Anda di halaman 1dari 7

Review

Jurnal Good Enough Governance Revisited


Merilee S. Grindle

Oleh:

Florensius Goo (226301518006)

Ayu Resti Anjani (226301518011)

Supri (226301518020)

RINGKASAN

Perdebatan tentang tata kelola pemerintahan yang baik dimulai dari defenisinya. Banyak
defenisi tata kelola pemerintah yang baik dengan konsep yang kompleks. Ada beberapa kesamaan
dari setiap defenisi yang disampaikan, misalnya tata kelola pemerintahan selalu diartikan sebagai
proses kelembagaan dan tata aturan dalam pengambilan keputusan. Namun juga ada perbedaan
terkait spesifitas dan normativitas. Hal ini bisa dibandingkan antara defenisi menurut DFID dan
World Bank dengan USAID. Defenisi tala kelola pemerintah menurut DFID dan World Bank relative
netral sementara USAID lebih eksplisit normative yang menyamakan tata kelola pemerintahan
dengan tata laksana pemerintahan demokratis dan pembuatan keputusan.

Sebagai contoh, tata kelola pemerintahan yang baik berhubungan dengan kebijakan atau
hasil dari suatu kebijakan yang dibuat, kebijakan ekonomi makro yang stabil, pengentasan
kemiskinan, keterbukaan terhadap pedagangan, desentralisasi, peningkatan pendapatan, bentuk
dan proses kelembagaan, demokrasi, partisipasi yang luas dalam pengambilan keputusan, dan
legislatitif yang kuat. DFID misalnya melihat tata kelola pemerintahan yang baik dari pembuatan
kebijakan dan hasil dari kebijakan tersebut.

Defenisi yang sangat luas membuat sulit untuk dibedakan antara tata kelola pemerintahan
yang baik dan pembangunan. Di tengah kompleksitas defenisi terkait tata kelola pemerintahan
setidaknya terdapat dua hal penting yang bisa dipetik dari setiap defenisi tersebut. Pertama apa
hubungan antara tata kelola pemerintahan yang baik dengan perkembangan ekonomi dan politik.
Yang kedua apa yang bisa dipelajari dari tata kelola pemerintahan yang baik dan sejarah
pembangunan. Dari sini bisa dilihat ada atau tidak adanya korelasi antara tata kelola pemerintahan
yang baik dengan pembangunan.

Hasil analisis menunjukan bahwa ada korelasi yang signifkan antara tata kelola
pemerintahan yang baik dan pembangunan. Misalnya penelitian yang dibuat (Chong and Calderón,
2000; Levine, 1997) menunjukan bahwa pengembangan kelembagaan berkontribusi pada
pertumbuhan dan pertumbuhan berkontribusi pada pengembangan kelembagaan. Penelitan Chong
dan Calderon juga menunjukan bahwa efisiensi kelembagaan mengurangi kemiskinan. Selain itu juga
Brunetti (1997) menyebutkan bahwa kredibilitas pemerintah berkontribusi terhadap investasi dan
pertumbuhan. Daniel Kaufman dan Kraay dalam penelitian tahun 2022 juga menyebutkan bahwa
pemerintahan yang baik memungkinkan pembangunan. Tinjauan Bank Dunia (2000) terhadap 40
penelitian berbeda menyimpulkan bahwa tata kelola yang baik sangat penting untuk keberhasilan
pembangunan misalnya diukur dengan tingkat pendapatan per kapita yang tinggi.

Beberapa peneliti berusaha menjelaskan hubungan antara tata kelola pemerintahan dan
pembangunan melalui studi pada suatu negara atau sejumlah kecil negara. Beberapa ilmuwan sosial
menggunakan pengalaman dari negara-negara dengan catatan pertumbuhan ekonomi yang
mengesankan dan kemampuan pengentasan kemiskinan. Dari pengalaman itu para ilmuwan
berpendapat bahwa pertumbuhan dapat dirangsang melalui perubahan kelembagaan dan kebijakan.
Cina dan Vietnam mampu melakukan pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan meski
dihadapkan pada banyak sekali karakteristik tata kelola pemerintahan yang buruk misalnya tidak
terjaminnya hak milik (Lihat, Quiann, 2003).

Beberapa peneliti mengamati sejarah negara-negara maju, melihat kondisi tertentu dari tata
kelola pemerintahan yang baik, misalnya terkait pengakuan terhadap hak milik, pegawai negeri yang
profesional, bank sentral yang independent, akuntabilitas dari pejabat terpilih dan lain-lain. Ini
merupakan akibat dari pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.

Penelitian lain menekankan pengalaman unik dari suatu negara atau wilayah, interaksi antara elit
ekonomi dan elit politik, karakteristik dari rezim yang berkuasa, hubungan elit masa, kinerja dan
strukur dari institusi dan Lembaga. Ini menunjukan bahwa tata kelola pemerintahan yang baik bukan
satu-satunya faktor yang menentukan pembangunan atau pertumbuhan.

Tantangan tata kelola pada negara-negara yang rapuh merupakan sesuatu yang sulit. Rezim
yang brutal, tidak efektif dan tidak stabil tentu membutuhkan suatu tata kelola yang baik. Mereka
yang berada di dalam rezim tentu akan merasakan keuntungan. Ahli ekonomi politik menilai rezim
seperti ini tidak peduli pada tata kelola pemerintahan yang baik atau usaha untuk pengentasan
kemiskinan, mereka hanya peduli pada pada kesejahteraan leit penguasa sendiri.

Masalah penting lain yang muncul dalam penelitian berbasis masalah tentang tata kelola
yang baik adalah hubungan antara tata kelola dan epidemi AIDS. Beberapa negara di sub-Sahara
misalnya kehilangan guru, pegawai negeri dan pekerja lebih cepat daripada yang bisa diganti.
Dengan demikian situasi kesehatan seperti ini dapat menurunkan tata kelola pemerintahan yang
baik pada beberapa negara.

Selain masalah kesehatan juga ada masalah ketergantungan terhadap bantuan. Lembaga-
lembaga donor internasional telah melemahkan tata kelola dari negara-negara berkembang.

Organisasi seperti Bank Dunia, UNDP dan DFID memainkan peran yang sensitive sering
ambigu dalam menerjemahkan riset akademis tentang praktek tata kelola pemerintahan yang baik.
Memang diskursus resmi terkait tata kelola pemerintahan yang baik /pembangunan seperti yang
disajikan dalam publikasi seperti the world development report, the human development report,
and DFID’s making government work for poor people merupakan sumber penting dalam
menyebarluaskan temuan literatur akademik tentang tata kelola pemerintahan dan pembangunan,
tapi seringkali banyak Bahasa baru yang diadopsi daripada aslinya dan hanya mengambil hal-hal
praktis darinya.

Dalam banyak publikasi resmi disebutkan bahwa pemerintahan yang baik merupakan
kontributor yang sangat penting bagi pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan meskipun
sebenarnya masih ada keraguan tentang masalah pengukuran, kausalitas dan urutan.

Terkait masalah implementasi banyak yang menyimpang atau tidak sesuai seperti yang
tertera di dalam literatur akademik. Jadi dalam menerjemahkan penelitian ke dalam prinsip-prinsip
tindakan, organisasi internasional mugkin telah berkontribusi pada praktik yang salah arah.

Tidak semua intervensi tata kelola pemerintahan yang baik dapat dilakukan atau diterapkan
secara bersamaan. Lalu bagaimaan seharusnya para praktisi melakukannya? Berikut ini merupakan
analisis yang bisa dipakai oleh para praktisi untuk memilah kondisi yang mereka hadapi , pilihan yang
mereka miliki untuk membuat tata kelol apemerintahan dan memahami tantangan yang bisa
dihadapi dalam proses pelaksanaan.

Intervensi tata kelola tidak diperkenalkan dalam ruang hampa. Tata kelola dibangun dalam
fondasi kapasitas yang sudah ada bahkan jika kapasitas itu rendah. Dengan mengajukan apa yang
harus dibangun? sehingga intervensi intervensi yang sesuai untuk situasi tertentu menjadi lebih
mudah diidentifikasi. Dua kerangka analitis sangat membantu yaitu, pertama berfokus pada
penilaian akan kekuatan dan kelemahan dari negara. Kedua menyediakan wawasan tentang sumber-
sumber perubahan yang ada di dalam lingkungan tertentu.

Negara rapuh dicirikan dengan stabilitas struktur dan kelembagaan yang rendah, legitimasi
dan kapasitas organisasi yang dipertanyakan (atau tidak ada). Sementara negara yang lebih kuat
menunjukan tingkat stabilitas truktur dan Lembaga yang lebih tinggi. Dengan memahami
karakteristik dari sebuah negara maka intervensi tata kelola pemerintahan

Peneliti pembangunan masih jauh dari consensus tentang hubundan antara pembangunan
dan pemerintahan yang baik dan mereka tidak setuju pada isu terkait dengan metodologi dan
inferensi. Pada bagian pertama artikel peneliti menilai isu di sejumlah besar negara cenderung
menemukan bukti yang kuat keterkaitan antara pemerintahan dan pembangunan: pemerintah
dianggap penting dan penyebab perkembangan. Sebaliknya mereka yang fokus pada kondisi
tertentu pada negara-negara tertentu sering menemukan alasan untuk mempertanyakan hubungan
ini dan mengedepankan argument yang menghubungkan dampak tata kelola dengan kondisi
tertentu tersebut. Tantangan tata kelola pada negara tertentu tersebut diperburuk okeh faktor lain
seperti HIV/AIDS dan ketergantungan donor.

Kesimpulan seperti ini tidak bisa meyakinkan mereka untuk mengambil tindakan apa yang
harus dilakukan terlebih di tengah kelangkaan sumber daya misalnya dana, kapasitas organisasi,
keterampilan manusia, pengetahuan dan kepemimpinan. Masih ada perdebatan besar tentang
hubungan antara tata kelola dan pembangunan serta pertanyaan tentang statistic dan inferensi
sejarah.

Para praktisi pembangunan baik pemimpin LSM atau pejabat pemerintah terus berhadapan
dengan berbagai tantangan terkait apa yang harus dilakukan untuk mencapai tata kelola yang baik
dengan sedikit petunjuk tentang pilihan mana yang harus menjadi prioritas.

Untuk itu perlu adanya pembatasan pada hal0hal yang harus dilakukan dengan mengadopsi
konsep tata kelola yang cukup baik untuk diterapkan pada level masalah yang lebih kecil sehingga
lebih bermanfaat. Dan pada bagian kedua artikel ini disebutkan tentang tata kelola mana yang harus
dilakukan dalam konteks negara tertentu dengan menggunakan sejumlah kerangka analisis.
Kerangka analitis ini berfokus pada konteks di mana tata kelola reformasi diperkenalkan.

Untuk itu disarankan agar dilakukan analisis terhadap kekuatan dan kelemahan suatu
negara, beserta karakteristiknya sehingga para prakitisi bisa meningkatkan kapasitas untuk membuat
keputusan tentang apa yang harus dilakukan di negara tertentu. Sementara hubungan antara tata
kelola pemerintahan dan pembangunan terus diperdebatkan.
Semakin banyak tata kelola yang lebih baik diperlukan maka semakin sulit untuk mencapai
pemerintahan yang baik. Meskipun negara lemah dan dilanda konflik memiliki kesenjangan tata
kelola yang lebih besar tetapi memiliki tantangan implementasi yang lebih sedikit.

Bagi mereka yang terlibat dalam upaya memperbaiki pemerintahan di negara yang rapuh,
tidak ada peluru ajaib, tidak ada jawaban yang mudah dan tidak ada jalan pintas yang lebih cepat
untuk pembangunan yang efektif dan pengentasan kemiskinan. Tugas penelitian adalah untuk
menemukan peluang, kekurangan peluru ajaib untuk bergerak ke arah yang positif.

PENILAIAN ATAS SUBSTANSI ARTIKEL

Jurnal yang ditulis Grindle ini sebenarnya mau mengatakan bahwa tidak ada satu konsep
baku tentang tata kelola pemerintah dalam menyelesaikan persoalan pada suatu negara atau dalam
rangka mewujudkan pembangunan dan pengentasan kemiskinan pada negara-negara tertentu.

Konsep tentang tata kelola pemerintahan yang baik seperti yang disampaikan oleh
organisasi dunia seperti World Bank, UNDP, IMF, DFID tidak bisa digeneralisasi dan diterapkan pada
setiap situasi. Selain itu konsep tata kelola pemerintahan yang baik berbeda-beda antara setiap
organisasi dunia tersebut, Nanda (2006) menyebutkan world bank menetapkan aspek dari tata
kelola pemerintahan yang baik itu terdiri dari stabilitas politik, penegakan hukum, pengendalian
korupsi dan akuntabilitas sementara beberapa lembaga donor lain memiliki kriteria yang berbeda.
Padahal terdapat karakteristik persoalan yang sangat variative dari negara-negara lain khususnya
negara berkembang sehingga penerapan konsep tata kelola pemerintahan tersebut tidak bisa
berjalan dengan baik. Ini bisa dipahami karena menurut Mkandawire konsep tata kelola
pemerintahan yang baik yang disampaikan oleh Lembaga bisnis dunia diatas bertujuan untuk
melayani kepentingannya, khsususnya sebagai syarat dalam menyalurkan bantuan atau memberikan
pinjaman. Jadi konsep tata kelola pemerintahan yang baik akhirnya mengalami pembiasan atau
penyimpangan. Keterbatasan dan kelemahan konsep tata kelola tersebut menurut Prof Syarif
merupakan sebuah bentuk “kecongkakan” yang cenderung mengabaikan konteks sosial, budaya dan
politik dari negara yang bersangkutan.

Oleh karena itu perlu dipikirkan untuk merestorasi konsep tata kelola pemerintahan
sehingga bisa diterima dan diterapkan pada berbagai kondisi di setiap negara.

Kami mendukung pendapat Grindle tersebut karena apa yang disampaikan oleh Lembaga-
lembaga internasional di atas sekaan-akan good governance itu “one size fit for all” atau satu solusi
untuk semua masalah. Padahal faktanya tidak bisa begitu. Metode yang dipakai terkait konsep tata
kelola pemerintahan yang baik pada suatu negara belum tentu pas untuk diterapkan pada negara
lain yang memiliki karakteristik masalahnya sendiri.

Lalu konsep seperti apa yang bisa dipakai agar bisa diterima dan diimplementasikan pada
setiap negara dengan berbagai kondisi, situasi dan karakter yang berbeda-beda. Untuk menjawab
persoalan tersebut kami mengadopsi konsep yang ditawarkan oleh Prof. Syarif Hidayat yaitu proper
governance. Menurut Prof Syarif akar persoalan dari tata kelola pemerintahan bukan terletak pada
bad atau good governance tetapi lebih pada tepat atau tidaknya konsep yang digunakan. Jadi konsep
good governance yang dipakai selama ini sudah seharusnya direvitalisasi menjadi proper
governance. Proper governance lebih menjurus kepada tata kelola pemerintahan yang tepat, pantas,
dan nyaman sesuai dengan karakteristik dari negara dan masyarakat tertentu. Ini dipertegas lagi
oleh Nanda (2006) yang bependapat bahwa tata kelola pemerintahan harus juga didukung oleh
demokrasi, kepemilikan, komitmen dan tidak mengabaikan konteks budaya dan sejarah dari negara
yang bersangkutan. Jadi tata kelola pemerintahan tidak semata-mata berbicara tentang
pembangunan ekonomi semata-mata. Jika merujuk pada konsep Proper governance maka tata
kelola pemerintahan setidaknya bertujuan mewujudkan tata kelola pembangunan ekonomi yang
sehat, kehidupan demokratis dan dihargainya hak setiap warga serta terciptanya inklusifitas sosial.
Oleh karenanya maka implementasi tata kelola pemerintahan harus disesuaikan dengan kekahasan
karakteristik sosial, ekonomi dan politik masyarakat setempat. Prinsip dasar dari tata kelola
pemerintahan yang proper terdiri dari empat elemen utama yaitu pembangunan, demokrasi, social
inclusive dan konteks budaya serta sejarah lokal (Syarif Hidayat, 2016). Yang menjadi pembeda bagi
konsep proper governance adalah local content. Local content adalah aspek yang hilang dari konsep
good governance yang menyebabkan konsep tersebut tidak bisa diimplementasikan pada semua
negara dan semua situasi. Jadi tata kelola pemerintahan harus selalu memperhatikan local contet
(karakteristik sosial, budaya, ekonomi dan politik yang khas).

Sementara kritik untuk Grindle terkait artikel ini adalah Grindle hanya mengulas tentang
problematika tata kelola pemerintah pada level negara. Padahal jika dilihat dari konsep proper
governance maka setidaknya ada aspek yang harus mendapat perhatian yaitu negara (Lembaga
politik dan birokrasi) dan Masyarakat (masyarakat sipil dan ekonomi). Grindel dalam artikel ini belum
secara terperinci membahas tentang hilangnya aspek-aspek tersebut dari konsep tata kelola
pemerintahan.

KESIMPULAN

Pada awalnya good governance merupakan konsep yang dirancang noleh para akademisi di
Kawasan Afrika untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, inklusifitas dan demokratisasi. Namun
dalam perjalananya konsep ini diadopsi Lembaga atau organisasi bisnis dunia dengan memformulasi
ulang konsep good governance untuk melayani kepentingannya. Setiap organisasi bisnis dunia
mengembangkan konsepnya masing-masing sehingga pada akhirnya terjadi pembiasan dan
ambiguitas terhadap makna dari good governance.

Konsep good governance yang dibentuk oleh Lembaga-lembaga tersebut kemudian


dipaksakan untuk diimplementasikan pada setiap negara. Hal ini mendapat kritikan dari berbagai
pihak termasuk Grindle yang melihat bahwa setiap negara memiliki karakteristik persoalan yang khas
dan unik sehingga tidak serta merta bisa diselesaikan dengan mengimplementasikan konsep
tersebut.

Namun Grindel hanya mengkritisi ambiguitas konsep good governance dan penerapannya
yang bersifat general tampa adanya tawaran solusi yang lebih tepat untuk menyelesaiakan persoalan
yang khas dari setiap negara.

Untuk menjawab persoalan tersebut maka kelompok mengadopsi konsep yang ditawarkan
Prof Syarif yaitu proper governance yang sangat mengedepankan konten lokal (sosial, budaya,
politik, ekonomi) sembari tetap memperhatikan aspek pembangunan ekonomi, demokrasi dan
inklusifitas.

Beragam karakteristik masalah yang dihadapi setiap negara tidak bisa hanya
mengedepankan peran negara saja tetapi penyelesaiannya harus juga melibatkan peran masyarakat
dan tetap memperhatikan karaktersitik lokal

Anda mungkin juga menyukai