Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemajuan teknologi zaman ini membawa banyak sekali perubahan pada tata
kehidupan manusia. Di samping manfaat perubahan yang telah kita rasakan sekarang
ini, juga tidak luput dari bahaya yang menyebabkan kekhawatiran dan ketidakpastian
terhadap keamanan seseorang. Untuk menghindari dan mencegah kehawatiran dan
ketidakpastian tersebut, maka ada cara yang dilakukan manusia baik untuk melindung
dirinya maupun hartanya dengan mengasuransikan jiwa dan hartanya kepada
perusahaan perasuransian guna mencari sebuah proteksi keamana.
Asuransi dalam bahasa Belanda yaitu assurantie (asuransi) dan verzekiring
(pertanggung). Inggris menggunakan istilah insurance dan assurance dengan
pengertian sama. Istilah insurance dipakai untuk asuransi kerugian dan assurance
dipakai untuk asuransi jiwa
Penjelasan mengenai asuransi dijelaskan pada Pasal 1 Undang-undang Nomor
40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian yaitu “asuransi adalah perjanjian antara dua
pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis yang menjadi dasar bagi
penerimaan premi perusahaan sebagai imbalan untuk Memberikan penggantian
kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang
timbul, kehilangan keuntungan atau tanggungjawab huku kepada pihak ketiga yang
mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa
yang tidak pasti
Seiring dengan perkembangan institusi keuangan lainnya yang masih
melakukan praktek yang tidak sejalan prinsip syariah, dalam asuransi juga masih
terdapat inovasi baru yang dalam perkembangannya semakin tidak bisa lepas dari
Maysir, Gharar dan Riba. Asuransi telah menjadi kebutuhan penting bagi manusia
termasuk umat Muslim, karenanya sangatlah penting untuk mengetahui keputusan
para ulama mengenai sistem dan mekanisme pelaksanaan asuransi syariah yang
sejalan dengan nilai-nilai Islam.
.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana asuransi menurut hukum islam?


2. Apa tujuam dan pengertian asuransi syariah?
3. Bagaimana perbedaan asuransi syariah dengan asuransi konvensional ?
1.3 .Tujuan
1. Untuk mengetahui asuransi menurut hukum islam
2. Untuk mengetahui tujuan dan pengertian asuransi syariah
3. Untuk mengetahui manfaat perbedaan asuransi syariah dan konvensional

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Asuransi Menurut Islam


Asuransi atau tanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana
pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga
yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti,
atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seseorang yang dipertanggungkan.
Dalam ajaran Islam, asuransi sebenarnya sudah dipraktikkan sejak zaman Rasulullah
saw. Cikal-bakal konsep asuransi syariah menurut sebagian ulama adalah ad-diyah `alā al-
`āqilah. Al-`āqilah adalah kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Jika salah seorang
anggota suku terbunuh oleh anggota suku lain, pewaris korban akan dibayar uang darah (al-
diyah) sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari pembunuh. Saudara terdekat dari
pembunuh tersebut dikenal dengan al-`āqilah. Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam kitabnya Fatḥ
al-Bārī, sebagaimana dikutip oleh Syakir Sula, mengatakan bahwa pada perkembangan
selanjutnya setelah Islam datang, sistem `āqilah disahkan oleh Rasulullah menjadi bagian dari
Hukum Islam1.
Menurut Muhsin Khan, ide pokok dari al-`āqilah berasal dari suku Arab yang pada
zaman dulu harus selalu siap untuk melakukan kontribusi finansial atas nama pembunuh
untuk membayar pewaris korban. Kesiapan untuk membayar kontribusi keuangan sama
dengan premi praktik asuransi. Sementara itu, kompensasi yang dibayar berdasarkan al-
`āqilah sama dengan nilai pertanggungan dalam praktik asuransi sekarang, karena itu
merupakan bentuk perlindungan finansial untuk pewaris terhadap kematian yang tidak
diharapkan dari sang korban.2 Al-`āqilah bahkan tertuang dalam konstitusi pertama di dunia,
yang dibuat oleh Rasulullah yang dikenal dengan Konstitusi Madinah (622 M). Konstitusi
tersebut diperuntukkan bagi penduduk Madinah, seperti Muhajirin, Anshor, Yahudi, dan
Kristen Dalam konstitusi ini diperkenalkan asuransi sosial yang tecermin dalam beberapa
bentuk, yakni:
a. Melalui praktik al-diyah. Al-Diyah atau uang darah harus dibayarkan oleh al-
`āqilah (keluarga dekat si pembunuh) kepada keluarga korban untuk
menyelamatkan pembunuh dari beban hukum. Hal ini disebutkan dalam Pasal 3
Konstitusi Madinah, “Kaum Muhajirin dari suku Quraisy akan bertanggung jawab
atas perkataan mereka dan akan membayar uang darah dalam bentuk kerja sama
antar mereka”
b. Melalui pembayaran fidyah (tebusan). Nabi Muhammad saw. juga melaksanakan
ketetapan pada konstitusi awal tersebut berkaitan dengan menyelamatkan nyawa
para tawanan dan beliau menyatakan bahwa siapa saja yang menjadi tawanan
perang musuh, maka al-`āqilah dari tawanan tersebut harus membayar tebusan
1
M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional (Jakarta: Gema Insani Press, 2004),
hlm. 31.

2
kepada musuh untuk membebaskan tawanan tersebut.4 Pembayaran tebusan
semacam ini dapat dianggap sebagai bentuk lain dari asuransi sosial. Dalam
Konstitusi Madinah Pasal 4-12a disebutkan bahwa para mujahidin dari suku
Quraisy akan bertanggung jawab atas pembebasan tawanan dengan cara
pembayaran tebusan sehingga kerja sama antar kaum mukmin dapat sesuai dengan
prinsip kearifan dan keadilan. Aturan ini juga berlaku bagi suku-suku lain yang
tinggal di Madinah seperti Banu Harits, Banu Najjar, Banu Jusham, dan lain-lain
c. Masyarakat bertanggung jawab untuk membentuk sebuah usaha bersama melalui
prinsip saling kesepahaman dalam menyediakan bantuan pertolongan yang
diperlukan bagi orang-orang yang membutuhkan, sakit, dan miskin
Asuransi sebagai salah satu lembaga keuangan yang bergerak dalam bidang
pertanggungan merupakan sebuah institusi modern hasil temuan dari dunia Barat yang lahir
bersamaan dengan adanya pencerahan. Institusi ini bersama dengan lembaga keuangan bank
menjadi motor penggerak ekonomi pada era modern dan berlanjut pada masa sekarang. Dasar
yang menjadi semangat operasional asuransi modern adalah berorientasikan pada sistem
kapitalis yang intinya hanya bermain dalam pengumpulan modal untuk keperluan pribadi
atau golongan tertentu, dan kurang atau bahkan tidak mempunyai akar untuk
mengembangkan ekonomi pada tataran yang komprehensif. Sedangkan asuransi yang
berdasarkan syariah lebih banyak bernuansa sosial daripada bernuansa ekonomi atau profit
oriented.
Asuransi atau al-Ta’min , merupakan upaya antisipasi untuk mengurangi resiko dalam
keadaan darurat yang dapat muncul pada kehidupan manusia di masa depan..Islampun telah
memperingatkan manusia untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi hari esok.Seiring
dengan perkembangan ekonomi lainnya yang masih melakukan praktek yang tidak sejalan
prinsip syariah, dalam asuransi juga masih terdapat inovasi baru yang
dalam perkembangannya semakin tidak bisa lepas dari Maysir, Gharar dan Riba.Asuransi
telah menjadi kebutuhan penting bagi manusia termasuk umat Muslim, karenanya sangatlah
penting untuk mengetahui keputusan para ulama mengenai sistem dan mekanisme
pelaksanaan asuransi syariah yang sejalan dengan nilai-nilai Islam.Sebagian Ulama’ yang
melarang praktik asuransi diantaranya Sayyid Sabiq, Abdullâh al-Qalqi, Yusuf Qardhâwi dan
Muhammad Bakhil al-Muthi. Beliau mengatakan bahwa Asuransi itu haram dalam segala
macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa.
Pengertian Asuransi Jiwa Dalam bahasa Arab, asuransi dikenal dengan istilah at-
ta’min, penanggung disebut mu’ammin, tertanggung disebut mu’amman lahu atau
musta’min. At-ta’min diambil dari amana yang artinya memberi perlindungan, ketenangan,
rasa aman, dan bebas dari rasa takut, seperti yang tersebut dalam Q.S Quraisy (106): 4
“yaitu ‚Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan”
Pengertian at-ta’min adalah seseorang membayar atau menyerahkan uang cicilan
untuk agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah
disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang.Takaful dalam
pengertian muamalah adalah saling memikul resiko diantara sesama orang, sehingga antara
satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya.Saling pikul resiko
ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing

3
mengeluarkan dana tabarru dana ibadah, sumbangan, derma yang ditujukan untuk
menanggung resiko.
Dalam asuransi banyak aturan dan perjanjian yang harus disepakati,tanda tangan
diatas materai, serta administrasi dan bunga asuransi yang juga masih jadi perbincangan
boleh atau tidaknya hal tersebut.

2.2 Pengertian dan Tujuan Asuransi Syariah


Pada saat ini masalah kekhawatiran, keamanan, risiko jiwa dan harta, serta perlunya
asuransi merupakan isu yang sangat menyibukkan pikiran manusia karena cukup banyak
orang yang dilanda ketakutan, kegelisahan memikirkan keselamatan diri, keluarga, dan
harta benda yang mereka miliki. Oleh karena itu, sangatlah wajar apabila ada orang yang
mencoba meminimalisir risiko jiwa dan harta benda yang mereka miliki. Dalam rangka
meminimalisasi risiko kerugian tersebut, muncullah berbagai perusahaan asuransi yang
menawarkan rasa aman dari berbagai ketakutan dan kekhawatiran. Yang menjadi
pertanyaan adalah apakah asuransi diperbolehkan menurut hukum Islam? Pendapat Abu
Zahrah yang dikutip oleh Husain Syahatah, asuransi kolektif (ta`āwun) adalah halal.
Menurutnya, asuransi jenis ini merupakan implementasi sikap tolong-menolong dalam
kebajikan dan ketakwaan yang diperintahkan Allah.11 Dalam al-Qur’an Surat al-Ma’idah
ayat 2 Allah berfirman:
“…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”
Asuransi syariah merupakan sistem asuransi dimana peserta akan saling menanggung
setiap resikonya dengan cara menghibahkan seluruhnya maupun sebagian kontribusi
lewat dana tabarru’.
Hal tersebut juga sering diistilahkan sebagai sharing of risk.
Kemudian uangnya akan digunakan pada pembayaran klaim apabila peserta
mengalami suatu musibah. Lalu dalam penerapannya sendiri yang akan bertindak untuk
mengelola serta menginvestasikan dana kontribusi tersebut adalah perusahaan
asuransi.Perbedaan paling mendasar antara asuransi syariah dan konvensional adalah
penggunaan prinsip dan syariah Islam dalam kegiatan asuransi.Sehingga para nasabah
tidak perlu khawatir jika asuransi yang digunakan bertentangan dengan agama Islam.
Asuransi syariah memiliki tujuan dalam meningkatkan kesejahteraan dengan cara
mengemban misi ibadah, aqidah, iqtisadi, dan keimanan.Tujuan utama dari asuransi
syariah disini bukanlah untuk memperoleh laba yang besar seperti halnya asuransi
konvensional.

4
2.2.1 Manfaat Asuransi Syariah
Adapun manfaat asuransi syariah juga tidak kalah dengan asuransi umum atau
konvensional. Inilah beberapa manfaat dari asuransi syariah:
1. Bebas Riba
Ketika menggunakan asuransi syariah, maka nasabah akan terbebas dari riba. Sebab
akad yang sudah diberlakukan pada asuransi ini berdasarkan prinsip Islam dan bukan
menggunakan penukaran premi dengan klaim.
Melainkan gotong royong yang dilakukan oleh antar peserta. Sehingga ketika peserta
A mengalami musibah, maka peserta lain akan mengumpulkan iuran sebagai bentuk
tolong menolong.
2. Prinsip Tolong Menolong
Pengamalan hukum syar’i sendiri di dalam agama islam lebih dikenal sebagai risk of
sharing. Dimana peserta bersedia untuk membayarkan uang kontribusinya untuk
dikelola perusahaan lalu menyalurkannya pada peserta yang tertimpa musibah
ataupun sedang membutuhkan uang.

3. Premi Tidak Hangus


Premi yang sudah Anda disetorkan tidak akan pernah hangus dan tentunya
dikembalikan lagi apabila Anda tidak pernah klaim saat masa pertanggungannya.
Sehingga hal tersebut akan memperkuat prinsip dari risk of sharing, dimana risiko
peserta asuransi ditanggung secara bersama.

4. Bebas Iuran Dasar


Peserta akan memperoleh kebebasan untuk pembayaran iuran dasar apabila terjadi
kecacatan total karena kecelakaan atau sakit. Hal ini tentunya disesuaikan lagi dengan
kesepakatan kedua belah pihak.
5. Transparan
Transparansi merupakan hal dari peserta terutama dalam pengelolaan dana kontribusi
yang sudah dibayarkan. Sehingga Anda pun juga bisa mengetahui dananya dialihkan
kemana saja atau mungkin berapakah yang sudah dialokasikan untuk investasi dan
cadangan klaim.
6. Proteksi Tidak Akan Berubah
Meskipun Anda tidak mampu memberikannya lagi, namun manfaatnya tentu saja
tidak akan pernah berubah. Hal inilah yang membedakannya dengan asuransi

5
konvensional, dimana Anda harus membayar premi sesuai waktu yang ditentukan
tersebut.

7. Dikelola dengan Syariah Islam


Semua bentuk pengumpulan dan juga pengelolaan dananya didasari dengan prinsip
syariah. Sehingga tak ada satupun dana yang diinvestasikan kepada perusahaan dan
tidak sesuai dengan syariat tersebut.
8. Pembagian Keuntungan Adil
Tentunya keuntungan yang akan Anda dapatkan dari dana investasi akan dibagi
dengan merata oleh perusahaan asuransi syariah.

Sebagaimana sudah dikemukakan pada awal pembahasan bahwa asuransi Islam juga
sudah dipraktikkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Hal ini menunjukkan bahwa menurut
hukum Islam, asuransi diperbolehkan asal praktik yang dilakukan seperti akadnya,
pengelolaan dana, investasi dana, kepemilikan dana, unsur preminya, dan hal-hal lain yang
berkenaan dengan teknik operasionalnya tetap berlandaskan pada al-Qur’an dan alSunnah.
Masalah ini harus benar-benar diperhatikan karena prinsip-prinsip umum dalam mu’āmalah
juga melandasi asuransi Islam.
Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam asuransi Islam adalah sebagai berikut:
1. Tauḥīd (ketakwaan). Jika dicermati ayat-ayat al-Qur’an tentang mu’āmalah, maka
akan terlihat dengan jelas bahwa Allah selalu menyeru kepada umat-Nya agar
mu’āmalah yang dilakukannya membawanya kepada ketakwaan Allah. Seorang
muslim ketika membeli dan menjual, menyewakan dan mempekerjakan, melakukan
penukaran dengan lainnya dalam harta atau berbagai kemanfaatan, ia selalu tunduk
kepada aturan Allah dalam mu’āmalah-nya. Ia tidak akan berusaha dengan sesuatu
yang haram seperti riba, penimbunan, zalim, menipu, berjudi, mencuri, menyuap
dan menerima suapan. Allah meletakkan prinsip tauḥīd (ketakwaan) sebagai prinsip
utama dalam mu’āmalah. Oleh karena itu, segala aktivitas dalam mu’āmalah harus
senantiasa mengarahkan para pelakunya dalam rangka untuk meningkatkan
ketakwaan kepada Allah2
2. Prinsip kedua dalam mu’āmalah adalah bersikap adil. Cukup banyak ayat al-Qur’an
yang memerintahkan umat manusia untuk bersikap adil terhadap siapapun termasuk
terhadap dirinya sendiri.
3. Larangan melakukan kezaliman. Kezaliman adalah kebalikan dari prinsip keadilan.
Karena itu, Islam sangat ketat dalam memberikan perhatian terhadap pelanggaran
kezaliman, penegakan larangan terhadapnya, kecaman keras kepada orang-orang
yang zalim, ancaman terhadap mereka dengan siksa yang paling keras di dunia dan
akhirat. Dalam surat al-Syūrā ayat 40 Allah berfirman: “Sungguh, Dia tidak
menyukai orang-orang yang zalim”, dan dalam surat al-Baqarah ayat 258 Allah
berfirman: “Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.

2
Ibid., hlm. 723

6
4. Al-Ta`āwun. Prinsip keempat yang menjadi landasan etika dalam mu’āmalah secara
Islami adalah ta`āwun. Ta`āwun merupakan salah satu prinsip utama dalam
interaksi mu’āmalah. Bahkan ta`āwun dapat menjadi fondasi dalam membangun
sistem masyarakat, yang kaya memperhatikan yang miskin dalam hal kebutuhan
financial, dan yang miskin membantu orang kaya dalam hal tenaga atau yang
lainnya
5. Al-Amānah (tepercaya/jujur). Menurut Yusuf al-Qaradlawi, di antara nilai transaksi
yang terpenting dalam bisnis adalah al-amānah atau ‘kejujuran’. Ia merupakan
puncak moralitas iman dan karateristik yang paling menonjol dari orang-orang yang
beriman. Bahkan, kejujuran merupakan karateristik para Nabi. Tanpa kejujuran,
kehidupan agama tidak akan berdiri tegak dan kehidupan dunia tidak akan berjalan
dengan baik. Sebaliknya, kebohongan adalah cabang kemunafikan dan merupakan
salah satu ciri orang-orang munafik.
6. Al-Riḍā (suka sama suka) Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”. Menurut
Abul A’la al-Maududi, ayat tersebut telah menetapkan dua perkara sebagai syarat
sahnya suatu perdagangan.3 Pertama, hendaknya perdagangan itu dilakukan dengan
suka sama suka di antara kedua belah pihak. Kedua, hendaklah keuntungan satu
pihak tidak berdiri di atas dasar kerugian pihak yang lain. Itulah yang dijelaskan
dalam firmanNya: “…dan janganlah kamu membunuh dirimu…”. Para ahli tafsir,
kata Maududi, menafsirkannya dengan dua makna, yang kedua-duanya relevan
dengan pembahasan ini. Makna pertama, janganlah kamu bunuhmembunuh di
antara sesamamu. Adapun makna kedua, janganlah kamu membunuh dengan
tanganmu sendiri.
7. Larangan melakukan risywah (sogok/suap). Larangan risywah atau ‘sogok’
merupakan prinsip mu’āmalah yang sangat berat dalam implementasinya. Hal ini
disebabkan risywah sudah hampir menjadi kultur dalam masyarakat korup. Dalam
Islam, risywah hukumnya haram, karena perbuatan ini dapat merusak tatanan
profesionalisme dalam bisnis. Hak seseorang dalam suatu bisnis bisa lepas
disebabkan adanya risywah yang dilakukan oleh pihak lain (kompetitor). Risywah
dapat dimanfaatkan untuk membenarkan masalah yang batil (haram) atau
sebaliknya bagi orang-orang yang tidak beriman. Oleh karena itu, Rasulullah
melaknat pemberi dan penerima risywah. “Rasulullah melaknat orang yang
memberi risywah” (HR Abu Daud dan Tirmizi). Ahmad Muhammad Al-Assal22
mengatakan bahwa Rasulullah sendiri pernah melaknat orang yang memberikan
uang sogok (risywah) agar mencapai kedudukan yang tidak semestinya atau
mengambil yang bukan haknya. Beliau pun melaknat orang yang menerima uang
sogok, dan juga melaknat orang yang menjadi perantara uang sogok.4
8. Al-Maṣlaḥah (kemaslahatan). Menurut Ibnul Qayyim, basis syariat adalah hikmah
dan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan ini terletak pada
keadilan sempurna, rahmat, kebahagiaan, dan kebijaksanaan. Apa pun yang
mengubah keadilan menjadi penindasan, rahmat menjadi kesulitan, kesejahteraan

3
Abul A’la A-Maududi, Asas al-Iqtiṣād Baina al-Islām wa al-Niẓām al-Mu`āṣirah (Kairo: alMaktabah al-Fikr, t.t.), hlm. 117
4
Syakir Sula, Asuransi Syariah, hlm. 742

7
menjadi kesengsaraan, dan hikmah menjadi kebodohan tidak ada hubungannya
dengan syariat
9. Al-Khidmah (pelayanan). Rasulullah bersabda, “Seorang Imam (pemimpin) adalah
pemelihara dan pengatur urusan (rakyat). Ia akan diminta pertanggungjawaban atas
urusan rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim). Rasulullah mengatakan bahwa
pengurus itu adalah pelayan masyarakat. Dalam makna yang luas, berarti bahwa
perusahaan dalam bisnis apa pun apalagi bisnis yang terkait dengan pelayanan,
harus benar-benar mampu memberikan pelayanan yang optimal kepada customer.
Karena pelayanan (khidmah) adalah salah satu bagian penting dalam mu’āmalah
yang Islami
10. Larangan melakukan taṭfīf (Kecurangan). Taṭfīf dalam bahasa Arab artinya berdikit-
dikit, berhemat-hemat alias pelit. Sedangkan almutaffif adalah orang yang
mengurangi bagian orang lain tatkala ia melakukan timbangan/takaran untuk orang
lain. Salah satu bentuk penipuan dalam bisnis adalah mengurangi takaran dan
timbangan

2.3. Ihktilaf Ulama yang Membolehkan Asuransi


Ada baiknya, kita mengutip pandangan ulama Islam terhadap eksistensi asuransi pada
masa-masa awal sehingga melahirkan satu konsep yang disebut dengan asuransi takaful.
Tujuannya sama dengan asuransi, namun beda dalam banyak praktek dan teori. Yang
paling mengemuka dari pendapat-pendapat tersebut terbagi tiga, yaitu: pertama,
Mengharamkan. Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi
jiwa. Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, ‘Abd Allâh al-Qalqi (mufti
Yordania), Yusuf Qaradhâwi dan Muhammad Bakhil al-Muth’i (mufti Mesir). Alasan-
alasan yang mereka kemukakan ialah:
1. Asuransi sama dengan judi
2. Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti
3. Asuransi mengandung unsur riba/renten
4. Asurnsi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak bisa
melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar atau
dikurangi
5. Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktik-praktik riba; f. Asuransi
termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai

Kedua, Membolehkan. Pendapat kedua ini dikemukakan oleh Abd. Wahab


Khallaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syariah
Universitas Syria), Muhammad Yûsuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada
Universitas Cairo Mesir), dan ‘Abd Rahman ‘Isa (pengarang kitab al-Muamalah al-
Haditsah wa Ahkâmuha)
Mereka beralasan :
1. Tidak ada nas (Alquran dan Sunnah) yang melarang asuransi.
2. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
3. Saling menguntungkan kedua belah pihak

8
4. Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang
terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan
Pembangunan
5. Asuransi termasuk akad mudhârbah (bagi hasil)
6. Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’âwuniyah); g. Asuransi dianalogikan (qiyas)
dengan sistem pensiun seperti taspen5

2.4. Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional


1. Akad (Perjanjian)
Perjanjian transaksi bisnis di antara pihakpihak yang melakukannya harus
jelas secara hukum ataupun non-hukum untuk mempermudah jalannya kegiatan
bisnis tersebut saat ini dan masa mendatang. Akad dalam praktik muamalah menjadi
dasar yang menentukan sah atau tidaknya suatu kegiatan transaksi secara syariah.
Hal tersebut menjadi sangat menentukan di dalam praktek asuransi syariah. Akad
antara perusahaan dengan peserta harus jelas, menggunakan akad jual beli (tabâduli)
atau tolong menolong (takâful.
Akad asuransi konvensional didasarkan pada akad tabâduli atau perjanjian
jual beli. Syarat sahnya suatu perjanjian jual beli didasarkan atas adanya penjual,
pembeli, harga, dan barang yang diperjual-belikan. Sementara itu di dalam
perjanjian yang diterapkan dalam asuransi konvensional hanya memenuhi
persyaratan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjualbelikan. Sedangkan
untuk harga tidak dapat dijelaskan secara kuantitas, berapa besar premi yang harus
dibayarkan oleh peserta asuransi utnuk mendapatkan sejumlah uang pertanggungan.
Karena hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Perusahaan akan
membayarkan uang pertanggunggan sesuai dengan perjanjian, akan tetapi jumlah
premi yang akan disetorkan oleh peserta tidak jelas tergantung usia. Akad dalam
Islam dibangun atas dasar mewujudkan keadilan dan menjauhkan penganiayaan.
Harta seorang muslim yang lain tidak halal, kecuali dipindahkan haknya kepada
yang disukainya. Keadilan dapat diketahui dengan akalnya, seperti pembeli wajib
menyatakan harganya dan penjual menyerahkan barang jualannya kepada pembeli.
Dilarang menipu, berkhianat, dan jika berhutang harus dilunasi. Jika kita
mengadakan suatu perjanjian dalam suatu transaksi bisnis secara tidak tunai maka
kita wajib melakukan hal-hal berikut:
1. Menuliskan bentuk perjanjian (seperti adanya SP dan polis)
2. Bentuk perjanjian harus jelas dimengerti oleh pihak-pihak yang bertransaksi
(akad tadâbuli atau akad takâfuli)
3. Adanya saksi dari kedua belah pihak. Para saksi harus cakap dan bersedia
secara hukum jika suatu saat diminta kewajibannya. (Penulis simpulkan dari
firman Allah Swt. dalam Q.s. al-Baqarah 2]: 282).

2. Gharar (Ketidakjelasan)
5
Zarqâ, Musthafâ Ahmad, al-Ta’mîm fi al-Islâm, h. 209.

9
Definisi gharar menurut Mazhab Syâfi‘î adalah apa-apa yang akibatnya
tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling kita takuti.
Gharar/ketidakjelasan itu terjadi pada asuransi konvensional, dikarenakan tidak adanya
batas waktu pembayaran premi yang didasarkan atas usia tertanggung, sementara kita
sepakat bahwa usia seseorang berada ditangan Yang Maha Kuasa. Jika baru sekali
seorang tertanggung membayar premi ditakdirkan meninggal, perusahaan akan rugi
sementara pihak tertanggung merasa untung secara materi. Jika tertanggung
dipanjangkan usianya, perusahaan akan untung dan tertanggung merasa rugi secara
finansial.
Dengan kata lain kedua belah pihak tidak mengetahui seberapa lama masing-
masing pihak menjalankan transaksi tersebut. Ketidak jelasan jangka waktu
pembayaran dan jumlah pembayaran mengakibatkan ketidaklengkapan suatu rukun
akad, yang kita kenal sebagai gharar. Para ulama berpendapat bahwa perjanjian jual
beli/akad tabâduli tersebut cacat secara hukum
Pada asuransi syariah akad tadâbuli (saling tukar) diganti dengan akad takâfuli
(saling menjamin), yaitu suatu niat tolongmenolong sesama peserta apabila ada yang
ditakdirkan mendapat musibah. Mekanisme ini oleh para ulama dianggap paling
selamat, karena kita menghindari larangan Allah dalam praktik muamalah yang gharar. 6
Pada akad asuransi konvensional dana peserta menjadi milik perusahaan
asuransi (transfer of fund). Sedangkan dalam asuransi syariah, dana yang terkumpul
adalah milik peserta (shâhib al-mâl) dan perusahaan asuransi syariah (mudhârib) tidak
bisa mengklaim menjadi milik perusahaan.

3. Tabarru’ dan Tabungan


Tabarru’ yang artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang
disebut mutabarri (dermawan). Niat bertabarru’ bermaksud memberikan dana kebajikan
secara ikhlas untuk tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi
syariah, ketika di antaranya ada yang mendapat musibah. Oleh karena itu dana tabarru’
disimpan dalam rekening khusus. Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang
diberikan adalah dari rekening tabarru’ yang sudah diniatkan oleh sesama peserta untuk
saling menolong.
Untuk produk asuransi jiwa syariah yang mengandung unsur saving maka
dana yang dititipkan oleh peserta (premi) selain terdiri dari unsur dana tabarru terdapat
pula unsur dana tabungan yang digunakan sebagai dana investasi oleh perusahaan.
Sementara investasi pada asuransi kerugian syariah menggunakan dana tabarru karena
tidak ada unsur saving. Hasil dari investasi akan dibagikan kepada peserta sesuai
dengan akad awal. Jika peserta mengundurkan diri maka dana tabungan beserta
hasilnya akan dikembalikan kepada peserta secara penuh.

6
Muhammad Ahmad Sadr, al-Iqtishâd al-Islâmi, (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1982), h. 58.

10
4.Riba
Dalam hal riba, semua asuransi konvensional menginvestasikan dananya
dengan bunga, yang berarti selalu melibatkan diri dalam riba. Hal demikian juga
dilakukan saat perhitungan kepada peserta, dilakukan dengan menghitung keuntungan
di depan. Investasi asuransi konvensional mengacu pada peraturan pemerintah yaitu
investasi wajib dilaku kan pada jenis investasi yang aman dan menguntungkan serta
memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi. Begitu pula
dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 424/KMK.6/2003 Tentang Kesehatan
Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Semua jenis investasi
yang diatur dalam peraturan pemerintah dan KMK dilakukan berdasarkan sistem
bunga.
Asuransi syariah menyimpan dananya di bank yang berdasarkan syariat Islam
dengan sistem mudhârabah. Untuk berbagai bentuk investasi lainnya didasarkan atas
petunjuk Dewan Pengawas Syariah.
5. Dana Hangus
Ketidakadilan yang terjadi pada asuransi konvensional ketika seorang peserta
karena suatu sebab tertentu terpaksa mengundurkan diri sebelum masa reversing
period. Sementara ia telah beberapa kali membayar premi atau telah membayar
sejumlah uang premi. Karena kondisi tersebut maka dana yang telah dibayarkan
tersebut menjadi hangus. Demikian juga pada asuransi non-saving atau asuransi
kerugian jika habis masa kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi yang
dibayarkan akan hangus dan menjadi milik perusahaan.
Asuransi syariah dalam mekanismenya tidak mengenal dana hangus, karena
nilai tunai telah diberlakukan sejak awal peserta masuk asuransi. Bagi peserta yang
baru masuk karena satu dan lain hal mengundurkan diri maka dana/premi yang
sebelumnya dimasukkan dapat diambil kembali kecuali sebagian kecil dana yang
dniatkan sebagai dana tabarru (dana kebajikan). Hal yang sama berlaku pula pada
asuransi kerugian. Jika selama dan selesai masa kontrak tidak terjadi klaim, maka
asuransi syariah akan membagikan sebagian dana/premi tersebut dengan pola bagi
hasil 60:40 atau 70:30 sesuai kesepakatan si awal perjanjian (akad). Jadi premi yang
dibayarkan pada awal tahun masih dapat dikembalikan sebagian ke peserta (tidak
hangus). Jumlahnya sangat tergantung dari hasil investasinya
6.Maisir (judi)
Asuransi konvensional terdapat unsur gharar yang pada gilirannya menimbul
kan qimar. Sedangkan al-qimar sama dengan al-maisir. Unsur maisir dalam asuransi
kon vensional karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa.
Apabila pemegang polis asuransi jiwa meninggal dunia sebelum periode akhir polis
asuransinya dan telah membayar preminya sebagian, maka ahli waris akan
menerima sejumlah uang tertentu. Pemegang polis tidak mengetahui dari mana dan
bagaimana cara perusahaan asuransi konvensional membayarkan uang

11
pertanggungannya. Hal ini dipandang karena keuntungan yang diperoleh berasal dari
keberanian mengambil risiko oleh perusaha an yang bersangkutan. Tetapi apabila pe
megang polis mengambil asuransi itu tidak dapat disebut judi. Disebut judi jika
perusahaan asuransi mengandalkan banyak dan sedikitnya klaim yang dibayar.
Sebab keuntungan perusahaan asuransi sangat di pengaruhi oleh banyak dan
sedikitnya klaim yang dibayarkan7

7
Abdul Mannan, Islamic Economics, Theory anda Practice, (The Islamic Academ: Cambridge New and Resived Edition,
1986), h. 109

12
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Sebagian para ahli syariah menyamakan sistem asuransi syariah dengan sistem
aqilah pada zaman Rasulullah Saw. Takaful dapat didefiniskan dengan al-takmîn, al-
ta‘âwun atau al-takâful (asuransi bersifat tolong menolong), yang dikelola oleh suatu
badan, dan terjadi kesepakatan dari anggota untuk bersama-sama memikul suatu
kerugian atau penderitaan yang mungkin terjadi pada anggotanya. Untuk kepentingan
itu masing-masing anggota membayar iuran berkala (premi). Dana yang terkumpul
akan terus dikembangkan, sehingga hasilnya dapat dipergunakan untuk kepentingan di
atas, bukan untuk kepentingan badan pengelola (asuransi syariah). Dengan demikian
badan tersebut tidak dengan sengaja mengeruk keuntungan untuk dirinya sendiri.
Disini sifat yang paling menonjol adalah tolong-menolong seperti yang diajarkan
Islam.

3.2. Saran
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan kita
tentang Asuransi Menurut Hukum Islam . Penulis meyadari dalam pembuatan
makalah ini masih jauh dari sempurna,maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun.

13
DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Syafi’i, Konsep Asuransi Takaful, Jakarta: Gema Insani Press, 1999
Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta: UIPress, 1988
Al-Maududi, Abul A’la, Asas al-Iqtiṣād Baina al-Islām wa al-Niẓām al-Mu`āṣirah, Kairo:
Almaktabah al-Fikr, t.th
Billah, M. Ma’sum, Kontekstualisasi Takaful dalam Asuransi Takaful: Tinjauan Hukum
dan Praktik, Terj. Suparto, Selangor Malaysia: Sweet & Maxwell Asia, 2010.
Iqbal, Muhaimin, Asuransi Umum Syariah dalam Praktik, Upaya menghilangkan Gharar,
Maisir, dan Riba, Jakarta: Gema Insani, 2006
Mannan, Abdul, Islamic Economics, Theory anda Practice, The Islamic Academ,
Cambridge New and Resived Edition, 1986
Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem
Operasional, Jakarta: Gema Insani Press, 2004
Sadr, Muhammad Ahmad, al-Iqtisâd alIslâmi, King Abdul Aziz University, Jeddah, 1982
Syahatah, Husain Husain, Asuransi dalam Perpektif Syariah, diterjemahkan oleh
Kailasufa, Jakarta: AMZAH, 2006

14

Anda mungkin juga menyukai