Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peralihan dari Sistem Drainase Konvensional menjadi Sistem Ekodrainase

Konsep drainase konvensional berprinsip membuang kelebihan air hujan secepat-cepatnya


lalu dialirkan ke badan air. Dampak negatif yang ditimbulkan dari konsep ini adalah tidak
membiarkan air meresap ke dalam tanah. Turunnya muka air tanah disebabkan oleh infiltrasi
yang rendah. Konsep drainase konvensional sampai saat ini masih banyak digunakan,
sehingga menyebabkan makin langkanya kebutuhan air baku untuk air minum, maka
diperlukan konsep baru dalam penanganan drainase dengan mengendalikan kelebihan air
permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk persediaan air baku dengan meresapkan air
permukaan ke dalam tanah. Sistem drainase konvensional merupakan sistem drainase yang
umum digunakan tetapi memerlukan lahan yang luas dan masih menimbulkan masalah seperti
banjir. Jika air hujan dialirkan tanpa adanya penyerapan ke dalam tanah secara optimal, badan
air penerima akan meluap dan terjadi genangan saat beban yang melebihi batasnya. Salah satu
penanganan dari permasalah tersebut adalah mengkonversi sistem drainase konvensional
dengan sistem ekodrainase (Badzlina, 2019).

Konsep drainase baru (paradigma baru) yang biasa disebut drainase ramah lingkungan atau
ekodrainase atau drainase berwawasan lingkungan yang sekarang ini sedang menjadi konsep
utama di dunia internasional dan merupakan implementasi pemahaman baru konsep eko-
hidrolik dalam bidang drainase. Drainase ramah lingkungan didefinisikan sebagai upaya
untuk mengelola air kelebihan (air hujan) dengan berbagai metode diantaranya dengan
menampung melalui bak tandon air untuk langsung bisa digunakan, menampung dalam
tampungan buatan atau badan air alamiah, meresapkan dan mengalirkan ke sungai terdekat
tanpa menambah beban pada sungai yang bersangkutan serta senantiasa memelihara sistem
tersebut sehingga berdaya guna secara berkelanjutan (Yuwono, 2012).

Drainase berwawasan lingkungan atau ekodrainase adalah pengelolaan drainase yang tidak
menimbulkan dampak yang merugikan bagi lingkungan. Ekodrainase atau drainase
berwawasan lingkungan menjadi konsep utama dan merupakan implementasi pemahaman
baru konsep ekohidraulik dalam bidang drainase. Konsep ini sifatnya mutlak di daerah
beriklim tropis dengan perbedaan musim hujan dan kemarau yang ekstrim seperti di
Indonesia. Berdasarkan fungsinya terdapat 2 (dua) pola yang dipakai untuk menahan air
hujan, yaitu (Hadi, 2016):
a. Pola detensi (menampung air sementara), yaitu menampung dan menahan air limpasan
permukaan sementara untuk kemudian mengalirkannya ke badan air misalnya dengan
membuat kolam penampungan sementara untuk menjaga keseimbangan tata air;
b. Pola retensi (meresapkan), yaitu menampung dan menahan air limpaan permukaan
sementara dengan memberikan kesempatan air tersebut untuk dapat meresap ke dalam
tanah secara alami antara dengan membuat bidang resapan untuk menunjang kegiatan
konservasi air.

Konsep drainase ramah lingkungan tersebut membuat kelebihan air hujan tidak secepatnya
dibuang ke sungai terdekat. Air hujan tersebut dapat disimpan di berbagai lokasi di wilayah
yang bersangkutan dengan berbagai macam cara, sehingga dapat langsung dimanfaatkan atau
dimanfaatkan pada musim berikutnya, dapat digunakan untuk mengisi/konservasi air tanah,
dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas ekosistem dan lingkungan, dan dapat
digunakan sebagai sarana untuk mengurangi genangan dan banjir yang ada. Ada beberapa
metode drainase ramah lingkungan yang dapat dipakai di Indonesia, diantaranya adalah
metode kolam konservasi, metode sumur resapan, metode river side polder dan metode
pengembangan areal perlindungan air tanah (ground water protection area) (Arsana, 2020).

Ekodrinase mengurangi kemungkinan banjir/genangan di lokasi yang bersangkutan, banjir di


hilir serta kekeringan di hulu dapat dikurangi. Hal ini karena sebagian besar kelebihan air
hujan ditahan atau diresapkan baik bagian hulu, tengah maupun hilir. Longsor di bagian hulu
akan berkurang karena fluktuasi lengas tanah tidak ekstrim dan perubahan iklim yang ada di
daerah tengah dan hulu dan beberapa daerah hilir tidak terjadi dengan tersedianya air yang
cukup, lengas tanah yang cukup maka flora dan fauna di daerah tersebut akan tumbuh lebih
baik. Hal ini dapat mengurangi terjadinya perubahan iklim mikro maupun makro di wilayah
yang bersangkutan (Yuwono, 2012).

2.2 Komponen Sistem Ekodrainase dan Kriteria Desain

Ekodrainase merupakan konsep baru penanganan sistem drainase perkotaan yang


berkelanjutan yang memperhatikan kondisi dan daya dukung lingkungan serta memiliki
prinsip meresapkan air sebanyak-banyaknya ke dalam tanah. Berdasarkan arahan rencana
strategis Kementrian Pekerjaan Umum Bidang Cipta Karya tahun 2010 – 2014, sistem
drainase berwawasan lingkungan atau ekodrainase di Indonesia merupakan suatu sistem yang
mendukung konsep penanganan drainase perkotaan secara berkelanjutan dengan
memperhatikan kondisi dan daya dukung lingkungan (alam) sehingga dapat menjadi solusi
permasalahan yang ditimbulkan oleh adanya limpasan air hujan serta dapat difungsikan
sebagai sarana untuk mengkonversi sumber daya air tanah dan mengurangi polutan yang
masuk ke lingkungan perairan. Selain itu, perencanaan drainase yang berwawasan lingkungan
diharapkan secara bertahap dan berkelanjutan dapat mengembalikan fungsi kawasan sesuai
peruntukannya (Ulya, 2019).

2.2.1 Praktek Infrastruktur Hijau (Green Infrastructure) pada Ekodrainase

Infrastruktur Hijau adalah sebuah konsep, upaya, atau pendekatan untuk menjaga lingkungan
yang berkelanjutan melalui penataan ruang terbuka hijau dan menjaga proses-proses alami
yang terjadi di alam seperti siklus air hujan dan kondisi tanah. Konsep infrastruktur hijau
adalah membentuk lingkungan dengan proses alami yang terjaga; meliputi manajemen air
hujan, manajemen kualitas air, hingga pada mitigasi banjir. Arah dari penerapan infrastruktur
hijau adalah untuk mendukung communities development dengan meningkatkan kondisi
lingkungan dan memelihara ruang terbuka hijau. Jaringan infrastruktur hijau adalah sistem
kawasan alami dan ruang terbuka yang saling terkait dan menjaga nilai ekosistem, menjaga
kondisi udara dan air, serta memberikan manfaat bagi penduduk dan makhluk hidup lain.
Jaringan infrastruktur hijau, setelah terbentuk, dapat menjadi suatu framework acuan untuk
pembangunan kedepan dan sebagai upaya konservasi lahan untuk mengakomodasi
pertumbuhan populasi penduduk, sembari tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan
aset publik (Setiyono, 2018).

Green Infrastructure atau infrastruktur hijau merupakan konsep penataan ruang yang
mengaplikasikan infrastruktur ramah lingkungan. Infrastruktur ramah lingkungan artinya
infrastruktur yang tidak mengganggu siklus alami lingkungan. Dari tahap perancangan,
pembangunan, pengoperasian, hingga tahap pemeliharaan memperhatikan aspek-aspek dalam
melindungi, menghemat, mengurangi penggunaan sumber daya alam. Green Infrastructure
mencakup natural system dan engineered solution. Adapun jenis-jenis Green Infrastructure
adalah (Ditjen Cipta Karya, 2018):
1) Bioswale (Wet or Dry), sistem rembesan air hujan alami yang indah dengan tanaman,
bunga serta semak belukar;
2) Constructed Wetland, dibuat untuk mengolah air limbah dan mengelola limpasan dengan
menghilangkan sedimen dan polutan;
3) Dry Pond, kolam yang menahan air setelah hujan dan memungkinkan sedimen untuk
menetap sebelum dibuang.
4) Ecosystem Planning, perencanaan pengembangan kawasan baru yang
mempertimbangkan keadaan alami sekitar dan saluran drainase;
5) Filter strip, dirancang untuk menyaring limpasan air hujan;
6) Green Roof, Vegetasi atap yang memberikan nilai ekologis, mengurangi limpasan air
hujan, dan meningkatkan kinerja bangunan;
7) Green Wall, struktur vertikal yang dirancang untuk menyerap polusi udara dan berfungsi
sebagai penghalau suara serta menambah keindahan;
8) Hedgerow, deretan tanaman yang berfungsi sebagai penyangga angin untuk mengurangi
erosi tanah dan menyediakan habitat satwa liar;
9) Perforated Pipe, pipa bawah tanah dengan lubanglubang kecil yang memungkinkan
masuk dan keluar dari air hujan ke tanah;
10) Permeable Pavement, permukaan pavement yang cocok untuk lalu lintas kendaraan atau
pejalan kaki yang memungkinkan air menyerap ke dalam tanah;
11) Rain Garden and Bioretention, batuan dan tanaman yang disusun untuk mengumpulkan,
menyerap, dan menyaring limpasan air hujan;
12) Rain Harvesting, penggunaan barrel atau tangki untuk mengumpulkan air hujan dan
menambah pasokan air;
13) Riparian Buffer, vegetasi yang memperlambat aliran air ke sungai, serta
engurangi erosi, sedimentasi, dan polusi di saluran air;
14) Soak Aways, Infiltration Trenches and Chambers, sistem penyimpanan aliran air di
bawah tanah;
15) Tree Canopy Expansion, penanaman pohon, pemeliharaan meningkatkan jumlah pohon,
yang membantu membersihkan udara, menyaring air dan memberi naungan;
16) Wet Pond, kolam permanen besar yang memungkinkan sedimen untuk mengendap serta
biofiltrasi untuk memperlambat dan menyaring;
17) Xeriscaping, pengelompokan vegetasi dengan kebutuhan yang sama, khususnya spesies
lokal, untuk mengurangi kebutuhan penyiraman.

Fungsi dari Green Infrastructure adalah (Ditjen Cipta Karya, 2018):


1) Mengurangi limpasan air hujan;
2) Menyaring dan menyerap polutan dalam air;
3) Menyimpan air hujan;
4) Menghemat dan mendaur ulang air;
5) Pengisian kembali air tanah;
6) Penghematan energi;
7) Menangani urban heat island effect;
8) Menyerap gas rumah kaca;
9) Menambah keindahan;
10) Menyediakan tempat rekreasi;
11) Mengurangi erosi tanah.

Manfaat Green Infrastructure adalah (Ditjen Cipta Karya, 2018):

a. Pada Perumahan
1) Penambahan vegetasi dan fitur alam lain dapat meningkatkan kualitas udara;
2) Rain gardens dan bioswales dalam membantu pengisian kembali pasokan air tanah dan
meningkatkan kualitas air;
3) Green roof dan green walls dapat mengurangi panas;
4) Rain barrels dapat digunakan untuk menyimpan air hujan sebagai sumber air tambahan
untuk bercocok tanam dan mencuci mobil;
5) Permeable pavements meningkatkan penyerapan air ke dalam tanah;
6) Menjaga keberagaman habitat;
7) Jalur transportasi.

b. Pada Jalur Pedestrian


1) Penambahan vegetasi dan fitur alam lain dapat meningkatkan estetika yang dapat
meningkatkan kesehatan pengguna. Selain itu dapat menciptakan habitat baru bagi
spesies lokal maupun spesies yang sedang bermigrasi ;
2) Rain gardens dan bioswales membantu menyaring polutan air dan udara.

c. Pada Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Fitur alami dan rekayasa di dalam RTH termasuk pepohonan dan constructed wetlands
menyediakan wadah untuk aktivitas outdoor dan habitat bagi satwa liar RTH juga dapat
menjaga keseimbangan alam dan berkontribusi dalam mengatasi perubahan iklim.

2.3 Langkah Desain Ekodrainase

Tahapan perencanaan drainase perkotaan meliputi hal-hal sebagai berikut (Permen PU No. 12,
2014):
1. Rencana Induk
Tahapan Rencana Induk antara lain:
1) Topografi, mengumpulkan data hidrologi, misalnya foto udara skala 1:25.000, peta
topografi skala 1:10.000 s/d 50.000.
2) Hidrologi, mengumpulkan data lapangan mengenai banjir, genangan air. Mengunjungi
dan memeriksa tempat-tempat pengukuran debit banjir dan curah hujan. Menganalisis
frekuensi banjir, memperkirakan sedimen, limpasan air hujan dan erosi.
3) Hidrolika, mengasumsi dasar hidrolika secara umum, misalnya rencana dimensi
saluran, kapasitas existing saluran dan dimensi bangunan pelengkap.
4) Geoteknik dan Mekanika Tanah, mempelajari peta geologi regional. Memperkirakan
parameter perencanaan geoteknik, menilai awal kesediaan bahan bangunan.
5) Perekayasaan, membuat garis besar perencanaan dengan sketsa tata letak & uraian
pekerjaan skala 1:25.000 dan memperkirakan stabilitas kasar bangunan pelengkap.
6) Aspek Multisektor, sinergi dengan tata ruang dan tata guna lahan, sinergi dengan
rencana induk kota, sinergi dengan kebijakan Pemda dan mengendalikan dampak
lingkungan.
7) Produk Akhir, gambar dasar (basic design), isi laporan rencana induk, arah trase
saluran, lokasi alternatif bangunan pelengkap, modul drainase kasar, luas daerah
tergenang dan daerah dikeringkan, program pelaksanaan, skala prioritas, perkiraan
biaya, prakelayakan untuk sosial, ekonomi dan teknis.
8) Tingkat Ketelitian untuk teknis 60% dan ekonomi 70%.

2. Studi Kelayakan/Feasibility Study


Tahapan Studi Kelayakan/Feasibility Study antara lain:
1) Topografi, mengumpulkan data hidrologi, misalnya foto udara skala 1:10.000, atau
peta topografi skala 1:5.000, peta lokasi bangunan utama atau bangunan besar.
2) Hidrologi, mengumpulkan data lapangan mengenai banjir, genangan air. Mengunjungi
dan memeriksa tempat-tempat pengukuran debit banjir dan curah hujan. Menganalisis
frekuensi banjir, memperkirakan sedimen, limpasan air hujan dan erosi.
3) Hidrolika, menganalisis hidrolika saluran pendahuluan, menganalisis hidrolika
bangunan pendahuluan.
4) Geoteknik dan Mekanika Tanah, menyelidiki untuk lokasi bangunan pelengkap
dengan pemboran, mengambil contoh tanah pada beberapa tempat sebagai sampel
sepanjang trase saluran dan lokasi bangunan dan menyelidiki bahan bangunan yang
akan digunakan, lokasi, kualitas pekerjaan dan volumenya. Melakukan uji lab contoh
tanah terpilih untuk mengetahui sifat tanah.
5) Perekayasaan, membuat rencana pendahuluan tata letak saluran dan bangunan, tipe
bangunan pelengkap dan perencanaannya, menganalisis stabilitas pendahuluan
bangunan pelengkap dan menganalisis pendahuluan kapasitas saluran, bangunan
pelengkap. Mengecek trase saluran & elevasi saluran setiap 500 m, melakukan rincian
volume pekerjaan dan biaya pendahuluan.
6) Aspek Multisektor, sinergi dengan tata ruang dan tata guna lahan, sinergi dengan
rencana induk kota, sinergi dengan kebijakan Pemda, dan mengendalikan dampak
lingkungan serta mengidentifikasi komponen drainase perkotaan dengan sektor
lainnya.
7) Produk Akhir, perencanaan pendahuluan (preliminary design), modul drainase detail,
mengecek ulang daerah tergenang dan daerah yang akan dikeringkan, tata letak
pendahuluan saluran dan bangunan pelengkap skala 1:25.000 dan 1:5000, gambar dari
tipe bangunan pelengkap, rincian volume biaya (BOQ), kelayakan dari sosial,
ekonomi, teknis, BCR, IRR, NPV dan laporan Amdal.
8) Tingkat Ketelitian untuk teknis 75% dan ekonomi 90%.
3. Perencanaan Teknik Terinci/Detail Design
Tahapan Detail Design antara lain:
1) Topografi, mengumpulkan peta topografi skala 1:2000, peta penampang memanjang
dan melintang skala 1:100 s/d 1:200.
2) Hidrologi, perhitungan akhir untuk laporan perencanaan, menganalisa debit banjir
setiap ruas saluran.
3) Hidrolika, menganalisa detail hidrolika final, menganalisa stabilitas saluran dan
menganalisa bangunan pelengkap secara detail.
4) Geoteknik dan Mekanika Tanah, penyelidikan geoteknik detail dengan pemboran
untuk bangunan pelengkap, perhitungan parameter perencanaan geoteknik,
perhitungan akhir untuk laporan perencanaan.
5) Perekayasaan: model tes untuk bangunan pelengkap, jika perlu; tinjau dan modifikasi
perencanaan pendahuluan menjadi perencanaan detail; analisa detail stabilitas, geser,
guling, amblas, erosi buluh; perencanaan detail saluran dan setiap bangunan
pelengkap; rincian volume pekerjaan dan estimasi anggaran biaya; tender dokumen;
metode pelaksanaan dan manual OP.
6) Aspek Multisektor: kerjasama dengan instansi terkait lain: Pemda, jalan, SDA. Cek
ulang arah saluran dan posisi bangunan terkait sektor lainnya.
7) Produk Akhir: laporan perencanaan detail, analisa perhitungan perencanaan, gambar
pelaksanaan/gambar bestek, rincian volume pekerjaan dan rencana angaran biaya,
metode dan program pelaksanaan, dokumen tender dan manual SOP. 8) Tingkat
Ketelitian untuk teknis 90% dan ekonomi 95%.
2.3.1 Kajian Data Sekunder dan Survey Lapangan

Data sekunder yang diperlukan dalam perencanaan ekodrainase adalah (Permen PU No. 12,
2014):
1. Data spasial adalah data dasar yang sangat dibutuhkan dalam perencanaan drainase
perkotaan, yang diperoleh baik dari lapangan maupun dari pustaka, mencakup antara lain:
a. Data peta yang terdiri dari peta dasar (peta daerah kerja), peta sistem drainase dan
sistem jaringan jalan yang ada, peta tata guna lahan, peta topografi masing-masing
berskala antara 1 : 5.000 sampai dengan 1 : 25.000 atau disesuaikan dengan tipologi
kota.
b. Data kependudukan yang terdiri dari jumlah, kepadatan, laju pertumbuhan, penyebaran
dan data kepadatan bangunan.
c. Data rencana pengembangan kota, data geoteknik, data foto udara terbaru (untuk kota
metropolitan).
d. Rencana tata ruang wilayah (rtrw).
e. Peta air tanah (hidrogeolgi).
f. Peta jaringan drainase eksisting dan bangunan-bangunannya.
g. Peta arah aliran.
h. Lokasi genangan.
i. Peta jaringan infrastruktur bawah tanah (air bersih, kabel telekomunikasi, listrik, dll).

2. Data hidrologi
a. Data stasiun klimatologi dan/atau stasiun penakar hujan.
b. Data genangan (tinggi genangan, kedalaman, lama genangan, frekuensi kejadian).
c. Data sumber air.
d. Data hujan minimal sepuluh tahun terakhir.
e. Data tinggi muka air, debit sungai, pengaruh air balik, peil banjir, dan data pasang surut.
f. Daerah pengaliran sungai atau saluran.
g. Data sedimentasi.
h. Data fasilitas pemanenan air hujan: kolam, embung, waduk, sumur resapan, biopori,
bioretensi, dll.

3. Data sistem drainase yang ada


a. Data kuantitatif banjir/genangan yang meliputi: luas genangan, lama genangan,
kedalaman rata-rata genangan, dan frekuensi genangan berikut permasalahannya serta
hasil rencana induk pengendalian banjir wilayah sungai di daerah tersebut.
b. Data saluran dan bangunan pelengkap.
c. Data sarana drainase lainnya seperti kolam tandon, kolam resapan, sumur-sumur
resapan.

4. Data Hidrolika
a. Data keadaan, fungsi, jenis, geometri dan dimensi saluran, dan bangunan pelengkap
seperti gorong-gorong, pompa, dan pintu air, serta kolam tandon dan kolam resapan.
b. Data dimensi saluran (panjang, lebar, kedalaman, bahan, tahun dibangun, kemiringan
dasar saluran dan kapasitas
c. Data bangunan: pintu air, gorong-gorong, box culvert, stasiun pompa (jenis bangunan,
letak, tahun dibangun, dimensi, kapasitas, fungsi, saringan sampah).
d. Kondisi badan air penerima (elevasi permukaan air tertinggi, sedimentasi,
penyempitan).
e. Data arah aliran dan kemampuan resapan.

5. Data teknik lainnya


Data prasarana dan fasilitas kota yang telah ada dan yang direncanakan antara lain:
a. jaringan jalan kota, jaringan drainase, jaringan air limbah, TPS (Tempat Pengolahan
Sampah Sementara), TPA (Tempat Pemrosesan Akhir), jaringan telepon, jaringan
listrik, jaringan pipa air minum, jaringan gas (jika ada) dan jaringan utilitas lainnya.

6. Data non teknik


a. Harga bahan dan upah.
b. Analisis harga satuan setempat
c. Data kerugian akibat genangan.
d. Data pembiayaan termasuk biaya OP, peraturan-peraturan terkait, data
institusi/kelembagaan, data sosial ekonomi dan budaya (kearifan lokal), data peran serta
masyarakat serta data keadaan kesehatan lingkungan permukiman.

Survey yang perlu dilakukan dalam perencanaan ekodrainase terdiri atas (Permen PU No. 12,
2014):
1. Survey Topografi
a. Mengidentifikasi daerah perencanaan aliran polder/kolam detensi, retensi dengan
menggunakan/memanfaatkan peta Topografi skala 1 : 5000 s/d 1 : 25000.
b. Menentukan batas garis hidrologis masing-masing DTA/daerah tangkapan air (DPSal).
c. Melakukan pengukuran topografi untuk membuat peta situasi rencana sistem
retensi/polder dengan interval garis kontur ketinggian lahan 0,25 s/d 2.50 m atau skala
1:200 s/d 1:500.
d. Melakukan pengukuran situasi dan potongan memanjang untuk alur saluran drainase
inlet dan outlet dengan skala 1:1000, serta potongan melintang dengan skala 1:100 s/d
1:200.
e. Pengukuran harus menggunakan benchmark (BM) sistem pengukuran resmi
(Bakosurtanal, SDA dan Pelabuhan). Dalam hal tidak terdapat BM resmi maka dapat
dilakukan dengan menggunakan BM daerah setempat.
2. Survey Sosial, Ekonomi dan Lingkungan
a. Survey sosial dilakukan untuk melihat respon dari masyarakat terhadap perencanaan
pembangunan.
b. Survey ekonomi dilakukan untuk melihat respon dan dampak ekonomi akibat
perencanaan pembangunan.
c. Survey lingkungan dilakukan untuk melihat dampak lingkungan akibat perencanaan
pembangunan.

2.3.2 Delineasi Daerah Layanan

Daerah layanan pada perencanaan ekodrainase memperhitungkan daerah genangan dan


pengaliran. Daerah genangan adalah kawasan yang tergenang air akibat tidak berfungsinya
sistem drainase yang mengganggu dan/atau merugikan aktivitas masyarakat. Daerah
pengaliran merupakan daerah cakupan hujan yang terjadi didalam daerah pengaliran.
Penentuan daerah pengaliran sangat tergantung dari kontur permukaan. Luas daerah
permukaan ditentukan berdasarkan catchment area, yaitu daerah yang dipengaruhi atau
mewakili daerah tangkapan air hujan oleh alat pencatat curah hujan untuk suatu daerah aliran
sungai (DAS) (Permen PU, 2012).

Adapun prioritas penanganan drainase perkotaan umunya ditujukan untuk mengatasi masalah
genangan air, dengan mengutamakan hal-hal sebagai berikut (Permen PU, 2012):
1. Genangan yang menyebabkan kerugian dan kerusakan harta benda dan jiwa (terutama
untuk daerah yang padat penduduk)
a. Tinggi genangan > 0,5 manajemen;
b. Luas genangan >5% luas wilayah perkotaan;
c. Kepadatan penduduk di wilayah perkotaan > 100 jiwa/ha;
d. Frekuensi genangan paling sedikit terjadi 2 kali dalam setahun ;
e. Lama genangan > 2 jam.
2. Daerah yang tergenang memiliki nilai sosial, ekonomi dan politik yang tinggi dan strategis
3. Daerah dengan kepadatan lalulintas tinggi.
4. Penanganan harus seimbang terhadap besar investasi yang akan dilindungi.
Penetapan tingkat layanan yang sesuai untuk suatu sistem drainase, juga berperan dalam
mencegah gagalnya fungsi sistem drainase. Tingkat layanan yang optimal akan mengurangi
biaya investasi yang ditanamkan, selain menjamin tetap berfungsinya sistem drainase selama
umur pelayanan yang direncanakan. Untuk sistem drainase mikro disarankan periode ulang
rancangan diambil antara 1 sampai 5 tahunan. Periode ulang 1-2 tahunan dapat dipakai untuk
perencanaan sistem drainase adalah untuk permukiman, sedangkan periode ulang di atas dua
tahunan digunakan untuk daerah komersial dan industri, serta fasilitas-fasilitas transportasi.
Kegagalan sistem drainase disini dapat menimbulkan keruskan yang besar. Untuk sistem
drainase mikro, dengan resiko kerugian harta benda dan jiwa yang amat besar akibat
genangan yang disebabkan gagalnya sistem drainase, periode ulang desain diambil 1-25 tahun
(Zulkarnain, 2019).

2.3.3 Perhitungan Intensitas Hujan Maksimum untuk PUH 30 tahun dan PUH 10
tahun
Intensitas hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana
air tersebut berkonsentrasi. Satuan untuk intensitas hujan adalah (mm/jam), yang artinya
tinggi curah hujan yang terjadi sekian mm dalam kurun waktu 1 jam.
a. Formula Talbot
Digunakan untuk hujan jangka pendek (hujan selama 5 menit sampai 2 jam).
…………………………………………………………….………………..(2.5)
2
∑( . ) ∑ ( ) ∑ ( 2. ) ∑ ( )
2 ………………………………………..……..…………..(2.5)
(∑ )- ∑ ( ) ∑ ( )

2
∑( ) ∑( . )- (∑ .)
2 …………………………………………………………..…..(2.5)
(∑ )- ∑ ( )∑( )

Dimana:
n = banyak data
I = intensitas hujan (mm/jam)
t = lama hujan (menit)

b. Formula Sherman
Digunakan untuk hujan dalam jangka pendek tapi mungkin juga cocok untuk hujan lebih dari
2 jam, t dalam menit.
…………………………………………………………………..………..…..(2.5)

2
∑( )∑( ) -∑( )∑( )
2 ……………………………..…..(2.5)
∑( ) -∑( )∑( )
∑( )∑( )- ∑( )
2 ……………………………………..…..…..(2.5)
(∑ ) -∑( )∑( )
Dimana:
n = banyak data
I = intensitas hujan (mm/jam)
t = lama hujan (menit)

c. Formula Ishiguro
Digunakan untuk hujan dalam jangka pendek, t dalam menit.
……………………………………………………………………...…….(2.23)

∑ ( √ ) ∑ ( )2 - ∑ ( 2 √ ) ∑ ( )
………………………………………..……..…..(2.24)
( ∑ )2 - ∑ ( ) ∑ ( )

∑ ( ) ∑ ( ) ∑ ( √ )- ( ∑ 2 √ )
…………………………………………..…..…..(2.25)
( ∑ )2 - ∑ ( ) ∑ ( )
Dimana:
n = banyak data
I = intensitas hujan (mm/jam)
t = lama hujan (menit)

d. Formula Mononabe
Digunakan untuk pencatatan curah hujan harian (24 jam), t dalam jam. Formula ini sering
digunakan di Indonesia.

(24 )2 3 …………………………………………….………………..…....(2.26)
24

Dimana:
R = curah hujan maksimum selama 24 jam
t = lama hujan (jam)

Curah hujan harian maksimum dapat diperkirakan dengan berbagai metoda. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut:
 Metoda Gumbel
 Metoda Log Pearson Tipe III
 Metoda Iwai Kadoya

Periode ulang hujan adalah waktu berulang kembalinya suatu keadaan sifat-sifat jatuhnya
hujan. Berdasarkan jenis sistem drainasenya, PUH desain dapat ditentukan sebagai berikut
(Suhendro, 1997):
 Sistem drainase tersier, yaitu bagian sistem yang terdiri atas: street gutter (got), saluran
tepi jalan, parit, dll. Debit aliran saluran ini didesain untuk PUH 2 atau 5 tahun, tergantung
pada tata guna lahannya.
 Sistem drainase sekunder, terdiri atas saluran dan parit yang meneruskan aliran dari saluran
tersier. Debit aliran saluran ini didesain untuk PUH 5 atau 10 tahun.
 Sistem saluran primer, didesain untuk meminimumkan kerusakan akibat limpasan banjir
PUH 100 tahun. Namun karena alasan ekonomis sistem ini umumnya didesain untuk PUH
10 – 20 tahun.
2.3.5 Pemilihan Strategi Infrastruktur Hijau yang Cocok untuk Daerah Layanan

1. Perkerasan Berpori (Permeable Pavement)


Kriteria desain Perkerasan Permukaan dengan Lapisan Berpori (Permeable Pavement)
(Everett, G, 2015):
 Kemampuan menyimpan atau menyaring runoff min. 100% debit runoff;
 Pengurangan TSS min. 80%;
 Kapasitas infiltrasi min. 20 inch/jam;
 Kemiringan area tampungan hujan maks. 5%;
 Rasio maks. area layanan terhadap praktek GI= 3:1;
 Area perkerasan penampung limpasan air hujan harus kering dalam 48 jam;
 Material perkerasan harus dapat menahan beban sesuai kebutuhan fungsi lahan;
 Reservoir batuan ditutupi dengan material geotekstil pada bagian atas dan sampingnya.
Batuan yang digunakan untuk mengisi reservoir memiliki rasio ruang kosong;
(void) 40%-50% Untuk jenis perkerasan filtrasi, gunakan pipa underdrain berlobang
dengan diameter dalam pipa 6 inch;
 Underdrain harus memiliki cleanout port yang bisa diakses dari permukaan tanah.
2. Infiltrasi bawah permukaan (subsurface infiltration)
Kriteria desain Infiltrasi Bawah Permukaan (Subsurface Infiltration) (Everett, G, 2015):
 Kapasitas infiltrasi bawah permukaan min. 100% dari debit runoff ;
 Menyisihkan 80% TSS ;
 Kemiringan area tangkapan hujan maks. 15% ;
 Rasio area tangkapan hujan terhadap praktek GI infiltrasi bawah permukaan = 10:1 ;
 Sistem harus bisa kering dalam 72 jam;
 Perhatikan perhitungan beban unit GI berdasarkan peruntukan lahan permukaannya.

Komponen desain Infiltrasi Bawah Permukaan (Subsurface Infiltration) (Everett, G, 2015):


a. Pretreatment
 Desain berdasarkan debit puncak runoff;
 Digunakan untuk menangkap sampah dan sediment yang terbawa oleh air hujan,
mencegah penyumbatan dan mengurangi kebutuhan perbaikan;
 Bisa berupa grit chambers, separator, saringan, peralatan penyisihan sedimen dan
sampah yang mengapung.
b. Kontrol inlet
 Terdiri atas unit pembagi aliran masuk ke unit infiltrasi bawah permukaan.
c. Reservoir penyimpanan air hujan
 Dapat berupa reservoir berisi batuan, parit panjang berisi pipa, tangki plastik, tangki
beton, dan lain-lain.;
 Ukuran ruang kosong di dalam tangki harus cukup untuk menampung debit hujan
desain.
d. Underdrain
 Digunakan jika kapasitas tangki infiltrasi bawah permukaan tidak mampu menampung
seluruh debit runoff;
 Menggunakan pipa berlobang dengan diameter dalam pipa 6 inch;
 Memiliki cleanout port yang mudah diakses dari permukaan tanah;
e. Kontrol outlet
 Memenuhi persyaratan rentang waktu untuk mengeringkan unit GI;
 Mengontrol debit keluar melalui underdrain;
 Memby-pass limpahan runoff pada saat kejadian hujan ekstrim;
 Berupa pipa outlet yang dipasang pada elevasi tertentu, orifices, dan lain-lain.

- pada elevasi tertentu,orifices, dll.

3. Atap Bervegetasi (Green Roofs)


Kriteria desain atap bervegetasi (green roofs):
 Kapasitas tampung hujan min. 100%. Jika kurang, maka aplikasikan bersama strategi GI
lain secara seri;
 Perhitungan beban atap harus berdasarkan beban maks. yang harus ditahan atap pada
kondisi jenuh air;
 Akses untuk perawatan dan perbaikan harus disediakan;
 Vegetasi harus memiliki toleransi tinggi terhadap genangan, variasi temperatur dan angin;
 memperhitungkan layout untuk kebutuhan penanaman vegetasi dan drainase/talang air,
serta adanya kemungkinan kegagalan drainase;
 Kemiringan atap yang melebihi 5% membutuhkan stabilisasi tambahan. Kemiringan atap
maksimum yang diijinkan untuk praktek green roofs = 17%;
 Konstruksi atap datar lebih menguntungkan untuk menahan lebih banyak air hujan
Memperhitungkan bahwa beberapa vegetasi membutuhkan penyiraman berkala.

Komponen desain green roofs (Carter, 2007):


a. Atap:
 harus mampu menahan beban pada keadaan jenuh dan beban personil yang akan
melaksanakan praktik ini;
 batas penanaman vegetasi atau praktek green roofs perlu sedikit mundur dari batas tepi
atap.
b. Lapisan penahan air (kedap air)
 dipasang langsung di atas atap sehingga mencegah kerusakan atap dan
kebocoran air;
 berupa lembaran membran monolithic atau thermoplastic;
 Lapisan pelindung bisa dipasang lebih dari satu.
c. Lapisan penghalang akar tanaman:
 bisa berupa penghalang fisik atau kimia.
d. Sistem drainase
 terdiri atas media berpori (untuk menampung dan mengalirkan air)
 di atas media diberi lapisan penyaring yang mencegah penyumbatan pada media oleh
tanah halus.
 Media drainase dapat tersusun dari batuan kecil, material recycle, atau material lain
yang dapat menyimpan dan mengalirkan air .
e. Tanah
 Ditempatkan di atas sistem drainase;
 Berupa media tanam yang memiliki permeabilitas tinggi dan tekstur ringan;
 Material media tanam terdiri atas: pasir, batuan, pecahan batu bata, humus, kompos dan
tanah;
 Biasanya sistem intensif menggunakan lebih banyak tanah;
 Karakteristik kimia tanah yang digunakan (pH, nutrien, dan lain-lain) disesuaikan
dengan jenis tanaman yang akan digunakan untuk praktek green roofs;
 Porositas dan laju infiltrasi tanah harus cocok dengan kebutuhan untuk menyimpan dan
mengalirkan air hujan;
 Untuk kemiringan atap >5%, diperlukan upaya mengontrol erosi dan mempertahankan
stabilitas praktek green roofs.
f. Tanaman
 Ditentukan berdasarkan iklim mikro di atas atap (kecepatan angin yang besar, adanya
siklus antara periode tergenang dan periode kering), tujuan/target desain, pertimbangan
pemeliharaan;
 Vegetasi dan performance green roofs membutuhkan waktu tipikal 12 bulan untuk
berfungsi sesuai peruntukannya.
4. Pengumpulan dan Penyimpanan Air (Rainwater Harvesting)
Kriteria desain rainwater harvesting (Everett, G, 2015):
 Air yang terkumpul di tangki didesain untuk dimanfaatkan dalam 72 jam sehingga tangki
siap digunakan untuk menampung debit hujan berikutnya, atau sediakan tangki cadangan;
 Gunakan tangki berpenutup atau sediakan jaring penutupnuntuk menghindari masalah
nyamuk dan serangga lain;
 Semua komponen fasilitas pengumpul air ke tangki harus memiliki kemiringan min. 1/8
inch/ft (1%).

Komponen desain rainwater harvesting (Everett, G, 2015):


a. Pretreatment/saringan inlet
 Berfungsi untuk menangkap sampah dan sedimen, mencegah penyumbatan di tangki
dan meminimalkan perawatan/perbaikan sistem;
 Unit pretreatment biasa digunakan di tangki penampungan hujan yang ditempatkan di
bawah tanah atau yang ditempatkan di tower;
 Unit pengolahan ditempatkan setelah inlet, tetapi sebelum tangki;
 Didesain berdasarkan debit puncak hujan;
 Berupa: sediment/grit chamber, separator, media penyaring, atau alat penyisihan
sedimen atau sampah yang mengapung;
 Akses untuk perawatan dan perbaikan harus mudah.

b. Tangki penampung hujan


 Ukuran min = perhitungan desain hujan;
 Jika ditempatkan di lantai teratas bangunan, perhitungkan kemampuan lantai untuk
menampung beban;
 Jika ditempatkan di atas tanah atau di bawah tanah, perhitungkan kebutuhan pompa;
 Penempatan tangki di bawah permukaan tanah harus di lokasi yang bebas utilities,
batuan, dan halangan lain.

c. Saringan/Treatment
 Diaplikasikan tergantung kualitas air hujan dan persyaratan kebutuhan kualitas air
operasional;
 Bisa berupa unit klorinasi jika air digunakan untuk keperluan industri yang umum (tidak
sensitif terhadap paparan klorin yang bisa menyebabkan korosi).

d. Outlet/Overflow
 Digunakan untuk mem-bypass sistem penampungan air hujan ketika tangki penampung
hujan sudah penuh.

2.3.6 Perhitungan Kapasitas Infrastruktur Hijau

Sistem drainase berwawasan lingkungan meniru proses alam dimana limpasan air hujan
dikelola pada sumbernya dengan pengendali skala-mikro terdesentralisasi yang terdistribusi
secara merata. hidrologi suatu kawasan prapembangunan dengan menggunakan perencanaan
dan penerapan yang efektif untuk menangkap, menyaring, menyimpan, menguapkan,
menahan dan meresapkan limpasan air hujan dekat dengan sumbernya dengan cara
mengarahkan limpasan langsung ke daerah bervegetasi dengan tanah permeabel, melindungi
vegetasi asli dan ruang terbuka dan mengurangi jumlah permukaan keras dan pemadatan
tanah (Arsana, 2020).

Perhitungan kapasitas infrastruktur hijau salah satunya dapat dengan menghitung kapasitas
tampungan saluran primer (K) dengan formula sebagai berikut:

K = P × L ×T……………………………………………………………..(2.27)

Volume genanngan awal (Vrawal)

Vrawal = Va – K……………………………………………………..………..(2.28)

Dimana:
K = Kapasitas tampungan saluran primer (K) (m3)
P = Panjang (m)
L = Lebar (m)
T = Tinggi (m)
Vrawal = Volume genanngan awal (m3)

2.3.7 Perhitungan Debit Limpasan yang Dialirkan ke Saluran Drainase Konvensional

Dalam merencanakan pembuangan air yang perlu diketahui adalah banyaknya air hujan dan
limbah yang mengalir ke saluran-saluran pembuangan atau debit pengaliran, air hujan yang
dialirkan ke pembuangan sebanding dengan luas daerah tangkapan hujan dan jumlah curah
hujan, disamping adanya penguapan dan hilangnya air hujan karena meresap ke dalam tanah.
Namun hanya sebagian dari hujan yang jatuh pada daerah tangkapan akan menjadi aliran
langsung air hujan. Faktor-faktor yang mempengaruhi debit pengaliran air hujan adalah
(Arsana, 2020):
1. Curah hujan, adalah faktor tunggal yang paling penting, yang mempengaruhi debit dari
suatu pengaliran air hujan. Meskipun jumlah curah hujan adalah penting, tetapi distribusi
air hujan menurut waktu dan ruang juga sama pentingnya. Hujan yang terjadi selama
musim tanam, mungkin kontribusinya sangat kecil dan hujan dengan intensitas rendah
dapat meresap ke dalam tanah dan menghasilkan aliran permukaan yang sangat kecil.
2. Topografi dan geologi setempat juga mempengaruhi kecepatan dan jumlah aliran
permukaan. Kemiringan tanah yang curam dan lapisan kedap air meningkatkan kecepatan
dan debit pengaliran, sementara lapisan tanah yang tembus air (pervious) dan rata (flat)
memperbesar kemungkinan terjadinya peresapan. Pengaruh kedap air maupun tembus air
dari tanah terhadap pengaliran air permukaan dinyatakan dalam angka pengaliran, yaitu
presentase jumlah air hujan yang masuk ke dalam selokan terhadap jumlah air yang jatuh.
Angka pengaliran ini dipengaruhi oleh:
a. jenis permukaan yang dilalui air hujan,
b. kemiringan tanah/tempat yang dilalui oleh air hujan, semakin besar kemiringan semakin
cepat air yang meresap. Jenis tanah yang sama, tetapi dengan kemiringan yang berbeda
akan memberikan angka pengaliran yang berbeda pula,
c. Iklim, pada waktu musim penghujan yang panjang, angka pengaliran lebih jecil
daripada di akhir musim penghujan, karena pada akhir musim penghujan tanah telah
jenuh dengan air.
3. Penguapan (evaporation), adalah fungsi dari temperatur, kecepatan angin dan kelembaban
relatif. Penguapan dari permukaan tanah sangat jauh kurang dibandingkan dengan
penguapan air dari permukaan air terbuka
4. Pencegatan (interception), yaitu air hujan dicegat sebelum jatuh ke atas tanah, termasuk
disini air hujan hujan yang tertahan di atas daun-daun tanaman dan permukaan yang lain
dan tidak pernah jatuh ke tanah. Jumlahnya dapat cukup berarti dalam setahun, pada
daerah yang tertutup vegetasi cukup rapat, namun karena air yang tertahan ini akhirnya
menguap, dimasukkan ke dalam kategori evapotranspirasi. Dalam jangka pendek,
interception dapat mengurangi puncak pengaliran permukaan (run-off peaks) cukup besar,
karena kebanyakan penghambatan terjadi pada awal hujan. Dalam pengurangan awal dari
curah hujan, atau penampungan di daerah cadangan atau peresapan.
5. Penampungan di cekungan (depression storage), yaitu air yang tertahan di tempat yang
rendah selama terjadi pengaliran di permukaan tanah. Air ini selanjutnya akan menguap
atau meresap kemacetan dalam tanah. Seperti halnya interception, maka depression
strorage mempunyai pengaruh mengurangi jumlah pengaliran permukaan pada awal curah
hujan. Pengaruhnya pada luas daerah pengaliran (catchment area) dan aliran puncak (peak
flow) relatif kecil.
6. Peresapan (infiltration), dipengaruhi oleh jenis tanah, intensitas curah hujan, kondisi
permukaan, dan tumbuh-tumbuhan/vegetasi (yang dapat mengubah porositas tanah).
Tahapan perhitungan debit limpasan yang dialirkan ke saluran drainase konvensional adalah
sebagai berikut:

1. Perkiraan Debit Puncak (Kapasitas Pengaliran)


Untuk luas daerah pengaliran sampai 13 km2 , menggunakan metoda rasional :
× × × ……………………………………………………………………..(2.29)
Sedangkan untuk luas daerah pengaliran lebih besar dari 13 km2, menggunakan persamaan
rasional yang dimodifikasi :
× × × × ………………………………………………………………..(2.3 )
Dimana:
Q = debit puncak (m3/det)
f = 1/360
C = koefisien pengaliran
Cs = koefisien storasi (penampungan)
A = luas DPS (ha)
I = intensitas hujan maksimum selama waktu yang sama dengan lama waktu
konsentrasi (mm/jam)

2. Waktu Konsentrasi
Waktu Konsentrasi adalah waktu yang diperlukan oleh air hujan untuk mengalir dari titik
terjauh menuju suatu titik tertentu yang ditinjau pada daerah pengaliran (titik pengamatan),
atau waktu yang dihitung dari mulai turun hujan sampai keadaan dimana profil saluran yang
ditinjau mencapai debit maksimum.
…………………………………………………………………………..(2.31)
Lamanya waktu melimpah dipermukaan tanah diperoleh dengan persamaan :
6
6 33 ( × )
4 3 ……………………………………………………….………..(2.32)
( ) ( )
Dimana:
to = waktu limpasan (menit)
Lo = panjang limpasan (meter)
n = koefisien kekasaran permukaan tanah
So = kemiringan daerah limpasan (%)
Co = koefisien limpasan permukaan tempat air menyerap
Ie = intensitas hujan (mm/jam), dimana tc = te, (te = R1,92/(1,11R)
Waktu yang diperlukan oleh air hujan untuk mengalir dalam saluran :
……………………………………………………………………………..(2.33)
6
Dimana:
td = waktu yang diperlukan untuk mengalir di dalam saluran (menit)
Ld = panjang saluran (meter)
vd = kecepatan rata-rata dalam saluran (m/detik)
60 = angka konversi (1 menit = 60 detik)
Harga vd diperoleh dengan persamaan :
35( )1 2 ( ) 1 2

Dimana:
vd = kecepatan rata-rata dalam saluran (m/detik)
Ld = panjang saluran (meter)
R = tinggi hujan (mm/hari)
A = luas DPS (ha)
S = kemiringan dasar saluran (%)

3. Koefisien Pengaliran
Koefisien pengaliran merupakan perbandingan antara besarnya limpasan aliran terhadap
besarnya hujan yang menyebabkan limpasan tersebut.
Besarnya koefisien pengaliran dipengaruhi beberapa faktor sebagai berikut :
– Tata guna lahan Semakin banyak bangunan di atas tanah asli maka semakin besar air
hujan yang melimpas karena semakin sedikit yang berinfiltrasi sehingga koefisien
pengaliran semakin besar.
– Kemiringan tanah Semakin besar kemiringan tanah, aliran akan semakin cepat sehingga
kesempatan berinfiltrasi lebih sedikit dibanding limpasan dan koefisien pengaliran (C)
semakin besar.
– Struktur tanah Semakin besar porositas tanah (porositas tanah dipengaruhii oleh ukuran
butirnya), semakin banyak yang dapat berinfiltrasi sehingga koefisien pengaliran
semakin kecil.
– Kelembaban tanah Jika kadar kelembapan lapisan teratas tinggi, maka kemampuan
berinfiltrasi kecil karena kejenuhan tanah meningkat dan koefisien aliran semakin besar.
Harga C berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan faktor-faktor tersebut. Pada
suatu daerah dengan tata guna lahan yang berbeda-beda, maka koefisien pengaliran ditetapkan
sebagai berikut:
∑( )
∑( )
…………………………………………….………………..……....…..(2.34)

Besarnya koefisien pengaliran untuk berbagai tata guna lahan dapat dilihat pada tabel berikut :
4. Koefisien Storasi
Koefisien storasi digunakan pada metode rasional yang dimodifikasi, untuk perhitungan debit
aliran pada daerah pengaliran saluran (DPS) yang lebih luas dari 13 km2 (1300 ha).

…………………….………………………………………..…..…..…..(2.35)

Dimana :
tc = waktu konsentrasi (menit)
td = waktu yang diperlukan untuk mengalir dalam saluran (menit)

2.4 Gambar Desain

Berikut adalah gambar desain Infrastruktur Hijau (Green Infrastructure):


1. Bioretensi

Gambar 2.1 Bioretensi


Gambar 2.2 Potongan Bioretensi Tanpa Underdrain

Gambar 2.3 Potongan Bioretensi Dengan Underdrain

2. Basin Infiltrasi

Gambar 2.4 Basin Infiltrasi


Gambar 2.5 Potongan Basin Infiltrasi

3. Saringan pasir

Gambar 2.6 Saringan pasir


Gambar 2.7 Potongan Saringan pasir

4. Perkerasan Berpori

Gambar 2.8 Perkerasan berpori

Gambar 2.9 Potongan Perkerasan berpori


5. Subsurface Chamber

Gambar 2.10 Subsurface chamber

Gambar 2.11 Potongan Subsurface chamber

6. Atap Bervegetasi (Green Roofs) Sistem Ekstensif

Gambar 2.12 Atap Bervegetasi (Green Roofs) Sistem Ekstensif


Gambar 2.13 potongan Atap Bervegetasi (Green Roofs) Sistem Ekstensif

7. Sistem Penampung Air (Bawah tanah)

Gambar 2.14 Sistem Penampung Air (Bawah tanah)

Gambar 2.15 Potongan Sistem Penampung Air (Bawah tanah)


8. Sistem Kontrol Outlet

Gambar 2.16 Sistem Kontrol Outlet

9. Struktur Kontrol Overflow

Gambar 2.17 Sistem Kontrol Overflow

Struktur Kontrol Cleanout

Gambar 2.18 Struktur Kontrol Cleanout


2.5 Proses Konstruksi dan Kebutuhan Maintenance

Kegiatan Operasi dalam rangka memanfaatkan prasarana drainase secara optimal. Kegiatan
operasi diantaranya pengaturan bangunan drainase saluran drainase primer, sekunder, tersier,
gorong-gorong, lubang kontrol dan lain-lain. Hal ini bertujuan untuk mengeluarkan air
buangan dari wilayah pemukiman, dan mengalirkan air buangan ke saluran pembuang hingga
badan air penerima. Kegiatan pemeliharaan yaitu usaha-usaha untuk menjaga agar prasarana
drainase selalu berfungsi dengan baik selama mungkin, selama jagka waktu pelayanan yang
direncanakan. Ruang lingkup pemeliharaan sistem drainase meliputi (Suhendro, 1997):
a. Kegiatan pengamanan dan pencegahan Kegiatan ini merupakan usaha pengamanan atau
menjaga kondisi dan/atau fungsi dari hal-hal yang dapat mengakibatkan rusaknya jaringan.
Kegiatan ini meliputi, antara lain:
- Inspeksi rutin.
- Melarang membuang sampah di saluran/kolam.
- Melarang merusak bangunan drainase.
b. Kegiatan perawatan Kegiatan perawatan adalah usaha-usaha untuk mempertahankan
kondisi dan/atau fungsi sistem tanpa ada bagian konstruksi yang diubah/diganti

Anda mungkin juga menyukai