Anda di halaman 1dari 55

Asuransi Syariah

Disusun Guna Memenuhi Tugas UAS Asuransi Syariah

Dosen Pengampu : Dr. Agus Waluyo, M.Ag.

Disusun Oleh :

Nama : Erkham Ardiyan

Nim : 63010160347

Kelas :B

PROGRAM STUDI S1 PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

2018
Daftar Isi
Tema yang dibahas
A. Sejarah munculnya asuransi syariah

Sejarah asuransi syariah sendiri dipetakan dalam beberapa periode, yaitu primitif
sebelum masehi, pertengahan, pra-islam, kolonial, dan modern hingga sekarang ini.
Muslehudin berpendapat bahwa munculnya ide dan gagasan asuransi itu berkaitan
erat dengan kelompok manusia, dan dia menyarankan untuk mempelajari sejarah
peradapan manusia.

Perkembangan peradapan adanya asuransi syariah dari zaman primitif sampai


sekarang ini:

1. Masa Sebelum Masehi hingga pertengahan


Pada tahun 200SM para saudagar dan aktor di italia membentuk suatu
collegin tettirium, semacam lembaga lembaga asuransi yang bertujuan
membantu para janda dan anak anak yatim. Pada zaman Alexander Agung
(336-323 SM) disinyalirada juga ulah manusia yang asuransi, yaitu upaya dari
beberapa Kotapraja untuk mengisi kasnya dengan meminjamkan uang dari
perseorangan dengan syarat syarat tertentu.
Pertengahan Ali menggambarkan perkembangan asuransi zaman
pertengahan. Muncul praktik asuransi di exeter wilayah Negeri Inggris, ysng
waktu itu ada perkumpulan orang” yang mempunyaikesamaan bidang
pekerjaanya seperti tukang roti, tukang kayu, dan tukang batu, kemudian
disebut dengan “gilde”. Nampak dari kebiasaan dari anggota “gilde”, mereka
membuat kesepakan dengan mengunpulkan uang dari anggotanya, dan
menyalurkan dana mereka bila mana rumah salah satu daari anggota “glide”
terbakar, maka akan mendapatkan uang dari dana tersebut. Dari penjelasan
tersebut merupakan suatu hal yang baru dalan asuransi konvensional maupun
asuransi syariah. Melainkan disinyalir sudah dianggap mirip dengan asuransi.
2. Masa Pra-Islam dan Pasca Islam
Dijazirah Arab yaitu pada zaman pra-Islam budaya Arab yang dikenal
dengan istilah “aqilah” merupakan budaya yang tejadi pada suku arab kuno.
Jika seseorang anggota suku membunuh seseorang suku yang lain, maka ada
keharusan keluarga yang membunuh untuk memberikan sejumlah uang
kepada anggota keluarga korban. Praktik ini, jika dikaitkan dengan konyteks
kekinian mempunyai kemiripan dengan asuransi jiwa, dengan adanya dana
santunan kepada keluarga korban.
Asuransi syariah berasal dari budaya suku Arab dengan sebutan Al-
Aqilah. Konsep al-Aqilah ini diterima dan menjadi bagian dari hukum islam.
Hal ini didasarkan oleh hadist dari Nabi Muhammad SAW, sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. Dia berkata berselisih dua orang wanita
dari suku Huzail, kemudian salah satu melempar batu ke wanita yang lain
sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut serta beserta bayi yang
dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut
mengadukan kepada Rasulullah saw, maka Rasulullah saw, memutuskan
ganti rugi dari pembunuhan janin tersebut dengan pembebasan seorang budak
laki laki maupun perempuan dan memutuskan ganti rugi keatian tersebut
dengan diyat yang dibayarkan dengan Aqilah-nya (kerabat dari orang tua laki
laki). (HR.Bukhari).
Dalam budaya suku Arab dulu, jika anggota suku membunuh anggota
suku yag lain, maka ahli waris terbunuh berhak atas kompensasi (bayaran
uang darah) sebagai penutupan. Kemudian Rasulullah Saw membuat
ketentuan penyelamatan jiwa para tawanan yang tertahan oleh musuh karena
perang, kama harus membayar tebusan untuk membebaskannya. Selain itu,
Rasulullah saw juga telah menetapkan menejemen sharing of risk dengan
memberikan sejumlah kompensasi untuk berbagai kecelakaan kaibat perang
seperti : 5 ekor unta untuk luka tulang dalam, 10ekor unta untuk kehilangan
jari tangan atau kaki dan 12.000 dinar untuk kematian (untuk ahli waris).
Dari sejarah diatas dapat disimpulkan bahwa sejak awal konsep
asuransi syariah berbeda dengan konvensional. Dimana dalam asuransi
syariah lebih kepada tolong menolong satu sama lain, sedangkan asuransi
konvensional lebih mencari keuntungan semata. Adanya kewajiban oleh
keluarga pembunuh untuk membayar diyat kepada keluarga korban yang
terbunuh. Istilah diyat ini disinyalir juga praktiknya mirip asuransi. Menurut
Rasjid definisi diyat adlah “denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau
tidak dilakukan padanya hukum bunuh.” Sebagaimana sabda Nabi
Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Tirmizi, ”barang siapa membunuh
orang dengan sengaja, ia diserahkan kepada keluarga terbunuh. Merka boleh
mebunuhnya atau menarik denda, yaitu 30 ekor unta betina umur tiga masuk
empat tahun, 30 ekor unta betina umur empat masuk lima tahun, 40 ekor unta
betina yang sudah bunting.”
Diyat seorang perrempuan adalah seperdua dari diyat laki laki,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Amir Ibn Hamz bahwa Rasulullah saw,
bersabda : “Denda perempuan seperdua dari laki laki”.
3. Masa Kolonial
Pada perkembangan asuransi pada masa kolonial di indonesia menurut
Ali dibagi menjadi 2 periode :
a. Periode Kolonial Belanda sampai pada tahun 1942, ditandai dengan
munculnya maskapai – maskapai yang tercatat dalam asuransi jiwa di
Indonesia mencapai 36 buah yang menyebar di kota kota seperti, Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya.
b. Periode Kolonial Jepang dari tahun 1942 – 17 Agustus 1945, banyak
maskapai yang gulung tikar menujukkan bahwa periode ini, hampir tidak
ada perkembangan asuransi yang sighnifikan.
4. Masa Modern Hingga Sekarang
Praktek asuransi medern pada fase awal diperkenalkan oleh William Gibbon,
adalah seorang yang memperkenalkan praktik asuransi dalam instrumen
perusahaan yang lebih teratur dan tertata lebih baik pada zaman itu. Gibbon
merupakan seorang berkewarganegaraaan Inngris. Dan Gibbon
memperkenalkan praktik asuransi dalam instrumen perusahaan tersebut pada
tahun 1870 atau paruh kedua abad ke 19 Masehi. Pada paruh kedua ini
menggambarkan praktik asuransi syariah atau takaful.
Perkembangan asuransi syariah di Indonesia dari era kemerdekaan
hingga tahun 1960-an, ada beberapa perusahaan asuransi yang mulai muncul
dan dipengaruhi oleh periode penjajahan Belanda. Misalya perusahaan
asuransi Boemi Putra dan Dharma Nasional (1954) bergabung ke PT
(persero), asuransi Jiwasraya Imam Adi (1961), Djamina (1962), sukma
Soedjati (1962) dan Affan (1964).
Asuransi ini adalah kesepakatan sejumlah orang untuk membayar
sejumlah uang ganti rugi ketika salah seorang diantara mereka mendapat
kecelakaan/kerugian. Kecelakaan yang menimpa para peserta asuransi ini
dapat berbentuk kecelakaan, kematian, kebanjiran, kecurian dan bentuk
bentuk kerugian lainya sesuai dengan kesepakatan bersama. Asuransi ini juga
berlaku bagi orang orang yang pensiun, tua renta, dan tetimpa sakit. Dan
atta’min bin sabit adalah aqad yang terdiri atas beberapa pemegang saham
dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapat kecelakaan , ia di beri
ganti rugi.1
B. Landasan Teori, Prinsip dan Filosofi Asuransi Syariah
Pendirian asuransi syariah, khususnya di Indonesa, didasarkan pada beberapa
landasanan, yaitu landasan syiarah, landasan yuridis dan landasan filosofis.

a. Al-Qur’an
Al-Qur‟an tidak menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan
tentang praktik asuransi seperti yang ada pada saat ini. Diantara ayat-ayat al-
Qur‟an yang mempunyai muatan nilai-nilai yang ada dalam praktik asuransi
adalah:
i. Surah al-Maidah [5] : 2
Artinya:
“…Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan

1
Pupitasari novi dan muhammad,Manajemen asuransi syariah,(yogyakarta:2015), 17
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-
Nya”. (QS. Al-Maidah [5]:2)
Dalam ayat ini, perintah tolong-menolong antar sesama manusia. Dan dalam
bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktik kerelaan anggota (nasabah)
perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai
dana sosial (tabarru’).
ii. Surah al-Baqarah [2] : 185
Artinya:
“…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu…” (QS. Al-Baqarah [2] : 185)2
Dalam konteks bisnis asuransi, ayat tersebut dapat dipahami bahwa
dengan adanya lembaga asuransi, seseorang dapat memudahkan untuk
menyiapkan dan merencanakan kehidupannya di masa mendatang dan dapat
melindungi kepentingan ekonominya dari sebuah kerugian yang tidak
disengaja.
b. Hadis tentang Aqilah
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a, dia berkata: “Berselisih dua orang
wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu
ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut karena
janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal
tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW., maka
Rasulullah SAW. memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin
tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan
memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat)
yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-laki).”(HR.
Bukhari)

c. Piagam Madinah

2
AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan
Praktis, Ed. 1 Cet.1, (Jakarta: Kencana, 2004)
Rasulullah SAW. Mengundangkan sebuah peraturan yang terdapat
dalam Piagam Madinah yaitu sebuah konstitusi pertama yang memperhatikan
keselamatan hidup para tawanan yang tinggal di negara tersebut. Seseorang
yang menjadi tawanan perang musuh, maka aqilah dari tawanan tersebut akan
menyumbangkan tebusan dalam bentuk pembayaran (diyat) kepada musuh,
sebagai pesan memungkinkan terbebaskan tawanan tersebut. Sebagaimana
kontribusi tersebut akan dipertimbangkan sebagai bentuk lain dari
pertanggungan sosial (social insurance). Bunyi piagam Madinah tersebut
sebagai berikut:
Artinya: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad, Nabi SAW., di kalangan
mukmin dan muslimin (yang berasal) dariQuraisy dan Yatsrib, dan orang
yang mengikuti mereka. Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari
(komunitas) manusia yang lain. Kaum muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan
(kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diyat di antara mereka dan
mereka membayar tebusan tawanan dengan cara adil diantara mukminin”
d. Praktik sahabat
Praktik sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman (ganti rugi)
pernah dilaksanakan oleh Khalifah kedua, Umar bin Khattab. Pada suatu
ketika Khalifah Umar memerintahkan agar daftar (diwan) saudara-saudara
muslim disusun perdistrik. “Orang-orang yang namanya tercantum dalam
diwan tersebut berhak menerima bantuan dari satu sama lain dan harus
menyumbang untuk pembayaran hukuman atas pembunuhan tidak disengaja
yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat mereka.” Umar lah
orang pertama kali yang mengeluarkan perintah untuk menyiapkan daftar
secara profesional per wilayah, dan orang-orang yang terdaftar diwajibkan
saling menanggung beban.
e. Ijma’
Para sahabat telah melakukan ittifaq (kesepakatan) dalam hal aqilah.
Aqilah adalah saling memikul atau bertanggungjawab untuk keluarganya. Jika
salah satu anggota suku terbunuh oleh anggota suku yang lain, maka ahli
waris korban akan dibayar dengan uang darah (dyat) sebagai kompensasi
saudara terdekat dari terbunuh. Terbukti dengan tidak adanya penentangan
oleh sahabat lain terhadap apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin
Khattab. Dapat disimpulkan bahwa mereka bersepakat mengenai persoalan
ini.
f. Qiyas
Ide pokok aqilah adalah suku Arab zaman dahulu harus siap untuk
melakukan kontribusi finansial atas nama si pembunuh untuk membayar ahli
waris korban. Kesiapan untuk membayar kontribusi keuangan ini sama
dengan pembayaran premi pada praktik asuransi syariah. Jadi, jika
dibandingkan permasalahan asuransi syariah yang ada pada saat ini dapat
dikiyaskan dengan sistem aqilah yang telah diterima di masa Rasulullah.
g. Istihsan
Dalam pandangan ahli usul fiqh adalah memandang sesuatu itu baik.
Kebaikan dari kebiasaan aqilah dikalangan suku Arab kuno terletak pada
kenyataan bahwa sistem aqilah dapat menggantikan atau menghindari balas
dendam berdarah yang berkelanjutan.
Landasan kedua dari didirikannya asuransi syariah adalah landasan
yuridis. Pada landasan ini, asuransi syariah telah ikut serta dalam
mengembangkan dunia perasuransian di Indonesia sebagaimana tercermin
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Sedangkan landasan terakhir yaitu landasan filosofis atau bisa pula
disebut dengan landasan teologis. Dalam landasan ini tersirat bahwa asuransi
syariah merupakan salah satu solusi bagi pihak-pihak yang hendak mengatasi
musibah atau bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Dalam teologi Islam
yang masyhur bahwa musibah dan bencana yang menimpa manusia itu
merupakan qadha dan qadar Allah Swt. Namun, bukan berarti bahwa
keterlibatan dalam asuransi merupakan salah satu upaya untuk menolak
qadha dan qadhar Allah Swt, melainkan salah satu upaya untuk
meminimalisir risiko finansial yang mungkin akan diderita.
C. Pandangan para ahli hukum islam tentang asuransi
Dikalangan umat Islam, asuransi masih menjadi perdebatan hukum atas
kehalalannya. Bahkan, sampai dewasa ini. Di sisi lain, praktik ini sudah
memasyarakat di Indonesia, dan sudah banyak masyarakat muslim yang terlibat
di dalamnya, baik sebagai pelaku bisnisnya maupun sebagai peserta (nasabah).
Perdebatan ahli hukum Islam tentang status asuransi terbagi menjadi empat
kelompok besar. Kelompok pertama adalah kelompok yang mengharamkan.
Golongan ini berpendapat bahwa asuransi itu haram dalam segalamacam
bentuknya, termasuk asuransi jiwa dan kerugian. Pendapat ini dikemukakakn oleh
Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqili (Mufti Yordania), Yusuf Qardhawi, dan
Muhammad Bakhil al-Muthi (Mufti Mesir). Alasan-alasan yang mereka
kemukakan ialah:

a. Asuransi sama dengan judi (maysir).


b. Asuransi mengandung unsur-unsur tidak pasti (gharar/uncertainty).
c. Asuransi mengandung unsur riba/rente.
d. Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak
bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah
dibayar atau dikurangi.
e. Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktik-praktik bunga
(riba).
f. Asuransi termasuk jual-beli atau tukar-menukar mata uang tidak tunai.
g. Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis yang berarti mendahului takdir
Allah.
Kelompok kedua adalah kelompok ulama yang menghalalkan asuransi.
Pendapat ini dikemukakan olehh Abd. Wahab Khalaf, Musthafa Ahmad Zarqa’
(Guru besar Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah Universitas Siyria),
Muhammad Yusuf Musa (Guru besar Hukum Islam pada Universitas Cairo
Mesir), dan Abd. Rahman Isa (Pengarang kitab al-Mualamalah al-Haditsah wa
Ahkamuha). Argument yang dikemukakan di antaranya:
a. Tidak ada nas (al-Qur’an dan as-Sunnah) yang melarang asuransi.
b. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak dalam asuransi.
c. Saling menguntungkan kedua belah pihak.
d. Asuransi dapat mendukung kepentingan umum, sebab premi-premi yang
terkumpul dapat diinestasikan untuk proyek-proyek yang produktif.
e. Asuransi termasuk akad mudharabah (bagi hasil).
f. Asuransi termasuk koperasi (syirkah ta’awuniyyah).
g. Asuransi dianalogikan (diqiyaskan) dengan system pensiun.
Kelompok ketiga adalah kelompok ulama yang menghalalkan asuransi yang
bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial. Pendapat
ketiga ini dianut antara lain oleh Muhammad Abu Zahrah (Guru besar Hukum
Islam pada Universitas Cairo, Mesir). Alasan kelompok ketiga ini sama dengan
kelompok pertama dalam asuransi yang bersifat komersial (haram) dan sama pula
dengan alasan kelompok kedua, dalam asuransi yang bersifat sosial (halal). Selain
ketiga kelompok di atas, ada kelompok keempat, yaitu ulama yang berpendapat
bahwa asuransi hukumnya syubhat (samar, ragu-ragu). Alasannya adalah karena
tidak ada dalil, baik al-Qur’an maupun al-Hadits, yang tegas mengharamkan
maupun menghalalkannya.3

D. Perbedaan antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional

a) Asuransi Syariah
1. Pengertian Asuransi Syariah
Kemunculan asuransi syariah adalah jawaban atas perbedaan pendapat
ulama dalam menyikapi status hukum asuransi konvensional. Pada
kenyataannya bahwa asuransi syariah didasarkan pada prinsip tolong
menolong (ta’awun), sementara asuransi konvensional lebih condong pada

3
Ismanto, Kuat, Asuransi Perspektif Maqasid Asy-Syari’ah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2016.
sisi perjanjian dan mencari keuntungan, dengan demikian secara prinsi
dasar keduanya berbeda secara filosofis.
Perbedaan terletak pada kerangka operasional serta nilai-nilai yang
digunakan menurut Gemala Dewi bahwa UU No.2 tahun 1992 tentang
usaha perasuransian tidak bisa mengakomodir konsep asuransi syariah
secara utuh dalam asuransi syariah berdasarkan konsep kerja sama dan
perlindungan, perjanjian, pertanggungan bukanlah antara penanggung
dengan tertanggung tetapi para tertangung sendirilah yang saling berjanji
untuk menanggung diantara mereka.
Kata asuransi, dalam bahasa Arab disebut dengan at-ta’min, yang
berasal dari kata amana yang memiliki arti memberi perlindungan,
ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut. Pengertian asuransi
syariah lebih menekankan pada makna tolong menolong antar sesama
peserta dewan syariah nasional DSN-MUI mendefinisikan asuransi syariah
(ta’min, takaful, atau tadhamun) sebagai berikut.
Usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah
orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabaruk yang
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui
akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.
2. Fungsi Dan Tujuan Asuransi Syariah
i. Fungsi Asuransi Syariah
Fungsi utama dari asuransi adalah sebagai mekanisme untuk
mengalihkan risiko (risk transfer mechanism), yaitu mengalihkan risiko
dari satu pihak (tertanggung) kepada pihak lain (penanggung). Selain
fungsi diatas, asuransi juga memiliki fungsi lain seperti berikut:
a. Asuransi menyebabkan atau membuat masyarakat dan perusahaan-
perusahaan berada dalam keadaan aman.
b. Dengan asuransi terdapat suatu kecenderungan, penarikan biaya
seadil mungkin (the equitable assesment of cost).
c. Asuransi sebagai alat penabung (saving).
d. Asuransi dipandang sebagai suatu sumber pendapatan (earning
power).
e. Sumber pendapatan ini didasarkan pada financing the bussiness.
Sumber pendapatan untuk segala sesuatu yang dipertanggungkan.
ii. Tujuan Asuransi Syariah
Tujuan asuransi syariah menurut Radiks Purba, ada tiga hal, yaitu
tujuan ganti rugi, tujuan tertanggung, dan tujuan penanggung.
a. Tujuan ganti rugi yang diberikan oleh penanggung kepada
tertanggung apabila tertanggung menderita kerugian sehingga
tertanggung masih mampu berdiri seperti sebelum menderita
kerugian.
b. Tujuan tertanggung mengikuti asuransi adalah untuk memperoleh
rasa tentram dan aman dari risiko yang dihadapinya dan untuk
mendorong keberaniannya meningkatkan usaha yang lebih besar.
c. Tujuan penanggung dibagi menjadi dua yaitu tujuan khusus dan
tujuan umum. Tujuan khususnya adalah untuk meringankan risiko
yang dihadapi oleh para nasabah, menciptakan rasa tenteram dan
aman dikalangan nasabahnya, dan mengumpulkan dana melalui
premi yang terkumpul dari para nasabahnya. Sedangkan tujuan
umumnya adalah untuk memperoleh keuntungan selain menyediakan
lapangan kerja, apabila penanggung membutuhkan tenaga pembantu.

iii. Jenis Asuransi Syariah


a. Asuransi Jiwa Syariah ( Life Insurance)
Menurut Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika Asuransi jiwa
dalam arti luas memuat semua perjanjian mengenai pembayaran
sejumlah modal atau bunga, yang didasarkan atas kemungkinan hidup
atau mati, dan daripada itu pembayaran permi atau dua-duanya dengan
cara digantungkan pada masa hidupnya atau meninggalnya seseorang
atau lebih.
Menurut UU No.2 tahun 1992 asuransi jiwa adalah perjanjian
asuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan yang dikaitkan
dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang di pertanggungkan.
b. Asuransi Kerugian Syariah ( General Insurance )
Menurut Molengraf asuransi kerugian adalah persetujuan
dengan mana satu pihak penanggung mengikatkan diri terhadap yang
lain- tertanggung- untuk mengganti kerugian yang dapat diderita oleh
tertanggung, karena terjadi suatu peristiwa yang telah ditunjuk dan
yang belum tentu secara kebetulan, dengan mana pula tertanggung
berjanji untuk membayar premi.
Menurut UU No.2 tahun 1992 asuransi kerugian adalah
perjanjian asuransi yang memberikan jasa dalam penanggulangan
risiko atas kerugian, kehilangan, manfaat dan tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
c. Asuransi Syaria Unit Link
Menurut Freddy pieloor, tidak ada definisi resmi tentang
asuransi unit link. Sebab sebenarnya unit link adalah gabungann antara
asuransi dengan investasi yang keduanya sangat berbeda. Asuransi
syariah unit link adalah perlindungan asuransi syariah melalui usaha
saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau
pihak melalui investasi dalam bentuk aset.
b) Asuransi Konvensional
1. Pengertian Asuransi Konvensional
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie, tetapi di
dalam bahasa hukum Belanda dipakai kata verzekering, sedangkan
dalam bahasa Inggris disebut insurance. Kata tersebut kemudian
disalin dalam bahasa Indonesia dengan kata pertanggungan. Dari
peristilahan assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi
penanggung, dan gaessureerde bagi tertanggung. Definisi resmi
asuransi secara hukum, di Indonesia disebutkan dalam pasal 246 KUH
Dagang, yang berbunyi;
Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan
mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang
tertanggung dengan suatu premi untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena
suatu peristiwa yang tak tentu.

2. Jenis Bidang Usaha Asuransi


Jenis bidang usaha asuransi ini dibagi menjadi tiga :
a. Asuransi Kerugian, yaitu perjanjian asuransi yang memberikan
jasa dalam penanggulan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat
dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari
peristiwa yang tidak pasti.
b. Asuransi Jiwa, yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa
dalam pertanggungan yang dikaitkan dengan hidup atau
meninggalnya seseorang yang di pertanggungkan.
c. Re-asuransi, yaitu perjanjian asuransi yang memberikan jasa dan
pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh
perusahaan asuransi kerugian di perusahaan asuransi jiwa.

E. Sistem operasional asuransi jiwa dalam mengeliminir gharar, maisir, dan riba
A. Hukum Asuransi Menurut Ulama
Menurut Zuhdi (dalam Kuat Ismanto. 2017: 2) ada berbagai macam
pendapat dari para ulama tentang hukum asuransi menurut Islam. Perbedaan
itu dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu pendapat haram,
halal, syubhat (ragu-ragu), dan mubah. Dari keempat hukum tersebut, berikut
adalah penjelasan dari para ulama berkenaan dengan hukum asuransi:
1. Kelompok pertama yang mengharamkannya, berpendapat bahwa asuransi
itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa dan
kerugian. Pendapat ini salah satunya dikemukakan oleh Sayyid Sabiq,
dengan alasan bahwa asuransi itu mengandung unsur judi, ketidakjelasan,
serta riba.
2. Kelompok kedua adalah kelompok ulama yang menghalalkan asuransi,
dengan salah satu tokoh adalah Abdul Wahab Khalaf. Diantara alasan
yang dikemukakan adalah bahwa tidak ada ayat al-Qur‟an maupun al-
Hadits yang melarang praktik asuransi.
3. Kelompok ketiga, menghalalkan asuransi yang bersifat sosial dan
mengharamkan asuransi yang bersifat komersial, yang dipelopori oleh
Muhammad Abu Zahrah.
4. Kelompok keempat adalah ulama yang berpendapat bahwa asuransi itu
syubhat dengan alasan tidak ada dalil, baik al-Quran maupun al-Hadits,
yang tegas mengharamkan maupun menghalalkannya.

Kajian tentang asuransi dalam perspektif hukum Islam pertama kali


dilakukan oleh Ibnu Abidin (1994). Kajian selanjutnya dilakukan oleh Zarqa’
(1962), Zahrah (1964), ash-Shalih, et.al (1407H) Abduh (tt), az-Zuhaili
(1404H), al-Banjari (1984), Hasan (tt), Muslehuddin (1967), Billah (2001),
Yusof (1976),Mukhtar (1998), Billah (2007). Ali, et.al (2008), Jaffer (2007),
Choudhury dan Hoque (2004), Archer et.al (2011), Afzalurrahman (1996),
Muthahari (1995), Muslehuddin (1999), ash-Shiddiqie (1987). Kajian asuransi
juga hangat di Indonesia dalam berbagai perspektif, diantaranya dilakukan oleh
Dewi (2004), Suma (2006), Anshori (2008), Sula (2004), Ali (2008)
Perwaatmaja et.al. (2005), Sumitro (1996), Iqbal (2006), Ali (2004). Ada dua
poin utama dari kajian-kajian tentang asuransi diatas. Pertama, kajian tersebut
dilakukan dengan pendekatan normatif hukum Islam. Normatifitas itu merujuk
pada sumber hukum Islam yang diakui, al-Quran, al-Hadits, Ijma, dan juga
Qiyas. Kedua, kajiannya langsung fokus pada asuransi secara global, padahal
pada konsep asuransi itu mengandung prinsip-prinsip hukum, dimana berlaku
secara khusus dan tidak berlaku pada perjanjian pada umumnya.
B. Prinsip Asuransi Jiwa
Menurut Ilyas (2014: 43), prinsip dasar yang terdapat dalam asuransi
jiwa pada umumnya tidak jauh berbeda dengan prinsip dasar yang berlaku pada
konsep ekonomi Islam secara komprehensif. Konsep yang dibangun
berdasarkan fondasi dan prinsip dasar yang kuat serta kokoh. Diantara prinsip-
prinsip tersebut adalah:
1. Ke-Esaan (tauhid); adalah dasar utama dari setiap bentuk bangunan yang ada
dalam berasuransi yang harus diperhatian adalah bagaimana seharusnya
menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang terbangun oleh nilai-
nilai ke-Tuhanan.
2. Keadilan (al-‘adl); Prinsip kedua dalam bermuamalah adalah keadilan,
begitu juga dalam berasuransi adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan
(justice), dalam hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hal dan
kewajiban antara nasabah (anggota) dan perusahaan asuransi.
3. Menghindari kedzaliman (adz-dzulm); Pelanggaran terhadap kedzaliman
merupakan salah satu dasar dalam bermuamalah. Karena itu Islam sangat
ketat dalam memberikan perhatian terhadap pelanggaran kedzaliman.
4. Tolong-menolong (at-ta’awun); Saling tolong-menolong atau saling
membantu berarti diantara peserta syari’ah yang satu dengan yang lainnya
saling bekerja sama dan memperingan penderitaan memenuhi berbagai
kebutuhan dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena musibah yang
diderita.
5. Kerjasama (Musyarakah); Kerjasama dalam bisnis asuransi dapat berwujud
dalam akad yang dijadikan acuan antara kedua belah pihak yang terlibat,
yaitu anggota (nasabah) dan perusahaan asuransi.
6. Amanah (al-amanah); Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat
terwujud dalam nilai-nilai akuntabiltas (pertanggungjawaban) perusahaan
melalui penyajian laporan keuangan tiap periode.
7. Kerelaan (al-ridha); Pentingnya prinsip ridha dalam muamalah karena tanpa
dilandasi dengan keridhaan, maka seluruh akad dalam muamalah menjadi
batal. Dengan demikian, kedudukan prinsip keridhaan sangat fatal dalam
akad-akad yang dibuat dalam mumalah yang dilandasi hukum syari’ah.
8. Larangan gharar (ketidakpastian), maisir (judi) dan riba; Dalam setiap
transaksi, seseorang muslim dilarang memperkaya diri dengan cara yang
tidak dibenarkan.
C. Sistem Operasional Asuransi Jiwa
Dalam sistem operasional asuransi jiwa, unsur gharar dalam asuransi
konvensional tercermin dalam bentuk akad yang dalam asuransi konvensional
dapat dikategorikan sebagai akad tabaddulli atau akad pertukaran yaitu
pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan yang dibayarkan
oleh perusahaan asuransi. Dalam akad ini ada kepastian tentang berapa jumlah
klaim yang harus disetor. Untuk menghindari akad seperti ini, maka dalam
asuransi syari’ah digunakan akad takaful, di mana semua peserta asuransi
menjadi penolong dan penjamin satu dengan yang lainnya (Ilyas. 2014: 44).

Unsur maisir dalam asuransi konvensional terlihat apabila selama


masa perjanjian peserta tidak mengalami musibah atau kecelakaan, maka
peserta tidak berhak mendapat apa-apa termasuk premi yang disetornya.
Sedangkan keuntungan diperoleh ketika peserta yang belum lama menjadi
anggota (jumlah premi yang disetor sedikit) menerima dana pembayaran
klaim yang jauh lebih besar. Dalam konsep syari’ah, apabila peserta tidak
mengalami kecelakaan atau musibah selama menjadi peserta, maka ia tetap
berhak mendapatkan premi yang disetor kecuali dana yang dimaksudkan ke
dalam dana tabarru’. Unsur riba tercermin dalam cara perusahaan asuransi
konvensional melakukan usaha dalam investasi di mana meminjamkan dana
presmi yang terkumpul atas dasar bunga. Dalam konsep syari’ah dana premi
yang terkumpul diinvestasikan dengan prinsi bagi hasil, terutama mudharabah
dan musyarakah. (Ilyas. 2014: 43).

Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syari’ah tidaklah jauh berbeda
dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep ekonomika Islami secara
komprehensif dan bersifat mayor. Hal ini disebabkan karena kajian asuransi
syari’ah merupakan derivasi (minor) dari konsep ekonomi Islami. Sebagai
lembaga yang Islami, asuransi syari’ah tetap konsiten pada nilai-nilai normatif
Islam, terlebih pada prinsip dasar pijakannya, mengharuskan menjadi fondasi
asuransi syari’ah yang kokoh secara konstruksional, di atas bangunan nilai-
nilai Islam.

Asuransi adalah suatu cara atau metode untuk memelihara manusia


dalam menghindari risiko. Sedangkan risiko adalah hal yang paling dihindari
oleh manusia. Karena sudah menjadi watak manusia untuk selalu menghindar
dan meminimalisasi risiko dalam setiap akivitas kehidupannya. Dalam hal ini,
Islam tidak bertentangan dengan prinsip manajemen risiko, selama praktek
tersebut tidak mengandung unsur gharar (ketidakpastian), maisir
(gambling), riba (interest), eksploitasi (dzulm).

Menurut Ilyas (2014: 46) asuransi syari’ah tidak mengenal pengalihan


risiko (transfer risk), yang dipakai adalah pembagian risiko (sharing risk).
Konsep pembagian risiko, yang saling menanggung risiko adalah para peserta
itu sendiri, bukan perusahaan asuransi. Sehingga perusahaan asuransi bukan
berfungsi sebagai penanggung, tetapi berfungsi sebagai pemegang amanah.
Perihal polis peserta tidak membelinya, tetapi memberikan donasi atau derma
(dalam asuransi syari’ah biasa disebut dengan tabarru’) yang diniatkan untuk
tolong-menolong diantara peserta bila terjadi musibah, juga tidak terjadi
pengalihan kepemilikan dana, yang ada hanyalan pengumpulan dana atau
pooling of fund.

D. Prinsip-Prinsip Asuransi Kerugian


1. Prinsip Berserah Diri dan Ikhtiar; Allah adalah pencipta semesta alam
beserta isinya. Dia maha berkuasa atas segalanya. Sudah sepantasnya kita
berserah diri setelah kita melakukan usaha, karena manusia tidak bisa
mengetahui apa yang akan terjadi setelahnya.
2. Prinsip-prinsip tolong menolong (Ta’arun); Saling tolong-menolong
sesama manusia saat mengalami kesusahan adalah sesuatu yang dianjurkan
oleh Rasulullah.
3. Prinsip saling bertanggung jawab; Memikul tanggung jawab dengan niat
ikhlas adalah ibadah. Konsep asuransi ini merupakan salah satu cara untuk
mengubah kehidupan masyarakat, agar mereka tidak selalu ditimpa oleh
kemiskinan dalam mengarungi kehidupan ini (Syakir, 2004:1).
4. Prinsip saling kerja sama dan bantu-membantu
5. Prinsip saling melindungi dari berbagi kesusahan
6. Prinsip Kepentingan Terasuransikan ( Insurable Interest); Kepentingan
terasuransikan adalah pihak yang ingin mengasuransikan suatu objek
penanggungan seperti rumah tinggal, stok barang dagangan atau lainnya
harus mempunyai kepentingan atas objek tersebut dan diakui secara
hukum.
7. Prinsip itikad Baik (Utmost Good Faith); Dalam kontrak asuransi, untuk
pelaksanaan polis, pihak-pihak yang terlibat harus memiliki niat baik.
8. Prinsip ganti rugi (Indemnity); Fungsi asuransi adalah mengalihkan atau
membagi risiko yang kemungkinan diderita atau dipahami oleh
tertanggung karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
E. Sistem Operasional Asuransi Kerugian

Dalam asuransi kerugian, pada dasarnya adalah mekanisme ganti rugi


akibat terjadinya suatu musibah. Jaminan itu tertuang di dalam polis.
Kebanyakan kontrak asuransi kerugian dan kontrak asuransi kesehatan
merupakan kontrak indemnity atau “kontrak pergantian kerugian”. Penanggung
menyediakan penggantian kerugian untuk kerugian yang nyata diderita
tertanggung, dan tidak lebih besar dari pada keugian itu. Batas tertinggi
kewajiban penanggung berdasarkan prinsip ini adalah memulihkan tertanggung
pada posisi ekonomi yang sama dengan posisinya sebelum terjadi kerugian. Hal
ini berarti jumlah yang tercantum dalam polis bukanlah merupakan jumlah yang
harus dibayarkan, tetapi menyatakan batas maksimum(Syakir,2004: 225).

F. Konsep Asuransi Kerugian


Konsep asuransi kerugian mempresentasikan hadits Nabi yang
menjadi dasar konsep syariah yaitu konsep tolong menolong atau saling
melindungi dalam kebenaran sebagaimana terawat dalam Surat Al-Maidah
ayat 2 (artinya:Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran.)
Menurut Syakir (2004 : 226), akad yang mendasari kontrak asuransi
syariah kerugian adalah akad tabarru’, dimana pihak pemberi dengan ikhlas
memberikan sesuatu (kontribusi/premi) tanpa ada keinginan untuk menerima
apa pun dari orang yang menerima, kecuali hanya mengharapkan keridhaan
Allah. Hal ini tentu akan sangat berbeda dengan akad dalam asuransi
konvensional. Akad dalam asuransi konvensional menggunakan
akadmu’awadah yaitu suatu perjanjian di mana pihak yang memberikan
sesuatu kepada pihak lain, berhak menerima pengganti dari pihak yang
diberinya. Ada pula asuransi syariah yang dalam prakteknya memberikan bagi
hasil (mudharabah) apabila terjadi surplus dana tabarru’ merujuk kepada
sistem yang diterapkan di Syarikat Takaful Malaysia, yang merupakan
asuransi syariah terbesar di dunia saat ini.
G. Mekanisme Pengelolaan Dana
Kedudukan perusahaan Asuransi Syariah dalam transaksi Asuransi
Kerugian adalah sebagai mudharib (pemegang amanah). Asuransi Syariah
menginvestasikan dana tabarru’ yang terkumpul dari kontribusi peserta
kepada Instrumen yang dibenarkan oleh syara’. Mudharib berkewajiban untuk
membayarkan klaim, apabila ada salah satu dari peserta mengalami musibah,
juga berkewajiban menjaga dan menjalankan amanah yang diembannya
secara adil transparan dan profesional. Mudharib diawasi secara teknis dan
operasional oleh komisaris dan secara syar’i diawasi oleh Dewan Pengawas
Syariah (DPS) dalam mengelola dana peserta yang terkumpul pada kumpulan
dana tabarru’.
H. Sumber Biaya Operasional Asuransi Syariah
Dalam operasionalnya asuransi syariah yang berbentuk bisnis seperti
Perseroan Terbatas (PT), sumber biaya operasional menjadi sangat
menentukan dalam perkembangan dan percepatan pertumbuhan industri. Lain
halnya dengan asuransi syariah yang berbentuk sosial, mutual atau koperasi,
disini peran pemerintah harus dominan terutama dalam memberikan subsidi
ditahap awal berdirinya asuransi tersebut.
Asuransi syariah yang bersifat sosial tentu tidak terlampau
mengutamakan aspek bisnis atau perolehan profit. Tetapi lebih
mengutamakan aspek manfaat sebesar-besarnya bagi anggotanya seba
gaimana fungsi utama asuransi syariah, yaitu wataawanu alal birri
wattaqwa’ saling menolong dalam kebajikan dan taqwa‟.
I. Bagi Hasil Surplus Underwriting
Menurut Sula (2004:180) bagi hasil surplus underwriting adalah bagi
hasil yang diperoleh dari surplus underwriting, yang dibagi secara
proporsional antara peserta (shohibul mal) dan pengelola (mudhorib) dengan
nisbah yang telah ditetapkan sebelumnya. Sedangkan, untuk produk-produk
non saving dalam asuransi jiwa, surplus underwriting juga merupakan sumber
biaya operasional. Surplus underwriting diperoleh dari kumpulan dana peserta
yang diinvestasikan, lalu dikurangi biaya-biaya atau beban asuransi seperti
reasuransi dan klaim. Kemudian surplus tersebut dibagi hasil antara peserta
dan perusahaan. Bagian perusahaan inilah yang diambil sebagai biaya
operasional sebelum menjadi profit perusahaan.
Menurut Richard Bailey dalam Sula (183:2004), Tujuan underwriting
membuat taksiran risiko dan penetapan calon tertanggung kedalam kelompok-
kelompok risiko, sasaran underwriting perusahaan adalah menyetujui dan
menerbitkan polis yang:
1. Adil Bagi Nasabah (Equitable to The Client) :
Salah satu prinsip dasar asuransi ialah bahwa masing-masing
tertanggung membayar premi yang proporsional terhadap risiko yang ditaksir
perusahaan terhadap tertanggung tersebut. Dengan diterimanya aplikasi
asuransi jiwa, perusahaan harus menetapkan tingkat risiko dan harus
membebani premi secara adil atas risiko tersebut.
2. Dapat Dijual oleh Agen (deliverable by the agent) :
Pembeli membuat keputusan terakhir apakah polis asuransi tertentu
dapat diterima. Jika pembeli memutuskan tidak membeli polis jika agen
berusaha menjual polis tersebut, dikatakan bahwa polis tidak dapat dijual
(undeliverable) atau tidak dibeli (not taken). Satu di antara alasan-alasan
sebuah polis tidak dibeli ialah karena keputusan underwriting yang tidak
menguntungkan dengan hasil pembebanan premi antisipasi yang lebih tinggi.
Misalnya, jika underwriter telah memutuskan beban premi lebih tinggi dari
premi normal untuk satu penutupan atau membatasi uang pertanggungan atau
jenis benefit tambahan atau rider yang dikehendaki, maka calon tertanggung
mungkin menolak polis.
Adapun syarat diterimanya suatu polis adalah:
a. Polis harus menyediakan benefit yang memenuhi kebutuhan pembeli.
b. Premi yang ditetapkan oleh polis harus dalam batas kemampuan
keuangan pembeli.
c. Premi yang dibebankan untuk asuransi harus bersaing dengan pasar.
3. Menguntungkan Perusahaan (profitable to the company).
Underwriter harus membuat keputusan yang menguntungkan
perusahaan. Semua perusahaan asuransi, apakah itu perseroan terbatas,
asuransi jiwa bersama, atau fraternal, meminta underwriting yang sehat untuk
meyakinkan hasil keuangan yang menguntungkan. Perseroan terbatas
membayar deviden kepada pemegang saham. Dan dalam beberpa kasus,
asuradur (penanggung) perusahaan mutual maupun fraternal membayar
deviden kepada pemegang polis (peserta).
I. Bagi Hasi Investasi
Menurut Sula (2004:180) bagi hasil investasi adalah bagi hasil yang
diperoleh secara proporsional berdasarkan nisbah bagi hasil yang telah
ditentukan, baik dari hasil investasi dan rekening tabungan peserta maupun
dari dana rekening tabarru’. Setelah dana peserta dibayarkan, dan terkumpul
dalam total dana peserta, kemudian diinvestasikan. Profit yang diperoleh dari
investasi kemudian dilakukan bagi hasil antara peserta dan pengelola atau
perusahaan asuransi.
J. Dana Pemegang Saham
Dana pemegang saham adalah dana yang disiapkan oleh para
pemegang saham sebagai modal setor bagi perusahaan, baik pada tahap awal
berdirinya perusahaan maupun penambahan dana setelah perusahaan
berjalan, beserta hasil investasi atas dana tersebut atau dengan kata lain,
akumulasi laba ditambah modal yang disetor oleh pemegang saham.
K. Loading (Kontribusi Biaya)
Menurut Sula (2004:181) loading adalah kontribusi biaya yang
dibebankan kepada peserta, yang biasanya pada asuransi konvensional
diambil dari premi tahun pertama dan kedua. Pada beberapa asuransi syariah
di Indonesia, loading dikenakan sebesar kurang lebih 25 persen dari premi
tahun pertama atas sepengetahuan peserta dan terutama diperuntukkan untuk
biaya komisi agen. Adapun jumlah kontribusi yang diambil berpulang kepada
kebijakan perusahaan masing-masing dengan mempertimbangkan aspek
keadilan dan aspek market.
Perusahaan asuransi syariah seperti Syarikat Takaful di Malaysia, dan
sebagian asuransi syariah di Indonesia seperti Asuransi Syariah Mubarokah
tidak membebankan loading kepada peserta dengan alasan bertentangan
dengan kaidah syara‟. Sementara sebagian yang lain seperti Takaful
Keluarga, MAA syariah dan asuransi syariah lainnya, Dewan Pengawas
Syariah (DPS) membolehkan loading (misalnya sebesar 3 persen) dari premi
tahun pertama, sepanjang dilakukan secara transparan dan sepengetahuan
peserta takaful diawal akad. Hal ini dianggap tidak bertentangan dengan
kaidah-kaidah syara‟.
Menurut Sula (2004:181) pengertian biaya loading pada asuransi
syariah adalah kontribusi biaya yang diambil dari sebagian kecil kontribusi
peserta (premi) tahun pertama, misalnya 20%-30% dari premi tahun pertama.
Biaya tersebut terutama diperuntukkan untuk komisi agen dan biaya
penagihan (incasso).
F. Akad (perjanjian)
Sebelum membahas lebih jauh lagi tentang prinsip asuransi terlebih dahulu
kita membahas apa itu pengertian akad. Akad yang berarti perikatan, perjanjian,
dan pemufakatan al-iittifaq. Secara terminologii fiqih, akad didefinisikan dengan
pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan
ikatan) sesuai dengan kehendak syariatyang berpengaruh pada onjek perikatan.
Asuransi dapat di kategorikan sebagai transaksi jual beli, maka akad dalam
asuransi dapat digolngkan sebagai akad tabaduli atau akad pertukaran, yaitu
perukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Merujuk pada rukun
jual beli pada asuransi, objek pertukran harus jelas ukurannya berapa yang
dibayrkan da berapa yang diterima. Yang menjadi persoalnnya misalnya dalam
asuransi jiwa adalah kita tahu berapa yang harus kita terima (sejumlah
uanang/manfaat pertanggungan) namun tidak di ketahui berapa yang akan kita
bayarkan (akumulasi premi). Padahal padahal hanya Allah yang tahu tahun
berapa kita meninggal. Jadi pertangguungan yang akan diperoeh sesuai dengan
yang diperjanjikan ini jelas, akan tetapi jumlah yang akan dibayarkan menjadi
tidak jelas.
Dalam Fatwa DSN-MUI N0.21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman umum
asuransi syariah juga ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan akad tijarah
adalah Mudharabah sedangkan yang dimaksud dengan akad tabarru’ adalah
hibah. Dalam akad tijarah, perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola)
dan peserta bertindak sebagai shahibul maal (pemegang polis). Dengan penegasan
mengenai akad dalam asuransi syariah tersebut dapat disimpulkan mengenai
penerapan kedua akad tersebut, yaitu akad tijarah akan cenderung cocok untuk
asuransi kerugian sedangkan akad tabarru’ akan cenderung cocok untuk asuransi
jiwa. Berikut konsep dan implementasi akad mudharabah dan akad tijarah lainnya
pada asuransi syariah.

1. Akad dalam Asuransi


a. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad
tijarah dan akad tabarru’.
b. Akad tijarah yang di maksud adalah mudarabah sedangkan akad tabarru’
adalah hibah.
c. Dalam akad dalam sekurang-kurangnya disebutkan:
- Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan
- Cara dan waktu pembayaran premi
- Jenis akad tijarah da atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati
sesuai dengan jenis asuransi yang di akad.
2. Kedudukan para pihak dalam akad tijarah dan tabarru’
a. Dalam akad tijarah (mudharabah), perusahaan bertindak sebagai
mudharib(pengelola) dan peserta bertindak sebagai sohibul mal (pemegang
polis)
b. Dalam akad tabarru’ (hibah) , peserta memberikan hibah yang akan
dgunnakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedanngkan
perusahaan sebagai pengelola dana hibah.
3. Ketentuan dalam akad tijarah dan tabarru’
a. Jenis akad tijarah dapat du rubah menjadi jenis akad tabarru’bila pihak yang
tertahan haknya denngan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan
kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
b. Jenis akad tabarru’ tidak dapat dirubah menjadi jenis akad tijarah
4. Akad-akad dalam asuransi syariah dapat di lakukan dengan:
a. Mudharabah
Wahbah Zuhaili dalam al-Fiqih al-Islam wa ‘Adilluhu mengatakan
bahwa definisi mudharabah adalah pemilik harta (rabbul maal) memberikan
kepada mudharib ‘orang yang bekerja atau pengusaha’ suatu harta supaya dia
mengelola dalam bisnis dan dibagi antara mereka berdua mengikuti syarat
yang mereka buat.4
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 51/DSN-MUI/III/2006
tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi syariah disebutkan
bahwa Mudharabah Musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi,
karena merupakan bagian dari hukum Mudharabah. Dalam akad Mudharabah
Musytarakah ini, perusahaan asuransi sebagai mudharib menyertakan modal
atau dananya dalam investasi bersama peserta. Mengenai hasil investasi,
pembagian bagi hasilnya dapat dilakukan dengan dua alternatif, yaitu:
1.) Hasil investasi dibagi antara perusahaan (sebagai mudharib) dan peserta
(sebagai shahibul mal) berdasarkan pada nisbah yang disepakati.
2.) Hasil investasi dibagi secara proporsional antara dana perusahaan
(sebagai musytarik) dan peserta (shahibul mal) berdasarkan porsi modal
masing-masing.

b. Wakalah
Wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
Jadi, wakalah merupakan pelimpahan, pendelegasian wewenang atau kuasa
dari pihak pertama kepada pihak kedua untuk melaksanakan sesuatu atas
nama pihak pertama dan untuk kepentingan dan tanggung jawab sepenuhnya
oleh pihak pertama.5
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 52 /DSN-MUI/III/2006
Tentang Akad Wakalah bil Ujrah Pada Asuransi Syariah dan Reasuransi
Syariah disebutkan bahwa Akad Wakalah bil Ujrah boleh dilakukan oleh
perusahaan asuransi dengan peserta asuransi. Akad Wakalah bil Ujrah adalah

4
Hariyadi, E dan Abdi Triyanto. Peran Agen Asuransi Syariah dalam Meningkatkan Pemahaman Masyarakat
Tentang Asuransi Syariah. Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah. 2017. 5(1):23
5
Ibid.
pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola
dana peserta dengan imbalan pembelian ujrah (fee). Yaitu Perusahaan
asuransi bertindak sebagai penerima kuasa dari peserta sebagai pemberi kuasa
untuk dapat mengelola dana peserta. Wakalah bil Ujrah dapat diterapkan pada
produk asuransi syariah yang mengandung unsur tabungan maupun unsur
tabarru’ dalam pelaksanaannya, perusahaan asuransi tidak boleh mewakilkan
lagi tanpa seizin pemberi kuasa atau peserta. Oleh karena ada ujrah maka
perusahaan tidak berhak atas hasil pengelolaan dana, investasi dan juga tidak
berkewajiban menanggung resiko atas kerugian dalam mengelola dana
peserta, kecuali atas dasar kecerobohan atau wanprestasi.

c. Wadi’ah
Wadi’ah dapat diartikan dengan meninggalkan atau meletakkan, yaitu
meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga. Sedangkan,
menurut istilah, Wadi’ah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain
untuk menjaga hartanya/barangnya dengan secara terang-terangan atau
isyarat yang semakna dengan itu. Dalam praktik asuransi syariah, Asuransi
Mubarakah Syariah (life insurance) menggunakan akad wadi’ah. Dana
terkumpul dari nasabah dititipkan kepada perusahaan asuransi (Mubarakah)
untuk dikelola seperti halnya akad wadi’ah yang ada di bank syariah, hanya
saja dalam asuransi mengandung unsur asuransi dengan nilai pertanggungan
sesuai yang diperanjikan.
d. Musyarakah
Musyarakah adalah perjanjian (akad) antara dua pihak atau lebih
dalam sautu usaha tertentu. Masing-masing pihak memberikan kontribusi
dengan kesepakatan kalau terdapat keuntungan dan/atau mengalami kerugian
masing-masing pihak mendapatkan margin dan menanggung resiko kerugian
sesuai dengan kesepakatan di awal akad. Akad musyarakah dilandasi oleh
keinginan kedua belah pihak yang ingin bekerja sama dalam sebuah usaha
untuk meningkatkan nilai aset yang dimiliki masing-masing pihak secara
bersamaan.
Pada hakikatnya bentuk kerja sama dalam asuransi adalah bentuk
kerja sama yang dilandasi oleh prinsip Musyarakah, dimana ada pihak yang
punya dana dan modal, dan ada pihak yang hanya memiliki tenaga dan skill
serta profesioanlisme. Karena sejatinya Manusia diciptakan oleh Allah SWT
dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Oleh karena itu,
konsep Musyarakah menjadi suatu kebutuhan.

G. Sumber biaya operasional


Asuransi syariah lebih mengutamakan manfaat sebesar-besarnya bagi
anggotanya sebagaimana fungsi asuransi syariah yaitu saling tolong-menolong
dalam kebaikan dan takwa. Sumber biaya operasional asuransi syariah didapat
melalui:
1. Bagi Hasil Surplus Underwtriting
Underwriting adalah proses penaksiran mortalitas atau morbiditas
calon tertanggung yang menetapkan: (a) apakah calon tertanggung dapat
ditutup asuransinya, jika (b) klasifikasi yang sesuai bagi tertanggung.
Sedangkan mortalitas adalah jumlah kejadian meninggal relatif diantara
sekelompok orang tertentu dan morbiditas adalah jumlah kejadian relatif sakit
atau penyakit diantara sekelompok orang tertentu. Tujuan underwriting
menurut Richard Bailey dalam skripsi yang ditulis oleh Nuril Hilaliyah,
membuat taksiran resiko dan penetapan calon tertanggung ke dalam
kelompok-kelompok risiko.
Bagi hasil surplus underwriting adalah bagi hasil yang diperoleh dari
surplus underwriting, yang dibagi secara proposional antara peserta (sahibul
mal) dan pengelola (mudharib) dengan nasabah yang telah ditetapkan
sebelumnya. Sedangkan premi non saving dalam asuransi jiwa, surplus
diperoleh dari kumpulan dana peserta yang diinvestasikan, lalu dikurangi
biaya-biaya atau beban asuransi seperti reasuransi dan klaim.kemudian
surplus tersebut dibagi hasil antara peserta dan perusahaan.
2. Bagi Hasil Investasi
Bagi hasil investasi adalah bagi hasil yang diperoleh secara
proporsional berdasarkan nisbah bagi hasil yang telah ditentukan baik dari
hasil investasi dana rekening tabungan peserta maupun dari dana rekening
tabarru’. Setelah dana peserta dibayarkan dan terkumpul dan terkumpul dalam
total dana peserta, kemudian diinvestasikan. Profit yang diperoleh dari
investasi kemudian dilakukan antara bagi hasil antara peserta dan perusahaan
asuransi (pengelola).
3. Dana Pemegang Saham
Dana pemegang saham adalah dana yang disiapkan oleh para
pemegang saham sebagai modal setor bagi perusahaan, baik pada tahap awal
berdirinya perusahaan maupun penambahan dana setelah perusahaan
berjalan, beserta hasil investasi atas dana tersebut. Atau dengan kata lain,
akumulasi lama ditambah modal yang disetor oleh pemegang saham.
4. Kontribusi Biaya (Loading)
Loading adalah kontribusi biaya yang yang dibebankan kepada
peserta, yang pada asuransi konvensional biasanya diambil dari premi tahun
pertama dan kedua. Pada beberapa asuransi syariah di indonesia, loading
dikenakan sebesar kurang lebih 25 persen dari premi tahun pertama atas
pengetahuan peserta, dan terutama diperuntukan untuk biaya komisi agen.
Pada asuransi syariah (jiwa), konsep yang benar adalah tidak ada
pembebanan biaya yang dipotong dari iuran dana peserta (premi). Karena
menurut sebagian praktisi asuransi syariah pembebanan biaya pada premi
sebagaimana pada asuransi konvensional, tidak adil karena sebagian besar
peserta tidak mengetahui pembebanan tersebut yang kadang-kadang harus
menggunakan premi sampai tahun kedua.
H. Underwriting
Tidak semua permintaan kepesertaan akan langsung diterima begitu saja. Ada
beberapa tahapan dalam penerimaan calon peserta. Profil risiko terhadap peserta
harus dinilai sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kapasitas risiko yang
mampu dikelola perusahaan. Proses inilah yang disebut dengan proses
underwriting.
Underwriting adalah proses penaksiran mortalitas atau morbiditas calon
tertanggung untuk menetapkan (1) apakah calon tertanggung dapat ditutup
asuransinya dan jika dapat (2) klasifikasi risiko yang sesuai bagi tertanggung. Jadi
underwriting adalah proses yang dengannya pengelola asuransi syariah
mempertimbangkan dan menentukan apakah akan menerima partisipasi ganti rugi
yang dibuat pemohon dan menentukan syarat-syarat yang akan ditentukan.6 Maka
dari itu data-data mengenai calon peserta merupakan hal terpenting bagi
underwriting, karena yang menentukan peserta tersebut ikut asuransi atau seorang
tersebut melalui medical chekup adalah underwriting. Dalam praktiknya seorang
underwriting memiliki peran penting karena dia yang menilai apakah calon
peserta tersebut layak ikut dalam asuransi.

1. Surplus Underwriting dalam Akad Tabarru’ 7

Dana dalam akad tabarru’, jika terdapat kelebihan atau surplus maka pihak
underwriting ada 2 hal yang hars dilakukan oleh pihak underwriting yaitu:
a. Jika terdapat surplus underwriting atas dana tabarru’, maka boleh dilakukan
beberapa alternatif berikut:
 Seluruhnya diperlakukan sebagai dana cadangan dalam akad tabarru’
 Disimpan sebagian dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya
kepada para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen risiko.
 Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian
lainnya kepada perusahaan asuransi dan reasuransi dan para peserta
sepanjang disepakati oleh para peserta.

6
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General), hlm. 182
7
Nopriansyah, Waldi, 2016, “Asuransi Syariah”, hlm. 83-84
b. Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut di atas harus disetujui terlebih
dahulu oleh peserta dituangkan dalam akad.
2. Defisit Underwriting dalam Akad Tabarru’

Dana didalam akad tabarru’ jika terdapat kekurangan atau defisit ada 2 hal
yang harus dilakukan oleh pihak underwriting yaitu:
a. Jika terjadi defisit underwriting (defisit tabarru’) atas dana tabarru’, maka
perusahaan asuransi atau reasuransi wajib menanggulangi kekurangan
tersebut dalam bentuk qardh (pinjaman).
b. Pengembalian dana qardh kepada perusahaan ditutup dari surplus dana
tabarru’.

A. Underwriting Syariah
Underwriting menurut asuransi jiwa adalah proses penaksiran mortalitas (tingkat
kematian) atau mordibitas (tingkat kesehatan) calon tertanggung untuk menetapkan
apakah akan menerima atau menolak calon peserta dan menetapkan klasifikasi
peserta. Underwriting adalah proses Penilaian dan penggolongan tingkat risiko yang
dimiliki oleh seorang calon tertanggung atau sekumpulan calon tertanggung, atau
pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak risiko tersebut. Underwriting
disebut juga seleksi risiko, adalah proses penaksiran dan penggolongan tingkat risiko
yang terdapat pada seorang calon tertanggung.
Jadi, dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa underwriting
adalah proses penilaian dan pengklasifikasian risiko seseorang atau sekelompok
calon tertanggung, yang bertujuan untuk melindungi perusahaan asuransi dari
kerugian. Underwriting disebut juga seleksi risiko adalah proses penaksiran dan
penggolongan tingkat risiko yang ada pada seorang calon tertanggung. Berdasarkan
tingkat risiko yang ada pada calon tertanggung suatu permohonan asuransi dapat
ditolak atau diterima.
Terlaksana atau tidaknya suatu akad kontrak oleh perusahaan amat tergantung
pada proses underwriting yang mengidentifikasi kelayakan calon tertanggung.
Memahami sebuah konsep underwriting dengan baik merupakan hal yang amat
esensial untuk dapat melakukan identifikasi risiko secara baik, tepat dan akurat,
mengingat tanggung jawab utama dari underwriter dalam seleksi risiko adalah
memastikan bahwa tidak ada risiko yang bisa menimbulkan masalah besar yang
memberatkan bagi perusahaan di kemudian hari, sehingga proses seleksi risiko yang
dilakukan oleh underwriter berkorelasi dengan tujuan perusahaan yakni
maksimalisasi laba.
Dalam asuransi syariah prinsip underwriting sama dengan asuransi
konvensional. Namun dalam asuransi syariah, untuk menyeleksi risiko secara implisit
tergabung dua elemen penting yaitu, seleksi dan pengklasifikasian. Namun
penekanan utama underwriting syariah adalah harus bersifat wasathon (tengah-
tengah) yaitu penekanan pada rasa keadilan bagi nasabah dan perusahaan.
Underwriting asuransi konvensional dan asuransi syariah memiliki banyak
perbedaan. Perbedaan tersebut disajikan pada tabel
No. Prinsip Asuransi Konvensional Asuransi Syariah
1. Konsep Perjanjian antara dua pihak Sekumpulan orang yang
atau lebih, dimana pihak saling membantu, saling
penanggung mengikatkan menjamin, dan bekerja sama
diri dengan cara masing-masing
kepada tertanggung dengan mengeluarkan dana tabarru’
menerima premi asuransi
untuk memberikan
pergantian kepada
tertanggung
2. DPS (Dewan Tidak Mempunyai DPS Mempunyai DPS yang
Pengawas berfungsi
Syariah) untuk mengawasi
pelaksanaan operasional
perusahaan agar terhindar
dari praktek-praktek
muamalah yang
bertentangan dengan
prinsipprinsip syariah
3. Akad Akad jual beli, akad Akad tabarru’ dan akad
idz’aan, akad gharar, serta tijarah
akad mulzim
4. Jaminan Risiko Transfer of risk, dimana Sharing of risk, dimana
adanya perpindahan risiko terjadi proses saling
dari tertanggung kepada menanggung antara satu
penanggung peserta dengan peserta
lainnya
5. Pengelolaan Tidak ada pemisahan dana. Pada produk saving (life)
Dana Ini akan berakibat pada terjadi
terjadinya dana hangus pemisahan dana yaitu dana
tabarru’, derma, serta dana
pesertasehingga tidak
mengenal dana hangus.
Sedangkan untuk asuransi
jiwa dan kerugian, semua
dana bersifat tabarru’
6. Kepemilikan Dana yang terkumpul dari Dana yang terkumpul dari
Dana premi peserta seluruhnya peserta dalam bentuk iuran
menjadi milik perusahaan. atau
kontribusi merupakan milik
peserta. Perusahaan hanya
sebagai pemegang amanah
dalam mengelola dana
tersebut
7. Sumber Dari rekening perusahaan Dari rekening tabarru’
pembayaran
klaim
8. Keuntungan Diperoleh dari surplus Diperoleh dari surplus
underwriting, komisi underwriting, komisi
reasuransi, serta hasil reasuransi,
investasi yang dilakukan serta hasil investasi. Akan
perusahaan tetapi, seluruh keuntungan
itu bukan milik perusahaan
karena harus dilakukan bagi
hasil (mudharabah) dengan
peserta.
Sumber: Sula (2004)8
Bagi perusahaan asuransi syariah proses underwriting bertujuan untuk
memastikan bahwa calon peserta asuransi syariah memiliki tingkat risiko sesuai
dengan yang diasumsikan perusahaan, dengan demikian perusahaa dapat menjaga
kecukupan dana tabarru’ untuk membayar klaim-klaim yang akan terjadi, sehingga
peserta dan pemegang polis mendapat keadilan yang sama dalam kontribusi tabarru’
sesuai dengan risiko yang dimilikinya.
B. Prinsip-prinsip Underwriting Syariah
Underwriting syariah dalam asuransi syariah samadengan asuransi
konvensional. Namun, dalam asuransi syariah untuk menyeleksi resiko ada dua
elemen penting yaitu seleksi dan pengklasifikasian. Seleksi adalah proses perusahaan
dalam mengevaluasi permintaan asuransi oleh calon peserta untuk menentukan batas
risiko yang di miliki calon. Pengklasifikasian adalah proses penetapan individu ke
dalam kelompok individu yang sekiranya mempunyai kemungkinan kerugian sama,
Namun penekanan utama underwriting adalah harus bersifat wasathon (tengah-
tengah) yaitu penekanan pada rasa keadilan bagi nasabah dan perusahaan.

8
M. Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2004), hal. 259.
Pada prinsipnya cara mendesain produk-produk asuransi syariah tidak
terlampau jauh berbeda dengan, cara mendesain produk-produk konvensional.
Walaupun demikian, perbedaan yang ada diantara keduanya dapat menentukan halal-
haram nya suatu produk, misalnya ketika menentukan Kontribusi Premi, Cadangan
Premi, di asuransi konvensional didasarkan pada perhitungan bunga (secara tehnik),
sementara pada Asuransi Syariah mendasarkan pada Konsep Bagi Hasil dan Scheme
Bagi Hasil. Dan juga perbedaan dalam menentukan Biaya-Biaya Asuransi, untuk di
Asuransi Syariah tidak dibebankan kepada dana peserta, tetapi diambil dari
perusahaan.
C. Tujuan, Tugas dan Fungsi Underwriting Syariah
Tujuan utama underwriting adalah melindungi perusahaan terhadap seleksi
kerugian. Namun, proses underwriting perusahaan asuransi tetap berfokus pada
pemberian persetujuan dan penerbitan pertanggungan yang :
a. Bertanggung jawab dalam risk assessment (penilaian risiko yaitu proses
penentuan tingkat risiko setiap/group calon tertanggung dimana setiap
tertanggung membayar premi yang mencerminkan tingkat risiko yang dimiliki
dan sesuai dengan produk asuransi yang diminta.
b. Wajar dan adil bagi para tertanggung dan perusahaan.
c. Delivery by the agent (dapat disampaikan oleh agen)Seorang pemohon
asuransi perorangan membuat keputusan akhir yaitu akan menerima polis
asuransi pada saat diserahkan. Jika si pembeli memilih untuk tidak menerima
polis asuransi pada saat agen asuransi berusaha untuk menyerahkan polisnya,
maka polis tersebut dikatakan undeliverable (tidak dapat disampaikan) atau
not taken.
d. Memberikan profit bagi perusahaan.
Seorang underwriter adalah bagian penting dari perusahaan asuransi.
Untuk itu tugas dan fungsi underwriter harus dijalankan dengan prinsip
keadilan, baik untuk peserta atau perusahaan asuransi.
Adapun tugas dan fungsi underwriter adalah sebagai berikut:
1. Tugas Underwriter
Tugas underwriter antara lain mengatur penggunaan dana efektif
mungkin dan seefisien mungkin untuk menghasilkan laba yang maksimal.
Peranan lain underwriter, yaitu:
a. Mempertimbangkan risiko yang diajukan
b. Memutuskan untuk menerima atau menolak yang diajukan.
c. Menentukan syarat dan beberapa ketentuan serta lingkup ganti rugi.
d. Mengenakan biaya upah pada dana kontribusi peserta.
e. Mempertahankan, meningkatkan, dan mengamankan margin profit.
2. Fungsi Underwriter Adalah sebagai berikut :
a. Menilai dan menggolongkan tingkat risiko yang dimiliki oleh seorang
calon tertanggung atau sekelompok orang dalam pertanggungan
sehubungan
b. dengan produk asuransi tertentu.
c. Mengambil keputusan untuk menerima atau menolak risiko.
D. Jenis-Jenis Risiko Yang Mempengaruhi Underwriting
Sebelum menetapkan suatu kondisi underwriting terhadap calon tertanggung,
underrwriter harus mempertimbangkan dari segi pengaruh risiko dan jenis polis yang
diinginkan oleh calon tertanggung. Jenis-jenis risiko yang mempengaruhi penetapan
underwriting adalah sebagi berikut:
a. Increasing risk (risiko menarik) Ada beberapa penyakit tertentu, misalnya besarnya
risiko akan bertambah berat sesuai dengan kenaikan umur calon tertanggung
b. Risiko yang tinggi dialami pada tahun-tahun pertama polis. Makin lama polis
berjalan, risiko semakin menurun
c. Constant extra risk (risiko ekstra yang menetap), pada jenis ini, risiko tambahan
berada pada tingkat yang tetap selama masa pertanggungan.
E. Proses Underwriting
Seleksi Risiko memerlukan serangkaian tahapan. Para agen memulai proses
underwriting pada waat mereka mengisi permohonan asuransi bersama dengan calon
tertanggung. Setelah dikirim ke kantor pusat, permohonan diperiksa kembali sebelum
ditaksir oleh seorang underwriter kantor pusat. Bahkan beberapa permohonan dapat saja
tidak diperiksa oleh seorang underwriter karena dilakukan jet screening atau computer
screening. Berikut tahap awal proses underwriting asuransi jiwa :
a. Field Underwriting
Field underwriting terjadi bila seorang agen mengumpulkan informasi
mengenai calon tertanggung dan mencatatkan informasi tersebut dalam permohonan
asuransi. Permohonan tersebut kemudian menjadi suatu faktor penting dalam
keputusan seleksi risiko. Setiap permohonan yang diterima, baik di kantor pusat atau
kantor operasional, biasanya ditandai dengan suatu nomor identifikasi. Nomor ini
digunakan untuk keperluan pengontrolan dan kemudian sebagai nomor polis jika
polis sampai diterbitkan. Permohonan dan materi-materi pendukung diperiksa untuk
memastikan lengkapnya file.
b. Jet Screening
Jet Screening yaitu penyelesaian suatu kasus segera mungkin. Jika permohonan
asuransi menemukan kriteria yang lengkap maka staf jet screening, dapat menyetujui
permohonan tersebut dan meminta agar polis segera diterbitkan. Jika permohonan
asuransi tidak mempunyai kriteria-kriteria tersebut, maka filenya segera diteruskan
kepada seorang underwriter untuk dievaluasi.
c. Computer scanning
Computer scanning menggunakan sistem-sistem otomatis untuk menyederhanakan proses
underwriting. Perusahaan asuransi membuat program-program computer dengan criteria yang
diperlukan untuk membuat formulir-formulir permohonan.

I. Sumber biaya operasional


J. Perwujudan ta’awun dalam dalam mekanisme asuransi

Prinsip asuransi syariah adalah tolong menolong atau ta’awun dan tidak
mengharapkan keuntungan semata. Pada asuransi syariah juga tidak terdapat hal-hal yang
dilarang oleh syariat Islam seperti Gharar, Riba, Judi, dan Maisyir karena bertujuan untuk
kemaslahatan seluruh anggota.

Ta’awun dalam Asuransi Syariah


Ta’awun (tolong menolong), asuransi ta’awun adalah bergeraknya sejumlah orang
yang masing-masing sepakat untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari
mereka sebagai akibat resiko bahaya tertentu, dan itu diambil dari iuran, setiap dari mereka
telah bersepakat membayarnya. Ini adalah akad tabarru’ yang bertujuan saling membantu,
dan bukan bertujuan untuk perniagaan ataupun mencari keuntungan. Sebagaimana juga
bahwa akad ini tidak mengandung riba, tidak bersifat spekulasi, gharar dan perjudian.
Misalnya ada satu keluarga atau sejumlah orang membuat shunduq, lalu mereka
menyerahkan sejumlah uang, yang nantinya, dari sejumlah uang yang terkumpul itu
digunakan untuk ganti rugi (sebagai pertanggungan) kepada anggotanya yang mendapatkan
musibah (bahaya, resiko).Apabila uang yang terkumpul tersebut tidak menutupinya, maka
menambahkan iuran menutupi kekurangannya. Apabila berlebih setelah ditunaikan ganti rugi
(pertanggungan) tersebut, maka dikembalikan lagi kepada masing-masing anggotanya, atau
dijadikan modal untuk masa yang akan datang.
Hal ini, mungkin dapat diperluas menjadi sebuah lembaga atau yayasan dengan
memiliki petugas yang khusus mengelolanya untuk mendapatkan dan menyimpan uang-uang
tersebut, serta mengeluarkannya. Lembaga ini, juga boleh memiliki pengelola yang membuat
rencana kerja dan pengaturannya. Semua pekerja, petugas, dan berikut pengelolanya
mendapatkan gaji tertentu, atau mereka melakukannya dengan sukarela. Namun semua harus
berdasarkan bukan untuk mencari keuntungan (bisnis), dan seluruh sisinya bertujuan untuk
ta’awun (saling tolong-menolong).
Seluruh dana yang terkumpul dari peserta asuransi tidak menjadi pendapatan
perusahaan asuransi, akan tetapi menjadi dana peserta secara keseluruhan yang bernama dana
tabarru peserta (dana tolong menolong peserta). Perusahaan asuransi hanya memperoleh
upah (fee) atas pengelolaan dana tersebut.

Karekteristik asuransi ta’awun sebagai berikut:


Tujuan asuransi ta’awun, ialah murni takaful dan ta’awun (saling tolong-menolong)
dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah.
Akad asuransi ta’awun adalah akad tabarru’. Sebagaimana nampak dalam hubungan
antara nasabah (anggotanya), jika dana yang tersedia kurang, maka mereka menambah. Dan
bila lebih, mereka pun memiliki hak untuk meminta kembali sisanya.
Landasan pemikiran asuransi ta’awun, ialah berdasarkan pada pembagian kerugian
bahaya tertentu atas sejumlah orang. Setiap orang memberikan saham dalam membantu
menutupi kerugian tersebut di antara mereka. Sehingga seseorang yang ikut serta dalam
asuransi ini saling bertukar dalam menanggung resiko bahaya di antara mereka.
Pada umumnya, asuransi ta’awun berkembang pada kelompok yang mempunyai ikatan
khusus dan telah lama, seperti kekerabatan atau satu pekerjaan (profesi).
Pemberian ganti rugi (pertanggungan) atas resiko bahaya yang diambil dari shunduq
(simpanan) asuransi yang ada, jika tidak mencukupi maka adakalanya meminta tambahan
dari anggota, atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja.

Perbedaan Antara Asuransi Ta’awun Dan Asuransi Konvensional


Asuransi taawun termasuk akad tabarru yang tujuannya murni takaful dan taawun
(saling tolong-menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah.
Sehingga premi dari anggotanya ersifat hibah (tabbaru’) Ini berbeda dengan asuransi
konvensional yang memiliki maksud mencari keuntungan berdasarkan akad al-muawwadhah
al-ihtimaliyah (bisnis oriented dan bersifat spekulatif).
Pemberian ganti rugi atas (pertanggungan) resiko bahaya dalam asuransi taawun,
diambil dari jumlah premi yang ada di dalam shunduq (simpanan) asuransi. Apabila tidak
mencukupi, maka adakalanya meminta tambahan dari anggotanya, atau mencukupkan hanya
dengan menutupi sebagian kerugian saja. Sehingga tidak ada keharusan menutupi seluruh
kerugian yang ada bila anggota tidak sepakat menutupi seluruhnya.
Adapun dalam asuransi konvensional yang mengikat diri untuk menutupi seluruh
kerugian yang ada (sesuai kesepakatan) sebagai ganti premi asuransi yang dibayar
tertanggung. Hal ini menyebabkan perusahaan asuransi mengikat diri untuk menanggung
semua resiko sendiri tanpa adanya bantuan dari nasabah lainnya. Oleh karena itu, tujuan
akadnya ialah mencari keuntungan, namun keuntungannya tidak bisa untuk kedua belah
pihak. Bahkan apabila perusahaan asuransi tersebut memperoleh keuntungan, maka nasabah
(tertanggung) merugi. Begitu pula sebaliknya, bila nasabah (tertanggung) memperoleh
keuntungan, maka perusahaan (pihak penanggung) itulah yang merugi. Yang demikian ini
termasuk dalam kategori memakan harta dengan cara batil, karena keuntungan yang
diperoleh oleh salah satu pihak berada di atas kerugian pihak lainnya.
Dalam asuransi taawun, seluruh nasabah tolong-menolong menunaikan ganti rugi yang
harus dikeluarkan, dan pembayaran ganti rugi sesuai dengan dana yang tersedia, dan juga
dari peran para anggotanya.
Adapun menurut asuransi konvensional, bisa jadi perusahaan asuransi tidak mampu
membayar ganti rugi (pertanggungan) kepada nasabahnya apabila melewati batas ukuran
(jumlah) yang telah ditetapkan perusahaan untuk dirinya.
Asuransi taawun tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan dari selisih premi yang
dibayar dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila ada selisih (sisa) dari pembayaran
klaim, maka dikembalikan kepada anggota (tertanggung). Sedangkan dalam perusahaan
asuransi konvensional, sisa tersebut menjadi milik perusahaan asuransi (penanggung).
Penanggung (al-Mu`ammin) dalam asuransi taawun adalah tertanggung (al-Mu`ammin
lahu) sendiri. Sedangkan dalam asuransi konvensional, penanggung (al-Mu`ammin) adalah
pihak luar.
Dalam asuransi taawun, premi yang dibayarkan tertanggung digunakan untuk kebaikan
mereka seluruhnya. Karena tujuan asuransi taawun bukan untuk mencari keuntungan, namun
dimaksudkan untuk menutupi ganti kerugian dan biaya operasional perusahaan asuransi saja.
Sedangkan dalam asuransi konvensional, premi tersebut digunakan untuk
kemaslahatan perusahaan dan mendapatkan keuntungan. Karena tujuan dari usaha asuransi
ini untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari pembayaran premi para
nasabahnya.
Asuransi taawun terbebas dari riba, spekulasi, dan perjudian serta gharar yang
terlarang. Adapun asuransi konvensional, usaha yang dilakukannya tidak lepas dari hal-hal
tersebut.
Dalam asuransi taawun, hubungan antara nasabah dengan perusahaan asuransi taawun
memiliki asas-asas sebagai berikut:
1. Pengelola perusahaan asuransi taawun melaksanakan managemen operasional asuransi,
berupa menyiapkan surat tanda keanggotaan (watsiqah), mengumpulkan premi,
mengeluarkan klaim (ganti rugi) dan selainnya. Dari pengelolaannya itu, ia mendapatkan
gaji tertentu secara jelas. Karena, mereka menjadi pengelola operasional asuransi dan
ditulis secara jelas jumlah gajinya tersebut.
2. Pengelola perusahaan diijinkan untuk membentuk perusahaan, dan juga memiliki
kewenangan mengembangkan harta asuransi yang diserahkan para nasabahnya. Dengan
ketentuan, mereka berhak mendapatkan bagian keuntungan dari pengembangan harta
asuransi itu sebagai mudhârib (pengelola pengembangan modal dengan mudhârabah).
3. Perusahaan memiliki dua hitungan yang terpisah. Pertama, dalam hal pengembangan
modal perusahaan asuransi. Kedua, perhitungan harta asuransi dan sisa harta asuransi
yang murni menjadi milik nasabah (pembayar premi).
4. Pengelola perusahaan bertanggung jawab sebagai mudhârib dalam pengelolaan yang
berhubungan dengan pengembangan modal sebagai imbalan bagian keuntungan
mudharabah, sebagaimana juga bertanggung jawab pada semua pengeluaran kantor
asuransi sebagai imbalan gaji pengelolaan yang menjadi haknya.
Adapun menurut asuransi konvesional, hubungan antara nasabah dengan perusahan
asuransi dalam hal pengelolaan harta nasabah, bahwa semua premi yang dibayar nasabah
(tertanggung) menjadi harta milik perusahaan yang dicampur dengan modal perusahaan
sebagai imbalan pembayaran klaim asuransi. Sehingga tidak ada dua hitungan yang terpisah.
Nasabah dalam perusahaan asuransi taawun dianggap sebagai anggota syarikat yang
memiliki hak terhadap keuntungan dari usaha pengembangan modal mereka.Sedangkan
dalam asuransi konvensional, para nasabah tidak dianggap sebagai syarikat, sehingga sama
sekali tidak berhak memperoleh keuntungan pengembangan modal mereka, dan perusahan
sendirilah yang mengambil seluruh keuntungan yang ada.
Perusahaan asuransi ta’awun tidak mengembangkan hartanya pada hal-hal yang
diharamkan. Sedangkan asuransi konvensional tidak memperdulikan halal dan haram dalam
pengembangan hartanya.
Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk
membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu ketika mendapatkan musibah
atau kerugian.

K. Dari konsep teknik dan aktuaris ke desain produk


L. Sistem operasional asuransi kerugian dalam mengeliminir riba dan kontrak yang
batil
Adanya konsep tolong-menolong (Takaful) yaitu konsep tolong-menolong atau
saling melindungi dalam kebenaran dalam bentuk kontribusi dana kebijakan
(dana Tabarru’). Dalam akad asuransi mendasarkan pada akad tabarru’. Dalam
hal ini terdapat terdapat perbedaan pandang dalam masalah akad tabarru’. Karena
sebagian besar asuransi dalam praktiknya memberi bagian bagi hasil
(Mudharabah) apabila terjadi surplus dana tabarru’. Padahal dana tersebut telah
diikhlaskan sebagai dana amal bagi peserta asuransi guna menolongbersama
peserta yang tertimpa musibah.

Dalam hal ini ulama DSN Takaful Indonesia menyatakan bahwa akad tersebut tidak
sah karena adanya dua akad dalam satu akad yaitu akad Tabarru’ dan akad Mudharabah.
Ulama DSN dengan tegas mengatur akad Tijarah (akad jual beli) dan akad Tabarru’ (akad
shodaqoh).

a. Jenis akad Tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru’ bila pihak yang tertahan
haknya dengan rela melepas haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang
belum menunaikan kewajibannya.
b. Jenis akad Tabarru’ tidak dapat diubah menjadi jenis akad Tijarah.

Prinsip-Prinsip Asuransi (kerugian)

1) Prinsip berserah diri dan ikhtiar


2) Prinsip tolong-menolong
3) Prinsip saling bertanggungjawab
4) Prinsip saling kerjasama dan bantu-menbantu dalam bentuk:
a. Melaksanakan fungsi harta dengan benar,
b. Menepati janji,
c. Sabar ketika mengalami bencana.
5) Prinsip saling melindungi dan berbagi kesusahan
6) Prinsip kepentingan terasuransikan kepentingan dapat terjadi karena adanya:
a. Kepemilikan,
b. Kuasa dari orang lain,
c. Karena undang-undang.
7) Prinsip itikad baik
8) Prinsip ganti rugi
9) Prinsip penyebab dominan
10) Hak subordinasi.

M. Prinsip-prinsip asuransi (kerugian)

1. Pengertian Asuransi Kerugian


Asuransi kerugian adalah asuransi yang memberikan ganti rugi kepada
tertanggung yang menderita kerugian barang atau benda miliknya, kerugian mana
terjadi karena bencana atau bahaya terhadap mana pertanggungan ini di adakan.
a. Kehilangan nilai pakai
b. Kekurangan nilainya
c. Kehilangan keuntunngan yang di harapkan oleh penanggung
Penanggung tidak harus membayar ganti rugi kepada tertanggunng kalau selama
jangka waktu perjanjian obyek pertanggungan tidak mengalami bencana atau
bahaya yang di pertanggung jawabkan.

2. Prinsip Asuransi kerugian


Dalam asuransi, khususnya asuransi kerugian terdapat prinsip-prinsip yang
mendasarinya yang paling utama yaitu sebagai berkut:

a. Prinsip Kepentingan
Pada prinsipnya merupakan hak berdasarkan hukum untuk
mempertanggunngkan suatu resiko yang berkaitan dengan keuangan, yang di akui
sah secara hukum antara tertanggung dengan sesuatu yang di prtanggungkan.
Prinsip kepentingan menegaskan bahwa orang yang menutup asuransi harus
mempunyai kepentingan (interest) atas harta benda yang dapat diasuransikan
(isnurale). Jadi pada hakekatnya yang di asuransikan bukanlah harta benda itu
tetapi kepentingan tertanggung atas harta benda itu.

b. Prinip jaminan
Prinsip jaminan menjelaskan bahwa jaminan ada timbul kerugian.
Sebaliknya, tidak ada jaminan bila tidak ada kerugian. Adapun kerugian tersebut
hanya berupa ganti rugi finansial, sebab prinsip jaminan tidak dapat dilaksanakan
dalam asuransi kecelakaan dan kematian. Karena dalam kedua jenis asuransi
tersebut, pihak penanggung tidak dapat mengganti nyawa yang hilang atau aggota
tubuh yang cacat/hilang. Hal ini di karenakan jaminan berkaitan dengan jaminan
finansial. Jaminan ini dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan
pembayaran tunai, penggantian, perbaikan dan pembangunan kembali.

c. Prinsip kepercayaan
Dalam asuransi, kepercayaan dari penanggung mendapat tempat
kehormatan dalam setiap penutupan asuransi. Bila tidak ada kepercayaan dari
pihak penanggung maka bisnis asuransi akan mengalami kegagalan.

d. Prinsip iktikad baik


Dalam melakukan kontrak asuransi, kedua belah pihak dilandasi iktikad baik.
Sehingga sudah selayaknya kepercayaan pihak penanggung diimbangi dengan
iktikad baik oleh pihak tertanggug, yaitu dengan memberitaukannya semua
keteranggan dan data yang di ketahuinya atas interest yang akan ditutup
asuransinya.
Dalam lingkup kepercayaan dan iktikad baik ini, kepentingan penanggung
dilindungi oleh pasal 251 KUHD, yang menjelaskan bahwa bia penanggung
mengetahui kemudian bahwa keterangan dan data yang diberitahukan oleh
tertanggung berbeda dari keterangan dan data yang sebenarnya dari barang
tersebut, penanggung dapat membatalkan polis (sekalipun premi telah di bayar
oleh tertanggung bahkan sekalipun barang telah menderita kerugian).

N. Mekanisme pengelolaan dana asuransi syariah


Pada asuransi konvensional sendiri tidak ada pemisahan dana antara dana
peserta dengan dana pemegang saham sedangkan, pada asuransi syariah untuk
produk yang mengandung unsur tabungan kedua sumber dana dipisahkan secara
tegas yang mana di dalam mekanismenya terdapat dua alur yaitu alur Dana
Peserta Takafuli (DPT) dan alur Dana Pemegang Saham. Dana tersebut kemudian
diinvestasikan oleh perusahaan dalam suatu kumpulan dana investasi. Hasil
investasi dikembalikan secara proporsional ke masing-masing dua alur dana tadi,
setelah dilakukan pembagian keuntungan antara peserta sebagai pemilik dana
(shahibul mal) dan perusahaan sebagai pengelola (mudharib). Sementara
mekanisme dana pada non saving dana kontribusi/iuran peserta yang merupakan
dana tabarru’ atau dana tolong menolong terkumpul dalam Total Dana Peserta
(TDP), kemudian diinvestasikan oleh perusahaan. TDP plus investasi yang
dihasilkan kemudian dikurangi dengan beban asuransi (klaim, reasuransi, dan
sebagainya). Keuntungan yang diperoleh dibagi antara peserta (sahibul mal) dan
pengelola (mudharib).
Sistem opreasional asuransi syariah (takaful) sendiri sistemnya saling
bertangung jawab, bantu-membantu dan saling melindungi antara para
pesertanya. Perusahaan asuransi syariah diberi kepercayaan atau oleh amanah
oleh peserta untuk mengelola premi, mengembangkan dengan cara yang halal,
dan memberikan santunan kepada yang mengalami musibah sesuai dengan isi
akta perjanjian. Keuntungan perusahaan diperoleh dari pembagian keuntungan
dana peserta yang dikembangkan dengan prinsip mudharabah (sistem bagi hasil).
Para peserta takaful berkedudukan sebagai pemilik modal (shohibul mal) dan
perusahaantakaful berfungsi sebagai pemeganga amanah (mudharib). Keuntugan
yang diperoleh dari pengembagan dana itu dibagi antara para peserta dan
perusahaan sesuai dengan ketentuan (nisbah) yang telah disepakati. Mekanisme
pengelolaan dana peserta (premi) terbagi menjadi dua system.9
Sistem pada produk saving (ada unsur tabungan), dimana setiap peserta wajib
membayar sejumlah uang (premi) secara teratur kepada perusahaan. Besar premi
yang dibayarkan tergantung pada keuangan peserta. Akan tetapi, perusahaan
menetapkan jumlah minimum premi yang akan dibayarkan. Setiap premi yang
dibayarkan oleh peserta, akan dipisahkan dalam dua rekening yang berbeda.
Rekening Tabungan Peserta, yaitu ada yang merupakan milik peserta, yang
dibayarkan apabila perjanjian berakhir, peserta mengundurkan diri dan peserta
meninggal dunia.
Rekening Tabarru’, yaitu kumpulan dana kebajikan yang telah diniatkan oleh
peserta sebagai iuran dana kebajikan untuk tujuan saling menolong dan saling
membantu, yang dibayarkan apabila peserta meninggal dunia. Perjanjian telah
berahir (jika ada surpls dana). Sistem inilah sebagai implementasi dari
akad takaful dan akad mudharabah, sehingga asuransi syariah dapat terhindar dari
unsur gharardan maisir. Selanjutnya kumpulan dana peserta ini diinvestasikan
sesuai dengan syariat islam. Tiap keuntungan dari hasil investasi, setelah
dikurangi beban asuransi (klaim dan premi reasuransi), akan dibagi menurut
prinsip al-mudharobah. Presentase pembagian mudharabah dibuat dalam
perbandingan tetap berdasarkan perjanjian kerja sama antara perusahaan dan
peserta.
Sitem pada produk non saving yaitu setiap premi yang dibayar oleh peserta,
akan dimaksukkan dalam rekening tabarru’ perusahaan. Yaitu kumpulan dana
yang telah diniatkan oleh peserta sebagai iuran dan kebajikan untuk tujuan saling
menolong dan saling membantu, dan dibayarkan apabila peserta meninggal dunia
dan perjanjian telah berahir (jika ada surplus dana).

9
Muhammad Syakir Sula. Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional. (Jakarta:
Gema Insani). 2004. Hal. 177.
Kumpulan dana peserta ini akan diinvestasikan sesuai dengan syariat islam.
Keuntungan hasil investasi setelah dikurangi beban asuransi (klaim dan premi
reasuransi), akan dibagi antara peserta dan perusahaan menurut prinsip al-
mudharabah dalam suatu perbandingan tetap bedarkan perjanjian kerja sama
antara perusahaan (takaful) dan peserta.

O. Klaim(claims)

Klaim dalam Asuransi Syariah


Pengertian
Klaim adalah hak peserta asuransi syariah yang wajib diberikan oleh perusahaan
asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Klaim oleh peserta dapat dilakukan
bilamana peserta mengalami musibah (kecelakaan, kebakaran, kecurian) untuk asuransi
kerugian atau peserta meninggal dunia (telah jatuh tempo) untuk asuransi jiwa.
Klaim asuransi yang dibuat nasabah bisa berbeda-beda. Tergantung dari jenis asuransi
yang diikuti. Adapun klaim-klaim tersebut adalah klaim asuransi kesehatan, klaim asuransi
jiwa, klaim asuransi properti dan yang lainnya.

1. Klaim Asuransi Kesehatan

Biaya rawat inap dan operasi rumah sakit bukanlah biaya yang murah. Dengan
mengikuti asuransi kesehatan, nasabah dapat mendapat perlindungan dari beban-beban
finansial ini. Klaim asuransi kesehatan dapat diurus oleh nasabah secara elektronik
ataupun secara konvensional tergantung dari pihak kesehatan tempat pasien dirawat.
Selanjutnya, pihak rumah sakitlah yang berperan aktif meneruskannya ke pihak
perusahaan asuransi. Klaim asuransi kesehatan dapat melindungi dari beban-beban
finansial yang memberatkan seperti jika terjadi kecelakan yang menyebabkan luka parah
dan penyakit.

2. Klaim Asuransi Properti


Rumah merupakan salah satu harta paling berharga yang dimiliki individu. Klaim
asuransi properti dapat melindungi salah satu harta berharga individu ini dari kerusakan
dan kehancuran. Pengajuan klaim dapat dilakukan lewat telepon genggam maupun
internet. Klaim diajukan kepada perwakilan dari perusahaan asuransi, biasanya adalah
agen atau penguji klaim (adjuster claim). Tidak seperti klaim asuransi kesehatan,
tanggung jawab pengajuan klaim sepenuhnya ada pada nasabah pemegang polis asuransi.
Penguji klaim kemudian memeriksa validitas klaimnya berdasarkan jenis klaim yang
diajukan, untuk kemudian ditaksir biaya ganti ruginya.

3. Klaim Asuransi Jiwa

Surat keterangan kematian perlu diurus oleh pemegang asuransi jiwa sebelum
mengajukan klaim. Proses pengujian klaim dilakukan dengan teliti apalagi jika
mengangkut ganti rugi dalam jumlah yang besar. Pemeriksaan mendalam terhadap
kematian orang yang telah dilindungi asuransi jiwa ini sangat mungkin untuk dilakukan.
Pemeriksaan juga dimaksudkan untuk memastikan bahwa tidak ada hal melenceng yang
menyalahi kontrak asuransi jiwa seperti misalnya kematian yang terjadi karena bunuh
diri ataupun karena pembunuhan. Proses pemeriksaan biasanya memakan waktu dari 30
hingga 60 hari.

Itulah pengertian klaim asuransi yang penting diketahui oleh setiap nasabah
asuransi. Klaim asuransi merupakan langkah awal untuk mendapat pembayaran akan
kerugian yang diderita oleh nasabah. Oleh karena itu, setiap nasabah hendaknya
memperhatikan prosedur pengajuannya

Ketentuan klaim pada asuransi syariah


Ketentuan klaim yang diputuskan oleh Fatwa Dewan Syariah Nasional NO: 21/DSN-
MUI/X/2000 adalah sebagai berikut:
1. Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
2. Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
3. Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban
perusahaan untuk memenuhinya.Klaim atas akad tabarru, merupakan hak peserta dan
merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.
4. Klaim atas akad tabarru’ merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan
sebatas yang disepakati dalam akad.

Pada asuransi syariah, pembayaran klaim diambil dari dana tabarru. Perusahaan
sebagai mudharib wajib menyelesaikan proses klaim secara cepat, tepat dan efisien sesuai
dengan amanah yang diterimanya.

Sumber pembayaran klaim


Sumber pembayaran klaim dalam asuransi syariah dan asuransi konvensional terdapat
beberapa perbedaan, yaitu :
a. Sumber pembayaran klaim asuransi syariah
Sumber pembayaran klaim pada asuransi syariah bersumber dari rekening tabarru
yang merupakan rekening dana tolong menolong dari seluruh peserta yang sejak awal
akad telah disetujui untuk dipergunakan untuk keperluan peserta lain yang mendapat
musibah.
b. Sumber pembayaran klaim asuransi konvensional
Sumber pembayaran klaim asuransi pada asuransi konvensional berasal dari
rekening perusahaan. Klaim yang dibayarkan perusahaan adalah sebagian dari
kewajiban timbal balik yang diatur dalam perjanjian asuransi. Peserta wajib membayar
sejumlah premi sebagai tertanggung dan perusahaan berkewajiban membayar klaim
sebagai penanggung apabila peserta mengalami musibah atau jatuh tempo.
P. Reasuransi dan retafakul

A. Pengertian Reasuransi dan Retakaful

Menurut KUHD Pasal 271, reasuransi adalah asuransi dari asuransi atau asuransinya
asuransi. Pengertian reasuransi sebagaimana tersimpul dalam KUHD pasal 271 tampak sama
dengan yang dikemukakan oleh pakar reasuransi Robert I Mehr dan E. Cammack dalam
bukunya berjudul Principle of Insurance yang mengatakan “Reinsurance is the insurance of
insurance (reasuransi adalah asuransi dari asuransi atau asuransinya asuransi)”. Suatu
transaksi reasuransi adalah suatu persetujuan yang dilakukan antara dua pihak, yang masing-
masing disebut pemberi sesi (ceding company) dan panggung ulang (reasuradur), dengan
jalan pemberi sesi menyetujui menyerah dan penanggung ulang menyetujui menerima suatu
resiko yang telah ditentukan dengan persyaratan yang ditetapkan dalam perjanjian.

Sedangkan, reasuransi syariah (retakaful) adalah suatu proses saling menanggung


antara pemberi sesi dengan penanggung ulang, dimana ada proses suka sama suka (saling
menyepakati) risiko dan persyaratannya yang ditetapkan dalam akad. Dalam operasionalnya,
menggunakan prinsip-prinsip syariah, terbebas dari praktek maghrib, maisir, dn gharar.

B. Tujuan Reasuransi dan Retakaful

Dari aspek teknis tujuan reasuransi dan retakaful adalah sama, yakni untuk
mengurangi atau memperkecil beban risiko yang diterimanya dengan mengalihkan seluruh
atau sebagian risiko itu kepada pihak penanggung lain. Dengan pertanggungan ulang ini,
penanggung pertama dapat mengurangi atau memperkecil risiko-risiko yang diterimanya
dipandang dari segi kemungkinan kerugian meteriil.

AJ. Marianto menjelaskan secara tepat tujuan dari reasuransi sebagai berikut:

1) Memberi jaminan atau perlindungan kepada penanggung dari kerugian-kerugian


underwriting (underwriting loss) yang dapat sewaktu-waktu membahayakan
likuiditas, solvabilitas, dan kelestarian kegiatan usaha mereka. Dengan kata lain,
reasuransi dapat mengubah atau mengganti ketidakpastian menjadi “kepastian”.
2) Menaikkan kapasitas akseptasi perusahaan atas risiko-risiko yang melampaui batas
kemampuannya karena kelebihan tanggung-gugat yang tidak bisa mereka tamping
sendiri akan dijamin oleh penanggung ulang yang telah bersedia menampung.
3) Sebagai alat penyebaran risiko, baik di pasaran reasuransi dalam negeri maupun di
pasaran luar negeri.
4) Bila kerjasama reasuransi atas sebagian risiko dilakukan antar sesama perusahaan
asurnsi, akan terdapat 2 fugsi didalamnya. Yaitu; sebagai penyebaran risiko dan
sebagai sarana pertukaran bisnis yang mampu meningkatkan pendapatan premi yang
dapat ditahan karena disamping adanya pengeluaran terdapat pula pemasukan premi.
5) Meningkatkan atau mendukung kestabilan hasil underwriting dan keadaan keuangan
perusahaan asuransi, termasuk menjaga stabilitas pendapatannya.
6) Meningkatkan dan memperbesar keleluasaan dalam melakukan pemasaran berbagai
produk asuransi, baik yang konvensional maupun yang baru dengan segala macam
tingkat besar kecilnya risiko.
Sedangkan tujuan dari retakaful

1) Menstabilkan kondisi keuangan


Perusahaan asuransi dapat mengurangi fluktuasi biaya klaim yang mungkin terjadi
dengan membayar sejumlah premi yang pasti kepada reasuradur (perusahaan
reasuransi) dan reasuradur membantu direct insurer dalam menstabilkan tingkat
kerugiannya.
2) Mempermudah untuk ekspansi Bisnis
Dengan dihilangkannya beberapa ketidakpastian melalui pengalihan risiko kepada
reasuradur, direct insurer mendapatkan rasa yakin (confindence) untuk
memperbesar bisnisnya.
3) Meningkatkan kapasitas akseptasi
Fasilitas akan memperbesar kapasitas direct insurer tersebut, sehingga
memungkinkannya untuk mengaseptasi jumlah pertanggungan yang tinngi.
4) Penyebaran Risiko (Spread of Risk)
Berfungsi sebagai alat penyebar risiko. Dengan mengatur fasilitasnya secara tepat,
maka akan dapat disebarkan dampak yang potensial dari kerugian-kerugian yang
dihadapi akan datang.

C. Prinsip-Prinsip Reasuransi dan Retakaful


Di bawah ini akan dijelaskan beberapa prinsip Reasuransi, sebagai berikut:
1. Treaty and Facultative Reinsurance (perjanjian dan reasuransi fakultatif)
Dalam prinsip ini, reasuder memberikan sejumlah pertanggungan yang diinginkan
dengan perjanjian kontrak dan reasuder harus menerima sejumlah yang ditawarkan.
2. Reasuransi Proporsional
Pembagian risiko antara ceding company dengan reasuder dilakukan secara
proporsional berdasarkan jumlah retensi (jumlah maksimum risiko yang ditahan atau
ditanggung oleh ceding company) yang telah ditetapkan.
3. Reasuransi Non-Proporsional
Bentuk ini memungkinkan bagi reasuder untuk tidak membayar klaim atau membayar
klaim terbatas jumlah yang ada dalam treaty (perjanjian).
Sedangkan prinsip retakaful pada umumnya sama dengan prinsip yang ada pada
asuransi syariah yaitu:

a) Prinsip Tauhid
b) Prinsip Amanah
c) Prinsip Kerelaan
d) Prinsip Tolong Menolong
e) Prinsip Kerja sama
Daftar Pustaka

Muhammad Syakir Sula. Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem
Operasional. Jakarta: Gema Insani.

Salam, T. S. (2017). Analisa Penerapan Prinsip Syariah dalam Asuransi . Jurnal Ekonomi
Syariah Indonesia.

Triyanto, E. H. (2017). Peran Agen Asuransi Syariah dalam Meningkatkan Pemahaman


Masyarakat Tentang Asuransi Syariah . Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah.

Puspitasari, Novi. 2015. Manajemen Asuransi Syariah. Yogyakarta: UII Perss.

Purwanto, Edi. 2017. Pelaksanaan Sistem Operasional Asuransi Syariah Berdasarkan


Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian. Skripsi Universitas
Sumatera Utara.

Hilaliyah, Nuril. 2008. Aplikasi Asuransi Takaful Dana Pendidikan dalam Prespektif
Syariah. Skripsi Universitas Islam Negeri Malang.

Iqbal, Muhammad. 2017. Pengelolaan Dana Tabarru’ Asuransi Jiwa Syariah dalam
Pembiayaan Murabahah di Bank Sumsel Babel Cabang Syariah Baturaja. Jurnal
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palemban VOL.16, NO.1, Juni 2017.

Pupitasari novi dan muhammad, Manajemen Asuransi Syariah, Yogyakarta:2015

Ismanto, Kuat, Asuransi Perspektif Maqasid Asy-Syari’ah, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar,2016.

AM. Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Suatu Tinjauan Analisis
Historis, Teoritis, dan Praktis, Ed. 1 Cet.1, (Jakarta: Kencana, 2004)

http://isnaniayuniaa.blogspot.com/2017/01/reasuransi-dan-retakaful.html

http://www.sanabila.com/2015/08/tujuan-dan-fungsi-adanya-reasuransi.html

Ilyas. 2014. “Studi Komperatif Prinsip Asuransi Jiwa Takaful Dan Asuransi Jiwa
Konvensional”. Kanun Jurnal Ilmu Hukum. No. 62, Th. XVI pp. 39-55.
Ismanto, Kuat. 2017. ”Prinsip-prinsip Hukum Asuransi dalam Kajian Hukum Islam”. E-
journal. IAIN Pekalongan.

M. Syakir Sula. 2004. ASURANSI SYARIAH (LIFE AND GENERAL) KONSEP dan SISTEM
OPERASIONAL. Jakarta : GemmaInsani.

https://www.dakwatuna.com/2015/05/14/68613/konsep-taawun-tolong-menolong-dalam-
asuransi-syariah/amp/

Anda mungkin juga menyukai