PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
kepada musuh untuk membebaskan tawanan tersebut.4 Pembayaran tebusan
semacam ini dapat dianggap sebagai bentuk lain dari asuransi sosial. Dalam
Konstitusi Madinah Pasal 4-12a disebutkan bahwa para mujahidin dari suku
Quraisy akan bertanggung jawab atas pembebasan tawanan dengan cara
pembayaran tebusan sehingga kerja sama antar kaum mukmin dapat sesuai dengan
prinsip kearifan dan keadilan. Aturan ini juga berlaku bagi suku-suku lain yang
tinggal di Madinah seperti Banu Harits, Banu Najjar, Banu Jusham, dan lain-lain
c. Masyarakat bertanggung jawab untuk membentuk sebuah usaha bersama melalui
prinsip saling kesepahaman dalam menyediakan bantuan pertolongan yang
diperlukan bagi orang-orang yang membutuhkan, sakit, dan miskin
Asuransi sebagai salah satu lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang
pertanggungan merupakan sebuah institusi modern hasil temuan dari dunia Barat yang lahir
bersamaan dengan adanya pencerahan. Institusi ini bersama dengan lembaga keuangan bank
menjadi motor penggerak ekonomi pada era modern dan berlanjut pada masa sekarang. Dasar
yang menjadi semangat operasional asuransi modern adalah berorientasikan pada sistem
kapitalis yang intinya hanya bermain dalam pengumpulan modal untuk keperluan pribadi
atau golongan tertentu, dan kurang atau bahkan tidak mempunyai akar untuk
mengembangkan ekonomi pada tataran yang komprehensif. Sedangkan asuransi yang
berdasarkan syariah lebih banyak bernuansa sosial daripada bernuansa ekonomi atau profit
oriented.
Asuransi atau al-Ta’min , merupakan upaya antisipasi untuk mengurangi resiko dalam
keadaan darurat yang dapat muncul pada kehidupan manusia di masa depan..Islampun telah
memperingatkan manusia untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi hari esok.Seiring
dengan perkembangan ekonomi lainnya yang masih melakukan praktek yang tidak sejalan
prinsip syariah, dalam asuransi juga masih terdapat inovasi baru yang
dalam perkembangannya semakin tidak bisa lepas dari Maysir, Gharar dan Riba.Asuransi
telah menjadi kebutuhan penting bagi manusia termasuk umat Muslim, karenanya sangatlah
penting untuk mengetahui keputusan para ulama mengenai sistem dan mekanisme
pelaksanaan asuransi syariah yang sejalan dengan nilai-nilai Islam.Sebagian Ulama’ yang
melarang praktik asuransi diantaranya Sayyid Sabiq, Abdullâh al-Qalqi, Yusuf Qardhâwi dan
Muhammad Bakhil al-Muthi. Beliau mengatakan bahwa Asuransi itu haram dalam segala
macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa.
Pengertian Asuransi Jiwa Dalam bahasa Arab, asuransi dikenal dengan istilah at-
ta’min, penanggung disebut mu’ammin, tertanggung disebut mu’amman lahu atau
musta’min. At-ta’min diambil dari amana yang artinya memberi perlindungan, ketenangan,
rasa aman, dan bebas dari rasa takut, seperti yang tersebut dalam Q.S Quraisy (106): 4
“yaitu ‚Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan”
Pengertian at-ta’min adalah seseorang membayar atau menyerahkan uang cicilan
untuk agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah
disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang.Takaful dalam
pengertian muamalah adalah saling memikul resiko diantara sesama orang, sehingga antara
satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya.Saling pikul resiko
ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing
3
mengeluarkan dana tabarru dana ibadah, sumbangan, derma yang ditujukan untuk
menanggung resiko.
Dalam asuransi banyak aturan dan perjanjian yang harus disepakati,tanda tangan
diatas materai, serta administrasi dan bunga asuransi yang juga masih jadi perbincangan
boleh atau tidaknya hal tersebut.
4
2.2.1 Manfaat Asuransi Syariah
Adapun manfaat asuransi syariah juga tidak kalah dengan asuransi umum atau
konvensional. Inilah beberapa manfaat dari asuransi syariah:
1. Bebas Riba
Ketika menggunakan asuransi syariah, maka nasabah akan terbebas dari riba. Sebab
akad yang sudah diberlakukan pada asuransi ini berdasarkan prinsip Islam dan bukan
menggunakan penukaran premi dengan klaim.
Melainkan gotong royong yang dilakukan oleh antar peserta. Sehingga ketika peserta
A mengalami musibah, maka peserta lain akan mengumpulkan iuran sebagai bentuk
tolong menolong.
2. Prinsip Tolong Menolong
Pengamalan hukum syar’i sendiri di dalam agama islam lebih dikenal sebagai risk of
sharing. Dimana peserta bersedia untuk membayarkan uang kontribusinya untuk
dikelola perusahaan lalu menyalurkannya pada peserta yang tertimpa musibah
ataupun sedang membutuhkan uang.
5
konvensional, dimana Anda harus membayar premi sesuai waktu yang ditentukan
tersebut.
Sebagaimana sudah dikemukakan pada awal pembahasan bahwa asuransi Islam juga
sudah dipraktikkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Hal ini menunjukkan bahwa menurut
hukum Islam, asuransi diperbolehkan asal praktik yang dilakukan seperti akadnya,
pengelolaan dana, investasi dana, kepemilikan dana, unsur preminya, dan hal-hal lain yang
berkenaan dengan teknik operasionalnya tetap berlandaskan pada al-Qur’an dan alSunnah.
Masalah ini harus benar-benar diperhatikan karena prinsip-prinsip umum dalam mu’āmalah
juga melandasi asuransi Islam.
Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam asuransi Islam adalah sebagai berikut:
1. Tauḥīd (ketakwaan). Jika dicermati ayat-ayat al-Qur’an tentang mu’āmalah, maka
akan terlihat dengan jelas bahwa Allah selalu menyeru kepada umat-Nya agar
mu’āmalah yang dilakukannya membawanya kepada ketakwaan Allah. Seorang
muslim ketika membeli dan menjual, menyewakan dan mempekerjakan, melakukan
penukaran dengan lainnya dalam harta atau berbagai kemanfaatan, ia selalu tunduk
kepada aturan Allah dalam mu’āmalah-nya. Ia tidak akan berusaha dengan sesuatu
yang haram seperti riba, penimbunan, zalim, menipu, berjudi, mencuri, menyuap
dan menerima suapan. Allah meletakkan prinsip tauḥīd (ketakwaan) sebagai prinsip
utama dalam mu’āmalah. Oleh karena itu, segala aktivitas dalam mu’āmalah harus
senantiasa mengarahkan para pelakunya dalam rangka untuk meningkatkan
ketakwaan kepada Allah2
2. Prinsip kedua dalam mu’āmalah adalah bersikap adil. Cukup banyak ayat al-Qur’an
yang memerintahkan umat manusia untuk bersikap adil terhadap siapapun termasuk
terhadap dirinya sendiri.
3. Larangan melakukan kezaliman. Kezaliman adalah kebalikan dari prinsip keadilan.
Karena itu, Islam sangat ketat dalam memberikan perhatian terhadap pelanggaran
kezaliman, penegakan larangan terhadapnya, kecaman keras kepada orang-orang
yang zalim, ancaman terhadap mereka dengan siksa yang paling keras di dunia dan
akhirat. Dalam surat al-Syūrā ayat 40 Allah berfirman: “Sungguh, Dia tidak
menyukai orang-orang yang zalim”, dan dalam surat al-Baqarah ayat 258 Allah
berfirman: “Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.
2
Ibid., hlm. 723
6
4. Al-Ta`āwun. Prinsip keempat yang menjadi landasan etika dalam mu’āmalah secara
Islami adalah ta`āwun. Ta`āwun merupakan salah satu prinsip utama dalam
interaksi mu’āmalah. Bahkan ta`āwun dapat menjadi fondasi dalam membangun
sistem masyarakat, yang kaya memperhatikan yang miskin dalam hal kebutuhan
financial, dan yang miskin membantu orang kaya dalam hal tenaga atau yang
lainnya
5. Al-Amānah (tepercaya/jujur). Menurut Yusuf al-Qaradlawi, di antara nilai transaksi
yang terpenting dalam bisnis adalah al-amānah atau ‘kejujuran’. Ia merupakan
puncak moralitas iman dan karateristik yang paling menonjol dari orang-orang yang
beriman. Bahkan, kejujuran merupakan karateristik para Nabi. Tanpa kejujuran,
kehidupan agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan dunia tidak akan berjalan
dengan baik. Sebaliknya, kebohongan adalah cabang kemunafikan dan merupakan
salah satu ciri orang-orang munafik.
6. Al-Riḍā (suka sama suka) Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. Menurut
Abul A’la al-Maududi, ayat tersebut telah menetapkan dua perkara sebagai syarat
sahnya suatu perdagangan.3 Pertama, hendaknya perdagangan itu dilakukan dengan
suka sama suka di antara kedua belah pihak. Kedua, hendaklah keuntungan satu
pihak tidak berdiri di atas dasar kerugian pihak yang lain. Itulah yang dijelaskan
dalam firmanNya: “…dan janganlah kamu membunuh dirimu…”. Para ahli tafsir,
kata Maududi, menafsirkannya dengan dua makna, yang kedua-duanya relevan
dengan pembahasan ini. Makna pertama, janganlah kamu bunuhmembunuh di
antara sesamamu. Adapun makna kedua, janganlah kamu membunuh dengan
tanganmu sendiri.
7. Larangan melakukan risywah (sogok/suap). Larangan risywah atau ‘sogok’
merupakan prinsip mu’āmalah yang sangat berat dalam implementasinya. Hal ini
disebabkan risywah sudah hampir menjadi kultur dalam masyarakat korup. Dalam
Islam, risywah hukumnya haram, karena perbuatan ini dapat merusak tatanan
profesionalisme dalam bisnis. Hak seseorang dalam suatu bisnis bisa lepas
disebabkan adanya risywah yang dilakukan oleh pihak lain (kompetitor). Risywah
dapat dimanfaatkan untuk membenarkan masalah yang batil (haram) atau
sebaliknya bagi orang-orang yang tidak beriman. Oleh karena itu, Rasulullah
melaknat pemberi dan penerima risywah. “Rasulullah melaknat orang yang
memberi risywah” (HR Abu Daud dan Tirmizi). Ahmad Muhammad Al-Assal22
mengatakan bahwa Rasulullah sendiri pernah melaknat orang yang memberikan
uang sogok (risywah) agar mencapai kedudukan yang tidak semestinya atau
mengambil yang bukan haknya. Beliau pun melaknat orang yang menerima uang
sogok, dan juga melaknat orang yang menjadi perantara uang sogok.4
8. Al-Maṣlaḥah (kemaslahatan). Menurut Ibnul Qayyim, basis syariat adalah hikmah
dan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini terletak pada
keadilan sempurna, rahmat, kebahagiaan, dan kebijaksanaan. Apa pun yang
mengubah keadilan menjadi penindasan, rahmat menjadi kesulitan, kesejahteraan
3
Abul A’la A-Maududi, Asas al-Iqtiṣād Baina al-Islām wa al-Niẓām al-Mu`āṣirah (Kairo: alMaktabah al-Fikr, t.t.), hlm. 117
4
Syakir Sula, Asuransi Syariah, hlm. 742
7
menjadi kesengsaraan, dan hikmah menjadi kebodohan tidak ada hubungannya
dengan syariat
9. Al-Khidmah (pelayanan). Rasulullah bersabda, “Seorang Imam (pemimpin) adalah
pemelihara dan pengatur urusan (rakyat). Ia akan diminta pertanggungjawaban atas
urusan rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim). Rasulullah mengatakan bahwa
pengurus itu adalah pelayan masyarakat. Dalam makna yang luas, berarti bahwa
perusahaan dalam bisnis apa pun apalagi bisnis yang terkait dengan pelayanan,
harus benar-benar mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada customer.
Karena pelayanan (khidmah) adalah salah satu bagian penting dalam mu’āmalah
yang Islami
10. Larangan melakukan taṭfīf (Kecurangan). Taṭfīf dalam bahasa Arab artinya berdikit-
dikit, berhemat-hemat alias pelit. Sedangkan almutaffif adalah orang yang
mengurangi bagian orang lain tatkala ia melakukan timbangan/takaran untuk orang
lain. Salah satu bentuk penipuan dalam bisnis adalah mengurangi takaran dan
timbangan
8
4. Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang
terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan
Pembangunan
5. Asuransi termasuk akad mudhârbah (bagi hasil)
6. Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’âwuniyah); g. Asuransi dianalogikan (qiyas)
dengan sistem pensiun seperti taspen5
2. Gharar (Ketidakjelasan)
5
Zarqâ, Musthafâ Ahmad, al-Ta’mîm fi al-Islâm, h. 209.
9
Definisi gharar menurut Mazhab Syâfi‘î adalah apa-apa yang akibatnya
tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti.
Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya
batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita
sepakat bahwa usia seseorang berada ditangan Yang Maha Kuasa. Jika baru sekali
seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi
sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung
dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara
finansial.
Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-
masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidak jelasan jangka waktu
pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun
akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual
beli/akad tabâduli tersebut cacat secara hukum
Pada asuransi syariah akad tadâbuli (saling tukar) diganti dengan akad takâfuli
(saling menjamin), yaitu suatu niat tolongmenolong sesama peserta apabila ada yang
ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling
selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar. 6
Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan
asuransi (transfer of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul
adalah milik peserta (shâhib al-mâl) dan perusahaan asuransi syariah (mudhârib) tidak
bisa mengklaim menjadi milik perusahaan.
6
Muhammad Ahmad Sadr, al-Iqtishâd al-Islâmi, (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1982), h. 58.
10
4.Riba
Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya
dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga
dilakukan saat perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan
di depan. Investasi asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah yaitu
investasi wajib dilaku kan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta
memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula
dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan
Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi
yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem
bunga.
Asuransi syariah menyimpan dananya di bank yang berdasarkan syariat Islam
dengan sistem mudhârabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas
petunjuk Dewan Pengawas Syariah.
5. Dana Hangus
Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta
karena suatu sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing
period. Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar
sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan
tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi
kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang
dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan.
Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena
nilai tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang
baru masuk karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang
sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dana yang
dniatkan sebagai dana tabarru (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada
asuransi kerugian. Jika selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka
asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi
hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang
dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak
hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari hasil investasinya
6.Maisir (judi)
Asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbul
kan qimar. Sedangkan al-qimar sama dengan al-maisir. Unsur maisir dalam asuransi
kon vensional karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa.
Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis
asuransinya dan telah membayar preminya sebagian, maka ahli waris akan
menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polis tidak mengetahui dari mana dan
bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang
11
pertanggungannya. Hal ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari
keberanian mengambil risiko oleh perusaha an yang bersangkutan. Tetapi apabila pe
megang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Disebut judi jika
perusahaan asuransi mengandalkan banyak dan sedikitnya klaim yang dibayar.
Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat di pengaruhi oleh banyak dan
sedikitnya klaim yang dibayarkan7
7
Abdul Mannan, Islamic Economics, Theory anda Practice, (The Islamic Academ: Cambridge New and Resived Edition,
1986), h. 109
12
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Sebagian para ahli syariah menyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem
aqilah pada zaman Rasulullah Saw. Takaful dapat didefiniskan dengan al-takmîn, al-
ta‘âwun atau al-takâful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu
badan, dan terjadi kesepakatan dari anggota untuk bersama-sama memikul suatu
kerugian atau penderitaan yang mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk kepentingan
itu masing-masing anggota membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul
akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan di
atas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi syariah). Dengan demikian
badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri.
Disini sifat yang paling menonjol adalah tolong-menolong seperti yang diajarkan
Islam.
3.2. Saran
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan kita
tentang Asuransi Menurut Hukum Islam . Penulis meyadari dalam pembuatan
makalah ini masih jauh dari sempurna,maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun.
13
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Syafi’i, Konsep Asuransi Takaful, Jakarta: Gema Insani Press, 1999
Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UIPress, 1988
Al-Maududi, Abul A’la, Asas al-Iqtiṣād Baina al-Islām wa al-Niẓām al-Mu`āṣirah, Kairo:
Almaktabah al-Fikr, t.th
Billah, M. Ma’sum, Kontekstualisasi Takaful dalam Asuransi Takaful: Tinjauan Hukum
dan Praktik, Terj. Suparto, Selangor Malaysia: Sweet & Maxwell Asia, 2010.
Iqbal, Muhaimin, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, Upaya menghilangkan Gharar,
Maisir, dan Riba, Jakarta: Gema Insani, 2006
Mannan, Abdul, Islamic Economics, Theory anda Practice, The Islamic Academ,
Cambridge New and Resived Edition, 1986
Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem
Operasional, Jakarta: Gema Insani Press, 2004
Sadr, Muhammad Ahmad, al-Iqtisâd alIslâmi, King Abdul Aziz University, Jeddah, 1982
Syahatah, Husain Husain, Asuransi dalam Perpektif Syariah, diterjemahkan oleh
Kailasufa, Jakarta: AMZAH, 2006
14