Anda di halaman 1dari 42

MANAJEMEN PENANGANAN PADA PASIEN CEDERA KEPALA

DIRUANG INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD


TGK CHIK DI TIRO KABUPATEN PIDIE

HALAMAN JUDUL

PROPOSAL MINI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk


Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan

Oleh

MUHAMMAD FAJAR
NIM: 23010198

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
MEDIKA NURUL ISLAM SIGLI
2023

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera kepala merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak

yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak

tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. Cedera kepala merupakan istilah

luas yang menggambarkan sejumlah cedera yang terjadi pada kulit kepala,

tengkorak, otak, dan jaringan di bawahnya serta pembuluh darah di kepala

(Haryono & Utami, 2019).

Pada tahun 2014 di Amerika Serikat cedera kepala yang diakibatkan

oleh kejadian jatuh yang tidak disengaja memiliki prevalensi tertinggi yaitu

52,3%, sedangkan cedera kepala yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan

bermotor memiliki prevalensi 20,4% dari total keseluruhan pasien rawat inap

dengan diagnosa cedera kepala (Park & Peterson, 2019).

Menurut Riskesdas 2018, prevalensi kejadian cedera kepala di

Indonesia berada pada angka 11,9%. Cedera pada bagian kepala menempati

posisi ketiga setelah cedera pada anggota gerak bawah dan bagian anggota

gerak atas dengan prevalensi masing-masing 67,9% dan 32,7%. Kejadian

cedera kepala yang terjadi di provinsi Bali memiliki prevalensi sebesar

10,7%, dimana provinsi dengan cedera kepala tertinggi yaitu provinsi

Gorontalo dengan prevalensi 17,9% (Riskesdas, 2018).

Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala,

trauma yang dapat menyebabkan cedera kepala antara lain kejadian jatuh

1
2

yang tidak disengaja, kecelakaan kendaraan bermotor, benturan benda tajam

dan tumpul, benturan dari objek yang bergerak, serta benturan kepala pada

benda yang tidak bergerak. Berdasarkan GCS (Glasgow Coma Scale) cedera

kepala dapat dibagi menjadi 3, yaitu cedera kepala ringan dengan GCS 13-15,

cedera kepala sedang dengan GCS 9-12, dan cedera kepala berat dengan GCS

kurang atau sama dengan 8 (Siregar dkk, 2020).

Cedera kepala sedang memiliki tanda dan gejala sebagai berikut, yaitu

disorientasi ringan, amnesia post traumatik, sakit kepala, mual muntah,

vertigo dalam perubahan posisi, gangguan pendengaran. Selain tanda dan

gejala tersebut, konfusi, kejang, serta adanya tanda kemungkinan fraktur

kranium (tanda battel, mata rabun, hemotmpanum, otore, atau rinore cairan

serebrospinal) juga merupakan tanda dan gejala yang muncul pada pasien

dengan cedera kepala sedang (Wijaya & Putri, 2018).

Instalasi Gawat Darurat sebagai gerbang utama penanganan kasus

gawat darurat di rumah sakit memegang peranan penting dalam upaya

penyelamatan hidup pasien khususnya penderita cedera kepala. Penanganan

penderita cedera kepala harus cepat, tepat dan cermat serta sesuai dengan

prosedur yang ada, selain itu prinsip-prinsip umum penatalaksanaan penderita

cedera kepala juga menjadi acuan penting untuk mencegah kematian dan

kecacatan, misalnya tatalaksana Airway, Breathing, Circulation, Disability

dan Exposure (ABCDE), mengobservasi tanda-tanda vital, mempertahankan

oksigenasi yang adekuat, menilai dan memperbaiki gangguan koagulasi,

mempertahankan hemostatis dan gula darah, nutrisi yang adekuat,


3

mempertahankan PaCO2 35- 45 mmHg, dan lain-lain (Pudjiadi, 2018).

Pasien yang mengalami cedera kepala, cenderung mengalami masalah

yang komplit karena akan terjadi masalah pada otak dan saraf. Penyebab

kematian atau kecacatan yang dapat terjadi apabila pasien cedera kepala tidak

mendapatkan pertolongan yang benar pada saat kegawat daruratan. Melihat

besarnya dampak yang dapat diakibatkan dari cedera kepala perlu adanya

perawatan dan sistem pendukung yang intensif, sehingga diharapkan masalah

yang ada dapat teratasi dan komplikasi yang mungkin terjadi dapat dihindari

secara dini, serta tindakan keperawatan yang komprehensif.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan keperawatan

adalah tingkat pengetahuan dan pengalaman perawat dalam menangani

pasien. Menurut ( Notoatmodjo, 2017), pengetahuan merupakan hasil dari

tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek

tertentu. Pengetahuan merupakan faktor dominan yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang.

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Imran (2017) di RSUD Zinal

Abidin diketahui bahwa jumlah perawat yang ada di Instalasi Gawat Darurat

ada 57 orang dimana terdapat 26 orang perawat laki-laki dan 31 orang

perawat perempuan dengan masa kerja 27 orang <5 tahun, 17 orang 5 – 10

tahun dan 13 orang > 10 tahun. Adapun tingkat pendidikan perawat di

Instalasi gawat darurat adalah 4 orang dengan pendidikan S2, 15 orang

dengan pendidikan S1, dan 38 orang dengan pendidikan DIII. Usia perawat

yang di Instalasi Gawat Darurat berkisar antara 25 – 50 tahun dengan status


4

pekerjaan 32 orang pegawai tetap dan 25 orang pegawai honorer. Pelatihan

yang sudah didapatkan perawat Instalasi Gawat Darurat adalah pelatihan

BTCLS, namun belum semua perawat mengikuti pelatihan tersebut dan ada 4

orang perawat yang sedang melanjutkan kuliah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala ruangan IGD Rumah

Sakit Umum Daerah Tgk. Chik Ditiro Sigli Kabupaten Pidie, beliau

mengatakan bahwa instalasi gawat darurat sebagai pusat rujukan pasien di

Kabupaten Pidie, dengan pelayanan prima yang mempunyai waktu tanggap

kurang dari 5 menit. Selanjutnya berdasarkan hasil observasi awal yang

dilakukan oleh peneliti, didapatkan hasil, dari 5 pasien yang masuk ke IGD, 2

pasien dilayani dengan waktu tanggap kurang dari 5 menit dan 3 pasien

dilayani dengan waktu tanggap lebih dari 5 menit. Pasien yang dilayani

dengan waktu tanggap lebih dari 5 menit dikarenakan jumlah perawat saat itu

kurang memadai untuk memberikan pelayanan pada pasien yang masuk

secara berurutan.

Pasien cedera kepala di Rumah Sakit Umum dr Zainoel Abidin Banda

Aceh, selama periode Juli sampai Oktober 2017 di ruang IGD didapatkan

bahwa cedera kepala menempati posisi ketiga dalam urutan penyakit

terbanyak yang dirawat dalam kurun waktu Juli sampai Oktober 2017 di

ruang IGD dengan total sebanyak 46% kasus dari keseluruhan pasien yang

masuk ke IGD (Imran, 2017).

Data pasien cedera kepala di RSUD Teuku chik di Tiro dari bulan

januari s/d Desember 2023 dengan jumlah pasien cedera kepala 95 orang.
5

Dengan proporsi cedera kepala ringan 82%, cedera kepala sedang 9%, cedera

kepala berat 6% dan pasien yang meninggal 3% (RSUD Tgk. Chik Ditiro

Kabupaten Pidie, 2023).

Berdasarkan fenomena diatas maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian tentang Manajemen Penanganan Pada Pasien Cedera Kepala di

Ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD Tgk Chik Di Tiro Kabupaten Pidie.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang peneliti uraikan diatas, maka menjadi

rumusan masalah penelitian adalah “Bagaimanakah Manajemen

Penanganan Cedera Kepala di Ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD

Tgk Chik Di Tiro Kabupaten Pidie”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Manajemen Penanganan

Cedera Kepala di Ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD Tgk Chik Di Tiro

Kabupaten Pidie.

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi pengetahuan perawat dalam melakukan manajemen

penanganan pada pasien cedera kepala.

b. Mengidentifikasi pengalaman perawat dalam melakukan manajemen

penanganan pada pasien cedera kepala


6

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Dapat mengaplikasikan semua ilmu yang telah peneliti dapat selama ini

khususnya ilmu tentang riset penelitian serta yang menyangkut dan

mengkaji tentang penelitian ini.

2. Bagi Responden

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi

responden tentang Manajemen Penanganan Cedera Kepala Di Ruang

Instalasi Gawat Darurat RSUD TGK Chik Di Tiro Kabupaten Pidie.

3. Bagi Perawat

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan kepada

perawat sehingga dapat meningkatkan pelayanan pasien yang masuk di

IGD dengan meningkatkan waktu tanggap khususnya pada pasien cedera

kepala di IGD Rumah Sakit Umum Daerah

4. Bagi Instansi Pendidikan

Diharapkan hasil penelitian untuk institusi pendidikan hendaknya dapat

menambah bahan acuan di perpustakaan, sehingga untuk masa yang akan

datang tidak ada hambatan bagi mahasiswa yang ingin meneliti.

5. Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti lain dapat dimanfaatkan dan dijadikan sebagai bahan

referensi dan hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar dalam melakukan

penelitian lebih lanjut.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Teori

1. Pengertian Cedera Kepala

Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat

congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau

benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran

yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik .

Cedera kepala adalah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan

otak (Smeltzer, S.C. & Bare, 2017).

Cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi

normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam.

Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan

pengaruh masa karena hemoragik, serta edema serebral di sekitar jaringan

otak (Battica & Fransisca, 2018).

2. Etiologi

Penyebab cedera kepala menurut (Rosjidi & Saiful, 2017) adalah :

a. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan

mobil.

b. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.

c. Cedera akibat kekerasan.

d. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana

dapat merobek otak.

8
9

e. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat

sifatnya.

f. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana

dapat merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam.

3. Manifestasi klinik

Gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi

cedera otak menurut Sylvia (2016) adalah :

a) Cedera kepala ringan

1. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah

cedera.

2. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.

3. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah

laku.

Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa

minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma

ringan.

b) Cedera kepala sedang

1. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan

atau bahkan koma.

2. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, atau tiba-tiba deficit

neurologik, perubahan tanda-tanda vital (TTV), gangguan penglihatan

dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo

dan gangguan pergerakan.


10

c) Cedera kepala berat

1. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan

sesudah terjadinya penurunan kesadaran.

2. Pupil tidak actual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera

terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologic.

3. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur

4. Fraktur pada kubah cranial menyebabkan pembengkakan pada area

tersebut.

4. Patofisiologi

Proses patofisiologi cedera otak dibagi menjadi dua yang didasarkan

pada asumsi bahwa kerusakan otak pada awalnya disebabkan oleh kekuatan

fisik yang lalu diikuti proses patologis yang terjadi segera dan sebagian besar

bersifat permanen. Dari tahapan itu, Arifin (2017) membagi cedera kepala

menjadi dua :

a) Cedera otak primer

Cedera otak primer (COP) adalah cedera yang terjadi sebagai

akibat langsung dari efek mekanik dari luar pada otak yang

menimbulkan kontusio dan laserasi parenkim otak dan kerusakan akson

pada substantia alba hemisper otak hingga batang otak.

b) Cedera otak sekunder

Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi akibat

proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak, hemodinamika

intrakranial dan kompartement cairan serebrosspinal (CSS) yang


11

dimulai segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara klinis segera

setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak faktor

antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak,

gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel otak, gangguan

hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan reactive oxygen species,

infeksi dan asidosis. Kelainan utama ini meliputi perdarahan

intrakranial, edema otak, peningkatan tekanan intrakranial dan

kerusakan otak.

5. Klasifikasi

Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara

kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi

beratnya penderita cedera kepala. Cedera kepala diklasifikasikan dalam

berbagi aspek, secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu

berdasarkan beratnya cedera:

a. Cedera kepala ringan (CKR) : GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan

kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia

retrograde, tidak ada faktur tengkorak, tidak ada contusia cerebral dan

hematoma.

b. Cedera kepala sedang (CKS) : GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau

amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam, dapat

mengalami faktur tengkorak, diikuti contusia cerebral, laserasi, atau

hematoma intra cranial.

c. Cedera kepala berat (CKB) : GCS lebih kecil atau sama dengan 3-8,
12

kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam, juga

meliputi contuse cerebral, laserasi, atau hematoma intra cranial.

Table 2.1 Daftar Nilai Glasgow Coma Scale (GCS)


No Respon Nilai

Membuka Mata:
 Spontan 4
1.  Terhadap rangsangan suara 3
 Terhadap nyeri 2
 Tidak ada 1

Verbal:
 Orientasi baik 5
 Orientasi terganggu 4
2.
 Kata-kata tidak jelas 3
 Suara tidak jelas 2
 Tidak ada respon 1

Motorik:
 Mampu bergerak 6
 Melokaliasasi nyeri 5
3.  Fleksi normal 4
 Fleksi abnormal 3
 Ekstensi 2
 Tidak mampu bergerak 1
Total 3-15
Sumber : (Astuti & Sulastri, 2019)

Skor GCS:

14 - 15 : Nilai normal/composmentis/sadar penuh 8 - 10 : Samnolen

12 - 13 : Apatis/ acuh tak acuh1 - 7 : Sopor koma

11 - 12 : Delirium 1- 4 : Koma

6. Komplikasi

a) Edema Pulmonal : Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema

paru, etiologi mungkin berasal dari gangguan neurologis atau akibat


13

sindrom distress pernafasan dewasa.

b) Peningkatan tekanan intracranial (TIK) : Tekanan intrakranial dinilai

berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg, dan herniasi dapat terjadi

pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak

disebut sebagai tekan perfusi rerebral.

c) Kebocoran cairan serebrospinal : Adanya fraktur di daerah fossa

anterior dekat sinus frontal atau dari fraktur tengkorak basilar bagian

petrosus dari tulangan temporal akan merobek meninges, sehingga

cairan serebrosspinal (CSS) akan keluar.

d) Kejang pasca trauma : Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang

dialami pasien merupakan salah satu komplikasi serius.

e) Demam dan menggigil : Demam dan mengigil akan meningkatkan

kebutuhan metabolisme dan memperburuk outcome.

f) Hidrosefalus : kondisi ini terjadi akibat penyumbatan di sistem

ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri

kepala, pupil odema, demensia, ataksia dan gangguan miksi.

g) Spastisitas : Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung

pada kecepatan gerakan.

h) Agitasi : Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium

awal dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil.

i) Sindrom post kontusio : Sindroma Post Kontusio merupakan komplek

gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan

pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama.
14

j) Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah

lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya.

k) Kognitif: perhatian, konsentrasi, memori dan Afektif: iritabel, cemas,

depresi, emosi labil.

7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penujang yang dapat dilakukan pada pasien dengan cedera

kepala adalah :

a) Pemeriksaan neurologis : Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah

tanda perangsangan meningen, yang berupa tes kaku kuduk yang hanya

boleh dilakukan bila kolumna vertebralis servikalis (ruas tulang leher)

normal.

b) Pemeriksaan radiologis.

c) Foto Rontgen Polos : Pada cedera kepala perlu dibuat foto rontgen

kepala dan kolumna vertebralis servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi

akibat benturan.

d) Computed Temografik Scan (CT-scan) : Dengan pemeriksaan ini kita

dapat melihat ke dalam rongga tengkorak. Potongan-potongan melintang

tengkorak bersama isinya tergambar dalam foto dengan jelas.

(Sastrodiningrat, 2016).

8. Pencegahan

a. Pencegahan primordial : Pencegahan primordial adalah pencegahan

yang dilakukan kepada orang-orang yang belum terkena faktor resiko

yaitu berupa safety facilities: koridor (sidewalk), jembatan


15

penyeberangan (over hedge bridge), rambu-rambu jalan (traffic signal),

dan peraturan (law).

b. Pencegahan primer : Pencegahan primer adalah segala upaya yang

dilakukan sebelum suatu peristiwa terjadi untuk mencegah faktor resiko

yang mendukung terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan

cedera kepala seperti: tidak mengemudi dengan gangguan kesehatan

(terlalu lelah, mengantuk, di bawah pengaruh obat-obatan dan alkohol),

pengendalian kecepatan kendaraan/ tidak mengebut, penggunaan helm

dan sabuk pengaman, muatan penumpang tidak berlebihan, dan

membuat jalanan yang lebih aman dan nyaman (tidak macet, kondisi

tidak berlubang-lubang, tidak berkelok-kelok).

c. Pencegahan sekunder : Pencegahan sekunder yaitu pencegahan untuk

menghentikan atau mengurangi perkembangan penyakit atau cedera

kepala ke arah kerusakan dan ketidakmampuan.

d. Pencegahan tersier : Pencegahan tersier yaitu upaya mencegah

komplikasi cedera kepala yang lebih berat atau kematian. Pencegahan

tersier dapat dilakukan dengan melakukan rehabilitasi yang tepat,

pemberian pendidikan kesehatan sekaligus konseling yang bertujuan

untuk mengubah perilaku (terutama perilaku berlalu lintas) dan gaya

hidup penderita. Rehabilitasi adalah bagian penting dari proses

pemulihan penderita cedera kepala.

9. Penatalaksanaan Medik
16

Menurut Smeltzer, S.C. & Bare (2018), penatalaksanaan cedera kepala

adalah :

a. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral,

dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.

b. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi

vasodilatasi.

c. Pemberian analgetik.

d. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%,

glukosa 40% atau gliserol.

e. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk

infeksi anaerob diberikan metronidazole.

f. Makanan atau caioran infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam

pertama dari terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan

makanan lunak.

g. Pembedahan

10. Penanganan cedera kepala menurut tingkat berat cedera kepala, yaitu;

a) Penanganan cedera kepala ringan : Pasien dengan Computed

Temografik Scan (CT-Scan) normal dapat keluar dari unit gawat

darurat (UGD) dengan peringatan apabila : mengantuk atau sulit

bangun (bangunkan setiap 2 jam), mual dan muntah, kejang,

perdarahan/keluar cairan dari hidung atau telinga, nyeri kepala hebat,

kelemahan/ gangguan sensibilitas pada ekstrimitas, bingung dan

tingkah laku aneh, pupil anisokor, penglihatan dobel/gangguan visus,


17

nadi yang terlalu cepat/terlalu pelan, pola nafas yang abnormal.

b) Penanganan cedera kepala sedang : Beberapa ahli melakukan

skoring cedera kepala sedang dengan Glasgow Coma Scale

Extended (GCSE) dengan menambahkan skala Postrauman Amnesia

(PTA) dengan sub skala 0-7 dimana skore 0 apabila mengalami

amnesia lebih dari 3bulan,dan skore 7 tidak ada amnesia. Rab (2017)

membagi cedera kepala sedang menjadi :

1) Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness

2) Risiko sedang ; ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post

trauma

3) Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah

Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat

penanganan. Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali.

Gejala terbanyak antara lain : mudah lupa, mengantuk, nyeri

kepala, gangguan konsentrasi dan dizziness. Penatalaksanaan

utamanya ditujukan pada penatalaksanaan gejala, strategi

kompensasi dan modifikasi lingkungan (terapi wicara dan okupasi)

untuk disfungsi kognitif ,dan psiko edukasi .

c) Penanganan cedera kepala berat

Diagnosis dan penanganan yang cepat meliputi:

1) Primary survey : stabilisasi cardio pulmoner

2) Secondary survey : penanganan cedera sistemik, pemeriksaan mini

neurologi dan ditentukan perlu penanganan pembedahan atau


18

perawatan di Intensive Care Unit (ICU).

B. Manajemen Penanganan Pada Pasien Cedera Kepala

Manajemen Cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat Pengelolaan

korban gawat darurat di unit emergensi sesuai dengan beratnya trauma yaitu

ringan, sedang, dan berat. Pengelolaan korban dilakukan berdasarkan urutan

yaitu:

1. Survei Primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi korban, meliputi

tindakan-tindakan berikut :

a. Airway

Bebaskan jalan nafas dengan memeriksa mulut dan

mengeluarkan darah, gigi patah, muntahan dsb, Bila perlu lakukan

intubasi (waspadai kemungkinan adanya faktur tulang leher).

b. Breathing

Pastikan pernafasan adekuat, perhatikan frekuensi, pola nafas

dan pernafasan dada atau perut dan kesetaraan pengembangan dada

kanan dan kiri simetris. Bila ada gangguan pernafasan, cari penyebab

apakah terdapat gangguan pada sentral (otak dan batang otak) atau

perifer (otot dan pernafasan atau paru-paru). Bila perlu, berikan

oksigen sesuai dengan kebutuhan dengan target saturasi O2 > 92%.

c. Circulation

Pertahankan tekanan darah sistolik >90mmHg. Pasang sulur

intravena. Berikan cairan intravena drip, NaCl 0,9% atau Ringer.


19

Hindari Cairan hipotonis bila perlu berikan obat vasopressor atau

inotropic.

d. Disabillity

Untuk mengetahui lateralasi dan kondisi umum dengan

pemeriksaan cepat status umum dan neurologis yaitu tanda vital

(Tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu) Skala koma Glosgow, Pupil

(Ukuran, bentuk dan refleks cahaya), Pemeriksaan neurologi cepat :

Hemiparisis, refleks patologis, AMPLE (Allergies,Medications,Past

IIInes, Last meal, Event/Enviroment related to the injury)

2. Amankan jalan napas dan berikan oksigenasi yang baik.

Otak yang terluka tidak mentolerir hipoksia setiap pasien TBI

harus menerima oksigen 100%. Jika memungkinkan, pantau saturasi

oksigen dengan oksimeter Jangan biarkan SaO2 menjadi kurang dari 90%.

Cara terbaik adalah mempertahankan tingkat sekitar 95%. Pertahankan

ventilasi yang baik (bukan hiperventilasi) dengan oksigen aliran tinggi

pada tingkat sekitar satu nafas setiap 6 sampai 8 detik (8 sampai 10 kali

napas per menit).

Studi telah menemukan bahwa penyedia cenderung hiperventilasi

pasien kritis tanpa menyadarinya. Anda dapat mencegahnya jika Anda

memiliki ETCO 2 monitor. Cobalah untuk menjaga CO 2 antara 35 dan 45

mmHg. Intubasi endotrakeal masih dianjurkan untuk orang dewasa jika

jalan napas tidak dapat dipertahankan atau Jika Anda tidak dapat

mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan oksigen tambahan.


20

3. Stabilkan pasien di papan belakang. Batasi gerakan leher dengan kerah

kaku dan kepala berlapis empuk perangkat gerak-pembatasan.

4. Pasien yang mengalami agitasi dan agresif yang melawan hambatan atau

ventilasi dapat meningkatkan ICP mereka, serta menempatkan diri mereka

pada risiko cedera cervical- spine lebih lanjut. Pertimbangkan sedasi

dalam hal ini Situasi, meski sadar bahwa sedasi akan menyulitkan

evaluasi neurologis. Penggunaan benzodiazepin secara hati- hati dapat

menurunkan agitasi tanpa menurunkan tekanan darah. Manfaat tambahan

penggunaan benzodiazepin adalah mencegah kejang. Profilaksis kejang

Pada pasien yang cedera kepala harus diinisiasi berdasarkan rekomendasi

arah medis. Agen lain yang cocok untuk digunakan meliputi fenitoin.

Jangan menggunakan barbiturat, karena bisa menyebabkannya hipotensi.

5. Catatlah pengamatan awal. Catat tanda vital (jelaskan tingkat dan pola

pernapasan), tingkatnya kesadaran, murid (ukuran dan reaksi terhadap

cahaya), skor skala koma Glasgow dan perkembangan kelemahan fokus

atau kelumpuhan. Jika pasien mengalami hipotensi, pendarahan atau

cedera tulang belakang. Setiap pasien dengan status mental yang berubah

harus memiliki glukosa jari-stick diperiksa dan direkam.

6. Terus memantau pengamatan yang tercantum pada langkah

7. Catat mereka setiap lima menit.

8. Masukkan dua kateter IV besar. Resusitasi cairan (kristaloid) pada pasien

dengan TBI seharusnya diberikan untuk menghindari hipotensi dan / atau

membatasi hipotensi sampai durasi terpendek mungkin (Tingkat II). Di


21

masa lalu diperkirakan bahwa cairan harus dibatasi pada pasien yang

memiliki cedera kepala. Telah ditemukan bahwa bahaya meningkatnya

pembengkakan otak dengan memberi cairan jauh lebih sedikit dari pada

bahaya membiarkan pasien menjadi hipotensi. Hiperventilasi

direkomendasikan untuk digunakan dalam merawat pasien dengan tanda

herniasi serebral Setelah mengoreksi hipotensi dan / atau hipoksia (Tingkat

III). Jika Anda memiliki capnografi yang tersedia, cobalah

mempertahankan level CO 2 sekitar 30 sampai 35 mmHg selama

hiperventilasi. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kegunaan

larutan garam hipertonik lebih dari kristaloid saat ini untuk pengobatan

hipotensi pada pasien TBI. Administrasi rutin steroid untuk TBI belum

terbukti memperbaiki hasil (Pusbankes, 2019).

Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan keperawatan diantaranya

sebagai berikut :

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang. Pengetahuan merupakan segala sesuatu yang

diketahui oleh seseorang berdasarkan pengalaman yang dimilikinya. Selain

berdasarkan pengalaman, pengetahun dapat dimiliki seseorang melalui

informasi atau berita dari orang lain serta dari tradisi.

Sedangkan dari WHO mendefinisikan bahwa pengetahuan dapat

diperoleh melalui kenyataan dengan melihat, mendengar melalui alat-alat

komunikasi cetak maupun elektronik. Pengetahuan juga dapat diperoleh dari


22

pengalaman. Selain itu juga dari informasi yang berasal dari orang lain (WHO,

2019).

Tingkat pengetahuan terbagi menjadi 6 yaitu (Notoatmodjo, 2017) :

a) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumny termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat

kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

dielajari atau rangsangan yang diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan

tingkat pengetahuan yang paling rendah.

b) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai kemmapuan untuk menjelaskan secara

benar tentang obyek yang diketaui dan dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar. Seseorang dikatakan telah paham terhadap obyek atau

materi apabila dapat menjelaskan, memberi contoh, menyimpulkan,

meramalkan dan sebagainya terhdap obyek yang dipelajari.

c) Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada suatu kondisi tertentu atau kondisi real

(sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau

penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam

konteks atau situasi lain.

d) Analisis (Analysis)

Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau


23

suatu obyek ke dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu

struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan

analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dalam

menggambarkan atau membuat bagan, membedakan, memisahkan,

mengelompokkan dan sebagainya.

e) Sintesis (Synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain sintesis merupakan suatu kemampuan untuk

menyusun formulasi baru. Misalnya dapat menyusun, merencanakan,

meringkas, menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau

rumusan-rusmusan yang yang telah ada.

f) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian-

penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau

menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

2. Pengalaman kerja

Menurut Sastrohadiwiryo (2018) semakin lama seseorang bekerja

semakin banyak kasus yang ditanganinya sehingga semakin meningkat


24

pengalamannya, sebaliknya semakin singkat orang bekerja maka semakin

sedikit kasus yang ditanganinya.

Pengalaman merupakan sumber pengetahuan dan suatu cara untuk

memperoleh suatu kebenaran. Oleh karena itu, pengalaman pribadi seseorang

dapat dijadikan sebagai upayan untuk memeperoleh pengetahuan. Pengalaman

yang diperoleh seseorang berdasarkan kenyataan yang pasti dan berulang-ulang

dapat menyebabkan terbentuknya pengetahuan.

Masa kerja adalah lama seorang perawat bekerja pada suatu organisasi

yaitu di mulai dari perawat resmi dinyatakan sebagai pegawai/karyawan tetap

rumah sakit. Masa kerja perawat merupakan salah satu faktor yang

berpengaruh terhadap kinerja perawat. Siagian (2017) menyatakan bahwa lama

kerja dan kepuasan serta kinerja berkaitan secara positif. Pendapat ini di

dukung oleh Mulyadi & Rivai (2019) karyawan yang lebih lama bekerja akan

lebih produktif dari karyawan yang baru bekerja.

Lama kerja seseorang mempengaruhi kualitas pekerjaan seseorang

karena adanya kejenuhan. Keberadaan orang baru lebih mudah untuk

mengadakan pembaharuan dalam keterampilan tindakan keperawatan.

Semangat yang dimiliki dapat meningkatkan keterampilan dan pengetahuan.

Motivasi yang kuat akan berdampak pada perubahan yang lebih baik (Aziz,

2016).

Menurut Maisury (2021) masa kerja seseorang terbagi atas 3, yaitu :

a. ˂5 tahun

b. 5 – 10 tahun
25

c. >10 tahun

C. Karakteristik Perawat

1. Usia

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.

Daya tangkap dan pola pikir seseorang akan semkin berkembang sejalan

dengan bertambahnya usia sehingga pengetahuan yang diperolehnya

semakin membaik. Semakin dewasa usia seseorang dapat mempengaruhi

cara seseorang untuk berfikir, memahami, dan mengerti.

2. Jenis kelamin

Pengaruh jenis kelamin dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh jenis

pekerjaan yang akan dikerjakan.

3. Tingkat pendidikan

Pendidikan merupakan faktor utama dalam diri manusia karena

semakin tinggi pendidikan yang diperoleh seseorang maka pengetahuan

seseorang akan bertambah. Pendidikan seseorang mempengaruhi cara

pandang terhadap lingkungan dan proses belajar untuk mendapatkan

pengetahuan.

4. Status kerja

Perbedaan status kepegawaian antara pegawai negeri sipil dengan

bukan pegawai negeri sipil menyebabkan kesenjangan antar tenaga perawat

yang bekerja pada satu sarana pelayanan kesehatan dengan status dan

penggajian yang berbeda. Selain itu bagi perawat yang tidak honorer

peluang ini makin terasa dengan pemberlakuan angka kredit bagi perawat
26

akan berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan kepada

masyarakat (Mulyadi & Rivai, 2019).

5. Pelatihan BTCLS (Basic Trauma Cardiac Life Support)

Pelatihan BTCLS merupakan pelatihan yang menyediakan suatu

metode yang dapat dipercaya dalam penanganan kasus trauma dan

pengetahuan dasar kepada perawat dengan cara mennilai kondisi pasien

dengan cepat dan teliti, resusitasi dan stabilisasi pasien menurut prioritas,

menentukan tindakan jika kebutuhan pasien melebihi suatu kemampuan

fasilitas, transfer pasien sesuai dengan kebutuhan, dan memastikan

penanganan yang diberikan optimal.


27

D. Kerangka Teori

Kerangka teori dibuat berdasarkan kombinasi hubungan keterkaian teori

yang digunakan dalam penelian.

Sutandi, 2018
- Pengetahuan
- Pengalaman

Notoatmodjo, 2017
- Pengetahuan Manajemen Penanganan Cedera Kepala
- Pengalaman Di Ruang Instalasi Gawat Darurat

Siagian, 2017
- Lama Bekerja
- Kepuasan

Skema 2.1 Kerangka Teori

Keterangan:

---------------------- : Variabel yang diteliti

_______________ ; Variabel yang tidak diteliti


BAB III

A. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian pada hakikatnya adalah suatu uraian dan

visualilasi konsep-konsep serta variabel-variabel yang akan diukur/diteliti

(Notoatmodjo, 2017). Dalam penelitian ini peneliti merumuskan sebuah kerangka

konsep berdasarkan teori (Sutandi, 2018).

Input Proses Output

1. Baik
Pengetahuan 2. Cukup
3. Kurang
Perawat IGD

1. Ya
Pengalaman
2. Tidak

Skema 3.1 Kerangka Konsep

B. Pertanyaan Penelitian

Bagaimanakah manajemen penanganan pada pasien cedera kepala diruang

Instalasi Gawat Darurat RSUD Tgk Chik Di Tiro Kabupaten Pidie.

29
30

C. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat cara Skala


No Hasil ukur
Operasional ukur ukur Ukur
1. Pengeta
Pengetahuan Kuesioner Membagi Ordinal 1. Baik
hua adalah hasil kuesioner 2. Cukup
n dari tahu 3. Kurang
yang
didapatkan
oleh

manusia
setelah
melakukan
pengamatan
dan
memahami
suatu objek
tertentu.
2. Pengalaman Kuesioner Membagi Nominal 1. Berpeng
Pen yang diperoleh kuesioner alaman
gala seseorang 2. Tidak
ma berdasarkan berpeng
n kenyataan alaman
yang pasti dan
berulang-
ulang dapat
menyebabkan
terbentuknya
pengetahuan.
Dan
pengalaman
yang
didapatkan
responden
dapat
menunjang
kehidupannya
di IGD.
31

D. Cara pengukuran variabel

1. Pengetahuan perawat

Pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan, yaitu

(Nursalam, 2017):

a. Baik, bila subyek menjawab benar 76-100% seluruh pertanyaan

b. Cukup, bila subyek menjawab benar 56-75% seluruh pertanyaan

c. Kurang, bila subyek menjawab benar <56% seluruh pertanyaan

2. Pengalaman

Pengukuran pengalaman meliputi :

a. Berpengalaman : jika mendapatkan nilai >50%

b. Tidak berpengalaman : jika mendapatkan nilai ≤50


BAB IV

METODELOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan desain cross

sectional yaitu peneliti melakukan survei dan pengumpulan data sekaligus

pada waktu yang sama (poin time approach). Yaitu suatu metode penelitian

yang dilakukan dengan tujuan utama untuk melihat faktor-faktor suatu

keadaan secara objektif (Nursalam, 2018).

B. Populasi dan sampel

1) Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah perawat yang bertugas di IGD

RSUD Tgk. Chik di Tiro berjumlah 42 orang.

2) Sampel

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan

teknik total sampling yaitu proses pengambilan seluruh populasi sebagai

sampel yang berjumlah 42 orang perawat yang bertugas di Ruang Instalasi

Gawat darurat RSUD Tgk Chik Di Tiro Kabupaten Pidie. Penelitian ini

terdapat kriteria dalam pengambilan sampel yaitu kriteria inklusi dan

ekslusi.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini yaitu seluruh perawat yang

bertugas di ruang IGD yang bersedia menjadi responden. Adapun kriteria

eklusi sebagai berikut :


33

a. Perawat yang tidak bersedia menjadi responden

b. Perawat yang bertugas di ruang anak

c. Perawat yang sedang tidak bertugas

C. Tempat dan waktu penelitian

1) Tempat

Tempat penelitan ini akan dilakukan di Ruang Instalasi Gawat

Darurat RSUD Tgk Chik Di Tiro Kabupaten Pidie.

2) Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan pada Januari 2024.

D. Etika Penelitian

Menurut Nursalam (2018) ada beberapa tahapan etika penulisan

diantaranya sebagai berikut:

1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)

Penulis perlu mempertimbangkan hak-hak subyek untuk

mendapatkan informasi yang terbuka berkaitan dengan jalannya penulisan

serta memiliki kebebasan menentukan pilihan dan bebas dari paksaan untuk

berpartisipasi dalam kegiatan penulisan (autonomy). Beberapa tindakan

yang terkait dengan prinsip menghormati harkat dan martabat manusia,

adalah: penulis mempersiapkan formulir persetujuan subyek (informed

consent).
34

2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penulisan (respect for privacy

and confidentiality)

Penulis tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas baik

nama maupun alamat asal subyek dalam kuesioner dan alat ukur apapun

untuk menjaga anonimitas dan kerahasiaan identitas subyek. Penulis dapat

menggunakan koding (inisial atau identification number) sebagai pengganti

identitas responden.

3. Keadilan dan inklusivitas (respect for justice and inclusiveness)

Prinsip keadilan menekankan sejauh mana kebijakan penulisan

membagikan keuntungan dan beban secara merata atau menurut kebutuhan,

kemampuan, kontribusi dan pilihan bebas masyarakat. Sebagai contoh

dalam prosedur penulisan, penulis mempertimbangkan aspek keadilan

gender dan hak subyek untuk mendapatkan perlakuan yang sama baik

sebelum, selama, maupun sesudah berpartisipasi dalam penulisan.

4. Memperhitungkan man faat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing

harms and benefits)

Penulis melaksanakan penulisan sesuai dengan prosedur penulisan

guna mendapatkan hasil yang bermanfaat semaksimal mungkin bagi

subyek penulisan dan dapat digeneralisasikan di tingkat populasi

(beneficence). Penulis meminimalisasi dampak yang merugikan bagi

subyek (nonmaleficence). Apabila intervensi penulisan berpotensi

mengakibatkan cedera atau stres tambahan maka subyek dikeluarkan dari


35

kegiatan penulisan untuk mencegah terjadinya cedera, kesakitan, stres,

maupun kematian subyek penulisan.

E. Alat Pengumpulan Data

Adapun Alat / instrument pengumpulan data yang dipakai dalam

penelitian ini adalah kuesioner yang akan dibagikan pada responden tentang

pengetahuan 5 pertanyaan dan tentang pengalaman 49 pertanyaan yang

meliputi Initial assasement 5 pertanyaan, tentang jalan nafas 8 pertanyaan,

tentang pernafasan 4 pertanyaan, tentang sirkulasi 8 pertanyaan, tentang

Disability (pemeriksaan status neurologis) 5 pertanyaan, tentang triase 4

pertanyaan, tentang intervensi keperawatan 9 pertanyaan, dan evaluasi tindakan

keperawatan 6 pertanyaan dengan total 54 pertanyaan, bagi responden yang

menjawab “Ya” atau benar mendapatkan skor 1 dan bagi responden yang

menjawab “Tidak” atau salah mendapatkan skor 0.

F. Uji Instrumen Penelitian

Setelah alat ukur selesai disusun berarti kuesioner dapat digunakan

untuk mengumpulkan data. Untuk itu, kuesioner tersebut harus dilakukan uji

coba (trial) di lapangan (Notoatmodjo, 2017). Uji yang dilakukan adalah uji

coba instrument yang akan dilakukan di Ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD

Tgk Abdullah Syafi’i Kabupaten Pidie dengan jumlah responden sebanyak 10

orang responden dilakukan dari tanggal 6 sampai dengan 10 Januari 2023. Uji

coba instrumen ini berupa uji validitas dan reliabilitas, dan dianalisis dengan

menggunakan komputer.
36

1. Uji Validitas

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang baik perlu dilakukan uji

validitas dan uji reliabilitas. Uji validitas diperlukan untuk mengetahui

apakah instrument penelitian (kuesioner) yang dipakai cukup layak

digunakan sehingga mampu menghasilkan data yang akurat. bahwa

instrumen dikatakan valid, apabila instrumen tersebut dapat digunakan

untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2017).

Uji validitas dilakukan menggunakan bantuan software SPSS

menggunakan pearson product moment (uji r), yaitu membandingkan nilai r

tabel dengan nilai r hasil. Menentukan nilai r tabel dapat dilihat pada nilai r

tabel hasil koefisiensi korelasi pearson product moment dengan menggunakan

df = n-2, pada kemaknaan 5% (Sugiyono. 2014).

2. Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana alat ukur dapat

di percaya atau diandalkan. Hal ini berarti menunjukan sejauh mana hasil

pengumpulan itu tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua atau lebih

terhadap masalah yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama dengan

menggunakan program komputer, maka nilai reliabilitas langsung dihitung

(Sugiyono, 2017).
37

G. Pengumpulan Data

1. Teknik pengumpulan data

Data yang dikumpulkan dalam penulisan ini terbagi menjadi 2 jenis

yaitu:

a. Data primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari responden di

lapangan dengan menggunakan kuesioner.

b. Data sekunder

Dalam penelitian ini data sekunder diperoleh dari data di ruang Instalasi

Gawat Darutan RSU Tgk Chik Di Tiro Kabupaten Pidie.

2. Prosedur Pengumpulan Data

a. Tahap persiapan pengumpulan data.

Tahap persiapan pengumpulan data dilakukan melalui prosedur

administrasi dengan mendapat izin dari Ketua Program Studi Ilmu

Keperawatan STIKes Medika Nurul Islam Sigli. Kemudian izin dari

Diklat RSUD Tgk Chik Di Tiro Kabupaten Pidie setelah itu meminta izin

dari kepala ruang IGD Tgk Chik Di Tiro Kabipaten Pidie.

b. Tahap pengumpulan data.

Setelah mendapat izin dari kepala ruang IGD RSUD Tgk Chik Di

Tiro Kabupaten Pidie untuk melakukan penelitian, kemudian penulis

mendatangi responden untuk mendapatkan izin penelitian langsung dan

memberi surat izin penelitian dari Kepala IGD Tgk Chik Di Tiro Kabupaten
38

Pidie. Selanjutnya penulis menemui calon responden dan melakukan

pengumpulan data dengan tahap sebagai berikut:

1) Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud dan tujuan

Penelitian ini serta meminta kesediaan responden untuk berpartisipasi

dalam Penelitian ini.

2) Kepada responden yang bersedia, peneliti langsung mengisi lembar

persetujuan responden untuk dapat di tanda tangani oleh responden.

3) Selanjutnya peneliti membagikan kuesioner kepada responden.

4) Terakhir peneliti mengucapkan terima kasih kepada responden atas

kesediaannya berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan peneliti.

kemudian peneliti melaporkan kembali pada kepala IGD Tgk Chik Di

Tiro Kabupaten Pidie untuk mendapatkan surat keterangan telah

selesai melakukan penelitian.

H. Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul diolah dengan langkah – langkah sebagai

berikut (Arikunto, 2019).

1. Editing

Proses dimana peneliti melakukan klarifikasi, keterbacaan,

konsistensi dan kelengkapan data yang sudah terkumpul. Proses

klarifikasi menyangkut memberikan penjelasan mengenai apakah data

yang sudah terkumpul akan menciptakan masalah teknis atau konseptual

pada saat peneliti melakukan analisis data.


39

2. Coding

Pemberian-pemberian kode yang biasanya dalam bentuk angka,

proses penyusunan secara sistematis dan mentah (yang ada dalam

kuesioner) ke dalam bentuk yang mudah dibaca oleh mesin pengolah data

seperti komputer. Pengkodean yang dimaksud adalah apabila responden

menjawab benar maka memperoleh skor 1 dan salah memperoleh skor 0.

3. Prosessing / Entry

Memindahkan data yang telah diubah menjadi kode kedalam mesin

pengolah data.

4. Cleanning

Memastikan bahwa seluruh data yang telah dimasukkan ke dalam

mesin pengolah data sudah sesuai dengan yang sebenarnya, yaitu data

yang dikumpulkan dibersihkan untuk ditabulasi dalam bentuk tabel

distribusi frekwensi.

5. Tabulating

Memasukkan data kedalam tabel distribusi frekuensi dan persentase

memindahkan data dari kartu kode sesuai dengan kelompok data kedalam

satu tabel.

I. Analisa data

1) Analisa Data Univariat

Analisa data univariat dilakukan untuk masing-masing variable

yaitu dengan melihat persentase dari setiap table distribusi frekuensi.

Dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Budiarto, 2018):


40

F
x 100 %
P= n

Dimana :

P = Persentase

F = Frekuensi teramati

n = Jumlah sampel (Budiarto, 2018).

2) Analisa Data Bivariat

Analisa bivariat merupakan analisis hasil dari variabel-variabel

bebas yang diduga mempunyai hubungan dengan variabel terikat.

J. Penyajian Data

Penyajian data yang telah dikumpulkan diolah menggunakan program

komputer kemudian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi untuk

dinarasikan.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin. (2017). Perbandingan Kadar Potasium Darah Penderita Cedera Kepala


Sedang-berat di Ruang Bedah RS. Dr. Hasan Sakidin Bandung. Jurnal
Keperawatan. Diambil dari http:www//pustaka.unpad.ac.id/archives
Arikunto, S. (2019). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Asmuji. (2017). Manajemen Keperawatan Konsep Dasar dan Aplikasi.
Yogyakarta: Ar- Ruzz Media.
Astuti, N., & Sulastri, Y. (2019). Tingkat Kecemasan Keluarga Pasien Saat
Menunggu Anggota Keluarga Yang Dirawat Di Ruang Icu Rumah Sakit
Islam Ibnu Sina Pekanbaru. Photon: Jurnal Sain dan Kesehatan, 2(2), 53–
55. https://doi.org/10.37859/jp.v2i2.139
Aziz, H. A. (2016). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC.
Battica, & Fransisca. (2018). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Budiarto. (2018). Biostatistik Untuk Keperawatan dan Kedokteran (10 ed.).
Jakarta: EGC.
Corwin. (2018). Buku Saku Patofisiologi (Edisi Tuju). Jakarta: EGC.
Haryono, & Utami. (2019). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Pustaka
Baru.
Imran. (2017). Manajemen Penanganan Pada Pasien Cedera Kepala di Ruang
Instalasi Gawat Darurat di RSUD Zainal Abidin Banda Aceh. Jurnal
Keperawatan.
Maisury. (2021). Gambaran Tingkat Stres Kerja Pada Perawat di Rumah Sakit
Umum Daerah Ampana Selama Masa Pandemi Covid-19. Skripsi. Diambil
dari http://repository.unhas.ac.id/id/eprint/6693/2/R011191104_skripsi 1-
2.pdf
Mudatsir, S. (2019). Faktor–faktor yang Berhubungan dengan Waktu Tanggap
Penanganan Pasien Cedera Kepala di Instalasi Rawat Darurat (IRD)
RSUD.Prof.Dr.H.M.Anwar Makkatutu Kabupaten Bantaeng Tahun 2018.
Universitas Hasanuddin. Diambil dari
http://digilib.unimed.ac.id/4074/11/11. 8106176015 Daftar Pustaka.pdf
Mulyadi, & Rivai. (2019). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: EGC.
Notoatmodjo. (2017). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Nursalam. (2017). Metode Penelitian Ilmu Keperawatan (4 ed.). Jakarta: EGC.
Nursalam. (2018). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Park, N., & Peterson, C. (2019). Character Strengths: Research and Practice.
Journal of College and Character, 10(4). https://doi.org/10.2202/1940-
1639.1042
Pudjiadi. (2018). Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Jakarta: EGC.
Pusbankes. (2019). Basic Trauma and Cardiac Support (BTCLS). Yogyakarta:
Basic IDI.
Rab. (2017). Agenda Gawat Darurat (Critical Care). 2nd ed. Bandung: Alumni.
Riskesdas. (2018). Penelitian, Badan Kesehatan, Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Rosjidi, & Saiful. (2017). Perawatan Cedera Kepala dan Stroke. Ponorogo:
Unmuh Ponorogo Press.
RSUD Tgk. Chik Ditiro Kabupaten Pidie. (2021). Laporan Tindakan Medis
Tahunan. Sigli: Diklat RSUD TCD.
Sastrohadiwiryo. (2018). Pengaruh Disiplin Kerja dan Pengalaman Kerja
Terhadap Kinerja Pegawai. Jakarta: Gramedia Pusat.
Siagian, S. (2017). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Aksara.
Siregar, D., Manurung, E. I., Sihombing, R. M., Pakpahan, M., Sitanggang, &
Yenni Ferawati. (2020). Keperawatan Kelaurga. Jakarta: Yayasan Kita
Menulis.
Smeltzer, S.C. & Bare, B. G. (2017). Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth Edisi 8, Volume 2. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C. & Bare, B. G. (2018). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth (8 ed.). Jakarta: EGC.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (6 ed.).
Bandung: Alfabeta.
Sutandi. (2018). Self Management Education (DSME) Sebagai Metode Alternatif
Dalam Perawatan Mandiri Pasien Diabetes Melitus Di Dalam Keluarga.
Jurnal Manajemen. Diambil dari https://media.neliti.com/ media/
publications/218710-self-management-education-dsme-sebagai-m.pdf
Sylvia. (2016). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Penyakit.
Jakarta: EGC.
Trismiati, E. (2020). Hubungan Pengetahuan Tentang Cidera Kepala Dan Peran
Perawat Dalam Penanganan Pasien Cidera Kepala Di Unit Gawat Darurat
RS Qadr Tangerang Tahun 2019. Universitas Esa Unggul. Diambil dari
https://digilib.esaunggul.ac.id/UEU-Undergraduate-200933055/138/resiko-
cidera
WHO. (2019). Safe Blood and Blood Products Introductory modul guedelines
and principle for save blood tranfusion practice. Diambil dari
https://www.who.int/bloodsafety/transfusion_services/Introductory_module.
pdf
Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2018). Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan
Dewasa). Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai