Anda di halaman 1dari 20

TINJAUAN YURIDIS SURAT KETERANGAN KEIMIGRASIAN

DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006


TENTANG KEWARGANEGRAAN

Tri Susilo Anggoro


Analis Keimgrasian Pertama
Kantor Imigrasi Kelas II TPI Sorong
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
KANTOR WILAYAH PAPUA BARAT
KANTOR IMIGRASI KELAS II TPI SORONG
Jalan Masjid Raya HBM Sorong 98416 Tlpn (0951) 321915, 321393
Laman: www.sorong.imigrasi.go.id Email: kanim_sorong@.imigrasi.go.id

LEMBAR PENGESAHAN
NOMOR : W31.IMI.IMI.2-HH.03.01-002

JUDUL MAKALAH : “TINJAUAN YURIDIS SURAT KETERANGAN KEIMIGRASIAN


DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006
TENTANG KEWARGANEGRAAN”
NAMA PENULIS : Tri Susilo Anggoro
NIP : 198905302017121001
JABATAN : Analis Keimigrasian Pertama

Telah dipresentasikan dan telah disahkan oleh Sub Bagian Tata Usaha
Kantor Imigrasi Kelas II TPI Sorong
Dan dinyatakan LAYAK BACA
untuk kemudian disimpan di Perpustakaan Kantor Imigrasi Kelas II TPI Sorong

Pada hari : Senin


Tanggal : 25 November 2019

Mengesahkan
Kasubag Tata Usaha

Masrianto Pasaribu
NIP. 19630319 198603 1 001
Abstrak

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan


Indonesia mengatur ketentuan mengenai pesyaratan bagi Warga
Negara Asing (WNA) untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia, sekurang-kurangnya telah tinggal di Indonesia selama lima
tahun berturut-turut atau sepuluh tahun tidak berturut-turut yang
dibuktikan dengan Surat Keterangan Keimigrasian(Skim).
Namun,dalam Permenkumham Nomor M.HH.Ol.GR.01.14 Tahun 2010
tentang Tata Cara Permohonan Surat Keterangan Keimigrasian
(Skim), terdapat perbedaan tafsir dengan UU Nomor 12 Tahun 2006
terkait perhitungan masa tinggal WNA. Hal ini menjadi celah
hukum yang dapat disalahgunakan WNA untuk
mendapatkan Kewarganegaraan RI dengan berbagai cara.
Keberadaan penelitian ini dimaksudkan untuk mencari jawaban
terhadap permasalahan: (1) Bagaimana tinjauan yuridis Pasal 9
dan 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan dalam implementasi pemberian Skim? (2)
Bagaimana kesesuaian antara Permenkumham Nomor
M.HH.01.GR.01.14 Tahun 2010 dengan Pasal 9 dan 19 Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dalam
implementasi pemberian Skim? Jenis penelitian ini adalah penelitian
normatif menggunakan metode penelitian kepustakaan dilengkapi
dengan sumber data primer berupa wawancara dan online forum
webinar. Analisis data menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa maksud dari pasal 9 dan 19 Undang•
Undang N omor 12 Tahun 2006 adalah tinggal secara fisik berada di
wilayah Indonesia dengan tujuan untuk meminimalisir adanya
penyalahgunaan WNA untuk mendapatkan kewarganegaraan
dengan mudah. Permenkumham Nomor M.HH.01.GR.01.14 Tahun
2010 tentang Tata Cara Permohonan Surat Keterangan Keimigrasian
(Skim) kurang sesuai dengan semangat yang ada dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Adapun
Permenkumham ini menyebabkan Pasal 9 dan 19 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 memiliki celah hukum karena inharmonis
satu sama lain dan tidak mengedepankan konsep kedaulatan rakyat.
Kata Kunci: Kewarganegaraan, SKIM, Izin Tinggal. Naturalisasi
Abstract

Law Number 12 of 2006 concerning Indonesian Citizenship stipulates


provisions regarding the requirements for Foreign Citizens (WNA) to obtain
Indonesian Citizenship, at least having lived in Indonesia for five consecutive
years or ten consecutive years as evidenced by Immigration Certificate (Skim).
However, in Permenkumham Number M.HH.Ol.GR.01.14 of 2010 concerning
Procedures for Application for Immigration Certificates (Skim), there are
differences in interpretation with Law Number 12 of 2006 regarding the
calculation of the stay of foreigners. This is a legal loophole that foreigners can
abuse to obtain Indonesian citizenship in various ways. The existence of this
research is intended to seek answers to the following problems: (1) How is the
juridical review of Articles 9 and 19 of Law Number 12 of 2006 concerning
Citizenship in the implementation of the provision of Skim? (2) How is the
compatibility between Permenkumham Number M.HH.01.GR.01.14 of 2010
with Articles 9 and 19 of Law Number 12 of 2006 concerning Citizenship in the
implementation of the provision of Skim? This type of research is normative
research using library research methods equipped with primary data sources
in the form of interviews and online webinar forums. Data analysis used
descriptive-qualitative method. The results of the study indicate that the intent
of articles 9 and 19 of Law No. 12 of 2006 is to stay physically in the territory of
Indonesia with the aim of minimizing the abuse of foreigners to get citizenship
easily. Permenkumham Number M.HH.01.GR.01.14 Year 2010 concerning
Procedures for Application for Immigration Certificate (Skim) is not in
accordance with the spirit contained in Law Number 12 Year 2006 concerning
Citizenship. The Permenkumham causes Articles 9 and 19 of Law Number 12
of 2006 to have legal loopholes because they are harmonious with each other
and do not prioritize the concept of people's sovereignty.

Keywords: Citizenship, Skim, Residence Permit. Naturalization


I. PENDAHULUAN
Kewarganegaraan harus dimiliki seseorang sehingga
menimbulkan hubungan hukum antara negara dengan warga negara
(Wulansari, 2015). Dalam hubungan hukum antara negara dengan
warga negara terdapat naturalisasi. Naturalisasi dapat diartikan
sebagai proses perubahan status dari kewarganegaraan asing
menjadi warga negara suatu negara. N aturalisasi merupakan
pemerolehan kewarganegaraan bagi penduduk asing setelah
memenuhi syarat sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia, n.d. ). Ketentuan mengenai kewarganegaraan
diatur dalam Pasal 28D Ayat (4) UUD Tahun 1945 yang berbunyi
''setiap orang berhak atas status kewarganegaraan'' yang
kemudian menj adi dasar untuk penyusunan Undang-Undang
(UU) Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
Naturalisasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1)
pewarganegaraan, (2) menyampaikan pemyataan menjadi Warga
Negara Indonesia (WNI). Pewarganegaraan merupakan salah satu
cara yang dapat dilakukan orang asing untuk memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan.
Menyampaikan pemyataan menjadi WNI merupakan upaya yang
dapat dilakukan orang asing untuk memperoleh Kewarganegaraan
Republik Indonesia melalui pemikahan dengan WNI secara sah
(Republik Indonesia, 2006). Ketentuan mengenai pewarganegaraan
dan menyampaikan pernyataan menjadi WNI diatur dalam pasal 9 dan
pasal 19 UU Nomor 12 Tahun 2006.
Pada Pasal 19 UU Nomor 12 Tahun 2006 disebutkan
persyaratan menyampaikan pemyataan menjadi WNI:
1. Warga negara asing yang menikah secara sah dengan
Warga Negara Indonesia dapat memperoleh
kewarganegaraan Republik Indonesia dengan
menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di
hadapan Pejabat.
2. Pemyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan apabila yang bersangkutan sudah
bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia
paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling
singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut, kecuali
dengan perolehan kewarganegaraan tersebut
mengakibatkan berkewarganegaraan ganda (Republik
Indonesia, 2006)

Kedua pasal tersebut terdapat persamaan persyaratan yaitu saat


yang bersangkutan mengajukan pewarganegaraan maupun
menyampaikan pemyataan menjadi WNI sudah bertempat tinggal di
wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun
berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-
turut yang dibuktikan dengan SKIM.
Izin Tinggal yang dapat digunakan Warga NegaraAsing (WNA)
untuk dapat melakukan naturalisasi adalah Izin Tinggal Terbatas
(ITAS) dan Izin Tinggal Tetap (ITAP). Izin Tinggal Terbatas
adalah izin yang diberikan kepada Orang Asing untuk tinggal dan
berada di Wilayah Indonesia untukjangka yang terbatas (Republik
Indonesia, 2014a). Sedangkan, Izin Tinggal Tetap adalah izin
yang diberikan kepada Orang Asing tertentu untuk bertempat
tinggal dan menetap di Wilayah Indonesia sebagai penduduk
Indonesia (Republik Indonesia, 201 la).
Baik Pasal 9 dan Pasal 19 UU Nomor 12 Tahun 2006
terdapat celah hukum dan berakibat pada penyalahgunaan yang
dilakukan oleh orang asing yang ingin menjadi WNI. Hal ini karena
pada Pasal 1 ayat (2) dan (3) Permenkumham Nomor
M.HH.Ol.GR.01.14 Tahun 2010 tentang Tata Cara Permohonan
Surat Keterangan Keimigrasian disebutkan bahwa:
1. lima tahun berturut-turut adalah jangka waktu
keberadaan orang asing di wilayah Republik Indonesia
yang dihitung sejak memperoleh izin tinggal terbatas
atau tetap sampai kurun waktu 5 (lima) tahun tidak
pemah keluar wilayah Republik Indonesia untuk tidak
Kembali.
2. Sepuluh tahun tidak berturut-turut adalah jangka
waktu keberadaan orang asing di wilayah negara
Republik Indonesia yang dihitung sejak
memperoleh izin tinggal terbatas atau tetap sampai
meninggalkan wilayah Republik Indonesia untuk
tidak kembali yang dilakukan berulang kali hingga
mencapai keseluruhan masa waktu izin tinggalnya 10
(sepuluh) tahun. (Republik Indonesia, 2010).
Dari penjelasan pasal tersebut perhitungan dilakukan sejak
orang asing memiliki izin tinggal terbatas atau izin tinggal tetap
sampai kurun waktu 5 (lima) atau 10 (sepuluh) tahun, sehingga
dapat disimpulkan bahwa perhitungan masa tinggal orang
asing dihitung berdasarkan izin tinggal orang asing yang
diperpanjang secara 5 (lima) tahun berturut-turut atau 10 (sepuluh)
tahun tidak berturut-turut. Klausul pada pasal tersebut yaitu
''sampai kurun waktu 5 tahun tidak pemah keluar wilayah indonesia
untuk tidak kembali''. Orang asing dikatakan ''tidak kembali'' jika ia
telah melakukan pengembalian dokumen (Return of Immigration
Document) atau dikenakan deportasi.
Dalam Permenkumham Nomor 27 tahun 2014 tentang
Prosedur Teknis Pemberian, Perpanjangan, Penolakan,
Pembatalan, dan Berakhimya Izin Tinggal Kunjungan, Izin Tinggal
Terbatas, dan Izin Tinggal Tetap serta Pengecualian dari Kewajiban
Memiliki Izin Tinggal Pasal 53 ayat (4) menyebutkan bahwa Orang
Asing yang telah berakhir Izin Tinggal Terbatas sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus meninggalkan Wilayah Indonesia
dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal cap
"Return Of Immigration Document'' diterakan pada paspor kebangsaan
orang asing yang bersangkutan (Republik Indonesia, 2014a ).
Sementara ketentuan mengenai deportasi diatur dalam UU Nomor
6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Pasal 1 Nomor 36 yang
menyatakan bahwa deportasi adalah tindakan paksa mengeluarkan
Orang Asing dari Wilayah Indonesia (Republik Indonesia, 201 la).
Dapat diasumsikan bahwa setelah orang asing mendapatkan izin
tinggal terbatas atau izin tinggal tetap, orang asing tersebut dapat
keluar masuk wilayah indonesia selama memiliki Izin Masuk Kembali
(IMK) dan masih berlaku.
Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 2011 disebutkan bahwa IMK
adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pejabat Imigrasi kepada Orang
Asing pemegang Izin Tinggal terbatas atau Izin Tinggal Tetap untuk
masuk kembali ke Wilayah Indonesia (Republik Indonesia,201 la).
Masa tinggal orang asing tetap dihitung meskipun orang asing tersebut
tidak berada di Indonesia dengan syarat izin tinggal terbatas atau
izin tinggal tetapnya masih berlaku dan orang asing tersebut tidak
melakukan pengembalian dokumen atau terkena deportasi.
Hal ini dapat disalahgunakan oleh orang asing untuk melakukan
hal-hal yang merugikan negara contohnya kasus yang terjadi pada
tanggal 29 Juli 2019, petugas imigrasi dari Kantor Imigrasi
Singaraja melakukan deportasi terhadap beberapa orang asing yang
salah satunya melakukan perkawinan semu dengan WNI.
Berdasarkan keterangan dari Kepala Kantor Imigrasi Kelas II
Singaraja, orang asing tersebut menikah dengan pria asal
Singaraja. Pria asal Singaraja yang bersangkutan diberi upah satu juta
rupiah per bulan oleh orang asing dengan tujuan agar izin tinggal
orang asing tersebut dapat lebih lama (Tribunnews, n.d.). Hal ini
menjadi bukti bahwa untuk menjadi WNI dengan jalan pernikahan
dimungkinkan kurang menjamin orang asing tersebut memiliki
kekuatan niat untuk menjalin rumah tangga dengan WNI. Bila
kekuatan niat orang asing untuk menjalin rumah tangga tersebut
berkurang, maka keharmonisan dan ketentraman rumah tangga
dapat hilang.
Rumah tangga adalah masyarakat terkecil dalam suatu negara
(Wiratri, 2018). Ketika masyarakat terkecil suatu negara itu hilang
ketentramannya, keadaan tersebut dapat melemahkan persatuan
dan kesatuan bangsa Indonesia. Hal ini merupakan celah hukum
yang dapat dijadikan modus perkawinan semu oleh orang asing
dengan WNI untuk mendapatkan surat keterangan keimigrasian
yang menjadi dasar untuk melakukan naturalisasi. Modus
perkawinan semu ini dapat terjadi karenajangka waktu yang diberikan
kepada orang asing untuk memperoleh Skim yaitu mulai dari
memperoleh izin tinggal terbatas hingga orang asing bisa
melakukan pengajuaan naturalisasi hanya dalam kurun waktu 5
(lima) tahun.
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian artikel ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk mengkaji ketentuan dalam Pasal 9 dan 19
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 terhadap
implementasi pemberian Skim.
2. Untuk mengidentifikasi kesesuaian Permenkumham
Nomor M.HH.01.GR.01.14Tahun 2010 dengan Pasal 9
dan 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dalam
implementasi pemberian Skim.
II. PEMBAHASAN
A. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif
(Normative Legal Research). Penelitian hukum normatif yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan
yang mencakup tentang asas-asas hukum, sistematika hukum,
perbandingan hukum dan sejarah hukum (Dewata & Achmad, 2009).
Metode ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah karena selain
menggunakan data kepustakaan yang dalam hal ini adalah peraturan
perundang-undangan, perlu adanya data wawancara yang dapat
memperkuat argumentasi terkait adanya multitafsir dari UU Nomor
12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.

B. Hasil Penelitian
Surat Keterangan Keimigrasian (Skim) sebenarnya tidak
disebutkan secara tertulis atau lugas baik dalam Pasal 9 dan Pasal
19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan. Peraturan yang tercantum dalam kedua pasal
tersebut hanya berisi peraturan mengenai cara-cara yang dapat
ditempuh oleh Warga Negara Asing (WNA) yang berkeinginan untuk
melakukan naturalisasi atau mengubah status kewarganegaraannya
menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Cara yang dapat
ditempuh WNA tersebut seperti yang telah disebutkan dalam sub-
bab latar belakang adalah melalui cara pewarganegaraan yang
diatur pada Pasal 9 dan cara menyampaikan pernyataan
menjadi WNI diatur dalam Pasal 19.
Skim diatur secara tertulis pada Pasal 1 ayat (1)
Permenkumham Nomor M.HH.01.GR.01.14 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Permohonan Surat Keterangan Keimigrasian. Pasal tersebut
berbunyi sebagai berikut, Surat Keterangan Keimigrasian (SKIM)
merupakan dokumen keimigrasian yang memuat keterangan
mengenai masa tinggal warga negara asing di wilayah Republik
Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut, atau 10 (sepuluh)
tahun tidak berturut-turut sebagai salah satu persyaratan permohonan
Kewarganegaraan Republik Indonesia baik melalui proses
pewarganegaraan maupun menyampaikan pemyataan menjadi warga
Negara Indonesia (Republik Indonesia, 2010).
Dalam hal mendapatkan Skim sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, bukanlah hal yang
dapat diperoleh dengan instan dan cepat. Hal tersebut dikarenakan
pada Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (2) Undang• Undang Nomor
12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, WNA harus
sudah bertempat tinggal di wilayah Indonesia paling singkat 5
(lima) tahun berturut-turut atau 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-
turut. WNA memerlukan waktu yang cukup lama untuk
mendapatkan Skim tersebut. Sebagaimana telah disebutkan oleh
The Pocut Eliza bunyi kalimat ''bertempat tinggal di wilayah
Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau 10
(sepuluh) tahun tidak berturut-turut'' adalah bertempat tinggal
secara real di Wilayah Republik Indonesia. Tidak hanya sekedar
dokumen tertulis yang menyatakan bahwa WNA tersebut sudah
bertempat tinggal di Indonesia dalam durasi waktu tersebut.
Peraturan ini juga dilakukan untuk menerapkan nilai atau filosofis
bangsa adalah bentuk penerapan hierarki norma hukum oleh Hans
Kelsen dan Hans N awiasky, yang kemudian diadopsi dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia. Pengaturan mengenai
Indonesia yang menerapkan hierarki norma hukum dalam sistem
hukum Indonesia tertera pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang• Undangan. Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
menerapkan pancasila dan UUD 1945 sebagai norma hukum yang
lebih tinggi dari undang-undang formal dalam tingkat hierarki norma
hukum.
Berdasarkan ciri-ciri dari negara hukum tersebut, sistem hukum
menjadi hal yang vital dalam konsep negara hukum yang kita
adopsi. Sistem hukum sendiri termasuk diantaranya teori jenjang
norma hukum. Norma hukum yang dijadikan acuan oleh Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang
pertama adalah Pancasila.
Pancasila sebagaimana yang telah diuraikan dalam Tinjauan
Literatur termasuk dalam kelompok I norma hukum yangdikemukakan
oleh Hans Nawiasky yaitu norma fundamental negara atau disebut
juga dengan staatsfundamentalnorm, grundnorm, ursprungsnorm,
atau urnorm. Pancasila sendiri tidak termasuk dalam sistem jenjang
peraturan perundang-undangan pada Pasal 7 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagaimana yang telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang• Undangan. Hal tersebut dikarenakan sesuai
norma dasar (staatsfundamentalnorm) keberlakuannya tidak dapat
ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif. Hal tersebut tidak
langsung menjadikan pancasila hanya sebagai ide abstrak,
sejatinya Pancasila sebagai norma dasar merupakan norma tertinggi
dalam sistem norma hukum Indonesia. Norma dasar terse but
diperlukan untuk tidak menggoyahkan lapis-lapis bangunan tata
hukum yang pada akhimya menggantungkan atau mendasarkan
diri kepadanya.
Berdasarkan dari uraian di atas, Pancasila merupakan landasan
dasar atau filosofis dari bangsa Indonesia. Pancasila sebagai filosofis
bangsa Indonesia, dapat diartikan bahwa bangsa Indonesia dalam
bertindak, berbangsa, dan tidak terlepas juga dalam hal pembentukan
regulasi, pada akhimya menggantungkan dan mendasarkan diri
pada Pancasila. Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang dalam
pembentukannya mendasarkan diri pada kaidah-kaidah yang
tertanam pada Pancasila. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan tingkatannya dalamjenjang norma hukum
berada 2 (dua) tingkat di bawah Pancasila, yang termasuk dalam
kelompok III yaitu undang-undang formal (formell gesetz) atau
termasuk juga norma hukum yang sudah dipositifkan atau dibuat
dalam bentuk tertulis atau nyata (concrete norm).
Berdasarkan kaitan 5 (lima) prinsip pancasila dengan bunyi
Pasal 9 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan, undang-undang tersebut sangat
mendasarkan diri pada pancasila dan sudah mengimplementasikan
semangat yang ada pada pancasila. Ketentuan mengenai lamanya
waktu yang harus ditempuh WNA adalah demi negara dan
bangsa Indonesia. WNA perlu waktu lama supaya dapat
menumbuhkan jiwa pancasila dalam dirinya dan hal tersebut
juga dilakukan untuk melindungi WNI asli.
Hal tersebut dapat diartikan bahwa Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan menerapkan sistem
kedaulatan rakyat yang sesuai sebagaimana tercantum pada
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan alinea IV pada pembukaan
(preambule) UUD 1945. Meskipun kedaulatan rakyat bukan
diartikan rakyat sebagai pemilik kekuasaan penuh dalam negara,
namun pemerintah yang mendapatkan posisinya dikarenakan
rakyat tentu harus mengutamakan kerakyatan dalam tiap kebij
akan. Kedaulatan rakyat yang berbasiskan demokrasi pancasila
tentu bukan diartikan sebagai pemerintahan yang mementingkan
golongan apalagi orang luar dalam hal pembuatan kebijakan. Sesuai
dengan salah satu ciri pokok dari sistem politik yang demokratis
adalah adanya tata krama, nilai, norma yang disepakati bersama
dalam bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. Hal ini semua
dilakukan demi tegaknya hak yang dimiliki bangsa.
Terdapat penekanan juga mengenai WNA yang berkeinginan
menjadi WNI harus memiliki jiwa pancasila. Pancasila yang
merupakan filosofis bangsa tentu harus menjadi bagian dari jiwa
WNA tersebut karena hendak menjadi bagian dari Indonesia dan
bangsa Indonesia selalu berpedoman pada Pancasila dalam
berbangsa, serta bemegara. Tentu WNA yang tidak merupakan
bangsa asli Indonesia bisa saja memiliki pemikiran, gaya hidup,
bahkan kepercayaan yang jauh berbeda dari WNI. WNA yang tidak
memiliki jiwa pancasila dapat saj a mengusik kehidupan bangsa asli
Indonesia, menyebarkan paham, dan ajaran yang tidak sesuai dengan
pancasila. Keberadaa WNA bisa saja merusak moral dan nilai lokal
bangsa dengan pola dan gaya hidup asing dari WNA tersebut. Selain
itu juga WNA dapat saja menyebarkan ajaran atau paham sesat
seperti pengajaran negara khilafah, ISIS, Al-Qaeda, Ku Klux Klan,
dan ajaran lain yang anti pancasila yang dapat memecah belah
bangsa. Dampak negatif lain yaitu pemikahan yang dapat dijadikan
sebagai cara menjadi WNI bisa disalahgunakan oleh WNA, bisa saja
WNA menikah dengan WNI hanya untuk mendapat keuntungan dari
hak-hak yang dapat diperoleh jika menjadi WNI. Pemikahan bisa
saja dilaksanakan dan hanya bersifat semu.
Kesesuaian antara Permenkumham Nomor M.HH.Ol.GR.01.14
Tahun 2010 dengan Pasal 9 dan 19 Undang-undang Nomor12
Tahun 2006 dalam Implementasi Pemberian Surat Keterangan
Keimigrasian (Skim), Dari sudut pandang hierarki norma hukum,
peraturan pelaksana Permenkumham Nomor M.HH.Ol.GR.01.14
Tahun 2010 berada pada tingkatan norma hukum yang lebih rendah
dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006.
Sehinggga dalam hal ini Permenkumham dianggap tidak sejalan
dengan maksud dan tujuan dari Undang-Undang, maka harus
disesuaikan lagi dengan Undang-Undang.
Dalam hal bunyi Pasal 1 ayat (2), dan (3) Permenkumham
Nomor M.HH.01.GR.01.14 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Permohonan Surat Keterangan Keimigrasian (Skim) memiliki celah
hukum, karena disebutkan bahwa jangka waktu 5 (lima) tahun
berturut-turut atau 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut dihitung
sejak memperoleh izin tinggal terbatas atau izin tinggal tetap.
Terutama pada jangka waktu 5 (lima) tahun berturut-turut di
Indonesia, WNA dapat menyalahgunakan kepemilikan izin tinggal
tersebut dengan tinggal di luar wilayah Indonesia selama waktu yang
tidak ditentukan dan kembali lagi hanya pada saat akan
memperpanjang izin tinggal saja. Selain itu, dalam hal jangka waktu
keberadaan WNA di luar wilayah Indonesia, juga terdapat
ketidaksesuaian akibat tidak adanya peraturan yang membatasi
lamanya WNA diperbolehkan berada di luar wilayah Indonesia.
Permenkumham Nomor M.HH.01.GR.01.14 Tahun 2010
tentang Tata Cara Permohonan Surat Keterangan Keimigrasian
(Skim) yang seharusnya menjadi peraturan pelaksana atau teknis
yang mengatur ketentuan tersebut lebih rinci lagi dan bukan
menimbulkan adanya celah hukum pada Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Permenkumham Nomor
M.HH.Ol.GR.01.14 Tahun 2010 tentang Tata Cara Permohonan
Surat Keterangan Keimigrasian terbukti tidak sejalan dengan
maksud pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan. Permenkumham Nomor M.HH.01.GR.01.14
Tahun 2010 sebagai produk hukum dibawah Undang-Undang
Kewarganegaraan sudah seharusnya sesuai dengan Undang-
Undang Kewarganegaraan, apabila ada peraturan yang tidak
sesuai maka harus dikembalikan lagi pada Undang-Undang
Kewarganegaraan.
Hans Kelsen mengelompokkan peraturan perundang-undangan
menjadi 4 (empat) kelompok. Dalam pengelompokan tersebut,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
masuk dalam kategori kelompok III yaitu Undang-Undang Formal atau
Formell Gesetz sebagai peraturan yang sudah dibentuk dalam
peraturan positif. Sedangkan Permenkumham Nomor
M.HH.01.GR.01.14 Tahun 2010 tentang Tata Cara Permohonan Surat
Keterangan Keimigrasian termasuk dalam kategori kelompok IV yaitu
aturan pelaksana. Dalam kategori kelompok IV juga merupakan
peraturan yang sudah dibentuk dalam peraturan positif, namun
peraturan pemerintah merupakan peraturan pelaksana dari undang-
undang-undang yang lebih tinggi.
Permenkumham Nomor M.HH.Ol.GR.01.14 Tahun 2010
terkesan memberi kemudahan pada WNA untuk melakukan
naturalisasi, dimana Undang-Undang Kewarganegaraan
memberlakukan peraturan-peraturan tersebut untuk memperketat
WNA yang ingin mengubah kewarganegaraan menjadi WNI.
Permenkumham tersebut juga tidak menerapkan secara maksimal
supremasi atau kedaulatan yang dipegang Indonesia sebagai
negara untuk membuat peraturan apa saja dalam teritorinya sendiri.
Meskipun WNA tersebut masih berstatus WNA, tentu peraturan di
Indonesia akan diberlakukan pada WNA tersebut terlebih apabila
WNA melakukan pelanggaran hukum. Kedaulatan (sovereignty)
merupakan hak dari tiap negara merdeka. Peraturan yang
diberlakukan suatu negara dalam wilayah yurisdiksinya tidak dapat
diganggu gugat oleh entitas luar negara seperti negara lain.
Kedaulatan ini sendiri dapat diberlakukan di wilayah daratan
negara, perairan dalam, dan laut teritorial sebagaimana
dimaksud pada Pasal 2 United Nations Convention on the Law of The
Sea 1982 (UNCLOS 1982). Sesuai dengan konsep Jean Bodin
mengenai kedaulatan negara sebagai kekuasaan tertinggi, selama
negara tersebut masih berdiri maka kedaulatan tersebut masih ada.
Indonesia seharusnya memaksimalkan hak ini dan dilakukan demi
memberi kekuasaan tertinggi itu sendiri, yaitu rakyat Indonesia.

III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dibahas pada bab-bab
sebelumnya, dapat diambil kesimpulan dalam proses
pewarganegaraan dan menyampaikan pernyataan menj adi
WNI maksud dari bertempat tinggal 5 (lima) tahun berturut-turut
atau 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut di wilayah Republik
Indonesia pada Pasal 9 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan sebagai syarat
pemberian Skim adalah bertempat tinggal senyata-nyatanya
secara fisik di Indonesia 5 (lima) tahun berturut-turut atau 10
(sepuluh) tahun tidak berturut-turut. Hal tersebut dilakukan
untuk menerapkan hierarki norma hukum yaitu menerapkan
prinsip dan nilai pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai norma
hukum lebih tinggi daripada Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan sebagai undang-
undang formal.
Sehingga bunyi Pasal 1 angka (2) dan angka (3)
Permenkumham Nomor M.HH.01.GR.01.14 Tahun 2010
tentang Tata Cara Permohonan Surat Keterangan Keimigrasian
(Skim) kurang sesuai dengan makna dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, bahkan dapat
dikatakan menyalahi semangat yang ada di Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Pasal 1
angka (2) dan angka (3) Permenkumham Nomor
M.HH.01.GR.01.14 Tahun 2010 terkesan mempermudah WNA
untuk mendapatkan Skim tanpa mengedepankan asas
kepentingan nasional yang tercantum pada Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut tampak jelas bahwa
terdapat celah hukum yang dapat dipergunakan oleh WNA
untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia dengan
mudah. Implikasi dari nilai penting tersebut adalah dapat
mengetahui bahwa Pasal tersebut memiliki celah hukum karena
inharmonis dengan UU kewarganegaraan dan juga tidak
mengedepankan konsep kedaulatan rakyat.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dijabarkan, adapun saran
dari hasil penelitian ini yaitu:
1. Dilakukan pengkajian ulang baik terhadap Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan dan Permenkumham Nomor
M.HH.Ol.GR.01.14 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Permohonan Surat Keterangan Keimigrasian (Skim) oleh
pemerintah. Hal ini dilakukan supaya pemerintah dapat
menyesuaikan peraturan lama dengan keadaan
senyatanya sekarang di lapangan.
2. Perlu dilakukan pengujian materiil untuk menguji
muatan materi pada Permenkumham Nomor
M.HH.Ol.GR.01.14 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Permohonan Surat Keterangan Keimigrasian (Skim)
yaitu kesesuaiannya terhadap Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
3. Perlu dibuat peraturan pelaksana baru yang dalam hal ini
Permenkumham baru tentang tata cara pemberian Skim
yang sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan.
4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yaitu meneliti
bagaimana seharusnya peraturan pelaksana UU
Kewarganegaraan diformulasi agar harmonis dengan
Undang-Undang kewarganegaraan.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, M. (2013). Problematika Pengujian Peraturan Perundang-


undangan (Judical Review)
pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Yustisia Journal, 2(1),
57-65.
Aditya, Z. F., & Winata, M. R. (2018). Rekonstruksi Hierarki Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia. Jurnal Negara Hukum:
Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan,
9(1), 79-100. https://doi.org/10.22212/jnh.v9i 1.976
Agasta, C., Susetyorini, P., & Rebala, L. T. S. (2017). Hak Berdaulat
Negara Kesatuan Republik Indonesia di Kepulauan Natuna
(Studi Kusus Indonesia terhadap Klaim Peta Nine-Dashed Line
China di Kepulauan Natuna). Diponegoro Law Journal, 6.
Ch. Likadja, J. A. (2015). Memaknai ''Hukum Negara (Law Through
State)'' dalam Bingkai
''Negara Hukum (Rechtstaat)." Hasanuddin Law Review,
1(1), 75. https://doi.org/10.20956/halrev.vlnl .41
Charity, M. L. (2016). Urgensi Pengaturan Kewarganegaraan Ganda Bagi
Diaspora Indonesia.
Jurnal Konstitusi, 13(4), 809. https://doi.org/10.31078/jk1346
Dewata, M. F. N., & Achmad, Y. (2009). Dualisme Penelitian Hukum
Normatif & Empiris.Pustaka Pelajar.
Fahrni, K. (2010). Prinsip Kedaulatan Rakyat Dalam Penentuan Si
stem Pemilihan Um um Anggota Legislatif.
Jurnal Konstitusi, V/1(3), 119-160.
https://media.neliti.com/media/publications/110842-ID-prinsip-
kedaulatan-rakyat-dalam• penentua.pdf
Kementerian Hukum Dan Ham. (2020). Persyaratan Permohonan
Naturalisasi. Kantor Wilayah Jawa Barat.
https://jabar.kemenkumham.go.id/layanan-publik/pelayanan•hu
kumumum/kewarganegaraan/naturalisasi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. (n.d.).
Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Retrieved April 8, 2020, from
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/naturalisasi
Mega, M. (2019). Resume Buku Peraturan Perundang-Undangan

Anda mungkin juga menyukai