Anda di halaman 1dari 13

SIKAP DAN KEYAKINAN

1.Pengantar
Apakah Saudara melewatkan informasi tentang demonstrasi mahasiswa Indonesia
tanggal 11 April 2021? Apa sikap saudara tentang fenomena itu?
Berikut sebuah artikel seorang dosen di Medan tentang fenomena itu:
DEMO 11 APRIL : PANGGUNG OPERA TRAGEDI KEMANUSIAAN

Tesis : Homo Homini Lupus est, artinya Manusia Adalah Serigala Bagi
Sesamanya.

( Plautius dalam bukunya berjudul ASINARIA, 195 SM )

Sebagai reaksi terhadap tesis itu, muncul

Anti Tesis: Homo Homini Socius, artinya Manusia adalah saudara yang saling
mengasihi bagi sesamanya.

( Lucius Annaeus Seneca, 4 SM - 65 M )

Enam belas abad kemudian, muncul Sintesis dari seorang bernama Thomas
Hobbes dalam bukunya berjudul De Cive ( 1651 ). Thomas Hobbes
merumuskan sintesisnya:

Homo Homini Lupus dan Homo Homini Socius. Selengkapnya dia menulis :

To Speak impartially, both sayings are very true : That Man to Man is a kind of
God; and that Man is errant Wolf. Artinya : Ke dua istilah tersebut terdapat
kebenarannya : bahwa sesama manusia adalah semacam Tuhan dan bahwa antar
sesama manusia terdapat serigala yang kejam.

Prolog

Pada suatu malam tanggal 18 Desember 1986, di pintu gerbang halaman sebuah
rumah besar di kawasan Sekip, Blok M, No. 4, kompleks perumahan Dosen
Universitas Gajah Mada ( UGM ), Yogyakarta, terjadi suatu dialog antara seorang
guru dengan muridnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB, sambil
memegang ke dua bahu muridnya, sang guru yang merupakan Legenda hidup
UGM Prof Dr T Jacob memberikan nasehat kepada muridnya ( penulis sendiri ),
yang akan meninggalkan almamaternya, untuk bertugas di Sumatera.

" Yance, ingatlah, kita semua manusia sejak jutaan tahun lalu sudah dibekali
beberapa kemampuan yang dapat menimpakan kekerasan fisik dan non fisik
pada orang lain, yang menimbulkan penderitaan bagi orang yang
menerimanya. Kemampuan tersebut adalah BERBICARA, TULISAN,
OTAK, TANGAN dan PERALATAN. Semua sarana itu seringkali
menimbulkan kerusakan dan penderitaan di alam ini. Kita masih punya
harapan untuk mengendalikan semua potensi buruk sarana itu dan mencegah
timbulnya penderitaan. Harapan terbesar terletak pada pendidikan. Saya
punya firasat, tidak lama lagi kamu akan jadi pendidik seperti saya,
walaupun sekarang kamu pergi bukan untuk menjadi guru. Kelak ketika
kamu jadi pendidik, tempa muridmu jadi orang yang berpikiran bebas,
terbuka terhadap kritik, mampu membuat pilihan, pertimbangan dan menilai
secara mandiri. Didik muridmu jadi orang jujur, berani dan bertanggung
jawab terhadap diri sendiri dan orang lain ".

Peristiwa demo 11 April di Jakarta telah mempertontonkan kepada dunia suatu


panggung opera tragedi kemanusiaan, membuat nasehat dari Dewa
Paleoanthropologi di atas masih relevan untuk dijadikan bahan renungan. Seorang
guru dari universitas beken di Republik, mendapat perlakuan biadab dari peserta
demo, yang mungkin di antaranya terdapat murid beliau. Sang guru disiksa,
dipukul, diinjak injak, bahkan ditelanjangi oleh para pendemo. Sebenarnya yang
ditelanjangi bukan sang guru sendiri, tetapi SEMUA ORANG BERADAB.
Mereka memperlihatkan betapa benar sekali Plautius, dan Thomas Hobbes.
Sungguh tidak terbayangkan peristiwa itu dapat terjadi di ibu kota negara, di depan
gedung parlemen, dilakukan oleh orang yang mengaku intelektual generasi Z dan
generasi millenial, dan ditujukan kepada seorang guru senior. Tidak dapat
dibayangkan bagaimana nasib guru tersebut, jika tidak segera diselamatkan oleh
aparat negara.

Anatomi Demo ( Demonstrasi )

Hampir semua demo tidak terjadi dengan tiba tiba. Setiap demo dirancang oleh
otak manusia, dieksekusi oleh tangan manusia. Artinya setiap demo adalah
fenomena alam, bebas dari campur tangan kekuatan di luar manusia. Demonstrasi
adalah kegiatan unjuk rasa yang dilakukan warga masyarakat sebagai mekanisme
penyaluran aspirasi / kehendak rakyat, dilakukan di depan atau dekat dengan
simbol simbol kekuasaan ( istana kepresidenan, gedung parlemen ). Tujuan dan
motif para pendemo beraneka ragam, tetapi pada dasarnya menjadikan ajang demo
sebagai alat menarik perhatian publik. Target tertinggi pendemo adalah
tumbangnya rejim yang sedang berkuasa dan target minimalnya adalah upaya
pembentukan opini publik, bahwa mereka adalah benar dan pihak seberang adalah
salah. Untuk lebih memahami fenomena demo perlu mencermati kejadian kejadian
pada masa pra demo -- hari H demo -- pasca demo.

Pra Demo

Biasanya sebelum terjadi demo, ada kejadian, momen, atau kebijakan yang bersifat
kontroversi dari penguasa resmi. Beberapa pihak yang merasa memiliki agenda
tersembunyi atau pihak yang kepentingannya terganggu, mulai berencana
melakukan aksi. Mereka memiliki sumberdaya untuk merealisasikan gagasannya.
Mereka mulai mencari / merekrut petualang, broker yang punya jaringan luas ke
pusat pusat organisasi mahasiswa, pemuda, buruh. Segelintir orang ini merancang
isu, tema demo, sampai merancang bunyi baliho, spanduk, stiker, kaos dan
berbagai atribut yang diperlukan untuk kegiatan demo. Mereka menyediakan
tempat untuk kegiatan persiapan, penyimpanan logistik. Mereka juga merancang
tanggal hari H, jalur pelarian, jika situasi di lapangan berkembang tidak terkendali.
Sehari sebelum hari H, semua tokoh kunci, sudah tidak berada di kota, menghilang
entah kemana, semua jejak fisik dan digital sudah dilenyapkan. Yang tinggal hanya
Koordinator Lapangan yang mempersiapkan finishing. Gerombolan pendemo
sudah dipersiapkan, dan sudah dipilih siapa yang berada di barisan depan,
mengusung spanduk. Ketika rombongan mulai bergerak, koordinator lapangan
mulai pelan pelan menepi, pindah ke barisan belakang, mencari posisi aman,
nyaman, memantau dari kejauhan dengan menggunakan kacamata gelap dan topi
ala Bareta, atau Indiana Jones. Ketika situasi berkembang tidak terkendali, maka
dia adalah orang pertama yang melarikan diri meninggalkan medan. Para
pendemo yang tertangkap petugas keamanan, termasuk pengusung spanduk,
dijamin tidak tahu apa apa. Mereka tidak tahu siapa tokoh di balik gerakan itu,
bahkan tidak tahu siapa, di mana dan kapan spanduk dibuat.

Hari H Demo

Regulasi yang dibuat pemerintah, mengharuskan penggagas demo untuk


melaporkan rencananya kepada pihak berwenang. Dengan demikian, praktis
rencana itu terekspose ke publik. Kondisi ini mendorong pihak lain ikut
mendompleng dalam gerakan itu untuk kepentingannya pula. Dengan demikian
tidak mengherankan jika banyak bermunculan statemen dari pemerintah dan
pengamat bahwa demo itu disusupi oleh pihak ketiga. Peserta demo ditunggangi
oleh pihak pihak yang tidak bertanggung jawab. Fakta sebenarnya, tanpa disusupi
oleh pihak ke tiga, empat , lima dan seterusnya, para pendemo itu memang sejak
awal sudah ditunggangi oleh kelompok tertentu. Tanpa ada yang memfasilitasi
dan mengkoordinir, mahasiswa, buruh, organisasi pemuda sulit untuk
menggerakkan sebuah demonstrasi berskala besar. Hanya kelompok terorganisir
yang mampu melakukannya.

Dalam suasana kalut, tegang, satu atau dua teriakan dan tindakan yang
memprovokasi massa, sudah cukup untuk meledakkan peristiwa chaos. Pada tahap
ini korban luka luka bahkan tewas, kebakaran, pengerusakan harta benda tidak
terelakkan. Bentrokan antara pendemo dengan pihak keamanan tidak terhindarkan
lagi. Kekacauan makin hebat, korban terus berjatuhan di kedua pihak, kerusakan
makin meluas. Pihak keamanan terus mendatangkan bala bantuan sekaligus
memotong jalur komunikasi, jalur logistik di antara kelompok pendemo berikut
menutup semua celah para pendemo untuk melarikan diri. Penangkapan besar
besar dilakukan untuk mengorek berbagai informasi penting, tetapi yang ditangkap
sebagian besar adalah penggembira yang tidak tahu apa apa.

Pasca Demo

Pada tahap ini para pihak mulai dapat berpikir jernih, tetapi semua sudah
terlambat, kerusakan terjadi di mana mana. Korban jiwa dan luka luka membuat
banyak pihak saling menyalahkan dan menyesali apa yang sudah terjadi. Biaya
merehabilitasi kerusakan sangat besar, tetapi kerugian terbesar bukan pada aspek
materi melainkan hilangnya rasa saling percaya di antara pemerintah dan
masyarakat. Kerugian besar yang lain adalah lunturnya kepercayaan masyarakat
internasional, termasuk para investor terhadap bangsa ini. Dibutuhkan effort
( usaha ) dari semua elemen bangsa untuk memulihkan rasa saling percaya,
mengembalikan kepercayaan dunia internasional. Upaya itu melalui kegiatan
lobby, ekshibisi, expo, kampanye yang pasti membutuhkan biaya dan tenaga serta
waktu yang tidak sedikit.

Lima Senjata Manusia

Pada bagian prolog sudah disebutkan ada lima ( 5 ) kemampuan dasar manusia,
yang jika disalahgunakan untuk tujuan jelek, dapat menimbulkan akibat tidak
terperikan.
Kemampuan berbicara

Kemampuan ini adalah modal yang dimiliki semua manusia normal. Berbicara
adalah senjata atau alat pertahanan yang paling lemah, tetapi sekaligus kuat jika
pandai menggunakannya. Orang yang terlatih di bidang ini dapat menimbulkan
kekuatan dan wibawa, untuk mempersuasi orang mengikuti kehendaknya tanpa
menggunakan alat pemaksa atau kekerasan. Kemampuan ini dimiliki manusia
sejak jutaan tahun lalu, ketika laring manusia turun dari posisi semula. Ketika
masih bayi, posisi laring masih di bagian atas tenggorokan. Ketika bayi berusia
lebih 18 bulan, posisi laring turun. Turunnya posisi laring memungkinkan manusia
memiliki rongga udara di tenggorokan lebih besar yang berguna dalam
pembentukan bunyi vokal yang bervariasi.

Turunnya posisi laring dikombinasikan dengan volume otak yang lebih besar pada
manusia sejak 1 juta tahun lalu, yang ditandai dengan terbentuknya basi cranium
( bentuk parabola ) pada tulang atap tengkorak ), dan terbentuknya tonjolan pada
pelipis kiri ( area broca ), telah mendorong terbentuknya kemampuan berbicara
pada spesies manusia sejak homo erectus hingga homo sapien.

Tulisan

Sejak 6000 tahun lalu manusia mulai mengembangkan sistem tulisan, yang terdiri
dari simbol simbol tertentu. Sistem tulisan memungkinkan manusia menyebarkan
perintah / komando di antara wilayah luas. Sistem produksi dan pemerintahan
berjalan efektif dan efisien, berkat adanya sistem tulisan. Sistem tulisan juga
memungkinkan manusia menyimpan informasi / pengetahuan sekaligus
mewariskannya antar generasi, sehingga ilmu pengetahuan berkembang maju.

Otak

Volume otak manusia ketika mulai berjalan tegak berkisar 600 cc. Ketika muncul
homo erectus, pada 1 juta tahun lalu, volume otak manusia sudah berkembang
menjadi 900 cc dan 1100 cc pada homo erectus progresif . Spesies homo sapien
( manusia modern ) volume otak sudah berkembang menjadi 1300 -- 1350 cc.
Selain volume yang makin besar, susunan otak berikut jaringan saraf manusia
modern makin kompleks. Kemampuan otak manusia yang telah berkembang
demikian pesat memberi kemampuan pada manusia untuk mendominasi planet
bumi. Sekarang manusia dapat membuat apa saja, termasuk menghidupkan lagi
mahluk yang telah punah ( ingat kasus menghidupkan kembali kambing ibex yang
telah punah satu abad lalu dan sekarang sudah 48 spesies berhasil dihadirkan
kembali ). Kemampuan manusia sekarang sudah menyerupai Tuhan sehingga
muncul label homo deus yang dilekatkan pada manusia.

Tangan

Tidak dapat disangkal bahwa tangan manusia memiliki keistimewaan, selain kuat,
juga lentur. Demikian lenturnya sehingga dapat memasukkan seutas benang ke
lobang jarum yang sangat kecil. Sejak 2,5 juta tahun lalu manusia sudah melatih
kebiasaan lebih fokus menggunakan tangan kanan. Kebiasaan ini mendorong
berkembangnya belahan otak kiri dan otak bagian kiri adalah tempat pengaturan
saraf bicara. Kemampuan berbicara juga di dorong oleh berkembangnya sel otak
kiri.

Peralatan

Manusia mulai membuat alat secara sistematis sejak 2,5 juta tahun lalu, bersamaan
dengan munculnya dominasi penggunaan tangan kanan. Riset sistematis dan tekun
yang dilakukan oleh Michael Toth, telah membuktikan bahwa peralatan tertua
yang dibuat manusia secara sistematis dan terencana adalah kapak kapak batu.
Kemampuan manusia membuat peralatan terus berkembang dan sekarang manusia
sudah mampu membuat senjata pemusnah massal, mengirim benda buatannya ke
luar angkasa, di samping berbagai jenis peralatan yang memudahkan hidupnya.

Pengendalian Diri dan Tanggung Jawab

Kemampuan manusia membuat lima senjata di atas, tidak diimbangi dengan


kemampuan pengendalian diri dan rasa tanggung jawab. Akibatnya, di sepanjang
jaman sejak dari jaman paleolitik ( batu tua ), jutaan tahun lalu, hingga jaman
nuklir sekarang ini, catatan sejarah manusia dipenuhi oleh tragedi yang
memilukan. Pertumpahan darah, penghilangan nyawa, kerusakan dan
penghancuran terjadi terus menerus tanpa jeda. Penulis teringat pada pesan
perancang Gedung Putih, istana kepresidenan Amerika Serikat kepada John
Adams, presiden ke dua, sebagai penghuni pertama. Arsitek itu meninggalkan
catatan kepada John Adams, berisi harapan, Semoga penghuni gedung ini adalah
orang orang yang arif bijaksana.

Epilog
Peristiwa demo 11 April harusnya jadi bahan pelajaran untuk semua orang, agar
jangan suka bermain api, karena tidak ada orang yang dapat memperkirakan akhir
dari hasil rancangannya. Terlalu banyak probabilitas yang mungkin untuk terjadi,
terutama jika mekanisme yang bekerja lebih dominan mekanisme acak dari
determinisme. Harapan dari para orang terdidik dan beradab adalah peningkatan
kemampuan penguasaan lima senjata manusia harus diimbangi dengan rasa kasih
sayang, peningkatan kemampuan pengendalian diri dan rasa tanggung jawab yang
makin besar.

Bagaimana tanggapan Saudara terhadap tulisan di atas? Di sana tergambar dengan


jelas sikap tentang fenomena demonstrasi mahasiswa yang terjadi secara meluas
tanggal 11 April 2022 itu.
Beberapa tanggapan penting harus diberikan untuk meluruskan sebagai berikut:
“Mungkin penulis artikel di atas perlu diingatkan bahwa ia pun dapat
menggunakan secara bebas dan leluasa “konsep 5 (lima) senjata manusia” yang
dipergunakannya dalam menganalisis demonstrasi 11 April 2022 itu kepada
subjek lain, misalnya pemerintah. Penulis artikel ini pun sangat bebas
mempersepsikan subjek ini (pemerintah) seburuk demonstran dipersepsikannya.
Artinya, jika dalam tulisan ini persepsi yang begitu kentara tentang buruknya niat
dan perilaku demonstran di lapangan sangat ditonjolkan, maka penulisnya pun
bisa menggunakan persepsi yang sama untuk mengatakan bahwa pemerintah ini
jahat sehingga mengundang keresahan (deprivation) yang akhirnya massa
terkonsolidasi dalam bentuk demonstrasi. Ia pun bisa menambahkan bahwa
demonstrasi itu tak ada perlunya jika orang yang akhirnya bersedia bergabung
tak merasa ada yang perlu diributkan.
Dengan demikian, penjelasan tentang peran pihak kedua, ketiga, keempat dan
kelima dan pihak-pihak penunggang lainnya, juga dapat disematkan kepada
pemerintah yang akhirnya harus dilihat sebagai membiarkan demonstrasi menjadi
keniscayaan belaka akibat ia (pemerintah) menelantarkan kewajibannya
menyejahterakan rakyat yang diwakili oleh demonstran, hanya karena ia telah
diketahui lebih memerankan diri sebagai pelayan bagi negara lain atau korporasi
tertentu dan atau oligarki. Penulis artikel itu jelas mengabaikan fakta-fakta yang
telah menjadi perbincangan publik di Indonesia, apakah itu soal ketertundukan
Indonesia kepada asing khususnya China, utang yang terus bertambah,
pengangguran, kemiskinan dan keterbelahan rakyat selama pemerintahan Joko
Widodo.
Di dalam tulisan ini sebetulnya terdapat kerangka metodologis yang secara
sederhana dapat menuntun babakan ulasan (prolog, nalog dan epilog). Tetapi
terlihat penulis telah memutus prolog pada situasi mikroskopik jangka pendek
yang kemudian terbukti begitu menyesatkan. Puzzle yang dapat ia kumpulkan tak
berhasil dan mungkin secara sengaja dimaksudkan untuk tak tiba pada deskripsi
lengkap sebuah big picture.
Sebetulnya kini tersedia banyak kajian terkait social movement (old social
movement dan new social movement) yang dapat menyumbang pemahaman lebih
baik untuk menjawab “mengapa harus muncul demonstrasi”.
Pengenalan anatomi gerakan sangat penting, sehingga tak tiba-tiba menimpakan
kesalahan kepada mahasiswa yang menggelar demonstrasi yang di dalamnya Ade
Armando menjadi salah satu sorotan karena ia diperlakukan buruk.
Selain kecurigaan tentang siapa pelaku perlakuan kasar kepada Ade Armando tak
boleh dipandang selesai dengan “mentersangkakan mahasiswa”, penulis juga
terkesan menyederhanakan demonstrasi sudah berakhir.
Mungkin jika Prof Dr T Yacob masih hidup, dengan menagih konsep
“Pengendalian Diri dan Tanggung Jawab” yang digunakan oleh penulis artikel
itu, ia akan berkata (bukan kepada demonstran, melainkan kepada pemerintah
yang didemonstrasi):
“Wahai yang sudah merasa sepi kritik dan ingin sekali didemo, gunakanlah
senjata kemampuan berbicaramu, kemampuan menulismu, kemampuan otakmu,
kemampuan tanganmu dan kemampuan peralatanmu untuk mengemban tugas
sesuai amanat konstitusi: hapuskan segala bentuk penjajahan, lindungi bangsa
dan tumpah darah, meajukan kesejahteraan rakyat, cerdaskan mereka,
berdiplomasilah dengan berani di dunia internasional agar tiada yang berani
mengganggu tertib dunia.”
*****
Sikap adalah evaluasi positif atau negatif yang dibuat tentang orang, masalah, atau
objek. Misalnya, dalam pengaturan organisasi, karyawan mungkin memiliki sikap
terhadap atasan atau rekan kerja mereka, terhadap masalah atau peraturan tempat
kerja, dan terhadap pekerjaan itu sendiri.
Sikap membentuk fondasi utama dari cara individu berpikir tentang dan
memahami dunia di sekitar mereka; akibatnya, mereka mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh kepercayaan dan kognisi orang.
Banyak penelitian telah difokuskan pada struktur dan pengukuran sikap, serta
hubungannya dengan pengaruh, keyakinan, dan perilaku.
Sebuah pertanyaan sentral yang telah diangkat berkaitan dengan sikap adalah
apakah mereka adalah prediktor perilaku yang akurat. Memahami proses
pembentukan dan perubahan sikap juga telah menjadi jalan utama penelitian.

2.Struktur Sikap
1. Sikap didasarkan pada informasi kognitif, afektif, dan perilaku.
2. Keyakinan memberikan dasar kognitif dari suatu sikap. Keyakinan adalah
informasi kognitif yang dimiliki seseorang tentang objek sikap. Misalnya,
sikap di tempat kerja mungkin didasarkan pada keyakinan, atau kognisi,
tentang pekerjaan seseorang.
3. Dasar afektif dari suatu sikap mengacu pada respons emosional yang dimiliki
seseorang terhadap objek sikap—misalnya, pengaruh yang dirasakan seseorang
terhadap pekerjaannya.
4. Dasar perilaku dari suatu sikap mengacu pada tindakan yang diambil
sehubungan dengan objek sikap, seperti perilaku yang berhubungan dengan
pekerjaan yang mencerminkan sikap seseorang terhadap pekerjaan.
Suatu sikap mungkin didasarkan pada kombinasi dari ketiga komponen ini
(kognitif, afektif dan perilaku). Untuk sikap tertentu, komponen dapat secara
evaluatif tidak konsisten satu sama lain. Misalnya, seseorang dengan pekerjaan
yang melelahkan secara emosional mungkin mengalami pengaruh negatif terhadap
pekerjaannya tetapi pada saat yang sama memiliki kognisi positif dengan percaya
bahwa pekerjaan itu penting dan berguna.
Hal ini mengarah pada ambivalensi sikap, yang digambarkan sebagai keadaan
memegang evaluasi positif dan negatif dari objek sikap yang sama.
Isu ambivalensi sikap telah menerima perhatian baru-baru ini, tercermin dalam
perdebatan apakah struktur sikap itu bipolar atau bivariat. Proses evaluatif secara
tradisional dikonseptualisasikan sebagai bipolar.
Menurut model sikap bipolar, sikap orang dapat berkisar dari sangat negatif (dan
tidak sama sekali positif) hingga sangat positif (dan sama sekali tidak negatif).
Konseptualisasi ini menyiratkan bahwa kenegatifan dan kepositifan adalah
kekuatan yang saling berlawanan; akibatnya, semakin positif sikap seseorang,
semakin sedikit negatifnya, dan sebaliknya. Salah satu batasan konseptualisasi ini
adalah bahwa hal itu menghalangi kemungkinan ambivalensi sikap.
Untuk mengatasi masalah ini, konseptualisasi alternatif struktur sikap telah muncul
di mana sikap dipandang sebagai bivariat daripada bipolar. Perspektif bivariat
menunjukkan bahwa kepositifan dan negativitas adalah substrat sikap yang dapat
dipisahkan, bukan ujung yang berlawanan dari kontinum yang sama; selanjutnya,
masing-masing dapat diaktifkan secara terpisah dan memberikan pengaruh
independen pada perilaku.

3.Formasi Sikap
Sikap terbentuk melalui berbagai proses. Banyak sikap dikembangkan melalui
pengalaman langsung dengan objek sikap atau dipelajari melalui proses
pengkondisian operan dan klasik. Semakin banyak bukti menunjukkan bahwa
sikap mungkin juga memiliki dasar genetik.
Pengalaman langsung. Sikap dapat terbentuk melalui pengalaman langsung dengan
seseorang, masalah, atau objek. Interaksi langsung dengan objek sikap
berkontribusi pada pembentukan evaluasi positif atau negatif. Sikap yang terbentuk
melalui pengalaman langsung merupakan prediktor kuat dari perilaku masa depan.
Pengkondisian klasik. Ketika stimulus positif atau negatif dipasangkan berulang
kali dengan objek sikap awalnya netral, pembentukan sikap melalui pengkondisian
klasik dapat terjadi. Ketika ini terjadi, evaluasi yang dipasangkan dengan stimulus
netral akhirnya menjadi terkait dengan objek sikap itu sendiri. Pembentukan sikap
melalui proses ini sering terjadi pada tingkat bawah sadar.
Pengkondisian operan. Sikap terbentuk melalui pengkondisian operan ketika objek
sikap menjadi terkait dengan konsekuensi positif atau negatif. Secara khusus,
ketika perilaku terhadap objek sikap diperkuat, sikap positif terhadap objek sikap
akan terbentuk. Ketika perilaku terhadap objek sikap dihukum atau dikaitkan
dengan konsekuensi negatif, sikap yang tidak menguntungkan akan terbentuk.
Penentu genetik sikap. Kembar identik (bahkan ketika dibesarkan di lingkungan
yang terpisah) menunjukkan korelasi yang lebih tinggi dalam sikap mereka
daripada kembar fraternal, memberikan bukti dasar genetik dari sikap. Hal ini
mungkin karena pengaruh genetika pada temperamen dan kepribadian, yang pada
gilirannya mempengaruhi sikap. Sikap yang memiliki dasar genetik tampaknya
lebih sulit untuk diubah dan memberikan pengaruh yang lebih kuat pada perilaku.

4.Sikap Implisit dan Eksplisit


Sebuah perbedaan telah dibuat antara sikap implisit dan eksplisit. Sikap eksplisit
adalah sikap yang secara sadar disadari dan dapat dilaporkan oleh seseorang,
misalnya, pada ukuran laporan diri. Sejumlah besar penelitian telah difokuskan
pada pemahaman dan penilaian sikap eksplisit. Namun, perhatian baru-baru ini
telah beralih ke keberadaan sikap implisit, sikap yang tidak disengaja, tidak dapat
dikendalikan, dan, dalam beberapa kasus, tidak dapat diakses pada tingkat sadar.
Meskipun sikap implisit tidak diakses secara sadar, mereka ditemukan masih
memberikan pengaruh pada perilaku. Ambil contoh, seseorang yang memegang
sikap seksis di tempat kerja tetapi tidak secara sadar memegang sikap ini. Ini
adalah sikap implisit, yang dapat memberikan pengaruh pada perilaku tempat kerja
orang ini sehubungan dengan karyawan wanita.
Hubungan antara sikap implisit dan eksplisit, bersama dengan pengaruhnya
terhadap perilaku, adalah topik penyelidikan yang sedang berlangsung di antara
para peneliti sikap. Berkenaan dengan pengukuran sikap, sikap implisit dan
eksplisit mungkin memerlukan metode penilaian yang berbeda. Karena orang tidak
dapat secara langsung mengakses dan melaporkan sikap implisit, cara pengukuran
sikap tradisional mungkin kurang efektif, yang menunjukkan perlunya metode
penilaian yang lebih tidak langsung.

5.Pengukuran Sikap
Sikap sering dinilai melalui pengukuran laporan diri. Tiga metodologi skala umum
yang digunakan untuk menilai sikap adalah skala Thurstone, skala Likert, dan
diferensial semantik. Skala Thurstone dikembangkan dengan meminta individu
mengurutkan pernyataan opini tentang objek sikap tertentu sesuai dengan kesukaan
mereka. Subset item yang mewakili berbagai pendapat kemudian dipilih dan
digunakan untuk menilai sikap.
Skala Likert terdiri dari serangkaian item di mana orang-orang menunjukkan
kekuatan persetujuan mereka dengan setiap pernyataan (misalnya, "Saya
menikmati pekerjaan saya") pada skala penilaian yang mencakup persetujuan
tingkat rendah hingga tinggi. Diferensial semantik menilai sikap dengan
memberikan pasangan kata sifat yang berlawanan (misalnya, baik-buruk; bodoh-
bijaksana) di mana individu menilai objek sikap tertentu.
Meskipun ada keuntungan untuk mengukur sikap melalui ukuran laporan diri
langsung, seperti ketersediaan, kecepatan, dan kemudahan penggunaan, ada juga
keterbatasan yang terkait dengan penggunaannya. Misalnya, banyak ukuran
laporan diri yang ada membuat asumsi implisit bahwa sikap bersifat bipolar (bukan
bivariat) dan, oleh karena itu, mungkin tidak mendeteksi tingkat ambivalensi sikap.
Selanjutnya, ketika individu diminta untuk melaporkan sikap tentang topik
kontroversial, mereka mungkin cenderung melaporkan evaluasi mereka yang
sebenarnya dan sebaliknya melaporkan tanggapan yang mereka anggap diinginkan
secara sosial.
Demikian pula, jika sikap tidak dapat diakses secara sadar, seperti dalam kasus
sikap implisit, individu mungkin tidak dapat melaporkannya secara akurat tentang
tindakan ini. Untuk mengatasi kekhawatiran ini, peneliti dapat menggunakan
metode pengukuran sikap tidak langsung, seperti ukuran perilaku yang tidak
mengganggu, ukuran fisiologis, atau teknik, seperti Tes Asosiasi Implisit, yang
dirancang untuk menilai sikap implisit.

6.Apakah sikap memprediksi perilaku?


Pertanyaan apakah sikap membimbing dan memprediksi perilaku merupakan isu
yang telah menjadi pusat studi tentang sikap. Beberapa tantangan kritis terhadap
asumsi akal sehat bahwa sikap menentukan perilaku muncul pada 1930-an dan
1940-an, karena banyak penelitian menunjukkan sedikit atau tidak ada hubungan
antara sikap dan perilaku. Akibatnya, pada tahun 1960-an ada seruan dari banyak
peneliti untuk meninggalkan studi tentang sikap.
Sejak itu, para peneliti telah memeriksa kembali hubungan sikap-perilaku dan
mengartikulasikan kondisi tertentu di mana sikap akan cenderung memandu
perilaku. Sikap yang dapat diakses, spesifik, kuat, atau dibentuk melalui
pengalaman langsung ditemukan memberikan pengaruh yang lebih kuat pada
perilaku. Selain itu, teori tindakan beralasan, yang dikembangkan oleh Icek Ajzen
dan Martin Fishbein , dan teori perilaku terencana, yang dikembangkan oleh Ajzen
, memberikan model tentang bagaimana sikap dapat memandu perilaku deliberatif
melalui pengaruhnya terhadap niat.

7.Bujukan
Persuasi mengacu pada upaya aktif yang dilakukan untuk mengubah sikap orang
lain terhadap beberapa masalah, objek, atau orang. Studi mani yang dilakukan
selama tahun 1940-an oleh Carl Hovland dan kelompok penelitiannya di
Universitas Yale mengarah pada pengembangan pendekatan pembelajaran pesan,
yang menjadi template utama untuk penelitian persuasi. Pendekatan pembelajaran
pesan menunjukkan bahwa persuasi terjadi melalui urutan tahapan termasuk
perhatian, pemahaman, hasil, dan retensi pesan. Ini menegaskan bahwa persuasi
dipengaruhi oleh karakteristik yang terkait dengan sumber pesan, sifat audiens
(atau penerima pesan), dan kualitas pesan itu sendiri.
Pada 1980-an, model proses ganda, seperti model heuristik-sistematis Shelly
Chaiken dan model kemungkinan elaborasi, yang dikembangkan oleh Richard
Petty dan John Cacioppo , muncul sebagai model persuasi yang dominan. Model-
model ini menunjukkan bahwa persuasi dapat dihasilkan dari dua jenis pemrosesan
pesan: pemrosesan argumen yang bijaksana yang terkandung dalam pesan, atau
pemrosesan isyarat atau heuristik yang berkaitan dengan pesan yang tidak terlalu
sulit. Apakah seseorang terlibat dalam proses yang lebih atau kurang dengan usaha
tergantung pada kemampuan atau motivasi seseorang untuk menguraikan pesan.
Meskipun perubahan sikap dapat terjadi melalui salah satu proses, persuasi yang
dihasilkan dari pemrosesan pesan yang lebih elaboratif ternyata lebih gigih, tahan
terhadap persuasi tandingan, dan prediktif perilaku masa depan.

Anda mungkin juga menyukai