2019.
Selain aktif sebagai pemain film, Maudy juga melebarkan
sayapnya di dunia tarik suara. Ia berhasil merilis album debutnya
yang berjudul Panggil Aku pada tahun 2011, Album ini berisikan
10 lagu yang mana salah satu dari lagu tersebut merupakan lagu
ciptaan Maudy yang judulnya “Tiba-Tiba Cinta Datang”. Setelah
itu ia juga dipercaya untuk mengisi soundtrack untuk film
terbarunya dengan judul “Perahu kertas” ciptaan Dewi Lestari.3

3
https://id.wikipedia.org/wiki/Maudy_Ayunda diakses pada 17
Februari 2023 pukul 9.30 WIB.
43

2. Jefri Nichol sebagai Ahmad

Gambar 3. 3 Jefri Nichol

Pada Film Habibie & Ainun 3 ini Nichol dipercaya untuk


memerani tokoh Ahmad. Ahmad merupakan seorang mahasiswa
kedokteran yang jatuh cinta terhadap Ainun pada saat mereka
melanjutkan pendidikan di Universitas. Ahmad-lah yang
menemani dan memberikan dukungan kepada Ainun untuk
menggapai cita-citanya.
Pada film ini tokoh Ahmad digambarkan sebagai sosok
laki-laki yang tegas dan memiliki visi-misi yang jelas. Ia memiliki
pandangan bahwa pola pikir masyarakat Indonesia tidak dapat ia
pahami sehingga ia memiliki cita-cita untuk meninggalkan
Indonesia. Pandangan inilah yang tidak sejalan dengan Pandangan
Ainun yang ingin membangun negrinya sehingga hal ini menjadi
konflik dalam hubungan mereka.
Jefri Nichol merupakan aktor sekaligus model yang lahir di
Jakarta pada 15 Januari 1999. Ia merpukan putra sulung dari
pasangan John Hendri dan Junita Eka Putri. Ia juga mempunyai
saudari perempuan bernama Jessie Putri. Namanya mulai dikenal
44

luas oleh masyarakat saat ia membintangi perannya sebagai


Nathan pada film Dear Nathan pada tahun 2017.
Nichol memulai perjalanan karirnya dengan menjadi model
iklan dan kemudian memutuskan untuk mengembangkan karirnya
ke dunia akting dengan menjadi pemeran pendukug pada miniseri
yang berjudul Kami Rindu Ayah. Setelah itu, ia mendapatkan
projek film pertamanya dengan peran sebagai Elzan pada film
Petaruhan pada tahun 2017. Beberapa film lain yang ia bintangi
diantaranya, Surat Cinta Untuk Starla (2017), Something in
Between (2018) dan film terbarunya Dear Nathan: Thank You
Salma (2022). Selain membintangi berbagai film ia juga kerap kali
tampil dalam berbagai serial televisi dan juga film televisi. 4

3. Reza Rahadian sebagai Habibie

Gambar 3. 4 Reza Rahadian

4
https://id.wikipedia.org/wiki/Jefri_Nichol diakses pada 17 Februari
2023 pukul 17.40 WIB.
45

Pada film ini Reza memerankan karakter Habibie. Ia sudah


dipercaya untuk memerankan karakter Habibie ini mulai dari
prequel film Habibie & Ainun pada tahun 2013 dan Rudi Habibie
pada tahun 2016. Aktor sekaligus model yang bernama lengkap
Reza Rahadian Matullesy atau yang biasa dikenal dengan Reza
Rahadian ini merupakan keturanan Iran-Maluku yang lahir pada 5
Maret 1987 di Bogor, Jawa Barat. Selain menjadi aktor, model dan
bintang iklan, saat ini ia juga mejabat sebagai ketua Festival Film
Indonesia (FFI) periode 2021 hingga 2023.
Reza mulai merintis karirnya dibidang entertainment
dengan menjadi seorang model. Diawal karirnya, ia telah berhasil
meraih juara Favorite Top Guest untuk majalah Aneka Yess! Di
tahun 2004. Kemudian, masih pada tahun yang sama ia
mendapatkan kesempatan untuk terjun kedunia akting dengan
membintangi sinetron yang berjudul Inikah Rasanya. Setelah itu,
pada tahun Reza medapatkan tawaran untuk bermain film yang
disutradarai oleh Hanung Bramantyo dengan judul Perempuan
Berkalung Sorban. Melalui film ini, Reza meraih Piala Citra
5
sebagai Pemeran Pendukung Terbaik. Setelah itu, perjalanan
karir Reza dalam dunia perfilman terbilang mulus, ia mendapatkan
banyak tawaran sebagai pemeran pendukung bahkan pemeran
utama dalam film, salah satu filmnya yaitu pada film Habibie &
Ainun 3.

5
https://id.wikipedia.org/wiki/Reza_Rahadian diakses pada 21
Februari 2023 pukul 09.50 WIB.
46

4. Arya Saloka sebagai Agus Sumarhadi

Gambar 3. 5 Arya Saloka

Dalam film Habibie & Ainun 3, Arya Saloka mendapatkan


peran sebagai tokoh Agus Sumarhadi yang merupakan kakak
senior Ainun di perguruan tinggi. Tokoh Agus ini digambarkan
sebagai seseorang yang sombong dan memiliki pandangan bahwa
perempuan tidak pantas untuk mengambil jurusan kedokteran. Ia
melakukan berbagai tindakan diskriminasi kepada Ainun dan
teman-temannya yang lain. Sikap ini merupakan bentuk
kesombogan dari Agus yang tidak mau kalah. Agus memegang
prinsip bahwa perempuan berada dibawah kaki laki-laki dan ia
juga merasa bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan
tidak lebih kuat daripada laki-laki. Oleh karena itu, ia takut jika
dikalahkan oleh Ainun yang merupakan seorang perempuan
karena ia menganggap hal itu dapat merusak harga dirinya.
Arya Saloka merupakan salah satu aktor ternama yang
berasal dari Indonesia. Namanya kian melejit melalui salah satu
sinetron yang ia bintangi bersama Amanda Manopo yang berjudul
47

Ikatan Cinta. Memiliki nama lengkap Arya Saloka Yuda Prawira


Surowilogo, Arya lahir di Bali pada 27 Juni 1991 silam.
Ia mengawali karirnya sebagai aktor dengan membintangi
beberapa judul Ftv. Ia memulai debut sinetronnya pada 2013 dalam
sinetron yang berjudul Get Married The Series dengan peran
sebagai Guntoro. Pada tahun 2012 ia tampil sebagai tokoh Coki
dalam film pertamanya yang berjudul Malaikat Tanpa Sayap.
Hingga tahun 2021 tercatat sudah 9 judul film yang berhasil ia
lakoni, salah satunya adalah film Habibie & Ainun 3.6

6
https://id.wikipedia.org/wiki/Arya_Saloka diakses pada 22 Februari 2023
pukul 09.00 WIB.
BAB IV
ANALISIS DATA

A. Analisis Semiotika Scene Diskriminasi Gender


1. Scene 1
Pada scene ini memperlihatkan bagaimana stigma
dimasyarakat bahwa perempuan tidak pantas untuk menjadi
seorang dokter dan pada masyarakat saat itu memiliki pemahaman
bahwa laki-laki menjadi dokter dan perempuan hanya cocok
menjadi bidan saja. Scene termasuk kedalam marginalisasi dimana
perempuan termarginalkan dalam sektor pekerjaan, menurut Joni
dalam wawancara melalui bahwa perempuan bisa saja melakukan
pekerjaan yang sama dengan laki-laki dengan memperhatikan
kondisi fisiknya yang berbeda dengan laki-laki.
“Mengenai pekerjaan, perempuan bisa saja, namun harus
mereka harus menyadari bahwa fisik mereka berbeda dengan
laki-laki. Oleh karena itu, saya tidak sepakat jika semua yang
dilakukan laki-laki itu bisa dilakukan oleh perempuan.”1

Visual Dialog
Ainun: Tapi kalo kata
orang, “Ainun jadi bidan
saja, perempuan cocoknya
jadi bidan.”

1
Wawancara dengan Joni Arman Hamid, Dosen Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 20 Juni 2023

48
49

Heny: (Menghela nafas)


Seperti dunia milik laki-
laki saja.

Tabel 4. 1 Scene 1

Denotasi:
Pada scene ini, memperlihatkan Ainun sebagai tokoh
utama sedang berjalan dengan dua orang temannya Heny dan Dina
dengan latar jalanan yang sepi. Mereka sedang membicarakan
tentang masa depan mereka setelah lulus sekolah nanti.
Konotasi
Berdasarkan tanda denotasi diatas yaitu dialog Ainun “Tapi
kalo kata orang, “Ainun jadi bidan saja, perempuan cocoknya jadi
bidan.” Dapat diketahui bahwa pada masa itu stigma yang beredar
dimasyarakat yaitu perempuan dianggap tidak cocok menjadi
dokter karena sikapnya yang lemah lembut dan sensitif sehingga
hanya cocok untuk menjadi bidan saja. Dari gesture yang
disampaikan Ainun terlihat raut kekecewaan dan kesedihan
diwajah ainun karena cita-citanya dipandang rendah oleh
masyarakat. Kemudian jawaban dari Heny yang mengatkan
“Seperti dunia milik laki-laki saja” menandakan bahwa laki-laki
memiliki keunggulan dari berbagai bidang dibanding perempuan.
Tarikan nafas yang panjang menandakan bahwa Heny tidak terima
dengan stigma dan pemikirin masyarakat mengenai perempuan
pada saat itu.
50

Mitos
Pada masa itu perempuan dianggap lebih cocok untuk
menjadi bidan. Selain itu karena pendidikan dokter yang sulit
sehingga perempuan dianggap tidak mampu untuk menyelesaikan
pendidikan sebagai seorang dokter.

2. Scene 2
Pada scene ini memperlihatkan bahwa Ainun sedang
bersedih karena belum mendapatkan kabar mengenai kuliahnya
dari Universitas Indonesia. Disaat itu ibunya mencoba menguatkan
dan memberi semangat kepada Ainun, namun sang kakak
berbanding terbalik dengan ibunya dengan memberikan tanggapan
bahwa Ainun terlalu ngotot untuk menjadi seorang dokter.

Visual Dialog
Ainun: Atau mungkin
kuota untuk mahasiswa
perempuan sudah habis
kali ya, Bu.
Ibu Ainun: Kalo itu Ibu
nggak percaya.
Mas: Udah tau emansipasi
basa-basi masih aja ngotot
pengin jadi dokter
Ibu Ainun: Kamu ini ikut-
ikutan saja.
51

Mas: Ya ikut-ikutanlah.
Kalo terjadi apa-apa sama
Ainun, aku juga yang kena.
Ainun juga sering nangis
sama saya.
Tabel 4. 2 Scene 2

Denotasi
Pada scene ini Ainun sedang berkecil hati karena surat
penerimaan mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia yang ia
tunggu-tunggu tidak juga datang. Ainun berfikir bahwa kuota
mahasiswa perempuan sudah habis sehingga ia tidak bisa menjadi
mahasiswa kedokteran di Universitas Indonesia. Kekesalan Ainun
bertambah oleh kata-kata yang dilontarkan kakaknya yaitu ” Udah
tau emansipasi basa-basi masih aja ngotot pengin jadi dokter”
Konotasi
Konotasi yang terdapat pada scene ini, dari dialog “Udah
tau emansipasi basa-basi masih aja ngotot pengin jadi dokter”
yakni bahwa perempuan pada masa itu belum mendapatkan
keadilan karena gender yang mereka miliki, kemudian pada dialog
“Ya ikut-ikutanlah. Kalo terjadi apa-apa sama Ainun, aku juga
yang kena. Ainun juga sering nangis sama saya” Dapat dilihat dari
dialog yang disampaikan oleh kakak Ainun bahwa perempuan
dianggap cengeng dan selalu menangis saat dihadapi dengan
masalah sehingga menjadi beban terhadap laki-laki karena tidak
mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Dapat dilihat pada
dialog “Kalo terjadi apa-apa sama Ainun, aku juga yang kena”
52

menandakan bahwa perempuan dianggap berada dibawah


tanggung jawab seorang laki-laki dan bergantung pada laki-laki
dalam berbagai aspek. Selain itu makna konotasi dalam scene ini
yaitu laki-laki digambarkan sebagai sosok yang dapat diandalkan
bagi perempuan ketika dihadapi pada suatu masalah karena
kedudukannya lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Mitos
Mitos pada scene yaitu dalam masyarakat ketika anak
perempuan menangis merupakan hal yang biasa sedangkan ketika
anak laki-laki menangis akan dianggap tidak pantas. Karena
kebiasaan inilah anak perempuan sering kali dianggap cengeng
sedangkan anak laki-laki dianggap kuat dan pemberani. Padahal
laki-laki maupun perempuan boleh mengungkapkan kesedihannya
dengan cara menangis Kemudian mitos selanjutnya yaitu
perempuan dianggap tidak mampu untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri sehingga harus bergantung kepada laki-laki
karena laki-laki adalah mahluk yang kuat, tegas, dapat diandalkan
dan memiliki kekuatan dan derajat yang lebih tinggi daripada
perempuan.

3. Scene 3
Pada scene ini digambarkan bahwa para senior Ainun
melakukan tindak diskriminasi gender karena tidak terima tempat
duduknya diduduki oleh Ainun dan teman-temannya. Arlis
temannya Ainun pun tidak terima dan berusaha mempertahankan
tempat duduk tersebut karena mereka yang lebih dulu datang.
Tidak terima dipermalukan dihadapan para juniornya, Agus
Sumarhadipun marah dan membentak Asri.
53

Visual Dialog
Agus: Hei, perempuan!
Nggak usah sok kamu ya.
Kalaupun kamu jadi
dokter juga, nggak akan
lebih hebat dari kami para
pria.

Arlis: Liat saja nanti.


(Sambil mengapalkan
tangan dan raut wajah
emosi)

Ainun: Arlis. (Menarik


lengan Arlis) Saya duduk
dibawah saja.
Arlis: Nun, buat apa?
Kita kan datang duluan.
Ainun: Lis, kita disini
untuk jadi dokter. Bukan
cari menang kalah.
Sekarang kita lagi belajar
untuk mengalah, ikhlas,
karena itu yang harus kita
berikan ke pasien kita
nanti.
(Ainun dan Arlis duduk
dilantai)
Tabel 4. 3 Scene 3
54

Denotasi
Denotasi dalam scene ini adalah dialog Agus Sumarhadi
yaitu “Hei, perempuan! Nggak usah sok kamu ya. Kalaupun kamu
jadi dokter juga, nggak akan lebih hebat dari kami para pria.”
Pada scene ini diperlihatkan bahwa Agus Sumarhadi tidak
kebagian bangku saat memasuki ruangan kelas. Ia-pun tidak terima
dan memaksa Ainun dan Arlis untuk memberikan tempat
duduknya kepada Agus Sumarhadi. Namun, Arlis tidak terima
karena ia lebih dulu datang dan menduduki bangku tersebut. Selain
itu juga diperlihatkan gestur dan raut wajah emosi dari Agus
Sumarhadi dengan nada bicara yang tinggi kepada Arlis dan Ainun
yang menandakan bahwa Agus sangat marah dan tidak terima
diperlakukan seperti itu.

Konotasi
Konotasi dari scene diatas adalah Agus Sumarhadi yang
menganggap wanita adalah makhluk nomor dua setelah laki-laki
sehingga ia tidak pantas menjadi seorang dokter dan Agus tidak
setuju jika seorang wanita menjadi dokter, Agus beranggapan
meskipun perempuan menjadi dokter tidak akan bisa mengalahkan
laki-laki karena wanita akan kembali kerumah untuk menjadi
seorang istri yang akan melayani suami dan ank-anaknya. Pada
scene ini juga diperlihatkan bahwa Agus Sumarhadi adalah orang
yang sombong dan angkuh. Dapat dilihat dari raut wajahnya yang
mengeras, mata yang melotot serta gerakan menunjuk ke arah
Ainun dan Arlis mempertlihatkan bahwa ia sedang marah dan
tidak terima direndahkan oleh Arlis, karena ia adalah seorang laki-
55

laki sehingga ia merasa bahwa dirinya lebih hebat dibandingkan


Ainun dan Arlis yang merupakan seorang perempuan. Hal ini
dipertegas lagi dengan kalimat “Hey Perempuan!” Menandakan
bahwa ia memandang rendah perempuan secara keseluruhan
bukan hanya kepada Arlis dan Ainun saja.

Mitos
Mitos pada scene ini yaitu perempuan dianggap memiliki
derajat yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perempuan
mendapatkan subordinasi dimana perempuan tidak lebih hebat
dibandingkan laki-laki dalam banyak hal, salah satunya dalam
pekerjaan. Anggapan bahwa perempuan tidak mampu untuk
menjalani pendidikan sebagai seorang dokter yang keras dan sulit
menjadikan perempuan dianggap tidak mampu menjadi seorang
Dokter yang hebat. Kondisi biologis dan kodrat wanita seperti
melahirkan dan menyusui yang mengahruskan mereka untuk cuti
dari pekerjaan juga dianggap menjadi penghambat wanita dalam
meniti karir. Hal ini tergambar pada dialog Agus Sumarhadi
“Kalaupun kamu jadi dokter juga, nggak akan lebih hebat dari
kami para pria”.

4. Scene 4
Pada scene ini Ainun sedang berada dilaboratorium
bersama teman-temannya untuk belajar menggunakan media
kadaver atau mayat manusia yang sudah diawetkan untuk
kepentingan pendidikan kedokteran sebagai media untuk
mempejari anatomi manusia. Meskipun sudah diawetkan, kadaver
56

mengeluarkan bau busuk yang sangat menyengat sehingga Ainun


dan teman-temannya mual bahkan ada yang pingsan diruangan
tersebut.
Scene ini termasuk kedalam pelabelan terhadap perempuan
bahwa perempuan memiliki sentimen lebih tinggi. Menurut Nadya
dalam wawancara melalui whatsapp hal itu bukan sentimen
melainkan faktor biologis dari perempuan.
“Bukan rasa sentimen si, ya karena faktor biologis kita
yang menyebabkan seperti itu ya. Kenapa kita kita tidak
bisa didik lebih keras ya karena ada hormon-hormon kita
yang misalnya ketika sedang haid itu dan hormon kita naik
namun emosi kita harus diredam, hal-hal seperti
sebenarnya harus dipahami baik oleh laki-laki maupun
perempuan lainnya bahwa ada masanya seperti itu.”

Visual Dialog
(Beberapa mahasiswi
muntah dan dibawa keluar
laboratorium)
Husodo: Ada lagi
perempuan yang mau
menyusul?
(Salah satu mahasiswa
pingsan)
Arlis: Itu dia laki-laki,
Prof.
57

Husodo: Iya saya tahu.


Perasaan sentimentil
perempuan yang dibalut
indera perasa yang lebih
tajam dari laki-laki
membuat ilmu kedokteran
tidak cocok bagi mereka.

Tabel 4. 4 Scene 4

Denotasi
Pada scene ini Ainun beserta mahasiswa lain sedang
melakukan praktikum di laboratorium menggunakan kadaver.
Kadaver adalah jenazah yang telah diawetkan dan digunakan
sebagai media pembelajaran bagi mahasiswa kedokteran. Oleh
karena itu, kadaver mengeluarkan bau yang tidak sedap. Pada saat
praktikum para mahasiswa mual dan tidak tahan dengan bau yang
dikeluarkan oleh kadaver. Denotasi pada scene ini dapat dilihat
pada dialog Profesor Husodo yang mengatakan ” Perasaan
sentimentil perempuan yang dibalut indera perasa yang lebih
tajam dari laki-laki membuat ilmu kedokteran tidak cocok bagi
mereka.” Dari dialog ini dapat dlihat bahwa Profesor Husodo
menganggap bahwa perempuan adalah mahluk yang lemah dan
sentimentil sehingga tidak cocok untuk menjadi seorang dokter.
58

Konotasi
Konotasi pada scene ini adalah pada dialog “Ada lagi
perempuan yang mau menyusul?” Disini dapat dilihat bahwa
Profesor Husodo menganggap bahwa semua perempuan itu lemah
karena ia langsung menyebutkan perempuan meskipun diruangan
tersebut tidak hanya perempuan yang mual hingga muntah karena
aroma kadaver tersebut. Kemudian pada scene ini juga
diperlihatkan bahwa ada seorang mahasiswa laki-laki yang
pingsan, hal ini sebagai pembuktian bahwa perempuan tidak selalu
lemah dan tidak berdaya dibandigkan laki-laki. Perempuan juga
memiliki kekuatan dan laki-laki juga tidak selalu kuat
dibandingkan perempuan.

Mitos
Mitos yang terdapat pada scene ini adalah laki-laki
dianggap lebih kuat dibandingkan perempuan sehingga Profesor
Husodo hanya menantang para perempuan. Sedangkan perempuan
mendapatkan stereotip bahwa perempuan makhluk yang lemah
dan memiliki indera perasa dan sentimentil yang kuat.

5. Scene 5
Pada scene ini Ainun sedang melakukan kunjungan ke
sebuah perkampungan kumuh yang ditempati oleh para pemulung.
Ia melihat seorang ibu yang sedang merawat anak-anaknya yang
mengalami disentri dan tipes. Tidak tega melihat kondisi anak-
anak tersebut, Ainun berbegas ke rumah sakit untuk membeli obat.
59

Namun, sat dijalan Ainun dicegat oleh 2 orang preman yang


bermaksud jahat kepada Ainun
Menurut Nadya Kharimah yaitu:

“Itu lebih ketidakadilan saja karena disitu diskriminasi


gender itu lahir ketika memang ada pandangan bahwa
misalnya saat terjadi kasus kekerasan terhadap
perempuan itukan juga kenapa ya karena mereka
menganggap tidak adil terhadap kami.”

Visual Dialog
Penjahat 1: Mau kemana
neng? (Menyegat Ainun)
Ainun: Maaf saya buru-
buru ke rumah sakit,
permisi Mas.
Penjahat 2: Sabar Neng,
sabar.
Penjahat 1: Baru ngasih
uang ke bininya Pano ya?
Ainun: Saya tidak kasih
uang, saya hanya
membantu.
Penjahat 2: kita juga
butuh uang, sini sini
sebentar.
Ainun: Kenapa, Mas?
Penjahat 2: Sini sini
Ainun: Ih jangan kurang
ajar ya
60

Penjahat 2: Diem, diem


Ainun: Tolong!
(Berteriak)
Penjahat 2: Diem, diem
(Sambil menyekap dan
mendorong Ainun ke
tempat sepi.)
Tabel 4. 5 Scene 5

Denotasi
Pada scene ini diperlihatkan Ainun yang sedang
mengunjungi sebuah perkampungan yang kumuh dan melihat
seorang ibu yang sedang menjaga anak-anaknya yang sakit. Saat
hendak ke Rumah Sakit untuk membeli obat Ainun dicegat oleh
dua orang preman yang bermaksud jahat dan berniat untuk
memperkosa Ainun dan Ainunpun berusaha untuk melepaskan diri
dari kedua preman tersebut.

Konotasi
Konotasi pada scene ini adalah perempuan dianggap
sebagai objek pemuas nafsu bagi laki-laki. Perempuan selalu
menjadi korban atas kejahatan seksual yang dilakukan laki-laki
karena sifatnya yang lemah lembut dan dianggap lugu sehingga
laki-laki menganggap rendah kepada wanita dan bisa dengan
mudah untuk diperlakukan dengan tidak baik. Pada scene ini
diperlihatkan bahwa Ainun mencoba untuk melawan laki-laki
tersebut namun tidak berhasil karena mereka lebih kuat daripada
Ainun.
61

Mitos
Mitos pada scene ini adalah kejahatan sosial dianggap
terjadi karena ketidakberdayaan perempuan untuk melawan laki-
laki sehingga ia menjadi sasaran empuk bagi para laki-laki yang
berniat jahat untuk melepaskan hawa nafsunya. Seringkali
perempuan disalahkan ketika menjadi korban kekerasan dan
pelecehan, seperti mereka dianggap salah karena cara berpakaian
mereka yang menjadi pemicu terjadinya kekerasan, padahal
seluruh bentuk kekerasan tidak dapat dibenarkan dengan alasan
seperti itu.

6. Scene 6
Pada scene ini diperlihatkan Ainun sedang bermain ke
pasar malam bersama Ahmad. Pada saat menikmati kerak telor
yang mereka beli, tiba-tiba hujan turun dengan deras merekapun
bergegas berlari ke rumah Ahmad untuk bereduh. Sesampainya di
rumah Ahmad, Ainun terkejut karena ada profesor Husodo yang
ternyata adalah Ayah dari Ahmad. Ahmadpun menjelaskan bahwa
Ainun pernah memuji Profesor Husodo sebagai pengajar yang
hebat.
62

Visual Dialog
Husodo: Puluhan tahun
saya berpegang pada cara
mengajar saya yang
keras, bahkan mungkin
saya berlaku tidak adil
kepada anda. Tapi saya
bersyukur, saya berlaku
keras kepada mahsiswa
saya karena saya tidak
ingin mereka menjadi
lembek dan bagi saya
perempuan terlalu lemah
untuk digemblong seperti
itu.
Tabel 4. 6 Scene 6

Denotasi
Pada scene ini diceritakan bahwa Ainun sedang berteduh
dirumah Ahmad dan bertemu Profesor Husodo. Pada saat itulah
Profesor Husodo menyampaikan bagaimana ia menjadi seorang
pendidik yang tegas dan keras selama ia menjadi seorang Profesor.
Menurut Profesor Husodo cara mengajarnya yang keras seperti itu
tidak cocok untuk perempuan yang lemah. Hal ini diperlihatkan
dalam dialog”bagi saya perempuan terlalu lemah untuk
digemblong seperti itu”
63

Konotosi
Pada dialog profesor husodo “bagi saya perempuan terlalu
lemah untuk digemblong seperti itu” Memperlihatkan bahwa
Profesor Husodo memberikan pelabelan atau stereotip kepada
perempuan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan
tidak sanggup untuk menerima pembelajaran yang keras sebagai
seorang dokter dan oleh karena itu dokter Husodo menganggap
perempuan tidak cocok untuk menjadi seorang dokter. Sedangkan
laki-laki dianggap cocok untuk menjadi seorang dokter karena
mereka dianggap kuat. Hal ini berdasarkan pada dialog diatas
dimana Profesor Husodo hanya menyebutkan perempuan saja,
sedangkan mahasiswanya tidak hanya perempuan saja.

Mitos
Mitos pada scene ini yaitu perempuan identik dengan
kelemahan sehingga kebanyakan orang memandang rendah
terhadap perempuan dan mereka seringkali dianggap tidak mampu
untuk melakukan suatu hal sehingga ia dianggap tidak cocok untuk
menjadi seorang dokter. Pendidian dokter cukup sulit untuk
diselesaikan, oleh karena itu Profesor Husodo memutuskan untuk
menggunakan cara keras dalam mengajarkan mahasiswanya,
namun karena stereotip yang berkembang dimasyarakat bahwa
perempuan seringkali cengeng dan tidak bisa dididik dengan keras
menjadikan perempuan dianggap tidak akan mampu untuk
menjalani pendidikan dokter. Sedangkan laki-laki dianggap
memiliki mental yang kuat untuk menjadi seorang dokter.
64

7. Scene 7
Pada scene ini Ainun dan teman-temannya sedang
merayakan pesta akhir tahun dan semua mahasiswa bernyanyi
bergembira dan saling saut-sautan pantun. Namun, saat giliran
Agus untuk membalas pantun Ia melontarkan kalimat yang
merendahkan Ainun didepan mahasiswa lainnya.
Visual Dialog
Agus Sumarhadi: Ke
Jakarta membawa
koper, Pergi berdua
naik sepur. Cita-cita
menjadi dokter, kodrat
wanita ada didapur
Agus Sumarhadi:
“Buah duku buah
mangga, Dipetiknya
dari tetangga.
Lupakanlah citacita,
Karena itu sia-sia”
Agus Sumarhadi: “Dan
kamu Ainun! Kamu
belum tentu jadi
dokter!”

Tabel 4. 7 Scene 7
65

Denotasi
Pada scene ini Ainun sedang merayakan pesta akhir tahun
bersama dengan teman-temannya. Mereka bernyanyi dan saling
berbalas pantun. Pada saat Agus Sumarhadi untuk berpantun ia
melontarkan kalimat yang berisi kata-kata merendahkan Ainun.
Seperti pada dialog “Cita-cita menjadi dokter, kodrat wanita ada
didapur”
Konotasi
Berdasarkan dialog Agus sumarhadi “Cita-cita menjadi
dokter, kodrat wanita ada didapur” Agus Sumarhadi memberikan
pelabelan kepada perempuan bahwa kodrat perempuan adalah
mengurus urusan rumah dan dialog lanjutan “Dan kamu Ainun!
Kamu belum tentu jadi dokter!” Mengisyaratkan bahwa
meskipun perempuan menempuh pendidikan belum tentu dapat
bekerja untuk menggapai cita-cita karena ia adalah seorang
perempuan yang akan menikah dan berkewajiban untuk mengurus
suaminya dan juga urusan rumah tangga. Sedangkan laki-laki
dianggap sebagai mahkluk yang berkewajiban untuk bekerja diluar
rumah untuk mencukupi nafkah bagi keluarganya. Oleh karena itu,
laki-laki lebih diutamakan untuk mekanjutkan pendidikan yang
lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Mitos
Mitos yang terdapat dalam scene ini adalah pada
masyarakat Indonesia berkembang pemikiran bahwa kodrat
sebagai seorang wanita yaitu berada di dapur, sumur dan kasur.
Sehingga wanita dianggap tidak pantas untuk bercita-cita tinggi
karena akan berakhir dirumah sebagai seorang istri. Sedangakan
66

laki-laki memiliki tanggung jawab sebagai seorang suami untuk


bekerja diluar rumah menafkahi keluarga sehingga mereka harus
memiliki pendidikan yang baik agar mendapatkan pekerjaan yang
baik pula.
BAB V
PEMBAHASAN

Pada bab ini peneliti akan menguraikan bentuk-bentuk


diskriminasi gender terhadap profesi dokter perempuan dalam fim
Habibie & Ainun 3 karya Hanung Bramantyo berdasarkan pada
buku karangan Mansour Fakih yang berjudul “Gender dan
Transformasi Sosial” Ia membagi bentuk-bentuk diskriminasi
gender kedalam lima jenis bentuk diskriminasi gender yaitu
Marginalisasi, Subordinasi, Stereotipe, Kekerasan dan Beban
Ganda.

A. Marginalisasi
Marginalisasi adalah pemiskinan suatu gender baik itu laki-
laki maupun perempuan yang terjadi akibat konstruksi gender yang
terdapat dalam masyarakat. Anggapan ini menjadikan perempuan
ketika bekerja dianggap sebagai nafkah tambahan sehingga
diletakkan pada kedudukan yang berada dibawah laki-laki.
Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki
dalam memperoleh pekerjaan dengan catatan selama ia mapu dan
tidak beresiko terhadapnya. Karena tidak dapat dipungkiri
perempuan memiliki biologis yang berbeda dengan laki-laki
dimana perempuan akan mengalami kehamilan dan menyususi
ketika sudah menjadi seroang istri. Hal ini selaras dengan pendapat
Nadya Kharima mengenai pembagian kerja tidak dapat dibedakan
berdasarkan jenis kelamin.

67
68

“Sebenarnya harus dilihat dulu pekerjaan apa yang


sekiranya memang yang melihat dari jenis kelamin. Ketika
angkat beban begitu ya ketika perempuan itu mampu ya
kenapa tidak, tetap ya harus dipikirkan lagi apakah nanti
berpengaruh kepada kehamilannya dan sebagainya itu
juga penting untuk dilihat.”1
Seorang ahli sosiologi Inggris yaitu Alison Scott melihat
berbagai bentuk marginalisasi dalam empat bentuk yaitu: (1).
Proses pengucilan, perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau
jenis kerja tertentu, (2) Proses pergeseran perempuan ke pinggiran
(margins) dari pasar tenaga kerja, berupa kecenderungan bekerja
pada jenis pekerjaan yang memiliki hidup yang tidak stabil,
upahnya rendah, dinilai tidak atau kurang terampil, (3) Proses
feminisasi atau segregasi, pemusatan perempuan pada jenis
pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan), atau pemisahan yang
semata-mata dilakukan oleh perempuan saja atau laki-laki saja. (4)
Proses ketimpangan ekonomi yang mulai meningkat yang merujuk
di antaranya perbedaan upah.2 Pada film ini marginalisasi terdapat
pada scene 1 dan 7.
Pada gambar ke 1 terlihat bagaimana perempuan
termarginalkan akibat konstruksi sosial yang berada di masyarakat.
Pada scene ini diperlihatkan Ainun dan teman-temannya sedang
berjalan di gang sempit ketika pulang dari sekolah. Mereka mulai
membicarakan tentang masa depan dan rencana mereka masing-

1
Wawancara dengan Nadia Kharima Koordintor Pusat Studi Gender
dan Anak UIN Jakarta pada 25 Juni 2023 (Via Whatsapp)
2
Khusnul khotimah, (2009). Diskriminasi Gender Terhadap
Perempuan dalam Sektor Pekerjaan, Jurnal Studi Gender & Anak, Vol. 4 No 1,
h.4
69

masing setelah tamat dari SMA. Melalui dialog Ainun dan teman-
temannya yaitu: “Tapi kalo kata orang, “Ainun jadi bidan saja,
perempuan cocoknya jadi bidan.”. Berdasarkan dialog ini dapat
dilihat bahwa perempuan mengalami pemiskinan dalam sektor
kerja, hal ini sesuai dengan bentuk marginalisasi menurut Alison
Scott diatas yaitu pemusatan perempuan pada jenis pekerjaan
tertentu, dimana mereka dianggap hanya cocok untuk menjadi
bidan karena di Indonesia profesi bidan hanya diperbolehkan untuk
perempuan seperti yang telah terkandung dalam Undang-Undang
(UU) Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan yaitu:
"Bidan adalah seorang perempuan yang telah
menyelesaikan program pendidikan Kebidanan baik di dalam
negeri maupun di luar negeri yang diakui secara sah oleh
Pemerintah Pusat dan telah memenuhi persyaratan untuk
melakukan praktik Kebidanan,"3
Meskipun perempuan juga memiliki hak yang sama dengan
laki-laki untuk menjadi seorang dokter namun karena adanya
pemahaman yang terus berkembang dalam masyarakat ini
menjadikan perempuan terhambat untuk menjadi seorang dokter.

B. Subordinasi
Manusia perlu bekerja guna mencukupi kebutuhan
hidupnya. Tanggung jawab untuk bekerja tersebut tidak hanya
diberatkan kepada laki-laki, perempuan juga memiliki hak untuk
bekerja sesuai dengan impian dan cita-citanya tanpa mendapatkan

3
https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2004/29TAHUN2004UU.HTM
diakses pada 20 Juli pukul 00.50
70

subordinat dari berbagai pihak. Subordinasi adalah ketidakadilan


terhadap suatu gender dengan membatasi lingkup aktifitasnya atau
diberikan tugas lebih rendah dibandingkan yang lain dalam
pekerjaan serta memiliki tingkatan posisi sosial yang lebih rendah
dibandingkan yang lain. Misalnya munculnya pandangan bahwa
perempuan itu memiliki emosional yang lebih kuat dibandingkan
laki-laki sehingga dianggap tidak dapat dijadikan pemimpin
sehingga menimbulkan sikap untuk menempatkan perempuan
pada posisi yang dianggap kurang penting dibandingkan laki-laki4
Contoh subordinasi lainnya adalah menganggap bahwa
wanita tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi karena
perempuan akan kembali kerumah untuk melayani suami dan
anak-anaknya. Pada wawancara yang dilakukan dengan Nadya
Kharimah melalui whatsapp, Nadya Kharimah berpendapat bahwa
dalam pendidikan sangat penting adanya keadilan gender dalam
pendidikan.
“Penting banget keadilan gender dimasukan kedalam
standar pendidikan atau pemahaman pendidikan karena
itu yang dari kecil kita tahu bahwa anak kita misalnya
diberikan kalau laki-laki harus pegangnya pistol, anak
perempuan pegangnya masak, sehingga akhirnya pada
saat suami istri ya taunya perempuan itu harus didapur.
Padahal, tidak semestinya juga seperti itu jadi pendidikan
memiliki peran penting dalam mengejawantahkan apa itu
keadilan gender.”5

4
Daratullaila Nasri, (2016) "Ketidakadilan Gender Terhadap
Perempuan dalam Novel Padusi Karya Ka’bati.", Madah, Vol 7 No 2, h.229
5
Wawancara dengan Nadya Kharima, Pusat Studi Gender dan Anak
UIN Jakarta pada 25 Juni 2023 (Via Whatsapp)
71

Dalam Islam dianjurkan agar perempuan diberikan


pendidikan sama seperti laki-laki sesuai dengan sabda Rasulullah
SAW:

‫صالِ ٍح‬ ِ ‫اح ِد حدَّثَنا‬


َ ‫صال ُح بْ ُن‬
ِ
َ َ َ ‫يل َحدَّثَنَا َعْب ُد الْ َو‬
ِ ِ
َ ‫وسى بْ ُن إ ْْسَاع‬
َ ‫َحدَّثَنَا ُم‬
ِ‫اّلل‬ َ َ‫ال َح َّدثَِن أَبُو بُْرَدةَ َع ْن أَبِ ِيه ق‬
َّ ‫ول‬
ُ ‫ال َر ُس‬
َ َ‫ال ق‬ َ َ‫ب ق‬ ْ ‫ا َْلَْم َد ِانُّ َحدَّثَنَا الش‬
ُّ ِ‫َّع‬
ِ ِ
‫يم َها‬
َ ‫َح َس َن تَ ْعل‬ َ ‫ت عِْن َدهُ َول‬
ْ ‫يدةٌ فَ َعلَّ َم َها فَأ‬
ِ َّ ‫صلَّى‬
ْ َ‫اّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم أَُُّّيَا َر ُج ٍل َكان‬ َ
‫َجَر ِان َوأَُُّّيَا َر ُج ٍل ِم ْن أ َْه ِل‬ ِ
ْ ‫َح َس َن ََتْديبَ َها ُثَّ أ َْعتَ َق َها َوتََزَّو َج َها فَلَهُ أ‬
ْ ‫َوأ ََّد َُّبَا فَأ‬
‫وك أ ََّدى َح َّق َم َوالِ ِيه َو َح َّق‬
ٍ ُ‫اب آمن بِنَبِيِ ِه وآمن ِب فَلَه أَجر ِان وأَُُّّيَا َمَْل‬
َ َْ ُ ََ َ
ِ ِ
َ َ َ‫الْكت‬
‫وَنَا‬
َ ‫يما ُد‬ِ َّ ‫ب ُخ ْذ َها بِغَ ِْي َش ْي ٍء قَ ْد َكا َن‬
َ ‫الر ُج ُل يَ ْر َح ُل ف‬ ُّ ِ‫الش ْع‬ َ َ‫َجَر ِان ق‬
َّ ‫ال‬ ِ
ْ ‫َربِه فَلَهُ أ‬
ِ ِ‫ي َع ْن أَِب بُْرَدةَ َع ْن أَبِ ِيه َع ْن الن‬
‫َّب‬ ٍ‫ص‬ِ ‫ال أَبو ب ْك ٍر عن أَِب ح‬ ِ ِ ِ
َ ْ َ َ ُ َ َ‫إ َل الْ َمدينَة َوق‬
ِ َّ ‫صلَّى‬
ْ ‫اّللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم أ َْعتَ َق َها ُثَّ أ‬
‫َص َدقَ َها‬ َ
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il
Telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid Telah
menceritakan kepada kami Shalih bin Shalih Al Hamdani Telah
menceritakan kepada kami Asy Sya'bi ia berkata; Telah
menceritakan kepadaku Abu Burdah dari bapaknya ia berkata;
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah
seorang laki-laki memiliki seorang budak perempuan, lalu ia
mengajarinya dengan sebaik-baiknya, dan mendidiknya dengan
didikan yang terbaik, kemudian ia merdekakan dan menikahinya,
maka baginya adalah dua pahala. Dan siapa pun dari kalangan ahli
72

kitab yang beriman kepada nabinya dan beriman kepadaku, maka


baginya adalah dua pahala. Dan siapa saja dari kalangan budak
yang menunaikan hak tuannya dan juga hak Rabb-nya, maka
baginya adalah dua pahala." Abu Bakar berkata; dari Abu Al
Hashin dari Abu Burdah dari bapaknya dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam: "Ia membebaskan lalu memberinya mahar." (HR
Bukhari)
Dari hadist ini dapat diketahui bahwa seorang muslim
dianjurkan untuk mengajar dan mendidik budak perempuannya
dengan baik, jika demikian maka mendidik dan mengajar putrinya
sendiri dengan baik tentu lebih penting dan utama.
Pemikiran-pemikiran lain yang berkembang terus ditengah
masyarakat seperti perempuan tidak perlu untuk memiliki
pendidikan yang lebih tinggi karena ujungnya akan kembali
mengurus rumah tangga. Selain itu, anggapan bahwa perempuan
jika memiliki pendidikan lebih tinggi daripada laki-laki akan
menjatuhkan marwah laki-laki sebagai seorang pemimpin dan
dianggap akan lebih mendominasi dalam sebuah hubungan
sehingga banyak laki-laki yang tidak mau menikah dengan
perempuan yang gelar pendidikannya lebih tinggi dari padanya.
Subordinasi pada film ini terlihat pada scene ke 2, 3, dan 7.
Pada scene 2 subordinasi digambarkan yaitu bentuk
subordinasi perempuan dalam keluarga dimana anak laki-laki
dianggap memiliki tanggung jawab terhadap saudari
perempuannya karena emosional perempuan membuatnya lemah
dan tidak bisa mengambil keputusan sehingga laki-laki dianggap
73

perlu ikut andil dalam mengambil keputusan terhadap kehidupan


perempuan
Pada scene 3 diperlihatkan bentuk subordinasi perempuan
dalam pendidikan dan pekerjaan. Pandangan bahwa perempuan
adalah manusia yang lemah sehingga dianggap meskipun menjadi
dokter tidak akan lebih hebat dibandingkan laki-laki, jadi
bagaimanapun perempuan berusaha untuk menggapai cita-citanya
ia akan terus dianggap berada lebih dibawah dibandingkan dengan
laki-laki.
Kemudian pada scene ke 7 terlihat bagaimana Ainun
mendapatkan subordinat oleh seniornya yaitu Agus Sumarhadi.
Pada saat pesta yang diadakan kampusnya mereka berdansa dan
bernyanyi bersama, namun Agus Sumarhadi melemparkan ujaran-
ujaran yang merendahkan dan menganggap bahwa Ainun tidak
pantas untuk menjadi seorang dokter. Agus menganggap meskipun
Ainun telah menempuh pendidikan dokter ia belum tentu akan
menjadi dokter karena dianggap akan menjadi seorang istri
sehingga tidak ada kesempatan untuk meniti karir sebagai seorang
dokter. Pandangan seperti inilah yang dapat merugikan
perempuan, dimana perempuan akan merasa tidak percaya diri
dengan kemampuan yang ia punya dan perempuan akan dianggap
sebagai makhluk nomor dua setelah laki-laki.

C. Stereotipe
Stereotipe adalah pelabelan terhadap seseorang atau
kelompok sehingga sering digunakan sebagai alasan pembenaran
atas tindakan dari suatu kelompok atas kelompok lainnya.
74

Pelabelan terhadap perempuan misalnya, perempuan dicap


cengeng, tidak rasional dan selalu mengandalkan perasaan
dibandingkan logika.6 Stereotipe dalam film ini ada pada scene ke
4, 6 dan ke 7.
Pada scene ke 4 streotip terhadap perempuan digambarkan
melalui anggapan bahwa perempuan memiliki sentimental yang
lebih tinggi daripada laki-laki sehingga ia tidak akan mampu
menjalani perkuliahan sebagai mahasiswi kedokteran yang
tentunya akan sering menemukan hal-hal yang menjijikan. Padahal
dalam scene ini diperlihatkan bahwa tidak hanya perempuan yang
tidak kuat terhadap bau kadaver tersebut, namun karena pelabelan
terhadap perempuan tersebut maka hanya perempuan yang
dianggap tidak cocok menjadi dokter.
Perempuan dan laki-laki memang memiliki perbedaan
secara biologis, dimana perempuan memiliki hormon-hormon
yang dapat merubah emosi perempuan, namun hal itu yang perlu
dimengerti dan tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk
perempuan mendapatkan ketidakadilan gender. Hal ini sesuai
dengan wawancara bersama Nadya karimah bahwa laki-laki dan
perempuan memang berbeda secara biologis.
”Sebenarnya saat ini perempuan dan laki-laki untuk di
Indonesia bukan lagi persoalan setara, tetapi persoalan
keadilan jadi kalau memang setara masih dibahas saya
rasa itu sudah jauh melampaui apa yang sedang dibahas
pada kaum feminis saat ini. Kaum feminis saat ini
membahas tentang keadilan bukan lagi kesetaraan gender
begitu kira-kira, jadi kalau ditanya apakah perempuan dan

6
Agus Afandi, (2019). Bentuk-Bentuk Perilaku Bias Gender,
LENTERA: Journal of Gender and Children Studies, Vol 1, Issue 1, h.5
75

laki-laki itu setara sebenarnya tidak dan kami tidak


menuntut itu, kami memahami bahwa kami berbeda, baik
secara biologisnya dimana kalau perempuan dan laki-laki
memang jelas berbeda secara biologisnya. Kemudian,
secara apakah kami harus disetarakan dalam berbagai
sikap dalam berbagai kesempatan itu tidak lagi tetapi kami
meminta keadilan.”7
Pada scene ke 6 diperlihatkan bahwa Prof Husodo
digambarkan sebagai dosen yang tegas dan keras, Prof Husodo
memiliki cara sendiri dalam mendidik mahasiswanya. Pada scene
ini stereotip terhadap perempuan digambarkan bahwa perempuan
memiliki rasa sentimen yang tinggi sehingga tidak bisa dididik
dengan keras seperti yang selalu ia lakukan kepada mahasiswanya
yang lain. Menurut wawancara dengan Nadya Kharima hal ini
terjadi karena faktor biologis perempuan itu sendiri.
”Bukan rasa sentimen si, ya karena faktor biologis kita
yang menyebabkan seperti itu ya. Kenapa kita kita tidak
bisa didik lebih keras ya karena ada hormon-hormon kita
yang misalnya ketika sedang haid itu dan hormon kita naik
namun emosi kita harus diredam, hal-hal seperti
sebenarnya harus dipahami baik oleh laki-laki maupun
perempuan lainnya bahwa ada masanya seperti itu.”8
Pemikiran-pemikiran seperti itu dapat merugikan
perempuan karena ia dianggap lemah dan tidak bisa ditempah
dengan keras sehingga ia diletakkan pada posisi yang tidak
diuntungkan.
Selanjutnya dalam scene ke 7 digambarkan pelabelan
terhadap wanita bahwa wanita memiliki kodrat untuk kembali

7
Wawancara dengan Nadya Kharima Koordintor Pusat Studi Gender
dan Anak UIN Jakarta pada 25 Juni 2023 (Via Whatsapp)
8
Wawancara dengan Nadya Kharima Koordinator Pusat Studi Gender
dan Anak UIN Jakarta pada 25 Juni 2023 (Via Whatsapp)
76

kedapur dan bertanggung jawab atas keperluan rumah tangga


seperti merawat anak dan melayani suami, sedangkan laki-laki
bertanggung jawab atas urusan mencari nafkah.
Menurut wawancara dengan Joni Arman Hamid, ia
berpendapat bahwa perempuan memiliki hak untuk bekerja selama
dalam porsi-porsi tertentu dengan memahami kondisi fisik mereka
yang memang memiliki perbedaan dengan laki-laki.
”Mengenai pekerjaan, perempuan bisa saja, namun
mereka harus menyadari bahwa fisik mereka berbeda
dengan laki-laki. Oleh karena itu, saya tidak sepakat jika
semua yang dilakukan laki-laki itu bisa dilakukan oleh
perempuan.”9
Namun, di Indonesia perempuan yang meninggalkan
rumah untuk bekerja dianggap menyalahi kodrat yang telah
ditentukan dimana kodrat itu sendiri sebenarnya terbentuk karena
budaya patriarki yang ada di Indonesia sejak dulu. Pelabelan ini
dapat merugikan dan merenggut hak-hak perempuan dalam
berbagai aspek kehidupan. Dimana ketika perempuan keluar dari
streotipe yang telah dibangun masyarakat ini maka ia akan
dianggap telah menentang kodratnya sebagai seorang perempuan.

D. Kekerasan

Pada penelitian ini ditemukan bentuk diskriminasi gender


berupa kekerasan. Kekerasan merupakan bentuk serangan yang
dilakukan terhadap fisik atau integritas mental piskologis

9
Wawancara dengan Joni Arman Hamid, Dosen Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Juni 2023
77

seseorang.10 Kekerasan dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu


kekerasan fisik dan kekerasan mental atau psikologis, kekerasan
fisik adalah bentuk kekerasan yang mengakibatkan seseorang
terluka secara fisik bahkan hingga menyebabkan kematian.
Sedangkan kekerasan psikologis adalah kekerasan yang
menyerang mental seseorang sehingga dapat mengakibatkan
korban kekerasan tersebut mengalami trauma terhadap hal-hal
tertentu. Kekerasan dalam film ini digambarkan dalam scene ke 5
dimana, Ainun mendapatkan kekerasan secara fisik dan mental
dari laki-laki.

Pada scene ke 5 ini diperlihatkan bahwa. Perempuan


seringkali diposisikan sebagai korban dalam tindak kekerasan.
Perempuan yang memiliki kekuatan lebih kecil daripada laki-laki
dan dianggap lemah sehingga ia dianggap mudah untuk dilukai dan
dijadikan korban kekerasan dan sebagai pemuas nafsu laki-laki.
Bahkan dalam beberapa kasus perempuan yang merupakan korban
atas kekerasan seringkali dianggap sebagai penyebab dari
kekerasan tersebut. Seperti pada kasus pelecehan seksual,
seringkali perempuan disalahkan karena cara berpakaiannya yang
memicu tindak kekerasan dari laki-laki karena dianggap menggoda
laki-laki atau kekerasan terhadap perempuan dianggap terjadi
karena perempuan berjalan sendirian. Padahal, apapun alasannya
segala bentuk kekrasan tidak bisa dibenarkan dalam kondisi
tersebut.

10
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
(Yogyakarta: INSISTtPress, 2008) h.17
78

Film yang mengandung bentuk kekerasan terhadap


perempuan didalamnya pada dasarnya boleh untuk ditampilkan
selagi dapat memberikan pengetahuan mengenai cara mencegah
kekerasan tersebut. Seperti yang disampaikan Nadya dalam
wawancaranya yaitu:
“Kalau filmnya memang ingin bermaksud untuk mencegah
kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan silahkan
tetapi sering kali yang ada hanya kekerasan dan
ketidakadilan tersebut tetapi tidak diberikan solusi dalam
film tersebut apa sih? Jadi poin pentingnya sebenarnya
adalah solusi dari mencegah kekerasan dan ketidakadilan
itu apa, tidak hanya ditonjolkan kekekerasan dan
ketidakadilannya saja tetapi lebih dari itu.”11
Pada film ini kekerasan digambarkan kedalam dua bentuk
yaitu kekerasan seksual dan kekerasan fisik. Kekerasan seksual
digambarkan dengan ujaran-ujaran yang disampaikan oleh kedua
penjahat dengan maksud menggoda. Kemudian diperlihatkan
ekspresi para penjahat yang terlihat memiliki nafsu untuk
bermaksud melecehkan Ainun. Selain itu juga digambarkan
dengan sikap penjahat yang mengarah pada ajakan maupun
desakkan yang mengarah kepada tindakan seksual. Tokoh penjahat
tersebut juga menyentuh tubuh Ainun tanpa seizinnya hal ini
tentunya termasuk kedalam bentuk kekerasan atau Violence.
Kemudian, bentuk kekerasan selanjutnya yang
digambarkan dalam film ini yaitu kekerasan fisik. Kekerasan fisik
terhadap perempuan digambarkan dengan adegan Ainun diseret
dan dibekap mulutnya oleh kedua penjahat untuk dibawa ketempat

11
Wawancara dengan Nadya Kharima Koordinator Pusat Studi Gender
dan Anak UIN Jakarta pada 25 Juni 2023 (Via Whatsapp)
79

sepi sehingga perbuatan jahat mereka tidak diketahui oleh


masyarakat disekitar.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari temuan dan pembahasan yang telah


dipaparkan dalam skripsi “Representasi Diskriminasi Gender pada
Profesi Dokter Perempuan dalam Film Habibie & Ainun 3”, maka
dapat ditarik kesimpulan:

1. Makna denotasi, konotasi dan mitos diskriminasi gender yang


terkandung dalam film Habibie dan Ainun 3 yaitu:
a) Makna denotasi dalam film ini tergambarkan dalam 7 scene
diskriminasi gender yang merepresentasikan bentuk-
bentuk ketidakadilan gender yaitu marginalisasi,
subordinasi, stereotipe, dan kekerasan terhadap
perempuan.
b) Makna konotasi, berdasarkan pemahaman diskriminai
gender menurut mansour fakih yaitu ketidakadilan gender
adalah sistem atau struktur, dimana laki-laki atau
perempuan menjadi korban atas struktur tersebut. Dalam
film ini digambarkan bahwa perempuan menjadi pihak
yang dirugikan dalam struktur tersebut.
c) Makna mitos merupakan pemaknaan yang terbentuk atas
konstruksi sosial yang terbangun dan dipercayai dalam
masyarakat. Pada film ini adalah pola pikir masyarakat
Indonesia yang masih menganut sistem patriarki sehingga
menganggap perempuan menjadi makhkuk nomor dua

80
81

setelah laki-laki sehingga dianggap tidak cocok untuk


menjadi seorang dokter.
2. Bentuk-bentuk diskriminasi gender menurut mansour fakih
dalam film Habibie & Ainun 3 terdapat pada:
a) Marginalisasi : 1 bentuk yaitu pada scene ke 1
b) Subordinasi : 3 bentuk yaitu pada scene ke 2, 3 dan 7
c) Stereotipe : 3 bentuk yaitu pada scene ke 4, 6 dan 7
d) Kekerasan : 1 bentuk yaitu pada scene ke 5
e) Beban Ganda : Tidak ditemukan bentuk diskriminasi
gender beban ganda pada film ini

B. Saran

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, maka


peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut:

1. Saran Praktis
a) Untuk pembuat film agar dapat menyajikan film-film yang
mengandung pesan mengenai diskriminasi gender beserta
solusi dari diskriminasi tersebut agar dapat memberikan
dampak positif terhadap penonton film.
b) Untuk penonton film diharapkan dapat mengambil pesan-
pesan positif mengenai bentuk-bentuk diskriminasi gender
yang terkandung dalam film agar lebih peduli terhadap
permasalahan diskriminasi gender yang terjadi
dilingkungannya.
82

2. Saran Akademis
Untuk penelitian selanjutn ya diharapkan dapat meneliti
dengan sudut pandang yang berbeda dan mengembangkan lagi
penelitian serupa seperi mengenai kesadaran pemberdayaan
wanita agar memberikan dampak yang lebih baik.

C. Implikasi

Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilakukan dalam


skripsi “Diskriminasi Gender pada Profesi Dokter Perempuan
dalam Film Habibie & Ainun 3”, maka penelitian ini dapat
memberikan implikasi sebagai berikut:

1. Implikasi Akademis
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi
untuk penelitian selanjutnya yang membahas mengenai
diksriminasi gender dalam film maupun penelitian yang
menggunakan analisis semiotika Roland Barthes.
2. Implikasi Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan
kepada penonton film agar lebih memahami dan mengetahui
kesataraan atau persamaan hak agar dapat menghindari bentuk-
bentuk diskriminasi gender yang sering terjadi dilingkungan
masyarakat.
83

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Admojo, Suwondo, and Darseno. Kamus Lengkap Inggris-


Indonesia: Indonesia-Inggris. Semarang: Bintang Jaya,
2017.

Ali, Muhammad, and Dani Manesah. Pengantar Teori Film.


Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2020.

Bahasa, Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan.


Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1990.

Barker, Chris. Cultural Studies: Teori dan Praktek. Bantul:


Kreasi Wacana Offset, 2000.

Barthes, Roland. Elemen-Elemen Semiologi Terj M Ardiansyah.


Yogyakarta: BASABASI, 2017.

Barthes, Roland. Elemen-Elemen Semiologi: Sistem Tanda


Bahasa, Hermeutika dan struktualis. Jogjakarta:
IRCiSoD, 2012.

Danesi, Marcel. Pesan, Tanda, dan Makna, terj. Evi Setyani dan
Lusi Lian Piantari. Yogyakarta: Jalasutra, 2010.

Herdiansyah, Haris. Gender dalam Perspektif Psikologi. Jakarta:


Penerbit Salemba Humanika, 2016.
84

Hoed, Benny H. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok:


Komunitas Bambu, 2014.

Kurniawan. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Yayasasan


Indonesiatera, 2001.

Mamik. Metodologi Kualitatif. Sidoarjo: Zifatama Jawara, 2015.

Mansour, Fakih. Analisis Gender & Transformasi Sosial.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Moh, Nazin. Metode Penelitian. Bandung: Ghalia Indonesia,


2013.

Murniati, A. Nunuk P. Getar Gender: Perempuan Indonesia


dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan
HAM. Magelang: Indosiatera, 2004.

Seto, Indiwan. Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi


Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media, 2013.

Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2013.

Strauss, Anselm, and Juliet Corbin. Dasar-Dasar Penelitian


Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2007.

Sugiono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan r&d.


Bandung: Alfabeta, 2014.

Jurnal
85

Afandi, Agus. "Bentuk-Bentuk Perilaku Bias Gender."


LENTERA: Journal of Gender and Children Studies, Vol
1, Issue 1, 2019: 5.

AZ, Sutiono. "Pendidikan Perempuan Sebelum Islam." T a h d z i


b A k h l a q, 2020: 124.

Dewi Ningrum, Siti Utami. "Perempuan Bicara dalam Majalah


dalam Majalah Dunia Wanita: Kesetaraan Gender dalam
Rumah Tangga Indonesia." Lembaran Sejarah, Vol 14,
No 2, 2018

Khotimah, Khusnul. "Diskriminasi Gender Terhadap Sektor


Pekerjaan." Jurnal Studi Gender & Anak, Vol. 4 No 1,
2009: 4.

Komalawati, Euis. "Industri Film Indonesia: Membangun


Keselarasan Ekonomi Media Film dan Kualitas Konten."
Jurnal Komunikasi, Vol, 1, No. 1, 2017.

Michael, and Diana. "Representasi Makna Feminisme pada


Sampul Majalah Vogue Versi Arabia Edisi Juni." Jurnal
SEMIOTIKA Vol. 13 (No. 2), 2019.

Nasri, Daratullaila. "Ketidakadilan Gender Terhadap Perempuan


dalam Novel Padusi Karya Ka’bati." Madah, Vol 7 No 2,
2016: 229.

Rahmat, Pupu Saeful. "Penelitian Kualitatif." EQUILBRUM,


2009.
86

Suhra, Sarifa. "Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-quran dan


Implikasinya Terhadap Hukum Islam." Jurnal Al-Ulum,
2013: 374.

Website

Habibie & Ainun 3 - Wikipedia bahasa Indonesia,


ensiklopedia bebas diakses pada 20 Juli 2023 pukul 9.13 WIB.
https://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/2004/29TAHUN200
4UU.HTM diakses pada 10 Februari 2023 Pukul 19.30
https://id.wikipedia.org/wiki/Hanung_Bramantyo diakses
pada 17 Februari 2023 pukul 9.03 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Maudy_Ayunda diakses
pada 17 Februari 2023 pukul 9.30 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Jefri_Nichol diakses pada 17
Februari 2023 pukul 17.40 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Reza_Rahadian diakses pada
21 Februari 2023 pukul 09.50 WIB.
https://id.wikipedia.org/wiki/Arya_Saloka diakses pada
22 Februari 2023 pukul 09.00 WIB.
87

DAFTAR LAMPIRAN

A. Transkip Wawancara
1. Hasil Wawancara 1

Nama : Nadya Kharima, M.Kesos


Pelaksanaan Wawancara : Tangerang Selatan, 25 Juni 2023,
via Whatsapp

1. Apakah perempuan dan laki-laki setara?

Sebenarnya saat ini perempuan dan laki-laki untuk di Indonesia


bukan lagi persoalan setara, tetapi persoalan keadilan jadi kalau
memang setara masih dibahas saya rasa itu sudah jauh melampaui
apa yang sedang dibahas pada kaum feminis saat ini. Kaum feminis
saat ini membahas tentang keadilan bukan lagi kesetaraan gender
begitu kira-kira, jadi kalau ditanya apakah perempuan dan laki-laki
itu setara sebenarnya tidak dan kami tidak menuntut itu, kami
memahami bahwa kami berbeda, baik secara biologisnya dimana
kalau perempuan dan laki-laki memang jelas berbeda secara
biologisnya. Kemudian, secara apakah kami harus disetarakan
dalam berbagai sikap dalam berbagai kesempatan itu tidak lagi
tetapi kami meminta keadilan.

2. Bagaimana menurut anda tentang pemahaman bahwa


perempuan harus setara dengan laki-laki agar hak-hak
mereka dapat terpenuhi?
88

Lagi-lagi bukan setara tapi adil. Memang, ada masanya kami


harus menuntut keadilan agar hak-hak kami terpenuhi. Misalnya,
ketika kami melahirkan kemudian kami tidak mendapatkan cuti
yang cukup untuk kami ya kami akan menuntut hak-hak itu
karena dianggap tidak adil, jadi tidak lagi setara ya tapi adil.

3. Diskriminasi gender adalah ketidaksetaraan antara


perempuan dan laki-laki karena jenis kelamin yang ia
miliki, bagaimana menurut pandangan anda mengenai hal
ini? Apakah anda setuju jika ketidakadilan tersebut
terjadi karena jenis kelamin yang dimiliki?

Itu lebih ketidakadilan saja karena disitu diskriminasi gender


itu lahir ketika memang ada pandangan bahwa misalnya saat
terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan itukan juga kenapa ya
karena mereka menganggap tidak adil terhadap kami.

4. Bagaimana menurut pandangan anda mengenai ayat al-


quran al-hujurat ayat 13 yang menerangkan bahwa laki-
laki dan perempuan memiliki hak yang sama namun yang
membedakannya hanya ketakwaan?

Ya memang secara garis besar benar bahwa haknya harus sama


dan membedakannya hanya ketaqwaan, namun sepertinya kalau
mengenai ayat kami tidak bisa menjawantahkan lebih dalam
karena harus ada penafsir Quran yang lebih baik. Tetapi dari segi
ajaran agama saya yakin bahwa Islam justru mengedepankan
keadilan terhadap perempuan dan laki-laki.
89

5. Sebenarnya apa yang menyebabkan adanya paradigma


perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang
mengakibatkan perempuan terdiskriminasi dalam banyak
hal?

Ya justru tidak adanya pemahaman tadi dan justru kata setara


itu sering kali membuat laki-laki merasa perempuan maunya
banyak. Tetapi yang harus dipahami bahwa kami hanya meminta
keadilan, ketika pemahaman laki laki berbeda dengan kami
perempuan dimana kami mengalami nifas, kami mengalami
melahirkan, kam mengalami menyusui itu hal-hal yang harus
dipahami.

6. Bagaimana pendapat ibu mengenai keadilan gender dalam


pendidikan?

Penting banget keadilan gender dimasukan kedalam standar


pendidikan atau pemahaman pendidikan karena itu yang dari kecil
kita tahu bahwa anak kita misalnya diberikan kalau laki-laki harus
pegangnya pistol, anak perempuan pegangnya masak, sehingga
akhirnya pada saat suami istri ya taunya perempuan itu harus
didapur. Padahal, tidak semestinya juga seperti itu jadi pendidikan
memiliki peran penting dalam mengejawantahkan apa itu keadilan
gender.
90

7. Bagaimana menurut pandangan anda bahwa perempuan


memiliki rasa sentimen yang lebih tinggi dibandingkan
laki-laki sehingga ia tidak bisa dididik dengan lebih keras?

Bukan rasa sentimen si, ya karena faktor biologis kita yang


menyebabkan seperti itu ya. Kenapa kita kita tidak bisa didik lebih
keras ya karena ada hormon-hormon kita yang misalnya ketika
sedang haid itu dan hormon kita naik namun emosi kita harus
diredam, hal-hal seperti sebenarnya harus dipahami baik oleh laki-
laki maupun perempuan lainnya bahwa ada masanya seperti itu.

8. Bagaimana menurut anda mengenai pekerjaan dibagi


berdasarkan jenis kelamin?

Sebenarnya harus dilihat dulu pekerjaan apa yang sekiranya


memang yang melihat dari jenis kelamain. Ketika angkat beban
begitu ya ketika perempuan itu mampu ya kenapa tidak, tetap ya
harus dipikirkan lagi apakah nanti berpengaruh kepada
kehamilannya dan sebagainya itu juga penting untuk dilihat.

9. Bagaimana gambaran perempuan yang ideal menurut


pandangan anda?

Perempuan yang ideal adalah perempuan yang


memahami bagaimana biologisnya dia sendiri dan perempuan
lainya terutama ya sehingga dapat membantu dan mendukung
perempuan lainnya terhadap isu-isu ketidakadilan gender.
91

10. Bagaimana menurut anda mengenai film yang


mengandung kekerasan terhadap wanita didalamnya?

Kalau filmnya memang ingin bermaksud untuk mencegah


kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan silahkan tetapi
sering kali yang ada hanya kekerasan dan ketidakadilan tersebut
tetapi tidak diberikan solusi dalam film tersebut apa sih?. jadi poin
pentingnya sebenarnya adalah solusi dari mencegah kekerasan dan
ketidakadilan itu apa tidak hany ditonjolkan kekekerasan dan
ketidakadilannya saja tetapi lebih dari itu.

2. Transkip Wawancara 2

Narasumber : Drs Joni Arman Hamid, M.Ikom


Pelaksanaan Wawancara : Jakarta Barat, 20 Juni 2023

1. Bagaimana menurut anda tentang pemahaman bahwa


perempuan harus setara dengan laki-laki agar hak-hak
mereka dapat terpenuhi?
Perempuan harus punya pendidikan dan kesempatan yang
banyak tapi dia juga harus tau bahwa dia adalah mahkluk yang
berbeda dengan laki-laki. Kemudian saya hidup dengan wanita
sehingga tidak mungkin saya mengatakan bahwa dia lebih rendah
daripada laki-laki. Sehingga kesetaraan itu bukan berarti bebas
sebebas-bebasnya. Tapi ada porsi-porsi tertentu seperti
pendidikan, pekerjaan.
92

2. Bagaimana menurut anda mengenai pekerjaan dibagi


berdasarkan jenis kelamin?
Mengenai pekerjaan, perempuan bisa saja, namun harus
mereka harus menyadari bahwa fisik mereka berbeda dengan laki-
laki. Oleh karena itu, saya tidak sepakat jika semua yang dilakukan
laki-laki itu bisa dilakukan oleh perempuan.
3. Menurut bapak bagaimana sutradara menggambarkan
tokoh Agus Sumarhadi dalam film ini?
Dalam film ini hanya digambarkan sedikit-sedikit saja, seperti
hanya melalui ucapan-ucapan. Ada namanya bahasa gambar,
karena gambar Agus ini hanya sepintas saja, kadang-kadang tidak
terlihat bahwa dia menderita, karena over sholder, apakah itu kita
anggap itu meremehkan? Secara verbal iya, tapi gambarnya
kurang. Oleh karena itu dalam semiotika harus hati-hati karena
secara verbal mudah namun dalam visual bisa bertolak belakang.
Seperti Profesor Sumarhadi itu secara verbal iya mungkin, namun
secara gambar ia tertekan juga karena menghidupi anak tanpa istri
kan? Ada konflik internal juga. Karena visualisasi ide itu akan
dipengaruhi oleh tingkat atau angle kamera dan ukuran gambar.
93

B. Dokumentasi

Dokumentasi wawancara dengan Nadya Kharima, M.Kesos


selaku Koordinator Pusat Studi Gender dan Anak UIN Jakarta
94

Dokumentasi Wawancara dengan Drs Joni Arman Hamid,


M.Ikom selaku dosen komunikasi UIN Jakarta

Anda mungkin juga menyukai