Anda di halaman 1dari 12

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kecanduan Game Online

2.1.1 Pengertian Kecanduan Game Online

Kecanduan atau addiction menurut Grispon dan Bokular (dalam Anhar,

2014) adalah suatu keadaan interaksi antara psikis dan terkadang juga fisik dari

organisme hidup dan obat, dibedakan oleh tanggapan perilaku dan respon yang

lainnya yang selalu menyertakan suatu keharusan untuk mengambil obat secara

terus menerus atau berkala untuk mengalami efek psikis dan kadang-kadang untuk

menghindari ketidaknyamanan ketiadaan dari obat.

Kecanduan atau addiction dalam kamus psikologi diartikan sebagai

keadaan bergantung secara fisik pada suatu obat bius. Pada umumnya, kecanduan

menambah toleransi terhadap suatu obat bius, ketergantusngan fisik dan

psikologis, dan menambah gejala pengasingan diri dari masyarakat jika obat bius

dihentikan. (Chaplin, 2009:11)

Kecanduan game online merupakan salah satu jenis kecanduan yang

disebabkan oleh teknologi internet atau yang lebih dikenal dengan internet

addictive disorder. Seperti yang disebutkan bahwa internet dapat menyebabkan

kecanduan, salah satunya adalah game addiction (Young, 2000).

Young (dalam Kusumawati, dkk. 2017) menyatakan bahwa

ketidakmampuan seseorang mengontrol penggunaan dari teknologi sehingga


memberikan kerugian baik secara fisik maupun psikis terhadap penggunanya

merupakan konsep dari kecanduan internet.

Kecanduan internet diartikan Young (1998) sebagai sebuah sindrom yang

ditandai dengan menghabiskan sejumlah waktu yang sangat banyak dalam

menggunakan internet dan tidak mampu mengontrol penggunaannya saat online.

Berdasarkan apa yang didefinisikan oleh para ahli diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa kecanduan game online adalah perilaku seseorang yang

menggunakan internet, dan bermain game dengan menghabiskan banyak waktu

dan secara berulang-ulang tanpa dapat membendung keinginannya.

2.1.2 Aspek Kecanduan Game Online

Aspek kecanduan game online tidak jauh berbeda dengan kecanduan lain,

akan tetapi kecanduan ini lebih mengarah kepada kecanduan psikologis, bukan

kecanduan secara fisik. Chen dan Chang (dalam Anhar, 2014) menyebutkan

bahwa sedikitnya ada aspek kecanduan game online. Keempat aspek tersebut

adalah :

a. Compulsion (dorongan untuk melakukan terus menerus)

Merupakan suatu dorongan atau tekanan kuat yang berasal dari dalam diri

sendiri untuk melakukan suatu hal secara terus menerus, dimana dalam hal ini

merupakan dorongan dari dalam diri untuk terus menerus bermain game.

b. Withdrawal (penarikan diri)

Merupakan suatu upaya untuk menarik diri atau menjauhkan diri dari suatu

hal.Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang merasa tidak bisa menarik

dirinya atau menjauhkan dirinya dari hal yang berkaitan dengan game online.
c. Tolerence (toleransi)

Toleransi dalam hal ini diartikan sebagai sikap menerima keadaan diri kita

ketika melakukan suatu hal. Toleransi ini biasanya berkaitan dengan jumlah

waktu yang digunakan untuk melakukan sesuatu, dalam hal ini adalah bermain

game online.

d. Interpersonal and health-related problem (masalah hubungan interpersonal

dan kesehatan)

Merupakan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan interaksi kita dengan

orang lain dan juga masalah kesehatan. Pecandu game cenderung untuk tidak

menghiraukan bagaimana hubungan interpersonal yang mereka miliki

karenamereka hanya terfokus pada game online saja. Begitu pula dengan

masalah kesehatan.

Sedangkan Griffiths (2005) menyebutkan bahwa ada tujuh aspek kecanduan


game online yaitu:

a. Salience

Bermain game online menjadi aktivitas yang paling penting dalam

kehidupan individu dan mendominasi pikiran, perasaan (selalu merasa ingin

melakukannya), dan perilaku (melakukan secara berlebihan).

b. Tolerence

Sebuah proses dimana aktivitas individu dalam bermain game semakin

meningkat secara bertahap. Dimana waktu yang digunakan dalam bermain

game bertambah jumlahnya.

c. Mood Modification
Mengacu pada pengalaman subjektif sebagai hasil dari keterikatan dengan

bermain game online, misalnya penenangan diri (tranquillizing) atau relaksasi

terkait pelarian diri (escapism).

d. Withdrawal

Perasaan yang tidak menyenangkan dan dampak fisik yang terjadi ketika

berhenti atau mengurangi aktivitas bermain game online. Aspek ini lebih

banyak terdiri dari murung (moodiness) dan lekas marah (irritabilty).

e. Relapse

Aktivitas bermain game online yang berlebihan cenderung mendorong individu

untuk secara cepat kembali mengulangi perilaku bermain game online setelah

tidak melakukannya dalam jangka waktu tertentu atau masa kontrol.

f. Conflict

Konflik yang terjadi merujuk pada konflik interpersonal yang dihasilkan dari

aktivitas bermain game online secara berlebihan. Konflik dapat terjadi diantara

pemain dan orang-orang disekitarnya. Konflik dapat meliputi argumen dan

penolakan serta berbohong dan curang.

g. Problems

Masalah terjadi disebabkan oleh aktivitas bermain game online secara

berlebihan sehingga mendorong tergesernya aktivitas lain seperti sekolah,

bekerja, dan bersosialisasi. Masalah dapat terjadi pada individu pemain game

online, seperti gangguan intrafiksi dan kehilangan kontrol

2.1.3 Faktor-Faktor Kecanduan Game Online

Menurut Yee (dalam Anhar, 2014) terdapat 5 faktor motivasi seseorang dalam

bermain game :
a. Relationship, didasari atas keinginan untuk berintraksi dengan pemain lain,

serta adanya kemauan seseoranguntuk membuat hubungan yang mendapat

dukungan sejak awal dan yang mendekati masalah-masalah dan isu-isu yang

terdapat di dunia nyata.

b. Manipulation, didasari oleh pemain yang membuat pemain lain sebagai objek

dan memanipulasi mereka untuk kepuasan dan kekayaan diri. pemain yang

didasari oleh faktor ini, sangat senang berlaku curang, mengejek dan

mendominasi pemain lain.

c. Immersion, didasari oleh pemain yang sangat menyuaki menjadi orang lain.

Mereka suka dengan alur cerita dari “dunia khayal” dengan menciptakan

tokoh/karakter yang sesuai dengan cerita dari dunia tersebut.

d. Escapism, didasari oleh pemain yang senang bermain di dunia maya hanya

sementara untuk menghindar, melupakan dan pergi dari stress dan masalah di

kehidupan nyata

e. Achievement, didasari oleh keinginan untuk menjadi kuat di lingkungan dunia

virtual, melalui pencapaian tujuan dan akumulasi dan item-item yang

merupakan simbol kekuasaan

2.2 Compulsive Buying (Pembelian Kompulsif)

2.2.1 Pengertian Compulsif Buying

Menurut Faber & O’Guinn (dalam Rohman & Baidun, 2013)

Compulsive Buying merupakan perilaku seseorang yang melakukan aktivitas

pembelian berulang. Akibat adanya peristiwa yang tidak menyenangkan

ataupun perasaan yang negatif. Jika seseorang memiliki perilaku compulsive


buying, maka pada saat menghadapi suatu peristiwa yang tidak menyenangkan

atau negatif dia akan melakukan aktivitas pembelian atau berbelanja untuk

mengurangi perasaan yang tidak menyenangkan atau negatif tersebut.

Perilaku pembelian kompulsif adalah sebuah perilaku keputusan

pembelian dimana motif atau keinginan yang mendorong keputusan pembelian

atas kategori produk tertentu tak tertahankan lagi atau tidak bisa ditahan oleh

emosi orang tersebut dan akan menjadi suatu kebiasaan karena cenderung

terjadi berulang–ulang sebagai pemenuhan terhadap kebutuhan emosional yang

negatif (Kristanto, 2011).

Krych (dalam Wulandari, 2018) memaparkan pembelian kompulsif

sebagai kecanduan perilaku, kebiasaan patologis yang terkait dengan perilaku

yang ditandai dengan adanya dorongan untuk membeli, dorongan untuk pergi

berbelanja, kecanduan pribadi yang berorientasi pada aktivitas yang berakhir

dengan hilangnya kontrol perilaku, kegagalan dalam mengendalikan dan

merevisi aktivitas dan konsekuensi afektif yang signifikan bila tindakan

tersebut tidak layak dilakukan, pada tingkat individu dan sosial.

Dari pemaparan definisi para ahli tersebut, maka dapati disimpulkan

bahwa Compulsive Buying adalah perilaku seseorang dalam berbelanja atau

melakukan pembelian yang berlebihan, tidak dapat dikontrol, biasanya barang

yang di beli tidak memiliki nilai guna, dan terjadi secara berulang-ulang.

2.2.2 Dimensi Compulsive Buying

Menurut Edwards (1993) pembelian kompulsif memiliki 5 dimensi utama,

yaitu:

a. Tendency to Spend
Keadaan dimana kecenderungan seseorang membeli barang secara

berlebihan, menghabiskan uang secara sering.

b. Drive to Spend

Saat individu merasa tergoda untuk berbelanja preokupasi (pemusatan pikir

pada satu hal tertentu), kompulsif (dilakukan secara berulang) dan adanya

perilaku impulsive dalam berbelanja membeli barang.

c. Feeling Abaot Shopping and Spending

Keadaan dimana individu menikmati aktivitas berbekanja dan

mengahbiskan waktunya untuk berbelanja.

d. Dysfunctional Spending

Menjelaskan masalah yang akan muncul dari hasil perilaku berbelanja

individu.

e. Post-Purchase Guilt

Yaitu perasaan bersalah, menyesal yang dirasakan individu ssetelah

melakukan pembelian yang berlebihan.

Sedangkan menurut Valence dkk (dalam Qoryama 2017) mengemukakan

dimensi pembelian kompulsif menjadi 3, yaitu:

1. Suatu kecenderungan untuk melakukan aktivitas berbelanja

2. Suatu dorongan yang muncul dari dalam diri individu secara tiba-tiba

untuk membeli suatu barang

3. Munculnya rasa bersalah atau penyesalan setelah melakukan pembelian

atau aktivitas berbelanja.


2.2.3 Faktor-Faktor Pembelian Kompulsif

Menurut Workman & Paper (dalam Hayati, 2019) faktor-faktor yang

mempengaruhi pembelian kompulsif ada enam, yaitu :

a. Variabel Kepribadian

Variabel kepribadian yang dimaksud meliputi kompulsifitas, merasa

harga dirinya rendah, perasaan negatif atau depresi, rasa kesepian,

pencarian gairah, dan berfantasi.

b. Faktor Demografi

Faktor demografi disini mengenai gender, usia, dan pendapatan.

c. Intensitas Perasaan

Konsumen yang Kompulsif cenderung memiliki respon perasaan yang

kuat terhadap stimuli tertentu dibandingkan dengan konsumen lain.

d. Evaluasi Normatif dan Pengendalian Impuls

Kurangnya pengendalian impuls telah dikaitkan dengan orang-orang

yang tidak mampu menahan ataupun menunda kepuasan ketika sebuah

rangsangan untuk membeli itu muncul

e. Penggunaan Kartu Kredit

Konsumen yang kompulsif membuktikan penggunaan kartu kredit yang

sangat tinggi atau menyalahgunakan kartu kredit dibanding dengan

konsumen lain.

f. Konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang dari berbelanja kompulsif

Konsekuensi jangka pendek dari berbelanja kompulsif bersifat positif

seperti berkurangnya stress dan tekanan. Namun konsekuensi jangka


panjangnya perilaku ini bersifat negatif seperti kesulitan pribadi, utang

finansial, gangguan dalam kehidupan keluarga.

Terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya

perilaku compulsive buying. Diantaranya adalah faktor biologis, psikososial,

dan karakteristik psikologis menurut Saraneva & Saaksjarvi (dalam Qoryama,

2017)

1. Faktor Biologis

Jika ditinjau dari faktor biologis, berdasarkan hasil penelitian

ditemukan bahwa para compulsive buyer cenderung memiliki serotonin

yang lebih rendah daripada individu lain, kondisi tersebut akan

menyebabkan tingginya level kecemasan yang dapat memicu individu

untuk mengatasinya dengan cara belanja.

2. Faktor Psikososial

Dalam faktor psikososial, faktor keluarga memiliki peranan yang

sangat penting dan seringkali dianggap sebagai akar munculnya

perilaku compulsive buying. Pengalaman pada saat early childhood

dalam keluarga dimana orangtua terbiasa memberikan hadiah yang

terkadang berupa uang untuk memberikan perasaan senang. Hal ini akan

berdampak pada masa dewasanya, dimana individu yang semasa kecilnya

telah terbiasa bergantung pada materi sebagai bentuk kompensasi dari

dukungan emosional, cenderung akan mengalami compulsive buying

dimana ketika individu mengalami perasaan negatif maka individu akan


melakukan aktivitas belanja secara terus menerus atau berulang untuk

memperoleh hal positif bagi individu tersebut.

3. Faktor Psikologis

Kecemasan merupakan pemicu utama dari compulsive buying, ketika

cemas tersebut muncul maka individu akan melakukan aktivitas

berbelanja dan setelahnya individu merasa berhasil menghilangkan

kecemasannya. Individu lambat laun akan menggunakan cara berbelanja

tersebut ketika individu mendapati periode stress yang menimbulkan

kecemasan sebagai cara untuk mengurangi bahkan menghilangkan

kecemasannya. Selain kecemasan, dalam faktor psikologis

materialisme juga diduga sebagai faktor yang berkaitan dengan

perilaku compulsive buying.


2.3. Kerangka Berpikir

Pemain Game

Online

Membeli Barang Virtual di Dalam

Game

Kecanduan Game Compulsive Buying

Rendah Tinggi Tinggi Rendah

Pembelian Barang di dalam game

cenderung banyak dan berulang

Pembelian Barang virtual dalam

game cenderung sedikit dan jarang


2.4 Hipotesis

Berdasarkan pemaparan landasan teori diatas maka hipotesis dalam

penelitian ini adalah “adanya hubungan antara kecanduan bermain game online

dengan perilaku compulsive buying pada pemain game yang membeli barang

virtual”.

Anda mungkin juga menyukai