Anda di halaman 1dari 5

Pendidikan Hari Ini!

Ahmad Miftahudin Thohari

Seperti halnya kalau hendak berjalan dalam, dan di tengah-tengah lorong kegelapan, kita
sama sekali membutuhkan keberadaan cahaya sebagai sebuah penerangan. Begitu pulalah
keadaan dunia, adalah sebuah lorong kegelapan hidup. Untuk berjalan memasukinya dan
berada di dalamnya, kita memerlukan adanya sebuah cahaya penerangan.
Kehidupan dunia adalah simbol dari sebuah keadaan gelap itu sendiri. Sebagaimana Tuhan
sendiri juga telah memperlajankan hamba-Nya pada suatu malam (Al-Isra’: 1). Ini merupakan
amtsal hidup yang harus dipahami seluruh makhluk. Lantaran seluruh makhluk, tak terkecuali
manusia adalah hamba-hamba ciptaan-Nya, yang pada dasarnya mereka hidup (baca:
dihidupkan) di dalam sebuah lorong kegelapan.
Toh, dalam keberlangsungan hidup yang ditempuh oleh manusia di dunia ini, memang penuh
sesak dengan yang namanya kegelapan. Bagaimana tidak, kita tak pernah tahu apa yang akan
terjadi di hari esok, bahkan satu jam di hitungan waktu selanjutnya, kita sama sekali tak bisa
tahu kejadian apa yang bakal menimpa. Apalagi tentang masa depan. Seperti halnya, seekor
induk ayam itu tak akan pernah bisa tahu telur yang baru ia keluarkan apakah akan menetas
atau akan pecah, atau apakah akan menjadi anak ayam atau menjadi telur dadar, bukan?
Dengan demikian, keadaan gelap atau yang dimaksud dengan kegelapan tidak lain adalah
nama lain dari kehidupan itu sendiri. Apa yang tak bisa kita ketahui merupakan keadaan gelap
bagi kita. Betapa lebih banyak hal-hal dalam kehidupan ini yang sama sekali tidak kita
ketahui ketimbang yang kita ketahui. Sedangkan, tidak tahu berarti sama dengan gelap.
Oleh karenanya, kita membutuhkan sebuah cahaya penerangan dalam hidup ini. Penerangan
tersebut adalah sebuah pengetahuan. Ya, kita membutuhkan pengetahuan sebagai cahaya
penerang supaya kita bisa berjalan dalam rangka mengarungi dan melewati sebuah lorong
kegelapan hidup. Agar kita tak semakin terjebak dalam kondisi gelap (baca: bodoh, dungu).
Secara hakikat kemakhlukan pun, seluruh makhluk ciptaan Tuhan sama sekali sangat
membutuhkan cahaya, dan mau tidak mau atau sadar tidak sadar, mereka akan senantiasa
bergerak mencari dan berjalan menuju sumber cahaya. Itu sudah sebuah kodrat alamiah setiap
makhluk hidup. Tak ada satu pun makhluk yang betah berada terus-menerus dalam kegelapan.
Sedang Iblis atau setan pun diciptakan dari bahan yang bercahaya pula, yakni api.
Lantaran rumus sekaligus hakikat prinsip setiap makhluk amat membutuhkan cahaya, yakni
pancaran pengetahuan, khususnya untuk manusia. Maka, commandment pertama kali yang
diperintahkan Tuhan kepada hamba-Nya adalah perintah untuk ber-iqra’, yakni perintah
membaca. Membaca sendiri merupakan suatu alat utama yang harus digunakan seorang
hamba untuk mendapatkan sebuah pengetahuan. Sekaligus dalam pandangan keilmuan
akademis misalnya, membaca juga merupakan sarana intelektual yang digunakan untuk
mengkaji sesuatu hal sehingga darinya buah pengetahuan berhasil didapatkan.
Hingga pada akhirnya, tatkala peradaban dunia sudah berkembang sedemikian rupa.
Dibuatkanlah sebuah lembaga sebagai tempat menimba pengetahuan dengan berbagai macam
dan bentuk intitusionalisasi pendidikan. Dengan demikian, tujuan dari adanya proses
intitusionalisasi pendidikan disini bermaksud untuk merawat, menumbuhkan, dan
meningkatkan pengetahuan supaya semakin bertambah banyak (baca: lengkap) terkhusus bagi
para manusia.
Pengetahuan atau Bisnis?
Institusionalisasi pendidikan itu demikian masif dilakukan sebagai sebuah wadah serta ruang
bagi para manusia untuk mendapat sebuah pengetahuan. Sehingga pada akhirnya lembaga-
lembaga pendidikan hari ini, mungkin sudah tak bisa dihitung lagi berapa jumlahnya, lantaran
saking banyaknya. Dari mulai yang berbasis umum, swasta, ataupun yang bernuansa Islami
begitu banyak sekali. Baik yang formal maupun yang semi-formal. Dari jenjang paling dasar
sampai tingkat lanjutan sudah ada stratanya masing-masing.
Memang benar, apabila dikatakan bahwa adanya lembaga pendidikan adalah tempat untuk
orang-orang mendapat sebuah pengetahuan ilmu. Sampai-sampai, lembaga pendidikan
tersebut bagi pikiran dan pandangan banyak orang menjadi satu-satunya tempat untuk
mendapatkan ilmu pengetahuan. Tanpa sadar, tatkala kebanyakan orang sudah
menginstitusionalisasi pula pikirannya terhadap pemahaman atas lembaga pendidikan, justru
kondisi tersebut akan mempersempit, bahkan menjadikan timbulnya bias makna dari apa yang
dinamakan dengan pendidikan itu sendiri. Memang, pendidikan adalah sarana dalam rangka
mendapatkan sebuah pengetahuan dan lembaga pendidikan adalah tempat yang digunakan
untuk merealisasikan hal tersebut.
Namun demikian, pengetahuan tidaklah sama dengan Pendidikan, apalagi lembaga
pendidikan. Pendidikan ataupun lembaga pendidikan sebenarnya hanya salah satu
nomenklatur nilai dan tempat di mana ketika kita masuk ke dalamnya, kita akan mendapatkan
ilmu pengetahuan. Akan tetapi, itu hanya salah satu ruang saja. Sedangkan masih banyak lagi
ruang-ruang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan di luar itu, di luar lembaga pendidikan.
Saya tidak mengatakan bahwa institusi pendidikan adalah sesuatu hal yang buruk, tidak
demikian. Sepanjang ia benar-benar taat terhadap nilai dan tujuan dari pada maksud
pendidikan itu sendiri, maka eksistensinya tetap harus ditampilkan. Hanya saja, akan menjadi
problem ketika pada akhirnya nilai dan maksud tujuan institusi pendidikan tersebut dicederai.
Hal demikianlah yang banyak terjadi saat ini. Yakni, ketika pendidikan sudah menginstitusi
dengan sedemikian rupa dalam benak kesadaran kita, tanpa pemahaman berarti. Sehingga
lantas malah menjadikan keadaan semacam itu menjadi sebuah bias pemahaman terhadap
makna esensinya.
Lembaga pendidikan hari ini seperti sudah tak berkomitmen lagi terhadap sebuah perilaku
pendidikan. Orientasi nilainya nampak telah bergeser. Jika ditanya, apa latar belakang
masalah dibangunkannya lembaga pendidikan saat ini? Dan, apa tujuan diberlangsungkannya
pendidikan hari ini? Apakah benar pendidikan hari ini dimaksudkan sebagaimana Ki Hajar
Dewantara mengatakan bahwa tujuan dari pendidikan adalah sebuah proses penguasaan diri,
sehingga anak didik dididik untuk lantas menjadi manusia yang bisa memanusiakan manusia.
Semoga saja masih demikian adanya. Bukan begitu, Kang Guru?
Akan tetapi, melihat fenomenanya, kurang pas kiranya kalau lembaga pendidikan lantas
malah bersaing dengan serta merta untuk hal-hal yang harusnya tidak perlu dipersaingkan.
Sebab, pada dasarnya memang tidak ada persaingan dalam hal ihwal prinsip pendidikan,
apalagi dalam perjalanan seseorang mencari ilmu pengetahuan. Pun, prestasi juga bukan harga
mati dalam sebuah pendidikan, kalau tujuan utamanya adalah untuk mendidik manusia agar
menjadi manusia yang bisa memanusiakan manusia. Apa artinya prestasi, kalau ujung-
ujungnya itu hanyalah dalih untuk menjadikan dirinya unggul dari orang lain. Mana ada orang
itu unggul atas orang lain? Toh, pendidikan bukanlah sebuah ajang perlombaan untuk
memenangkan dirinya atas orang lain, juga bukan sebuah pertunjukan sirkus yang lantas
dengan semena-mena menjadikan anak didik sebagai sebatas aktor untuk mewujudkan
kepentingan-kepentingan tertentu.
Dan lagi, harga mati sebuah pendidikan tidak terletak pada banyak tidaknya anak didik,
bukan? Kecuali kalau pendidikan dijadikan sebagai ladang bisnis, sehingga untung tidaknya
sebuah pendidikan yang diberlangsungkan bergantung mutlak di genggaman tangan
kepandaian olah birokrasi. Dewasa ini, kita justru terlihat amat disibukkan dengan pertanyaan
“bagaimana cara mendapatkan anak-anak didik?”, ketimbang sibuk dengan pertanyaan
“bagaimana cara meningkatkan kualitas pendidikan kita?” sehingga secara otomatis anak
didik bisa kita dapatkan tanpa harus melakukan retorika mobilisasi akademik ketika kualitas
pendidikan sangatlah baik. Akan tetapi, kalau sebuah pendidikan adalah sebuah persaingan
dan sebatas kunci sebagai alat untuk membuka pintu keuntungan, pada akhirnya kualitas
pendidikan sudah menjadi hal yang tidak penting. Lantaran anak didik telah menjadi barang-
barang komoditas—baik yang masih dalam jenjang sekolah dasar, sampai tingkat
perkuliahan.
Kesuksesan atau Skill?
Pada akhirnya, hal yang sama sekali salah dipahami oleh banyak orang adalah bahwa
pendidikan merupakan jalan tol untuk bisa cepat sampai pada garis finish keadaan sukses.
Sehingga, dalam benak kesadaran kita tatkala awal mula masuk ke dalam sebuah lembaga
pendidikan yang pertama kali muncul dan menjadi impian dalam angan-angan kita ialah
kesukesan. Sama sekali hanya kesuksesan, kesuksesan dan kesuksesan.
Ironinya, pendidikan sendirilah yang menggiring mindset parsial semacam itu. Ditambah lagi,
keberadaan para orang tua yang seringkali dengan penuh rasa ego tega hati membunuh
kemampuan sang anak dengan cara meracuninya lewat omongan-omongan perihal kesuksesan
yang melangit. Justru, tanpa disadari, itu akan menjadi beban mental ketika anak hanya
dipahamkan pada hal-hal demikian saja. Bahwa orang itu harus sukses, harus bisa begini,
harus punya ini itu sekaligus harus bisa beli ini itu, dan seterusnya.
Pun, ketika kita benar-benar berada dalam ruang (baca: kelas) Pendidikan, apa yang
didapatkan tak lebih hanyalah hal-hal tak jauh berbeda. Yakni, hal-hal pemahaman atas
sebuah proses-proses untuk menjadi orang sukses. Walhasil, implikasi terburuknya nilai dari
sebuah proses pendidikan dan termasuk realisasi pendidikan dalam kehidupan nyata menjadi
tidak penting, sebab yang penting hanyalah menjadi orang sukses. Peranan pendidikan pada
akhirnya juga tidak lagi menjadi sarana dalam rangka mengasah kemampuan seseorang
kaitannya dengan ilmu pengetahuan, tetapi menjadi sarana untuk membuat orang sekadar bisa
sukses dalam hidup. Padahal sukses itu masih berupa barang mentah, ia bukan makanan siap
santap. Pun, kesuksesan itu hanyalah efek samping ataupun bonus belaka dari proses panjang
sebuah perjuangan nilai. Maka dari itu, sukses bukanlah tujuan hidup, apalagi makna
kesuksesan hari ini juga sudah demikian memadat menjadi barang keras yang tak lagi sehat.
Bisa dilihat, di abad ini setiap orang sangat mendambakan sebuah kesuksesan tanpa dasar
pemahaman yang kuat, atas makna sukses yang sesungguhnya itu seperti apa dan bagaimana.
Pada akhirnya, pendidikan yang harusnya dijadikan sarana untuk mendapatkan pengetahuan
sekaligus untuk mengasah kemampuan dasar seorang anak didik, kini sudah tidak lagi
demikian. Ini sama sekali berawal dari orientasi pendidikan yang salah merealisasikan
epistemologi maksud makna dan tujuannya, yang akhirnya juga mengakibatkan kesalahan
orientasi berpikir anak-anak didik dalam merealisasikan dirinya di wilayah dunia pendidikan.
Akhirnya, orang-orang sekarang begitu fokus hanya pada hasil apa yang akan didapatkan
sebagai nilai kesuksesannya nanti, bukan pada nilai pengetahuannya. Padahal, kalau kata Sri
Krishna, “Seseorang yang mendapatkan pengetahuan dengan mengerti nilainya, pasti hebat
dalam bidangnya. Tapi seseorang yang menginginkan pengetahuan untuk mendapatkan
sesuatu, akan terus bersaing dalam hidupnya untuk membuktikan dia yang hebat, tetapi dia
tidak akan pernah menjadi hebat.” Dan fenomena sekarang ini, setiap orang amat sibuk
bersaing untuk menunjukkan dirinya hebat, unggul dan berprestasi. Padahal kehebatan,
keunggulan maupun prestasi sama sekali tidak dimilikinya, dalam arti tak layak dimiliki.
Dalam hal lain, kurikulum pendidikan yang disistemkan juga sama sekali tidak
mengutamakan proses berpikir yang cerdas dalam pelaksanaannya. Kurikulum pendidikan
justru banyak yang menghambat dan membelenggu daya kritis anak didik, dengan hanya
mendidik untuk taat pada apa yang diajarkan oleh lembaga pendidikan—tanpa boleh protes.
Ujung-ujungnya kita sebagai anak didik akhirnya hanya pandai dalam urusan menghafal,
entah itu teori maupun rumus-rumus baku, tanpa pernah benar-benar memahaminya secara
sungguh-sungguh. Kita banyak tertipu oleh ketamakan mendapatkan nilai bagus, sehingga
menghafal menjadi metode yang seringkali di“dewa-dewa”kan. Padahal, menghafal
merupakan tingkatan paling rendah dalam dunia intelektual. Dengan menghafal memang kita
telah menyelamatkan 4 tahun kehidupan kita ke depannya (dalam institusi pendidikan), akan
tetapi itu akan merusak 40 tahun kehidupan kita di masa depan. Percayalah!
Sampai saat ini tahapan dan tingkatan pendidikan kita masih berkutat pada hafalan-hafalan
belaka. Kemampuan nalar kita masih terbilang amat rendah sekali. Sebab, sampai sejauh dan
selama ini kita belum benar-benar diajarkan cara-cara berpikir kritis untuk meragukan sesuatu
hal. Seringkali kita hanya diajari untuk taat penuh atas sesuatu hal, meskipun hal tersebut
sebenarnya tak benar-benar perlu untuk ditaati. Padahal, dalam proses intelektual
mengharuskan adanya daya nalar kritis yang mumpuni agar nantinya seseorang bisa sampai
pada sebuah kebenaran. Sebagaimana perjalanan intelektual Al-Ghazali, ia pernah
mengatakan dalam karyanya, bahwa “Keraguanlah yang dapat menyampaikan pada
kebenaran. Seseorang yang tidak meragukan, berarti dia tidak bernalar. Seseorang yang
tidak bernalar, dia sama sekali tidak dapat melihat (memahami). Seseorang yang tidak dapat
melihat, dia akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan.”
Di wilayah itulah kita banyak ditipu tanpa sadar dan dibunuh kemampuan nalar kritis kita
secara halus dan perlahan-lahan. Dunia pendidikan hari ini nampak justru berlaku
mempersempit ruang cakrawala ilmu pengetahuan dan sekaligus menghambat proses untuk
mengasah mutu kemampuan sesuai potensi-alamiah diri masing-masing peserta didik. Sampai
pada akhirnya, kita menjadi kelompok ‘manusia yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu’.
Lantas mau apa kita?

Anda mungkin juga menyukai