Anda di halaman 1dari 36

TUGAS HIDRAULIKA LANJUT

RANGKUMAN MODUL 08 DRAINASE BERWAWASAN


LINGKUNGAN (ECODRAIN) DAN STUDI KASUS

Oleh :
Ni Putu Yuni Ardani
1981511040

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
DRAINASE BERWAWASAN LINGKUNGAN
(ECODRAIN)

1. Pendahuluan

Drainase yang berasal dari bahasa Inggris drainage mempunyai arti mengalirkan,
menguras, membuang, atau mengalihkan air. Dalam bidang teknik sipil, drainase secara
umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik
yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi, dari suatu kawasan/lahan
sehingga fungsi kawasan/lahan tidak terganggu. Drainase dapat juga diartikan sebagai usaha
untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas. Jadi drainase
menyangkut tidak hanya air permukaan tapi juga air tanah.
Secara umum sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air
yang berfungsi untuk mengurangi dan / atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau
lahan sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Dirunut dari hulunya, bangunan
sistem drainase terdiri dari saluran penerima (interceptor drain), saluran pengumpul (collector
drain), saluran pembawa (conveyor drain), saluran induk (main drain), dan badan air
penerima (receiving waters). Di sepanjang sistem sering dijumpai bangunan lainnya, seperti
gorong- gorong, siphon, jembatan air (aquaduct), pelimpah, pintu-pintu air, bangunan terjun,
kolam tando, dan stasiun pompa. Pada sistem yang lengkap, sebelum masuk ke badan air
penerima, air diolah dahulu di instalasi pengolah air limbah (IPAL), khususnya untuk sistem
tercampur. Hanya air yang telah memenuhi baku mutu tertentu yang dimasukkan ke badan air
penerima, sehingga tidak merusak lingkungan.

2. Permasalahan Drainase Perkotaan


Urbanisasi yang terjadi di hampir seluruh kota besar di Indonesia akhir-akhir ini
menambah beban daerah perkotaan menjadi lebih berat. Kebutuhan akan lahan, baik untuk
permukiman maupun kegiatan perekonomian meningkat, sehingga lahan yang berfungsi
sebagai retensi dan resapan menurun, akibatnya aliran permukaan bertambah besar (Gambar
2-1). Perubahan fungsi lahan dari hutan (kawasan terbuka) menjadi daerah terbangun juga
mengakibatkan peningkatan erosi. Material yang tererosi terbawa serta ke dalam saluran dan
sungai, mengakibatkan pendangkalan dan penyempitan.
Oleh karena itu setiap perkembangan kota harus diikuti dengan evaluasi dan/atau
perbaikan sistem drainase secara menyeluruh, tidak hanya pada lokasi pengembangan tetapi
juga daerah sekitarnya yang terpengaruh. Sebagai contoh pengembangan suatu kawasan
permukiman di daerah hulu suatu sistem drainase, maka perencanaan drainasenya tidak hanya
dilakukan pada kawasan permukiman tersebut, tetapi sistem drainase di hilirnya juga harus
dievaluasi dan/atau diredisain jika diperlukan.
Jika hal itu tidak dilakukan, maka instansi atau pengembang yang terlibat harus
mampu menjamin bahwa keluaran air dari kawasan yang dikembangkan tidak ada perubahan
antara sebelum dan sesudah dikembangkan. Cara yang dapat ditempuh adalah dengan
menyediakan resapan-resapan buatan, seperti sumur resapan, kolam resapan, kolam tando
sementara, dan sebagainya.

Gambar Pengaruh urbanisasi pada daerah tangkapan air terhadap laju


limpasan

3. Pengelolaan Drainase Secara Terpadu Berwawasan Lingkungan (Ecodrain)


Maryono (2001) yang mengusulkan Konsep Eko-Drainase (Eco-Drainage Concept)
yaitu, “Release of excess water to the rivers at an optimal time which doesn’t cause hygenic
and flood problems”; Eko-Drainase diartikan suatu usaha membuang/mengalirkan air
kelebihan ke sungai dengan waktu seoptimal mungkin sehingga tidak menyebabkan
terjadinya masalah kesehatan dan banjir di sungai terkait (akibat kenaikan debit puncak dan
pemendekan waktu mencapai debit puncak). Dari pengertian ini dapat diuraikankan ada 2
(dua) pendekatan yang digunakan dalam konsep eko-Drainase yakni pendekatan eko-
hidraulik, yakni pengelolaan drainase yang dilakukan dengan memperhatikan fungsi hidraulik
dan fungsi ekologi, serta pendekatan kualitas air, yakni upaya meminimalkan dan atau
meniadakan pencemaran air yang dapat menyebabkan masalah kesehatan bagi manusia dan
flora-fauna.
Dalam dua dekade terakhir, telah terjadi pergeseran konsep dan paradigma
pengelolaan system drainase perkotaan, dari konsep konvensional ke konsep eko-drainase
atau konsep drainase berwawasan lingkungan; dari paradigma mengalirkan dan/atau
membuang kelebihan air (hujan) menjadi mengelola air hujan dan limpasannya. Perubahan
paradigma ini bertolak dari pemikiran bahwa air hujan adalah suatu sumberdaya, dengan
demikian sudah selayaknya harus dikelola, tidak hanya mempertimbangkan daya gunanya
dan/atau daya rusaknya saja, akan tetapi juga perlu mempertimbangkan aspek
keberlanjutannya.
Dengan demikian, berbagai teknologi yang dikembangkan harus diarahkan untuk
mempertahankan keberadaan air hujan dan limpasannya selama mungkin ada daerah
tangkapannya, dalam rangka mengoptimasi daya gunanya dan menjaga keberlanjutannya
sekaligus mengendalikan daya rusaknya. Pergeseran paradigma pengelolan air hujan dan
limpasannnya secara lengkap seperti dalam Tabel 3.1 berikut. Sampai saat ini telah
dikembangkan beberapa konsep pengelolaan sistem drainase perkotaan berbasis pengelolaan
air hujan dan limpasannya, diantaranya: LID (Low Impact Development), yang
dikembangkan di Amerika Serikat; SUDS (Sustainable Urban Drainage System), yang
dikembnagkan di Inggris; dan WSUD (Water Sensitive Urban Design), serta IUSM
(Integrated Urban Stormwater Management), yang dikembangkan di Australia.
Tabel 3-1. Pergeseran Paradigma Pengelolaan Air Hujan dan Limpasannnaya
Drainase Konvensional: Eko-drainase:
Drainase Pematusan Drainase Berkelanjutan
sistem pengelolaan genangan sistem pengelolaan ekosistem
mengelola air hujan dan meniru proses
membuang air hujan secepat-cepatnya
alam
hanya memperhatikan puncak banjir air hujan terpadu dengan tata guna lahan
fokus pada hujan ekstrim mempertimbangkan volume limpasan
bersifat reaktif (pemecahan masalah) bersifat proaktif (memecahkan masalah)
berbasis teknologi berbasis tim multidisiplin
pengambilan keputusan sepihak keputusan berdasar konsensus
kepemilikan pada pemerintah kemitraan dengan semua pihak

3.1. Prinsip Ecodrain


Ecodrain atau Sistem Drainase Perkotaan Berkelanjutan adalah konsep yang
mempertimbangkan faktor lingkungan dan sosial dalam membuat keputusan tentang drainase.
Ecodrain memperhitungkan kuantitas dan kualitas limpasan, dan nilai layanan dari air
permukaan dalam ekosistem perkotaan. Berbeda dengan drainase perkotaan konvensional,
yang justru menjadi penyebab banjir, polusi dan kerusakan lingkungan, dan terbukti tidak
berkelanjutan. Ecodrain diharapkan dapat menjamin keberlanjutan dibandingkan system
drainase konvensonal, karena:
mengendalikan laju limpasan, mengurangi dampak urbanisasi terhadap debit banjir;
1) melindungi atau memperbaiki kualitas air;
2) lebih memperhatikan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat setempat;
3) menyediakan habitat bagi hewan dan tumbuhan liar bagi badan air di perkoaan; dan
4) mendorong berlangsungnya imbuhan air tanah.
melalui cara-cara:
1) mengelola limpasan sedekat mungkin dengan tempat di mana hujan jatuh;
2) mengelola potensi pencemaran pada sumbernya saat ini dan di masa yang akan
datang; dan
3) melindungi sumber daya air dari sumber pencemar.
Konsep ecodrain merupakan salah satu unsur dari konsep pengelolaan hujan terpadu
(Integrated Stormwater Management). Pengelolaan secara integratif ini bukan hanya diartikan
secara administratif dari hulu ke hilir, namun juga harus diartikan secara substantif
menyeluruh menyangkut seluruh aspek yang berhubungan dengan Drainase, yang meliputi
semua aspek; aspek teknis operasional pengelolaan Drainase, kelembagaan/institusi,
keuangan/pembiayaan, peran masyarakat dan atau swasta dan hukum peraturan.
Pengelolaan Air Hujan Perkotaan Terpadu (PAHPT) mempunyai konsep sbb.:
1) mereduksi banjir – meminimalkan tinggi puncak banjir yang berasal dari DTA
perkotaan;
2) meminimalkan pencemaran – melalui pencegahan, pengumpulan, dan/atau
pengelolaan bahan pencemar;
3) menampung limpasan hujan – pemanenan dan pemanfaatan hujan dan limpasannya di
dalam kawasan atau di dekat DTA perkotaan;
4) memperbaiki lansekap perkotaan – tidak menyembunyikan badan air dari pandangan
public dengan cara memadukan fungsinya dengan lansekap perkotaan dan dengan
runag terbuka hijau; dan
5) menekan investasi untuk drainase – perpaduan inovatif antara sistem pengelolaan
limpasan hujan dengan ekosistem perkotaan untuk mengurangi biaya infrastruktur
3.2 Manfaat Ecodrain
Dengan pelaksanaan ecodrain akan memberikan manfaat baik jangka pendek, menengah
maupun jangka panjang, sebagai berikut:
1) Mengurangi ketinggian muka air banjir pada jaringan drainase;
2) Pengaturan aliran yang lebih baik akan mengurangi resiko genangan;
3) Melindungi sungai dan anak sungai dari erosi dan banjir;
4) Suplai air tanah (Groundwater recharge);
5) Menyediakan tempat untuk keberlangsungan habitat air/keuntungan ekologis;
6) Meningkatkan jumlah biota air;
7) Mengurangi waterborne diseases;
8) Memproteksi air yang dapat digunakan untuk kepentingan rekreasi;
9) Mengurangi kemungkinan kerusakan properti akibat genangan;
10) Meningkatkan nilai estetika untuk perumahan lokal (local residence);
11) Meningkatkan nilai NJOP tanah dan bangunan untuk wilayah yang tidak terkena
genangan;
12) Memberikan pendidikan kepada masyarakat; dan
13) Operasi dan Pemeliharaan yang lebih mudah.
3.3 Perencanaan Sarana Ecodrain
A. Teknologi Pemanenan Air Hujan
Sejauh ini hujan masih banyak dipandang sebagai sumber bencana, kelebihan hujan
menimbulkan banjir, tidak ada hujan menimbulkan kekeringan. Kondisi itu harus
diubah dengan cara mengembangkan fasilitas pemanenan air hujan (PAH). Debit
banjir dapat dikurangi dengan PAH sehingga ketersediaan air dapat ditingkatkan. Ada
beberapa jenis PAH yang dapat dikembangkan untuk memanen air hujan, yang secara
umum dapat dikelompokkan menjadi dua grup, yaitu (Gambar dibawah ini):
 Tipe tampungan atau simpanan
 Tipe resapan.
Gambar Fasilitas Pemanenan Air Hujan (PAH)

Fasilitas PAH Tipe Tampungan


Berdasarkan lokasinya dibedakan menjadi penyimpanan di dalam lokasi (in-site
storage), dan penyimpanan di luar lokasi (off-site storage). Penyimpanan di dalam lokasi
dapat berada di permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah . Fasilitas PAH di
Kawasan padat, di mana lahan sangat terbatas, dapat digunakan tipe tampungan individual
berupa tanki air dari drum bekas, tanki fiber, atau bahan. Air hujan dari atap ditampung di
tanki air, dan dapat dimanfaatkan untuk menyiram tanaman atau mencuci mobil, atau untuk
kebutuhan industri. Untuk kawasan pedesaan, di perkampungan dapat dikembangkan
belumbang atau saluran buntu di pekarangan. Saluran ini berfungsi menyimpan air sekaligus
pengisian air tanah. Dengan demikian ketersediaan air tanah akan selalu terjaga. Demikian
juga di lahan pertanian, dapat dikembangkan lumbung-lumbung air, embung, waduk, parit
dan lain-lain, yang berfungsi menangkap air hujan sebanyak-banyaknya. Tampungan-
tampungan baru tersebut juga merupakan upaya untuk melakukan konservasi di hulu yang
dimaksudkan untuk mempertahankan dan memelihara keberadaan, sifat dan fungsi
sumberdaya air sehingga dapat lebih dijamin ketersediaan dan kualitas air untuk memenuhi
berbagai kebutuhan secara berkesinambungan baik bagi generasi sekarang maupun akan
datang.
Gambar Tangki Penampungan Air Hujan untuk Rumah Tangga

Tangki Penampungan Air Hujan di Bawah Permukaan Tanah


Fasilitas PAH Tipe Resapan
Tipe PAH ini tidak perlu lahan khusus. Lahan untuk PAH masih dapat difungsikan untuk
keperluan lain. Taman kota, median jalan, dan taman parkir juga dapat dimanfaatkan untuk
peresapan maupun tampungan sementara dalam bentuk bioretensi. Peresapan air hujan ke
bawah tanah dapat melindungi kota dari gangguan polusi panas dan kekurangan air serta
memperbaiki lingkungan kota (Basuki, 2009). Beberapa persyaratan fisik yang harus
dipenuhi dalam pembuatan pengisian air tanah buatan antara lain:
 Tersedia kapasitas yang memadai. Lokasi dengan muka air tanah dekat dengan muka
tanah tidak cocok untuk pembuatan pengisian air tanah buatan, demikian juga lokasi
dengan tekanan piezometrik yang tinggi.
 Tersedia air yang cukup dengan kualitas yang memadai (lebih baik dari kualitas air
tanah lokal).
 Tanah atau batuan pada lokasi mempunyai transmisibilitas atau permeabilitas yang
cukup.
Untuk menanggulangi defisit air tanah, telah banyak pemikir yang mengajukan konsep
pengisian buatan (artificial recharge), misalnya dengan genangan buatan dengan sumber air
dari sungai (Todd, 1980); membuat kolam-kolam di sekitar rumah (Seaburn, 1970);
pemanfaatan pipa jaring-jaring drainase yang porus guna meresapkan air hujan di sekitar
rumah (Dune dan Leopold, 1978); dan menyebarkan air pada lahan yang luas yang sekaligus
untuk mengairi daerah pertanian (Mac Donald, 1969 dalam Sunjoto, 1988). Cara yang
terakhir ini telah lama dipraktekkan di Jawa dan Bali yaitu pada lahan pertanian basah (padi
sawah). Walaupun kegunaan pengisian air tanah buatan begitu banyak, namun tidak dapat
diterapkan di sembarang tempat. Beberapa persyaratan fisik yang harus dipenuhi dalam
pembuatan pengisian air tanah buatan antara lain:
 Tersedia kapasitas yang memadai. Lokasi dengan muka air tanah dekat dengan muka
tanah tidak cocok untuk pembuatan pengisian air tanah buatan, demikian juga lokasi
dengan tekanan piezometrik yang tinggi.
 Tersedia air yang cukup dengan kualitas yang memadai (lebih baik dari kualitas air
tanah lokal).
 Tanah atau batuan pada lokasi mempunyai transmisibilitas atau permeabilitas yang
cukup.
Beberapa jenis fasilitas PAH tipe resapan yang sudah banyak dikenal di masyarakat adalah
sebagai berikut:
1) Sumur Resapan
Sumur resapan, sebenarnya telah banyak dipraktekkan oleh nenek moyang kita, yaitu
dengan membuat lubang-lubang galian di kebun halaman serta memanfaatkan
sumursumur yang tidak terpakai sebagai penampung air hujan.

Konsep dasar sumur resapan pada hakekatnya adalah memberi kesempatan dan jalan
pada air hujan yang jatuh di atap atau lahan kedap untuk meresap ke dalam tanah
dengan jalan air ditampung pada suatu sistem resapan air. Berbeda dengan cara
konvensional dimana air hujan dibuang / dialirkan ke sungai terus ke laut, cara ini
mengalirkan air hujan ke dalam sumur-sumur resapan yang di buat di halaman rumah.
Sumur resapan ini merupakan sumur kosong dengan maksud kapasitas tampungannya
cukup besar sebelum air meresap ke dalam tanah.
Berdasarkan konsep tersebut, maka ukuran atau dimensi sumur yang diperlukan untuk
suatu lahan atau kapling sangat tergantung dari beberapa faktor, sebagai berikut:
1) Luas permukaan penutupan, yaitu lahan yang airnya akan ditampung dalam
sumur resapan, meliputi luas atap, lapangan parkir dan perkerasan-perkerasan
lain.
2) Karakteristik hujan, meliputi intensitas hujan, lama hujan, selang waktu hujan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa makin tinggi hujan, makin lama
berlangsungnya hujan memerlukan volume sumur resapan yang makin besar.
Sementara selang waktu hujan yang besar dapat mengurangi volume sumur yang
diperlukan.
3) Koefisien permeabilitas tanah, yaitu kemampuan tanah dalam melewatkan air per
satuan waktu. Tanah berpasir mempunyai koefisien permeabilitas lebih tinggi
dibandingkan tanah berlempung.
4) Tinggi muka air tanah. Pada kondisi muka air tanah yang dalam, sumur resapan
perlu dibuat secara besar-besaran karena tanah benar-benar memerlukan
pengisian air melalui sumur-sumur resapan. Sebaliknya pada lahan yang muka
airnya dangkal, pembuatan sumur resapan kurang efektif, terutama pada daerah
pasang surut atau daerah rawa dimana air tanahnya sangat dangkal.

Sejauh ini telah dikembangkan beberapa metode untuk mendimensi sumur resapan,
beberapa diantaranya adalah sebagai berikut.

Sunjoto (1988)
Secara teoritis, volume dan efisiensi sumur resapan dapat dihitung berdasarkan
keseimbangan air yang masuk ke sumur dan air yang meresap ke dalam tanah
(Sunjoto,1988) dan dapat dituliskan sebagai berikut:

dimana :
H = tinggi muka air dalam sumur (m)
F = adalah faktor geometrik (m)
Q = debit air masuk (m3/dt)
T = waktu pengaliran (detik)
K = koefisien permeabilitas tanah (m/dt)
R = jari-jari sumur (m).
Faktor geometrik tergantung pada berbagai keadaan sebagaimana dapat dilihat pada
Gambar 3-4, dan secara umum dapat dinyatakan dalam persamaan:

Q0 = F.K.H
Gambar 3.4. Debit resapan pada sumur dengan berbagai kondisi (Bouilliot,
1976;
dalam Sunjoto, 1988).

Kedalaman efektif sumur resapan dihitung dari tinggi muka air tanah bila dasar sumur
berada di bawah muka air tanah tersebut, dan diukur dari dasar sumur bila muka air
tanah berada di bawah dasar sumur. Sebaiknya dasar sumur berada pada lapisan tanah
dengan permeabilitas tinggi.

Metode PU
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman, Departemen Pekerjaan (1990) telah
menyusun standar tata cara perencanaan teknis sumur resapan air hujan untuk lahan
pekarangan yang dituangkan dalam SK SNI T-06-1990 F. menyatakan bahwa dimensi
atau jumlah sumur resapan air hujan yang diperlukan pada suatu lahan pekarangan
ditentukan oleh curah hujan maksimum, permeabilitas tanah dan luas bidang tanah,
yang dapat dirumuskan sebagai berikut

dimana:
D = durasi hujan (jam)
I = intensitas hujan (m/jam)
At = luas tadah hujan (m2), dapat berupa atap rumah atau permukaan tanah
yang diperkeras
k = permeabilitas tanah (m/jam)
P = keliling penampang sumur (m)
As = luas penampang sumur (m2)
H = kedalaman sumur (m).
Perencanaan sumur resapan berdasarkan standar PU mengikuti tahapan sebagaimana
dilukiskan dalam bagan alir Gambar 3-5.

Gambar 3.5. Bagan alir pembuatan sumur resapan air hujan

Konstruksi Sumur Resapan


Pada dasarnya sumur resapan dapat dibuat dari berbagai macam bahan yang tersedia
di lokasi. Sumur resapan perlu dilengkapi dengan dinding (Gambar 3-6). Bahan-bahan
yang diperlukan untuk sumur resapan meliputi:
1) Saluran pemasukan/pengeluaran dapat menggunakan pipa besi, pipa pralon, buis
beton, pipa tanah liat, atau dari pasangan batu.
2) Dinding sumur dapat menggunakan anyaman bambu, drum bekas, tangki
fiberglass, pasangan batu bata, atau buis beton.
3) Dasar sumur dan sela-sela antara galian tanah dan dinding tempat air meresap
dapat diisi dengan ijuk atau kerikil.
Gambar 3.6. Salah satu contoh konstruksi sumur resapan

Persyaratan Sumur Resapan


Sekalipun sumur resapan banyak mendatangkan manfaat, namun pembuatannya perlu
memperhatikan syarat - syarat yang diperlukan untuk mendapatkan hasil yang
optimal.

Persyaratan umum:
1) Sumur resapan air hujan dibuat pada lahan yang lulus air dan tahan longsor
2) Sumur resapan air hujan harus bebas kontaminasi/pencemaran limbah
3) Air yang masuk sumur resapan adalah air hujan
4) Untuk daerah sanitasi lingkungan buruk, sumur resapan air hujan hanya
menampung dari atap dan disalurkan melalui talang
5) Mempertimbangkan aspek hidrogeologi, geologi dan hidrologi.

Keadaan muka air tanah:


Sumur resapan dibuat pada awal daerah aliran yang dapat ditentukan dengan
mengukur kedalaman dari permukaan air tanah ke permukaan tanah di sumur
sekitarnya pada musim hujan.

Permeabilitas tanah:
Permeabilitas tanah yang dapat dipergunakan untuk sumur resapan dibagi menjadi 3
kelas, yaitu:
1) Permeabilitas tanah sedang (geluh/lanau, 2,0 – 6,5 cm/jam)
2) Permeabilitas tanah agak cepat (pasir halus, 6,5 – 12,5 cm/jam)
3) Permeabilitas tanah cepat (pasir kasar, lebih besar 12,5 cm/jam).

Tabel 3-2. Contoh hasil perhitungan jumlah sumur resapan dengan


menggunakan Metode PU dengan kedalaman sumur 3 m, efisiensi 100%.

Keterangan : * : tidak dianjurkan Sumber : SNI T-06-1990-F


I : 87,0 mm/jam
D : 5 jam
Penempatan:
Penempatan sumur resapan harus memperhatikan kondisi lingkungan setempat.
Penempatan sumur resapan harus memperhatikan letak septik tank, sumur air minum,
posisi rumah, dan jalan umum. Tabel 4-2. memberikan batas minimum jarak sumur
resapan terhadap bangunan lainnya.
Tabel 3-3. Jarak minimum sumur resapan dengan bangunan lainnya.

Sumber : Cotteral and Norris dalam Kusnaedi, 2000.


Pemeriksaan:
Sumur resapan air hujan perlu diperiksa secara periodik setiap 6 bulan sekali untuk
menjamin kontinuitas operasi sumur resapan. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi:
1) Aliran masuk
2) Bak control
3) Kondisi sumur resapan.

Perencanaan Praktis Sumur Resapam


Untuk memasyarakatkan sumur resapan ini, maka tiap-tiap daerah perlu kiranya
membuat peta sumur resapan, yang memuat data tanah, kedalaman air tanah, dan
sekaligus dimensi sumur untuk tiap-tiap satuan luas lahan. Tabel 4-3 menampilkan
contoh kebutuhan sumur resapan untuk berbagai luas kavling pada tanah dengan
permeabilitas rendah.

Tabel 3-4. Volume sumur resapan pada tanah dengan permeabilitas rendah.

Sumber : SK. Gub. No. 17 th. 1992 dalam Dinas Pertambangan DKI Jakarta.

2) Sumur Resapan Kolektif


Sumur resapan kolektif dapat melayani beberapa rumah, misalnya per blok, atau per
RT, atau kawasan yang lebih luas lagi. Untuk menjamin air mengalir dengan lancar,
maka sumur resapan kolektif sebaiknya diletakkan pada lahan yang paling rendah
diantara kawasan yang dilayani.
Gambar Konstruksi kolam resapan dipadukan dengan pertamanan

3) Kolam Resapan
Kolam resapan merupakan kolam terbuka yang khusus dibuat untuk menampung air
hujan dan meresapkannya ke dalam tanah. Model kolam ini cocok untuk kawasan
dimana air tanahnya dangkal namun tersedia lahan yang cukup luas.
4) Saluran Berumput (Grassed Chanels)
Saluran berumput adalah anak sungai alam atau parit buatan bervegetasi yang
digunakan untuk mengakomodasi dan mengurangi kecepatan limpasan air hujan.
Saluran berumput dapat diterapkan di hampir semua tempat dan sangat efektif
mengontrol limpasan dari jalan raya dan kawasan perumahan. Saluran berumput
mempunyai beberapa manfaat, yaitu:
 Menangkap sedimen dan polutan lainnya oleh rerumputan;
 Mengurangi limpasan dan meningkatkan infiltrasi yang pada gilirannya,
mengontrol debit puncak
 Sangat efektif untuk mengontrol limpasan dari jalan raya dan kawasan
pemukiman;
 Dapat memberikan resapan air tanah, jika desain dan tanah memungkinkan
untuk peningkatan infiltrasi.
5) Bioretensi (Rain Garden)
Sistem bioretensi yang dibangun dapat menjadi bagian ruang terbuka hijau dan
dirancang berdasarkan jenis tanahnya, kondisi lokasi dan tata ruang rencana wilayah
pengembangan. Penggunaan bioretensi sebagai ruang terbuka hijau di daerah real
estate dapat meningkatkan nilai estetika daerah yang dikembangkan. Bioretensi
mengintegrasikan antara fungsi pengurangan polusi air dan limpasan permukaan.
Konstruksi bioretensi (Gambar 3-8) merupakan lubang dengan dimensi tertentu yang
diisi berturut-turut dengan gravel, dan campuran pasir dan humus, serta di atasnya
ditanami rumput dan pepohonan. Polutan yang terbawa air limpasan berupa sedimen,
metal, serta kandungan lain disaring oleh media yang digunakan serta proses
mikrobioogi dari material organik.

Gambar Potongan Memanjang Bioretensi


Beberapa proses utama yang terjadi pada bioretensi adalah sebagai berikut:
(1) Intersepsi: tertangkapnya air hujan oleh daun tanamanserta lapisan penutup
(mulsa), sehingga memperlambat terjadinya aliran permukaan;
(2) Infiltrasi: merupakan proses utama bioretensi, baik yang dilengkapi dengan
drainase bawah tanah maupun yang tidak;
(3) Pengendapan: partikel yang terbawa air mengendap dipermukaan bioretensi akibat
aliran yang lambat;
(4) Absorpsi: proses penahanan air di ruang antar partikel tanah yang selanjutnya
diserap oleh akar tanaman;
(5) Evapotranspirasi: limpasan permukaan akan diubah menjadi uap air oleh tanaman
di bioretensi;
(6) Filtrasi: proses penyaringan kandungan kimia seperti metal nitrat yang terbawa air
oleh humus dan tanah.
Bioretensi cocok untuk mengelola air hujan yang jatuh di jalan raya, dan lapangan
parkir terbuka. Pada awal hujan yang jatuh di jalan dan lapangan parkir akan mencuci
dan membawa serta polutan yang ada (sedimen, bahan kimia, partikel keausan ban,
oli, dll.) masuk ke dalam bioretensi.
6) Biopori
Biopori atau disebut juga lubang resapan biopori (LRB) adalah lubang buatan di tanah
dengan diameter 10 - 30 cm, panjang 30 - 100 cm yang diisi sampah organik yang
berfungsi untuk menjebak air yang mengalir di sekitarnya.
Manfaat Biopori
Manfaat biopori tidak hanya berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya air, tetapi juga
terkait dengan pengelolaan lahan. Manfaat biopori selengkapnya adalah sebagai
berikut:
(1) Memaksimalkan air yang meresap ke dalam tanah sehingga menambah air tanah;
(2) Mengurangi genangan air yang menimbulkan penyakit;
(3) Mengurangi air hujan yang dibuang percuma ke laut;
(4) Mengurangi resiko banjir di musim hujan;
(5) Maksimalisasi peran dan aktivitas flora dan fauna tanah;
(6) Membuat kompos alami dari sampah organik daripada dibakar;
(7) Menyuburkan tanah;
(8) Mencegah terjadinya erosi tanah dan bencana tanah longsor.

Tempat pembuatan biopori


Pada dasarnya biopori dapat dibuat di semua tempat, di mana ada air hujan yang dapat
mengisinya. Tempat yang umum dibuat / dipasang lubang biopori resapan air antara
lain:
(1) di dasar saluran air hujan di sekitar rumah, kantor, sekolah, dsb;
(2) di sekeliling pohon;
(3) di hakaman, taman, lahan kosong antar tanaman / batas tanaman

Cara membuat biopori


(1) Buat lubang silindris vertikal ke dalam tanah dengan diameter 10 cm sampai
kedalaman
100 cm, atau tidak sampai melampaui air tanah, jarak 50-100 cm.
(2) Mulut lubang dapat diperkuat dengan pralon, sepanjang 20-30 cm, atau semen.
(3) Isi lubang dengan sampah organik, sisa tanaman, dedaunan, atau pangkasan
rumput.
(4) Sampah organik perlu selalu ditambahkan ke dalam luang yang sudah menyusut
akibat
proses pelapukan.
(5) Kompos yang terbentuk dapat diambil pada akhir musim kemarau, dan sekaligus
sebagai
pemeliharaan.
7. Perkerasan Resapan (Infiltrasi Pavement)

Perkerasan permukaan tanah untuk keperluan jalan dan lapangan parkir dapat
dijadikan fasilitas peresapan air hujan yang sangat potensial. Perkerasan dengan paving block
yang selama ini kita kenal dibuat dengan konstruksi yang kurang tepat sehingga fungsi
meresapkan air hujan tidak optimal. Konstruksi paving block yang benar sebagaimana
diperlihatkan dalam Gambar 3-10 mempunyai dasar dengan lapisan porus (pasir atau split
atau sirtu) cukup tebal. Ketebalan tergantung pada porositas material dan hujan rencana yang
digunakan. Khusus untuk lapangan parkir dapat juga digunakan grass block (Gambar 3-11).

Gambar 3.10. Konstruksi Perkerasan dengan Paving Block


Gambar 3.11. Konstruksi Grass Block untuk Lapangan Parkir

8. Tanaman Atap (Roof Garden )


Tanaman atap (Roof Garden) atau atap hijau (green roofs) adalah atap bervegetasi,
atau atap dengan ruang bervegetasi, disebut juga sebagai eko-atap. Atap hijau sebenarnya
telah ada selama berabad-abad mulai dari tanaman gantung babilonia sampe ke tempat
tinggal beratap rumput dari Irlandia dan Skandinavia.
Sebagian besar kemajuan teknologi atap hijau modern dibuat di Jerman;
pertumbuhannya pada 1970-an dan 1980-an telah mencapai nilai £39 million. Selanjutnya
teknologi ini menyebar ke berbagai negara Eropa lainnya seperti Swiss, Belanda, Austria,
Inggris, Italia, Perancis, dan Swedia (www.efb-greenroof.eu). Bahkan saat ini diperkirakan
10% dari semua bangunan yang ada di Jerman telah memiliki taman atap. Selain Jerman,
Austria (kota Linz) telah mengembangkan proyek taman atap sejak tahun 1983, demikian
juga dengan Swiss yang mulai intensif mengembangkan taman atap sejak tahun 1990.
Keberadaan taman atap, khususnya di kota-kota besar (metropolis) memiliki peran
penting seperti halnya ruang hijau lainnya. Ancaman terhadap eksistensi RTH akibat
pembangunan infrastruktur-infrastruktur kota dapat diimbangi atau dikompensasi dengan
mengembangkan taman atap. Pada umumnya manfaat taman atap adalah sebagai berikut:
1. Memperbaiki kualitas udara, vegetasi pada taman atap mampu merubah polutan
(toksin) di udara menjadi senyawa tidak berbahaya melalui proses reoksigenasi;
taman atap juga berperan dalam menstabilkan jumlah gas rumah kaca (karbon
dioksida) di atmosfir kota sehingga dapat menekan efek rumah kaca;
2. Menurunkan suhu udara, keberadaan taman atap dapat mengurangi efek panas radiasi
sinar matahari yang berasal dari dinding bangunan maupun dari tanah (heat island
effect). Taman atap juga dapat mengurangi penyebaran debu dan material lainnya,
serta asap. Hal ini dapat berperan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca;
3. Konservasi air, taman atap dapat menyimpan sebagian air yang berasal dari air hujan
sehingga menyediakan mekanisme evapotranspirasi yang lebih efisien. Taman atap
juga mampu memperpanjang waktu limpasan sehingga menurunkan debit puncak
banjir;
4. Mengurangi polusi suara/kebisingan, komposisi vegetasi pada taman atap memiliki
potensi yang baik dalam meredam kebisingan yang berasal dari luar bangunan (suara
bising kendaraan bermotor atau aktivitas industri);
5. Menampilkan keindahan pada aspek bangunan (estetika), sama halnya dengan fungsi
taman pada umumnya, taman atap menyediakan keindahan bagi aspek bangunan
sehingga tampak lebih hidup, asri, dan nyaman;
6. Meningkatkan keanekaragaman hayati kota, taman atap dapat berfungsi sebagai
habitat sekaligus penghubung bagi pergerakan organisme (wildlife) antar ruang hijau
di kawasan perkotaan

Berdasarkan jumlah biaya (perawatan) yang dibutuhkan, kedalaman tanah (media


tanam), dan jenis tanaman yang digunakan, taman atap dibedakan menjadi dua macam yaitu:
1. Taman Atap Ekstensif (Extensive Green Roofs), taman atap jenis ini membutuhkan
biaya perawatan yang cukup murah, media tanam (tanah) yang dangkal, dan tanaman
yang digunakan adalah tanaman hias ringan.
2. Taman Atap Intensif (Intensive Green Roofs), taman atap ini memiliki media tumbuh
yang tebal, mempunyai ukuran yang luas dengan struktur bangunan yang besar dan
kuat, mampu menampung berbagai jenis tanaman baik kecil maupun besar (pohon).

3.3.2. Saringan Sampah Manual dan Otomatis

Saringan sampah merupakan salah satu bangunan penting dalam ecodrain. Hal ini
disebabkan kesadaran masyarakat yang rendah untuk membuang sampah di TPA, selain itu
kapasitas TPA sendiri yang kurang memadai dan akhirnya sampah terbuang ke saluran
drainase. Sampah tersebut ada yang dalam kondisi terapung, melayang dan berada di dasar
saluran/badan air.

1. Pendekatan Analisa Jumlah Sampah yang Masuk ke dalam Sungai (Sistem DAS)
Sampah yang diproduksi oleh permukiman, daerah perkantoran dan perdagangan, dan
fasum dan fasos di perkotaan dan perdesaan tidak semua dapat terangkut ke Tempat
Pengolahan Akhir (TPA) atau tereduksi dengan kegiatan 3R dan komposting ataupun di
timbun/dibakar, ternyata masih ada sebagian dari prosentase sampah tersebut yang dibuang
ke perairan (sungai, danau dan pantai/laut). Dari hasil penelitian di bebarapa kota besar di
Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya didapatkan jumlah prosentase
sampah yang cukup besar yang dibuang ke sungai dan saluran-saluran drainase, yang secara
signifikan juga menyebabkan kegagalan fungsi sarana prasarana drainase dan pengendalian
banjir karena dapat mengurangi kapasitas saluran serta mengganggu operasional fungsi pintu
air dan instalasi pompa banjir.
2. Perhitungan Laju Timbulan Sampah Sungai
Produksi sampah sungai dalam layanan pembersihan ini adalah sampah sungai yang
timbul di daerah perkotaan yang mempunyai jumlah yang lebih sedikit dari jumlah sampah
yang ada secara keseluruhan. Hanya sebagian kecil dari produksi sampah kota yang masuk ke
dalam sistem aliran sungai.
3. Produksi Sampah Saluran/Sungai
Produksi sampah saluran/sungai terhadap sampah darat jika dinyatakan dengan
persamaan adalah sebagai berikut:
Qss = Qsd x Kss
dimana :
Qss = Quantitas sampah sungai
Qsd = Quantitas sampah darat
Kss = Koefisien timbulan sampah sungai (0,2 - 0,6%)

Produksi sampah untuk suatu kawasan pemukiman yang berada dipinggir aliran
sungai/kali dihitung berdasarkan banyaknya populasi yang menghasilkan sampah setiap
harinya, jika dinyatakan dengan persamaan adalah sebagai berikut:
Qss = (P x Qsd) +Qnd
Dimana:
Qss = Quantitas sampah sungai
P = Populasi penduduk sepanjang aliran sungai
Qsd = Produksi sampah domestik (liter/orang/hari)
Qnd = Produksi sampah non domestik (daun, pohon, jalanan)
4. Penanganan Sampah dengan Saringan Mesin Otomatis
Upaya yang dilakukan dalam penanganan sampah sungai salah satunya dengan trash
rake (Alat Penangkap/Penyaring Sampah). Trash rake digolongkan dalam dua kategori,
kategori ini adalah :
 Trash rake kabel hoist/ Cable hoist trash rake
 Trash rake mekanikal/ Mechanical trash rake.
5. Trash Rake Kabel Hoist/ Cable Hoist Trash Rake
Prinsip kerja trash rake kabel hoist ini menggunakan kabel/wire rope untuk
menggerakan trash rake (pergerakan naik dan turunnya rake digerakan oleh hoist melalui
kabel /wire rope). Pada trash rake kabel hoist ini ada 2 type yaitu:
 Trash rake tanpa rel pengarah (Unguided cable hoist trash rake)
Prinsip kerja trash rake jenis ini, rake/garu menggantung bebas, pergerakan naik dan
turunnya rake digerakan oleh hoist melalui kabel /wire rope (seperti terlihat pada Gambar
3.13).

Gambar 3.13. Unguided cable hoist trash rake

 Trash rake dengan rel pengarah (Guided cable hoist trash rake)
Prinsip kerja trash rake jenis ini, rake/garu dilengkapi dengan rel pengarah yang
letaknya di kedua belah sisi, sehingga lebar rake bisa lebih besar dan rake lebih stabil.
Sedangkan pergerakan naik dan turun nya rake digerakan oleh hoist melalui kabel/wire
rope (seperti terlihat pada Gambar 3.14).
Gambar 3.14 Guided cable hoist trash rake

6. Trash Rake Mekanikal/Mechanical Trash Rake


Trash rake sistem mekanikal ini menggunakan rantai, lengan, hydraulic cylinder dan gerigi
untuk menggerakan trash rake (untuk pergerakan naik dan turun). Pada trash rake mekanikal
ini ada 3 tipe yaitu:
 Climber Trash Rake
Prinsip kerja trash rake jenis ini yaitu: pergerakan rake diperoleh dari motor penggerak
disambung dengan socket dan rantai.

 Elbow Arm
Prinsip kerja trash rake jenis ini yaitu: rake dilengkapi dengan dua lengan, sedangkan
bagian ujungnya dilengkapi dengan backhoe untuk pengambilan sampah.
 Sliding Arm Trash Rake
Prinsip kerja sliding arm trash rake ini yaitu: trash rake dilengkapi dengan sliding arm,
hydraulic cylinder dan rantain.

3.3.3 Bioremediasi

Proses bioremediasi adalah salah satu teknik pengurangan atau penghilangan tingkat
toksisitas, mobilitas dan kuantitas bahan pencemar (kontaminan) pada sumber air dan tanah
terkontaminasi dengan menggunakan mikroorganisme (mikroflora atau mikrofauna). Bila
menggunakan makroflora (tumbuhan) disebut phytoremediasi. Teknik bioremediasi yang
dapat diaplikasikan untuk pengelolaan sedimen (endapan) sungai atau bozem atau waduk
adalah secara: (1) in-situ, dimana pengolahan dilakukan ditempat tanah terkontaminasi
berada dan (2) ex-situ, dimana pengolahan dilakukan ditempat lain.

Gambar 3.16. Operasional Tipe Bioremediasi Landfarming

Gambar 3.17. Penampang Ø Proses Bioremediasi Landfarming

3.3.4. Biofilter

Biofilters efektif jika arus lambat dan dangkal pada saluran parit alamiah. Dalam
berbagai jenis tanah, biofilter juga menyebabkan terjadinya penyerapan hujan ke dalam
tanah, lebih lanjut mengurangi pencemaran air dan mengurangi debit limpasan (yang
akhirnya mengurangi potensi banjir). Konsep utama biofilter adalah menggerakan aliran air
dengan lambat melalui tumbuh-tumbuhan.
Gambar 3-18. Biofilter

3.3.5. Pengolahan Kualitas Air dengan Rawa Buatan (Wetland Constructed)


Rawa buatan didesain sedemikian rupa diatas sebidang tanah dengan cara membuat
pematang, tanggul dan kolam, sehingga air limbah akan melewati sebagian besar permukaan
substrat yang ditanami tumbuhan akuatik dan semi-akuatik yang bernilai. Sehingga dapat
disebut pengolahan air dengan metoda rawa buatan (wetland constructed) adalah alternatif
lain pengolahan air yang meniru proses alamiah yang terjadi di lahan basah (rawa) alami.
Rawa buatan aliran horisontal dapat digolongkan lebih lanjut dalam empat bentuk, yaitu:
 Rawa buatan yang alirannya mengalir di atas permukaan tanah.
 Rawa buatan yang proses pengaliran airnya lewat substrat tempat tumbuhnya
tanaman air.
 Kombninasi bentuk pertama dan kedua
 Rawa buatan hidroponik aliran tipis yang tidak menggunakan substrat tanah atau
pasir.

3.3.6. Fitoremediasi
Jenis-jenis tanaman yang sering digunakan di Fitoremediasi adalah; Anturium
Merah/Kuning, Alamanda Kuning/Ungu, Akar Wangi, Bambu Air, Cana Presiden
Merah/Kuning/Putih, Dahlia, Dracenia Merah/Hijau, Heleconia Kuning/Merah, Jaka, Keladi
Loreng/Sente/Hitam, Kenyeri Merah/Putih, Lotus Kuning/Merah, Onje Merah, Pacing
Merah/Putih, Padi-padian, Papirus, Pisang Mas, Ponaderia, Sempol Merah/Putih, Spider Lili,
dll.

3.4. Pelaksanaan Kegiatan Ecodrain


3.4.1. Kelembagaan
Penyelenggaraan pengelolaan drainase secara terpadu berwawasan lingkungan
(ecodrain) melibatkan instansi terkait di pusat dan daerah serta masyarakat di kawasan/lokasi
dalam suatu daerah aliran sungai yang akan ditangani.

Gambar 3-23. Organisasi Pelaksanaan Program Pengelolaan Drainase Secara Terpadu


Berwawasan Lingkungan (ecodrain)

3.4.2. Tahap Pelaksanaan


Secara garis besar kegiatan pengelolaan drainase secara terpadu berwawasan
lingkungan (ecodrain) terbagi dalam dua kegiatan pokok yaitu:
a) Kegiatan Struktural
Kegiatan fisik yang berupa pembangunan prasarana dan sarana, pengadaan barang
(M&E), pemeliharaan dan perawatan.
b) Kegiatan Non Struktural
Kegiatan non fisik dapat berupa kegiatan sosialisasi 3R, pengelolaan air limbah
domestik dan pengelolaan hujan integratif yang dapat mengembangkan pengelolaan
drainase.

3.4.3. Tahap Operasi dan Pemeliharaan

3.4.3.1. Perencanaan O&P Ecodrain


Setelah pembangunan prasarana dan sarana drainase selesai dibangun, langkah
selanjutnya agar prasarana dan sarana drainase berfungsi sesuai rencana semula, diperlukan
pemeliharaan, yaitu berupa :
 Pemeliharaan Rutin
 Pemeliharaan Berkala
 Pemeliharaan Khusus
 Rehabilitasi

3.4.3.2. Pelaksanaan O&P Ecodrain


 Sebelum Pelaksanaan O&P Dimulai
- Untuk pekerjaan saluran
- Untuk pekerjaan bangunan pelengkap
 Saat pelaksanaan O&P dimulai
- Pelaksanaan dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan
- Harus ada pengawas lapangan dari direksi pekerjaan untuk mengawasi pekerjaan
yang dilakukan oleh kontraktor atau swakelola
- Pekerjaan dianggap selesai apabila telah disetujui oleh pihak direksi dan
kontraktor, dibuat berita acara yang ditanda tangani kedua belah pihak

3.4.4. Sosialisasi dan Penguatan Peran Masyarakat dan Swasta


Dalam penerapan konsep pengelolaan drainase secara terpadu berwawasan
lingkungan, penanganan sampah dengan reduksi sampah dari sumbernya merupakan langkah
yang paling efektif dalam mengurangi timbulan sampah yang akan dibuang ke TPA
(tertangani) maupun sampah yang potensial dibuang ke sungai / saluran / waduk dan atau
prasarana dan sarana lainnya. Konsep yang dapat dikembangkan adalah dengan pengelolaan
sampah berdasarkan pendekatan 3R (Recycle, Reuse & Reduce) yang didasari oleh
pendekatan pengelolaan sampah terpadu berbasis masyarakat. Sumber sampah yang berasal
dari masyarakat, sebaiknya dikelola oleh masyarakat yang bersangkutan agar mereka
bertanggung jawab terhadap sampahnya sendiri, karena jika dikelola oleh pihak lain biasanya
mereka kurang bertanggung jawab bahkan cenderung destruktif.
Faktor yang mempengaruhi sampah, baik kuantitas dan kualitasnya sangat
dipengaruhi oleh berbagai kegiatan dan taraf hidup masyarakat. Beberapa faktor yang penting
antara lain;

1. Jumlah Penduduk. Dapat dipahami dengan mudah bahwa semakin banyak penduduk
semakin banyak pula sampahnya. Pengelolaan sampah inipun berpacu dengan laju
pertumbuhan penduduk.
2. Keadaan Sosial Ekonomi. Semakin tinggi keadaan social ekonomi masyarakat,
semakin banyak jumlah perkapita sampah yang dibuang. Kualitas sampahnya semakin
banyak yang bersifat tidak dapat membusuk. Perubahan kualitas sampah ini,
tergantung pada bahan yang tersedia, peraturan yang berlaku serta kesadaran
masyarakat akan persoalan sampah.
3. Kenaikan Kesejahteraan. Inipun akan meningkatkan kegiatan konstruksi dan
pembaharuan bangunan. Transportasi-pun bertambah dengan konsekuensi
bertambahnya volume dan jenis sampah.
4. Kemajuan Teknologi. Kemajuan teknologi akan menambah jumlah maupun kuantitas
sampah, karena pemakaian bahan baku yang semakin beragam, cara pengepakan dan
produk manufaktur yang semakin beragam pula.

3.5. Pengendalian Pelaksanaan Kegiatan Ecodrain


Pengendalian adalah segala tindakan yang dilakukan dalam pengorganisasian
pengelolaan drainase untuk meningkatkan kemungkinan tercapainya maksud dan tujuan yang
telah ditetapkan, yakni memulihkan/meningkatkan kualitas aliran saluran drainase/sungai
perkotaan dari pencemaran yang diakibatkan oleh sampah dan air limbah rumah tangga dan
memandu pengelolaan drainase secara terpadu agar berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. Tiga tujuan umum pengendalian kegiatan ecodrain adalah untuk:
 Meyakinkan terlaksananya tujuan yang telah ditetapkan, termasuk apa yang
digariskan dalam rencana, kebijakan, prosedur, dan semuanya sejalan dengan
peraturan dan perundang-undangan yang mengikat kegiatan.

 Menjamin pelaksanaan kegiatan berdasarkan dokumen perencanaan dan studi.

  Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kegiatan.

3.6. Sistem Informasi Jaringan Drainase


Sejalan dengan UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang SDA, dalam sistem drainase
berwawasan lingkungan ini harus dimasukkan pendataan spasial berdasarkan Sistem
Informasi Geografis yang dapat di-overlay-kan dengan peta wilayah Tingkat 2 masing-
masing.

4 Monitoring dan Evaluasi Sistem Drainase Perkotaan Secara Terpadu


Berwawasan Lingkungan (Ecodrain)

Sistem monitoring dan evaluasi kegiatan ecodrain perlu dilakukan untuk


mengendalikan berbagai kegiatan yang dilaksanakan mulai dari tahap persiapan dan
perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pemanfaatnannya di lapangan. Tujuan dari sistem
monitoring dan evaluasi adalah sebagai berikut:
 Memantau/memonitor perkembangan pelaksanaan berbagai kegiatan dalam
pengelolaan ecodrain

 Mengendalikan kinerja pelaksanaan berbagai kegiatan dalam pengelolaan ecodrain.

 Memberikan bahan masukan untuk persiapan pelaksanaan kegiatan dan


pengembangan program pada tahun berikutnya.

 Memberikan bahan untuk kelengkapan pertanggung jawaban pelaksanaan kegiatan-


kegiatan dalam pengelolaan ecodrain.

 Memberikan informasi yang lengkap yang terkait langsung maupun tidak langsung
dengan program pengelolaan ecodrain.
4.1. Monitoring Ukuran Teknis / Infrastruktur

4.1.1 Kondisi dan Fungsi Sarana dan Prasarana Sistem Drainase Perkotaan,
Jaringan Saluran dan Bangunan Pelengkap

Pemantauan sistem pola pengaliran, kapasitas sistem, permasalahan pengaliran, serta


kondisi sarana dan prasarana system drainase perkotaan, jaringan saluran dan bangunan
pelengkap. Pada monitoring kondisi saluran pemantauan dilakukan mengacu pada peta
jaringan drainase dan skema sistem yang dilengkapi data: elevasi dasar saluran, dimensi
saluran, kemiringan saluran, material saluran dan tahun pembangunan. Selanjutnya pada
kondisi bangunan pelengkap, meliputi pemantauan kegiatan operasi dan pemeliharaan rumah
pompa dan pompa banjir, pintu air, kolam retensi, gorong-gorong, dll. Pemantauan pada
saluran dan bangunan pelengkap dilakukan dengan menggunakan peralatan menggunakan
alat pengukuran dan alat pemantauan yang dikalibrasi.

4.1.2 Karakteristik Genangan

Berupa pemantauan lokasi genangan, luas, tinggi, lama genangan dan intensitas
genangan dilengkapi koordinat lokasi genangan, peta genangan serta korban jiwa dan
kerugian material.

4.1.3. Kualitas Air

4.1.3.1. Sumber Pencemaran


Klasifikasi sumber pencemar yang mempengaruhi drainase berwawasan lingkungan,
adalah :
 Limbah Domestik
 Limbah Non Domestik
 Kegiatan Pemanfaatan Lahan
Parameter sumber pencemar setiap jenis limbah berlainan, terbagi menurut limbah
domestik, kegiatan pemanfaatan lahan dan limbah industri. Komposisi parameter limbah
domestik yaitu sebagai berikut :
4.1.4 Sedimentasi / Polutan
Berdasarkan peraturan pemerintah dapat disimpulkan bahwa dalam rangka
pengendalian pencemaran dan pemulihan kualitas air, daya tampung beban pencemaran dapat
dimanfaatkan untuk menyusun program kerja yang lebih terarah dengan target yang terukur
Sehubungan dengan itu maka telah dikeluarkan peraturan berupa Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No 110/2003, tentang “Pedoman Penetapan Daya Tampung Beban
Pencemaran Air Pada Sumber Air” telah disebutkan bahwa untuk menghitung daya tampung
beban pencemaran menggunakan software QUAL2E.

4.2. Monitoring Ukuran Kinerja Non Teknis


Maksud dari monitoring non teknis, adalah untuk mengendalikan agar kinerja
pengelolaan sistem ecodrain sesuai dengan sasaran perencanaan awal. Monitoring aspek non
teknis, adalah:
 Monitoring data manajemen dan kelembagaan
 Monitoring peran masyarakat dan swasta
 Monitoring aspek hokum dan pengaturan

4.3. Evaluasi
Evaluasi pengelolaan system ecodrain adalah mempelajari semua hasil monitoring
sejak dari perencanaan hingga tahap pengelolaan system. Tolok ukur perencanaan meliputi :
ketentuan yang berlaku; Standar, Pedoman, Manual serta SNI. Evaluasi system ecodrain
diarahkan pada perencanaan yang dituangkan sebagai tolok ukur yang harus dicapai dan
ditaati oleh pengelola system. Evaluasi dilakukan terhadap : pengelolaan, pengoperasian,
-pemeliharaan dan rehabilitasi yang kemudian dibandingkan terhadap tolok
ukur/kriteria/standar yang telah ditetapkan pada tahap perencanaan.
5. Langkah Menuju Sistem Drainase Perkotaan Secara Terpadu Berwawasan
Lingkungan (Ecodrain) di Indonesia

5.1. Perubahan Paradigma


Pendekatan pengelolaan sistem drainase berdasar paradigma konvensional yang
selama ini berjalan telah menyebabkan pelayanan yang buruk, dan tidak mampu
menyelesaikan masalah. Sebaliknya justru memicu munculnya berbagai masalah baru terkait
dengan sumber daya air seperti pencemaran sumber daya air, defisit air tanah, land
subsidence, yang akumulasinya menimbulkan kerusakan lingkungan, sehingga berlawanan
dengan pengelolaan sumber daya air berkelanjutan. Oleh karenanya, sebagai bagian dari
pengelolaan sumber daya air, pengelolaan sistem drainase perlu mengadopsi paradigma baru,
yaitu pengelolaan sistem drainase berwawasan lingkungan.

5.2. Tantangan Penanganan Drainase Perkotaan


Pertambahan penduduk yang pesat di perkotaan, terbatasnya kemampuan
pemerintah, swasta dan masyarakat, serta tuntutan adanya kawasan hunian yang bersih dan
sehat, maka tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan sistem drainase yang berwawasan
lingkungan di Indonesia adalah:

1. Bagaimana merubah cara pandang terhadap pertambahan penduduk yang selama ini
dianggap sebagai beban, dibalik menjadi bagian dari solusi terhadap sistem drainase,
yaitu dengan mengembangkan sistem drainase yang bertumpu pada peran aktif dan
pemberdayaan semua pemangku kepentingan.
2. Bagaimana cara meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap prasarana dan sarana
sistem drainase yang telah dibangun sehingga dapat berfungsi secara optimal, efektif
dan efisien.
3. Bagaimana mengembangkan dan menerapkan fasilitas pemanenan air hujan oleh
seluruh stakeholders untuk mengendalikan debit dan sekaligus memperbaiki
ketersediaan air tanah.
4. Bagaimana cara menyelaraskan dan memadukan semua infrastruktur perkotaan
sehingga tidak saling berbenturan.
5. Bagaimana cara melakukan adaptasi pengelolaan sistem drainase serta perilaku
masyarakat terhadap perubahan iklim yang terjadi.
5.3. Landasan Hukum
Sampai saat ini belum ada peraturan mengenai pengelolaan sanitasi (drainase, air
limbah, dan sampah) yang ada baru mengenai pengelolaan sampah, yaitu Undang-undang
No. 18 Tahun 2008. Namun demikian, ada beberapa peraturan yang dapat dijadikan rujukan
untuk mengembangkan pengelolaan sistem drainase yang berwawasan lingkungan,
diantaranya adalah :

1. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air


2. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
3. UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
4. PP No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air
5. PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian kewenangan antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah
6. PP No. 26 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang
7. PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air

8. PP No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai

5.4. Kondisi yang Diharapkan


Keberhasilan pengelolaan sebuah kota dapat dengan mudah dilihat dari kualitas
pengelolaan sistem drainasenya. Kota yang sering terjadi genangan akan terkesan kumuh,
jorok dan tidak sehat. Berangkat dari isu dan permasalahan sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, maka kondisi sistem drainase yang diharapkan adalah:

1. sistem yang mampu menangkap air hujan sebanyak-banyaknya dan menahannya baik
di permukaan tanah maupun di dalam tanah, dengan tidak menimbulkan
genangan/banjir yang menimbulkan kerugian;
2. sistem yang mampu mengendalikan debit dan limpasan, dan mampu mengantisipasi
dampak pemanasan global, sehingga sistem dapat berfungsi lama, dengan melakukan
adaptasi dan menerapkan konsep “zero delta Q policy”;
3. sistem yang mampu menjaga kualitas air dengan baku mutu yang sesuai dengan
persyaratan lingkungan hidup, dengan menerapakn sistem drainase terpisah;
4. sistem yang didukung oleh semua pemangku kepentingan.
5. sistem yang terintegrasi dengan infrastruktur kota lainnya, sehingga tidak saling
bertabrakan.

Anda mungkin juga menyukai