Anda di halaman 1dari 14

STUDI KOMPARATIF ASURANSI SYARIAH DENGAN ASURANSI

KONVENSIONAL

Abstrak

Berbagai masalah yang dihadapi oleh manusia terkadang berada diluar


jangkauan mereka dan menghasilkan banyak risiko yang tidak terkendali.
Asuransi adalah salah satu jalan keluar untuk mengendalikan apa yang terjadi
dengan cara mengalihkan risiko yang datang. penyesuaian atas pengguanaan
salah satu diantara asuransi ini. Menurut kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) Pasal 246, yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah
suatu persetujuan dimana pihak yan menjamin berjanji kepada pihak yang
dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang
mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa
yang belum jelas akan terjadi.Perkembangan asuransi saat ini baik konvensional
ataupun syariah diperlukan kerja sama yang baik antara perusahaan asuransi,
regulasi, dan juga sistem. Cara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat perlu
diimbangi dengan memberikan dan meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat
terhadap perusahaan asuransi. Dan dalam penelitian ini, peneliti ingin
menjelaskan lebih lanjut mengenai hukum asuransi dan maksud dari asuransi
dan perbedaan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional.

Kata kunci: Asuransi syariah, Asuransi konvensional, Islam

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia selalu memiliki permasalahan dalam setiap perjalanan
hidup yang mereka jalani juga menghadapi risiko yang tidak disenangi dan
bersifat merugikan. Asuransi adalah salah satu bentuk pengendalian yang
dapat dilakukan dengan cara pengalihan risiko dari pihak tertanggung ke
pihak penanggung. Risiko dalam asuransi adalah ketidakpastian akan
terjaidnya suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian secara
ekonomis.
Masyarakat disaat ini banyak menyadari bahwa asuransi sangatlah
berguna untuk mengurangi riisko yang akan dihadapi oleh masyrakat
apabila dihadapi oleh sesuatu yang tidak dalam rencana mereka. Setelah
menggunakan asuransi masyarakat dapat membuat perencanaan mengenai
keuangan apabila kemungkinan terjadinya risiko telah dipersiapkan
sebelumnya. Sengan begitu masyarakat dapat lebih focus untuk
memikirkan kehidupan yang akan dilalui dalam masa kedepannya.
Dan dalam perkembangan ini terdapat dua jenis asuransi yang
dapat kita temui yaitu asuransi syariah dan asuransi koenvensional. Pada
hakikatnya, antara kedua asuransi ini tidak terlalu berbeda tetapi memang
terdapat beberapa hal yang bertolak belakang sehingga harus adanya
penyesuaian atas pengguanaan salah satu diantara asuransi ini.
Perkembangan asuransi saat ini baik konvensional ataupun syariah
diperlukan kerja sama yang baik antara perusahaan asuransi, regulasi, dan
juga sistem. Cara untuk meningkatkan kesadaran masyarakat perlu
diimbangi dengan memberikan dan meningkatkan rasa kepercayaan
masyarakat terhadap perusahaan asuransi. Hal yang dapat dilakukan
adalah dengan cara penyajian laporan keuangan yang transparan, objektif,
dapat dipercaya, dan disusun berdasarkan standar akuntansi yang berlaku.
Dalam Islam sendiri tidak terdapat pengaturan yang menjelaskan
secara tegas mengenai hukum asuransi, maka dari itu dibutuhkan putusan

2
hukum oleh para ulama’ (mujtahid) agar dapat memberikan penjelasan
mengenai asuransi yang tidak bertentangan dengan aturan dalam Islam.
Dan juga dapat mencegah manusia daripada melanggar norma-norma yang
berlaku dalam kehidupan manusia dan menjauhkan dari kemudharatan dan
mendekatkan kepada kemaslahatan ummat.
Perbedaan diantara kedua jenis asuransi ini, penulis bertujuan
untuk memaparkan perbedaan-perbedaan yang terletak diantara keduanya.
Perbedaan yang dipaparkan berkaitan juga dengan makna, tujuan, prinsip,
dan sistem asuransi tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan asuransi dalam konvensional dan
Islam?
2. Bagaimana hukum asuransi menurut Islam dikalangan para ulama?
3. Bagaimana perbedaan antara asuransi konvensional dengan
asuransi syariah?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan asuransi
2. Mengetahui bagaiman hukum asuransi dalam Islam dikalangan
para ulama
3. Mengetahui perbedaan antara asuransi konvensional dengan
asuransi syariah

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat berguna pada:
1. Bagi Investor dan calon investor
Digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan untuk menggunakan asuransi syariah atau asuransi
konvensional.
2. Bagi Akademisi

3
Digunakan untuk menambah wawasan dan sebagai tambahan
preferensi bagi kalangan akademisi dalam segala penelitian sejenis
serta dapat digunakan sebagai masukan dan manjadi bahan
pertimbangan dalam pengembangan materi mengenai asuransi.
3. Bagi Penulis
Digunakan untuk menambah pengetahuan perihal makna asuransi,
perbedaan antara asuransi syariah dan konvensional, serta untuk
memenuhi persyaratan akademik dalam menyelesaikan paper
untuk mata kuliah Lembaga Keuangan Syariah.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna Asuransi dalam konvensional dan Islam


Kata asuransi diambil dari Bahasa Belanda Assurantie, dalam
hukum Belanda disebut Verzekering yang artinya pertanggungan.1 Istilah
ini kemudian berkembang menjadi “assuradeur” yang berarti penanggung
dan tertanggung disebut “geassureerde”2. menurut C. Arthur Williams Jr,
asuransi adalah perlindungan terhadap risiko finansial oleh penanggung
terhadap tertanggung.
Dan makna asuransi sendiri sudah tercantum dalam buku Undang-
Undang RI No. 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian. 3 Asuransi
adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak penanggung
mengikatkan diri terhadap tertanggung, dengan menerima premi asuransi,
untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan, atau kehilangan peruntungan yang diharapkan, atau tanggung
jawab hukum kepada pihak ke4tiga yang mungkin diderita tertanggung
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan
satu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang
yang dipertanggungkan.5
Menurut kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Pasal
246, yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah suatu
persetujuan dimana pihak yan menjamin berjanji kepada pihak yang
dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian

1
KH. Ali Yafie, Asuransi dalam Pandangan Syariat Islam, Menggapai Fiqh Sosial,
(Bandung: Mizan, 1994), hal. 205
2
Abdullah Amrin, Asuransi Syariah, keberadaan dan kelebihannya di Tengah Asuransi
Konvensional, (Jakarta; PT Alex Media Komputindo, 2006), hal. 2
3
Dewan Asuransi Indonesia, UU RI No. 2 Tahun 1992 dan Peraturan Pelaksanaannya
Tentang Usaha Perasuransian, Edisi 2003, DAI, hal. 23
4
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan
Undang-Undang (UU) Kepailitan, (Jakarta: PT. Pradya Paramita, 1994), Cet. I, h. 74
5
Imaniar Mahmuda, Umi Karimatul, Studi Komparasi Asuransi Syariah dengan Asuransi
Konvensional, (Lumajang; STIS Miftahul Ulum; 2019), hal. 57

5
yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu
peristiwa yang belum jelas akan terjadi.
Definisi yang terdapat dalam UU No. 2 Tahun 1992 (Pasal 1) lebih
lengkap dibandingkan dengan pasal 246 KUHD, karena menyangkut
semua aspek perasuransian. Mulai dari asuransi kerugian, kerusakan,
kehilangan, keuntungan, tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, dan
asuransi jiwa.
Berdasarkan definisi diatas, maka dalam asuransi terkandung
empat unsur, yaitu:
1. Pihak tertaanggung (insured) yang berjanji untuk membayar uang
premi kepada penanggung sekaligus atau secara berangsur-angsur
2. Pihak penanggung (insurer) yang berjanji akan membayar
sejumlah uang (santunan) kepada pihak tertanggung, sekaligus atau
secara berangsur
3. Suatu peristiwa yang semula belum jelas akan terjadi
4. Kepentingan yang mungkin akan mengalami kerugian akibat
peristiwa yang tidak menentu (belum jelas akan terjadi)6

Suatu kejadian adlah ketidakpastian yang dapat menimbulkan


kerugian. Ketidakpastian ini dapat dibagi menjadi:

1. Ketidakpastian ekonomi, yaitu kejadian yang timbul akibat


perubahan sikap konsumen. Misalnya, perubahan selera atau minat
konsumen atau perubahan harga, teknologi, penemuan baru, dan
lain-lain.
2. Ketidaktentuan factor alam. Misalnya: gunung meletus, kebakaran,
banjir bandang, dan lain-lain
3. Ketidaktentuan yang disebabkan perilaku manusia. Misalnya:
pencurian, perampokan, pembunuhan, begal, dan lain-lain

Tidak semua kejadian dapat diasuransikan. Kejadian-kejadian yang


dapat mengakibatkan kerugian disebut peril. Dan kejadian yang dapat
membesarkan kemungkinan akan terjadinya suatu peril disebut dengan
6
A. Abbas Salim, Dasar-Dasar Asuransi, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1993),
Cet. 1, hal. 4

6
hazard. Peril yang dapat diasuransikan harus bersifat universal. Artinya
risiko ini dapat menimbulkan kerugia dalam berbagai segi kegiatan; baik
ekonomi, sosial, dunia usaha maupun hukum.

Dari tiga jenis ketidaktentuan diatas, yang dapat dipertanggungkan


adalah ketidaktentuan alam dan manusia. Sedangkan ketidaktentuan
ekonomi tidak dapat diasuransikan karena bersifat spekulatif (unsur
ekonomis) dan keparahannya sulit diukur.7

Menurut paham ekonomi, asuransi merupakan suatu Lembaga


keuangan karena melalui asuransi dapat dihimpun dana yang besar, dan
dana ini dapat digunakan untuk membiayai suatu pembangunan,
disamping juga menjadi suatu kemaslahatan bagi masyarakat yang
mengikuti dalam bisnis asuransi, juga asuransi bertujuan memberikan
suatu perlindungan atau proteksi atas terjadinya kerugian keuangan, yang
disebabkan oleh kejadian yang tidak terduga akan terjadi sebelumnya.

Sedangkan dalam konsep asuransi syariah, asuransi disebut juga


dengan takaful, ta’min, dan Islamic insurance. Takaful mempunyai
makna saling menanggung antara satu dengan yang lainnya (umat
manusia) yang berlaku sebagai makhluk sosial. Ta’min berasal dari kata
“amanah” yang berarti memberikan perlindungan, suatu ketenangan,
rasa aman, serta bebas dari rasa takut. Adapun Islamic insurance
mengandung makna “pertanggungan” atau “saling menanggung”. Istilah
takaful pertama kali digunakan oleh Daar Al Mal Al-Islamiy, perusahan
asuransi islam yang berlokasi dan berpusat di Genewa pada tahun 1983.

B. Hukum Asuransi Dalam Islam di Kalangan Para Ulama


Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwasanya dalam Al-Qur’an
tidak ada spesifikasi dalil yang menjelaskan bagaimana hukum asuransi
sendiri, maka dibutuhkan ijtihad para ulama dalam menentukan
bagaimana hukum menggunakan asuransi bagi umat muslim didunia.

7
A. Abbas Salim, Dasar-Dasar Asuransi, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1993),
Cet. 1, hal. 4

7
Contoh ulama yang melarang praktik asuransi adalah Sayyid
Sabiq, ‘Abd Allah A-Qalqi (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan
Muhammad Bakhil Al-Muthi’ (mufti Mesir). Beliau mengatakan bahwa
asuransi hukumnya haram dalam segala jenis dan bentuknya, termasuk
asuransi jiwa. Beberapa alasan-alasan yang terkemuka adalah:
a) Asuransi sama dengan judi;
b) Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti;
c) Asuransi mengandung riba;
d) Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis,
apabila tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang
premi yang sudah dibayar atau dikurangi
Sedangkan para ulama’ yang memperbolehkan praktik asuransi
dengan alasan bahwa:
a) Tidak ada dalil atau nash (Al-Qur’an dan Sunnah) yang melarang
asuransi;
b) Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak;
c) Saling menguntungkan kedua belah pihak;
d) Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-
premi yang terkumpul dapat diinvestasikan untuk proyek-proyek
yang produktif dan pembangunan;
e) Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil);
f) Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’awuniyah)
g) Asuransi dianalogikab (qiyas) dengan sistem pensiun seperti
taspen
Adapun ulama yang menyetujui perihal adanya asuransi diantara
Abd. Wahab Khallaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar (guru besar
Hukum Islam pada fakultas Syariah Universitas Syria), Muhammad Yûsuf
Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan ‘Abd
Rahman ‘Isa (pengarang kitab al-Muamalah al-Haditsah wa Ahkâmuha).8
Perbedaan pendapat ini dapat dimaklumi karena asuransi adalah
termasuk dalam bidang ijtihad. Pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh
8
Ahmad Ajib Ridlwan, Asuransi Perspektif Hukum Islam. (Surabaya: PT. Adzkiya,
2016), Vol.4 N0.1, hal. 79-80

8
para ahli hukum Islam berkisar pada kebolehan semua bentuk asuransi,
ada juga pendapat yang membolehkan asuransi sosial dan mengharamkan
asuransi dalam bentuk komersial, disamping semua itu ada yang
mengharamkan semua bentuk asuransi.
Organisasi Islam di Indonesia seperti Nahdatul Ulama, dalam
munasnya di Bandar Lampung (1992) telah memutuskan bahwa asuransi
jiwa hukumnya haram, kecuali memenuhi ketentuan-ketentuan:
Pertama, asuransi tersebut harus mengandung tabungan (saving)
Kedua, peserta yang ikut program asuransi harus berniat menabung
Ketiga, pihak perusahaan asuransi menginvestasikan dana peserta
dengan cara-cara yang benar dan sesuai dengan syariat Islam yaitu bebas
dari gharar, maysir, dan riba
Keempat, apabila peserta asuransi mengundurkan diri sebelum
jatuh tempo, maka dana yang telah dibayarkan oleh peserta tidak hangus.
Selain itu, jika pihak penanggung tidak bisa membayar uang premi, maka:
1) Uang premi tersebut menjadi utang bagi penanggung dan
dapat diangsur kepada pihak tertanggung
2) Hubungan antara pihak tertanggung dan penanggung tetap
terjalin dengan baik
3) Tabungan milik tertanggung tidak hangus
4) Apabila sebelum jatuh tempo pihak tertanggung meninggal
dunia, maka ahli warisnya berhak mengambil tabungan
yang sudah disetor pihak tertanggung9

Setelah melihat beberapa pendapat para kalangan ulama mengenai


hukum asuransi, sebagian memperbolehkan dan sebagian tidak, dan ada
juga yang berpendapat bahwa hukumnya adalah syubhat, maka haruslah
bagi kita untuk mencari jalan tengah atau alternative dengan memberikan
asuransi yang sesuai dengan aturan dan semua ajaran agama Islam dan
tidak keluar dari prinsip Islam yang kita ketahui.

9
Khoirl Anwar, Asuransi Syariah, Halal dan Maslahat, (Solo: Tiga Serangkai, 2007), hal.
25-28

9
C. Perbedaan antara Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
M. Sholahuddin,10 berpendapat bahwa terdapat beberapa perbedaan
yang sangat signifikan antara asuransi syariah dengan asuransi
konvensional. Asuransi konvensional pada umumnya menggunakan dasar
ikatan pertukaran, yaitu pertukaran antara pembayaran remi dengan uang
penanggungjawaban. Dalam syariat Islam, pertukaran yang dilakukan ini
haruslah jelas dan pasti berapa yang dibayarkan dan berapa yang harus
diterima oleh pihak tertanggung sehingga terjadinya akad yang pasti antara
kedua belah pihak.
Permasalahan yang lainnya adalah apabila terputus ditengah jalan,
tidak bisa dipastikan berapa hak yang akan didapat dan kemungkinan
besar semua akan menjadi hangus dan tidak berlaku lagi, dan didalam ini
termasuk unsur dzalim. Dana yang dihimpun oleh perusahaan asuransi
akan diinvestasikan untuk perihal usaha, dan menjadi dasar pijakan dari
usaha ini adalah bunga, sehingga mengandung unsur riba.11
Sedangkan dalam asuransi syariah, asuransi ini selalu berkaitan
dengan hukum-hukum agama. Segala yang membedakan adalah sistem
ta’awun (tolong-menolong), dan juga menghindari dari segala praktik riba,
maysir, gharar, dan jahalah, zhulm, dan kegiatan maksiat lainnya.
Dan menjadi suatu bagian terpenting daripada asuransi syariah
adalah akad (kontrak) yang ada didalamnya. Akad yang ada dalam
asuransi syariah adalah akad mu’awwadah dan tabarru’. Akad
mu’awwadah digunakan antara nasabah dan perusahaan yang
bersangkutan, dengan nasabah menjadi shahibul maal dan perusahaan
sebagai mudharib. Sedangkan akad tabarru’ terjadi antara para nasabah.12
Beberapa ketentuan yang dibuat oleh DSN dalam fatwanya adalah:
a) Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan
terdiri atas akad tijarah dan/atau akad tabarru’

10
M. Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, (Surakarta:Muhammadiyah
University Press, 2006), hal. 133
11
Imaniar Mahmuda, Umi Karimatul, Studi Komparasi Asuransi Syariah dengan
Asuransi Konvensional, (Lumajang; STIS Miftahul Ulum; 2019), hal. 62-63
12
Muhammad Maksum, Pertumbuhan Asuransi Syariah di Dunia dan Indonesia, (Jakarta:
STAI Al-Hikmah, 2010), hal. 47

10
b) Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat (1) adalah
mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah
c) Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan: (1)
Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan; (2) Cara dan
waktu pembayaran premi; (3) Jenis akad tijarah/akad
tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan
jenis asuransi yang diakadkan.

Dan dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara asuransi


konvensional dengan asuransi syariah adalah sebagai berikut:

1. Keharusan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam


perusahaan asuransi syariah. Dewan ini bertugas untuk mengawasi
kegiatan yang berhubungan dengan manajemen, produk, dan juga
kebijakan investasi agar selalu sejalan dengan syariat Islam.
2. Prinsip yang dimiliki oleh asuransi syariah adalah takaffuli
(ta’awun) antara kedua belah pihak, sedangkan prinsip asuransi
konvensional adalah (tabadduli) atau jual beli antara nasabah dan
perusahaan.
3. Dana yang didapatkan dari nasabah diinvestasikan dengan jalan
yang sesuai dengan prinsip syariah yaitu bagi hasil (mudharabah).
Sedangkan asuransi konvensional menginvestasikan dana kepada
sembarang sector perusahaan dengan sistem bunga yang
menjadikannya riba.
4. Premi yang dikumpulkan dijadikan tetap sebagai dana milik
nasabah. Dan perusahaan hanya memegang Amanah untuk
mengelola dana tersebut. Sedangkan konvensional, premi yang
didapat menjadi milik perusahaan itu sendiri dan perusahaan
memiliki kepemilikan penuh atas kebijakan mengolah dana
tersebut.
5. Untuk kepentingan pembayaran klaim dana nasabah diambil dari
rekening tabarru’ seluruh nasabah yang sudah dengan ikhlas
mengumpulkan dana untuk tolong-menolong apabila salah satu

11
peserta terkena musibah. Sedangkan dalam konvensional,
pembayaran klaim diambil dari rekening perusahaan.
6. Keuntungan yang didapat, dibagi dua antara nasabah dan
perusahaan. Dengan nasabah sebagai pemilik modal dan
perusahaan sebagai pengelolanya dengan prinsip (mudharabah).
Dalam konvensional, sepenuhnya milik perusahaan dan jika tidak
ada klaim maka nasabah tidak mendapatkan apa-apa.13

13
Imaniar Mahmuda, Umi Karimatul, Studi Komparasi Asuransi Syariah dengan
Asuransi Konvensional, (Lumajang; STIS Miftahul Ulum; 2019), hal. 62-63

12
BAB III
KESIMPULAN

Bagi Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI),


asuransi syariah menggunakan akses tabarru’ atau tolong-menolong antara
nasabah asuransi. Para nasabah membayar dana asuransi dengan segala keikhlasan
dengan tujuan untuk saling tolong-menolong satu sama lain (para nasabah)
apabila salah satu dari mereka tertimpa musibah. Dan lain daripada nasabah
konvensional, karena dana yang diambil adalah dana perusahaan maka apabila
tidak ada klaim kepada para nasabah maka segala dana yang telah terkumpul tidak
akan dikembalikan kepada nasabah dan nasabah tidak mendapatkan apa-apa.
Walaupun dalam ilmu fiqh beberapa ulama Islam Indonesia banyak yang
berbeda pendapat mengenai hukum asuransi ini, beberapa mengatakan boleh,
beberapa tidak, dan beberapa mengatakan boleh apabila digunakan untuk sosial
bukan untuk dikomersialkan.
Asuransi syariah memiliki berbedaan mendasar dengan asuransi
konvensional karena menggunakan risk sharing sehingga perusahaan asuransi
syariah disebut sebagai operator, bukan penanggung seperti pada asuransi
konvensional, dan nasabah disebut sebagai peserta bukan penanggung. Selain itu
perbedaan terletak pada akad, unsur premi, kepemilikan dana, investasi dana,
pembayaran klaim, pembagian keuntungan, adanya Dewan Pengawas Syariah,
misi dan visi dan lain sebagainya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Yafie KH. Ali, Asuransi dalam Pandangan Syariat Islam, Menggapai Fiqh Sosial,
(Bandung: Mizan, 1994), hal. 205
Amrin Abdullah, Asuransi Syariah, keberadaan dan kelebihannya di Tengah
Asuransi Konvensional, (Jakarta; PT Alex Media Komputindo, 2006), hal.
2
Dewan Asuransi Indonesia, UU RI No. 2 Tahun 1992 dan Peraturan
Pelaksanaannya Tentang Usaha Perasuransian, Edisi 2003, DAI, hal. 23
R. Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
dan Undang-Undang (UU) Kepailitan, (Jakarta: PT. Pradya Paramita,
1994), Cet. I, h. 74
Mahmuda Imaniar, Umi Karimatul, Studi Komparasi Asuransi Syariah dengan
Asuransi Konvensional, (Lumajang; STIS Miftahul Ulum; 2019), hal. 57
A. Abbas Salim, Dasar-Dasar Asuransi, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
1993), Cet. 1, hal. 4
Ahmad Ajib Ridlwan, Asuransi Perspektif Hukum Islam. (Surabaya: PT.
Adzkiya, 2016), Vol.4 N0.1, hal. 79-80
Khoirl Anwar, Asuransi Syariah, Halal dan Maslahat, (Solo: Tiga Serangkai,
2007), hal. 25-28
M. Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam,
(Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2006), hal. 133
Imaniar Mahmuda, Umi Karimatul, Studi Komparasi Asuransi Syariah dengan
Asuransi Konvensional, (Lumajang; STIS Miftahul Ulum; 2019), hal. 62-
63
Muhammad Maksum, Pertumbuhan Asuransi Syariah di Dunia dan Indonesia,
(Jakarta: STAI Al-Hikmah, 2010), hal. 47
Imaniar Mahmuda, Umi Karimatul, Studi Komparasi Asuransi Syariah dengan
Asuransi Konvensional, (Lumajang; STIS Miftahul Ulum; 2019), hal. 62-
63

14

Anda mungkin juga menyukai