Anda di halaman 1dari 152

MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

MENANGGULANGI
KEMISKINAN
DI DAERAH
Upaya Penanggulangan Kemiskinan Pemerintah
Kabupaten dan Kota di Sulawesi Selatan

Dr. AKHMAD, S.E., M.Si


AMIR, SE., M.Si., M.Pd., Ak., CA

Azkiya Publishing
2020

1
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Penulis : Dr. Akhmad, S.E., M.Si


Amir, SE., M.Si., M.Pd., Ak., CA.

Editor : Masud Muhammadiah


Abdul Kodir | Abdul Munir
Desain Cover : Zul

Diterbitkan Oleh :
Azkiya Publishing
Prum Bukit Golp Arcadia Housing F6 No 10
Leuwinaggung Gunung Putri Bogor
Bekerjasama dengan Colli Puji’e FKIP
Sastra UNIBOS

Didistribusikan Oleh:
Pustaka AQ
Nyutran MG II 14020 Yogyakarta
pustaka.aq@gmail.com
HP 0895603733059

ISBN : 978-623-7952-27-5
14x21 cm = xii+140 halaman
Cetakan Pertama Mei 2020

Sanksi pelanggaran pasal 44, Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang


Perubahan atas Undang-undag No.6 Tahun 1982 tentang hak cipta.
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau
denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1 (satu), dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh
juta rupiah).

ii2
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT,


karena dengan izin dan pertolongan-Nya sehingga
penulis dapat Membuat laparan kemajuan hibah
bersaing ini dengan judul: Menanggulangi Kemiskinan
di Daerah
Pada kesempatan ini penulis dengan hati yang
tulus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada, Bapak Dr. Prof. Dr. Abdul Rahman Rahim,
S.E., MM. Selaku Rektor Universitas Muhammadiyah
Makassar, Bapak Ismail Rasulong, S.E, M.M. Selaku
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Muhammadiyah Makassar, Bapak Dr. Ir Dr.
Ir.Abubakar Idhan, MP, selaku Ketua LP3M Unismuh
Makassar, yang membeli kesampatan dan motivasi
kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian
menulisan buku referensi ini.
Ucapkan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada: Direktur Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan yang telah bersedia
membiayai penelitian ini. Kepala L2DIKTI Wilayah
IX Sulawesi yang senantiasa memberi dorongan
kepada penulis untuk melakukan penelitian.
Para responden yang telah bersedia memberikan
iii3
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

data dan keterangan yang dibutuhkan dalam karya ini.


Semua pihak yang telah membetu peneliti yang tidak
sempat penuilis sebut satu per santau namanya dalam
tulisan ini.
Penulis berharap agar karya ini dapat
memberikan kontribusi dan manfaat bagi masyarakat,
pemerintah dan peneliti-peneliti lainnya. Penulis
menyadari bahwa laporan kemujuan masih ini masih
membutuhkan penyempurnaan. Oleh karena itu saran
dan kritik dari berbagai pihak sangat kami harapkan
demi penyempurnaan di masa yang akan datang.

Makassar,
Nopember 2019

Penulis

iv4
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................... iii


Daftar Isi .............................................................. v
Daftar Tabel .........................................................ix
Daftar Gambar .....................................................xi

Bagian 1
Dilema Masyarakat Miskin .................................. 13

Bagian 2
Kebijakan Fiskal dan Desentralisasi Fiskal .......... 19
A. Kebijakan Fiskal ............................................. 19
B. Desentralisasi Fiskal ....................................... 26

Bagian 3
Kemiskinan ......................................................... 33
A. Pengertian Kemiskinan ................................... 33
B. Teori Kemiskinan ........................................... 36
C. Cara Pandang Terhadap Kemiskinan ............... 37

Bagian 4
Metode Penelitian ................................................ 43
A. Lokasi Penelitian ............................................ 43
B. Jenis dan Sumber Data .................................... 43
C. Spesifikasi Model ............................................ 44
I. Blok Fiskal .................................................. 45
II. Blok Permintaan Agregat Daerah ............... 47
II. Blok Kinerja Prekonomian ......................... 47
D. Indentifikasi Model ......................................... 49
E. Metode Pendugaan Model ............................... 51
F. Validasi Model ................................................ 52
G. Simulasi Model .............................................. 54

v5
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Bagian 5
Gambaran Umum Lokasi ..................................... 55
A. Kondisi Geografis ........................................... 55
B. Penduduk dan Tenaga Kerja ........................... 56
C. Kondisi Fiskal Daerah ..................................... 60
D. Penerimaan Daerah ......................................... 60
E. Pendapatan Asli Daerah .................................. 60
F. Transfer Dana dari Pemerintah Daerah ............. 64
G. Pengeluaran Daerah ........................................ 67
H. Belanja Pegawai ............................................. 67
I. Belanja Barang dan Jasa ................................... 68
J. Belanja Modal ................................................. 69
K. Belanja Pendidikan ......................................... 70
L. Belanja Sosial ................................................. 72
M. Kondisi prokonimian ...................................... 73
N. Perkembangan Produk Domestik Regional
Bruto ............................................................... 73
O. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin ........ 74

Bagian 6
Hasil Estimasi ..................................................... 76
A. Hasil Estimasi Blok Fiskal Daerah .................. 76
B. Penerimaan Pemerintah Daerah ...................... 76
C. Pajak Daerah ................................................... 77
D. Retribusi Daerah ............................................. 79
E. Dana Alokasi Umum ....................................... 81
F. Dana Bagi Hasil .............................................. 82
G. Pengeluaran pemerintah Daerah ...................... 84
H. Belanja Pegawai ............................................. 84
I. Belanja Barang dan Jasa ................................... 86
J. Belanja Modal ................................................. 87
K. Belanja Sosial ................................................. 88
L. Kerangka Blok Permintaan Agregat ............... 90

vi
6
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

M. Komsumsi Swasta .......................................... 90


N. Investasi Swasta ............................................ 92
O. Ekspor Daerah ............................................... 95
P. Impor Daerah ................................................. 96
Q. Krangka Blok Kinerja Perekonomian ............. 97
R. Produk Domestik Regional Bruto Sektor Tani. 97
S. Produk Domestik Regional Bruto Sektor
Industri dan Perdagangan ................................ 99

T. Produk Domestik Regional Bruto Sektor


Industri dan Perdagangan ............................... 101
U. Produk Domestik Regional Bruto Sektor Lain 103
V. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian .... 105
W. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Non
Pertanian ....................................................... 108

Bagian 7
Simulasi Model Pengeluaran Pemerintah Daerah. 113
A. Validasi Model .............................................. 113
B. Simulasi Kebijakan ........................................ 115
C. Dampak Peningkatan Belanja Moal 20% ....... 115
D. Dampak peningkatan Total Pengeluaran
Pemerintah 20% ............................................. 117
E. Dampak Peningkatan Investasi 20% ............... 120

Bagian 8
Efektivitas Pengeluaran Pemerintah Daerah
Terhadap Perekonomian dan Kemiskinan ........... 122
A. Analisis Belanja Modal Terhadap Produk
Domestik Regional Bruto .............................. 123
B. Analisis Belanja Modal Terhadap Kemiskinan 126
C. Analisis Belanja Modal Terhadap
Pengangguran .................................................. 129

vii
7
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

D. Analisis Produk Domestik Regional Bruto


Terhadap Kemiskinan ..................................... 131
E. Analisis Produk Domestik Regional Bruto
Terhadap Pengangguran ................................. 133

Bagian 9
A. Kesimpulan ................................................... 138
B. Implikasi Kebijakan ........................................ 141
C. Saran ............................................................. 143

Daftar Pustaka .................................................... 145


Profil Penulis ...................................................... 150

viii
8
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

DAFTAR TABEL

1. Deskripsi Teori Utama Tentang Kemiskinan -37


2. Perkembangan Penduduk Kabupaten Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-2014 - 57
3. Perkembangan Angkatan Kerja Kabupaten Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-2014 - 58
4. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Kabupaten
Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-
2014 - 59
5. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten
Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-
2014- 61
6. Perkembangan Pajak Daerah Kabupaten Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-20014 -62
7. Perkembangan Retribusi Daerah Kabupaten Kota
di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-2014 - 63
8. Perkembangan Dana Alokasi Umum Kabupaten
Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-
2014 - 64
9. Perkembangan Dana Bagi Hasil Kabupaten Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-2014 - 65
10. Perkembangan Dana Alokasi Khusus Kabupaten
Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-2014
- 66

9ix
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

11. Perkembangan Belanja Pegawai Kabupaten Kota di


ProvinsiSulawesi Selatan Tahun 2007-2014 - 67
12. Perkembangan Belanja Barang dan Jasa Kabupaten Kota
di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-2014- 68
13. Perkembangan Belanja Modal Kabupaten Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-2014 - 69
14. Perkembangan Belanja Pendidikan Kabupaten Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-2014 - 71
15. Perkembangan Belanja Sosial Kabupaten Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-2014 - 73
16. Perkembangan PDRB Kabupaten Kota di Provinsi
Sulawesi Selatan Atas Dasar Harga Konstan Tahun
2007-2014 - 74
17. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin Kabupaten
Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-2014 - 75
18. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Fiskal Daerah - 78
19. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Permintaan
Agregat Daerah - 92
20. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Kinerja
Perekonomian - 105
21. Hasil Validasi Model Dampak Pengeluaran Pemerintah
terhadap Kemiskinan Kabupaten Kota di Provinsi
Sulawesi Selatan - 114
22. Dampak Kenaikan Belanja Modal 20 Persen - 116
23. Dampak Kenaikan Total pengeluaran pemerintah 20
Persen - 119
24. Dampak Kenaikan Investasi Pemerintah 20 Persen
- 120

x
10
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

DAFTAR GAMBAR

1. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka


Pendek - 24
2. Dampak Kebijakan Pemerintah dalam Jangka
Panjang - 25
3. Skema Penanggulangan Kemiskinan Dalam Era
Desentralisasi - 41
4. Keterkaitan antar Variabel Model Pengeluaran
Pemerintah Daerah terhadap Kemiskinan
kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan - 49
5. Pola Hubungan antara Pertumbuhan Rata-rata
Belanja Modal dengan Pertumbuhan Rata-rata
Produk Domestik Regional Bruto Tahun 2007-
2010 - 124
6. Pola Hubungan antara Pertumbuhan Rata-rata
Belanja Modal dengan Pertumbuhan Rata-rata
Produk Domestik Regional Bruto Tahun 2011-
2014 - 124
7. Pola Hubungan antara Pertumbuhan Rata-rata
Belanja Modal dengan Rata-rata Penduduk
Miskin Tahun 2007-2010 - 127
8. Pola Hubungan antara Pertumbuhan Rata-rata
Belanja Modal dengan Rata-rata Penduduk
Miskin Tahun 2011-2014 - 128
9. Pola Hubungan antara Pertumbuhan Rata-rata
Belanja Modal dengan Rata-rata Pengangguran

xi
11
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Tahun 2007-2010 - 130


10. Pola Hubungan antara Pertumbuhan Rata-rata
Belanja Modal dengan Rata-rata Pengangguran
Tahun 2011-2014 - 131
11. Pola hubungan Pertumbuhan Rata-rata Produk
Domestik RegionalBruto dengan Tingkat Rata-
rata Kemiskinan Tahun 2007-2010 - 133
12. Pola hubungan Pertumbuhan Rata-rata Produk
Domestik RegionalBruto dengan Tingkat Rata-
rata Kemiskinan Tahun 2011-2014 - 133
13. Pola hubungan Pertumbuhan Rata-rata Produk
Domestik Regional Bruto dengan Tingkat Rata-
rata Pengangguran Tahun 2007-2010 - 136
14. Pola hubungan Pertumbuhan Rata-rata Produk
Domestik Regional Bruto dengan Tingkat Rata-
rata Pengangguran Tahun 2011-2014 - 136

xii
12
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

BAGIAN 1

DILEMA MASYARAKAT MISKIN

K
emiskinan di Indonesia hingga saat ini
masih dianggap sebagai persoalan yang
serius, meskipun jumlah penduduk
miskin terus mengalami penurunan yang cukup
besar terutama selama tahun 1970-an hingga
pertengahan tahun 1990-an. Badan pustat statistik
mengatakan bahwa pada tahun 1976, jumlah
menduduk miskin diperkirakan sebesar 54,2 juta
jiwa atau 40.08 persen dari jumlah penduduk, dan
telah berkurang menjadi 22,5 juta jiwa atau 11,34
pesen dari total penduduk tahun 1996. Hal
tersebut menujukkan bahwa selama kurang waktu
1976 sampai 1996, jumlah penduduk miskin
Indonesia mengalami penurunan rata-rata 6,5
persen per tahun
Krisis ekonomi yang terjadi sejak juli 1997
membawa dampak negatif bagi kehidupan

13
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

masyarakat, yaitu melemahnya kegiatan ekonomi,


memburuknya pelayanan kesehatan dan
pendidikan, memburuknya kondisi prasarana dan
sarana umum. Menurut Badan Pusat Statistik
jumlah penduduk meskin meningkat menjadi 49,6
juta jiwa (24,3 persen) pada tahun 1998.
Sejalan dengan membaiknya kondisi
perekonomian yang diikuti oleh terkendalinya
harga barang dan jasa, dan meningkatnya
pendapatan masyarakat, maka jumlah penduduk
miskin menurun secara bertahap menjadi 30,02
juta jiwa atau 12,49 persen pada tahun 2011. Dari
jumlah penduduk miskin tersebut 18,97 juta jiwa
atau 15,72 persen berada di persedesaan dan 11,05
juta jiwa atau 9,23 persen perada di perkotaan
(Badan Pusat Statistik, 2012).
Dengan jumlah penduduk miskin yang
masih cukup besar ini, maka kemiskinan di
Indonesia masih dianggap sebagai persoalan serius
dan karenanya diperlukan upaya-upaya
pemecahan yang lebih serius di masa yang datang.
Untuk memecahkan masalah kemiskinan
pemerintah telah mengeluarkan berbagai
kebijakan baik yang bersifat umum maupun yang
khusus untuk menangani masalah kemiskinan itu
seperti PNPM Mandiri.
Todaro dan Smith (2009) mendeskripsikan
dengan sangat baik siapa sesunggunya kaum
miskin (the foor) yaitu mereka ini berjumlah lebih

14
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

dari 6 milyar jiwa, nasibnya jauh kurang


beruntung karena sehari-harinya harus hidup
dalam kondisi kekurangan. Mereka tidak memiliki
rumah sendiri, dan kalaupun punya, ukurannya
begitu kecil. Persediaan makanan juga acapkali
tidak memadai. Kondisi kesehatan mereka
umumnya tidak begitu baik atau bahkan buruk,
dan banyak dari mareka yang buta huruf, serta
menganggur. Masa depan mereka untuk mencapai
suatu kehidupan yang lebih baik biasanya suram,
atau sekurang-kurangnya tidak menentu.
Dengan demikian jelas bahwa masalah
kemiskinan sesungguhnya bukanlah semata-mata
masalah kekurangan pendapatan dan harga, akan
tetapi lebih dari pada itu. Masalah kemiskinan
adalah masalah rendahnya kualitas sumberdaya
manusia, kemiskinan adalah masalah sandang,
pangan, dan papan; kemiskinan adalah masalah
lapangan kerja. Intinya kemiskinan adalah
masalah serba kekurangan dan merupakan
fenomena yang banyak terjadi daerah perdesaan
dan pada umumnya bergerak sektor pertanian.
Sejak tahun 2001 bangsa Indonesia memulai
babak baru penyelenggaraan pemerintahan, ketika
diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah,
yaitu Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah kemudian direvisi dengan
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, dan Undang-
Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan

15
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang


selajutnya direvsisi dengan Undang-Undang Nomor 33
tahun 2004
Dalam era otonomi daerah dewasa ini,
pemerintah daerah memiliki wewenang yang hampir
penuh atas penggunaan sumber-sumber fiskal mereka.
Pemerintah provinsi dan kabupaten kota, saat ini
mengelola sekitar 36 persen dari total pengeluaran
publik, dibandingkan dengan kondisi pada pertengahan
1990-an yang hanya berjumlah sekitar 24 persen
(World Bank. 2007).
Kebijakan fiskal adalah bentuk intervensi
pemerintah untuk mempengaruhi jalannya
perekonomian dengan maksud agar keadaan
perekonomian tidak terlalu menyimpang dari keadaan
yang diinginkan dengan alat (policy instrument
variable) berupa Pajak (T), Transfer Pemerintah (Tr),
dan Pengeluaran Pemerintah (G). Kebijakan fiskal
disebut kebijakan anggaran (budgetary policy),
dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), (Romer, 2001).
Provinsi Sulawesi Selatan adalah provinsi yang
terletak di sebelah selatan Pulau Sulawesi dengan luas
daratan 45 574.48 km persegi, meliputi 21 kabupaten
dan tiga kota, dengan jumlah penduduk sebesar 8 032
551 jiwa berdasarkan sensus penduduk tahun 2010,
merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar
di kawasan timur Indonesia. Sekaligus merupakan
provinsi penghasil pengan terbesar yang ada di luar di

16
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Pulau Jawa. Kondisi perekonomian kabupaten kota di


Propinsi Sulawesi Selatan dewasa ini masih
didominasi oleh sektor pertanian, kerena menyediakan
lapangan kerja bagi sebagian besar penduduk. Pada
tahun 2011 tenaga kerja yang terserap pada sektor
pertanian sebesar 49.20 persen, dan penyumbang 29
persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB).
Provinsi Sulawesi Selatan sebagi provinsi
dengan jumlah penduduk terbesar di kawasan timur
Indonesia, dengan sebagian besar penduduknya
hidup pada sektor pertanian, belum dapat
melepaskan diri dengan persoalan kemiskinan.
Data badan pusat statistik Provinsi Sulawesi
Selatan menunjukkan bahwa angka kemiskinan di
daerah ini masih tinggi yaitu 10,29 persen atau
sebesar 832.910 jiwa pada tahun 2011, dari jumlah
tersebut lebih dari dan 80 persen atau sebesar
695.890 jiwa berada di perdesaan dengan mata
pencaharian utama sektor pertanian, dan sisanya
137.020 jiwa berada di perkotaan. Walaupun angka
kemiskinan ini di bawah tingkat rata-rata
kemiskinan nasional 12.49 persen, namun tetap
menjadi persoalan serius dan membutuhkan
keberpihakan dari pemerintah kabupaten dan kota
dalam upaya menanggulangi kemiskinan di
Provinsi Sulawesi Selatan.
Hasil penelitian tahun pertama dan kedua telah
diperoleh model dampak pengeluaran pemerintah

17
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

daerah terhadap kemiskinan kabupaten dan kota di


provinsi Sulawesi Selatan. Di samping itu hasil
simulasi kebijakan diperoleh bahwa belanja sosial dan
belanja pendidikan dapat menurunkan angka
kemiskinan meskipun penurunan tersebut relatif
sangat kecil.
Meskipun demikian hasil penelitian tahun
pertama dan kedua, masih bersifat umum dalam arti
belum diketahui kabupaten atau kota mana yang telah
melakukan keberpihakan terhadap masyarakat miskin,
dalam arti kabupaten mana yang telah melakukan
pengeluaran yang cukup berarti dalam menurunkan
angka kemiskinan di daerahnya. Oleh karena
penelitian pada tahun ketiga ini lebih ditujukan untuk
mengetahui kabupaten dan kota yang telah melakukan
keberpihakan yang berarti dan belum berarti. Hal ini
penting dilakukan agar rekomendasi kebijakan yang
dihasilkan lebih tajam untuk masing-masing daerah
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam era otonomi daerah dewasa ini, maka
peran dan tanggung jawab pemerintah daerah semakin
besar termasuk di dalamnya bagaimana
menanggulangi kemiskinan di daerahnya.

18
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

BAGIAN 2

KEBIJAKAN FISKAL DAN DAN


DESENTRALIASI FISKAL

A. Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal adalah bentuk tindakan


pemerintah untuk mempengaruhi jalannya
perekonomian, dengan tujuan agar perekonomian tidak
terlalu menyimpang dari keadaan yang diinginkan
dengan alat (policy instrument variable) berupa pajak
(T), transfer pemerintah (Tr), dan pengeluaran
pemerintah (G) sebagai levels of spending and taxation
(Romer, 2001; Samuelson dan Nordhaus, 2005).
Kebijakan fiskal disebut juga kebijakan anggaran
(budgetary policy) yang dilakukan melalui anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN), (Muhammad,
2004).
Kebijakan fiskal atau anggaran memiliki tiga
fungsi yaitu, (1) fungsi alokasi (allocation function),
(2) fungsi distribusi (distribution function), dan (3)
fungsi stabilisasi (stabilization function). Fungsi
alokasi berkaitan dengan penyediaan barang sosial

19
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

(social goods), atau proses penggunaan sumberdaya


keseluruhan yang dibagi di antara barang privat
(private goods), dan barang sosial (social goods) serta
kombinasi barang sosial yang dipilih. Fungsi distribusi
berkaitan dengan pembagian pendapatan dan kekayaan
yang lebih adil dan merata kepada masyarakat.
Sedangkan fungsi stabilisasi untuk mempertahankan
tingkat pekerjaan yang tinggi (high employment),
stabilitas tingkat harga-harga, dan tingkat pertumbuhan
ekonomi yang sesuai, serta berpengaruh pada neraca
perdagangan dan pembayaran, (Musgrave, 1991;
Kementrian Keuangan RI, 2010).
Instrumen kebijakan fiskal adalah variabel
belanja pemerintah (G) atau pajak (T). Bersama-sama
dengan variabel konsumsi masyarakat (C), Investasi
Swasta (I) dan net ekspor (X-M), merupakan
komponen yang mempengaruhi output atau pendapatan
nasional (Y). Dalam keseimbangan makro ekonomi
dirumuskan:

Sementara itu Cullis dan Joness, (1992)


mengatakan bahwa instrumen kebijakan fiskal yang
dapat dilakukan oleh pemerintah terdiri atas instrumen
belanja pemerintah dan pajak. Kedua jenis instrumen
ini secara langsung berpengaruh kepada sektor riil,
dalam hal ini mempengaruhi pengeluaran agregat yang
berdampak pada permintaan agregat. Kebijakan

20
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

belanja pemerintah berpengaruh posistif terhadap


permintaan agregat dan pendapatan nasional.
Sementara kebijakan pajak berpengaruh negatif
terhadap permintaan agregat dan pendapatan nasional.
Besarnya pengaruh kedua kebijakan tersebut
ditentukan oleh
efek pengganda (multiplier effect), dimana besarannya
tergantung pada besaran kecenderungan untuk
mengkonsumsi (marginal propensity to consume,
MPC).
Permintaan agregat dapat dinaikkan dengan
cepat hanya melalui kebijakan fiskal (Romer, 2001,
Dornbusch at al. 2008). Anggaran pemerintah
(government budget) adalah bagian penting dalam
model makroekonomi. Keynes mengatakan apabila
perekonomian berada di bawah full employment, maka
permintaan agregat dapat ditingkatkan dengan
meningkatkan pengeluaran pemerintah (G) atau
menurunkan pajak (T) (McCann, 2001). Dalam
pandangan Keynes, pemerintah mempunyai peran
penting untuk mengatur permintaan agregat (AD),
dalam rangka mempertahankan atau menjaga agar
perekonomian mendekati tingkat kesempatan kerja
penuh (full employment level).
Besaran multiplier pengeluaran pemerintah
dapat diturunkan dari persamaan pendapatan nasional
dari sisi pengeluaran:

21
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Untuk ini kita membuat persamaan konsumsi


menjadi:

dimana
a = konsumsi autonomous
b = MPC
T = pajak penghasilan
Dengan mensubtitusi persamaan 3.2 ke
persamaan 3.1 kita dapat menulis persamaan
pendapatan nasional menjadi:

dengan melakukan transformasi, maka


diperoleh:
Y(1-b) = a-bT + I +G+(X-M) ………….
dengan melakukan difrensiasi terhadap G dan T
akan diperoleh persamaan 2.5 dan persamaan 2.6.

Dengan cara yang sama diperoleh pula


multiplier effec dari kebijakan pajak yang juga
merupakan fungsi dari MPC:

22
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Pertanyaan yang muncul, adalah kebijakan


manakah yang sebaiknya digunakan oleh pemerintah
dalam melaksanakan kebijakan fiskal. Dornbusch at
al. (2008) mengatakan bahwa tujuan pemerintah dalam
kebijakan fiskal adalah meningkatkan pendapatan
nasional, penyerapan tenaga kerja, dan stabilisasi
ekonomi. Oleh karena itu kebijakan pengeluaran
pemerintah lebih efektif dibanding dengan kebijakan
pajak. Keynesian berpendapat bahwa besarnya respon
para pelaku ekonomi lebih besar pada pengeluaran
pemerintah dibanding dengan pemotongan pajak.
Pengeluaran pemerintah berdampak langsung pada
permintaan agregat dan multiplier-nya, melalui
konsumsi dan investasi pemerintah. Sementara
kebijakan pengurangan pajak bekerja secara tidak
langsung, melalui pajak pendapatan, dan investasi pada
pajak industri. Oleh karena itu, penelitian ini fokus
pada pengeluaran pemerintah. Jadi model yang
dibangun fokus pada perubahan kebijakan pengeluaran
pemerintah dan dampaknya terhadap kinerja
perekonomian.
Kaum klasik memandang perilaku
perekonomian dalam jangka panjang. Sementara
Keynesian melihat perilaku perekonomian dalam
jangka pendek, karena dalam jangka pendek harga-
harga bersifat kaku. Apabila terjadi ekspansi fiskal
dalam jangka pendek, misalnya pemerintah
meningkatkan pengeluarannya atau pemerintah

23
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

memotong pajak, maka dalam jangka pendek akan


menggeser kurva permintaan agregat ke kanan dari
AD1 menjadi AD2, sehingga akan meningkatkan output
dari Y1 ke Y2. Apabila terjadi kontraksi fiskal,
misalnya pemerintah mengurangi pengeluarannya atau
pemerintah meningkatkan pajak, maka dalam jangka
pendek akan menggeser kurva permintaan agregat ke
kiri dari AD1 menjadi AD0 seperti pada Gambar 1.

Sumber: Dornbusch at al., 2008; Romer, 2001.


Gambar 1: Dampak Kebijakan Pemerintah dalam
Jangka Pendek
Dalam jangka panjang, kebijakan ekspansi
ataupun kontraksi fiskal akan mempengaruhi harga
dalam jangka panjang tetapi tidak akan mempengaruhi
output (Y) dalam jangka panjang. Misalkan
perekonomian dimulai dalam ekuilibrium jangka
panjang pada titik A, kebijakan ekspansi pemerintah

24
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

menyebabkan kurva permintaan agregat bergeser ke


atas dari AD1 menjadi AD2, dimana perekonomian
bergeser dari titik A ke titik D (output berada di atas
tingkat alamiah). Ketika harga naik, output secara
berangsur-angsur kembali ke tingkat alamiah, dan
perekonomian bergerak dari titik D ke E. Seperti pada
gambar 2 di bawah ini:

Sumber: Dornbusch at al. 2008; Romer, 2001.


Gambar 2: Dampak Kebijakan Pemerintah dalam
Jangka Panjang

Sedang kebijakan kontraksi pemerintah


menyebabkan kurva permintaan agregat bergeser ke
bawah dari AD1 menjadi AD0, dimana perekonomian
bergeser dari titik A ke titik B (output berada di bawah
tingkat alamiah). Ketika harga turun, perekonomian
secara perlahan-lahan pulih dari resesi, perekonomian
bergerak dari titik B ke C seperti pada Gambar 2.

25
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

B. Desentralisasi Fiskal

Konsep desentralisasi fiskal yang selama ini


dikenal dengan money follow function (Bahl, 1994)
mensyaratkan bahwa pembagian tugas dan
tanggungjawab kepada pemerintah daerah akan
diiringi dengan pemberian kewenangan kepada
pemerintah daerah dalam hal penerimaan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa hubungan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah perlu dilakukan
pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan
pengeluaran yang menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah dapat dibiaya dengan sumber-sumber
pembiayaan yang ada.
Sejalan dengan hal tersebut kebijakan
desentralisasi fiskal di Indonesia diwujudkan dalam
bentuk pemberian transfer kepada pemerintah daerah
berupa dana perimbangan, dana otonomi khusus dan
penyesuaian, serta dalam bentuk instrumen
peningkatan potensi pendapatan asli daerah (PAD).
Selain kedua kebijakan tersebut pemerintah pusat
juga mengalokasikan anggran kementrian dalam
upaya pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas
perbantuan, (Simanjuntak, 2002; Basri, 2004;
Mardiasmo, 2009)..
Pemberian tanggung jawab yang semakin
besar kepada daerah, harus diikuti oleh kemampuan
daerah untuk memenuhi tingginya kebutuhan
masyarakat akan pelayanan yang semakin baik.

26
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam


mendanai kebutuhan pengeluarannya, dan sekaligus
meningkatkan akuntabilitas daerah, perlu upaya
penguatan kemampuan pemungutan pajak dan
retribusi daerah, (Suparmoko, 2002; Alisjahbana,
2000; Subiyantoro dan Rifat, 2004; Mardiasmo,
2009).
Kebijakan desentralisasi fiskal sesuai Undang-
Undang Nomor 25 tahun 1999, diarahkan untuk:
(1) meningkatkan ketahanan fiskal
berkesinambung-an (fiscal sustainability), (2)
memperkecil ketimpangan keuangan pusat dan
daerah (vertical imbalance), (3) mengkoreksi
ketimpangan kemampuan keuanganantar daerah
(horizontal imbalance), (4)meningkatkan
akutanbilitas,
efektivitas, dan efisiensi kinerja pemerintah daerah,
dan (5) meningkatkan kualitas pelayanan dan
partisipasi masyarakat di sektor publik (Mahi, 2000).
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur
desentralisasi pelimpahan wewenang dan tanggung
jawab di bidang administrasi dan di bidang politik
kepada pemerintah daerah. Dengan adanya pelimpahan
wewenang kepada pemerintahan daerah, dengan
diikuti perimbangan keuangan antara pusat dan daerah,
diharapkan pengelolaan dan penggunaan anggaran
sesuai dengan prinsip, money follows function yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004.
Tetapi mengingat desentralisasi di bidang administrasi

27
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

juga berarti transfer personal (pegawai negeri sipil)


yang penggajiannya menjadi tanggung jawab daerah,
prinsip money follows function, atau sebut saja
penggunaan anggaran sesuai fungsinya, tidak mungkin
berlangsung. Menurut Lewis, (2001), Siregar , (2001).
hal ini terjadi karena dana alokasi umum (DAU) yang
menjadi sumber utama pendapatan daerah, sebagian
besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin,
sehingga anggaran untuk pembangunan menjadi kecil.
Alasan yang mendasari pemikiran bahwa
pengelolaan keuangan negara secara terdesentralisasi
lebih baik dibanding dengan pengelolaan secara
sentralistik adalah karena akan terjadi efisiensi
dalam pengalokasian sumber daya. Desentralisasi
membuat pemerintah lebih responsif terhadap
aspirasi dan preferensi kebutuhan masyarakat
dibanding dengan pemerintah yang terpusat (Lin dan
Liu, 2000; Alm dan Bahl, 2001).
Secara umum, penerimaan pemerintah termasuk
pemerintah daerah dapat bersumber dari pajak (taxes),
retribusi (user charges) dan pinjaman (Musgrave dan
Musgrave, 1991). Hal ini secara eksplisit diatur pada
pasal 79 Undang-Undang Nomor 22/1999. Khusus
untuk pinjaman daerah, Peraturan Pemerintah Nomor
107 tahun 2000 telah memuat ketentuan-ketentuan
yang terkait dengan kapasitas keuangan daerah untuk
meminjam. Semua pinjaman yang dilakukan oleh
pemerintah daerah harus lewat dan seijin pemerintah
pusat, baik itu pinjaman dalam negeri maupun

28
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

pinjaman luar negeri. Tetapi, meskipun perundang-


undangan memperbolehkan daerah melakukan
pinjaman, hingga beberapa tahun ke depan, hal ini
belum diperkenankan oleh pemerintah pusat.
Oleh karena itu, sumber pemerintah daerah
bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD) berupa
penerimaan dari restribusi, dan pajak daerah, maupun
dari bagi hasil dari pajak dan bukan pajak. Pola
transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah merupakan inti dari kebijakan
desentralisasi fiskal. Sistem transfer ini
mempunyai arti yang sangat penting karena
pengeluaran pemerintah daerah sebagian besar,
berasal dari transfer pemerintah pusat. Pada masa
sebelum desentralisasi, program bantuan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
sebagian besar dilakukan dalam bentuk specific
grant. Penentuan alokasi anggaran sudah ditentukan
dari pemerintah pusat dengan format yang kaku
(rigid), sehingga seringkali implementasi di
lapangan banyak terkendala pada urusan
administratif. Dengan desentralisasi pola penyaluran
bantuan pemerintah pusat berubah menjadi block
grant, sehingga perencanaan program,
implementasi dan monitoring serta evaluasi
dilakukan oleh pemerintah daerah. Bentuk block

grant dalam kerangka desentralisasi fiskal berupa


dana alokasi umum (DAU) (Simanjuntak, 2002).

29
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Secara konseptual desentralisasi fiskal


berhubungan dengan perumusan kewenangan atas
sumber-sumber dana yang ada, atau akses terhadap
dana transfer dan pembuatan berbagai keputusan, baik
yang menyangkut pengeluaran rutin maupun
pengeluaran investasi pembangunan (Braun and
Grote dalam Ridyanti, 2009; Ritonga, 2002).
Transfer fiskal merupakan inti dari suatu hubungan
fiskal antar pemerintahan dan memiliki peran penting
dalam mendukung program desentralisasi fiskal,
karena pengeluaran pemerintah daerah dua per
tiganya merupakan dana transfer dari pemerintah
pusat. Dana transfer berupa dana block grant akan
memberikan pengaruh yang lebih efisien terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat dibanding
dengan dana transfer berupa spesific grant
(Simanjuntak, 2002; Poque dan Sgontz, 1978).
Desentralisasi fiskal di Indonesia tentunya akan
berpengaruh terhadap peranan pemerintah daerah dari
sisi penerimaan dan pengeluaran keuangan daerah.
Sumber-sumber keuangan daerah yang diatur dalam
pasal 3 Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999
meliputi : (1) pendapatan asli daerah (PAD) terdiri
atas: (a) pajak daerah, (b) restribusi daerah, (c) hasil
perusahaan daerah (BUMD), (d) hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan (e) lain-lain
pendapatan asli daerah, dan (2) dana perimbangan dari
pemerintah pusat yang terdiri dari: (a) bagi hasil pajak
dan bukan pajak, (b) dana alokasi umum (DAU), dan

30
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

(c) dana alokasi khusus (DAK) (Departemen Dalam


Negeri, 2001).
Pada implementasi desentralisasi fiskal
pemerintah daerah berperan dalam meningkatkan
pendapatan asli daerah dari berbagai sumber seperti
pajak daerah, retribusi daerah, badan usaha milik
daerah dan penerimaan daerah lainnya. Kontribusi
PAD relatif kecil dibandingkan dengan penerimaan
yang berasal dari pusat. Pajak yang memberi
kontribusi terbesar pada PAD masih memiliki
kelemahan di daerah, karena bagian yang paling besar
dari pajak, seperti pajak pendapatan dan pajak
penghasilan masih didominasi oleh pemerintah pusat.
Pada tingkat Provinsi terdapat hanya dua jenis pajak
daerah yang diperkirakan signifikan terhadap
penerimaan daerah seperti Pajak kepemilikan
kendaraan bermotor dan pajak perpanjangan kendaraan
bermotor, sedangkan dua jenis pajak lain seperti pajak
minyak dan pajak eksploitasi air bawah tanah memberi
kontribusi yang tidak signifikan. Pada tingkat
kabupaten kota terdapat tujuh jenis pajak daerah, tetapi
hanya beberapa jenis pajak yang memberi kontribusi
signifikan terhadap penerimaan daerah. Pajak hotel,
pajak restoran, pajak hiburan dan pajak iklan memberi
kontribusi besar di kota, sedang penerimaan penting di
kabupaten yang berasal dari jenis pajak adalah pajak

bahan galian tipe C (Brojonegoro, 2001; Bahl dan Lin,


1994).

31
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Keberhasilan meningkatan penerimaan pajak dan


restribusi daerah tergantung kepada badan pemungut
pajak di daerah yang dikenal dengan dinas pendapatan
daerah (Dispenda). Kemampuan administratif dinas
tersebut akan menentukan apakah penerimaan daerah
dari pajak sama besarnya dengan besarnya potensi
pajak. Walaupun sulit mengharapkan besarnya
penerimaan daerah sama dengan potensi pajak, tetapi
diharapkan selisihnya tidak terlalu signifikan.
Beberapa permasalahan yang krusial dalam hal
pemungutan pajak adalah kelemahan data dan sistem
informasi serta lemahnya tindakan dalam pelaksanaan
undang-undang yang telah ditetapkan. Adminitrasi
harus diperbaiki mulai dari proses pendaftaran hingga
proses pengumpulan. Selanjutnya tindakan yang tegas
dalam mengimplementasikan undang-undang menjadi
prioritas yang menjamin bahwa setiap orang
mempunyai perlakuan yang sama dalam hukum dan
undang-undang (Mahi, 2000; Brodjonegoro dan
Vazques, 2002).

32
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

BAGIAN 3

KEMISKINAN

A. Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan menurut Bappenas, (2008) adalah
kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang laki-
laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya
untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat. Definisi tersebut,
menunjukkan bahwa kemiskinan tidak lagi dipandang
hanya sebatas ketidak mampuan ekonomi, tetapi juga
kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan
perilaku bagi seorang atau sekelompok orang dalam
menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak
dasar yang diakaui secara umum, meliputi:
terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih,
pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup,
rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak
kekerasan atau hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan sosial politik, baik perempuan maupun laki-
laki.
Sejalan dengan hal tersebut Gemmel, (1992);
dan Sen, (2002) melihat kemiskinan dari perspektif
yang lebih luas yaitu minimnya penghasilan, tidak

33
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

tersedianya akses kepada pengetahuan, sumber daya,


serta layanan sosial dan kesehatan, keterasingan dari
arus utama pembangunan dan ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan pokok. Dengan perspektif ini
minimnya penghasilan hanyalah merupakan salah satu
unsur, yang lebih mendasar adalah ketidakmampuan
untuk mengakses sumber-sumber ekonomi.
Untuk mengukur kemiskinan dapat digunakan
beberapa ukuran, badan pusat statisik (BPS)
menggunakan tiga jenis ukuran dalam mengukur
kemiskinan di Indonesia yaitu:
1. Head Count Index (HCI-P0) adalah persentase
penduduk miskin yang berada di bawah garis
kemiskinan.
2. Poverty Gap Index (PGI-P1) indeks kedalaman
kemiskinan, merupakan ukuran rata-rata
kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk
miskin terhadap garis kemiskinan. Oleh karena itu
semakin tinggi nilai indeks, maka semakin jauh
rata-rata pengeluaran penduduk dari garis
kemiskinan.
3. Poverty Saverity Index (PSI-P2), indeks keparahan
kemiskinan, memberikan gambaran mengenai
penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin.
Makin tinggi nilai indeks, maka makin tinggi nilai
ketimpangan pengeluaran di antara penduduk
miskin.

34
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Foster-Greer-Thorbecke merumuskan suatu


ukuran yang digunakan untuk mengukur tingkat
kemiskinan:
a
1 q  z  yi 
Pa  
n i1  z 
.................................

dimana:
a = 0,1,2,
z = Garis kemiskinan
yi = Rata-rata pengeluaran perkapita penduduk
yang berada di bawah garis kemiskinan, yi
<z.
q = Banyaknya penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan
n = Jumlah penduduk

Apabila a=0, maka diperoleh head count index


(HCI), apabila a=1, maka diperoleh poverty gap index
(PGI), dan apabila a=2, maka diperoleh poverty
saverity index (PSI).
Dalam penelitian ini penulis mengacu para
konsep yang digunakan oleh badan pusat statistik
(BPS) dalam mengukur kemiskinan, dimana BPS
mengukur kemiskinan dengan menggunakan ukuran
kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan
pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidak
mampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi
kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang
diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan
adalah menghitung garis kemiskinan terdiri dari dua
komponen yaitu garis kemiskinan makanan dan garis

35
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

kemiskinan non makanan.

B. Teori Kemiskinan
Cheyne, O’Brien dan Belgrave mengemukakan
bahwa ada dua teori utama (grand theory) tentang
kemiskinan, yaitu: (1) teori neo-liberal, dan (2) teori
sosial demokrat. Teori neo-liberal pada intinya
mengatakan bahwa komponen penting dari sebuah
masyarakat adalah kebebasan individu. Menurut
Sherraden (2006) teori tersebut memfokuskan diri pada
tingkah laku individu yang merupakan teori tentang
pilihan, harapan, sikap, motivasi dan kapital manusia
(human capital). Para pendukung teori neo-liberal
berargumen bahwa, kemiskinan merupakan persoalan
individual yang disebabkan oleh kelemahan-
kelemahan individu atau pilihan-pilihan individu yang
bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan
sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas
sebesar-besarnya dan pertumbuhan ekonomi dipacu
setinggi-tingginya. Strategi penanggulangan
kemiskinan bersifat “residual”, sementara, dan hanya
melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya
atau lembaga keagamaan.
Sebaiknya, teori sosial demokrat memandang
bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual,
melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh
adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam
masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok

36
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasya-


rakatan. Meskipun tidak setuju sepenuhnya terhadap
sistem pasar bebas, kaum sosial demokrat tidak
memandang sistem ekonomi kapitalis sebagai sesuatu
yang jahat. Kapitalis masih dipandang sebagai bentuk
pengorganisasian ekonomi yang paling efektif.
Kapitalisme perlu dilengkapi dengan sistem negara
kesejahteraan agar lebih berwajah manusiawi.
Perbedaan antara kedua teori tersebut disajikan dalam
Tabel 1.
Tabel 1: Perbedaan antara teori

C. Cara Pandang Terhadap Kemiskinan


Ada tiga cara pandang untuk memahami suatu

37
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

ideologi, yaitu paham: (1) konservatisme, (2)


liberalisme, dan (3) radikalisme (Swasono, 1987).
Kaum konservatif memandang bahwa kemiskinan
bermula dari karakteristik orang miskin itu sendiri.
Orang miskin karena tidak mau bekerja keras, boros,
tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa
wiraswasta, fatalis, dan tidak ada hasrat untuk
berprestasi. Orang miskin karena memiliki budaya
kemiskinan yang mencakup karakteristik psikologis,
sosial dan ekonomi (Lewis, 1983). Kaum liberal
memandang manusia sebagai makhluk yang baik,
tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan; sedangkan
kaum radikal menekankan peranan struktur ekonomi,
sosial dan politik dan memandang sebagai manusia
makhluk yang kooperatif, produktif dan kreatif.
Menurut Keban (1994) pandangan konservatif
cenderung melihat bahwa program-program
pemerintah yang dirancang untuk mengubah sikap
mental masyarakat miskin merupakan usaha yang sia-
sia karena akan memancing manipulasi kenaikan
jumlah kaum miskin. Kaum liberal memandang orang
miskin sebagai pihak yang mengalami kekurangan
kesempatan untuk memperoleh pendidikan, pelatihan,
pekerjaan dan perumahan yang layak, cenderung
merasa optimis dengan kaum miskin dan menganggap
mereka sebagai sumberdaya yang dapat berkembang
seperti orang-orang kaya. Kaum radikal memandang
bahwa kemiskinan disebabkan struktur kelembagaan
ekonomi dan politik.

38
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Cara pandang yang digunakan dalam penelitian


ini merupakan hasil konvergensi ketiganya karena
berbasis pada ilmu penyuluhan pembangunan yang
bersifat multidisipliner dan interdisipliner (Slamet,
2003), berpikir sistemik (menyeluruh, mendasar dan
mendalam) dan menggunakan kombinasi pende-katan
kualitatif dan kuantitatif.

1. Pendekatan Penanggulangan Kemiskinan


Kikis (2003) mengatakan aktivitas utama dari
penanggulangan kemiskinan selama ini didominasi
oleh dua pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pemenuhan
konsumsi perkapita; dan (2) pendekatan yang berbasis
keluarga. Pendekatan ini memiliki patokan 8 (delapan)
ciri rumahtangga miskin, yaitu: (1) luas lantai rumah
kurang dari 8 m2; (2) jenis lantainya tanah; (3)
menggunakan air hujan atau dari sumber air tak
terlindung sebagai pasokan air bersih; (4) tidak
memiliki jamban; (5) tidak memiliki asset; (6) tidak
ada ketersediaan lauk pauk, atau ada sedikit lauk pauk
tapi tidak bervariasi; (7) tidak pernah terlibat dalam
kegiatan sosial; dan (8) tidak pernah membeli pakaian.
Kedua pendekatan di atas banyak memiliki kelemahan
mendasar, yaitu: (1) tidak membuka peluang bagi
suara dan aspirasi orang miskin; (2) menimbulkan
konsekuensi operasionalisasi teknis kegiatan
penanggulangan kemiskinan menjadi pendekatan
ekonomi yang bersifat kedermawanan; (3) tidak
memiliki kepekaan terhadap keragaman konteks

39
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

wilayah, sektoral maupun kedalaman kemiskinan; (4)


tidak bisa diharapkan dapat menyumbang proses
demokratisasi; (5) mengingkari persoalan yang
menjadi akar masalah.
Suharto (2003) mengemukakan bahwa
paradigma baru studi kemiskinan, antara lain: (1)
kemiskinan sebaiknya tidak hanya dicermati dari
karakteristik orang miskin yang statis, melainkan
dilihat secara dinamis; (2) indikator untuk mengukur
kemiskinan sebaiknya tidak tunggal, melainkan
komposit; (3) konsep kemampuan sosial dipandang
lebih lengkap dari pendapatan dalam memotret
dinamika kemiskinan; dan (4) pengukuran
kemampuan sosial keluarga miskin pada beberapa
indikator kunci yang mencakup kemampuan keluarga
miskin dalam memperoleh mata pencarian, memenuhi
kebutuhan dasar, mengelola aset, berpartisipasi dalam
kegiatan kemasyarakatan, serta kemampuan dalam
menghadapi guncangan dan tekanan.
Menurut Kikis (2003) paham apapun tentang
kemiskinan dan pende-katan apapun dalam
penanggulangan kemiskinan tidak akan ada
manfaatnya jika tidak menyediakan jaminan bagi
penghormatan, perlindungan dan peme-nuhan hak-hak
dasar kaum miskin. Dalam perspektif hak, kaum
miskin dilihat sebagai manusia yang bermartabat.
Perspektif hak memberi prinsip dasar pendekatan
berbasis hak-hak dasar kaum miskin (Dandan dan
Rubens, 2001). Hal ini menjadi inisiatif grand-strategy

40
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

dari paradigma baru dalam penanggu-langan


kemiskinan. Laode Ida (2002) mengemukakan bahwa,
di era desen-tralisasi perlu diintroduksikan skema
penanggulangan kemiskinan alternatif terhadap akar
penyebab kemiskinan (Gambar 3).

Gambar 3 : Skema Penanggulangan Kemiskinan


Dalam Era Desentralisasi

Mencermati beberapa kelemahan paradigma


modernisasi dan realitas tingginya jumlah penduduk
miskin walaupun telah banyak dilakukan intervensi
program penanggulangan kemiskinan, maka paradigma
yang digunakan dalam penelitian ini merupakan

41
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

konvergensi paradigma pembangunan berpusat pada


manusia (Chamber, 1993) dan paradigma pendidikan
kritis (Freire, 2000).

42
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

BAGIAN 4

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Provinsi Sulawesi Selatan terletak di 0°12' - 8°


lintang selatan dan 116°48' - 122°36' bujur timur. Luas
wilayahnya 62 482.54 km². Provinsi Sulawesi Selatan
berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah dan
Provinsi Sulawesi Barat di utara, Teluk Bone dan
Sulawesi Tenggara di timur, Selat Makassar di barat,
dan Laut Flores di selatan.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010,
Provinsi Sulawesi Selatan terbagi atas 21 kabupaten
dan 3 kota dengan jumlah penduduk sebanyak 8
032 551 jiwa. Dalam penelitian ini Provinsi Sulawesi
Selatan dibagi ke dalam 23 kabupaten kota. Kabupaten
Tana Toraja Utara dan Kabupaten Tana Toraja
dimasukkan dalam kabupaten induknya yaitu
Kabupaten Tana Toraja.

B. Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu data primer dan sekunder. Sumber data primer
diperoleh dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) tingkat II, pemerintah daerah tingkat II, pakar
otonomi daerah, lembaga sosial masyarakat, praktisi

43
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

pembangunan, dan tokoh masyarakat. Sementara data


sekunder diperoleh dari BPS Nasional, BPS Provinsi
Sulawesi Selatan, BPS Kabupaten dan Kota,
Kementrian Keuangan, dan pemerintah daerah tingkat
dua.
C. Spesifikasi Model
Model merupakan suatu penjelasan dari
fenomena aktual sebagai suatu sistem atau proses,
sehingga fenomena aktual direpresentasikan oleh
model untuk menjelaskan, memprediksi dan
mengontrolnya. Model ekonometrika merupakan
gambaran dari hubungan masing-masing variabel
penjelas (explanatory variables), terhadap peubah
endogen (dependent variables) khususnya yang
menyangkut tanda dan besaran (magnitude and sign)
dari penduga parameter, sesuai dengan harapan teoritis
secara apriori.
Model yang baik haruslah memenuhi kriteria
teori ekonomi (theoritically meaningful), kriteria
statistika yang dilihat dari suatu derajat ketepatan
(goodness of fit) yang dikenal dengan koefisien
determinasi (R2) serta nyata secara statistik
(statistically significant), serta kriteria ekonometrika
yang menetapkan apakah suatu taksiran memiliki sifat-
sifat yang dibutuhkan seperti unbiasedness,
consistency, sufficiency, dan efficiency. Statistik Dw
adalah suatu kriteria ekonometrika yang digunakan
untuk menguji taksiran, yaitu menguji validitas dari
asumsi autocorrelation (Koutsoyiannis, 1977).

44
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Model ekonometrika dibedakan atas persamaan


tunggal dan persamaan simultan. Persamaan tunggal
adalah persamaan dimana peubah terikat dinyatakan
sebagai sebuah fungsi dari satu atau lebih peubah
bebas, sehingga hubungan sebab akibat antara peubah
terikat dan peubah bebas merupakan hubungan satu
arah. Sedangkan persamaan simultan adalah suatu
persamaan yang membentuk suatu sistem persamaan
yang menggambarkan ketergantungan diantara
berbagai peubah dalam persamaan tersebut.
Penelitian ini menggunakan model
ekonometrika dengan sistem persamaan simultan.
Model sistem persamaan simultan yang dibangun
terdiri atas 26 persamaan meliputi; 18 persamaan
struktural dan 8 persamaan identitas. Model tersebut
dibagi ke dalam tiga blok meliputi blok (1) fiskal, (2)
permintaan agregat, dan (3) kinerja perekonomian.
Model ekonometrika dengan sistem persamaan
simultan yang dibangun adalah:
I. Blok Fiskal
Penerimaan Daerah
1. Pendapatan Asli Daerah
PADit = PAJDit + RETDit + BUMDit + PADLit (1)
2. Pajak Daerah
PAJDit = a0 + a1TPGPDit + a2INVSit + +a3LPAJDit + u1 (2)
parameter estimasi yang diharapkan: a 1, a2, a3, a4 > 0
3. Retribusi Daerah
RETDit = b0 + b1PDRBit + b2TPGPDit + b3POPit +
b4LRETDit + u2 (3)
parameter estimasi yang diharapkan: b1, b2, b3, b4>0

45
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

4. Dana Alokasi Umum


DAUit = c0 + c1PNSit + c2LDKit + c3POPit +c4INFLit + u3
(4)
parameter estimasi yang diharapkan: c1, < 0 ; c2, c3, c4, c5 >0
5. Dana Bagi Hasil
DBHit = d0 + d1POPit + + d2TRENit + d3INFLit + d4LDBH +
u4 (5)
parameter estimasi yang diharapkan: d1, d2, d3 >0

6. Total Penerimaan Daerah


TPDit = PADit + DAUit + DBHit + DAKit + PLDit (6)

Pengeluaran Daerah

7. Pengeluaran Belanja Pegawai


BPGWit = e0 + e1PNSit + e2DAUit + e3TRENit + t +
e4LBPGWit+ u 5 (7)
parameter estimasi yang diharapkan: e1, e2, e3, e4 >0
8. Pengeluaran Belanja Barang dan Jasa
BBJit = f0 + f1DAUit + f2DBHit + f3LBBJit + u6 (8)
parameter estimasi yang diharapkan: f1, f2, f3, f4 >0
9. Pengeluaran Belanja Modal
BMDit = g0 + g1PADit + g2DBHit + g3DAK it + g4LBMDit u7
(9)
parameter estimasi yang diharapkan: g1, g2, g3, g4 >0
10. Belanja Sosial (BSOS)
BSOSit = h0 + h2PADit + h2LDKit + h3MISKit+ h4TRENit +
h5LBLLit + u8 (10)
Parameter estimates of the expected: h1, h2, h3, h4> 0
11. Total Pengeluaran Pemerintah Daerah
TPGPDit = BPGWit + BBJit + BMDit + BSOSit (11)

46
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

II. Blok Permintaan Agregat Daerah

1. Pengeluaran Konsumsi Swasta


KONSit = i0 + i1PDRBit + i2BPGWit + i3INFLit +
i4LKONSit + u9
parameter estimasi yang diharapkan: i1, i2, i3 , i4 , > 0; i4 < 0
2. Investasi Swasta
INVSit = i0 + i1 BMDit + i2PAJDit + i3 KONSit + i4SBIit +
i5LINVSWit + u10 (13)
parameter estimasi yang diharapkan: i1, i3, i5 > 0; i2, i4< 0
3. Ekspor Daerah
EXPDit = j0 + j1NTRPit + j2INFL + j34LEXPDit + u11 (14)
parameter estimasi yang diharapkan: j1, j3 < 0; j2, j4 > 0
4. Impor Daerah
IMPDit = k0 + k1NTRPit + k2INVSit + k3LIMPDit + u12 (15)
parameter estimasi yang diharapkan: k1, k2, k3 > 0
5. Ekspor bersih
NEXP = EXPDit - IMPDit (16)

III. Blok Kinerja Perekonomian

1. PDRB Sektor Pertanian


PDRBSPit = m0 + m1 INVSit + m2KONSit + m3LPDRBSPit
+ u13 (17)
parameter estimasi yang diharapkan: m1, m2 , m3, > 0
2. PDRB Sektor Industri dan Perdagangan
PDRBIPit = n0 + n1 INVSit + n2NEXPit + n3LPDRBIPit +
u14 (18)
parameter estimasi yang diharapkan: n1, , n3, > 0; n2 < 0
3. PDRB Sektor Lainnya
PDRBSLit = o0 + o1PTKNPit + o2INVSit + o3BBTBL it + o4INFit +
o4LPDRBSL it + u15 (19)
parameter estimasi yang diharapkan: o1, o2 , o3, o4, > 0

47
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

4. Produk Domestik Regional Bruto


PDRBit = PDRBSPit + PDRBIP it + PDRBSLit (20)
5. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian
PTKSPit = p0+ p1AKKit + p2INVSit + p3LPTKSPit +u16 (21)
parameter estimasi yang diharapkan: p1, p2, p3 > 0
6. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor non Pertanian
PTKNPit = q0 + q1INVSit + q2UMPit + q3SBIit + q4INFLit +
q3LPTKNPit + u17 (22)
parameter estimasi yang diharapkan: q1, q5 ,> 0; q2, q3, q4, <0
7. Total Penyerapan Tenaga Kerja
PTKit = PTKSPit + PTKNP (23)
8. Pengangguran
UNEPit = AKKit - PTKit (24)
9. Kemiskinan
MISKit = r0 + r1 IPMit + r2 INVSit + r3BSOSit + r4ITKit +
r5LMISKit + u18 (25)
parameter estimasi yang diharapkan: r 2, r5 > 0; r1, r3, r4 < 0
Keterkaitan antara variabel dalam model dapat
dilihat pada Gambar 4.

48
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Gambar 4 : Keterkaitan antar Variabel Model


Pengeluaran Pemerintah Daerah terhadap
Kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi
Sulawesi Selatan

D. Identifikasi Model
Identifikasi model ditentukan atas dasar ”order
condition” sebagai syarat keharusan dan ”rank
condition” sebagai syarat kecukupan. Menurut
Koutsoyiannis (1977), rumusan identifikasi model
persamaan struktural berdasarkan order condition
ditentukan oleh:

49
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

(K–M)>(G–1) ............................................... (28)


dimana:
K : Total peubah dalam model, yaitu peubah
endogen dan peubah predetermined.
M : Jumlah peubah endogen dan eksogen yang
termasuk dalam satu persamaan tertentu
dalam model.
G :Total persamaan dalam model, yaitu jumlah
peubah endogen dalam model.
Berdasarkan order condition tersebut, apabila:
(K-M) > (G-1) : maka persamaan dinyatakan
teridentifikasi secara berlebih
(over identified)
(K-M)=(G-1) : maka persamaan dinyatakan
teridentifikasi secara tepat
(exactly identified)
(K-M)<(G-1) : maka persamaan dinyatakan
tidak teridentifikasi
(unidentified)
Hasil identifikasi untuk setiap persamaan
struktural haruslah exactly identified atau over
identified untuk dapat menduga parameter-
parameternya.
Kendati suatu persamaan memenuhi order
condition, mungkin saja persamaan ini tidak
teridentifikasi. Karena itu dalam proses identifikasi
diperlukan suatu syarat perlu sekaligus syarat cukup.
Hal itu dituangkan dalam rank condition, untuk

50
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

identifikasi yang menyatakan bahwa dalam suatu


persamaan teridentifikasi jika dan hanya jika
dimungkinkan untuk membentuk minimal satu
determinan bukan nol pada order (G-1) dari parameter
struktural peubah yang tidak termasuk dalam
persamaan tersebut, atau dengan kata lain kondisi rank
ditentukan oleh determinan turunan persamaan
struktural yang nilainya tidak sama dengan nol
(Koutsoyiannis, 1977).
Dengan mengikuti prosedur identifikasi yang
telah diuraikan di atas, maka dari model dampak
kebijakan fiskal terhadap kemiskinan kabupaten kota
di Provinsi Sulawesi Selatan dapat diketahui, bahwa
jumlah predetermined variables adalah 56, sedangkan
jumlah persamaan (G) adalah 24 yang terdiri dari 18
persamaan struktural dan 6 persamaan identitas
sehingga K = 56, M = 5 dan G = 25, maka K – M = 56
– 5 = 51 dan G – 1 = 25 –1 = 24, maka (K – M) > (G
– 1) (51>24). Oleh karena itu berdasarkan kriteria
order condition maka persamaan dinyatakan
teridentifikasi secara berlebih (over identified)
sehingga dapat diduga parameter-parameternya.

E. Metode Pendugaan Model


Dari hasil identifikasi model, maka model
dinyatakan over identified, sehingga dalam penelitian
ini pendugaan model dilakukan dengan metode 2SLS
(two stage least squares) karena metode 2SLS cocok
untuk persamaan simultan yang over identified, dapat

51
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

digunakan pada jumlah sampel yang relatif sedikit dan


tidak sensitif terhadap modifikasi (respesifikasi)
model, baik untuk analisis struktural maupun untuk
analisis simulasi dan peramalan. Pengolahan data
dilakukan dengan menggunakan program software
komputer SAS versi 9.0.
Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel
penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau
tidak terhadap variabel endogen, maka pada setiap
persamaan digunakan uji statistik F, dan untuk menguji
apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruh
nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada
setiap persamaan digunakan uji statistik t.

F. Validasi Model
Untuk mengetahui apakah model cukup valid
untuk membuat suatu simulasi alternatif kebijakan dan
peramalan, maka perlu dilakukan suatu validasi model,
dengan tujuan untuk menganalisis sejauh mana model
tersebut dapat mewakili dunia nyata.
Dalam penelitian ini, kriteria statistik untuk
validasi nilai pendugaan model ekonometrika yang
digunakan adalah root means squares error (RMSE),
root means squares percent error (RMSPE) dan theil’s
inequality coefficient (U) (Pindyck and Rubinfield,
1991). Kriteria-kriteria tersebut dirumuskan sebagai
berikut:

RMSE = 1 n

 Yt s  Yt a
n t 1

2
……………..(3.27)

52
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

2
1 n  Yt s  Yt a 
RMSPE = 
n t 1  Yt a

 ………….(3.28)

1 n

 Yt s  Yt a 
2

U= n t 1 ……. (3.29)
1 n
n t 1
 
 Yt s
2

1 n
 Yt a
n t 1
  2

dimana:
Yt s : nilai hasil simulasi dasar dari variabel observasi
Yt a : nilai aktual variabel observasi
n: jumlah periode observasi

Statistik RMSPE digunakan untuk mengukur


seberapa jauh nilai-nilai peubah endogen hasil
pendugaan menyimpang dari alur nilai-nilai aktualnya
dalam ukuran relatif (persen), atau seberapa dekat nilai
dugaan itu mengikuti perkembangan nilai aktualnya.
Sedangkan nilai statistik U bermanfaat untuk
mengetahui kemampuan model untuk analisis simulasi
peramalan. Nilai koefisien Theil (U) berkisar antara 1
dan 0. Jika U=0 maka pendugaan model sempurna,
jika U=1 maka pendugaan model naif. Untuk melihat
keeratan arah (slope) antara aktual dengan hasil yang
disimulasi dilihat dari nilai koefisien determinasinya
(R2). Pada dasarnya makin kecil nilai RMSPE dan U-
Theil’s dan makin besar nilai R2, maka pendugaan
model semakin baik.

53
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

G. Simulasi Model
Simulasi pada dasarnya merupakan solusi
matematis (mathematical solution) dari berbagai
kumpulan persamaan secara simultan. Dengan
demikian simulasi model menunjuk kepada
sekumpulan persamaan (set of equations). Simulasi
model dilakukan dengan berbagai alasan, misalnya
untuk pengujian dan evaluasi model, analisis kebijakan
historis dan untuk peramalan (Pindyck dan Rubinfield,
1991).
Berdasarkan data empirik dan memperhatikan
tinjauan teoritik dampak kebijakan fiskal terhadap
perekonomian kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Selatan, maka simulasi kebijakan terutama
ditujukan untuk keperluan analisis kebijakan historis
(historical policy analysis). Analisis simulasi
kebijakan yang dimaksud, untuk melihat dampak
kebijakan pengeluaran pemerintah pembangunan
sektor pertanian dan kemiskinan kabupaten kota di
Provinsi Sulawesi Selatan.
Oleh sebab itu, simulasi kebijakan dalam
penelitian ini terdiri atas:
1. Meningkatkan Belanja modal 20 persen
2. Meningkatkan total pengeluaran pemerintah 20
persen.
3. Meningkatkan investasi swasta 20 persen.

54
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

BAGIAN 5

GAMBARAN UMUM LOKASI

A. Kondisi Geografis

Kondisi geografis Provinsi Sulawesi


Selatan berada di bagian tengah Indonesia, terletak
pada garis 116˚48’ - 122˚36’ bujur timur dan antara
0˚12’ - 8˚ lintang selatan. Di sebelah utara,
berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat dan
Sulawesi Tengah, sebelah timur dengan Teluk Bone dan
Provinsi Sulawesi Tenggara, sebelah selatan Laut
Flores, sebelah barat Selat Makassar, dengan
luas total mencapai 45 519.24 km2. Secara
administrasi, pada tahun 2009 Provinsi Sulawesi
Selatan memiliki 24 kabupaten kota terdiri atas 21
Kabupaten, 3 Kota, 304 Kecamatan, 2 182 Desa, dan
764 Kelurahan.
Jumlah sungai yang mengaliri wilayah Provinsi
Sulawesi Selatan tercatat sekitar 65 aliran sungai
dengan jumlah aliran terbesar di Kabupaten Luwu,
yakni 25 aliran sungai. Sungai terpanjang tercatat ada
satu sungai yakni Sungai Saddang dengan panjang 150
km, yang mengalir Kabupaten Tana Toraja, Enrekang,
dan Pinrang.

55
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Di Provinsi Sulawesi Selatan terdapat empat


danau yaitu: Danau Tempe dan Sidenreng yang berada
di Kabupaten Wajo, serta Danau Matana dan Towuti
yang berlokasi di Kabupaten Luwu Timur. Adapun
jumlah gunung tercatat sebanyak 7 gunung dengan
gunung tertinggi adalah Gunung Rantemario dengan
ketinggian 3 470 m di atas permukaan air laut. Gunung
ini terletak di Kabupaten Enrekang dan Luwu.
Secara historis dan budaya Provinsi Sulawesi
Selatan memiliki potensi keragaman yang sangat
tinggi. Provinsi Sulawesi Selatan pada awalnya
mencakup empat etnis besar yakni Bugis,
Makassar, Toraja, dan Mandar, serta berbagai sub-
etnis lainnya. Dalam perkembangannya, Provinsi
Sulawesi Selatan mengalami pemekaran wilayah,
Kabupaten Polewali Mamasa, Mamuju, dan
Majene yang dominan etnis Mandar tergabung
dalam provinsi baru yakni Provinsi Sulawesi Barat.

B. Penduduk dan Tenaga Kerja


Perkembangan jumlah penduduk kabupaten kota
di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel 2
di bawah ini. Perkembangan Penduduk Kabupaten
Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-2014

Tabel 2: Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi


Sulawesi Selatan Berbagai Tahun

56
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah penduduk


kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan pada
tahun 2014 tercatat 8.432.163 jiwa. Pertumbuhan
penduduk kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan
selama tahun 2007 sampai dengan 2014 rata-rata 1.19
persen per tahun, dimana Kabupa ten LuwuTimur
Utara dan Kota Palopo, merupakan kabupaten dan kota
dengan pertumbuhan penduduk tertinggi masing-
masing 2.51 persen dan 2,48 persen per tahun.
Sementara Kabupaten Tana Toraja, Soppeng, dan
Luwu Utara adalah tiga kabupaten dengan tingkat

57
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

pertumbuhan penduduk negatif, masing-masing


sebesar -0.03 persen, -0,14 persen, dan -0.22 persen
per tahun.
Sementara perkembangan angkatan kerja
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Perkembangan Angkatan Kerja Kabupaten
Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2007-2014

Tabel 3 menunjukkan bahwa jumlah angkatan


kerja kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan pada
tahun 2014 tercatat 3.582.380 jiwa.

58
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Selanjutnya perkembangan jumlah tenaga kerja


kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan dapat
dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja


Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2007-2014

Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah penyerapan


tenaga kerja kabupaten/ kota di Provinsi Sulawesi
Selatan pada tahun 2014 tercatat 3.327.005 jiwa.

59
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

C. Kondisi Fiskal Daerah


Kondisi fiskal daerah pada dasarnya terdiri atas
penerimaan dan pengeluaran daerah.

D. Penerimaan Daerah
Struktur penerimaan fiskal daerah kabupaten
kota di Indonesia termasuk Provinsi Sulawesi Selatan
terdisi atas: (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang
meliputi: pajak daerah, retribusi daerah, laba Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD), dan pendapatan asli
daerah lainnya, (2) transfer dari pemerintah pusat,
terdiri atas: Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH),
dan (3) pendapatan lain daerah.

E. Pendapatan Asli Daerah


Pendapatan asli daerah kabupaten kota di
Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel 5.

60
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Tabel 5. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah


Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2007-2014

Pendapatan Asli Daerah (PAD) kabupaten kota


di Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2014 tercatat
1.973.887 juta rupiah. Pendapatan asli daerah
kabupaten/ kota di Provinsi Sulawesi Selatan
menunjukkan peningkatan rata-rata sebesar 30.28
persen per tahun selama delapan tahun terakhir.

61
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Perkembangan pajak daerah kabupaten kota di


Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Perkembangan Pajak Daerah Kabupaten
Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2007-20014

Pajak daerah kabupaten ota merupakan salah satu


sumber utama dalam penerimaan daerah, dan termasuk
dalam komponen pendapatan asli daerah. Pajak daerah
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan pada
tahun 2014 tercatat 982.110 juta rupiah. Tabel 5
menunjukkan bahwa pajak daerah kabupaten kota di
Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan peningkatan
rata-rata besar 64,99 persen per tahun selama tujuh

62
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

tahun terakhir. Semua kabupaten dan kota mengalami


pertumbuhan pajak daerah yang positif. Kabupaten
Luwu Gowa, dan kabupaten Luwu Timur adalah dua
kabupaten dan yang memiliki tingkat pertumbuhan di
atas 100 persen, yaitu masing-masing 112,78 persen,
dan 319,19 persen
Perkembangan retribusi daerah kabupaten kota di
Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Perkembangan Retribusi Daerah
Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2007-2014

Retribusi daerah kabupaten kota di Provinsi


Sulawesi Selatan pada tahun 2013 tercatat 437.198

63
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

juta rupiah. Retribusi daerah kabupaten kota di


Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan peningkatan
rata-rata besar 13,37 persen per tahun selama tujuh
tahun terakhir, namun demikian terdapat stiga
kabupaten kota yang mengalami pertumbuhan retribusi
daerah yang negatif, yaitu Kabupaten Barru, Bone, dan
Kota Palopo.

F. Tranfer Dana dari Pemerintah Pusat

Transfer dana dari pemerintah pusat terdiri atas


tiga jenis yaitu: Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Penerimaan kabupaten kota di Provinsi Sulawesi
Selatan yang bersumber dari DAU dapat dilihat pada
Tabel 8.
Tabel 8. Perkembangan Dana Alokasi Umum
Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2007-2014

64
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan dana transfer


fiskal dari pemerintah pusat, diharapkan dapat
mengurangi kesenjangan antar daerah di Indonesia,
menunjukkan peningkatan rata-rata sebesar 13,37
persen per tahun. Tercatat bahwa jumlah dana alokasi
umum kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan
pada tahun 2014 sebesar 13.976.928 juta rupiah.
DAU merupakan variabel penerimaan terbesar
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan terbesar
dalam tujuh tahun terkhir.
Perkembangan Dana Bagi Hasil (DBH)
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan dapat
dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Perkembangan Dana Bagi Hasil Kabupaten


Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-2014

65
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Dana Bagi Hasil (DBH) yang juga merupakan


dana transfer fiskal dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah, merupakan pembagian atas pajak
dan sumberdaya alam yang diperoleh dari daerah
tersebut. Penerimaan DBH kabupaten kota di Provinsi
Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan rata-rata
sebesar -0.80 persen per tahun. Tabel 8 menunjukkan
bahwa jumlah DBH kabupaten kota di Provinsi
Sulawesi Selatan pada tahun 2014 sebesar 684.548
juta rupiah.
Perkembangan Dana Alokasi Khusus (DAK)
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan dapat
dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Perkembangan Dana Alokasi Khusus


Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2007-2014

66
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Penerimaan DAK kabupaten kota di Provinsi


Sulawesi Selatan menunjukkan peningkatan rata-rata
sebesar 6.21 persen per tahun. Tabel 9 menunjukkan
bahwa jumlah DAK kabupaten kota di Provinsi
Sulawesi Selatan pada tahun 2014 sebesar 1.471.512
juta rupiah.

G. Pengeluaran Daerah
Dalam penelitian ini pengeluaran daerah
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan dibagi ke
dalam 5 jenis pengeluaran/belanja yaitu; belanja
pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal,
belanja pendidikan, belanja sosial, dan belanja lain-
lain.
H. Belanja Pegawai
Belanja pegawai merupakan komponen
pengeluaran terbesar yang dilakukan oleh pemerintah
kabupaten kota di Provinsi Selatan. Perkembangan
Belanja Pegawai Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2007-2014. Seperti tabel 11.
Tabel 11. Perkembangan Belanja Pegawai Kabupaten
Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2007-2014.

67
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah belanja


pegawai pada tahun 2014 tercatat sebesar 11.302.927
juta. Perkembangan belanja pegawai kabupaten kota di
Provinsi Sulawesi Selatan selama enam tahun terakhir
menunjukkan peningkatan rata-rata sebesar 10.77
persen per tahun.

I. Belanja Barang dan Jasa

Belanja barang dan jasa merupakan jenis


pengeluaran pemerintah yang dimaksudkan untuk
pengadaan barang dan jasa yang digunakan untuk
menjalankan pemerintahan. Lihat pada tabel 12 di
bawah ini
Tabel 12. Perkembangan Belanja Barang dan Jasa
Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2007-2014.

Tabel 12 menunjukkan bahwa jumlah belanja

68
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

barang dan jasa pada tahun 2014 tercatat sebesar


4.604.052 juta. Perkembangan belanja barang dan jasa
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan selama
delapan tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang
cukup besar, rata-rata sebesar 14,82 persen per tahun.
Kabupaten Jeneponto, Pangkep, dan Kabupaten Tana
Toraja merupakan tiga kabupaten kota yang memiliki
pertumbuhan belanja barang dan jasa yang cukup besar
masing-masing meningkat sebesar 23,16 persen, 23,21
persen dan 26,05 persen per tahun.
J. Belanja Modal

Dalam penelitian ini belanja modal


dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu, belanja
modal sektor pertanian, dan belanja modal sektor
lainnya.
Tabel 13. Perkembangan Belanja Modal Kabupaten
Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2007-2014

69
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Tabel 13 menunjukkan bahwa jumlah belanja


modal pada tahun 2014 tercatat sebesar 4.815.972
juta. Perkembangan belanja modal kabupaten kota di
Provinsi Sulawesi Selatan selama tujuh tahun terakhir
menunjukkan peningkatan rata-rata sebesar 4.78
persen per tahun. Kabupaten Gowa, Kabuoaten Tana
Toraja dan Kota Makassar adalah tiga kabupaten kota
yang memiliki pertumbuhan belanja modal yang
sangat besar masing-masing meningkat sebesar 20,91
persen, 12,88, dan 17,69 persen per tahun, namun
terdapat 7 kabupaten kota yang tingkat pertumbuhan
modalnya negatif, yaitu masing Kabupaten;
Bangtaeng, Sinjai, Barru, Bone, Enrekang, Kota Pare-
pare dan Kota Palopo.

K. Belanja Pendidikan

Belanja pendidikan yang dimaksud dalam


penelitian ini adalah belanja pemerintah daerah
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan untuk
membiaya pendidikan dasar dan menengah pada
masing-masing kabupaten dan kota di Provinsi
Sulawesi Selatan.
Perkembangan belanja pendidikan pemerintah
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan dapat
dilihat pada Tabel 14.

70
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Tabel 14. Perkembangan Belanja Pendidikan


Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2007-2014

Tabel 14 menunjukkan bahwa jumlah


pendidikan pemerintah kabupaten kota di Provinsi
Sulawesi Selatan pada tahun 2014 tercatat sebesar
8.201.625 juta. Perkembangan belanja pendidikan
kabupaten kota di Provinsi Selatan selama enam tahun
terakhir menunjukkan kenaikan rata-rata sebesar 23,42
persen per tahun.

71
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

L. Belanja Sosial

Perkembangan belanja sosial pemerintah


kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan dapat
dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Perkembangan Belanja Sosial Kabupaten
Kota di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun
2007-2014

Tabel 15 di atas menunjukkan bahwa jumlah


pendidikan pemerintah kabupaten kota di Provinsi
Sulawesi Selatan pada tahun 2013 tercatat sebesar
7.372.719 juta. Perkembangan belanja pendidikan
kabupaten kota di Provinsi Selatan selama enam tahun
terakhir menunjukkan kenaikan rata-rata sebesar 25,40
persen per tahun.

72
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

M. Kondisi Perekonomian
Pada bagian ini akan diuraikan kondisi
perekonomian kabupaten kota di Provinsi Sulawesi
Selatan meliputi, perkembangan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB), perkembangan
pengangguran, dan perkembangan jumlah penduduk
miskin Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi Selatan.

N. Perkembangan Produk Domestik Regional


Bruto
Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan
dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Perkembangan PDRB Kabupaten Kota di
Provinsi Sulawesi Selatan Atas Dasar
Harga Konstan Tahun 2007-2014

73
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto


(PDRB) adalah merupakan salah satu tolok ukur utama
perekonomian suatu negara atau daerah. Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu negara atau
daerah dapat diukur dari sisi konsumsi dan produksi.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari sisi
produksi dapat dilihat dengan menjumlahkan output
pada seluruh sektor yang ada dalam perekonomian
suatu negara atau daerah.
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah PDRB
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan pada
tahun 2014 tercatat sebesar 68.425,51 milyar rupiah.
Perkembangan PDRB kabupaten kota di Provinsi
Sulawesi Selatan selama enam tahun terakhir
menunjukkan peningkatan rata-rata sebesar
7.36persen per tahun. Semua kabupaten kota di
Provinsi Sulawesi Selatan, mengalami pertumbuhan
PDRB, dimana Kabupaten Pangkap, Bone dan Wajo
merupakan kabupaten kota yang mengalami
pertumbuhan PDRB terbesar, masing-masing 10,42
persen, 9,54 persen dan 9.68 persen per tahun. Hanya
terdapat satu kabupaten yang mengalami pertumbuhan
PDRB di bawah 5 persen per tahun, yaitu Kabupaten
Maros, yaitu sebesar 4.74 persen per tahun.

O. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin

Perkembangan jumlah penduduk miskin


kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan dapat
dilihat pada Tabel 16..

74
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Jumlah penduduk miskin kabupaten kota di


Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2014 tercatat
806.320 jiwa dari 1.038.300 pada tahun 2007. Dengan
rata-rata penurunan sebesar 2,79 persen per tahun.
Semua Kabupaten kota yang ada mengalami
penurunan angka kemiskinan kecuali satu kabupaten
yaitu kabupaten Soppeng.

Tabel 17. Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin


Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2007-2014.

75
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

BAGIAN 6

HASIL ESTIMASI

A. Hasil Estimasi Blok Fiskal Daerah


Dalam penelitian ini, blok fiskal daerah dibagi
ke dalam dua sub blok yaitu sub blok penerimaan
pemerintah daerah, dan sub blok pengeluaran
pemerintah daerah.

B. Penerimaan Pemerintah Daerah


Penerimaan pemerintah daerah terdiri dari atas
pendapatan asli daerah, dana transfer, dan penerimaan
lain daerah. Pendapatan asli daerah terdiri atas; pajak
daerah, retribusi daerah, laba badan usaha milik
daerah, dan pendapatan asli daerah lainnya. Sementara
dana transfer terdiri atas; dana alokasi umum, dana
bagi hasil, dan dana alokasi khusus. Dalam model ini
penerimaan daerah, yang dimasukkan sebagai
persamaan struktural yaitu; pajak daerah, retribusi
daerah, dana alokasi umum, dan dana bagi hasil.

76
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

C. Pajak Daerah
Hasil pendugaan model persamaan pajak daerah
sebagai sumber utama penerimaan daerah dalam era
otonomi dewasa ini, menunjukkan nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0,9553. Hal tersebut
menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas, total
pengeluaran pemerintah daerah, jumlah investasi, dan
pajak daerah tahun sebelumnya secara bersama-sama
dapat menjelaskan 95,53 persen fluktuasi variabel
pajak daerah pada taraf nyata (α) 0.0001, yang
ditunjukkan oleh F dengan nilai 398,.63, hal ini dapat
dilihat pada Tabel 17.
Jumlah investasi berpengaruh positif namun
tidak nyata terhadap pajak daerah. Koefisien elastisitas
investasi terhadap pajak daerah sebesar 0.0422 dalam
jangka pendek dan 0.4734 dalam jangka panjang.
Artinya peningkatan jumlah investasi swasta sebesar
100 persen akan meningkatkan pajak daerah sebesar
4,22 persen dalam jangka pendek dan 47.34 persen
dalam jangka panjang. Temuan ini cukup wajar, karena
secara teoritis pemerintah daerah diberi kewenangan
untuk melakukan pungutan pajak usaha yang ada di
daerahnya. Jadi meningkatnya jumlah investasi, berarti
jumlah usaha semakin meningkat, dan merupakan
potensi bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan
penerimaannya.

77
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Tabel 18. Hasil estimasi parameter persamaan fiscal


daerah

78
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Total pengeluaran pemerintah daerah


berpengaruh positif namun tidak nyata terhadap pajak
daerah. Koefisien elastisitas total pengeluaran
pemerintah daerah terhadap pajak daerah sebesar
0.1685dalam jangka pendek dan 1.8888 dalam jangka
panjang. Artinya peningkatan total pengeluaran
pemerintah daerah sebesar 100 persen akan
meningkatkan pajak daerah sebesar 16,85 persen
dalam jangka pendek, dan 188,88 persen dalam jangka
panjang. Temuan ini cukup wajar, karena secara
teoritis apabila pengeluaran pemerintah daerah
meningkat, maka tentunya harus diimbangi dengan
meningkatnya penerimaan, guna menghindari defisit
anggaran yang terlalu besar. Artinya ketika terjadi
kenaikan pengeluaran, maka ada tekanan pada
pemerintah daerah untuk menggali potensi pajak yang
ada di daerahnya.
Pajak daerah tahun sebelumnya berpengaruh
positif dan nyata terhadap pajak daerah. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pemerintah daerah pada dasarnya
menginginkan bahwa, pajak yang dipungut pada tahun
berjalan tidak lebih rendah dari pada pajak yang
dipungut pada tahun sebelumnya.

D. Retribusi Daerah
Hasil pendugaan model persamaan retribusi
daerah menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2)
sebesar 0.87455. Hal tersebut menunjukkan bahwa

79
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

variabel-variabel penjelas produk domestik regional


bruto, total pengeluaran pemerintah daerah, jumlah
populasi, dan retribusi daerah tahun sebelumnya
secara bersama-sama dapat menjelaskan 87.75 persen
fluktuasi variabel retribusi daerah pada taraf nyata (α)
0.0001, yang ditunjukkan oleh F dengan nilai 95.86,
hal tersebut dapat dilihat pada Tabel di atas.
Total pengeluaran pemerintah daerah
berpengaruh positif dan nyata terhadap retribusi
daerah. Koefisien elastisitas total pengeluaran
pemerintah daerah terhadap retribusi daerah adalah
0.3475 dalam jangka pendek dan 0.9396 dalam jangka
panjang. Artinya peningkatan total pengeluaran
pemerintah daerah sebesar 100 persen akan
meningkatkan retribusi daerah sebesar 34,75 persen
dalam jangka pendek dan 93,96.04 persen dalam
jangka panjang. Temuan ini menunjukkan bahwa
ketika terjadi kenaikan pengeluaran pemerintah, maka
ada tekanan yang cukup besar bagi pemerintah daerah
untuk menggali sumber-sumber penerimaan dari
retribusi daerahnya.
Produk domestik regional bruto memiliki tanda
positif namun tidak berpengaruh nyata terhadap
retribusi daerah. Koefisien elastisitas produk domestik
regional bruto terhadap retribusi daerah adalah 0.0289
dalam jangka pendek dan 0.0780 dalam jangka
panjang. Artinya peningkatan produk domestik
regional bruto sebesar 100 persen akan meningkatkan
retribusi daerah sebesar 2,89 persen dalam jangka

80
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

pendek dan 7.80 persen dalam jangka panjang. Hal


tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi potensi
ekonomi suatu daerah, maka potensi untuk memungut
retribusi daerah semakin besar.
Jumlah populasi berpengaruh positif, namun dan
nyata terhadap penerimaan retribusi daerah. Koefisien
elastisitas jumlah populasi terhadap retribusi daerah
adalah 0,3804 dalam jangka pendek dan 1,0284 dalam
jangka panjang. Artinya peningkatan produk domestik
regional bruto sebesar 100 persen akan meningkatkan
retribusi daerah sebesar 38.04 persen dalam jangka
pendek dan 103 persen dalam jangka panjang. Hal
tersebut menunjukkan bahwa penerimaan retribusi
daerah oleh pemerintah daerah meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk yang ada di
daerah tersebut.
Retribusi daerah tahun sebelumnya berpengaruh
positif dan nyata terhadap retribusi daerah. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pemerintah daerah pada
dasarnya menginginkan retribusi daerah yang dipungut
pada tahun berjalan, tidak lebih rendah dari pada
retribusi daerah yang dipungut pada tahun
sebelumnya.

E. Dana Alokasi Umum

Hasil pendugaan model persamaan dana


alokasi umum sebagai sumber utama penerimaan
daerah dalam era otonomi dewasa ini,

81
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2)


sebesar 0.87213. Hal tersebut menunjukkan bahwa
variabel-variabel penjelas yaitu jumlah pegawai
negeri sipil, pendapatan asli daerah, belanja barang
dan jasa, belanja lain-lain, luas daerah, serta inflasi,
secara bersama-sama dapat menjelaskan 91.27
persen fluktuasi variabel dana alokasi umum pada
taraf nyata (α) 0.0001, yang ditunjukkan oleh F
dengan nilai 93,78 , dapat dilihat pada Tabel 18.
Jumlah pegawai negeri sipil, jumlah populasi,
dan inflasi, berpengaruh positif dan nyata terhadap
dana alokasi umum. Koefisien elastisitas jangka
pendek jumlah pegawai negeri sipil, jumlah populasi,
luas daerah kabupaten kota, serta inflasi, berturut-turut
sebesar 0,2833, 0,2157, 0.0782, 0,0423, dan 0,0667.
Artinya apabila jumlah pegawai negeri sipil, jumlah
populasi, luas daerah kabupaten kota, serta inflasi,
meningkat masing-masing sebesar 100 persen, maka
dana alokasi umum akan meningkat masing-masing
sebesar 28,33 persen dan 21,57 persen, 4,23 persen,
6,67 persen, dalam jangka pendek. Temuan ini pada
dasarnya sesuai dengan formulasi dana alokasi umum
dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah.

F. Dana Bagi Hasil

Hasil pendugaan model persamaan dana bagi

82
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

hasil menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2)


sebesar 0.2259. Hal tersebut menunjukkan bahwa
variabel-variabel penjelas jumlah populasi, tren,
inflasi, dan dana bagi hasil tahun sebelumnya, secara
bersama-sama dapat menjelaskan 22.06 persen
fluktuasi variabel dana bagi hasil tahun berjalan, pada
taraf nyata (α) 0.0063, yang ditunjukkan oleh F dengan
nilai 4.01, dapat dilihat pada Tabel 18.
Jumlah populasi, tren, dan inflasi memiliki tanda
positif namun nyata terhadap dana bagi hasil.
Koefisien elastisitas jumlah populasi terhadap dana
bagi hasil sebesar 0.0662 dalam jangka pendek dan
0.0996 dalam jangka panjang. Artinya peningkatan
populasi sebesar 100 persen akan meningkatkan dana
bagi hasil sebesar 6.62 persen dalam jangka pendek
dan 9.96 persen dalam jangka panjang.
Tren berpengaruh positif namun tidak nyata
terhadap dana bagi hasil. Hal tersebut menunjukkan
bahwa dana bagi hasil yang diberikan kepada daerah
memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke
tahun.
Dana bagi hasil tahun sebelumnya berpengaruh
positif dan nyata terhadap dana bagi hasil tahun
berjalan. Hal ini berarti bahwa perolehan dana bagi
hasil tahun berjalan setidaknya harus lebih besar atau
sama dengan dana bagi hasil tahun sebelumnya.

83
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

G. Pengeluaran Pemerintah Daerah

Dalam penelitian ini pengeluaran pemerintah


daerah kabupaten kota dikelompokkan dalam empat
kelompok yaitu; belanja pegawai, belanja barang dan
jasa, belanja modal, belanja sosial dan belanja lain-
lain. Dalam model ini pengeluaran daerah, yang
dimasukkan sebagai persamaan struktural yaitu;
belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja
modal, dan belanja sosial.

H. Belanja Pegawai

Hasil pendugaan model persamaan belanja


pegawai menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2)
sebesar 0.87781. Hal tersebut menunjukkan bahwa
variabel-variabel penjelas jumlah pegawai negeri sipil,
dana alokasi umum, tren, dan belanja pegawai tahun
sebelumnya secara bersama-sama dapat menjelaskan
87.78 persen fluktuasi variabel belanja pegawai pada
taraf nyata (α) 0.0001, yang ditunjukkan oleh F dengan
nilai 106.96, dapat dilihat pada Tabel 18.
Jumlah pegawai negeri sipil berpengaruh positif
dan nyata terhadap belanja pegawai. Koefisien
elastisitas jumlah pegawai negeri sipil terhadap belanja
pegawai sebesar 02841 dalam jangka pendek dan
0.7061 dalam jangka panjang. Hal tersebut
menunjukkan bahwa apabila jumlah pegawai negeri
sipil meningkat 100 persen maka belanja pegawai
akan meningkat 28.41 persen dalam jangka pendek dan

84
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

70.61 persen dalam jangka panjang. Hal ini logis,


karena dengan bertambahnya pegawai negeri sipil,
maka secara otomatis belanja gaji pegawai negeri sipil
akan bertambah.
Dana alokasi umum berpengaruh positif namun
tidak nyata terhadap belanja pegawai. Koefisien
elastisitas dana alokasi umum terhadap belanja
pegawai sebesar 0.1768 dalam jangka pendek dan
0.3250 dalam jangka panjang. Artinya apabila dana
alokasi umum meningkat sebesar 100 persen, maka
belanja pegawai akan meningkat sebesar 17.68 persen
dalam jangka pendek dan 32.50 persen dalam jangka
panjang. Hal ini sejalan dengan formulasi dana
alokasi umum, bahwa semakin besar jumlah pegawai
negeri sipil, maka semakin besar jumlah dana alokasi
umum yang harus dialokasikan kepada daerah
tersebut.
Tren berpengaruh positif namun tidak nyata
terhadap belanja pegawai. Temuan ini sangat logis
mengingat gaji pegawai negeri meningkat seiring
dengan perkembangan waktu.
Belanja pegawai tahun sebelumnya berpengaruh
positif dan nyata terhadap belanja pegawai tahun
berjalan. Hal ini berarti bahwa belanja pegawai tahun
berjalan setidaknya harus lebih besar atau sama
dengan belanja pegawai tahun sebelumnya agar
kesejahteraan pegawai tidak mengalami penurunan.

85
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

I. Belanja Barang dan Jasa

Hasil pendugaan model persamaan belanja


barang dan jasa menunjukkan nilai koefisien
determinasi (R2) sebesar 0.64122. Hal tersebut
menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas
pendapatan asli daerah, dana alokasi umum, dana
bagi hasil, dan belanja barang dan jasa tahun
sebelumnya secara bersama-sama dapat
menjelaskan 64.12 persen, fluktuasi variabel belanja
barang dan jasa pada taraf nyata (α) 0.0001, yang
ditunjukkan oleh F dengan nilai 36.15, dapat dilihat
pada Tabel 18.
Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa
tiga variabel yaitu, dana alokasi umum, dan belanja
barang dan jasa tahun sebelumnya, berpengaruh
positif dan nyata terhadap belanja barang dan Jasa
kabupaten kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
Sementara dana bagi hasil berpengaruh positif
namun tidak nyata terhadap belanja barang dan jasa.
Koefisien elastisitas dana alokasi umum, dan dana
bagi hasil terhadap belanja barang dan jasa adalah
sebesar 0,2878 dalam jangka pendek, dan 1,0567
dalam jangka panjang. Hal tersebut menunjukkan
bahwa apabila dana alokasi umum, dinaikkan
sebesar 100 persen, maka belanja barang dan jasa
akan meningkat masing-masing sebesar 28.78
persen, dalam jangka pendek dan 105,67 persen
dalam jangka panjang.

86
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Belanja barang dan jasa tahun sebelumnya


berpengaruh positif dan nyata terhadap belanja
pegawai tahun berjalan. Hal ini berarti bahwa belanja
barang dan jasa tahun berjalan setidaknya harus lebih
besar atau sama dengan belanja barang dan jasa tahun
sebelumnya.
Temuan tersebut wajar, mengingat dengan
meningkatnya penerimaan pemerintah daerah, baik
dana alokasi umum, maupun dana bagi hasil akan
mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan
pengeluarannya termasuk di dalamnya belanja barang
dan jasa.

J. Belanja Modal

Hasil pendugaan model persamaan belanja


modal menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2)
sebesar 0.6512. Hal tersebut menunjukkan bahwa
variabel-variabel penjelas dana bagi hasil, dana
alokasi khusus, pendapatan asli daerah, dan belanja
modal tahun sebelumnya, secara bersama-sama
dapat menjelaskan 62.12 persen fluktuasi variabel
belanja modal sektor lain pada taraf nyata (α)
0.0001 ditunjukkan oleh F dengan nilai 25.19, dapat
dilihat pada Tabel 18.
Hasil estimasi model menunjukkan bahwa semua
variabel yang ada yaitu dana bagi hasil, dana alokasi
khusus, pendapatan asli daerah, dan belanja modal
tahun sebelumnya memiliki tanda yang positif dan

87
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

namun hanya dana alokasi khusus dan belanja modal


tahun sebelumnya yang berpengaruh nyata terhadap
belanja modal. Koefisien elastisitas jangka pendek
dana bagi hasil, dan dana alokasi khusus, dan
pendapatan asli daerah terhadap belanja modal,
berturut-turut adalah 0.0755, 0,6820, dan 0.0212.
Sementara koefisien elastisitas jangka panjang dana
bagi hasil, dana alokasi khusus, dan pendapatan asli
daerah terhadap belanja modal sektor lain, berturut-
turut adalah 0.1009, 0.9118, dan 0.0283. Artinya
peningkatan dana bagi hasil, dana alokasi khusus dan
pendapatan asli daerah sebesar 100 persen akan
meningkatkan belanja modal berturut-turut sebesar
7.55 persen, 68.20 persen, dan 2,12 persen dalam
jangka pendek dan 10.09 persen, 91,18 persen, dan
2,83 persen dalam jangka panjang.
Secara teoritis apabila penerimaan meningkat,
maka ada kecenderungan pengeluaran akan meningkat.
Oleh karena itu dengan meningkatnya penerimaan
pemerintah daerah dari dana bagi hasil dana alokasi
khusus, dan pendapatan asli daerah, maka belanja
modal seperti pembangunan sarana jalan, jembatan,
dan lainnya akan meningkat.

K. Belanja Sosial

Hasil pendugaan model persamaan belanja lain-


lain menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2)
sebesar 0.4380. Hal tersebut menunjukkan bahwa

88
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

variabel-variabel penjelas pendapatan asli daerah, luas


daerah, jumlah penduduk miskin, tren, dan jumlah
dana sosial tahun sebelumnya secara bersama-sama
dapat menjelaskan 43.80 persen, fluktuasi variabel
belanja lain-lain pada taraf nyata (α) 0.0001, yang
ditunjukkan oleh F dengan nilai 10.20, dapat dilihat
pada Tabel 18.
Hasil estimasi model menunjukkan bahwa semua
variabel memiliki tanda positif, dan sesuai harapan,
namun hanya variabel teren dan belanja sosial
pemerintah tahun sebelumnya yang berpengaruh nyata
terhadap belanja lain-lain tahun berjalan. Koefisien
elastisitas jangka pendek pendapatan asli daerah, luas
daerah, jumlah penduduk miskin, tren berturut-turut
adalah 0.1387, 0.0455, 0,0281, dan 0.3416. Sementara
koefisien elastisitas jangka panjang pendapatan asli
daerah, luas daerah, jumlah penduduk miskin, tren
berturut-turut adalah 0.2372, 0.0779, 0,0481dan
0.5841. Artinya pendapatan asli daerah, luas daerah,
jumlah penduduk miskin, tren sebesar 100 persen akan
meningkatkan belanja sosial tahun berjalan berturut-
turut sebesar 13.87 persen, 4.55 persen, 2,81 persen,
dan 34.16 dalam jangka pendek dan 21.27 persen, 7.79
persen, 4,81 persen, dan 58,41 persen dalam jangka
panjang. Temuan ini menunjukkan pemerintah daerah
kabupaten kota di Provinsi Selatan belum dapat
menekan belanja sosial mereka apabila penerimaan
mereka peningkat. Hasil ini sejalan dengan hasil
wawancara dengan beberapa anggota DPRD

89
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Kabupaten Selayar, Jeneponto, Bantaeng, Takalar, dan


Barru, yang mengatakan bahwa belanja sosial
dilakukan oleh pemerintah darah cenderung meningkat
seiring dengan peningkatnya pendapatan asli daerah.
L. Kerangka Blok Permintaan Agregat
Dalam penelitian ini blok permintaan agregat
terdiri atas, pengeluaran konsumsi swasta, investasi
swasta, ekspor dan impor daerah, serta pengeluaran
pemerintah. Khusus tentang pengeluaran pemerintah
telah dijelaskan dalam sub bahasan blok fiskal
sehingga tidak dijelaskan lagi dalam pokok bahasan
ini. Hasil estimasi model blok permintaan agregat
dapat dilihat pada Tabel 19.
M. Konsumsi Swasta
Hasil pendugaan model persamaan konsumsi
swasta menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2)
sebesar 0.9926. Hal tersebut menunjukkan bahwa
variabel-variabel penjelas produk domestik regional
bruto, belanja pegawai, inflasi, dan konsumsi swasta
tahun sebelumnya, secara bersama-sama dapat
menjelaskan 99.26 persen fluktuasi variabel konsumsi
swasta pada taraf nyata (α) 0.0001, yang ditunjukkan
oleh F dengan nilai 1980.27, dapat dilihat pada Tabel
18.
Hasil pendugaan model terhadap faktor-faktor
yang mempengaruhi konsumsi swasta, yaitu produk
domestik regional bruto, memiliki tanda positif dan

90
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

berpengaruh nyata terhadap konsumsi swasta.


Koefisien elastisitas produk domestik regional bruto
terhadap konsumsi swasta sebesar 0.0682 dalam
jangka pendek dan 1.6648 dalam jangka panjang.
Artinya peningkatan produk domestik regional bruto
sebesar 100 persen akan meningkatkan konsumsi
masyarakat sebesar 6.82 persen dalam jangka pendek
dan 166,48 persen dalam jangka panjang. Produk
domestik regional bruto di suatu daerah menunjukkan
potensi ekonomi suatu daerah, dan sekaligus
menunjukkan pendapatan masyarakat di daerah
tersebut. Secara teoritis apabila pendapatan masyarakat
meningkat, maka akan mendorong konsumsi
masyarakat meningkat.
Konsumsi swasta tahun sebelumnya
menunjukkan tanda positif dan berpengaruh nyata
terhadap konsumsi swasta tahun berjalan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa perilaku konsumsi masyarakat
tahun berjalan cenderung mengikuti pola konsumsi
tahun sebelumnya.

91
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Tabel 19: Hasil estimasi parameter persamaan agregat


daerah

N. Investasi Swasta
Hasil pendugaan model persamaan investasi
swasta menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2)
sebesar 0.7534. Hal tersebut menunjukkan bahwa
variabel-variabel penjelas belanja modal, pajak daerah,

92
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

konsumsi swasta, suku bunga Bank Indonesia, dan


investasi swasta tahun sebelumnya, secara bersama-
sama dapat menjelaskan 75.34 persen fluktuasi
variabel investasi swasta tahun berjalan, pada taraf
nyata (α) 0.0001, yang ditunjukkan oleh F dengan
nilai 37,04, dapat dilihat pada Tabel 19.
Belanja modal pemerintah, berpengaruh positif
namun tidak nyata terhadap investasi swasta. Koefisien
elastisitas belanja modal terhadap investasi swasta
sebesar 0,1765 dalam jangka pendek dan sebesar
0,3147 dalam jangka panjang. Artinya setiap 100
persen kenaikan belanja modal pemerintah daerah akan
meningkatkan investasi swasta di daerah tersebut
17.65 persen dalam jangka pendek dan 31.47 persen
dalam jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa
setiap penambahan belanja modal yang dikeluarkan
oleh pemerintah daerah dalam membangun
infrastruktur di daerah, akan mendorong para investor
untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut.
Temuan ini sejalan dengan temuan Erden and
Holcombe (2006) pada 19 negara berkembang dan
temuan Haroon and Nasr (2011) di Pakistan.
Pajak daerah berpengaruh negatif namun nyata
terhadap investasi swasta. Koefisien elastisitas pajak
daerah terhadap investasi swasta sebesar -0.0395
dalam jangka pendek dan sebesar -0.0704 dalam
jangka panjang. Artinya setiap kenaikan pajak daerah
sebesar 100 persen, maka akan menurunkan investasi
swasta 3.95 persen dalam jangka pendek dan 7.04

93
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

persen dalam jangka panjang. Hal tersebut


menunjukkan bahwa apabila pendapatan pajak daerah
meningkat, maka investasi swasta akan turun. Dengan
demikian pemerintah daerah harus berhati-hati dalam
menggali potensi penerimaan dari pajak daerah agar
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost
economy).
Konsumsi swasta berpengaruh positif dan nyata
terhadap investasi swasta. Koefisien elastisitas
konsumsi swasta terhadap investasi swasta adalah
0.5382 dalam jangka pendek dan 0.9598 dalam jangka
panjang. Artinya apabila konsumsi swasta meningkat
100 persen, maka investasi swasta akan meningkat
53.82 persen dalam jangka pendek dan 95.98 persen
dalam jangka panjang. Hal tersebut menunjukkan
bahwa kenaikan konsumsi swasta akan meningkatkan
investasi swasta. Kondisi ini cukup wajar mengingat
para investor secara teoritis cenderung menanamkan
modalnya di daerah konsumen.
Suku bunga Bank Indonesia berpengaruh negatif
dan nyata terhadap investasi swasta. Koefisien
elastisitas suku bunga Bank Indonesia terhadap
investasi swasta sebesar -0.2126 dalam jangka pendek
dan sebesar -0.3792 dalam jangka panjang. Artinya
setiap kenaikan suku bunga Bank Indonesia sebesar
100 persen, maka akan menurunkan investasi swasta
21,26 persen dalam jangka pendek dan 37.92 persen
dalam jangka panjang. Hal tersebut menunjukkan
bahwa apabila suku bunga bank Indonesia meningkat,

94
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

maka investasi swasta akan turun. Temuan ini sejalan


teori ekonomi yang ada bahwa para investor sangat
sulit untuk melakukan investasi apabila suku bank
meningkat.
Investasi swasta tahun sebelumnya menunjukkan
tanda positif dan berpengaruh nyata terhadap investasi
swasta tahun berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa
para investor cenderung mengikuti pola investasi
tahun sebelumnya.

O. Ekspor Daerah

Hasil pendugaan model persamaan ekspor daerah


menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar
0.9923. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel-
variabel penjelas nilai tukar rupiah, inflasi, dan
ekspor daerah tahun sebelumnya, secara bersama-sama
dapat menjelaskan 99.23 persen fluktuasi variabel
ekspor daerah pada taraf nyata (α) 0.0001, ditunjukkan
oleh F dengan nilai 5239.10, dapat dilihat pada Tabel
19.
Nilai tukar rupiah, berpengaruh negatif dan
nyata terhadap ekspor daerah. Koefisien elastisitas
nilai tukar rupiah terhadap ekspor daerah adalah
inelastis sebesar -0.4846 dalam jangka pendek dan
elastis dalam jangka panjang yaitu 10,27. Artinya
setiap 100 persen penurunan nilai tukar rupiah, akan
menaikkan ekspor daerah sebesar 48.46 persen dalam
jangka pendek dan 1000.37 persen dalam jangka

95
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

panjang. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai tukar


rupiah sangat responsif terhadap ekspor daerah dalam
jangka panjang. Secara teoritis apabila nilai tukar
rupiah menguat terhadap mata uang asing, maka
ekspor akan turun, dan sebaliknya apabila nilai tukar
rupiah melemah terhadap mata uang asing, maka
ekspor akan meningkat.
Ekspor daerah tahun sebelumnya berpengaruh
positif terhadap ekspor daerah tahun berjalan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa ekspor daerah tahun
berjalan berperilaku mengikuti pola ekspor daerah
tahun sebelumnya.
P. Impor Daerah
Hasil pendugaan model persamaan impor daerah,
menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar
0.9399. Hal tersebut menunjukkan bahwa variabel-
variabel penjelas Nilai tukar rupiah, investasi swasta,
dan impor daerah tahun sebelumnya, secara bersama-
sama dapat menjelaskan 93.99 persen, fluktuasi impor
daerah pada taraf nyata (α) 0.0001, yang ditunjukkan
oleh F dengan nilai 308,43, dapat dilihat pada Tabel
19.
Hasil estimasi model menunjukkan bahwa semua
variabel memiliki tanda sesuai harapan, semua variabel
berpengaruh positif dan namun hanya impor daerah
tahun sebelumnya yang berpengaruh nyata terhadap
impor daerah tahun berjalan. Koefisien elastisitas nilai
tukar rupiah, dan investasi swasta terhadap impor

96
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

daerah adalah 0.5776, dan 0.0602 dalam jangka


pendek dan 12.558 dan 1.309 dalam jangka panjang.
Artinya setiap 100 persen peningkatan nilai tukar
rupiah, dan investasi swasta, akan menaikkan impor
daerah sebesar 57,76 persen, 6.02 persen dalam jangka
pendek dan 1255,05 persen, 130,87.15 persen dalam
jangka panjang.
Q. Kerangka Blok Kinerja Perekonomian
Dalam penelitian kinerja perekonomian diukur
dengan, produk domestik regional bruto, penyerapan
tenaga kerja dan kemiskinan. Produk domestik
regional bruto dibagi kedua tiga sektor, produk
domestik regional bruto sektor pertanian, produk
domestik regional bruto sektor industri dan
perdagangan, serta produk domestik regional bruto
sektor lainnya. Sementara penyerapan tenaga kerja
daerah dibagi dalam dua yaitu, penyerapan tenaga
kerja sektor pertanian dan penyerapan tenaga kerja
sektor non pertanian.
Hasil pendugaan model terhadap faktor-faktor
yang mempengaruhi output/PDRB masing-masing
sektor, penyerapan tenaga kerja dan kemiskinan dapat
dilihat pada Tabel 20.

R. Produk Domestik Regional Bruto Sektor


Pertanian
Hasil pendugaan model persamaan produk

97
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

domestik regional bruto sektor pertanian menunjukkan


nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9829. Hal
tersebut menunjukkan bahwa variabel-variabel
penjelas, investasi swasta, konsumsi swasta, dan
produk domestik regional bruto sektor pertanian tahun
sebelumnya secara bersama-sama dapat menjelaskan
98.29 persen fluktuasi variabel produk domestik
regional bruto sektor pertanian tahun berjalan pada
taraf nyata (α) 0.000, yang ditunjukkan oleh F dengan
nilai 1128.74, dapat dilihat pada Tabel 20.
Investasi swasta, menunjukkan tanda positif
namun tidak berpengaruh nyata terhadap produk
domestik regional bruto sektor pertanian. Koefisien
elastisitas investasi swasta adalah 0.0183 adalah
jangka pendek dan 0.6289 dalam jangka panjang.
Artinya setiap 100 persen kenaikan investasi swasta,
akan menaikkan PDRB sektor pertanian sebesar 1.83
persen dalam jangka pendek dan 62.89 persen dalam
jangka panjang. Temuan ini menunjukkan minat para
investasi swasta untuk menanamkan modalnya pada
sektor pertanian relatif sangat kecil. Hal tersebut
sangat wajar mengingat tingkat pengembalian modal
pada sektor pertanian membutuhkan waktu yang cukup
panjang dan relatif lebih kecil dibanding sektor
lainnya.
Konsumsi swasta, menunjukkan tanda positif
namun tidak berpengaruh nyata terhadap produk
domestik regional bruto sektor pertanian. Koefisien
elastisitas konsumsi swasta terhadap produk domestik

98
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

regional bruto sektor pertanian adalah 0.0177 dalam


jangka pendek dan 0.197 dalam jangka panjang.
Artinya setiap 100 persen kenaikan konsumsi swasta,
akan menaikkan PDRB sektor pertanian sebesar 1.77
persen dalam jangka pendek dan 19.70 persen dalam
jangka panjang. Peningkatan konsumsi masyarakat
secara teoritis akan mendorong naiknya harga produk
termasuk di dalamnya produk pertanian. Dengan
naiknya harga produk pertanian, mendorong petani
untuk meningkatkan produksinya. Dengan demikian
peningkatan konsumsi masyarakat akan mendorong
meningkatnya produksi sektor pertanian.
Produk domestik regional bruto sektor pertanian
tahun sebelumnya berpengaruh positif dan nyata
terhadap PDRB sektor pertanian tahun berjalan. Hal
tersebut sangat wajar mengingat para petani cenderung
mempertahankan usaha taninya.
S. Produk Domestik Regional Bruto Sektor
Industri dan Perdagangan
Hasil pendugaan model persamaan produk
domestik regional bruto sektor industri dan
perdagangan menunjukkan nilai koefisien
2
determinasi (R ) sebesar 0.9979. Hal tersebut
menunjukkan bahwa variabel-variabel penjelas,
investasi swasta, ekspor bersih, dan produk
domestik regional bruto sektor industri dan
perdagangan tahun sebelumnya, secara bersama-
sama dapat menjelaskan 99.78 persen, fluktuasi

99
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

variabel produk domestik regional bruto sektor


industri pada taraf nyata (α) 0.0001, yang
ditunjukkan oleh F dengan nilai 9127.56, dapat
dilihat pada Tabel 20.
Investasi swasta, berpengaruh positif dan
nyata terhadap produk domestik regional bruto
sektor industri. Hal tersebut menunjukkan bahwa
apabila investasi swasta meningkat, maka PDRB
sektor industri akan meningkat. Koefisien elastisitas
investasi swasta adalah 0.0431 dalam jangka pendek
dan 0,6009 dalam jangka panjang. Berarti apabila
investasi swasta meningkat 100 persen, maka
PDRB sektor industri meningkat sebesar 4.31
persen dalam jangka pendek, dan 60,09 persen
dalam jangka panjang. Temuan ini wajar karena
secara teoritis apabila investasi swasta meningkat,
maka produksi akan meningkat.
Ekspor bersih berpengaruh positif namun tidak
nyata terhadap produk domestik regional bruto
sektor industri dan perdagangan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa apabila ekspor bersih, maka
PDRB sektor industri dan perdagangan akan
meningkat. Koefisien elastisitas jangka pendek
ekspor bersih adalah 0.0092 dalam jangka pendek
dan 0,1279 persen dalam jangka panjang. Berarti
apabila ekspor bersih meningkat 100 persen, maka
PDRB sektor industri dan perdagangan meningkat
sebesar 0.92 persen dalam jangka pendek dan 12,79
persen dalam jangka panjang.

100
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Produk domestik regional bruto sektor industri


dan perdagangan tahun sebelumnya, berpengaruh
positif dan nyata terhadap PDRB sektor industri
tahun berjalan. Hal tersebut sangat wajar mengingat
para investor yang sudah menanamkan modal pada
sektor industri cenderung meningkatkan
investasinya.

T. Produk Domestik Regional Bruto Sektor


Industri dan Perdagangan

Hasil pendugaan model persamaan produk


domestik regional bruto sektor bangunan
menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2)
sebesar 0.9844. Hal tersebut menunjukkan bahwa
variabel-variabel penjelas; tenaga kerja non
pertanian, investasi swasta, dana dekonsentrasi
tugas pembantuan dan lainnya, serta belanja modal
sektor lainnya secara bersama-sama dapat
menjelaskan 98.44 persen, fluktuasi variabel produk
domestik regional bruto sektor bangunan pada taraf
nyata (α) 0.0001, yang ditunjukkan oleh F dengan
nilai 2162.13, dapat dilihat pada Tabel 30.
Hasil estimasi model juga menunjukkan
bahwa variabel investasi swasta, dana
dekonsentrasi tugas pembantuan dan lainnya,
berpengaruh positif dan nyata terhadap PDRB
sektor bangunan. Hal tersebut menunjukkan bahwa

101
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

apabila investasi swasta, dana dekonsentrasi tugas


pembantuan dan lainnya, meningkat, maka PDRB
sektor bangunan akan meningkat. Koefisien
elastisitas jangka pendek investasi swasta, dana
dekonsentrasi tugas pembantuan dan lainnya
terhadap PDRB sektor bangunan, berturut-turut
sebesar 0.7431 dan 0.1246. Berarti apabila investasi
swasta, dana dekonsentrasi tugas pembantuan dan
lainnya meningkat sebesar 10 persen, maka PDRB
sektor bangunan meningkat masing-masing sebesar
7.427 persen, 1.262 persen. Temuan ini
menunjukkan bahwa pemerintah daerah sangat
membutuhkan investasi swasta dalam mendorong
pertumbuhan sektor bangunan di daerahnya, dan
sekaligus menunjukkan bahwa dana dekonsentrasi
tugas pembantuan diperlukan dalam mendorong
PDRB sektor bangunan.
Penyerapan tenaga kerja non pertanian dan
belanja modal sektor lainnya berpengaruh positif
namun tidak nyata terhadap PDRB sektor
bangunan. Hal tersebut menunjukkan bahwa,
apabila penyerapan tenaga kerja non pertanian, dan
belanja modal sektor lainnya meningkat, maka
PDRB sektor bangunan akan meningkat. Koefisien
elastisitas jangka pendek penyerapan tenaga kerja
non pertanian dan belanja modal sektor lainnya
berturut-turut adalah 0.02746 dan 0.00160. Artinya
apabila penyerapan tenaga kerja non pertanian dan
belanja modal sektor lainnya meningkat 10 persen,

102
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

maka PDRB sektor bangunan meningkat masing-


masing sebesar 0.264 persen dan 0.016 persen
dalam jangka pendek. Temuan ini logis, karena
secara teoritis peningkatan penyerapan tenaga kerja
non pertanian akan mendorong peningkatan
pertumbuhan PDRB sektor bangunan.
U. Produk Domestik Regional Bruto Sektor
Lainnya
Produk domestik regional bruto sektor lainnya
dalam penelitian ini meliputi, PDRB sektor
bangunan, sektor pertangan, sektor listrik gas dan
air, sektor transportasi dan komunikasi, sektor
keuangan, dan sektor jasa-jasa.
Hasil pendugaan model persamaan produk
domestik regional bruto sektor lainnya
menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2)
sebesar 0.9808. Hal tersebut menunjukkan bahwa
variabel-variabel penjelas; penyerapan tenaga kerja
non pertanian, investasi swasta, dana dekonsentrasi
tugas pembantuan dan lainnya, inflasi, serta produk
domestik regional bruto sektor lainnya tahun
sebelumnya secara bersama-sama dapat
menjelaskan 96.08 persen fluktuasi variabel produk
domestik regional bruto sektor lainnya pada taraf
nyata (α) 0.0001, ditunjukkan oleh F dengan nilai
289.82, dapat dilihat pada Tabel 19.
Hasil estimasi model juga menunjukkan
bahwa variabel penyerapan tenaga kerja non

103
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

pertanian, dana dekonsentrasi tugas pembantuan


dan lainnya, berpengaruh positif dan nyata serta
sesuai harapan terhadap PDRB sektor lainnya. Hal
tersebut menunjukkan bahwa apabila penyerapan
tenaga kerja non pertanian, dan dana dekonsentrasi
tugas pembantuan dan lainnya, meningkat maka
PDRB sektor lainnya akan meningkat. Koefisien
elastisitas jangka pendek penyerapan tenaga kerja
non pertanian, investasi swasta, dan dana
dekonsentrasi tugas pembantuan dan inflasi
terhadap PDRB sektor lainnya, berturut-turut
sebesar 0.2026, 0.0454, 0,0350, dan 0.0401 dalam
jangka pendek, serta 1,5975, 0,3575, 0,2757, dan
0,3160 dalam jangka panjang. Berarti apabila
penyerapan tenaga kerja non pertanian, investasi
swasta, dana dekonsentrasi tugas pembantuan dan
inflasi meningkat sebesar 100 persen, maka PDRB
sektor lainnya meningkat masing-masing sebesar
20,26 persen, 4.54 persen, 3,50 persen, dan 4.01
persen dalam jangka pendek, serta 159,75 persen,
35,75 persen, 27,57 persen, dan 31,60 persen dalam
jangka panjang. Hasil ini sesuai dengan teori bahwa
peningkatan tenaga kerja, investasi swasta, serta
dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan
mendorong peningkatan PDRB pada sektor
lainnya.

104
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Tabel 20. Hasil estimasi parameter persamaan kinerja


perekonomian

V. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian


Hasil pendugaan model persamaan
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian
menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2)
sebesar 0.92174. Hal tersebut menunjukkan bahwa

105
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

variabel-variabel penjelas; jumlah angkatan kerja,


investasi swasta, dan penyerapan tenaga kerja sektor
pertanian tahun sebelumnya, secara bersama-sama
dapat menjelaskan 92.17 persen, fluktuasi variabel
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tahun
berjalan pada taraf nyata (α) 0.0001, yang
ditunjukkan oleh F dengan nilai 232,62, dapat
dilihat pada Tabel 20.
Hasil estimasi model juga menunjukkan
bahwa jumlah angkatan kerja, dan penyerapan
tenaga kerja sektor pertanian tahun sebelumnya,
berpengaruh positif dan nyata terhadap penyerapan
tenaga kerja sektor pertanian tahun berjalan.
Koefisien elastisitas jumlah angkatan kerja adalah
0.110 dalam jangka pendek dan 2.1587 dalam
jangka panjang. Hal tersebut menunjukkan bahwa
apabila angkatan kerja, meningkat 10 persen, maka
penyerapan tenaga kerja sektor pertanian meningkat
sebesar 1.10 persen dalam jangka pendek dan
21.587 persen dalam jangka panjang. Hasil tersebut
sesuai dengan teori bahwa apabila angkatan kerja
meningkat, maka mereka dapat memilih bekerja
pada sektor pertanian dengan upah rendah
dibanding mereka menganggur.
Investasi swasta, berpengaruh positif namun
tidak nyata terhadap penyerapan tenaga kerja sektor
pertanian. Hal tersebut menunjukkan bahwa apabila
investasi swasta meningkat, maka penyerapan
tenaga kerja pada sektor pertanian akan naik.

106
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Koefisien elastisitas investasi swasta adalah 0.0418


dalam jangka pendek, dan 0.3339 dalam jangka
panjang. Hal tersebut menunjukkan bahwa apabila
investasi swasta meningkat sebesar 100 persen,
maka penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian
naik sebesar 4.18 persen dalam jangka pendek, dan
naik 33.39 persen dalam jangka panjang. Hal ini
cukup wajar mengingat para investor menanamkan
modalnya pada sektor pertanian, maka secara
otomatis lapangan kerja pada sektor pertanian akan
meningkat, yang berdampak pada meningkatnya
tenaga pada sektor pertanian.
Angkatan kerja, berpengaruh positif namun
tidak nyata terhadap penyerapan tenaga kerja sektor
pertanian. Hal tersebut menunjukkan bahwa apabila
angkatan kerja meningkat, maka penyerapan tenaga
kerja pada sektor pertanian akan naik. Koefisien
elastisitas investasi swasta adalah 0.0985 dalam
jangka pendek, dan 0.7865 dalam jangka panjang.
Hal tersebut menunjukkan bahwa apabila angkatan
kerja meningkat sebesar 100 persen, maka
penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian naik
sebesar 9.85 persen dalam jangka pendek, dan naik
78,65 persen dalam jangka panjang. Hal ini cukup
wajar mengingat para angkatan kerja dapat dengan
mudah terserap pada sektor pertanian,
Penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tahun
sebelumnya, menunjukkan angka positif dan
berpengaruh nyata terhadap penyerapan tenaga

107
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

kerja tahun berjalan. Hal ini cukup wajar mengingat


tenaga kerja yang telah terbiasa bekerja pada sektor
pertanian umumnya memiliki tingkat pendidikan
yang rendah, sehingga sangat sulit untuk keluar dari
sektor pertanian.
W. Penyerapan Tenaga Kerja non Sektor
Pertanian
Hasil pendugaan model persamaan
penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian
menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2)
sebesar 0.9642. Hal tersebut menunjukkan bahwa
variabel-variabel penjelas; investasi swasta, upah
minimum provinsi, suku bunga bank Indonesia,
inflasi, dan penyerapan tenaga kerja sektor non
pertanian tahun sebelumnya, secara bersama-sama
dapat menjelaskan 96.64 persen, fluktuasi variabel
penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian tahun
berjalan pada taraf nyata (α) 0.0001, yang
ditunjukkan oleh F dengan nilai 318,46, dapat
dilihat pada Tabel 20.
Hasil estimasi model juga menunjukkan
bahwa investasi swasta, dan inflasi serta
penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian tahun
sebelumnya, berpengaruh positif dan terhadap
penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian tahun
berjalan. Koefisien elastisitas jumlah angkatan kerja
adalah 0.110 dalam jangka pendek dan 2.1587
dalam jangka panjang. Hal tersebut menunjukkan

108
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

bahwa apabila investasi swasta, meningkat 100


persen, maka penyerapan tenaga kerja sektor
pertanian meningkat sebesar 7.45 persen dalam
jangka pendek dan 268.57 persen dalam jangka
panjang. Hasil tersebut sesuai dengan teori bahwa
apabila investasi swasta, maka mereka kesempatan
kerja meningkat.
Upah minimum provinsi dan suku bunga
Bank Indonesia, berpengaruh negatif namun
terhadap penyerapan tenaga kerja sektor non
pertanian. Hal tersebut menunjukkan bahwa apabila
upah minimum provinsi dan suku bunga bank
Indonesia meningkat, maka penyerapan tenaga kerja
pada sektor non pertanian akan turun. Koefisien
elastisitas upah minimum provinsi dan suku bunga
Bank Indonesia berturut-turut adalah -0.4622 dan -
0,4294 dalam jangka pendek, serta 16,6602 dan
15,4802 persen dalam jangka panjang. Hal tersebut
menunjukkan bahwa apabila upah minimum
provinsi dan suku bunga Bank Indonesia meningkat
sebesar 100 persen, maka penyerapan tenaga kerja
pada sektor pertanian turun berturut-turut sebesar
46,22 persen dan 42,94 persen dalam jangka
pendek, turun berturut-turut 1666,02 persen dan
1548,02 persen dalam jangka panjang. Hal ini
cukup wajar mengingat dengan naiknya upah dan
suku bunga Bank Indonesia mendorong para
investor untuk menahan investasinya sehingga
kebutuhan akan tenaga kerja akan berkurang.

109
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian


tahun sebelumnya, menunjukkan angka positif dan
berpengaruh nyata terhadap penyerapan tenaga
kerja tahun berjalan. Hal ini cukup wajar mengingat
tenaga kerja yang telah terbiasa bekerja pada sektor
non pertanian senantiasa berusaha untuk bertahan
dalam perusahaan di mana mereka telah bekerja,
yang memberikan upah yang lebih tinggi dibanding
bekerja pada sektor pertanian.
Hasil pendugaan model persamaan kemiskinan
menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2)
sebesar 0.9787. Hal tersebut menunjukkan bahwa
variabel-variabel penjelas; indeks pembangunan
manusia, investasi swasta, belanja sosial,
penyerapan tenaga kerja, dan jumlah penduduk
miskin tahun sebelumnya, secara bersama-sama
dapat menjelaskan 97.87 persen fluktuasi variabel
kemiskinan pada taraf nyata (α) 0.0001, yang
ditunjukkan oleh F dengan nilai 543.63, dapat
dilihat pada Tabel 20.
Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa
indeks pembangunan manusia, investasi swasta, dan
penyerapan tenaga kerja, memiliki tanda negatif dan
sesuai harapan, namun hanya indeks pembangunan
manusia yang berpengaruh nyata terhadap kemiskinan
pada 10 kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan.
Koefisien elastisitas indeks pembangunan manusia
terhadap kemiskinan, sebesar -1,6108 dalam jangka
pendek dan sebesar -75.6372 dalam jangka panjang.

110
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Artinya apabila variabel indeks pembangunan


manusia, meningkat 100 persen, maka kemiskinan
akan turun sebesar 161.08 persen dalam jangka pendek
dan 7563,72 persen dalam jangka panjang. Hal ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan indeks
pembangunan manusia 10 kabupaten di Provinsi
Sulawesi Selatan dapat mengurangi angka kemiskinan
yang ada.
Investasi swasta dan penyerapan tenaga kerja
memiliki tanda negatif dan sesuai harapan, namun
tidak berpengaruh nyata terhadap kemiskinan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa apabila investasi swasta
dan penyerapan tenaga kerja, maka jumlah penduduk
miskin pada kabupaten kota di Provinsi Sulawesi
Selatan akan menurun. Koefisien elastisitas investasi
swasta dan penyerapan tenaga kerja, berturut-turut
adalah sebesar -0.0089 dan -0,0428 dalam jangka
pendek dan sebesar 0,4194 persen dan -2,011 dalam
jangka panjang. Berarti apabila variabel investasi
swasta dan penyerapan tenaga, meningkat 100 persen,
maka kemiskinan akan turun masing-masing sebesar
0,8 persen dan 4,28 dalam jangka pendek serta 41,94
201,1 persen dalam jangka panjang. Temuan ini cukup
rasional karena apabila investasi meningkat maka
penyerapan tenaga kerja meningkat, yang tentunya
tidak sedikit orang miskin yang terserap dalam
lapangan kerja sehingga angka kemiskinan menurun.
Belanja sosial memiliki tanda positif dan tidak
sesuai harapan namun tidak berpengaruh nyata

111
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

terhadap kemiskinan. Temuan ini cukup kontradiktif,


di mana belanja sosial yang pada dasarnya ditujukan
untuk menjaga agar dampak sosial dari suatu bencana
atau guncangan ekonomi dapat diatasi, maka
kemiskinan akan meningkat. Meskipun demikian hasil
wawancara dengan beberapa anggota dewan
perwakilan rakyat daerah (DPDR) kabupaten Gowa,
Maros, Jeneponto, Bantaeng, dan Bulukumba,
diperoleh informasi bahwa pada dalam beberapa tahun
terakhir pemda kabupaten yang ada umumnya
mengurangi belanja sosial yang ada, disebabkan karena
keterbatasan anggaran, namun pengawasan terhadap
penggunaan belanja sosial lebih diperketat agar tepat
sasaran. Berdasarkan uraian tersebut maka penggunaan
belanja sosial dalam mengurangi kemiskinan pada 3
(tiga) tahun terakhir cukup efektif.
Jumlah penduduk miskin tahun sebelumnya,
memiliki tanda positif dan sesuai harapan serta
berpengaruh nyata terhadap kemiskinan. Berarti
jumlah penduduk miskin tahun berjalan mengikuti pola
jumlah penduduk miskin tahun sebelumnya. Dengan
kata lain penanggulangan kemiskinan yang
dilakukan pemerintah kabupaten kota di Provinsi
Sulawesi Selatan belum berjalan sebagaimana yang
diharapkan.

112
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

BAGIAN 7

SIMULASI MODEL PENGELUARAN


PEMERINTAH DAERAH

U
ntuk melihat dampak kebijakan fiskal
terhadap perekomian 10 kabupaten di
Provinsi Sulawesi Selatan, maka dilakukan
simulasi kebijakan. Simulasi kebijakan pada dasarnya
bertujuan untuk menganalisis dampak dari berbagai
alternatif kebijakan atau skenario kebijakan dengan
cara mengubah variabel atau instrumen kebijakan
(policy instrument). Dalam penelitian ini simulasi
kebijakan dilakukan untuk mengetahui dampak
perubahan dari variabel pengeluaran pemerintah
daerah terhadap perekonomian 10 kabupaten di
Provinsi Sulawesi Selatan.

A. Validasi Model
Validasi model digunakan untuk mengetahui
apakah model cukup valid digunakan untuk simulasi
alternatif kebijakan atau tidak. Hal ini penting
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sejauh

113
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

mana model tersebut dapat mewakili dunia nyata.


Dalam model ini indikator validasi statistik yang
digunakan adalah R Square (R2) dan Theils Inequality
Coeficient (U). Sitepu dan Siregar (2006) mengatakan
suatu model dikatakan baik daya prediksinya apabila
Theils Inequality Coeficient (U) mendekati nilai nol.
Tabel 21 menunjukkan bahwa secara umum
hasil validasi menunjukkan bahwa model yang
dibangun cukup valid untuk digunakan dalam simulasi
kebijakan. Berdasarkan indikator R Square, semua
parameter dalam model menunjukkan nilai R Square
yang cukup tinggi, hanya dua parameter yang R Square
di bawah 0.50, sehingga model dapat dengan baik
menjelaskan prilaku besarannya. Sementara
berdasarkan kriteria Theils Inequality Coeficient (U),
hanya satu parameter yangU nya berada di atas 0.20.
Tabel 21. Hasil Validasi Model Dampak Pengeluaran
Pemerintah terhadap Kemiskinan 10
Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan

114
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

B. Simulasi Kebijakan

Dalam tulisan ini, simulasi dilakukan


berdasarkan pertimbangan ekonomi, sebagaimana isu-
isu kebijakan fiskal yang banyak diperbincangkan
dikalangan para ekonom dewasa ini. Adapun simulasi
kebijakan yang terpilih adalah:
1. Meningkatkan belanja modal, sebesar 20 persen.
2. Meningkatkan total pengeluaran pemerintah
sebesar 20 persen.
3. Meningkatkan investasi swasta 20 persen

C. Dampak Peningkatan Belanja Modal 20


Persen.

Dalam era otonomi daerah dewasa ini


pemerintah daerah memiliki kewenangan dalam
menentukan besarnya besaran prioritas pada masing-
masing jenis pengeluaran. Salah satu jenis pengeluaran
yang cukup penting dalam mendorong tumbuh
kembangnya ekonomi baik di perkotaan maupun di
perdesaan adalah belanja modal. Belanja modal yang
pada dasarnya ditujukan untuk membangun
infrastruktur berupa jalan dan lainnya baik di kota
maupun diperdesakan sangat dibutuhkan untuk
memperlancar arus barang dari desa kota maupun dari
kota ke desa. Oleh karena itu simulasi pertama yang
dilakukan yaitu, apabila pemerintah daerah dapat
meningkatkan belanja modal sebesar 20 persen, maka

115
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

dampaknya terhadap perekonomian dapat dilihat pada


Tabel 22.
Tabel 22 Dampak Kenaikan Belanja Modal 20 Persen

Dampak simulasi ini terhadap permintaan


agregat adalah konsumsi masyarakat naik kurang dari
0.01 persen, investasi swasta naik 3,40 persen dan
total pengeluaran pemerintah daerah naik sebesar 0.12
persen, ekspor daerah naik, 0.04 persen, dan impor
daerah juga naik dari 0.20 persen, dan akibatnya
ekspor bersih turun 0,62 persen. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan belanja modal 20

116
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

persen berdampak positif terhadap permintaan agregat


secara keseluruhan.
Apabila dilihat dari sisi produk domestik
regional bruto berdasarkan sektor, maka terjadi
kenaikan pada PDRB sektor pertanian 0.06 persen,
sektor industri dan perdagangan 0,14 persen, dan
sektor lainnya naik 0,18. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan belanja modal
memberi dampak positif pada semua sektor yang,
meskipun dampak relatif sangat kecil karena kurang 1
persen.
Apabila dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja,
maka terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja
sektor pertanian meningkat 0.14 persen, dan
meningkatkan penyerapan tenaga kerja non pertanian
naik 0,25 persen, sehingga pengangguran turun
sebesar 1,84 persen. Dampak akhir dari kebijakan ini
adalah jumlah penduduk miskin, turun sebesar 0.03
persen.

D. Dampak Peningkatan Total Pengeluaran


Pemerintah 20 Persen

Simulasi kedua yang dilakukan adalah asumsi


bahwa pemerintah kabupaten dapat meningkatkan total
pengeluarannya sebesar 20 persen. Asumsi ini pada
pasarnya agak sulit dilakukan, karena keterbatasan
sumber penerimaan dari pemerintah daerah, namun
peneliti sengaja melakukan dengan tujuan mengetahui

117
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

dampak dari kenaikan total pengeluaran pemerintah


kabupaten terhadap perekonomian daerah. Dampak
simulasi ini terhadap perekonomian dapat dilihat pada
Tabel 23.
Dampak simulasi ini terhadap permintaan
agregat adalah konsumsi masyarakat naik kurang dari
0.01 persen, investasi swasta naik 5,09 persen, ekspor
daerah naik, 0.04 persen, dan impor daerah juga naik
dari 0.31 persen, dan akibatnya ekspor bersih turun
0,91 persen. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
peningkatan total pengeluaran pemerintah sebesar 20
persen berdampak positif terhadap permintaan agregat
secara keseluruhan.
Apabila dilihat dari sisi produk domestik
regional bruto berdasarkan sektor, maka terjadi
kenaikan pada PDRB sektor pertanian 0.09 persen,
sektor industri dan perdagangan 0,21 persen, dan
sektor lainnya naik 0,26. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa total pemerintah daerah memberi
dampak positif pada semua sektor yang ada, meskipun
dampak relatif sangat kecil karena kurang 1 persen.

118
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Tabel 23. Dampak Kenaikan Total pengeluaran


pemerintah 20 Persen

Apabila dilihat dari sisi penyerapan tenaga


kerja, maka terjadi peningkatan penyerapan tenaga
kerja sektor pertanian meningkat 0.21 persen, dan
meningkatkan penyerapan tenaga kerja non pertanian
naik 0,38 persen, sehingga pengangguran turun
sebesar 2,73 persen. Dampak akhir dari kebijakan ini
adalah jumlah penduduk miskin, turun sebesar
0.04persen.

119
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

E. Dampak Peningkatan Investasi 20 Persen.


Simulasi ketiga yang dilakukan adalah
simulasi non fiskal dalam bentuk peningkatan investasi
swasta sebesar 20 persen. Apabila pemerintah daerah
dapat menciptakan kondisi ekonomi yang sehat di
daerah, serta melakukan promosi investasi dengan
gencar, maka diasumsikan bahwa investasi swasta
dapat ditingkatkan sampai 20 persen. Dampak simulasi
ini terhadap perekonomian dapat dilihat pada Tabel 23
di bawah ini.
Tabel 24. Dampak Kenaikan Investasi Pemerintah 20
Persen

Dampak simulasi ini terhadap permintaan


agregat adalah konsumsi masyarakat naik kurang dari
0.05 persen, total pengeluaran pemerintah naik 0,01

120
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

persen, ekspor daerah naik, 0.54 persen, dan impor


daerah juga naik dari 0.18 persen, dan akibatnya
ekspor bersih turun 0,52 persen. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan investasi swasta 20
persen berdampak positif terhadap permintaan agregat
secara keseluruhan.
Apabila dilihat dari sisi produk domestik
regional bruto berdasarkan sektor, maka terjadi
kenaikan pada PDRB sektor pertanian 0.37 persen,
sektor industri dan perdagangan 0,83 persen, dan
sektor lainnya naik 1,04. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa peningkatan investasi swasta 20
persen memberi dampak positif pada semua sektor,
dan memberi dampak yang cukup baik dibanding
dengan simulasi 1 dan 2.
Apabila dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja,
maka terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja
sektor pertanian meningkat 0.84 persen, dan
meningkatkan penyerapan tenaga kerja non pertanian
naik 1,49 persen, sehingga pengangguran turun
sebesar 10,81 persen. Dampak akhir dari kebijakan ini
adalah jumlah penduduk miskin, turun sebesar 0.23
persen.

121
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

BAGIAN 8

EFEKTIFITAS PENGELUARAN PEMERINTAH


DAERAH TERHADAP PEREKONOMIAN DAN
KEMISKINAN

P
ada bagian ini, penulis menganalisis pola
hubungan antara variabel pengeluaran
pemerintah kabupaten dan kota terutama
belanja modal dengan pertumbuhan PDRB, belanja
modal dengan kemiskinan, dan belanja modal dengan
pengangguran kabupaten kota. Hal ini menarik karena
dengan gambaran ini memungkinkan untuk
mengetahui posisi masing-masing kabupaten kota yang
ada di Provinsi Sulawesi Selatan.
Di samping itu juga akan diuraikan dianalisis
pola hubungan PDRB dengan kemiskinan dan PDRB
dengan pengangguran masing-masing kabupaten kota
di Provinsi Sulawesi Selatan. Pola hubungan yang
dimaksud dibuat dalam dua periode yaitu periode yaitu
tahun 2007-2010 dan periode tahun 2011-2014.

122
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

A. Analisis Belanja Modal terhadap Produk


Domestik Regional Bruto

Pola hubungan antara persentase rata-rata


pertumbuhan belanja modal dengan persentase rata-
rata pertumbuhan produk domestik regional bruto
menunjukkan angka positif namun tidak nyata yaitu
0.193 pada periode tahun 2007-2010 dan 0.180 untuk
periode tahun 2011-2014. Hal tersebut menunjukkan
bahwa belanja modal yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah belum sepenuhnya dapat
mendorong pertumbuhan PDRB di daerahnya.
Untuk jelasnya pola hubungan antara persentase
rata-rata pertumbuhan belanja modal dengan
persentase rata-rata pertumbuhan produk domestik
regional bruto dapat dilihat pada Gambar 5 dan 6.
Gambar 5 dan 6menunjukkan bahwa pada
periode tahun 2007-2010 hanya ada empat kabupaten
kota yang berada pada kuadran I pada kondisi terbaik,
empat berada di kuadran II, tujuh berada di kuadran
IV, dan enam berada pada kuadran III kondisi
terburuk. Sementara pada periode tahun 2011-2014
terjadi pergeseran, dimana terdapat 6 kabupaten kota
berada pada kuadran I kondisi terbaik, empat di
kuadran II, enam pada kuadran IV, dan 6 pada
kuadran III kondisi terburuk

123
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Gambar 5: Pola Hubungan antara Pertumbuhan Rata-


rata Belanja Modal dengan Pertumbuhan Rata-rata
Produk Domestik Regional Bruto Tahun 2007-2010

Gambar 6: Pola Hubungan antara Pertumbuhan Rata-


rata Belanja Modal dengan Pertumbuhan Rata-rata
Produk Domestik Regional Bruto Tahun 2011-2014

Kuadran III, dengan kondisi terburuk meliputi


enam kabupaten yaitu Jeneponto, Luwu, Bantaeng,

124
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Pinrang, Enrekang dan Tana Toraja. Jika


membandingkan rata-rata pertumbuhan belanja modal
dengan rata-rata pertumbuhan PDRB periode tahun
2007-2010 dan periode tahun 2011-2014, maka
terdapat dua kabupaten yang konsisten berada pada
kuadran III, yaitu Kabupaten Jeneponto dan Tana
Toraja, dan tidak satupun kabupaten kota yang
konsisten berada pada kondisi terbaik di Kuadran I.
Kabupaten Jeponto dan Kabupaten Tana Toraja
adalah dua kabupaten dengan tingkat pendapatan
perkapita yang relatif kecil dibanding dengan
kabupaten lain dengan jumlah penduduk cukup besar.
Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua kabupaten
tersebut memiliki keterbatasan belanja modal dalam
membangun infrastruktur, sehingga investor swasta
kurang tertarik, akibatnya membuat pertumbuhan
PDRB kedua kabupaten tersebut relatif kecil dibanding
dengan kabupaten lainnya.
Sementara Kota Makassar yang sebelumnya
berada pada kuadran I bergeser ke kuadran IV
menujukkan bahwa pertumbuhan PDRB di Kota
Makassar lebih banyak didorong oleh investasi swasta
mengingat keberadaan kota makassar, sebagai ibu kota
provinsi dengan infrastuktur yang cukup bangus,
dibanding daerah lainnya.
Pada sisi lain Kabupaten Luwu Timur sebagai
satu-satunya Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan
yang memiliki perusahaan tambang yang cukup besar
dimana total PDRB lebih 80 persen disumbangkan

125
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

oleh sektor pertambangan. bergeser dari kuadran I ke


kuadran II. Pergeseran disebabkan karena
pertumbuhan PDRB sektor pertambangan relatif tetap.

B. Analisis Belanja Modal terhadap Kemiskinan


Pola hubungan antara persentase rata-rata
pertumbuhan belanja modal dengan persentase rata-
rata penduduk miskin menunjukkan angka negatif dan
nyata pada periode tahun 2005-2009 yaitu -0.370, dan
negatif tidak nyata pada untuk periode tahun 2010-
2014 yaitu -0.047. Hal tersebut menunjukkan bahwa
kualitas belanja modal yang dilakukan oleh pemerintah
daerah pada periode tahun 2010-2014 turun di banding
pada periode tahun 2007-2010. Dalam arti bahwa
belanja modal yang dikeluarkan oleh pemerintah pada
peride 2011-2014 kurang berpihak kepada penduduk
miskin dibanding periode tahun 2007-2010.
Untuk jelasnya pola hubungan persentase rata-
rata pertumbuhan belanja modal dengan persentase
rata-rata penduduk miskin dapat dilihat pada Gambar
7 dan 8.
Gambar 7 dan 8 menunjukkan bahwa pada
periode tahun 2007-2010, terdapat tujuh kabupaten
kota yang berada pada kuadran II, tiga berada di
kuadran I, delapan berada di kuadran IV, dan empat
berada di kuadran III. sementara pada periode tahun
2007-2010 terjadi pergeseran, dimana terdapat sebelas
kabupaten kota berada pada kuadran II, tujuh pada I,
tiga pada kuadran III, dan hanya dua pada kuadran IV.

126
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam era otonomi


daerah dewasa ini, keberpihakan pemerintah daerah
terhadap kemiskinan pada masing-masing kabupaten
kota, cukup bervariasi, dan cenderung tidak konsisten.

Gambar 7: Pola Hubungan antara Pertumbuhan Rata-


rata Belanja Modal dengan Rata-rata Penduduk
Miskin Tahun 2007-2010

Apabila kita membandingkan persentase rata-rata


pertumbuhan belanja modal dengan persentase rata-
rata penduduk miskin periode tahun 2007-2010 dan
periode tahun 2011-2014, maka dua kabupaten yaitu
Jeneponto, dan Luwu konsisten berada pada kuadran
IV, sedang lima kabupaten lainnya bergeser yaitu
Kabupaten Maros, Pangkep, Luwu Utara, dan Tana
Toraja bergeser ke kuadran I, Kabupaten Gowa, Sinjai
ke kuadran II. Sementara kabupaten kota yang
konsisten berada pada kondisi terbaik pada kuadran II

127
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

yaitu Kabupaten Wajo, Luwu Timur, Soppeng, Barru,


dan Kota Palopo.

Gambar 8: Pola Hubungan antara Pertumbuhan Rata-


rata Belanja Modal dengan Rata-rata Penduduk
Miskin Tahun 2011-2014

Pada periode 2011-2014 terdapat tujuh


kabupaten kota yang berada pada kuadran I yaitu
Kabupaten Pangkep, Enrekang, Maros Selayar, Tana
Toraja, Bone, dan Luwu Itara. Kondiri pada kuadran I
menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan belanja
modal yang dikeluarkan oleh kebupaten kota yang
bersangkutan cukup tinggi dibanding dengan
kabupaten lainnya, namun tingkat kemiskinan di
daerah tersebut tetap tinggi. Dengan demikian pola
hubungan antara belanja modal dan kemiskinan sangat
rendah di daerah ini. Hal tersebut mengindikasikan

128
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

bahwa belanja modal yang dikeluarkan kurang


menyentuh pada kantong-kantong kemiskinan di
daerah tersebut, dan sekaligus menunjukkan bahwa
keberpihakan pemerintah daerah terhadap penduduk
miskinan di daerahnya relatif rendah.

C. Analisis Belanja Modal terhadap Pengangguran

Pola hubungan antara persentase rata-rata


pertumbuhan belanja modal dengan persentase rata-
rata pengangguran, menunjukkan angka negatif dan
tidak nyata pada periode tahun 2007-2010 yaitu -
0.040, dan -0.068 untuk periode tahun 2011-2014. Hal
tersebut menunjukkan bahwa belanja modal yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah kurang dapat
menurunkan pengangguran yang ada di daerahnya.
Untuk jelasnya pola hubungan persentase rata-
rata pertumbuhan belanja modal dengan rata-rata
pengangguran dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10.
Gambar 8 dan 9 menunjukkan bahwa pada
periode tahun 2007-2010 terdapat lima kabupaten kota
yang berada pada kuadran II, lima berada di kuadran I,
tujuh berada di kuadran IV, dan enam berada di
kuadran III. Sementara pada periode tahun 2011-2014
terjadi pergeseran, dimana terdapat delapan kabupaten
kota berada pada kuadran II, sepuluh pada I, empat
pada kuadran III, dan hanya satu pada kuadran IV.

129
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Gambar 9: Pola Hubungan antara Pertumbuhan Rata-


rata Belanja Modal dengan Rata-rata Pengangguran
Tahun 2007-2010

Kuadran IV, dengan kondisi terburuk yaitu


hanya Kota Makassar pada periode tahun 2011-2014,
hal ini mungkin disebabkan karena Kota Makassar
sebagai ibukota provinsi, sehingga tidak sedikit
penduduk yang mengadu nasib mencari pekerjaan di
Kota Makassar, mengakibatkan pengangguran di Kota
Makassar cukup tinggi. Sementara tiga kabupaten yang
konsisten berada pada kondisi terbaik pada kuadran II
yaitu Kabupaten Wajo, Soppeng, Enrekang.
Kota Makassar, Palopo, dan Pare-pare memiliki
tingkat pengangguran yang cukup tinggi dibanding
dengan daerah lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa
angkatan kerja yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan

130
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

cenderung mencari pekerjaan di kota. Mengingat


ketiga daerah itu adalah merupakan kota yang ada di
Provinsi Sulawesi Selatan. Sementara Kabupaten
Gowa, Maros, dan Pangkep adalah tiga kabupaten
yang berlokasi sangat dekat dengan Kota Makassar.
Semenatara Kabupaten Luwu Timur adalah satu-
satunya kabupaten yang memiliki lokasi pertambangan
yang cukup besar.

Gambar 10: Pola Hubungan antara Pertumbuhan Rata-


rata Belanja Modal dengan Rata-rata Pengangguran
Tahun 2011-2014

D. Analisis Produk Domestik Regional Bruto


terhadap Kemiskinan

Pola hubungan antara persentase rata-rata


pertumbuhan PDRB dengan persentase rata-rata

131
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

penduduk miskin menunjukkan angka negatif dan


nyata pada periode tahun 2007-2010 yaitu -0.396, dan
angka negatif tidak nyata untuk periode tahun 2011-
2014 yaitu -0.249. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pertumbuhan PDRB kabupaten kota kualitasnya
menurun pada peride 2010-2014 dibanding dengan
peride 2007-2010, dalam arti bahwa pertumbuhan
PDRB pada tahun 2011-2014 kurang berkualitas,
dalam arti bahwa pertumbuhan yang ada lebih banyak
dinikmati oleh goloangan menengah ke atas.
Untuk melihat pola hubungan persentase rata-
rata pertumbuhan PDRB dengan persentase rata-rata
penduduk miskin tahun 2007-2010 dan 2011-2014
dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12.
Gambar 23 dan 24 menunjukkan bahwa pada
periode tahun 2005-2009 terdapat enam kabupaten
kota yang berada pada kuadran II, lima berada di
kuadran I, enam berada di kuadran IV, dan enam
berada di kuadran III. Sementara pada periode tahun
2011-2014 terjadi pergeseran, dimana terdapat delapan
kabupaten kota berada pada kuadran II, empat pada I,
lima pada kuadran III, dan lima pada kuadran IV.

132
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Gambar 11: Pola hubungan Pertumbuhan Rata-rata


Produk Domestik Regional Bruto dengan Tingkat
Rata-rata Kemiskinan Tahun 2007-2010.

Gambar 12: Pola hubungan Pertumbuhan Rata-rata


Produk Domestik Regional Bruto dengan Tingkat
Rata-rata Kemiskinan Tahun 2011-2014

133
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Jika membandingkan antara persentase rata-rata


pertumbuhan PDRB dengan persentase rata-rata
penduduk miskin tahun 2007-2010 dan periode tahun
2011-2014, maka tiga kabupaten yaitu Jeneponto,
Tana Toraja, dan Maros konsisten berada pada kuadran
IV, tiga kabupaten yang sebelumnya berada pada
kuadran IV, yaitu Kabupaten Selayar, Bone, dan Gowa
bergeser ke kuadran I, dan dua kabupaten yaitu Luwu
dan Enrekang yang sebelumnya berada pada kuadran I
bergeser ke kuadran IV. Sementara kabupaten kota
yang konsisten berada pada kondisi terbaik pada
kuadran II yaitu Kota Makassar, Pare-Pare, Palopo,
serta Kabupaten Sidenreng Rappang.
Pada periode tahun 2011-2014 terdapat empat
kabupaten yang berada pada kuandran I yaitu
Kabupaten Pangkep, Selayar, Bone dan Luwu Utara,
hal tersebut menunjukkan bahwa keempat kabupatan
tersebut mengindikasikan bahwa pertumbuhan
ekonomi pada empat kabupaten tersebut kurang
berkualitas, dalam arti hanya bertumpuh pada
golongan menengah keatas. Dikatakan demikian
karena kondisi pada kuandran I menunjukkan
pertumbuhan PDRB yang relatif tinggi namun tingkat
kemiskinan juga cukup tinggi.

134
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

E. Analisis Produk Domestik Regional Bruto


terhadap Pengangguran

Pola hubungan antara persentase rata-rata


pertumbuhan PDRB dengan persentase rata-rata
pengangguran menunjukkan angka negatif dan tidak
nyata pada periode tahun 2007-2010 yaitu -0.304 dan
-0.115 pada periode tahun 2011-2014. Hal tersebut
menujukkan bahwa pertumbuhan PDRB kabupaten
kota belum sepenuhnya dapat menurunkan angka
pengangguran yang ada di daerah tersebut.
Untuk jelasnya pola hubungan persentase rata-
rata pertumbuhan PDRB dengan persentase rata-rata
pengangguran dapat dilihat pada Gambar 12 dan 13.
Gambar 13 dan 14 menunjukkan bahwa pada
periode tahun 2007-2010 terdapat lima kabupaten kota
yang berada pada kuadran II, tujuh berada di kuadran I,
lima berada di kuadran IV, dan enam berada di
kuadran III. Sementara pada periode tahun 2011-2014
terjadi pergeseran, dimana terdapat enam kabupaten
kota berada pada kuadran II, delapan pada I, enam
pada kuadran III, dan tiga pada kuadran IV

135
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Gambar 13: Pola hubungan Pertumbuhan Rata-rata


Produk Domestik Regional Bruto dengan Tingkat
Rata-rata Pengangguran Tahun 2007-2010

Gambar 14: Pola hubungan Pertumbuhan Rata-rata


Produk Domestik Regional Bruto dengan Tingkat
Rata-rata Pengangguran Tahun 2011-2014

136
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Jika membandingkan antara persentase rata-rata


pertumbuhan PDRB dengan persentase rata-rata
pengangguran tahun 2007-2010 dan periode tahun
2011-2014, maka hanya satu kabupaten yaitu Barru
yang konsisten berada pada kuadran IV, empat
kabupaten yang sebelumnya berada pada kuadran IV
yaitu Kabupaten Gowa, Selayar, bergeser ke kuadran I,
Tana Toraja bergeser ke kuadran ke III, sementara
Kabupaten Bone bergeser ke kuadran ke II.
Selanjutnya hanya satu kabupaten yang konsisten
berada pada kondisi terbaik di kuadran II yaitu
Kabupaten Sinjai.
Kota Makassar, Palopo, dan Pare-pare adalah
tiga kota di Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki
tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan
juga memiliki tingkat pengangguran yang cukup
tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan
ekonomi yang tinggi di ketiga kota tersebut mendorong
para pencari kerja untuk melakukan migrasi ke kota
tersebut, untuk mendapatkan penghasilan yang lebih
tinggi pada sektor industri di perkotaan. Hal tersebut
wajar mengingat secara teoritis, Todaro (2009)
mengatakan bahwa pada dasarnya sektor industri atau
modern di perkotaan memiliki tingkat penghasilan
yang lebih tinggi dibanding dengan sektor pertanian di
perdesaan, sehingga mendorong para pencari kerja di
perdesaan untuk melakukan migrasi ke perkotaan.

137
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

BAGIAN 9

KESIMPULAN IMPLIKASI KEBIJAKAN


DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis


yang telah dilakukan tentang dampak kebijakan fiskal
terhadap perekonomian kabupaten kota di Provinsi
Sulawesi Selatan dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Hasil estimasi model menunjukkan bahwa
kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah
daerah terutama belanja modal berpengaruh
positif terhadap investasi swasta. Selanjutnya
investasi swasta berpengaruh positif dan nyata
terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan
tenaga kerja dan kemiskinan pada 10 kabupaten
kota di Provinsi Sulawesi Selatan
2. Hasil estimasi model menunjukkan bahwa indeks
pembangunan manusia (IPM), investasi swasta
dan penyerapan tenaga kerja berpengaruh positif
dalam menurunkan angka kemiskinan, namun
hanya indeks pembangunan manusia yang
berpengaruh nyata terhadap penurunan angka
kemiskinan. Berbeda halnya dengan jumlah
penduduk miskin tahun sebelumnya berpengaruh
nyata dalam meningkatkan angka kemiskinan,

138
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

sementara belanja sosial berpengaruh positif


dalam meningkatkan angka kemiskinan, hal
tersebut menunjukkan bahwa, belanja sosial yang
digunakan oleh pemerintah daerah paling tidak
banyak yang tidak tepat sasaran.
3. Hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa
peningkatan belanja modal dan atau total
pengeluaran pemerintah pada 10 kabupaten di
Provinsi Sulawesi Selatan, memberi dampak yang
positif terhadap pertumbuhan ekonomi,
pengurangan kemiskinan, dan pengangguran.
Meskipun demikian dampak yang ditimbulkannya
relatif kecil (kurang dari 0,25 persen per tahun)
baik terhadap pertumbuhan ekonomi,
pengurangan pengangguran, terlebih terhadap
pengurangan kemiskinan.
4. Pertumbuhan rata-rata belanja pemerintah daerah
berpengaruh positif dan nyata terhadap
pertumbuhan rata-rata produk domestik regional
bruto pada periode tahun 2007-2014 pada
Kabupaten Kota di Provinsi Sulawesi Selatan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kenaikan belanja
pemerintah daerah dapat mendorong
meningkatnya pertumbuhan PDRB di daerahnya.
5. Pertumbuhan rata-rata belanja pemerintah daerah
berpengaruh negatif namun tidak nyata terhadap
penggangguran untuk pada periode tahun 205-
2014. Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan
belanja pemerintah daerah belum sepenuhnya

139
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

dapat menurunkan angka penggangguran


kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
Ditemukan pula bahwa Kota Makassar, Pare-pare,
dan Palopo adalah tiga kota dengan dengan tingkat
pengangguran yang cukup tinggi meskipun
memiliki pertumbuhan belanja pemerintah yang
cukup tinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
ada kecenderungan bahwa para pencari kerja lebih
memilih bertaruh mencari pekerjaan di kota-kota
yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan.
6. Pertumbuhan rata-rata belanja pemerintah
berpengaruh negatif namun tidak nyata terhadap
rata-rata angka kemiskinan untuk periode tahun
2007-2014 di Provinsi Sulawesi Selatan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kenaikan belanja
pemerintah daerah belum sepenuhnya dapat
menurunkan angka kemiskinan kabupaten dan
kota di Provinsi Sulawesi Selatan.
7. Pertumbuhan rata-rata produk domestik regional
bruto berpengaruh negatif terhadap rata-rata angka
kemiskinan untuk periode tahun 2007-2014 di
Provinsi Sulawesi Selatan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kenaikan PDRB belum
sepenuhnya dapat menurunkan angka kemiskinan
kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan.

140
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

B. Implikasi Kebijakan

Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan yang


telah dikemukakan, maka beberapa implikasi
kebijakan dapat dilakukan yaitu:
1. Hasil estimasi dan simulasi menunjukkan bahwa
investasi swasta merupakan faktor penting dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi dan
mengurangi pengangguran. Oleh karena itu
pemerintah daerah perlu mengambil kebijakan-
kebijakan yang dapat mendorong tumbuh
kembangnya investasi swasta di daerah, termasuk
di dalamnya memberi stimulus terhadap
berkembangnya sektor swasta dengan memberi
pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan
iklim usaha yang kondusif, memfasilitasi
berkembangnya sumber-sumber pendanaan
mandiri bagi masyarakat dan peningkatan belanja
modal dalam upaya untuk membangun dan
memperbaiki infrastuktur di daerahnya, serta
promosi investasi baik di dalam maupun di luar
negeri.
2. Pemberdayaan kegiatan ekonomi di luar sektor
pertanian terutama di daerah perdesaan perlu lebih
ditingkatkan. Hal ini perlu dilakukan untuk
mengurangi urbanisasi dan sekaligus
meningkatkan diversifikasi ekonomi perdesaan
agar pilihan usaha bagi masyarakat di perdesaan
lebih beragam. Dengan berkembangnya kegiatan

141
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

ekonomi luar pertanian di perdesaan, maka pasar


bagi hasil-hasil pertanian akan semakin terbuka,
dan pada gilirannya akan memacu pertumbuhan
sektor pertanian di perdesaan. Apabila kegiatan ini
dapat dilaksanakan dengan baik, maka diharapkan
dapat mengurangi pengangguran, ketimpangan
pendapatan, dan kemiskinan yang banyak terdapat
di daerah perdesaan.
3. Kurang responsifnya kebijakan fiskal terhadap
penurunan jumlah penduduk miskin, menunjukkan
kebijakan fiskal yang dilakukan oleh pemerintah
daerah belum sepenuhnya berpihak pada
penduduk miskin. Oleh karena itu untuk
meningkatkan respons dari kebijakan, maka
sebaiknya pemerintah daerah perlu lebih berpihak
dan fokus serta diperlukan kebijakan yang bersifat
langsung dan produktif yang ditujukan pada
masyarakat miskin dan rawan pangan khususnya
pada buruh dan petani gurem dengan melakukan
program pendampingan.
4. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang
lebih tinggi dan berkualitas, maka pemerintah
daerah perlu melakukan identifikasi tentang
sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang ada di
daerahnya, dan selanjutnya menetapkan skala
priotas untuk pengembangan pembangunan
kedepan.
5. Untuk dapat mengurangi angka pengangguran yang
ada di daerahnya, maka pemerintah daerah perlu

142
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

membangun infrastruktur dan lebih menciptakan


iklin usaha yang sehat, guna menarik para investor
untuk menanamkan modal di daerahnya, dengan
lebih mengutamakan investor yang padat karya.
6. Untuk dapat mengurangi angka kemiskinan di
daerahnya, maka dibutuhkan keberpihan yang
lebih dari pemerintah daerah. Keberpihakan yang
dimaksud dapat berupa pembangunan infrastrukur
pada daerah-daerah yang menjadi kantong
kemiskinan dan melakukan program pembedayaan
secara berkesinambungan.

C. Saran untuk Penelitian Lanjutan

Berdasarkan kesimpulan, maka beberapa saran


yang direkomendasikan untuk dilakukan penelitian
lanjut:
1. Oleh karena indeks pembangunan manusia (IPM)
merupakan variabel yang berpengaruh nyata
terhadap penurunan angka kemiskinan, maka
pengkajian yang lebih dalam tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi indeks pembangunan manusia
perlu dilakukan. Untuk itu dalam penelitian untuk
tahun kedua, maka perlu memasukkan indeks
pembangunan manusia dalam persamaan struktural,
untuk mengetahui variabel fiskal dan variabel yang
mempengaruhi indeks pembangunan manusia.
2. Oleh karena respons belanja sosial terhadap

143
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

kemiskinan adalah positif, walaupun tidak nyata,


maka perlu dilakukan pengkajian yang lebih
mendalam tentang ketepatan penggunaan belanja
sosial yang dilakukan oleh pemerintah daerah
kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan.

144
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

DAFTRA PUSTAKA

Akhmad, N.A. Achsani, M. Tambunan, S.A. Mulyo.


2012. Impact of Fiscal Policy on the Agricultural
Development in an Emerging Economy: Case
Study from the South Sulawesi, Indonesia.
International Research Journal of Finance and
Economics. 96:101-112.

Alisjahbana, A.S. 2000. Desentralisasi Fiskal dan


Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah.
Makalah Disampaikan pada Seminar Ekonomi
Science, Club STIE YPKP.

Alm, J., R.H. Aten, and R. Bahl. 2001. Can Indonesia


Decentralise Successfuly? Plans, Problems and
Prospects. Buletin of Indonesian Economic
Studies. 37(1): 83-102Badan Pusat Statistik.
20012. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik,
Jakarta.

Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan. 2012. Sulawesi


Selatan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Sulawesi Selatan, Makassar.

Basri, F. 2004. Tinjauan Bisnis dan Perekonomian


Indonesia Setelah 5 Tahun Kelahiran Undang-
Undang Nomor 5/1999. Disampaikan pada
Seminar Sehari: Refleksi Lima Tahun Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999. Diselenggarakan

145
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

oleh Komisi Pengawas Komite Persaingan Usaha


(KPPU), Medan.

Brodjonegoro, B. and J.M. Vazques. 2002. An


Analysis of Indonesia’s Transfer System: Recent
Performance and Future Prospect. International
Studies Program. Georgia State University,
Working Paper, 02-29.

Cullis, J.G. and P.R. Jones. 1992. Public Finance and


Public Choice. McGrow Hill. Singapore.

Dornbursh, R., S. Fisher, and R.Startz. 2008.


Macroeconomics. Ten Edition. Mc Graw-Hill
Book Company, Tokyo.

Fan, S. and N. Rao. 2003. Public Spending In


Developing Countries: Trends, Determination,
and Impact. EPTD Discussion Paper No. 99.
International Food Policy Research Institute.
Washington, D.C.

Gemmell, N. and R. Kneller. 2002. Fiscal Policy


Impacts on Growth in the OECD:Are They
Long- or Short-Run. University of Nottingham,
UK. http://www.ucm.es/info/ecap2/
seminario/seminario05.06/Ismael_Sanz.

Iimi, A. 2005. Decentralization and Economic Growth


Revisited: An Empirical Note. Journal of Urban
Economics. 57: 449-461.

146
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Lin, J.Y. and Z. Liu. 2000. Fiscal Decentralization and


Economic Growth in China. Economic
Development and Cultural Change. 49(1):1-21.

Mardiasmo. 2009. Kebijakan Desentrasi Fiskal di Era


Reformasi: 2005-2008: Era Baru kebijakan
Fiskal. Buku Kompas. Jakarta.

McCann, P. 2001. Urban and Regional Economics.


Oxford University Press Inc. Yew York.

Mehmood, R. and S. Sadiq. 2010. The Relationship


between Government Expenditure and Poverty:
A Cointegration Analysis. Romanian Journal of
Fiscal Policy. 1(1):29-37.

Muhammad, M. 2004. Kebijakan Fiskal di Masa Krisis


1997: Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan
Implementasi. Kompas, Jakarta.

Musgrave, R. A. and Musgrave, P. B. 1991. Keuangan


Negara dalam Teori dan Praktek. Penerbit
Erlangga, Jakarta.

Pindyck, R.S and D.L Rubinfeld. 1995.


Microeconomics. Third Edition. Precentice Hall,
Englewood Cliffs, New Jersy.

Poque T.F. and L.G. Sgontz, 1978. Government and


Aconomic Choice: An Introduction to Public
Finance. Hougton Mifflin Company, Boston.

Rindayati, W. 2009. Dampak Desentralisasi Fiskal


terhadap Kemiskinan dan Ketahanan Pangan di
Wilayah Provinsi Jawa Barat. Disertasi Doktor.

147
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,


Bogor.

Ritonga, A.A. 2002. Kebijakan Pengelolaan Anggaran.


Tinjauan dalam Aspek Pengeluaran Anggaran
Negara Tahun 2003. Seminar Ikatan Sarjana
Ekonomi Indonesia. 29 Agustus 2002, Jakarta.

Romer, D. 2001. Advanced Macroeconomics,


Second Edition, McGraw-Hill Book Company
Co, Singapore.

Samimi, A.J., S.K.P.Lar, G.K.Haddad, and M.


Alizadeh. 2010. Fiscal Decentralization and
Economic Growth in Iran. Australian Journal of
Basic and Applied Sciences. 4(11):5490-5495.
Sen , A. K. 1981. Poverty and Famines. An Essay on
Entlitements and Deprivation. Basil Blacwell,
Oxford.

Simanjuntak, R. 2002. Kebutuhan Fiskal, Kapasitas


Fiskal dan Optimasi Potensi Pendapatan Asli
Daerah (PAD). Working Paper. Lembaga
Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat,
Universitas Indonesia, Jakarta.

Siregar, R.Y. 2001. Survey of Recent Developments,


Bulletin of Indonesian Economic Studies. 37(3):
277-303.
Subiyantoro, H. dan S. Rifat, 2004. Kebijakan
Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan
Implementasi. Kompas, Jakarta.

148
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Suparmoko. 2002. Ekonomi Publik: Untuk Keuangan


dan Pembangunan Daerah. Edisi Pertama. Andi
Offset, Yogyakarta.

Usman. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap


Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan.
Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

World Bank. 2007. Desentralisasi Fiskal dan


Kesenjangan Daerah: Kajian Pengeluaran Publik
Indonesia 2007.
http://siteresources.worldbank.org/
Intindonesia/Resources/226271-1168333550999.

Yodhoyono, S.B. 2004. Pembangunan Pertanian dan


Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi
Kemiskinan dan Pengangguran: Analisisi
Ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi
Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

149
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Tentang Pernulis

Dr. Akhmad, S.E., M.Si. lahir 31


Desember 1965 di Maroanging
Kabupaten Bone, Provinsi
Sulawesi Selatan, sebagai anak ke
lima dari enam bersaudara, dari
pasangan Pide (almarhum) dan
Hajirah (almarhumah).
Akhmad melanjutkan
pendidikan sarjana Strata Satu
tahun 1984 pada Jurusan Manajemen pada Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi Yayasan Pendidikan Ujung
Pandang dan lulus tahun 1988. Pada tahun 1991
Penulis melanjutkan pendidikan Magister pada
Program Studi Agribisnis, Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin, dan lulus tahun 1993. Pada
tahun 2008 penulis memperoleh kesempatan untuk
mengikuti pendidikan program doktor pada Program
Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor dengan sponsor BPPS dan
lulus pada tahun 2012.
Penulis bekerja diawali dengan menjadi Dosen
tetap yayasan pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
(STIE) Yayasan Pendidikan Pendidikan Ujung
Pandang (YPUP) tahun 1989 sampai tahun 2004.
Kemudian sebagai Dosen L2DIKTI Wilayah IX
Sulawesi yang dipekerjakan pada STIE-YPUP sejak
tahun 2004 sampai tahun 2016, dan dipekerjakan pada
Universitas Muhmaadiyah Makassar sejak Desember
2016 sampai sekarang.

150
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Akhmad adalah penulis yang aktif dan telah


menghasilkan tiga buah buku dengan judul, yaitu: (1)
Ekonomi Mikro: Teori dan Aplikasi di Dunia Usaha,
(2) Manajemen Operasi: Teori dan Aplikasi dalam
Dunia Bisnis (3) Manajemen Keuangan Daerah:
Dalam Era Otonomi Daerah. Di samping buku
Akhmad juga aktif dalam penulisan artikel ilmiah.
Puluhan artikelnya telah dipublikan bada berbagai
jurnal, baik pada, Jurnal Nasional, Jurnal Nasional
Terakreditasi, Jurnal Internasional, maupun
Internasional bereputasi.

------------------------------------------------------------------

AMIR, SE, M.Pd, M.Si., Ak, CA,


lahir 31 Desember 1964 di
Enrekang, Provinsi Sulawesi
Selatan, anak keempat dari empat
bersaudara hasil buah cinta dari
pasangan Tinja (almarhumah)
dengan Lisu (almarhum).
Amir melanjutkan
pendidikan ke strata satu (S1)
tahun 1983 pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi –
Yayasan Pendidikan Ujung Pandang (STIE -YPUP)
dan selesai tahun 1989. Meraih gelar Sarjana Ekonomi
dari Universitas Hasanuddin Makassar dengan register
Akuntan tahun 1999. Magister Pendidikan dari
Universitas Negeri Makassar tahun 2004, Magister
Sains dengan konsentrasi Manajemen Keuangan dari
Universitas Hasanuddin tahun 2009.
Pengalaman kerja: wartawam Harian Fajar
tahun 1989 – 1991. Koresponden Harian Suara

151
MENANGGULANGI KEMISKINAN DI DAERAH

Pembaran tahun 1990 – 1993. Redaktur Majalah Dunia


Pendidikan tahun 1995 – 1999. Staf Redaksi Majalah
Cerdas, terbitan Kopertis Wilayah IX Sulawesi tahun
2006 - 2008. Dosen Tetap Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Yayasan Pendidikan Ujung Pandang (STIE-
YPUP) tahun 1993 - 2005. Terangkat Dosen Kopertis
dipekerjakan (DPK) STIE – YPUP tahun 2005 - 2017.
Dosen luar biasa pada Sekolah Tinggi Ilmu
Manajemen Yayasan Pembangunan Manajemen
Indonesia (STIMI-Yapmi) tahun 1997 – 2019. Dosen
DPK Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makssar
tahun 2017 hingga sekarang.
Amir juga aktif dalam penulisan artikel ilmiah.
Beberapa artikelnya telah dipublikan bada berbagai
jurnal, baik pada, Jurnal Nasional, Jurnal Internasional,
maupun Internasional bereputasi. Judul artikel antara
lain: (1) Faktor- faktor yang Mempengaruhi Keputusan
Konsumen Berlangganan Surat Kabar Harian Fajar, (2)
The Effect Of Economic Growth And Income
Inequality On Poverty In Indonesia dipublikasikan
pada IOSR Journal of Economics and Finance
Volume 9, Issue 4 tahun 2018.

152

Anda mungkin juga menyukai