Anda di halaman 1dari 2

PENDIDIKAN YANG BERDIMENSI DUNIA AKHIRAT

Oleh Bachtiar Aras, SPd.I

"...Katakanlah: 'Adakah sama orang-orang yang mengerti dengan orang-orang yang


tidak mengerti?'..." (QS. Az-Zumar : 9)

Mengerti dan tidak mengerti merupakan titik pembeda, sebagai hasil dari
proses pendidikan. Memang cakupan 'mengerti' dalam ayat ini sangat luas, bukan
hanya berdimensi akal pikiran. Mengerti ini menyangkut pemahaman, juga
kesadaran nurani. Bedakan dengan 'mengetahui' yang berdimensi jasadi (melihat,
menyaksikan, mendengar dsb.)
Pada dimensi ini, maka pendidikan yang dibutuhkan oleh setiap generasi
mencakup wilayah yang sangat luas. Bahkan pada dasarnya seluruh hiruk-pikuk
kehidupan ini merupakan sarana pendidikan juga. Tetapi tentu saja tidak semua
orang bisa belajar dari lingkungannya. Dan lebih sedikit lagi yang bisa
mengandalkan kemampuannya untuk mengambil pelajaran guna membekali
hidupnya. Diperlukan dasar-dasar kemampuan pribadi untuk bisa melakukan
analisa, perhitungan, kalkulasi, prediksi dan sejenisnya. Lalu juga dibutuhkan
kemampuan tambahan untuk mempergunakan hati nuraninya dalam pengambilan
keputusan.
Islam memang menekankan begitu tegas, bahwa ilmu sangatlah penting.
Menuntut ilmu dinilai lebih tinggi ketimbang menghabiskan semalaman untuk
beribadah. Mereka yang mati di jalan menuju ilmu, bisa dikategorikan mati syahid.
Mereka yang berilmu juga ditinggikan beberapa derajat bersama orang-orang yang
beriman.
Tentang perlunya bekal hidup di dunia berupa ilmu untuk mencapai
kehidupan akhirat, mungkin kita sudah tidak mempersoalkan lagi. Sekarang yang
kita hadapi adalah kenyataan, bahwa tidak semua lembaga ilmu memberikan bekal
itu kepada anak-anak kita. Kenyataannya, kita lebih sering harus memberikan
kepada mereka bekal setengah-setengah. Artinya, dimensi bekal itu sendiri tidak
bisa menyeluruh. Mungkin terlalu bernilai serba akhirat, terlepas dari dunia.
Hasilnya, anak didik tidak siap bersaing dalam gerak cepat dan gelombang
keduniaan. Mereka tersingkir dari perputaran yang semakin cepat. Artinya peran
mereka sangat kecil, karena aktivitasnya hanya meliputi lingkungan yang sangat
sederhana. Mereka tidak ada pun, tidak berpengaruh apa-apa terhadap
masyarakatnya, apalagi terhadap stabilitas negara dan dunia.
Sebaliknya ada bekal yang terlalu mengagung-agungkan dunia. Seakan
manusia hanya akan hidup sekali ini saja, sehingga surga dan neraka juga harus
bisa disaksikan dan dirasakan saat masih hidup di dunia. Dengan bekal sedemikian,
banyak diantaranya yang berhasil meraih sukses. Kekayaan, kekuasaan,
kemewahan, mereka nikmati tanpa beban apa-apa. Gaya hidup yang serba bebas
dan glamour merupakan bumbu kehidupan keseharian mereka. Senyum, tawa, dan
bau parfum mereka merebak ke mana-mana. Tetapi karena salah didik, mereka
lupa selain urusan dunia. Surga yang telah mereka minta semasa hidup, tidak akan
lagi mereka dapatkan setelah mati. Berapa kerugiannya? Ibarat tidur setengah jam
di sore hari kemudian terbangun dan gelisah ketakutan sampai pagi dan diteruskan
sampai malam berikutnya.
Bekal yang berdimensi dunia akhirat ini, kalau memang tidak bisa
didapatkan di sekolah, maka tetap menjadi tanggung jawab orang tua untuk
memberikannya. Sebisa mungkin, orang tua harus mencarikan sekolah yang ideal,
atau setidaknya paling ideal dari yang tidak ideal. Tapi bila itupun ternyata masih
kurang, orang tua wajib melengkapinya. Karena untuk memperoleh pendidikan,
perlu adanya sinergi dan keterpaduan antara di rumah, sekolah dan masyarakat
sehingga sekolah dalam hal ini bukanlah satu-satunya tempat anak didik untuk
memperoleh bekal yang dimaksud.
Lalu bagaimana sikap kita terhadap pendidikan anak? Tentunya orang tua
yang bijak tidak akan pernah memicingkan mata terhadap wadah pendidikan yang
disebut sekolah. Karena bagaimana pun juga, sekolah untuk anak-anak kita sangat
diperlukan. Di sekolah mereka bisa belajar banyak, bagaimana bersosialisasi. Bila
mereka hanya dididik semata-mata di rumah sendiri, maka mereka tidak sempat
merasakan sakitnya diejek teman-temannya, tidak pernah didorong masuk kolam,
tidak juga mengerti bahwa temannya bisa menangis bila pensilnya direbut.
Akhirnya tidak lengkap juga didikan yang mereka peroleh jadinya.
Yang penting kita bisa mengantisipasi kekurangan-kekurangan tempat
mendidik anak-anak kita. Berikan tambahan bila kurang, lengkapi bila masih
pincang. Kita wajib sadar, bahwa mendapatkan pendidikan yang memadai
merupakan hak bagi anak-anak. Kondisi orang tua tidak boleh menjadi alasan bagi
langkah 'mengorbankan' masa depan mereka. Kenyataan yang akan mereka hadapi
sungguh berbeda dengan apa yang ada sekarang ini. Kita boleh mendapatkan yang
tidak ideal, dulu, dan seperti inilah kondisi kita sekarang. Tetapi jangan sampai hal
ini menimpa pula anak cucu kita, karena kita dituntut untuk meninggalkan generasi
yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai