KONVENSIONAL
Abstrak
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia selalu memiliki permasalahan dalam setiap perjalanan
hidup yang mereka jalani juga menghadapi risiko yang tidak disenangi dan
bersifat merugikan. Asuransi adalah salah satu bentuk pengendalian yang
dapat dilakukan dengan cara pengalihan risiko dari pihak tertanggung ke
pihak penanggung. Risiko dalam asuransi adalah ketidakpastian akan
terjaidnya suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian secara
ekonomis.
Masyarakat disaat ini banyak menyadari bahwa asuransi sangatlah
berguna untuk mengurangi riisko yang akan dihadapi oleh masyrakat
apabila dihadapi oleh sesuatu yang tidak dalam rencana mereka. Setelah
menggunakan asuransi masyarakat dapat membuat perencanaan mengenai
keuangan apabila kemungkinan terjadinya risiko telah dipersiapkan
sebelumnya. Sengan begitu masyarakat dapat lebih focus untuk
memikirkan kehidupan yang akan dilalui dalam masa kedepannya.
Dan dalam perkembangan ini terdapat dua jenis asuransi yang
dapat kita temui yaitu asuransi syariah dan asuransi koenvensional. Pada
hakikatnya, antara kedua asuransi ini tidak terlalu berbeda tetapi memang
terdapat beberapa hal yang bertolak belakang sehingga harus adanya
penyesuaian atas pengguanaan salah satu diantara asuransi ini.
Perkembangan asuransi saat ini baik konvensional ataupun syariah
diperlukan kerja sama yang baik antara perusahaan asuransi, regulasi, dan
juga sistem. Cara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat perlu
diimbangi dengan memberikan dan meningkatkan rasa kepercayaan
masyarakat terhadap perusahaan asuransi. Hal yang dapat dilakukan
adalah dengan cara penyajian laporan keuangan yang transparan, objektif,
dapat dipercaya, dan disusun berdasarkan standar akuntansi yang berlaku.
Dalam Islam sendiri tidak terdapat pengaturan yang menjelaskan
secara tegas mengenai hukum asuransi, maka dari itu dibutuhkan putusan
2
hukum oleh para ulama’ (mujtahid) agar dapat memberikan penjelasan
mengenai asuransi yang tidak bertentangan dengan aturan dalam Islam.
Dan juga dapat mencegah manusia daripada melanggar norma-norma yang
berlaku dalam kehidupan manusia dan menjauhkan dari kemudharatan dan
mendekatkan kepada kemaslahatan ummat.
Perbedaan diantara kedua jenis asuransi ini, penulis bertujuan
untuk memaparkan perbedaan-perbedaan yang terletak diantara keduanya.
Perbedaan yang dipaparkan berkaitan juga dengan makna, tujuan, prinsip,
dan sistem asuransi tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan asuransi dalam konvensional dan
Islam?
2. Bagaimana hukum asuransi menurut Islam dikalangan para ulama?
3. Bagaimana perbedaan antara asuransi konvensional dengan
asuransi syariah?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan asuransi
2. Mengetahui bagaiman hukum asuransi dalam Islam dikalangan
para ulama
3. Mengetahui perbedaan antara asuransi konvensional dengan
asuransi syariah
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna pada:
1. Bagi Investor dan calon investor
Digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan untuk menggunakan asuransi syariah atau asuransi
konvensional.
2. Bagi Akademisi
3
Digunakan untuk menambah wawasan dan sebagai tambahan
preferensi bagi kalangan akademisi dalam segala penelitian sejenis
serta dapat digunakan sebagai masukan dan manjadi bahan
pertimbangan dalam pengembangan materi mengenai asuransi.
3. Bagi Penulis
Digunakan untuk menambah pengetahuan perihal makna asuransi,
perbedaan antara asuransi syariah dan konvensional, serta untuk
memenuhi persyaratan akademik dalam menyelesaikan paper
untuk mata kuliah Lembaga Keuangan Syariah.
4
BAB II
PEMBAHASAN
1
KH. Ali Yafie, Asuransi dalam Pandangan Syariat Islam, Menggapai Fiqh Sosial,
(Bandung: Mizan, 1994), hal. 205
2
Abdullah Amrin, Asuransi Syariah, keberadaan dan kelebihannya di Tengah Asuransi
Konvensional, (Jakarta; PT Alex Media Komputindo, 2006), hal. 2
3
Dewan Asuransi Indonesia, UU RI No. 2 Tahun 1992 dan Peraturan Pelaksanaannya
Tentang Usaha Perasuransian, Edisi 2003, DAI, hal. 23
4
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan
Undang-Undang (UU) Kepailitan, (Jakarta: PT. Pradya Paramita, 1994), Cet. I, h. 74
5
Imaniar Mahmuda, Umi Karimatul, Studi Komparasi Asuransi Syariah dengan Asuransi
Konvensional, (Lumajang; STIS Miftahul Ulum; 2019), hal. 57
5
yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu
peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
Definisi yang terdapat dalam UU No. 2 Tahun 1992 (Pasal 1) lebih
lengkap dibandingkan dengan pasal 246 KUHD, karena menyangkut
semua aspek perasuransian. Mulai dari asuransi kerugian, kerusakan,
kehilangan, keuntungan, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, dan
asuransi jiwa.
Berdasarkan definisi diatas, maka dalam asuransi terkandung
empat unsur, yaitu:
1. Pihak tertaanggung (insured) yang berjanji untuk membayar uang
premi kepada penanggung sekaligus atau secara berangsur-angsur
2. Pihak penanggung (insurer) yang berjanji akan membayar
sejumlah uang (santunan) kepada pihak tertanggung, sekaligus atau
secara berangsur
3. Suatu peristiwa yang semula belum jelas akan terjadi
4. Kepentingan yang mungkin akan mengalami kerugian akibat
peristiwa yang tidak menentu (belum jelas akan terjadi)6
6
hazard. Peril yang dapat diasuransikan harus bersifat universal. Artinya
risiko ini dapat menimbulkan kerugia dalam berbagai segi kegiatan; baik
ekonomi, sosial, dunia usaha maupun hukum.
7
A. Abbas Salim, Dasar-Dasar Asuransi, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1993),
Cet. 1, hal. 4
7
Contoh ulama yang melarang praktik asuransi adalah Sayyid
Sabiq, ‘Abd Allah A-Qalqi (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan
Muhammad Bakhil Al-Muthi’ (mufti Mesir). Beliau mengatakan bahwa
asuransi hukumnya haram dalam segala jenis dan bentuknya, termasuk
asuransi jiwa. Beberapa alasan-alasan yang terkemuka adalah:
a) Asuransi sama dengan judi;
b) Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti;
c) Asuransi mengandung riba;
d) Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis,
apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang
premi yang sudah dibayar atau dikurangi
Sedangkan para ulama’ yang memperbolehkan praktik asuransi
dengan alasan bahwa:
a) Tidak ada dalil atau nash (Al-Qur’an dan Sunnah) yang melarang
asuransi;
b) Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak;
c) Saling menguntungkan kedua belah pihak;
d) Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-
premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek
yang produktif dan pembangunan;
e) Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil);
f) Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’awuniyah)
g) Asuransi dianalogikab (qiyas) dengan sistem pensiun seperti
taspen
Adapun ulama yang menyetujui perihal adanya asuransi diantara
Abd. Wahab Khallaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar (guru besar
Hukum Islam pada fakultas Syariah Universitas Syria), Muhammad Yûsuf
Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan ‘Abd
Rahman ‘Isa (pengarang kitab al-Muamalah al-Haditsah wa Ahkâmuha).8
Perbedaan pendapat ini dapat dimaklumi karena asuransi adalah
termasuk dalam bidang ijtihad. Pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh
8
Ahmad Ajib Ridlwan, Asuransi Perspektif Hukum Islam. (Surabaya: PT. Adzkiya,
2016), Vol.4 N0.1, hal. 79-80
8
para ahli hukum Islam berkisar pada kebolehan semua bentuk asuransi,
ada juga pendapat yang membolehkan asuransi sosial dan mengharamkan
asuransi dalam bentuk komersial, disamping semua itu ada yang
mengharamkan semua bentuk asuransi.
Organisasi Islam di Indonesia seperti Nahdatul Ulama, dalam
munasnya di Bandar Lampung (1992) telah memutuskan bahwa asuransi
jiwa hukumnya haram, kecuali memenuhi ketentuan-ketentuan:
Pertama, asuransi tersebut harus mengandung tabungan (saving)
Kedua, peserta yang ikut program asuransi harus berniat menabung
Ketiga, pihak perusahaan asuransi menginvestasikan dana peserta
dengan cara-cara yang benar dan sesuai dengan syariat Islam yaitu bebas
dari gharar, maysir, dan riba
Keempat, apabila peserta asuransi mengundurkan diri sebelum
jatuh tempo, maka dana yang telah dibayarkan oleh peserta tidak hangus.
Selain itu, jika pihak penanggung tidak bisa membayar uang premi, maka:
1) Uang premi tersebut menjadi utang bagi penanggung dan
dapat diangsur kepada pihak tertanggung
2) Hubungan antara pihak tertanggung dan penanggung tetap
terjalin dengan baik
3) Tabungan milik tertanggung tidak hangus
4) Apabila sebelum jatuh tempo pihak tertanggung meninggal
dunia, maka ahli warisnya berhak mengambil tabungan
yang sudah disetor pihak tertanggung9
9
Khoirl Anwar, Asuransi Syariah, Halal dan Maslahat, (Solo: Tiga Serangkai, 2007), hal.
25-28
9
C. Perbedaan antara Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
M. Sholahuddin,10 berpendapat bahwa terdapat beberapa perbedaan
yang sangat signifikan antara asuransi syariah dengan asuransi
konvensional. Asuransi konvensional pada umumnya menggunakan dasar
ikatan pertukaran, yaitu pertukaran antara pembayaran remi dengan uang
penanggungjawaban. Dalam syariat Islam, pertukaran yang dilakukan ini
haruslah jelas dan pasti berapa yang dibayarkan dan berapa yang harus
diterima oleh pihak tertanggung sehingga terjadinya akad yang pasti antara
kedua belah pihak.
Permasalahan yang lainnya adalah apabila terputus ditengah jalan,
tidak bisa dipastikan berapa hak yang akan didapat dan kemungkinan
besar semua akan menjadi hangus dan tidak berlaku lagi, dan didalam ini
termasuk unsur dzalim. Dana yang dihimpun oleh perusahaan asuransi
akan diinvestasikan untuk perihal usaha, dan menjadi dasar pijakan dari
usaha ini adalah bunga, sehingga mengandung unsur riba.11
Sedangkan dalam asuransi syariah, asuransi ini selalu berkaitan
dengan hukum-hukum agama. Segala yang membedakan adalah sistem
ta’awun (tolong-menolong), dan juga menghindari dari segala praktik riba,
maysir, gharar, dan jahalah, zhulm, dan kegiatan maksiat lainnya.
Dan menjadi suatu bagian terpenting daripada asuransi syariah
adalah akad (kontrak) yang ada didalamnya. Akad yang ada dalam
asuransi syariah adalah akad mu’awwadah dan tabarru’. Akad
mu’awwadah digunakan antara nasabah dan perusahaan yang
bersangkutan, dengan nasabah menjadi shahibul maal dan perusahaan
sebagai mudharib. Sedangkan akad tabarru’ terjadi antara para nasabah.12
Beberapa ketentuan yang dibuat oleh DSN dalam fatwanya adalah:
a) Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan
terdiri atas akad tijarah dan/atau akad tabarru’
10
M. Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, (Surakarta:Muhammadiyah
University Press, 2006), hal. 133
11
Imaniar Mahmuda, Umi Karimatul, Studi Komparasi Asuransi Syariah dengan
Asuransi Konvensional, (Lumajang; STIS Miftahul Ulum; 2019), hal. 62-63
12
Muhammad Maksum, Pertumbuhan Asuransi Syariah di Dunia dan Indonesia, (Jakarta:
STAI Al-Hikmah, 2010), hal. 47
10
b) Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah
mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah
c) Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan: (1)
Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan; (2) Cara dan
waktu pembayaran premi; (3) Jenis akad tijarah/akad
tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan
jenis asuransi yang diakadkan.
11
peserta terkena musibah. Sedangkan dalam konvensional,
pembayaran klaim diambil dari rekening perusahaan.
6. Keuntungan yang didapat, dibagi dua antara nasabah dan
perusahaan. Dengan nasabah sebagai pemilik modal dan
perusahaan sebagai pengelolanya dengan prinsip (mudharabah).
Dalam konvensional, sepenuhnya milik perusahaan dan jika tidak
ada klaim maka nasabah tidak mendapatkan apa-apa.13
13
Imaniar Mahmuda, Umi Karimatul, Studi Komparasi Asuransi Syariah dengan
Asuransi Konvensional, (Lumajang; STIS Miftahul Ulum; 2019), hal. 62-63
12
BAB III
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
Yafie KH. Ali, Asuransi dalam Pandangan Syariat Islam, Menggapai Fiqh Sosial,
(Bandung: Mizan, 1994), hal. 205
Amrin Abdullah, Asuransi Syariah, keberadaan dan kelebihannya di Tengah
Asuransi Konvensional, (Jakarta; PT Alex Media Komputindo, 2006), hal.
2
Dewan Asuransi Indonesia, UU RI No. 2 Tahun 1992 dan Peraturan
Pelaksanaannya Tentang Usaha Perasuransian, Edisi 2003, DAI, hal. 23
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
dan Undang-Undang (UU) Kepailitan, (Jakarta: PT. Pradya Paramita,
1994), Cet. I, h. 74
Mahmuda Imaniar, Umi Karimatul, Studi Komparasi Asuransi Syariah dengan
Asuransi Konvensional, (Lumajang; STIS Miftahul Ulum; 2019), hal. 57
A. Abbas Salim, Dasar-Dasar Asuransi, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
1993), Cet. 1, hal. 4
Ahmad Ajib Ridlwan, Asuransi Perspektif Hukum Islam. (Surabaya: PT.
Adzkiya, 2016), Vol.4 N0.1, hal. 79-80
Khoirl Anwar, Asuransi Syariah, Halal dan Maslahat, (Solo: Tiga Serangkai,
2007), hal. 25-28
M. Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam,
(Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2006), hal. 133
Imaniar Mahmuda, Umi Karimatul, Studi Komparasi Asuransi Syariah dengan
Asuransi Konvensional, (Lumajang; STIS Miftahul Ulum; 2019), hal. 62-
63
Muhammad Maksum, Pertumbuhan Asuransi Syariah di Dunia dan Indonesia,
(Jakarta: STAI Al-Hikmah, 2010), hal. 47
Imaniar Mahmuda, Umi Karimatul, Studi Komparasi Asuransi Syariah dengan
Asuransi Konvensional, (Lumajang; STIS Miftahul Ulum; 2019), hal. 62-
63
14