Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

ASPEK HUKUM ASURANSI DAN REASURANSI SYARIAH

Dosen Pengampu:

Muhamad Masrur, M.E.I

Disusun Oleh:

1. Fiqi Rosyid ( 4318064 )


2. Novi Zakia ( 4318066 )

Kelas : Hukum Ekonomi Syariah B

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN

TAHUN 2019/2020
PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Aspek
Hukum Asuransi dan Reasuransi Syariah” sebagai tugas mata kuliah Hukum
Ekonomi Syariah.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya serta bobot
materi. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami
berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

Pekalongan, September 2019


DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan kontemporer sekarang, hukum islam terutama di bidang
keperdataan (mu’amalah) semakin mempunyai arti penting, terutama dengan
lahirnya apa yang disebut ekonomi, perbankan, dan asuransi, yang sangat erat
kaitannya dengan hukum mu’amalat.
Adapun asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan
asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya
(muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi daripada akad itu, baik
berbentuk imbalan, gaji, atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika
terjadi bencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya
sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi)
yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari
klien/nasabah tersebut kepada perusahaan asuransi di saat hidupnya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Pengertian asuransi dan reasuransi syariah
2. Dasar hukum asuransi syariah
3. Perkembangan asuransi syariah
4. Prinsip-prinsip asuransi syariah
5. Bentuk-bentuk asuransi syariah
6. Kendala dan permasalahan asuransi syariah
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk menegtahui pengertian asuransi dan reasuransi syariah
2. Untuk mengatahui dasar hukum asuransi syariah
3. Untuk mengetahui perkembangan asuransi syariah
4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip asuransi syariah
5. Untuk mengetahui bentuk-bentuk asuransi syariah
6. Untuk mengetahui kendala dan permasalahan asuransi syariah
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Asuransi dan Reasuransi Syariah


Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, Insurance, yang berarti
pertanggungan. Echolesh dan Shadilly memaknai kata insurance dengan
asuransi dan jaminan. Dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah
assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan).1
Dalam bahasa Arab, Asuransi disebut At-ta’min yang berasal dari
kata amana yang memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa
aman dan bebas dari rasa takut, sebagaimana firman Allah swt.
‘ Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan’.
Arti yang paling dekat untuk menerjemahkan istilah at-ta’min,
yaitu menta’minkan sesuatu, artinya seseorang membayar/menyerahkan
uang cicilan agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang
sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap
hartanya yang hilang.
Asuransi Syari’ah (Ta’min, Takaful, atau Tadhamun) adalah usaha
saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak
melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan
pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad
(perikatan) yang sesuai dengan syari’ah. Akad yang sesuai dengan syari’ah
adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian),
riba, dzulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
(Menurut Dewan Syari’ah Nasional MUI, dalam Fatwa DSN No. 21/
DSN-MUI/IX/2001).2

1
Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 57.
2
Kuat Ismanto, Asuransi Syari’ah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 51-52.
2.2 Dasar Hukum Asuransi Syari’ah
Landasan dasar asuransi syari’ah adalah sumber dari pengambilan
hukum praktik asuransi syariah. Kebanyakan ulama (jumhur) memakai
metodologi konvensional dalam mencari landasan syari’ah (al-asas al-
syar’iyyah) dari suatu pokok masalah (subjek matter). Dalam hal ini pokok
masalahnya adalah lembaga asuransi.
Adapun dasar hukum asuransi syri’ah adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an tidak menyebutkan secara tegas ayat yang menjelaskan
tentang praktik asuransi seperti yang ada pada saat ini. Hal ini
terindikasi dengan tidak munculnya istilah asuransi atau al-ta’min
secara nyata dalam al-Qur’an. Walaupun begitu al-Qur’an masih
mengakomodir ayat-ayat yang mempunyai muatan nilai-nilai dasar
yang ada dalam praktik asuransi, seperti nilai dasae tolong-menolong,
kerja sama, atau semangat untuk melakukan proteksi terhadap
peristiwa kerugian (peril) di masa mendatang.
Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai muatan nilai-nilai yang
ada dalam praktik asuransi diantaranya adalah:
a) Surah al-Maidah [5]:2

Artinya: “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)


kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.(QS. Al-
Maidah [5]:2)3

3
Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 104-
105.
Ayat ini memuat perintah tolong-menolong antara sesama
manusia. Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktik
kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk
menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana sosial
(tabarru’). Dana sosial ini berbentuk rekening tabarru’ pada
perusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah
satu anggota yang sedang mengalami musibah (peril).
b) Surah al-Baqarah [2]: 261

Artimya: “ Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)


orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipatgandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-
Baqarah[2]:261)
Dari ayat diatas Allah swt menegaskan bahwa orang yang
rela menafkahkan hartanya akan dibalas oleh-Nya dengan
melipatgandakan hartanya. Praktik asuransi penuh dengan
muatan-muatan nilai sosial, seperti halnya dengan pembayaran
premi ke rekening tabarru’ adalah salah satu wujud dari
penafkahan harta dijalan Allah swt karena pembayaran tersebut
diniatkan untuk saling membantu anggota perkumpulan
asuransi jika mengalami musibah di kemudian hari. 5
c) Surah al-Taghaabun [64]: 11
4
Al-Qur’an Indonesia digital,.
5
Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 107.
Artinya: “ Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa
seseorang kecuali dengan izin Allah, Dan barang siapa yang
beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk
kepada hatinya. Dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.”6
Dari ayat di atas Allah swt telah memberi penegasan bahwa
segala musibah atau peristiwa kerugian (peril) yang akan
terjadi dimasa datang tidaklah dapat diketahui kepastiannya
oleh manusia, tetapi hanya Allah swt yang tahu. Karena
musibah atau kerugian ekonomi itu datang atas izin Allah swt.,
tanpa seiizin-Nya peristiwa itu tidak akan terjadi. Dalam bisnis
asuransi, hal semacam ini dipelajari dalam bentuk manajemen
resiko, yaitu bagaimana caranya mengelola resiko tersebut agar
dapat terhindar dari kerugian atau paling tidak resiko kerugian
tersebut dapat diminimalisasi.

2. Sunnah Nabi
Dalam hadits Nabi Muhammad SAW secara tegas juga tidak
ditemukan perintah atau contoh spesifik tentang asuransi syari’ah,
dibawah ini adalah hadits yang bisa dijadikan inspirasi yang secara
tidak langsung asuransi diperlukan oleh umat manusia. Diantaranya
sebagai berikut:

a) Saling membantu dalam kesulitan


6
Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: CV Indah Press, 2002), hlm. 941
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Nabi Muhammad
bersabda: Barang siapa yang menghilangkan kesulitan duniawinya
seorang mukmin, maka Allah SWT.akan menghilangkan
kesulitannya pada hari kiamat, barang siapa mempermudah
kesulitan seseorang, maka Allah SWT.akan mempermudah urusan
dunia dan akhirat. (HR. Muslim) .
b) Hadits tentang aqilah
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, dia berkata: berselisih
dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita
tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga
mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang
dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita yang meninggal
tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW.,
maka Rasulullah SAW memutuskan ganti rugi dari pembunuh
terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-
laki atau perempuan dan memutuskan ganti rugi kematian wanita
tersebut dengan uang darah (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya
(kerabat dari orang tua laki-laki)”.(HR. Bukhari)
c) Hadits tentang anjuran menghilangkan kesulitan seseorang
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Nabi Muhammad
bersabda: “ Barang siapa yang menghilangkan kesulitan
duniawinya seorang mukmin, maka Allah SWT.akan
menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat, barang siapa
mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah SWT.akan
mempermudah urusan dunia dan akhirat”. (HR. Muslim) .
d) Hadits tentang mengurus anak yatim (Kift-al-Yatim)
Diriwayatkan dari Sabal bin Sa’ad ra, mengatakan
Rasulullah telah bersabda: “Saya dan orang yang menanggung
anak yatim nanti akan di surga seperti ini. “ Rasulullah bersabda
sambil menunjukkan jari telunjuk dari jari yang tengah. (HR.
Muslim)
3. Piagam Madinah
Dalam piagam madinah tersebut adalah : “ Dengan nama Allah
yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari
Muhammad, Nabi SAW di kalangan mukminin dan muslimin dari
Quraisy dan Yatsrib dan orang yang mengakui mereka
menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka. Sesungguhnya
mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia yang lain. Kaum
Muhajirin dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-
membahu membayar tebusan tawanan dengan cara yang adil diantara
mukminin.
4. Berdasarkan dalil Ijtihad
a) Fatwa sahabat
Praktik sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman
(ganti rugi) pernah dilaksanakan oleh Khalifah kedua, Umar bin
Khattab. Pada suatu ketika Khalifah Umar memerintahkan agar
daftar (diwan) saudara muslim disusun perdistrik. “Orang-orang
yang namanya tercantum dalam diwan tersebut berhak menerima
bantuan satu sama lain dan harus menyumbang pembayaran
hukuman (ganti rugi) atas pembunuhan (tidak sengaja) yang
dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat mereka. Umarlah
yang pertama kali mengeluarkan perintah untuk menyiapkan daftar
secara profesional perwilayah, dan orang-orang yang terdaftar
diwajibkan saling menanggung bebana.
b) Ijma
Para sahabat telah melakukan ittifaq (kesepakatan) dalam
hal aqilah yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab.
Adanya ijma ini tampak dengan tidak adanya sahabat lain yang
menentang pelaksanaan aqilah ini. Aqilah adalah iuran darah yang
dilakukan oleh keluarga dari pihak laki-laki (ashabah) dari si
pembunuh (orang yang menyebabkan kematian orang lain secara
tidak sewenang-wenang). Dalam hal ini kelompoklah yang
menanggung pembayarannya karena si pembunuh merupakan
anggota dari kelompok tersebut.
c) Qiyas
Dalam kitab Fathul Bari, disebutkan bahwa dengan
datangnya islam sistem aqilah diterima Rasulullah SAW.menjadi
bagian dari hukum Islam. Ide pokok dari aqilah adalah suku Arab
zaman dahulu harus siap untuk melakukan kontribusi finansial atas
nama si pembunuh untuk membayar ahli waris korban. Kesiapan
untuk membayar kontribusi keuangan ini sama dengan membayar
premi pada praktik asuransi syariah saat ini. Jadi, jika
dibandingkan permasalahan asuransi syariah yang ada saat ini
dapat di qiyaskan dengan sistem aqilah yang telah diterima di masa
Rasulullah.
d) Istihsan
Istihsan adalah cara menentukan hukum dengan jalan
menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan
kepentingan sosial. Dalam pandangan ahli ushul fiqh adalah
memandang sesuatu itu baik. Kebaikan dari kebiasaan aqilah di
kalangan suku Arab kuno terletak pada kenyataan bahwa sistem
aqilah dapat menggantikan balas dendam berdarah.7
2.3 Perkembangan Asuransi Syariah
Praktek asuransi sudah ada sejak zaman sebelum Rasulullah SAW.
Asuransi merupakan buadaya dari suku Arab kuno. Praktis asuransi
disebut dengan aqillah.
Kata aqillah secara sederhana dapat diartikan sebagai saling
memikul dan bertanggungjawab bagi keluarga. Hal ini dapat
menggambarkan bahwa suku Arab pada saat itu siap untuk melakukan
kontribusi financial atas nama pembunuhan untuk membayar sejumlah
uang kepada keluarga atau ahli waris korban.

7
Asy’ari Suparmin, Asuransi Syariah Konsep hukum dan Operasinya, (Ponorogo:Uwais
Inspirasi Indonesia,2019), hlm. 28-32.
Dengan demikian, maka suku Arab pada zaman dahulu sudah
mempraktekan asuransi dengan cara melakukan proteksi terhadap anggota
sukunya terhadap risiko pembunuhan yang bisa terjadi setiap saat tanpa
diduga sebelumnya.
Sejarah terbentuknya asuransi syariah dimulai sejak tahun 1979 yang
ditandai dengan berdirinya perusahaan asuransi di Sudan bernama
Sudanese Islamic Insurance.
Perusahaan tesebut merupakan yang pertama kali memperkenalkan
asuransi syariah. Pada tahun yang sama sebuah perusahaan asuransi jiwa
di Uni Emirat Arab juga memperkenalkan asuransi syariah di wilayah
Arab.
Kemudian asuransi syariah juga dikenal di Swiss yang ditandai
dengan berdirinya asuransi syariah bernama Darl al Mal al Islami pada
tahun 1981 yang selanjutnya memperkenalkan asuransi syariah kedua
bernama Islamic Takafol Company (ITC) yang berdiri di Luksemburg
pada tahun 1983, dan diikuti oleh beberapa Negara lainnya.
Asuransi syariah di Indonesia merupakan sebuah cita-cita yang
telah dibangun sejak lama, dan telah menjadi sebuah lembaga asuransi
modern yang siap melayani umat Islam Indonesia dan bersaing dengan
lembaga asuransi konvensonal.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan perkembangan asuransi
syariah di dunia hingga saat ini semakin dikenal luas dan dinimati oleh
masyarakat dunia, baik oleh negara-negara dengan penduduk muslim
mayoritas maupun dengan penduduk muslim minoritas.
Adapun perkembangan asuransi syariah di Indonesia telah
mengalami kemajuan pesat, khususnya karena Indonesia didomisili oleh
kaum muslim maka permintaan akan asuransi syariah pun semakin tinggi
apalagi asuransi ini didasarkan pada prinsip syari’at islam.8

2.4 Prinsip-prinsip Asuransi Syariah

8
Muhammad Ajib, Kupas Habis Hukum Iddah wanita, Lentera islam, hal. 29-34
Dalam hal ini, prinsip-prinsip asuransi syariah ada sembilan macam
yakni:
1. Prinsip Tauhid
Dalam berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana
seharusnya menciptakan suasana dan kondisi bermualamah yang
tertuntun pada nilai-nilai ketuhanan. Paling tidak dalam setiap
melakukan aktivitas berasuransi ada semacam keyakinan dalam hati
bahwa Allah SWT selalu mengawasi seluruh gerak langkah dan selalu
bersama. Dilihat dari sisi perusahaan, asas yang digunakan dalam
berasuransi syariah bukanlah semata-mata meraih keuntungan dan
peluang pasar namun lebih dari itu. Niat awal adalah implementasi
nilai syariah dalam dunia asuransi. Dari sisi nasabah, berasuransi
syariah adalah bertujuan untuk bertransaksi dalam bentuk tolong-
menolong yang berlandaskan asas syariah, dan bukan semata-mata
mencari “perlindungan” apabila terjadi musibah. Dengan demikian,
nilai tauhid terimplementasi pada industri asuransi syariah.
2. Prinsip Keadilan
Prinsip kedua dalam berasuransi adalah terpenuhinya nilai-nilai
keadilan antara pihak-pihak yang terlihat dalam akad asuransi.
Keadilan dalam hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan
hak dan kewajiban antara nasabah dan perusahaan asuransi.
Perusahaan asuransi memiliki peluang besar untuk melakukan
ketidakadilan, seperti adanya unsur dana hangus (untuk produk
tabungan), karena pembatalan kepesertaan di tengah jalan oleh
nasabah. Pada asuransi syariah dana tabaru’ dari nasabah yang telah
dibayarkan melalui premi harus dikembalikan kepada fund tabaru’
berikut hasil investasinya.
3. Prinsip Tolong-menolong (ta’awun)
Dalam melaksanakan kegiatan asuransi harus didasari dengan
semangat tolong-menolong antar sesama anggota. Seseorang yang
masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk
membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu ketika
mendapatkan musibah atau kerugian.
4. Prinsip Kerjasama (Cooperation)
Prinsip kerjasama merupakan prinsip universal yang selalu ada
dalam literatur ekonomi Islam. Manusia sebagai mahluk yang
mendapat mandat dari sang Khalik-Nya untuk mewujudkan
perdamaian dan kemakmuran di muka bumi mempunyai dua wajah
yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya yaitu sebagai
mahluk individu dan mahluk sosial.
5. Prinsip Amanah (Trustworthy)
Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam
nilai-nilai akuntabilitas (pertanggung jawaban) perusahaan melalui
penyajian laporan keuangan tiap periode. Dalam hal ini perusahaan
asuransi harus memberi kesempatan yang besar bagi nasabah untuk
mengakses laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan yang
dikeluarkan oleh perusahaan asuransi harus menerminkan nilai-nilai
kebenaran dan keadilan dalam bermuamalah dan melalui auditor
public.
6. Prinsip Kerelaan (Al-Ridha)
Dalam berbisnis asuransi, kerelaan dapat diterapkan pada setiap
nasabah asuransi agar mempunyai motivasi dari awal untuk merelakan
sejumlah dana (premi) yang disetorkan ke perusahaan asuransi, yang
difungsikan sebagai dana sosial.
7. Prinsip Larangan Riba
Islam melarang setiap muslim yang mencoba meningkatkan modal
mereka melalui pinjaman atas riba (berkembang atau bunga) baik pada
rate yang rendah atau tinggi.
8. Prinsip Menghindari Maisir
Maisir bisa disamakan dengan kegiatan berjudi. Judi menunjukkan
tindakan atau permainan yang bersifat untung untungan/spekulatif
yang dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan materi yang akan
membawa dampak terjadinya praktik kepemilikan harta secara batil.
Allah sangat tegas melarang kegiatan perekonomian yang mengandung
unsur perjudian.
9. Prinsip Larangan Gharar (Ketidakpastian)
Secara syariah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang
harus dibayarkan dan berapa yang harus diterima. Keadaan ini akan
menjadi rancu (gharar) karena kita tahu berapa yang akan diterima,
tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan karena hanya Allah
yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Disinilah gharar terjadi
pada asuransi konvensional.9

2.5 Bentuk-bentuk Produk Asuransi Syariah


2.5.1 Produk dengan Unsur Tabungan
Maksudnya adalah premi yang dibayar peserta pada perusahaan
asuransi dimasukkan ke dalam dua rekening, yaitu rekening tabungan
dan rekening khusus. Jika peserta tidak melanjutkan perjanjian,
rekening tabungan plus bagi hasil dapat diambil oleh peserta.
1. Program dana Pendidikan
a. Jika anak yang dipersiapkan sebagai penerima hibah wafat
sebelum beasiswa empat tahun di perguruan tinggi diberikan,
kepada peserta diberikan santunan 10% dari manfaat awal,
seluruh rekening tabungannya, dan tahapan beasiswa berakhir
b. Jika pemegang polis ditakdirkan oleh Allah wafat sebelum
masa asuransi berakhir, perusahaan akan memberikan santunan
kepada ahli warisnya seluruh dana yang ada pada rekening
tabungan, dana santunan sebesar 50% dari manfaat awal untuk
meninggal bukan karena kecelakaan, atau 100% dari manfaat
awal untuk meninggal karena kecelakaan, serta beasiswa untuk
anak sampai perguruan tinggi.

9
Asy’ari Suparman, ASURANSI SYARIAH: Konsep Hukum dan Operasionalnya, (Sidoarjo: Uwais
Inspirasi Indonesia, 2019), hal.49-53
c. Jika pemegang polis mengalami cacat tetap total karena
kecelakaan selama masa asuransi, peserta tidak lagi membayar
premi dan kepadanya diberikan seluruh dana tabungan,
santunan sebesar 50% dari manfaat awal, serta beasiswa sesuai
kondisi polis dan kondisi anak penerima hibah pada saat
musibah.
d. Jika peserta mengalami musibah setelah masa asuransi
berakhir, tetapi masih dalam pemberian beasiswa empat tahun
di perguruan tinggi, jika peserta cacat total karena kecelakaan,
akan diberikan seluruh saldo rekening tabungan dan beasiswa
untuk anak penerima hibah sampai empat tahun di perguruan
tinggi.
2. Program Dana Haji
Program dana haji ditujukan untuk perorangan yang
berkeinginan menunaikan ibadah haji.
Manfaat dari program ini adalah sebagai berikut:
a. Jika peserta ditakdirkan oleh Allah wafat sebelum berakhirnya
masa asuransi dan polis dalam keadaan aktif, perusahaan
asuransi akan memberikan santunan duka kepada ahli waris
plus semua saldo rekening tabungan beserta bagian
keuntungannya.
b. Jika peserta dipanjangkan umurnya oleh Allah, perusahaan
akan memberikan semua saldo tabungan ditambah bagian
keuntungan dari hasil investasi.
c. Jika peserta mengundurkan diri sebelum masa asuransi
berakhir, perusahaan asuransi akan memberikan semua saldo
rekening tabungan plus bagi hasil dari investasi.
2.5.2 Produk Nontabungan
Maksud produk nontabungan adalah jenis produk yang tidak
memiliki unsur tabungan karena premi yang dibayar oleh peserta
hanya dimasukkan ke dalam rekening khusus, yaitu rekening tabarru’
sebagai dana yang telah diniatkan oleh peserta untuk saling menolong
apabila ada peserta yang terkena musibah.
1. Program kecelakaan diri
Asuransi kecelakaan diri ini memberikan proteksi financial
bagi ahli waris peserta jika mengalami musibah meninggal dunia
karena kecelakaan selama masa perjanjian, berupa santunan
meninggal dunia atau santunan cacat tetap karena kecelakaan.
Namun jika sampai akhir perjanjian tidak terjadi klaim, kepada
peserta akan diberikan bagi keuntungan dari surplus dana yang ada.
Keistimewaan program ini adalah calon peserta dari sisi
underwriting tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin, jadi
premi untuk wanita dan pria sama.
2. Program kecelakaan siswa
Program ini diperuntukkan bagi siswa/mhasiswa lembaga
pendidikan, baik yang bersifat formal maupun nonformal. Program
ini memberikan proteksi terhadap peserta jika mengalami musibah
meninggal dunia karena kecelakaan, cacat tetap total, atau cacat
tetap sebagian.
3. Program kecelakaan diri kumpulan
Program ini ditujukan untuk perusahaan atau organisasi
yang berbadan hukum yang ingin menyediakan santunan bagi
karyawan/anggotanya apabila mengalami musibah karena
kecelakaan.
Jika sampai akhir perjanjian tidak terjadi klaim, kepada
peserta (diwakili pemegang polis) akan mendapat bagian
keuntungan dari surplus dana, jika ada.10

10
Khoiril Anwar, Asuransi Syariah, halal & maslahat, (Solo: Tiga Serangkai, 2007), hal.83-90

Anda mungkin juga menyukai