Anda di halaman 1dari 63

DESAIN AWAL PROSES DEORBIT SATELIT

CAKRA WARTA-1

LAPORAN KERJA PRAKTEK


DI PT MEDIA CITRA INDOSTAR

DISUSUN OLEH
SINGGIH SATRIO WIBOWO (13698012)

· DEPART~MEN TEKNIK PENERBANGAN


INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2002
DESAIN AWAL PROSES DEORBIT SATELIT

CAKRAWARTA-1

LAPORAN KERJA PRAKTEK


DI PT MEDIA CITRA INDOSTAR

DISUSUN UNTUK MEMENUHI PERSY ARATAN KELULUSAN

MATA KULIAH PN-400 KERJA PRAKTEK

DISUSUN OLEH
SINGGIH SATRIO WIBOWO (13698012)

DEPARTEMEN TEKNIK PENERBANGAN


INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2002
LAPORAN KERJA PRAKTEK

DESAIN AWAL PROSES DEORBIT SATELIT

CAKRAWARTA-1

Dilaksanakan
Dari Tanggal 2 Juli 2001 S/D 28 Januari 2002

OLEH

SINGGIH SATRIO WIBOWO (13698012)

Mengetahui

Kepala Divisi Satellite Operation & Engineering


,,,---,..,,.
·,,

Kepala Bagian Satellite Engineering

Ku:r.~no
Pembimbing

/ \ I '1''1
/ .. I
SyamsunJa
! D£PART£MEN
JURUSANTEKNIKPENERBANGAN
PENDIDIKAN

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI • INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


NASIONAL

JI. Ganesha No. 10 Bandung 40132 Telp. (022) 2504529 Fax. (022) 2534164

NILAI KERJA PRAKTEK

Mo/1011 diisi <la11 dicek seper/u11ya.


Nama Mahasiswa 51Nf~I H fATR/0 Wl130WO
........................................................................
NIM 136 lJ8 012
........................................................................
Bidang Kerja Praktek >ItTe-LL 11-B- O~TI cN
........................................................................
Masa Kerja Praktek 7 l Tu)Vl--1)
•••••••••••••.. ••.............................................. bu Ian
'2.. J'uL-l '2001 28 JANV~ '2.002.
dara• tanggal ....................... s/d tanggal .................. .

Diisi oleh perusahaan (mohon untuk dilingkari).


Sikap D C B
Kcrajinan D C B
Prcstasi D C B

Tanggal 2. 8 JAfJU-IHZ\ 7ffi?..-


.................................................................................
Nama Penilai ..-2~ ~ t:1).[~.~ !.~:':~ ..........................................................
Nama Perusahaan ..t:C-..Mf.~~~ .c;:~ .. !~?.!?IT~ .......................................... .
Alamat Pcrusahaan WISMA- INOOVtf/ON l(otvlP. 12.U\4t1',/ 6-flWV GltjZ.OEN SI.OK 2/3
.................................................................................

Cap dan Tandatangan

(
~sy 1wisv~11A-L
........................... )

~ ~::k diisi ofeh penilai dari J 11r11sa1: ~ ~t.;t'.'. r~-~'.'.~~''... . .....•:c .. ·"; ·. ;r·\-............. .
Penilai (Nama dan Tandatangan)
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puJ1 bagi Allah Yang Maha Agung dan Maha
Takterbayangkan. Dialah yang telah menciptakan alam ini, mengaturnya,
menjaganya, dan senantiasa mengawasinya. Dialah zat yang menguasai segala
sesuatu dari mengetahui segala hal. Semua makhluk di penjuru alam semesta
tunduk patuh pada-Nya. Bintang-bintang, planet-planet, satelit, asteroid dan
semua benda langit ciptaan-Nya tunduk pada-Nya dengan bergerak teratur pada
orbitnya masing-masing.
Segala puji bagi Allah atas kekuatan yang diberikan kepada penulis sehingga
d.apat menyelesaikan Kerja Praktek di PT Media Citra Indostar, yang merupakan
salah satu mata kuliah yang harus diambil di Departemen Teknik Penerbangan
ITB, yang disertai dengan penyusunan laporan ini. Kerja Praktek ini dilaksanakan
selama bulan Juli 2001, sedangkan penyusunan laporan dilakukan selama periode
Agustus 2001 - Januari 2002.
Dalam pelaksanaan Kerj a Praktek ini, penulis memilih bi dang pengendalian
dan pengoperasian satelit yang berada dalam divisi Satellite Operation and
Engineering (SOE). Terna laporan Kerja Praktek ini adalah proses deorbit satelit
pada akhir operasinya, dan penulis memberi judul laporan ini Desain Awai Proses
Deorbit Satelit Cakrawarta-1.
Penulis menyadari bahwa laporan ini belumlah sempurna. Masih banyak hal
yang masih diabaikan dan belum dikaji. Namun, penulis berharap bahwa hasil
kerja ke~31-s penulis ini dapat bermanfaat, baik bagi penulis sendiri, perusahaan
tempat penulis melaksanakan Kerja Praktek, dan pihak-pihak lain yang
berkepentingan dengan bidang pengendalian dan pengoperasian satelit.
Tak lupa, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada pihak-pihak
yang telah membantu pen1.1lis dalam pelaksanaan Kerja praktek dan penyusunan
laporan ini, khususnya kepada :
1. Orang tua penulis yang senantiasa mendoakan, menyayang1 dan
memberikan bantuan moril kepada penulis.

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


KATA PENGANTAR ii

2. Keluarga Ibu Nurlelli, orang tua dari Nazarullah Ibny - teman penulis,
yang telah berkenan menerima dan menyediakan tempat tinggal selama
penulis melaksanakan Kerja Praktek.
3. Mas Kunto Wibisono, Satellite Engineering Supervisor SOE PT Media
Citra Indostar, yang telah memberikan kesempatan dan ijin kepada penulis
untuk melaksanakan Kerja Praktek ini, sekaligus menjadi pembimbing
dalam Kerja Praktek ini.
4. Mas Rijal, pembimbing Kerja Praktek atas bantuannya dalam memberikan
pengarahan dan saran selama pelaksanaan Kerja Praktek.
5. Mas Jajat, yang berkenan menyediakan waktu untuk berdiskusi dan
membantu penulis saat mengalami kesulitan.

Bandung, Januari 2002

Penulis

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DAFTARISI

KATAPENGANTAR l

DARTARISI iii

BABl PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 3
1.3 Ruang Lingkup 4
1.4 Metodologi Penyusunan 4
1.5 Sistematika Penulisan 5

BAB2 SEKILAS PERUSAHAAN


DAN SATELIT CAKRAWARTA-1 6
2.1 PT. Media Citra Indostar 6
2.1.1 Riwayat Singkat 6
2.1.2 Bidang Operasi dan Proses Penyiaran 7
2.2 Satelit Cakrawarta-1 8
2.2.1 Umum 8
2.2.2 Sistem Propulsi 9
2.2.3 Sistem Kendali 10
2.2.4 Sistem Komputer 10
2.2.5 Payload 11

BAB 3 DASAR TEORI 12


3 .1 Astrodinamika 12
3.1. l Gerak Satelit 12
3.1.2 Vis Viva Integral dam Periode Orbit 15

iii
LAPORAN KERJ A PRAKTEK
DAFTAR ISI iv

3.1.3 Transfer/Alih Orbit 17


3.1.3.1 Alih Orbit Hohmann 17
3.1.3.2 Alih Orbit Ellips - Ellips 18
3.2 Teori dan Performansi Roket 19
3.2.1 GayaDorong 20
3.2.2 Specific Impulse 21
3.2.3 Selang waktu Penyalaan Roket 22
3.3 Kebutuhan Propulsi 23
3.4 Penentuan Posisi Satelit 24
3.5 Perbandingan Dua Proses Alih Orbit 26
3.5.1 Analisis 26
3.5.2 Perhitungan 6 V 28
3.5.2.1 Alih Orbit Hohmann 28
3.5.2.2 Alih Orbit Ellips-Ellips 29
3.5.3 Perhitungan Propellan yang Digunakan 29
3.5.3.1 Alih Orbit Hohmann 30
3.5.3.2 Alih Orbit Ellips-Ellips 30
3.5.4 Perhitungan Periode Orbit 31
3.5.4.1 Alih Orbit Hohmann 31
3.5.4.2 Alih Orbit Ellips-Ellips 32
3.5.5 Ringkasan 32

BAB 4 SISTEMATIKA DEORBIT SATELIT CAKRAWARTA-1 34


4.1 Penentuan Ketinggian Graveyard Orbit 34
4.2 Skema Deorbit 35
4.3 Perhitungan Matematis 37
4.3.1 Perhitungan 6V 37
4.3.2 Perhitunga? Propellan yang Digunakan 38
4.3.3 Perhitungan Lama Penyalaan Roket 39
4.3 .4 Perhitungan Periode Orbit 40

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DAFTAR ISI V

4.3.5 Penentuan Waktu Penyalaan Roket 42


4.3.6 Penentuan Posisi Satelit 44
4.4 Time Schedule Proses Deorbit 45

BAB 5 KESIMPULAN 47
5 .1 Ringkasan 47
5.2 Pengembangan Hasil Perhitungan 47

REFERENSI 49

APPENDIX A 50

APPENDIXB 52

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam era inforrnasi m1, keberadaan teknologi antariksa, khususnya
teknologi satelit rnerniliki peranan sangat besar. Dengan adanya satelit, proses
komunikasi berjalan lebih rnudah dan lebih cepat, rnenernbus batas wilayah dan
ruang; Arns inforrnasi antar pulau, antar negara, bahkan antar benua dapat
berjalan karena adanya teknologi ini.
Teknologi antariksa berkernbang sejak awal abad ke-20, yang diawali oleh
temuan-temuan rnengenai teori-teori penerbangan antariksa. Salah seorang yang
rnempunyai andil dalarn bidang ini adalah seorang guru sekolah rnenengah Rusia,
Konstantin E. Tsiolkowski yang rnemberikan gagasan tentang roket berbahan
bakar cair. Gagasan yang disampaikannya merupakan gagasan yang paling awal,
tetapi gagasan ini tidak tersebar dengan luas terutarna di luar Rusia, sehingga tidak
banyak diketahui orang di luar Rusia. Setelah Perang Dunia I , pada tahun 1920,
ahli fisika Amerika, Profesor Robert H Goddard, rnenerbitkan buku yang
berjudul A Method of Reaching Extreme Altitude. Dan tiga tahun kemudian di
Jerman, Profesor Hermann Oberth mengikutinya dengan rurnusan maternatika
lain, lengkap dengan usul bagi desain dan konstruksi dengan menekankan
penggunaan bahan bakar cair. Oberth adalah orang pertama yang menyadari
dengan jelas bahwa perubahan dari bahan bakar padat ke bahan bakar cair
rnenghilangkan batas ukuran besar roket yang selama itu terdapat pada roket
berbahan bakar padat. Bila kita beralih ke bahan bakar cair, tulisnya, maka tidak
ada batas teoritis mengenai ukuran sebuah roket.
Berkat buku Oberth inilah kemudian didirikan Perhimpunan Bagi
Penerbangan Ruang Angkasa Jerman (German Society for Space Travel) pada
tahun 1927, sebuah perkurnpulan peroketan pertarna di dunia. Perhimpunan ini
PENDAHULUAN 2

berusaha mengumpulkan dana untuk membuat roket-roket berbahan bakar cair.


Dan akhirnya, mereka pun berhasil melakukannya.
Upaya-upaya pembuatan roket berbahan bakar cair bukan suatu perkara
yang mudah. · Semua usaha ke arah itu dilakukan dengan penuh hambatan dan
rintangan. Jerman, negara pelopor teknologi ini telah membuktikannya. Pekerjaan
yang berat ini membutuhkan sepasukan ahli yang benar-benar bermutu, dan tentu
juga dana yang sangat besar.
Sejarah telah mencatat hal itu. Sejumlah besar, bahkan sangat besar, dana
disediakan oleh Angkatan Bersenjata Jerman, meskipun dengan enggan dan berat
hati. Dan sejumlah besar ahli dikumpulkan untuk memulai upaya itu. Peke1:jaan
besar dan sangat berat ini pun membuahkan hasil dengan berhasilnya peluncuran
roket V-2 Jerman. Inilah awal babak penerbangan antariksa dunia.
Teknologi penerbangan antariksa inilah yang menjadi landasan
berkembangnya teknologi satelit. Tentu saja, satelit tidak dapat ditempatkan pada
orbit operasionalnya tanpa adanya kemampuan penerbangan antariksa.
Perkembangan teknologi satelit dimulai sejak tahun 1960 an, yaitu sejak
penerbangan antariksa yang pertama kalinya oleh Rusia dengan diluncurkannya
Sputnik 1 pada tanggal 4 Oktober 1957. Keberhasilan Rusia ini segera diikuti oleh
Amerika Setikat dengan satelit pertamanya, Explorer 1 pada 31 Januari 1958.
Sejak saat itu teknologi ini berkembang sangat pesat. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya satelit yang dibuat dan dioperasikan dengan berbagai macam misi dan
keunggulan. Dan salah satu misi satelit adalah sebagai alat komunikasi.
Satelit dapat dioperasikan setelah berada pada orbit operasionalnya.
Pengoperasian satelit bukan suatu usaha yang sederhana, tetapi merupakan usaha
yang rumit dan membutuhkan monitoring dan pengendalian terus-menerus dari
stasiun bumi.
Usaha monitoring dan pengendalian ini akan berakhir sampai berakhirnya
masa operasinal satelit, yaitu sampai satelit telah dialihkan ke orbit pembuangan
yang disebut Graveyard Orbit (GYO). Proses alih orbit ini disebut deorbit.

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


PENDAHULUAN 3

Proses deorbit ini harus dilakukan agar satelit yang sudah tidak beroperasi
lagi tidak mengganggu satelit-satelit lain yang masih beroperasi. Proses .ini
dilakukan derigan tujuan sebagai berikut:
1. Merighabiskan sisa bahan bakar, agar bila te1:jadi tabrakan dengan benda
langit lain (misalnya satelit lain) tidak menimbulkan leda:kan yang
berbahaya.
2; Mematikan baterai dan semua frekuensi radio untuk mencegah adanya
. interferensi dengan satelit lain.
3. Menempatkan satelit ke orbit akhir yang lebih tinggi, atau disebut juga
Graveyard Orbit (GYO) untuk mencegah tabrakan dengan wahana lain.
Proses deorbit ini menjadi masalah yang penting seiring dengan semakin
banyaknya satelit yang beroperasi sehingga diperlukan aturan-aturan menyangkut
hal tersebut. Aturan-aturan ini dibuat dengan maksud proses deorbit da:pat
berjalan dengan baik sesuai dengan tujuannya semula.
Proses deorbit ini pun akan dilakukan pada satelit Cakrawarta-1 milik PT
Media Citra Indostar pada masa akhir operasinya. Dengan perencanaan yang
matang dan perhitungan yang teliti, diharapkan proses ini berjalan dengan baik.

1.2 Tujuan
Kerja praktek (KP) yang disertai penyusunan laporan ini merupakan salah
satu mata kuliah wajib Jurusan Teknik Penerbangan Institut Teknologi Bandung
pada semester 8. KP adalah salah satu wadah pengembangan pribadi mahasiswa
dalam menerapkan ilmu pengetahuan secara teknis yang diperoleh di tempat KP
yang diwujudkan dalam laporan ini.
Tujuan penulisan laporan ini adalah membangun atau mendesain suatu
rencana awal proses deorbit satelit Cakrawarta-1 dari orbitnya sernula, yaitu
Geostationary Earth Orbit (GEO) sampai pada orbit pembuangan (GYO) yang
berada pada ketinggian ± 300 km di atas GEO.

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


PENDAHVLUAN 4

1.3 Ruang Lingkup


Ruang lingkup penulisan ini adalah proses deorbit satelit Cakrawarta-1 yang
terbagi dalani beberapa tahap. Dalam setiap tahap akan dihitung beberapa aspek,
meliputi penambahan kecepatan yang diperlukan, posisi satelit, periode orbit,
jumlah kebutuhan bahan bakar setiap tahap, dan beberapa aspek lainnya. Untuk
melakukan analisis ini digunakan batasan~batasan berikut :
• Orbit dan alih orbit yang dibahas adalah Kepplerian dengan sudut
inklinasi orbit nol (i = 0).
• Thruster bekerja dengan ideal dan vektor gaya dorong sejajar dengan
vektor kecepatan.
• Bumi bulat sempurna.

1.4 Metodologi Penyusunan


Metode yang digunakan dalam pelaksanaan kerja praktek dan penyusunan
laporan kerj a praktek ini adalah :
1. Studi lapangan
Penulis melakukan pemnJauan dan pengamatan langsung ke tempat kerja
prak:tek.
2. Bimbingan
Penulis melakukan diskusi dan tanya jawab dengan para pembimbing selama
berlangsungnya kerja praktek.
3. Studi pustaka
Teorema-teorema dasar dan beberapa data tambahan diperoleh dengan
membaca dan mempelajari beberapa literatur yang berhubungan dengan
permasalahan yang dibahas.

LAPORAN KERJ' A PRAKTEK


PENDAHULUAN 5

1.5 Sistematika Penulisan


Pokok-pokok pembahasan pada masing-masing bab dapat diuraikan secara
ringkas sebagai berikut,
Bab 1 Pendahuluan
Menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan kerja praktek dan
penyusunan laporan kerja praktek.
Bab 2 Sekilas Perusahaan dan Satelit Cakrawarta-1
Menceritakan dengart singkat sejarah perusahaan dan bidang kerja
perusahaan, yaitu PT. Media Citra Indostar dan satelit Cakrawarta-1.
Bab3 Dasar Teori
Berisi teori-teori dasar yang menjadi landasan dalam desain proses
deorbit satelit Cakrawarta-1 serta menjelaskan perbandingan dua
proses alih orbit, yaitu alih orbit Hohmann dan alih orbit ellips-ellips.
Bab 4 Sistematika Deorbit Satelit Cakrawarta-1
Dalam bab ini dijelaskan dengan rinci proses perhitungan dan
perencanaan proses deorbit satelit Cakrawarta-1 yang terdiri dari
beberapa tahap, termasuk di dalamnya perencanaan waktu untuk setiap
tahap.
Bab 5 Kesimpulan
Berisi tentang ringkasan hasil perhitungan pada bab sebelumnya dan
menjelaskan beberapa aspek yang belum dikaji serta upaya
pengembangannya.

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


BAB2
SEKILAS PERUSAHAAN
DAN SATELIT CAKRAWARTA-1

Barangkali, sudah bukan rahasia lagi bahwa televisi adalah bagian dari
kehidupan kita saat ini. Tabung 'ajaib' yang dapat mengeluarkan gambar hidup
dan bersuara ini hampir kitajumpai di setiap rumah dan toko elektronik.
Televisi adalah salah satu sarana hiburan yang sangat memasyarakat, hampir
di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dengannya kita dapat menonton berbagai
tayangan; olah raga, berita, film, musik, dan sebagainya dari berbagai stasiun
televisi dengan gratis. Namun, tidak semua stasiun televisi dapat kita lihat
tayangannya dengan cuma-cuma. Beberapa stasiun televisi hanya menyediakan
tayangannya kepada para pelanggannya.

2.1 PT Media Citra Indostar

2.1.l Riwayat Singkat


Keberadaan PT Media Citra Indostar berawal dari sebuah perusahaan
entertainment, PT Matahari Lintas Cakrawala. Pada mulanya, perusahaan ini
mempunyai izin dari beberapa stasiun televisi di luar negeri untuk menjadi agen
kartu dekoder di Indonesia. Kartu dekoder ini digunakan untuk membuka
tayangan stasiun televisi tersebut yang telah diacak sebelumnya. Dengan
menggunakan kartu tersebut, para pelanggan dapat menikmati hiburan televisi
dari stasiun televisi asing tersebut. Tetapi sayangnya, untuk dapat menonton
siaran dari stasiun televisi lain dibutuhkan kartu dekoder yang berbeda, sehingga
tidak praktis.
Dalam perkembangan selanjutnya, fungsi perusahaan ini berubah dari agen
kartu dekoder menjadi sejenis perwakilan dari stasiun televisi asing yang dapat
menyiarkan tayangan dari stasiun-stasiun televisi tersebut sebagai suatu kesatuan.
SEKILAS PERUSAHAAN DAN SATELIT CAKRAWARTA-1 7

Produk ini disebut dengan Indovision. Dengan produk ini, pelanggan dapat
menyaksikan program-program siaran dari berbagai stasiun televisi hanya dengan
sebuah dekoder sehingga menjadi lebih mudah.
PT Matahari Lintas Cakrawala selanjutnya melakukan pengembangan
dengan mendirikan sebuah perusahaan barn yang diberi nama PT Media Citra
Indostar. Perusahaan ini bergerak di bidang pengoperasian satelit, yang secara
khusus ditangani oleh divisi Satellite Operation and Engineering (SOE). Satelit
yang di111iliki perusahaan ini adalah satelit Cakrawarta-1. Satelit ini merupakan
satelit komunikasi DBS (Direct Broadcasting Satellite), yaitu satelit yang
menyiarkan secara langsung program-program acara dari stasiun televisi.

2.1.2 Bidang Operasi dan Proses Penyiaran


Bidang operasi PT Media Citra Indostar adalah menyiarkan kembali
program siaran televisi asing dan dalam negeri yang menjadi mitra usahanya
dengan menggunakan satelit Cakrawarta-1. Saat ini, bidang operasi ini bertambah
dengan adanya program siaran sendiri.
Program televisi yang berasal dari stasiun televisi asing tersebut diterima
dengan cara men-downlink langsung dari beberapa satelit. Proses ini dilakukan
dengan menggunakan beberapa antena parabola yang berada di Media Gateway
Facility (MGF).
Program-program srnran yang telah diterima akan teruskan ke Media
Exchange Facility (MEF). Di bagian ini program-program siaran tersebut akan
diproses lebih lanjut, seperti mengubah siaran yang bersistem analog menjadi
digital, sehingga kualitas gambar menjadi lebih baik.
Selanjutnya, program-program yang telah diproses ini dikirim ke satelit
Cakrawarta-1 melalui proses uplink dengan menggunakan antena parabola yang
berada di Program Uplink Facility (PUF). Dan kemudian dipancarkan ke seluruh
wilayah Indonesia sebagai program siaran Indovision. Skema proses downlink,
uplink, dan broadcast ini dapat dilihat pada gambar 2.1.

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


SEKILAS PERUSAHAAN DAN SATELIT CAKRAWARTA-1 8

~~
~ -....11711111
Cj Cakrawarta-1

\ Uplli1k
Dov,mlli1k \

MGF JVIEF PUF Pelanggan

Gambar 2.1 Proses downlink, uplink, dan broadcast Indovision

2.2 Satelit Cakrawarta-1

2.2.1 Umum
Satelit Cakrawarta-1/Indostar-1 merupakan satelit geostasioner, yaitu
satelit yang posisinya selalu tetap terhadap permukaan bumi. Satelit ini
diluncurkan dari Kourou, Guiana Perancis pada tanggal 12 November 1997
dengan spesifikasi sebagaimana terlampir pada appendix A.
Misi Cakrawarta-1 adalah melakukan siaran televisi di seluruh wilayah
Indonesia. Agar misi ini tercapai, satelit ini harus selalu berada di atas geografi
Indonesia dengan batasan-batasan tertentu. Untuk dapat melakukan hal ini, satelit
harus dioperasikan pada orbit dengan ketinggian tertentu yang memiliki periode
sama dengan periode rotasi bumi, yang disebut orbit geosinkron. Wahana
antariksa yang berada pada orbit ini akan selalu tetap posisinya terhadap
permukaan bumi. Karena itu, orbit ini disebut juga orbit geostasioner atau
Geostationary Earth Orbit (GEO).
Satelit Cakrawarta-1 beroperasi pada posisi 107.7° BT. Untuk mendukung
kelangsungan operasinya, satelit ini memiliki beberapa sistem, yang terdiri atas
sistem propulsi, sistem "kendali, sitem komputer, serta sistem komunikasi
(payload).

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


SEKILAS PERUSAHAAN DAN SATELIT CAKRAWARTA-1 9

2.2.2 Sistem Propulsi


Sistem propulsi yang dimiliki satelit Cakrawarta-1 terdiri atas enam belas
thruster, yang terdiri dari empat Electrothermal Hydrazine Thrusters (EHT) dan
dua belas Rocket Engine Assemblies (REA). Bahan bakar yang digunakan berupa
bahan bakar cair monopropellan, yaitu anhydrous hydrazine (N 2H4).
REA menghasilkan gaya dorong masing-masing 0.2 lbf atau 0.89 N.
Sedangkan EHT menghasilkan gaya dorong masing-masing 0.075 lbf atau 0.33 N.
Meskipun gaya dorong yang dihasilkan REA lebih besar dari EHT, namun
performansinya lebih rendah dibanding EHT.
REA digunakan untuk attitude control, momentum adjustment, spm
operations dan East West Station Keeping (EWSK). Sedangkan EHT digunakan
untuk North South Station Keeping (NSSK). Tetapi, karena adanya gangguan
pada salah satu baterai, maka EHT tidak dapat dipergunakan untuk NSSK.
Sehingga pelaksanaan NSSK diambil alih oleh REA.
Posisi thruster, REA dan EHT dapat dilihat dalam gambar 2.2 di bawah.
REA adalah thruster yang bernomor 1 s/d 12, sedangkan EHT yang bernomor 13
s/d 16.

16 15
13
+Z

5
4
8
-
'.!
+X
6 Roll
3

Marth

+Y
Pitch
tL
Gambar 2.2 Lokasi Thruster Cakrawarta-1

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


SEKILAS PERUSAHAAN DAN SATELIT CAKRAWARTA-1 10

2.2.3 Sistem Kendali


Sistem kendali yang digunakan satelit Cakrawarta-1 untuk mengendalikan
orientasi sikapnya dapat digolongkan menjadi dua bagian, pertama adalah sensor
dan kedua adalah aktuator.
Sensor yang digunakan adalah Earth Sensor Assembly (ESA) dan Single
Axis Gyro yang berfungsi sebagai acuan. ESA adalah perangkat yang berfungsi
mendeteksi posisi bumi berdasarkan tingkat keterangan cahaya yang dipantulkan
oleh bumi. Perangkat ESA ini berjumlah empac dan terletak pada sisi yang
menghadap bumi. Sedangkan aktuator yang digunakan ada dua macam, yaitu
Main Wheel Assembly (MWA) dan Magnetic Torq~e Assembly (MIA).
MWA berfungsi sebagai aktuator pada arah pitch dan juga berfungsi
sebagai pengatur kestabilan dari satelit. Kestabilan ini merupakan efek dari
perputaran MWA yang p~da modus normal diatur secara otomatis. Jika kecepatan
putarnya diturunkan atau dinaikkan, orientasi pitch satelit akan berubah. Gerak
pitch ini akan berhenti setelah kecepatan putaran MW A konstan pada suatu harga
tertentu.
Sedangkan MT A digunakan untuk mengendalikan orientasi gerak roll dan
gerak yaw. MT A merupakan sebuah batangan logam yang dililiti kumparan. Jika
kumparan ini dialiri arus listrik, maka akan timbul medan magnet. Medan magnet
ini akan bereaksi dengan medan magnet bumi sehingga menimbulkan torsi. Torsi
inilah yang digunakan untuk mengendalikan gerak yaw dan gerak roll dari satelit.
Pengendalian dengan MWA dan MT A ini dilakukan pada modus normal
dan bekerja secara otomatis. Namun pada saat melakukan manuver station
keeping, dimana gangguan yang timbul terlalu besar untuk diatasi oleh MW A dan
MT A, digunakan beberapa thruster dengan konfigurasi tertentu.

2.2.4 Sistem Komputer


Sistem komputer yang terdapat di satelit Cakrawarta-1 terdiri dari dua
buah Flight Processor, yaitu Honeywell Mil-Std-1750 A GVSC (Generic VHSIC
Spaceborn Computer). Dari dua prosesor ini hanya satu prosesor yang beroperasi,

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


SEKILAS PERUSAHAAN DAN SATELIT CAKRAWARTA-1 11

sedangkan yang lain dijadikan cadangan untuk me~gantikan prosesor yang


operasional bila terjadi kerusakan. Prosesor-prosesor ini dilengkapi dengan 256
Kbytes EEPROM, 512 Kbytes SRAM Error Detection and Correction (EDAC)
memori.
Sedangkan data bus yang dipakai memiliki spesifikasi Mil-Std-155.3 B
dengan distributed architecture yang terdiri dari beberapa remote terminal.
Remote terminal 1111 menghubungkan antara jligh! processor dengan
komponen-komponen di satelit.

2.2.5 Payload
Satelit Cakrawarta-1 membawa payload yang digunakan untuk
mendukung proses siaran. Modus normal operasi sistem ini adalah Single Channel
per Carrier (SCPC) dengan transponder bekerja pada saat saturasi. Payload ini
berupa 7 transponder, antena penerima uplink, dan antena broadcast. Dari ke-7
transponder tersebut, 5 diantaranya dioperasikan dan 2 lagi dijadikan backup, dan
dapat beroperasi penuh pada saat eclipse.

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


BAB3
DASARTEORI

Setiap manuver yang akan dilakukan oleh satelit Cakrawarta-1 dalam proses
deorbit ini melibatkan perhitungan dan analisis dinamika orbit, penentuan
kebutuhan propellan, dan pengendalian dari stasiun bumi. Untuk itu diperlukan
pengetahuan dasar dinamika orbit, sistem propulsi, dan penentuan posisi satelit.
Dalam bab ini akan dijelaskan dasar-dasar dinamika orbit, sistem propulsi,
. .
penentuan posisi satelit, dan perbandingan dua kasus alih orbit. Pada bagian
dinamika orbit akan dijelaskan orbit Kepplerian, meliputi penurunan persamaan
gerak dan penjelasan mengenai elemen-elemen orbit. Pada bagian sistem propulsi
akan dijelaskan mengenai teori roket dan hubungan massa propellan dengan
penambahan kecepatan wahana. Sedangkan pada bagian penentuan posisi satelit
akan dijelaskan cara untuk menentukan posisi satelit menggunakan tata acuan
koordinat toposentrik. Selanjutnya, pada bagian akhir dari bab 1m akan
dibandingkan dua proses alih orbit, yaitu alih orbit Hohmann dan alih orbit
ellips-ellips, untuk mengetahui proses yang paling baik yang akan digunakan
dalam desain deorbit Calaawarta-1.

3.1 Astrodinamika

3.1.1 Gerak Satelit


Gerak satelit mengitari planet yang menariknya diturunkan melalui hukum
kedua Newton dan hukum gravitasi Newton. Deng an memperhatikan gambar 3 .1,
dan dengan menerapkan hukum kedua Newton dan hukum gravitasi Newton,
diperoleh persamaan gerak berikut :
. . µ
r-r0 2 = -r2- (3.1.1.la)
DASAR TEORI 13

r 0+ 2 ~ 0 = l.r !!_
dt
(r e) =
2 0 (3.1.1.1 b)

Persamaan (3 .1.1.1 b) di atas menghasilkan hukum kekekalan momentum sudut,

r 2 0 = h = canst. (3.1.1.2)
dimana h disebut sebagai momentum sudut per satuan massa, atau disebut juga
momentum sudut spesifik.

Bmni

Gambar 3.1 Satelit dalam medan gravitasi

Persamaan orbit di atas menyatakan hubungan antara r dan 0, dengan


waktu t yang dinyatakan secara implisit. Untuk menghilangkan variabel waktu t
dari persamaan di atas, maka digunakan persamaan (3.1.1.2) dengan operasi
sebagai berikut,

r = : = :: ~~ = r~ :~ = -h :e (~) = -h:: (3.1.1.3)

dimana u = 1/r. Selanjutnya,

; = ~; = ~; ~~ = r~ : 0 (- h :; ) = -h u' ::~
2 (3 .1.1.4)

Subtitusi persamaan (3.1.1.2) dan (3.1.1.4) ke persamaan (3.1.1.la)


menghasilkan persamaan chfferensial orbit berikut,

d2u fl
--+u=- (3.1.1.5)
d02 h2

LAPORAN KER.J A PRAKTEK


DASAR TEORI 14

Solusi umum untuk persamaan (3.1.1.5) di atas adalah:

(3.1.1.6)

dimana c dart Bo adalah suatu konstanta. Konstanta Bo dapat dibuat nol dengan
mengukur B dari arah yang ditentukan. Sedangkan konstanta c dapat dinyatakan
dalam bentuk energi total sistem E, yang berharga konstan mengingat bahwa
sistem ini konservatif. Energi total sistem adalah,
1 2 /l 1 . 2 2
2
/l
E=T+U=-V - - = - ( r +r B
2 r 2 r

(3 .1.1. 7)

dimana T dan U adalah energi kinetik dan potensial per satuan massa. Sedangkan
V adalah besar kecepatan satelit.
Dengan membandingkan persamaan (3 .1.1. 6) dengan (3 .1.1; 7) diperoleh,

c=~JI+ 2Eh 2 (3.1.1.8)


h2 µ2

dengan demikian, persamaan orbit dapat ditulis menjadi

h2 I
r=----- (3.1.1.9)
µ 1 + e cos0
dimana

e;,, Ji+ 2Eh 2 (3.1.1.10)


µ2

adalah eksentrisitas orbit. Persamaan (3 .1.1. 9) menyatakan bentuk um um dari


persamaan irisan kerucut. Bentuk irisan kerucut ini dinyatakan secara eksplisit
oleh eksentrisitas e dan secara implisit oleh energi total E. Beberapa kemungkinan
bentuk irisan kerucut adalah :

Lingkaran : e =0

Ellips :O<e<l

LAPORAN KER.J A PRAKTEK


DASAR TEORI 15

Parabola :e= I (E = 0)
Hiperbola : e> 1 (E > 0)
Khusus untuk gerak satelit ~nengitari planet yang menariknya, bentuk
orbitnya dapat berupa lingkaran atau ellips. Tetapi, pada prakteknya, orbit satelit
ini hampir selalu berupa ellips.
Untuk mendefinisikan posisi satelit dengan orbit elliptik, digunakan enam
elemen orbit, seperti pada gambar 3.2, sebagai berikut
a semimajor axis
e = eksentrisitas
inklinasi, yaitu sudut antara bidang orbit dengan bidang ekuator
0 asensio rekta dari titik naik (ascending node)
co sudut antara ascending node dengan perigee
T waktu saat satelit melintasi perigee

Perigee
Biclang Elmator
//
/.,/'

---

··....,.,

Ascending nocle

Gambar 3.2 Elemen orbit elliptik

3.1.2 Vis Viva Integral ~an Periode Orbit


Kecepatan satelit pada setiap saat selalu berubah tergantung pos1smya
pada lintasan orbitnya. Hubungan antara (besar) kecepatan dengan posisi, dapat
diturunkan melalui persamaan (3 .1.1. 7). Karena harga energi total E adalah

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DASAR TEORI 16

konstan, maka harga energi total di setiap titik pada orbit akan sama dengan
harganya pada titik apogee.

(3.1.2.1)

Sedangkan Va dan ra, dinyatakan dalam JL dan h adalah


. h µ
Va = r a 0 = - = -(1-
h e) (3.1.2.2)
. ra
h2 I h2
r·=------=--- (3.1.2.3)
a Jt I+ ecos(180°) µ(1-e)
Subtitusi persamaan (3.1.2.2) dan (3.1.2.3) ke (3.1.2.1) menghasilkan

µ
(3.1.2.4)
2a

Dengan menyamakan hasil persamaan (3.1.2.4) di atas dengan persamaan


(3 .1.1. 7) diperoleh

(3.1.2.5)

yang kemudian dikenal dengan sebutan Vis-Viva Integral.


Periode satelit mengelilingi planet penariknya melalui orbit ellips,
diturunkan sebagai berikut. Perhatikan suatu daerah dengan luas t.A yang dibatasi
oleh radius r dan r + t.r dengan sudut t.0. Untuk sudut yang sangat kecil, luas
daerah tersebut dinyatakan oleh,
1 1
M =-r.rt.0
2
= -r
2
2
t.0 (3.1.2.6)

Dengan membagi persamaan (3.1.2.6) dengan t.t, dengan M ➔ 0, diperoleh

11m-. M dA . 1 t.0 I · h
= - = lun-r 2 - = -r 2 0 = - = canst. (3.1.2.7)
1',.t ➔ O M dt i.',t ➔ O 2 M 2 2
Dengan demikian, periode orbit P adalah

P= A _ _27Zi_a_b (3.1.2.8)
dAI dt h

LAPORAN KER.J A PRAKTEK


DASAR TEORI 17

dimana a dan b adalah semimajor dan semiminor axis, yang dapat dinyatakan
sebagai berikut,

r0 + rP 1 h2 ( 1 1 ) h2 1
(3.1.2.9)
a=. 2 =2µ l+e +1-e =µ1-e 2

b=a~ (3.1.2.10)
Subtitusi h pada pers. (3.1.2.8) dengan pers. (3.1.2.9) dan subtitusi pers.
(3.1.2.10) ke pers. (3.1.2.8) menghasilkan

P-2~/f (3.1.2.11)

3.1.3 Transfer/Alih Orbit


Dalam menjalankan misinya, suatu wahana antariksa, misalnya satelit,
seringkali nielakukan alih orbit (orbit transfer) dari suatu orbit ke orbit yang lain.
Proses alih orbit dapat digolongkan menjadi dua, yaitu alih orbit sebidang dan alih
orbit tak sebidang. Alih orbit sebidang dapat dilakukan dengan banyak cara,
misalnya dengan alih orbit Hohmann dan alih orbit ellips-ellips.

3.1.3.1 Alih Orbit Hohmann


Alih orbit Hohmann adalah proses alih orbit sebidang dari suatu orbit
lingkaran menjadi orbit lingkaran lain yang lebih besar atau sebaliknya, dengan
orbit alih berupa orbit elliptik. Proses alih orbit ini dapat dijelaskan melalui
gambar 3. 3. Berdasarkan gambar ini, penambahan kecepatan yang diperlukan
adalah sebagai berikut :
• Pada titik 1, t.V circular-ellips adalah

"Vce =Ve -Vc


Ll = (3.1.3.1.1)

sedangkan

(3 .1.3 .1.2)

subtitusi pers.(3.1.3. l .2) ke pcrs.(3.1.3.1. l) menghasilkan

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DASAR TEORI 18

(3.1.3.1.3)

Gambar 3.3 Alih orbit Hohmaim

• Pada titik 2, ~ V ellips-circular adalah ·

(3.1.3.1.4)

subtitusi pers.(3 .1.3 .1.2) ke pers.(3 .1.3.1.4) menghasilkan

(3.1.3.1.5)

3.1.3.2 Alih Orbit Ellips - Ellips


Alih orbit ellips-ellips adalah proses alih orbit sebidang dari suatu orbit
elliptik menjadi orbit elliptik yang lain, dengan penambahan kecepatan dilakukan
pada titik apogee orbit awal. Proses alih orbit ini dapat dilihat pada gambar 3. 4.
Dengan memperhatikan gambar 3 .4, penambahan kecepatan yang
diperlukan adalah sebagai berikut :

t-. V,
12
= Ve2 - Vel = ,lt[2_
r
p2
_I]- µ(_3__ -
-a
·2 ral
_l
al
J (3.1.3.2.1)

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DASAR TEORI 19

sedangkan

rpl + ra1
a=--- (3 .1.3 .2.2)
1 2

(3.1.3.2.3)

(3 .1.3 .2.4)

::: 1a2

Garn bar 3.4 Alih orbit ellips-ellips

subtitusi pers.(3.1.3 .2.2-4) ke pers.(3 .1.3 .2.1) menghasilkan

(3 .1.3 .2.5)

dengan cara yang sama diperoleh

~{ 1- ra2 r2
t!.V23 = f;;2 ra2 + ra3 - 1- ra2: rp2
} (3.1.3.2.6)

3.2 Teori dan Performansi Roket


Roket menghasilkan gaya dorong (thrust) dengan mempercepat gas
bertekanan tinggi menjadi kecepatan supersonik dalam suatu nozzle

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DASAR TEORI 20

konvergen-divergen. Dalam banyak kasus, gas bertekanan tinggi ini dihasilkan


oleh dekomposisi propellan bertemperatur tinggi. Skema roket ditainpilkan dalam
gambar 3.5, terdiri atas ruang bakar (combustion chamber), throat, dan nozzle .

...... ...._ _..--


_,,/ ----------------------
<:............., . 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - ------------

Comhustlon cha:mber Nozzle

Tiu--oat

Garn bar 3.5 Skema roket

3.2.1 Gaya Dorong


Gaya dorong roket ditimbulkan oleh perubahan momentum antara gas
keluar relatif dengan wahana roket dan oleh perbedaan tekanan di daerah keluaran
nozzle. Gaya dorong karena perubahan momentum dapat diturunkan dari hukum
kedua Newton,

Fm= m.6.V (3.2.1.1)

F,,, = m(Ve - ~,) (3.2.1.2)


dimana
Fm = Gaya dorong karena perubahan momentum, N

m = Laju aliran massa gas keluar, kg/s


Ve = Kecepatan rata-rata gas keluar, m/s
V0 = Kecepatan awal gas, m/s
Karena kecepatan awal gas adalah nol, maka

Fm= mV" (3.2.1.3)


atau

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DASAR TEORI 21

(3.2.1.4)

Dimana w = laju berat massa gas keluar, N/s. Dan gc adalah konstanta
gravitasi dengan harga 9.8067 m/s 2 dan invarian (tak berubah) terhadap jarak
terhadap pusat bumi.
Gaya dorong yang ditimbulkan oleh adanya perbedaan tekanan di daerah
keluaran nozzle. Jika nozzle disemburkan dalam vakum, maka gaya yang
ditimbulkan ini adalah

(3.2.1.5)

Jika tekanan luar tidak nol,

(3.2.1.6)

(3 .2.1. 7)
dimana
Fp = Gaya dorong karena perubahan momentum, N
Pe = Tekanan statik aliran gas keluar, N/m 2
Ae = Luas area keluaran nozzle, ni
Pa = Tekanan statik aliran gas keluar, N/m 2
Dengan demikian gaya dorong total yang dihasilkan menjadi,

(3.2.1.8)
Untuk kasus khusus, yaitu kasus ekspansi optimum dimana nozzle
didesain sehingga Pe= Pa, gaya dorong total yang dihasilkan menjadi,

(3 .2.1. 9)

3.2.2 Specific Impluse


Specific Impulse, r~J? adalah impuls total per satuan berat propellan yang
digunakan, dan dinyatakan~ebagai berikut

LAPORAN KERJ' A PRAKTEK


DASAR TEORI 22

fF(t)dt
1.\p = -I- = --,---
o
(3.2.2.1)
Mpg c f
gc m(t)dt
0

bila gaya dorong dan laju aliran massa konstan, maka persamaan di atas menjadi
F
I""=-.- (3.2.2.2)
mgc
dengan membandingkan pers.(3.2.2.2) dengan pers.(3.2.1.9) diperoleh hubungan
berikut

(3.2.2.3)

3.2.3 Selang Waktu Penyalaan Roket


Hubungan antara gaya dorong dengan lama penyalaan roket dapat
diturunkan secara sederhana dengan menggunakan asumsi berikut :

1. Laju aliran massa, m konstan


2. Sistem propulsi bekerja ideal, yaitu besar gaya dorong konstan, dan
proses penyalaan dan pemadaman roket bcrlangsung scketika. Hal ini
dapat ditunjukkan oleh gambar 3 .6.
3. Gaya dorong karena adanya perbedaan antara tekanan di keluaran
nozzle dengan tekanan di lingkungan luar diabaikan.
Berdasarkan asumsi di atas, pers. (3 .2.1.9) dapat ditulis menjadi

F = 6m V (3.2.3.1)
6f e

subtitusi pers. (3 .2.2.3) ke pers.(3 .2.3 .1) menghasilkan


6m
F = 6t gJ,p (3.2.3.2)

sehingga
6m
6t =F gcf,p (3.2.3.3)

dimana 6m adalah massa propellan yang digunakan.

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DASAR TEORI 23

t_1___ t
...
Garn bar 3.6 Grafilc gaya dorong ideal

3.3 Kebutuhan Propulsi


Dalam melakukan suatu manuver orbit suatu wahana antariksa, selalu
dibutuhkan perubahan kecepatan. Untuk mendapatkan perubaban kecepatan ini
tentu dibutuhkan suatu gaya yang berasal dari sistem propulsi yang dimiliki
wahana tersebut. Kebutuhan akan gaya dorong ini berkaitan crat dengan
kebutuhan akan bahan bakar (propellan). Hubungan antara perubahan kecepatan
ini, flV dengan kebutuhan propellan dinyatakan dalam persarnaan Tsiolkowski dan
turunannya berikut ini,

(3.3.1)

(3.3.2)

(3.3.3)

dimana,
m, massa inisial (awal) wahana, Kg
m1 massa final wahana, Kg
mp = massa propellan yang dibutuhkan, Kg
fl V = perubahan kecepatan wahana, mis
gc = konstanta gravitasi, 9.8067 rn/s 2

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DASAR TEORI 24

3.4 Penentuan Posisi Satelit


Posisi satelit relatif terhadap stasiun pengamatan di bumi menurut tata
acuan koordinat toposentrik, seperti pada gambar 3. 7, dinyatakan dalam dua
besaran sudut, yaitu Azimuth (A) dan Elevasi (h) dan sebuah besaran panjang
yaitu range (p). Azimuth menyatakan sudut yang dibentuk vektor posisi satelit
terhadap arah utara dengan putaran searah putaran jarum jam, sedangkan elevasi
menyatakan sudut yang dibentuk vektor posisi satelit terhadap horizon.

satellite

E (North)
/---._
.

/ ---
Gambar 3.7 Tata acuan koordinat toposentrik

Penentuan posisi satelit ini dapat dijelaskan melalui gambar 3.8 di bawah.
Dengan menggunakan aturan spherical triangle dan asumsi bahwa bumi
merupakan bola sempurna diperoleh hubungan berikut,
sin h = sin 5 sin¢ + cos 5 cos¢ cos 6/4
00 (3.4.1)
sedangkan azimuth A dapat dihitung dengan persamaan,
sin 6/4
tan A. = - - - - - - - - - (3 .4.2)
cos¢ tan 5 - sin¢ cos 6/4
dengan menggunakan gambar 3.9, elevasi satelit h dinyatakan oleh:
sin h - RI r
tanh= h00
(3.4.3)
cos ex,

sedangkan range p ataujarak satelit dari pengamat adalah,

r - R sin h 00
p- (3.4.4)
- cos(hO) - h)

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DASAR TEORI 25

North Pole

Gambar 3.8 Azimuth satelit

Dimana,
A = Azimuth satelit
h,, = Elevasi satelit diukur dari pusat bumi
h = Elevasi satelit
5 = Latituda satelit
¢ = Latituda pengamat / statsiun bumi
~A = selisih longituda pengamat dengan satelit
R = jari-jari bumi
r = jarak satelit dari pusat bumi

Zenith

r sin 11«, - R

\ l
\ Bu.mi /
..________..,.~..../
'·......__

Gambar 3.9 Elevasi satelit

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DASAR TEORI 26

3.5 · Perbandingan Dua Proses Alih Orbit


Pada subbab ini akan dibahas perbandingan antara dua proses alih orbit
. J

ditinjau dari penanibahan kecepatan yang diperlukan, banyaknya propellan yang


digunakan, banyaknya orbit alih, clan periode dari tiap orbit. Tujuan dari
perbandingan ini adalah untuk rnengetahui proses yang paling baik, yang nantinya
akan digunakan dalarn desain deorbit satelit Cakrawarta-1.

3.5.1 Analisis
Dalarn dua kasus ini akan dibahas alih orbit satelit dari suatu orbit
lingkaran dengan radius r1 rnenuju orbit akhir dengan radius rr yang berada pada
ketinggian 6H km di atas orbit awal. Proses alih orbit ini dilakukan secara
bertahap melalui beberapa orbit alih.
Skerna alih orbit pertarna dapat dilihat pada gambar 3 .10. Dari gambar
3 .10 terlihat bahwa dalam proses ini dilakukan empat kali penambahan kecepatan,
yang berarti dilakukan ernpat kali penyalaan thruster. Sedangkan jarak antara
setiap orbit lingkaran di atas adalah 6H/2 km. Lintasan yang diternpuh satelit
adalah A-B-C-D.

Gambar 3.10 Alih orbit Hohmann

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DASAR TEORI 27

Sedangkan
I
skema alih orbit kedua dapat
.
dilihat pada gambar
.
3 .11. Dari
gambar ini terlihat bahwa pada alih orbit kedua dilakukan tiga kali penambahan
kecepatan atau berarti dilakukan tiga kali penyalaan thruster. Lintasan yang
dilalaui satelit adalah A-B-C.

_.--------------------..--.... _
__.-· --......

Gambar 3.11 Alih orbit ellips-ellips

Dengan memperhatikan gambar 3 .10 dan 3 .11 dapat disimpulkan bahwa


proses alih orbit ellips-ellips adalah proses yang lebih singkat dibanding dengan
alih orbit Hohmann. Hal ini disebabkan lintasan yang digunakan dalam alih orbit
ellips-ellips lebih pendek dibanding alih orbit Hohmann.
Selanjutnya, dapat pula ditunjukkan bahwajumlah bahan bakar (propellan)
yang digunakan dalam kedua proses alih orbit ini sama besar. Ini dapat dimengerti
dengan melihat kembai'i konsep awal penurunan persamaan orbit Kepplerian,
_yaitu bahwa persamaan ini didasari oleh sifat konservatif medan gravitasi. Dalam
konsep kenservasi energi (medan) gravitasi, energi total yang dibutuhkan dalam
suatu proses ditentukan oleh kondisi awal dan akhir yang dituju, tidak dipengaruhi
dari bentuk atau cara dalam proses tersebut.

LAPORAN KERJ' A PRAKTEK


DASAR TEORI 28

Untuk mempermudah pemahaman dari analisis di atas, maka di bawah ini


akan dilakukan perhitungan secara numerik. Besaran-besaran yang akan
digunakan dalam perhitungan ini adalah sebagai berikut :

► ri = 100 km
► llH 100 km

► r1 = r; + tiH 200km

► rpl ri = 100km
► rm = ri + 1'1Hl2 = 150 km = ra1 = rµ2
► ra2 = r1 200km
Selain besaran-besaran di atas, besaran-besaran lain yang akan digunakan adalah
µ = 398 601.2 km 3ls 2 , g = 9.8 mis dan lsp = 212 s, yang masing-masing berharga
konstan.

3.5.2 Perhitungan ti V

3.5.2.1 Alih Orbit Hohmann


Perhitungan penambahan kecepatan untuk proses ini dilakukan dengan
menggunakan persamaan (3.1.3.1.3) dan (3.1.3.1.5). Untuk alih orbit dari orbit
lingkaran menjadi ellips dihitung sebagai berikut :

398601.2{ 2xl50
100 100 + 150 -
i}
tiVi = 6.0259 mis
dengan cara yang sama diperoleh
1'1Vi = 3.5592 mis

Sedangkan untuk alih orbit dari orbit ellips ke orbit lingkaran dihitung dengan
persamaan (3 .1. 3 .1. 5) sebagai berikut :

1'1V2 = ~{l- · 2r;


~-;: r; +r
.}= 398601.2{!-
150
2x100 }
100+150
111

ti Vi= 5.4422 mis

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DASAR TEORI 29

selanjutnya dengan cara yang sama diperoleh


!-.Vi= 3.3116 m/s

3.5.2.2 Alih Orbit Ellips-Ellips


Untuk proses ini, perhitungan penambahan kecepatan dilakukan dengan
menggunakan persamaan (3.1.3.1.4), (3.1.3.1.5), dan (3.1.3.2.5) atau (3.1.3.2.6).
Untuk alih orbit pertama, yaitu dari orbit lingkaran menjadi ellips dihitung sebagai
berikut:

-l}= 398601.2{ 2xl50


100 100 + 150
-l}
!-.Vi = 6.0259 m/s
sementara, untuk alih orbit ellips-ellips, yaitu

f-. v2 = ~{ 1- ral - l ral }


~ ·~-:: ral + ra2 ral + rpl

f-.V = 2 x 398601.2 { 1- 150 l 150 }


2 150 150+200 150 + 100

!-.Vi= 9.0014 m/s


sedangkan untuk alih orbit terakhir, yaitu dari orbit ellips menjadi lingkaran
adalah

398601.2[ 1 2x150 l
== 200 1- l ✓ 200-~Tso J
f-. Vi = 3.3116 mis

3.5.3 Perhitungan Propellan yang Digunakan


Untuk menghitung banyaknya propellan yang digunakan dalam setiap
penambahan kecepatan, dipakai persamaan (3.3.2). Perhitungan dilakukan dengan
menggunakan data tambahan, yaitu massa awal satelit saat memulai proses, m 1
100 kg. Berikut ini disajikan perhitungan untuk masing-masing proses.

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DASAR TEORI 30

3.5.3.1 Alih Orbit Hohmann


• Untuk penambahan kecepatan 6 Vi
Massa propellan yang dibutuhkan adalah

m P = mi [1- exp(--6VJ]
- = 100[1- exp (-6
gJ,p
· ·x0259)]
9.8 212

mp = 0.2896 kg
massa satelit setelah proses ini menjadi
mi = 100-0.2896 = 99.7104 kg
Selanjutnya, dengan cara seperti di atas diperoleh
• Untuk penambahan kecepatan 6Vi, mp = 0.2608 kg
• Untuk penambahan kecepatan 6Vi, mp = 0.1702 kg
• Untukpenambahan kecepatan 6Vi, mp= 0.1582 kg
Dengan demikian, jumlah propellan keseluruhan yang dibutuhkan dalam
proses ini adalah mp = 0.8788 kg

3.5.3.2 Alih Orbit Ellips-Ellips


• Untuk penambahan kecepatan 6 Vi
Massa propellan yang dibutuhkan adalah

mP = mi [1- 6 VI l =
exp(--
gJ,p)j
100[1- e x p6 ·(0259
9.8x212
- - )]

mp = 0.2896 kg
massa satelit setelah proses ini menjadi
m; = 100- 0.2896 = 99.7104 kg
Selanjutnya, dengan cara seperti di atas diperoleh,
• Untuk penambahan kecepatan 6 Vi , mp = 0.4311 kg
• Untuk penambahan kecepatan 6 Vi , mp = 0.1581 kg
Dengan derriikian, jumlah propellan keseluruhan yang dibutuhkan dalam
proses ini adalah mp = 0.8788 kg

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DASAR TEORI 31

3.5.4 Perhitungan Periode Orbit


Perhitungan periode orbit ini dilakukan dengan menggunakan persamaan
(3.1.2.11). Di bawah ini disajikari perhitungan periode orbit untuk masing-masing
proses alih orbit.

3.5.4.1 Alih Orbit Hohmann


Periode orbit lingkaran pertama adalah

/a3 100 3
P; = 27Z'~7t = 27Z' 398601.2
Pi= 9.95 detik.
Periode orbit lingkaran berikutnya, diperoleh dengan cara yang sama, adalah :
Pm= 18.28 detik.
P1 = 28.15 detik.

Periode orbit ellips pertama dihitung sebagai berikut

Pel -
_ fi3 _
2;r - - 2;r
1
(2 k,1 +ra1})
3

1-l ,ll

(½{100 + 150}r
p = 2;r
el 398601.2
Pei = 13.91 detik

Selanjutnya dengan cara yang sama diperoleh,


Pe2 = 23 .04 detik

Lama perjalanan, 6T satelit melalui lintasan A-B-C-D adalah

6T = ½Pel+½ I'_rn + ½ Pe2


!'J.T = ½ (13.91) + ½ (18.28) + ½ (23.04) detik
!1T = 27.625 detik

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DASAR TEORI 32

3.5.4.2 Alih Orbit Ellips-Ellips


Periode orbit ·untuk orbit lingkaran awal dan akhir sama seperti pada
subbab 4.L3.l di atas, yaitu
Pi ,,; 9 .95 detik.
P1 = 28.15 detik.
Sedangkan untuk orbit ellips diperoleh
Pel = 13.91 detik
Pe2 = 23.04 detik
Lama perjalanan, b.T satelit melalui lintasan A-B-C adalah
b.T= ½Pei+½ Pe2
b.T= ½ (13.91) + ½ (23.04) detik
b.T= 18.475 detik

3.5.5 Ringkasan
Hasil dari perhitungan untuk perbandingan alih orbit ini ditampilkan secara
ringkas dalam tabel 3.1. Dari tabel 3.1 dapat dilihat bahwa alih orbit langsung,
ellips-ellips lebih efisien dibanding dengan alih orbit Hohmann, ditinjau dari
. periode orbit dan banyaknya orbit alih. Dengan sedikitnya periode orbit ini maka
. kegiatan monitoring dan pengendalian selama proses alih orbit menjadi sedikit
pula, atau dengan kata lain, prosesnya menjadi singkat.

Tabel 3.1 Perbandingan Dua Kasus Alih Orbit

Jumlah orbit alih 3 2


Jumlah penyalaan 4 kali 3 kali
thruster
Jumlah total 0.8788 kg 0.8788 kg
propellan yang
dibutuhkan
Lama perjalanan, b.T 27.625 detik 18.4 75 detik

Sedangkan dari sisi penggunaan propellan, tiap proses alih orbit di atas
menggunalrnn propellan dalam jumlah yang sama. Hal ini terjadi karena asumsi

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


DASAR TEORI 33

yang digunakan, yaitu orbit yang ditinjau adalah Kepplerian dan thruster bekerja
ideal.
Jadi, secara keseluruhan proses alih orbit ellips-ellips lebih baik dibanding
proses alih orbit Hohmann, mengingat penggunaan waktu dalam proses alih orbit
ellips-ellips ini lebih singkat.

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


BAB4
SISTEMATIKA DEORBIT
SATELIT CAKRAWARTA-1

4.1 Penentuan Ketinggian Graveyard Orbit


Ada beberapa aturan untuk menentukan ketinggian Graveyard Orbit (GYO)
dari orbit awal satelit (GEO), misalnya aturan NASA, NASDA dan IADC.
Aturan-aturan tersebut dinyatakan dalam persamaan-persamaan berikut :
• NASA (National Space and Aerospace Agency, USA)
A
t,,,H = 300 + 1000 x - km (4.1.l)
m
• NASDA (National Space Development Agency, Japan)
A
t,,,H = 190 + 0.011 x ax ell x- km (4.1.2)
m

• IADC (Inter-Agency Space Debris Coordination Committee)

t,,,H = 23 5 + 1000 x C\ x A km (4.1.3)


m
dimana a adalah semimajor axis orbit akhir dalam Ian, CR adalah koefisien
tekanan radiasi matahari (biasanya berharga antara 1 dan 2), A adalah luas
penampang rata-rata dalam nl, dan m adalah massa satelit dalam kg.
Dari berbagai aturan tersebut, dapat dilihat bahwa persamaan NASA
merupakan persamaan yang paling sederhana, sedangkan persamaan NASDA
adalah yang paling rumit. Sementara dilihat dari sisi ketinggian orbit akhir Af-f,
aturan NASDA menghasilkan t,,,H paling kecil, kemudian diikuti aturan IADC,
dan terakhir aturan NASDA menghasilkan f,,,H paling besar. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa a:uran IADC merupakan aturan yang menyeimbangkan
dua hal tersebut, yaitu sederhana dan menghasilkan t,,,H yang kecil. Berdasarkan
pertimbangan ini, dalam perhitungan proses deorbit ini dipilih aturan dari IADC.
SISTEMATIKA DEORBIT SATELIT CAKRAWARTA-1 35

Selanjutnya, dengan merujuk pada appendix A. diperoleh luas penarnpang


rata-rata sebagai berikut,

. A A TC D 2 + DH TC 2.49 2 + 2.49 X 3.94


A= i + 2 = 4 = 4 = 7.34 m2
2 2 2
sedangkan massa satelit, dengan merujuk pada appendix A adalah 802 kg. Dengan
demikian, dengan mengambil CR= 1, ketinggian GYO dapat ditentukan sebagai
berikut,
A 7.34
f..H=235+1000xCR x-=235+1000xlx--. =244.15 km
m 802
untuk memudahkan perhitungan, harga di atas dibulatkan menjadi 250 km. Jadi
ketinggian GYO yang akan digunakan di sini adalah f..H = 250 km.

4.2 Skema Deorbit


Dari hasil perhitungan f..H di atas, proses deorbit dari satelit Cakrawarta-1
1111 akan dibagi menjadi tiga tahap kenaikan orbit, yang setiap tahap memiliki
selisih ketinggian f..Hs = f..H/3 atau f..H~ = 83.33 km. Proses alih orbit yang dipilih
adalah alih orbit ellips-ellips seperti yang telah dijelaskan dalam bab 3. Proses ini
dipilih karena lebih efisien dalam penggunaan waktu dibanding alih orbit
Hohmann. Skema dari proses ini ditampilkan dalam gambar 4.1 di bawah ini.
Lintasan yang akan dilalui satelit dalam proses deorbit ini adalah A-B-C-D.
Dari gambar 4.1 terlihat bahwa dalam proses ini dilakukan empat kali
penambahan Li V atau berarti juga empat kali penyalaan thruster. Orbit awal adalah
GEO yang merupakan orbit lingkaran dengan radius 42164.16 km, dan orbit
akhir dari proses ini adalah orbit lingkaran dengan radius 42164.16 + 250 km=
42414.16 km.
Dalarri proses ini digunakan tiga orbit alih yang berupa ellips, yang
ditunjukkan dalam gambar 4.1 dengan angka 1, 2, dan 3. Ketiga orbit ini memiliki
radius perigee, radius apogaee, dan semimajor axis sebagai berikut :
• Ellips 1, rp1 = 42164.16 km, ra 1 = rp 1 + 83.33 km= 42247.49 km,
semimajor axis, a1 = (rp1+ra1)12 = 42205.83 km.

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


SISTEMATIKA DEORBIT SATELIT CAKRAWARTA-1 36

• Ellips 2, rp2 = 42247.49 km, ra2 = rp2 + 83.33 km = 42330.82 km,


semimajor axis, a2 = (rp2+ra2)!2 = 42289.16 km.
• Ellips 3, rp3 = 42330.82 Ian, ra3 = rp3 + 83.33 km = 42414.16 km,
semimajor axis, a3 = (rp3+ra3)/2 = 42372.49 km.
Proses deorbit ini akan dilakukan dengan beberapa tahapan monitoring dan
tracking, yang secara keseluruhan akan memakan waktu beberapa hari. Seluruh
tahap dalam proses deorbit ini, termasuk monitoring dan tracking ini disajikan
dalam tabel 4.1.

__ .-------------~-------·--....___

Gambar 4.1 Skema Deorbit Cakrawarta-1

Dalam desain ini, proses deorbit Cakrawarta-1 1111 direncanakan


dilaksanakan mulai pukul 00:00:00. Hari pelaksanaan dinyatakan sebagai D+0,
D+ 1, dan seterusnya. Hal ini dilakukan sebagai acuan pelaksanaan.

Tabel 4.1 Tahap-Tahap Dalam Proses Deorbit Cakrawarta-1

1 Penambahan kecepatan 6 Vi 6 Vi diberikan di titik A

2 Penambahan kecepatan 6 Vi 6 Vi diberikan di titik B

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


SISTEMATIKA DEORBIT SATELIT CAKRAWARTA-1 37

3 Penambahan kecepatan 6 Vi 6 Vi diberikan di titik C


4 Penambahan kecepatan l Vi l Vi diberikan di titik D

4.3 Perhitungan Matematis


Dalam subbab ini akan dilakukan perhitungan beberapa aspek yang terlibat
dalam proses deorbit ini, yaitu perhitungan l V, jumlah propellan yang digunakan,
lama penyalaan roket, dan periode orbit. Besaran-besaran penting yang juga
digunakan dalam perhitungan ini adalah µ = 398 601.2 km 3/s 2 , g = 9.8 m/s dan
lsp = 210 s (harga lsp ini berdasarkan data pada Manual Book Cakrawaiia-1 ), yang
masing-masing berharga konstan, dan massa awal satelit saat memulai proses
deorbit mi= 636.43 kg (harga ini diperoleh dari pengurangan massa satelit pada
awal operasi dengan jumlah propellan yang digunakan selama satelit beroperasi).

4.3.1 Perhitungan lV
Seperti telah dijelaskan dalam bab 3, perhitungan penambahan kecepatan
dilakukan dengan menggunakan persamaan (3.1.3.1.4), (3.1.3.1.5), dan (3.1.3.2.5)
atau (3.1.3.2.6). Untuk alih orbit pertama, yaitu dari orbit lingkaran menjadi ellips
dihitung sebagai berikut :

2ral - l}- 398601.2 2x 42247.49


42164.16 + 42247.49
i}
rr 1 +ra 1 42164.16

lVi=l.5173 m/s

sedangkan untuk alih orbit terakhir, yaitu dari orbit ellips menjadi lingkaran
adalab

398601,2 {l 2 X 42330.49 }
42414.16 42414.16 + 42330.49

lVi = 1.5137 mis

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


SISTEMA TIKA DEORBIT SATELIT CAKRAW ART A-1 38

sementara untuk penambahan kecepatan lainnya, yaitu Li Vi dan Li Vi dihitung


sebagai berikut,

LiV2 = 2x 398601.2{ 1 _ _ _4_2_24_7_.4_9_ _ l 42247.49 }


42247.49 42247.49 + 42330.49 42247.49 + 42164.16

LiVi = 3.0233 mis

sedangkan

Li~ = 2 X 398601.2 { l - - - 42330.49


----- 1- 42330.49 }
42330.49 42330.49 + 42414.16 42330.49 + 42247.49

AVi = 3.0205 mis

4.3.2 Perhitungan Propellan yang Digunakan


Untuk menghitung banyaknya bahan bakar (propellan) yang digunakan
dalam setiap penambahan kecepatan, clipakai persamaan (3 .3 .2). Perhitungan
dilakukan secara berurutan sesuai dengan saat penyalaan roket sebagaimana
disajikan berikut ini.
• Untuk penambahan kecepatan AVi
Massa propellan yang dibutuhkan adalah

- .
mP =mi [ 1-exp( - V ]] =636.43 [ 1-exp(- 1·51. 73 )]
Li -
gJ,p 9.8 X 210

mp = 0.4690 kg
massa satelit setelah proses ini menjadi
mi = 636.43 - 0.4690 = 635.9610 kg
• Untuk penambahan kecepatan AV2
Massa propellan yang dibutuhkan adalah

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


SISTEMATIKA DEORBIT SATELIT CAKRAWARTA-1 39

[
mP=m;l-exp-.- (-f.:.VJ]
gJ,p
[ (-3
=635.9611-exp ~0233)]
9.8 210
.

111P = 0.9336 kg
massa satelit setelah proses ini menjadi
m; = 635.961 - 0.9336 = 635.0274 kg
• Untuk penambahan kecepatan f.:. Vi
Massa propellan yang dibutuhkan adalah

[
mP =m; I-exp-.- [-f.:.VJ]
gJ,p
[ (-3
=635.02741-exp 9.. 8 ·x0205):
210

mp = 0.9313 kg
massa satelit setelah proses ini menjadi
m; = 635.0274-0.9313= 634.0961 kg
• Untuk penambahan kecepatan f.:.Vi
Massa propellan yang dibutuhkan adalah

[
mP =m; I-exp - - [-f.:.Vj]
gJ,p
[ (-15137)]
=634.09611-exp ·x
9.8 210

mp = 0.4662 kg
massa satelit setelah proses ini menjadi
m; = 634.0961 - 0.4662 = 633.6299 kg

Dari perhitungan-perhitungan di atas, dapat diperoleh jumlah propellan


total yang digunakan untuk proses deorbit ini, yaitu mp total = 0.4690 + 0.9336 +
0.9313 + 0.4662 kg= 2.8001 kg.
Jumlah propellan ini lebih kecil dari jumlah yang dianggarkan untuk
proses deorbit sebagaimana tercantum dalam appendix B. Dalam appendix B,
jumlah propellan yang dianggarkan untuk proses deorbit adalah 4.08 kg. Dengan
demikian ada kelebihan propellan sebesar 4.08 - 2.8001 kg= 1.2799 kg.

4.3.3 Perhitungan Lama Penyalaan Roket


Untuk menghitung lama penyalaan roket dalam setiap penarnbahan
kecepatan, digunakan persarnaan (3.2.3.3), yaitu

LAPORAN KER.J A PRAKTEK


SISTEMATIKA DEORBIT SATELIT CAKRAWARTA-1 40

6m
6t=7gJ,p (3.2.3.3)

dalam persamaan (3.2.3.3) terdapat faktor gaya dorong F yang merupakan besaran
yang diketahui. Besar gaya dorong ini berkaitan dengan banyaknya roket/thruster
yang digunakan, mengingat setiap thruster mempunyai gaya dorong tertent~L
Dalam proses deorbit ini akan digunakan empat thruster REA yaitu
thruster dengan nomor 5, 6, 7, dan 8. Setiap thruster ini menghasilkan gaya
dorong sebesar 0.89 N sehingga gaya dorong total yang dihasilkan,
F = 4 x 0.89 = 3.56 N. Dengan data-data ini, selang waktu penyalaan roket
dihitung sebagai berikut.
• Selang waktu untuk t,, Vi

·M1 = 0 ,4690 x 9.8 x 210 = 271.1242 detik = 4 menit 31.12 detik


3.56

• Selang waktu untuk t,, Vi

f,,t 2 = 0 ·9336 x 9.8 x 210 = 539.7047 detik = 8 menit 59.70 detik


3.56

• Selang waktu untuk t,, Vi

M, = 0·9313 x 9.8 x 210 = 538.3751 detik = 8 menit 58.37 detik


·' 3.56

• Selang waktu untuk t,, Vi

0.4662 .
6t 4 = · x 9.8 x 210 = 269.5055 det1k = 4 menit 29.51 detik
3.56

4.3.4 Perhitungan Periode Orbit


Perhitungan periode orbit dilakukan dengan menggunakan persamaan
(3 .1.2.11 ). Berikut ini disajikan perhitungan periode orbit untuk tiap orbit.
• Periode orbit lingkaran pertama, yaitu orbit GEO adalah

LAPORAN KERJ" A PRAKTEK


SISTEMATIKA DEORBIT SATELIT CAKRAWART A-1 41

{:? 42164.16 3
PGEO = 2n-r; = 2n- 398601.2

PaEO = 86 164.09 detik = 23 jam 56 menit 4.09 detik.


• Periode orbit ellips 1

42205.83 3
PEI= 2tr = 2tr
398601.2
PE 1 = 86 291.74 detik = 23 jam 58 menit 11.74 detik.
• . Periode orbit ellips 2

PE2 = 86 547.43 detik = 24 jam 2 menit 27.43 detik.


• Periode orbit ellips 3

PE3 =2tr (:1 = 2n- 42372.493


~µ 398601.2
PE3 = 86 803.36 detik = 24 jam 6 menit 43.36 detik.
• Periode orbit akhir, GYO

{:? 42414.16 3
Pc;YO = 27r ~µ = 27r 398601.2

Paro= 86 931.44 detik = 24 jam 8 menit 51.44 detik.

· Berdasarkan perhitungan di atas, lama perjalanan satelit M melalui


lintasan A-B-C-D dapat dihitung sebagai berikut,
M= ½PEI+ ½PE2+ ½PE3
M = ½ (86 291.74) + ½ (86 547.43) + ½ (86 803.36) detik.
M = 129 821. 27 detik.
M = 36 jam 3 menit 41.27 detik
Jadi, lama perjalanan yang, diternpuh satelit dalam desain deorbit ini adalah sekitar
1 ½ hari.

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


SISTEMATIKA DEORBIT SATELIT CAKRAWARTA-1 42

4.3.5 Penentuan Waktu Penyalaan Roket


Agar proses deorbit ini berlangsung dengan baik, penentuan waktu
(timing) yang tepat untuk penyalaan roket sangat diperlukan. Penentuan waktu
untuk penyalaan roket ini berkaitan dengan lama penyalaan roket dan posisi satelit
ketika impuls fl V diberikan. Secara teoritik, pemberian fl V ini seharusnya
dilakukan seketika. Tetapi pada kenyataannya hal ini tidak dapat terjadi karena
keterbatasan kemampuan thruster.
Prinsip dari timing ini adalah thruster dinyalakan beberapa saat sebelum
mencapai titik pemberian fl V (pada gambar 4.1 titik ini dinyatakan dengan A, B,
C, dan D), yaitu setengah dari lama penyalaan thruster. Dengan demikian, titik
pemberian lV ini berada di tengah-tengah masa penyalaan thruster. Prinsip ini
dijelaskan melalui gambar 4.2.
Dengan menggunakan prms1p 1m, timing penyalaan thruster dapat
ditentukan sebagai berikut,
• Timing untuk fl Vi
t 1 = M 1/2 = (4 menit 31.12 detik) / 2 = 2 menit 15.56 detik sebelum mencapai
titik A. Sesuai jadwal yang direncanakan, proses penyalaan roket ini dimulai
pada D+O, padajam 00:00:00.00. Satelit akan mencapai titik A setelah 2 menit
15.56 detik, atau pada pukul 00:02:15.56. Selanjutnya, roket dimatikan setelah
menyala selama t 1 sejak dinyalakan, pada pukul 00:04:31.12.
• Timing untuk fl Vi
t2 = Mi/2 = (8 menit 59.70 detik) / 2 = 4 menit 29.85 detik sebelum mencapai
titik B. Titik B akan dicapai satelit setelah bergerak selama setengah periode
orbit ellips 1, yaitu 11 jam 59 menit 5.87 detik setelah melalui titik A, atau
pada D+O pukul 12:01:21.43. Jadi penyalaan thruster dilakukan pada D+O
pukul 11 :56:51.58. Selanjutnya, roket dimatikan setelah menyala selama t2
sejak dinyalakan, pada pukul 12:05:51.28.
• Timing untuk fl Vi
t3 = M3/2 = (8 menit 58.37 detik) / 2 = 4 menit 29.19 detik sebelum mencapai
titik C. Satelit akan mencapai titik C setelah bergerak selama setengah

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


SISTEMATIKA DEORBIT SATELIT CAKRAWARTA-1 43

periode orbit ellips 2, yaitu 12 jam 1 menit 13.72 detik setelah melalui titik B,
atau pada D+ 1 pukul 00:02:35.15. Jadi penyalaan thruster dilakukan pada D+O
pukul 23 :58:05.96. Selanjutnya, roket dimatikan setelah menyala selama t3
sejak dinyalakan, yaitu pada D+ 1 pukul 00:07:04.34.

Titik. p emb erian unpuls Penyalaan 11111.lster

Gambar 4.2 Timing Penyalaan Thruster

• Timing untuk fiVi


t4 = lit4/2 = (4 menit 29.51 detik) / 2 = 2 menit 14.76 detik sebelum mencapai
titik D. Satelit akan mencapai titik D setelah bergerak selama setengah
periode orbit ellips 3, yaitu 12 jam 3 menit 21.68 detik setelah melalui titik C,
atau pada D+ 1 pukul 12:05:56.83. Jadi penyalaan thruster dilakukan pada D+ 1
pukul 12:03:42.07. Selanjutnya, roket dimatikan setelah menyala selama t4
sejak dinyalakan, yaitu pada pukul 12:08: 11.59.

Penambahan kecepatan fi V4 ini merupakan tahap akhir dari proses deorbit


satelit Calaawarta-1. Jadi, seluruh proses deorbit ini memerlukan waktu sekitar
satu setengah hari, dimulaj pada D+O pukul 00:00:00.00 dan berakhir pada D+ 1
pada pukul 12:08: 11.59.

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


SISTEMATIKA DEORBIT SATELIT CAKRAWARTA-1 44

4.3.6 Penentuan Posisi Satelit


Penentuan posisi satelit dilakukan dengan menggunakan persamaan~
persamaan pada subbab 3 .4 dengan melibatkan hasil perhitungan periode orbit.
Posisi yang akan ditentukan adalah posisi pada titik A, B, C, dan D. Dalam
penentuan posisi ini diperlukan besaran-besaran berikut:
• Posisi stasiun bumi satelit Cakrawarta-1.
Posisi stasiun bumi ini dianggap sama dengan posisi kota Jakarta, karena
stasiun bumi ini berada di kota Jakarta. Posisi kota Jakarta adalah
106.7639° BT dan 6.1627° LS atau ¢ = -6.1627°.
• Posisi satelit Cakrawarta-1 pada saat dimulainya proses deorbit. Posisi
satelit Cakrawarta-1 dianggap tetap berada pada posisi operasinya, yaitu
107.7° BT dan lintang 0° (tepat di atas ekuator) atau 5= 0°.

• Kecepatan rotasi bumi, OJ E = 4.1781 x 10-3 /s.


0

• Jari-jari bumi R = 6371 km.


• Jarak satelit dari pusat bumi pada tiap titik A, B, C, dan D, yaitu r A =
42164.16 km, rB = 42247.49 km, re= 42330.82 km, rD = 42414.16 km.
Persamaan (3.4.1) dan (3.4.2) dapat disederhanakan, mengingat latituda satelit
selalu nol, menjadi :
sin h00 = cos¢ cos 6/4 (4.3.6.1)

sin 6/4
tan A = - - - - - (4.3.6.2)
sin¢ cos 6/4
Selisih longituda, f'..,1, pada titik-titik yang dilalui satelit dihitung dengan mengacu
pada Tata Acuan Koordinat (TAK) Inersial, sebagai berikut
• Pada titik A, f'..,1, = 107.7° - 106.7639° = 0.9361 °
• · Pada titik B, satelit telah mengitari bumi 180° (= 43145.87 s) sedangkan

bumi telah· b·erotasi sebesar OJE xPE 1 =4.1781x10- 3 x43145.87 =


180.2678°. Hal ini menunjukkan bahwa longituda satelit bergeser sebesar
180.2678°-180° = ·o.2678° ke barat. Dengan demikian selisih longituda
menjadi 6,1, = 0.9361 ° - 0.2678° = 0.6683°.

LAPORAN KER.J A PRAKTEK


SISTEMA TIKA DEORBIT SATELIT CAKRAW ART A-1 45

• Pada titik C, satelit telah mengitari bumi 180° (= 43273.72 s) sedangkan

bumi telah berotasi sebesar mExPE 1 =4.178lxl0-3 x43273.72 =


180.8019°. Ini menunjukkan longituda satelit bergeser sebesar 0.8019° ke
barat. Dengan demikian selisih longituda menjadi ,6.;L = 0.6683° - 0.8019° =
-0.1336°.
• Pada titik D, satelit telah berputar 180° (= 43401.68 s) sedangkan bumi

berotasi sebesar OJExPF 1 =4.1781xl0-3 x43401.68 = 181.3366°. Ini


menunjukkan longituda satelit bergeser sebesar 1.3366° ke barat. Dengan
demikian selisih longituda menjadi ,6.;L = -0.1336° - 1.3366° = -l .4702°.

Dari data-data di atas, posisi satelit dapat dihitung dengan menggunakan


persamaan (4.3.6.1), (4.3.6.2), (3.4.3), dan (3.4.4). Hasil dari perhitungan
disajikan dalam tabel 4.2.

Tabel 4;2 Posisi Cakrawarta-1

B 42247.49 km 0.6683° 6.2013° 82.7039° 35920.33 km


C 42330.82 km -0.1336° -1.2443° = 358.7557° 82.7472° 36003.15 km
D 42414.16km -1.4702° -13.4457°=346.5543° 82.5488° 36088.91 km

4.4 TimeSchedule Proses Deorbit


Semua tahapan dalam proses deorbit satelit Cakrawarta-1, azimuth, elevasi,
dan range pada kedudukan tertentu yang ditinjau dapat disajikan dengan ringkas
dalam tabel 4.3 berikut ini:

AAIIOPAN KEP-SA IIPAKTEK


SISTEMA TIKA DEORBIT SATELIT CAKRAW ART A-1 46

Tabet 4.3 Time Schedule Deorbit CakrawaTta-1

Penyalaan thruster untuk


D+O, 00:00:00.00
6V1
D+O, 00:02: 15.56 Satelit mencapai titik A 8.6542° 82.6609° 35837.49
D+O, 00:04:31.12 Thruster dimatikan
Penyalaan thruster untuk
D+O, 11:56:51.58
6V2
D+O, 12:01:21.43 Satelit mencapai titik B 6.2013° 82.7039° 35920.33
D+O, 12:05:51.28 Thruster dimatikan
Penyalaan thruster untuk
D+O, 23:58:05.96
6V3
D+l, 00:02:35.15 Satelit mencapai titik C 358.7557° 82.7472° 36003.15
D+l, 00:07:04.34 Thruster dimatikan
Penyalaan thruster untuk
D+l, 12:03:42.07
6V4
D+ 1, 12:05:56.83 Satelit mencapai titik D 346.5543° 82.5488° 36088.91
D+l, 12:08:11.59 Thruster dimatikan

AATIOPAN KEPSA ITP AKTEK


BABS
KESIMPULAN

5.1 Ringkasan
Desain awal proses deorbit satelit Calaawarta-1 ini terdiri atas empat tahap
dengan tiga kali penambahan kecepatan dengan ketinggian orbit akhir (GYO)
yang dituju adalah 250 km di atas GEO. Proses ini direncanakan dimulai pada
D+0 pukul 00:00:00.00 yaitu saat pertama kali roket dinyalakan. Proses deorbit
ini menggunakan alih orbit ellips-ellips dengan orbit awal dan akhir berupa
lingkaran. Skema proses deorbit ini dapat dilihat pada gambar 4.1.
Satelit Calaawarta-1 didesain akan melintasi titik-titik A-B-C-D (gambar
4.1) selama proses deorbit ini. Selama proses ini satelit akan selalu dikendalikan
dari stasiun bumi. · Seluruh kegiatan dalam proses deorbit ini membutuhkan waktu
sekitar satu setengah hari. Proses deorbit ini dan berakhir pada D+ 1 pada pukul
12:08:11.59, yaitu saat roket dimatikan setelah melakukan penambahan kecepatan
yang terakhir . Time schedule semua proses ini dan posisi satelit untuk tiap titik
disajikan dalam tabel 4.3.

5.2 Pengembangan Hasil Perhitungan


Semua perhitungan yang dilakukan dalam desain awal proses deorbit
Cakrawarta-1 ini berdasarkan beberapa asumsi, yaitu :
1. Orbit dan alih orbit yang dibahas adalah Kepplerian dengan sudut inklinasi
orbit nol (i = 0).
2. Thruster bekerja dengan ideal dan vektor gaya dorong sejajar dengan
vektor kecepatan.
3. Bumi bulat sempurna.
.
Asumsi-asumsi ini menjadikan proses perhitungan menjadi sederhana.
Tetapi, asumsi di atas tidak sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Orbit satelit
tidak berupa orbit Kepplerian karena adanya gangguan dari luar. Karena itu, hasil
KESIMPULAN 48

perhitungan dalam laporan ini belum akurat. Tetapi, untuk sebuah desain awal
perhitungan ini dapat diterima.
Gangguan-gangguan yang menyebabkan orbit satelit tidak Kepplerian antara
lain adalah (i) Ketidaksempurnaan bulatan bumi, (2) Gaya tarik gravitasi bulan,
matahari dan benda langit lain, dan (3) Tekanan radiasi matahari.
Gangguan-gangguan ini rnenyebabkan adanya perubahan pada elemen-elemen
orbit satelit, seperti semirnajor axis, inklinasi, eksentrisitas, dan elernen lainnya.
Agar diperoleh hasil yang teliti, maka semua gangguan di atas harus
dilibatkan dalam perhitungan yang dilakukan. Namun, kendala yang dihadapi jika
hal ini dilakukan adalah proses perhitungan menjadi sangat rumit, dan untuk
mernperoleh hasil yang baik diperlukan perhitungan numerik menggunakan
kornputer.
Hasil dari perhitungan pada laporan ini, meskipun masih sederhana, dapat
dikembangkan lebih lanjut dengan memasukkan unsur-unsur gangguan. Dengan
perhitungan yang lebih teliti, proses deorbit Cakrawarta-1 dapat dibangun dengan
lebih baik dan (diharapkan) berjalan sesuai dengan yang direncanakan.

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


REFERENSI

[1] Brown, C. D., Spacecraft Propulsion, AIAA, Washington DC, 1995.


[2] Cornelisse, J.W., Schoyer, H.F.R., Wakker, K.F., Rocket Propulsion and
Spaceflight Dynamics, Pitman, London, 1979.
[3] Agrawal, B.N., Design of Geosynchronous Spacecraft, Prentice~Hall,
Englewood Cliffs, NJ, 1986.
[4] Wertz, J.R., Larson, W.J. (ed.), Space Mission And Design, Kluwer Academic
Publishers, USA, 1991.
[5] Iskandar, Tulus, Penentuan Efek Longitude Manuver NSSK Satelit
Cakrawarta-1 (LaporanKerja Praktek), ITB, Bandung, 2000.
[6] Disposal of Satellites in Geosynchronous Orbit, report by secretariat of
United Nations committee on the Peaceful Uses of Outer Space , Dec. 17,
1999.
[7] AKato, Draft of NASDA Orbital Debris Mitigation Standards, Feb. 17-28,
1997.
[8] Fortescue, P., Stark, J., Spacecraft Systems Engineering, John Wiley & Sons
Ltd, England, 1992.
[9] Dornberger, Walter, V-2 & Hitler, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1989.

LAPORAN KER.J A PRAKTEK 49


APPENDIX A

INDOSTAR®-1 Spacecraft Characteristics Summary


MANUFACTURER CTA Space Systems
MODEL STAR-Class Bus
LAUNCH VEHICLE Ariane 4, Secondary Payload (i.e. SPELDA)
TRANSFER ORBIT Intelsat
NETWORK 7 year design; 12 year propellant
LIFETIME Direct Broadcast Satellite
MISSION
MASS 3054 lbs. (1385 kg)
Total Mass at launch 1769 lbs. (802 kg)
Mass in geostationary
orbit W = 80 in (2.03 m), D = 98 in (2.49 m),
DIMENSION H = 148 in (3.76 m) from separation plane
Launch configuration W = 634 in (16.104 m), from SA tip to tip
D = 98 in (2.49 m)
On-orbit configuration H = 155 in (3.94 m), including motor nozzle
PAYLOAD
Operational Channels 5 x 70 W Traveling Wave Tube Amplifier
Bandwidth 24 MHz each transmitter, center-to-center spacing 30 MHz
P/L Uplink Frequency 8,120 to 8,270 MHz (X-Band)
P/L Downlink Frequency 2,520 to 2,670 MHz (S-Band)
EIRP 44.2 dBW minimum over coverage
Uplink (receive) Antenna Fixed (non deployable) offset feed circular dish (24 in
Broadcast Antenna diameter)
Fixed offset feed elliptical dish (90 in x 50 in) with the major
Broadcast Coverage axis approximately along the N/S direction
The entire Republic of Indonesia
CR&T
Command Receivers Fully Redundant Command Receivers and CLD
Beacon Transmitters Redundant Dual Output (3.2 Win hi power mode and 320
mW in low power)
Omni Antenna Fixed on top of feed tower, Toroidal pattern centered near
S/C centerline
Telemetry Fill-in 'horn' facing zenith direction of SIC
Command Antenna Fixed on S/C nadir dect, global coverage
Telemetry Antenna Fixed on S/C nadir dect, global coverage
Command Frequency 5884.25 MHz (primary), 5885.75 MHz (secondary)
Telemetry Frequency 3698.75 MHz (primary), 3699.75 MHz (secondary)
PROPULSION SUBSYSTEM
Type
Apogee Kick Motor (AKM) STAR 30E Solid Rocket Motor, offloaded to 1245.6 lbs
expendables -
Initiated by 2134 B Safe and Arm Device
Liquid Propulsion System Monopropellant (Hydrazine) Blowdown System
Fully Redundant 'half systems, either of which meet all

LAPORAN KERJ A PRAKTEK 50


APPENDIX A 51

for N/S stationkeeping


Twelve 0.2 lbfRocket Engine Assemblies (REAs) for
attitude control, momentum adjustment, spin operation and
E/W stationkeeping.
Four Thrusters are located on the N panel, four on the E and
four on the W side
Propellant Tanks Two 28 in propellant tanks with internal bladder
Capacity of290 lbs propellant each
Nominal propellant load of207 lbs propellant each tank
ELECTRICAL POWER
Type Sun-lit regulated using digital shunt regulator, direct energy
transfer system
Bus Voltages
Sunlight 35.6 ± 0.5 Vdc
Eclipse Voltage 35-24 Vdc
Max. Overvoltage 39.1 Vdc
Min. Voltage 22 Vdc

Solar Array Two deployable wings, each with three split panels, with a
total surface area over wing of approximately 102 sq.ft. (9.45
Array Power m2)
BOL
7 years 2020 W@ 36 V (Equinox), 2054 W@ 36 V (Aphelion
12 years Solstice)
Batteries 1675 W@ 36 V (Equinox), 1704 W@ 36 V (Aphelion
Solstice)
1480 W@36 V (Equinox), 1505 W@ 36 V (Aphelion
Solstice)
Two 52 A-H capacity, NiH2 batteries, 22 cell each, batteries
do not bypass diodes
ATTITUDE CONTROL
Type Three-axis, pitch bias momentum system (on station), Spin
stabilized about S/C Z-axis (mayor axis spinner) during GTO
< 0.2° circular beam pointing error
Capability Offset pointing: MWA for pitch bias, up to 0.1 degree in
Sensors pitch
Redundant Sun Sensors and Horizon Crossing Indicator's
(used for GTO)
Redundant Static Earth Sensor for On Station
Actuators Single axis (yaw) Gyro for N/S Stationkeeping
Redundant Momentum Wheel Assemblies
Redundant Magnetic Torque Assemblies along roll and yaw
axes
COMMAND & DATA
HANDLING MIL-STD 1553 Data Bus (redundant)
Data Bus Honeywell Space Computer (1750 Processor), fully
Flight Computer redundant
Unique Remote Terminals (RT) for each subsystem, which
interface with specific equipment and the 1553 bus

LAPORAN KERJ A PRAKTEK


APPENDIXB

INDOSTAR® -1 Top Level Weight Summary


Total Dry Weight 1368 lbf = 620.51 kg
Total Liquid Propellant 440 lbf = 199.58 kg
Total Solid Propellant 1246 lbf= 565.18 kg
TotalLaunch Weight 3053.4 lbf = 1384.99 kg

INDOSTAR® -1 Propellant Budget


Propellant Required
Manuever/Phase
(Lbm) (kg)
Spin Precession Manuever (SPM) from Negative
Orbit Normal Attitude (NONA) to AKM Fire 5.3 2.40
Attitude (AKMF A)
SPM Trim Manuever 0.5 0.23
Spin-up to 60 rpm 3.8 1.72
De-spin to 5 rpm 3.8 1.72
SPM from AKMFA to Drift Orbit Normal Attitude
3.1 1.41
(DONA)
Spin Down to Dual Spin Tum (DST) Rate 0.3 0.17
Initial Station Acquisition 18.0 8.16
North/South (N/S) Stationkeeping (SK) for 12 years 331.7 150.46
Attitude Control (AC) during N/S SK 20.0 9.07
East/West (E/W) SK 13.2 5.98
AC During E/W SK 2.7 1.22
Momentum Adjust & AC 2.5 1.13
EOL Boost & Residuals (300 km boost) 9.0 4.08
TOTAL 413.9 187.74

LAPORAN KERJ' A PRAKTEK 52

Anda mungkin juga menyukai