Oleh :
Ni Putu Yuni Ardani
1981511040
1. Pendahuluan
Drainase yang berasal dari bahasa Inggris drainage mempunyai arti mengalirkan,
menguras, membuang, atau mengalihkan air. Dalam bidang teknik sipil, drainase secara
umum dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan teknis untuk mengurangi kelebihan air, baik
yang berasal dari air hujan, rembesan, maupun kelebihan air irigasi, dari suatu kawasan/lahan
sehingga fungsi kawasan/lahan tidak terganggu. Drainase dapat juga diartikan sebagai usaha
untuk mengontrol kualitas air tanah dalam kaitannya dengan salinitas. Jadi drainase
menyangkut tidak hanya air permukaan tapi juga air tanah.
Secara umum sistem drainase dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air
yang berfungsi untuk mengurangi dan / atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau
lahan sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Dirunut dari hulunya, bangunan
sistem drainase terdiri dari saluran penerima (interceptor drain), saluran pengumpul (collector
drain), saluran pembawa (conveyor drain), saluran induk (main drain), dan badan air
penerima (receiving waters). Di sepanjang sistem sering dijumpai bangunan lainnya, seperti
gorong- gorong, siphon, jembatan air (aquaduct), pelimpah, pintu-pintu air, bangunan terjun,
kolam tando, dan stasiun pompa. Pada sistem yang lengkap, sebelum masuk ke badan air
penerima, air diolah dahulu di instalasi pengolah air limbah (IPAL), khususnya untuk sistem
tercampur. Hanya air yang telah memenuhi baku mutu tertentu yang dimasukkan ke badan air
penerima, sehingga tidak merusak lingkungan.
Konsep dasar sumur resapan pada hakekatnya adalah memberi kesempatan dan jalan
pada air hujan yang jatuh di atap atau lahan kedap untuk meresap ke dalam tanah
dengan jalan air ditampung pada suatu sistem resapan air. Berbeda dengan cara
konvensional dimana air hujan dibuang / dialirkan ke sungai terus ke laut, cara ini
mengalirkan air hujan ke dalam sumur-sumur resapan yang di buat di halaman rumah.
Sumur resapan ini merupakan sumur kosong dengan maksud kapasitas tampungannya
cukup besar sebelum air meresap ke dalam tanah.
Berdasarkan konsep tersebut, maka ukuran atau dimensi sumur yang diperlukan untuk
suatu lahan atau kapling sangat tergantung dari beberapa faktor, sebagai berikut:
1) Luas permukaan penutupan, yaitu lahan yang airnya akan ditampung dalam
sumur resapan, meliputi luas atap, lapangan parkir dan perkerasan-perkerasan
lain.
2) Karakteristik hujan, meliputi intensitas hujan, lama hujan, selang waktu hujan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa makin tinggi hujan, makin lama
berlangsungnya hujan memerlukan volume sumur resapan yang makin besar.
Sementara selang waktu hujan yang besar dapat mengurangi volume sumur yang
diperlukan.
3) Koefisien permeabilitas tanah, yaitu kemampuan tanah dalam melewatkan air per
satuan waktu. Tanah berpasir mempunyai koefisien permeabilitas lebih tinggi
dibandingkan tanah berlempung.
4) Tinggi muka air tanah. Pada kondisi muka air tanah yang dalam, sumur resapan
perlu dibuat secara besar-besaran karena tanah benar-benar memerlukan
pengisian air melalui sumur-sumur resapan. Sebaliknya pada lahan yang muka
airnya dangkal, pembuatan sumur resapan kurang efektif, terutama pada daerah
pasang surut atau daerah rawa dimana air tanahnya sangat dangkal.
Sejauh ini telah dikembangkan beberapa metode untuk mendimensi sumur resapan,
beberapa diantaranya adalah sebagai berikut.
Sunjoto (1988)
Secara teoritis, volume dan efisiensi sumur resapan dapat dihitung berdasarkan
keseimbangan air yang masuk ke sumur dan air yang meresap ke dalam tanah
(Sunjoto,1988) dan dapat dituliskan sebagai berikut:
dimana :
H = tinggi muka air dalam sumur (m)
F = adalah faktor geometrik (m)
Q = debit air masuk (m3/dt)
T = waktu pengaliran (detik)
K = koefisien permeabilitas tanah (m/dt)
R = jari-jari sumur (m).
Faktor geometrik tergantung pada berbagai keadaan sebagaimana dapat dilihat pada
Gambar 3-4, dan secara umum dapat dinyatakan dalam persamaan:
Q0 = F.K.H
Gambar 3.4. Debit resapan pada sumur dengan berbagai kondisi (Bouilliot,
1976;
dalam Sunjoto, 1988).
Kedalaman efektif sumur resapan dihitung dari tinggi muka air tanah bila dasar sumur
berada di bawah muka air tanah tersebut, dan diukur dari dasar sumur bila muka air
tanah berada di bawah dasar sumur. Sebaiknya dasar sumur berada pada lapisan tanah
dengan permeabilitas tinggi.
Metode PU
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman, Departemen Pekerjaan (1990) telah
menyusun standar tata cara perencanaan teknis sumur resapan air hujan untuk lahan
pekarangan yang dituangkan dalam SK SNI T-06-1990 F. menyatakan bahwa dimensi
atau jumlah sumur resapan air hujan yang diperlukan pada suatu lahan pekarangan
ditentukan oleh curah hujan maksimum, permeabilitas tanah dan luas bidang tanah,
yang dapat dirumuskan sebagai berikut
dimana:
D = durasi hujan (jam)
I = intensitas hujan (m/jam)
At = luas tadah hujan (m2), dapat berupa atap rumah atau permukaan tanah
yang diperkeras
k = permeabilitas tanah (m/jam)
P = keliling penampang sumur (m)
As = luas penampang sumur (m2)
H = kedalaman sumur (m).
Perencanaan sumur resapan berdasarkan standar PU mengikuti tahapan sebagaimana
dilukiskan dalam bagan alir Gambar 3-5.
Persyaratan umum:
1) Sumur resapan air hujan dibuat pada lahan yang lulus air dan tahan longsor
2) Sumur resapan air hujan harus bebas kontaminasi/pencemaran limbah
3) Air yang masuk sumur resapan adalah air hujan
4) Untuk daerah sanitasi lingkungan buruk, sumur resapan air hujan hanya
menampung dari atap dan disalurkan melalui talang
5) Mempertimbangkan aspek hidrogeologi, geologi dan hidrologi.
Permeabilitas tanah:
Permeabilitas tanah yang dapat dipergunakan untuk sumur resapan dibagi menjadi 3
kelas, yaitu:
1) Permeabilitas tanah sedang (geluh/lanau, 2,0 – 6,5 cm/jam)
2) Permeabilitas tanah agak cepat (pasir halus, 6,5 – 12,5 cm/jam)
3) Permeabilitas tanah cepat (pasir kasar, lebih besar 12,5 cm/jam).
Tabel 3-4. Volume sumur resapan pada tanah dengan permeabilitas rendah.
Sumber : SK. Gub. No. 17 th. 1992 dalam Dinas Pertambangan DKI Jakarta.
3) Kolam Resapan
Kolam resapan merupakan kolam terbuka yang khusus dibuat untuk menampung air
hujan dan meresapkannya ke dalam tanah. Model kolam ini cocok untuk kawasan
dimana air tanahnya dangkal namun tersedia lahan yang cukup luas.
4) Saluran Berumput (Grassed Chanels)
Saluran berumput adalah anak sungai alam atau parit buatan bervegetasi yang
digunakan untuk mengakomodasi dan mengurangi kecepatan limpasan air hujan.
Saluran berumput dapat diterapkan di hampir semua tempat dan sangat efektif
mengontrol limpasan dari jalan raya dan kawasan perumahan. Saluran berumput
mempunyai beberapa manfaat, yaitu:
Menangkap sedimen dan polutan lainnya oleh rerumputan;
Mengurangi limpasan dan meningkatkan infiltrasi yang pada gilirannya,
mengontrol debit puncak
Sangat efektif untuk mengontrol limpasan dari jalan raya dan kawasan
pemukiman;
Dapat memberikan resapan air tanah, jika desain dan tanah memungkinkan
untuk peningkatan infiltrasi.
5) Bioretensi (Rain Garden)
Sistem bioretensi yang dibangun dapat menjadi bagian ruang terbuka hijau dan
dirancang berdasarkan jenis tanahnya, kondisi lokasi dan tata ruang rencana wilayah
pengembangan. Penggunaan bioretensi sebagai ruang terbuka hijau di daerah real
estate dapat meningkatkan nilai estetika daerah yang dikembangkan. Bioretensi
mengintegrasikan antara fungsi pengurangan polusi air dan limpasan permukaan.
Konstruksi bioretensi (Gambar 3-8) merupakan lubang dengan dimensi tertentu yang
diisi berturut-turut dengan gravel, dan campuran pasir dan humus, serta di atasnya
ditanami rumput dan pepohonan. Polutan yang terbawa air limpasan berupa sedimen,
metal, serta kandungan lain disaring oleh media yang digunakan serta proses
mikrobioogi dari material organik.
Perkerasan permukaan tanah untuk keperluan jalan dan lapangan parkir dapat
dijadikan fasilitas peresapan air hujan yang sangat potensial. Perkerasan dengan paving block
yang selama ini kita kenal dibuat dengan konstruksi yang kurang tepat sehingga fungsi
meresapkan air hujan tidak optimal. Konstruksi paving block yang benar sebagaimana
diperlihatkan dalam Gambar 3-10 mempunyai dasar dengan lapisan porus (pasir atau split
atau sirtu) cukup tebal. Ketebalan tergantung pada porositas material dan hujan rencana yang
digunakan. Khusus untuk lapangan parkir dapat juga digunakan grass block (Gambar 3-11).
Saringan sampah merupakan salah satu bangunan penting dalam ecodrain. Hal ini
disebabkan kesadaran masyarakat yang rendah untuk membuang sampah di TPA, selain itu
kapasitas TPA sendiri yang kurang memadai dan akhirnya sampah terbuang ke saluran
drainase. Sampah tersebut ada yang dalam kondisi terapung, melayang dan berada di dasar
saluran/badan air.
1. Pendekatan Analisa Jumlah Sampah yang Masuk ke dalam Sungai (Sistem DAS)
Sampah yang diproduksi oleh permukiman, daerah perkantoran dan perdagangan, dan
fasum dan fasos di perkotaan dan perdesaan tidak semua dapat terangkut ke Tempat
Pengolahan Akhir (TPA) atau tereduksi dengan kegiatan 3R dan komposting ataupun di
timbun/dibakar, ternyata masih ada sebagian dari prosentase sampah tersebut yang dibuang
ke perairan (sungai, danau dan pantai/laut). Dari hasil penelitian di bebarapa kota besar di
Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya didapatkan jumlah prosentase
sampah yang cukup besar yang dibuang ke sungai dan saluran-saluran drainase, yang secara
signifikan juga menyebabkan kegagalan fungsi sarana prasarana drainase dan pengendalian
banjir karena dapat mengurangi kapasitas saluran serta mengganggu operasional fungsi pintu
air dan instalasi pompa banjir.
2. Perhitungan Laju Timbulan Sampah Sungai
Produksi sampah sungai dalam layanan pembersihan ini adalah sampah sungai yang
timbul di daerah perkotaan yang mempunyai jumlah yang lebih sedikit dari jumlah sampah
yang ada secara keseluruhan. Hanya sebagian kecil dari produksi sampah kota yang masuk ke
dalam sistem aliran sungai.
3. Produksi Sampah Saluran/Sungai
Produksi sampah saluran/sungai terhadap sampah darat jika dinyatakan dengan
persamaan adalah sebagai berikut:
Qss = Qsd x Kss
dimana :
Qss = Quantitas sampah sungai
Qsd = Quantitas sampah darat
Kss = Koefisien timbulan sampah sungai (0,2 - 0,6%)
Produksi sampah untuk suatu kawasan pemukiman yang berada dipinggir aliran
sungai/kali dihitung berdasarkan banyaknya populasi yang menghasilkan sampah setiap
harinya, jika dinyatakan dengan persamaan adalah sebagai berikut:
Qss = (P x Qsd) +Qnd
Dimana:
Qss = Quantitas sampah sungai
P = Populasi penduduk sepanjang aliran sungai
Qsd = Produksi sampah domestik (liter/orang/hari)
Qnd = Produksi sampah non domestik (daun, pohon, jalanan)
4. Penanganan Sampah dengan Saringan Mesin Otomatis
Upaya yang dilakukan dalam penanganan sampah sungai salah satunya dengan trash
rake (Alat Penangkap/Penyaring Sampah). Trash rake digolongkan dalam dua kategori,
kategori ini adalah :
Trash rake kabel hoist/ Cable hoist trash rake
Trash rake mekanikal/ Mechanical trash rake.
5. Trash Rake Kabel Hoist/ Cable Hoist Trash Rake
Prinsip kerja trash rake kabel hoist ini menggunakan kabel/wire rope untuk
menggerakan trash rake (pergerakan naik dan turunnya rake digerakan oleh hoist melalui
kabel /wire rope). Pada trash rake kabel hoist ini ada 2 type yaitu:
Trash rake tanpa rel pengarah (Unguided cable hoist trash rake)
Prinsip kerja trash rake jenis ini, rake/garu menggantung bebas, pergerakan naik dan
turunnya rake digerakan oleh hoist melalui kabel /wire rope (seperti terlihat pada Gambar
3.13).
Trash rake dengan rel pengarah (Guided cable hoist trash rake)
Prinsip kerja trash rake jenis ini, rake/garu dilengkapi dengan rel pengarah yang
letaknya di kedua belah sisi, sehingga lebar rake bisa lebih besar dan rake lebih stabil.
Sedangkan pergerakan naik dan turun nya rake digerakan oleh hoist melalui kabel/wire
rope (seperti terlihat pada Gambar 3.14).
Gambar 3.14 Guided cable hoist trash rake
Elbow Arm
Prinsip kerja trash rake jenis ini yaitu: rake dilengkapi dengan dua lengan, sedangkan
bagian ujungnya dilengkapi dengan backhoe untuk pengambilan sampah.
Sliding Arm Trash Rake
Prinsip kerja sliding arm trash rake ini yaitu: trash rake dilengkapi dengan sliding arm,
hydraulic cylinder dan rantain.
3.3.3 Bioremediasi
Proses bioremediasi adalah salah satu teknik pengurangan atau penghilangan tingkat
toksisitas, mobilitas dan kuantitas bahan pencemar (kontaminan) pada sumber air dan tanah
terkontaminasi dengan menggunakan mikroorganisme (mikroflora atau mikrofauna). Bila
menggunakan makroflora (tumbuhan) disebut phytoremediasi. Teknik bioremediasi yang
dapat diaplikasikan untuk pengelolaan sedimen (endapan) sungai atau bozem atau waduk
adalah secara: (1) in-situ, dimana pengolahan dilakukan ditempat tanah terkontaminasi
berada dan (2) ex-situ, dimana pengolahan dilakukan ditempat lain.
3.3.4. Biofilter
Biofilters efektif jika arus lambat dan dangkal pada saluran parit alamiah. Dalam
berbagai jenis tanah, biofilter juga menyebabkan terjadinya penyerapan hujan ke dalam
tanah, lebih lanjut mengurangi pencemaran air dan mengurangi debit limpasan (yang
akhirnya mengurangi potensi banjir). Konsep utama biofilter adalah menggerakan aliran air
dengan lambat melalui tumbuh-tumbuhan.
Gambar 3-18. Biofilter
3.3.6. Fitoremediasi
Jenis-jenis tanaman yang sering digunakan di Fitoremediasi adalah; Anturium
Merah/Kuning, Alamanda Kuning/Ungu, Akar Wangi, Bambu Air, Cana Presiden
Merah/Kuning/Putih, Dahlia, Dracenia Merah/Hijau, Heleconia Kuning/Merah, Jaka, Keladi
Loreng/Sente/Hitam, Kenyeri Merah/Putih, Lotus Kuning/Merah, Onje Merah, Pacing
Merah/Putih, Padi-padian, Papirus, Pisang Mas, Ponaderia, Sempol Merah/Putih, Spider Lili,
dll.
1. Jumlah Penduduk. Dapat dipahami dengan mudah bahwa semakin banyak penduduk
semakin banyak pula sampahnya. Pengelolaan sampah inipun berpacu dengan laju
pertumbuhan penduduk.
2. Keadaan Sosial Ekonomi. Semakin tinggi keadaan social ekonomi masyarakat,
semakin banyak jumlah perkapita sampah yang dibuang. Kualitas sampahnya semakin
banyak yang bersifat tidak dapat membusuk. Perubahan kualitas sampah ini,
tergantung pada bahan yang tersedia, peraturan yang berlaku serta kesadaran
masyarakat akan persoalan sampah.
3. Kenaikan Kesejahteraan. Inipun akan meningkatkan kegiatan konstruksi dan
pembaharuan bangunan. Transportasi-pun bertambah dengan konsekuensi
bertambahnya volume dan jenis sampah.
4. Kemajuan Teknologi. Kemajuan teknologi akan menambah jumlah maupun kuantitas
sampah, karena pemakaian bahan baku yang semakin beragam, cara pengepakan dan
produk manufaktur yang semakin beragam pula.
Memberikan informasi yang lengkap yang terkait langsung maupun tidak langsung
dengan program pengelolaan ecodrain.
4.1. Monitoring Ukuran Teknis / Infrastruktur
4.1.1 Kondisi dan Fungsi Sarana dan Prasarana Sistem Drainase Perkotaan,
Jaringan Saluran dan Bangunan Pelengkap
Berupa pemantauan lokasi genangan, luas, tinggi, lama genangan dan intensitas
genangan dilengkapi koordinat lokasi genangan, peta genangan serta korban jiwa dan
kerugian material.
4.3. Evaluasi
Evaluasi pengelolaan system ecodrain adalah mempelajari semua hasil monitoring
sejak dari perencanaan hingga tahap pengelolaan system. Tolok ukur perencanaan meliputi :
ketentuan yang berlaku; Standar, Pedoman, Manual serta SNI. Evaluasi system ecodrain
diarahkan pada perencanaan yang dituangkan sebagai tolok ukur yang harus dicapai dan
ditaati oleh pengelola system. Evaluasi dilakukan terhadap : pengelolaan, pengoperasian,
-pemeliharaan dan rehabilitasi yang kemudian dibandingkan terhadap tolok
ukur/kriteria/standar yang telah ditetapkan pada tahap perencanaan.
5. Langkah Menuju Sistem Drainase Perkotaan Secara Terpadu Berwawasan
Lingkungan (Ecodrain) di Indonesia
1. Bagaimana merubah cara pandang terhadap pertambahan penduduk yang selama ini
dianggap sebagai beban, dibalik menjadi bagian dari solusi terhadap sistem drainase,
yaitu dengan mengembangkan sistem drainase yang bertumpu pada peran aktif dan
pemberdayaan semua pemangku kepentingan.
2. Bagaimana cara meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap prasarana dan sarana
sistem drainase yang telah dibangun sehingga dapat berfungsi secara optimal, efektif
dan efisien.
3. Bagaimana mengembangkan dan menerapkan fasilitas pemanenan air hujan oleh
seluruh stakeholders untuk mengendalikan debit dan sekaligus memperbaiki
ketersediaan air tanah.
4. Bagaimana cara menyelaraskan dan memadukan semua infrastruktur perkotaan
sehingga tidak saling berbenturan.
5. Bagaimana cara melakukan adaptasi pengelolaan sistem drainase serta perilaku
masyarakat terhadap perubahan iklim yang terjadi.
5.3. Landasan Hukum
Sampai saat ini belum ada peraturan mengenai pengelolaan sanitasi (drainase, air
limbah, dan sampah) yang ada baru mengenai pengelolaan sampah, yaitu Undang-undang
No. 18 Tahun 2008. Namun demikian, ada beberapa peraturan yang dapat dijadikan rujukan
untuk mengembangkan pengelolaan sistem drainase yang berwawasan lingkungan,
diantaranya adalah :
1. sistem yang mampu menangkap air hujan sebanyak-banyaknya dan menahannya baik
di permukaan tanah maupun di dalam tanah, dengan tidak menimbulkan
genangan/banjir yang menimbulkan kerugian;
2. sistem yang mampu mengendalikan debit dan limpasan, dan mampu mengantisipasi
dampak pemanasan global, sehingga sistem dapat berfungsi lama, dengan melakukan
adaptasi dan menerapkan konsep “zero delta Q policy”;
3. sistem yang mampu menjaga kualitas air dengan baku mutu yang sesuai dengan
persyaratan lingkungan hidup, dengan menerapakn sistem drainase terpisah;
4. sistem yang didukung oleh semua pemangku kepentingan.
5. sistem yang terintegrasi dengan infrastruktur kota lainnya, sehingga tidak saling
bertabrakan.