Anda di halaman 1dari 3

Penarikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)

dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020 cukup mengejutkan
seluruh kalangan, terutama perempuan. Mengingat bahwa kasus kekerasan seksual yang rata rata
diterima oleh perempuan di negara ini.

Belakangan ini kasus pelecehan seksual semakin marak terjadi di lingkungan kampus.
Satu persatu isu pelecehan di berbagai kampus di Indonesia mulai muncul ke publik. Miris,
sebelum RUU ditarik pun pihak institusi Pendidikan masih seolah bertele-tele, kurang tegas dan
didalam penyelesaian kasus dirasa tidak tuntas. Banyak kasus yang berujung protes karena
kurang ketegasan dari pihak institusi pendidikan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelecehan
yang terjadi. Lalu bagaimana nasib perempuan bila RUU benar benar akan ditarik? Dari sekian
banyak kasus yang terjadi, berikut beberapa kasus pelecehan yang terjadi dilingkungan kampus.

Pelecehan seksual dosen terhadap mahasiswi UNDIP, 2016

Pelecehan seksual telah menimpa alumni UNDIP yang saat itu 2016 ia masih berstatus
sebagai seorang mahasiswi. Kronologinya saat itu bulan Juli seminggu setelah hari raya idul fitri,
Dias (nama samaran) mengunjungi kampus untuk menyelesaikan sidang skripsi. Ia ingin
meminta tanda tangan persetujuan sidang skripsi kepada dosen pembimbingnya yang kebetulan
saat itu adalah Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Redyanto Noor.

Ketika Dias berada didepan kantor jurusan, ia didekati seorang dosen sebut saja Kodir
yang tak lain pernah menjadi dosen Dias pada mata kuliah beberapa semester sebelumnya. Kodir
berdalih ingin melihat skripsi dan bahkan menawarkan untuk bimbingan skripsi lagi. Dikutip
dari Tirto.id “ dia bahkan menawarkan untuk bimbingan lagi, padahal skripsi saya sudah selesai
dan siap disidangkan” kata dias “ saya cuma iya-iya saja karena enggak enak”.

Kodir melakukan pelecehan dengan memegang, meraba-raba paha, tangan dan punggung
dias. dias hanya diam terpaku tidak bisa berbuat apa-apa dan merasa ketakutan. Ia memberontak
ketika Kodir berusaha untuk mendekatkan muka dan mulai berusaha mencium dengan menyosor
mulutnya. Akhirnya Dias berhasil menampik dan berlari kabur. Setelah kejadian itu Dias syok
dan kemudian ia menceritakan kejadian tersebut kepada teman-temannya.

Lalu Dias juga melaporkan kejadian itu kepada dosen perempuan yang dikenalnya, dari
dosen itu Dias diminta untuk melaporkan ke kepala jurusan. Setelah menemui kepala program
studi FIB UNDIP ia disarankan melapor ke Dekanat. Dias melaporkan hal itu ke Pembantu
Dekan II Suharyo, dan ia diberitahu bahwa sebelum dirinya telah ada tiga orang yang melapor
pelecehan yang sama dan juga dilakukan oleh Kodir.

Dias merasa penanganan kasus pelecehan tersebut tidak tuntas dan masih menggantung.
Kodir masih bersliweran dikampus. Dias mencoba untuk memastikan kembali akan tetapi
jawaban dari beberapa dosen nihil. Kaprodi hanya menjatuhkan hukuman untuk Kodir jika ia
tidak diperbolehkan menjadi dosen pembimbing skripsi bagi mahasiswi dan hanya boleh
membimbing mahasiswa.

Dugaan pelecehan seksual mahasiswa UGM saat KKN , Juni 2017

Beberapa waktu lalu kasus dugaan pelecehan seksual mahasiswa UGM saat KKN
menyuat ke public. Peristiwa ini menyuat setelah diberitakan diBPPm Balairung UGM berjudul
Nalar pincang UGM atas kasus perkosaan. Dugaan pelecehan itu terjadi di pulau Seram
Maluku juni 2017 lalu. Agni,nama rekaan, yang merupakan mahasiswi fakultas ilmu sosial dan
politik, Universitas Gadjah Mada diduga mengalami pelecehan seksual oleh temannya sendiri
HS saat berada ditempat KKN.

HS diduga melakukan pemerkosaan terhadap Agni. Kejadiannya berawal saat penyitas


dalam keadaan tidur, lalu pelaku mulai melakukan perbuatan bejat itu tanpa meminta persetujuan
korban. Akan tetapi pelaku menolak disalahkan karena pelaku menyebut korban dianggap
meresponnya dengan tidak menunjukkan tanda-tanda menolak perbuatan yang dilakukan HS.

Setelah perjalanan panjang kasus pelecehan seksual yang menimpa Agni akhirnya kasus
tersebut berujung damai. Kedua belah pihak telah setuju untuk menandatangani surat perdamaian
pada Senin, 4 Februari 2019. Dikutip dari Tempo.co “ tidak ada paksaan, tidak ada rekayasa.
Kami mendengarkan betul keinginan dari HS dan AN. Kami sangat berhati-hati karena itu
mungkin juga perdamaian ini membutuhkan waktu yang cukup lama karena sangat sensitive”
kata rektor UGM Panut Mulyono, Senin 4 Februari 2019.

Dugaan Pelecehan Seksual di Kampus UI 6 Februari 2020

Seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia
(UI) sebut saja namanya Melati, mengaku bahwa Ia pernah mendapat pelecehan seksual dari
temannya sendiri, sebut saja J.

J mengajak Melati menemui teman-teman jurusannya di sebuah area di kawasan UI yang


dikenal dengan nama Kukusan Teknik (Kutek). Tanpa curiga sedikitpun, Melati mengiyakan
ajakan T dan bersama-sama menuju Kutek.

Namun di tengah perjalanan, J tiba-tiba membelokkan tujuannya. Dia bilang ingin diantar
ke angkringan Kukusan Kelurahan (Kukel). Melati pun masih belum curiga. Hingga ternyata,
keduanya tiba di sebuah apartemen di kawasan Jalan Margonda, Depok, Jawa Barat.

Di sinilah Melati mulai curiga. Dia sempat menolak ketika J mengajaknya masuk ke
dalam sebuah aparteman yang belakangan diketahui adalah milik teman J. Namun entah
bagaimana ceritanya, J akhirnya berhasil memaksa Melati untuk masuk ke dalam apartemen itu.
J segera mengunci pintu apartemen begitu Melati sudah di dalam. Melati mulai ketakutan
namun dia tak berani berontak karena melihat sebuah pisau di kitchen set apartemen tersebut.
Melati takut J akan kalap dan membunuhnya jika dia memberontak.

Melati sempet berpura-pura mendapat telepon dari pacarnya. J sempat melarang Melati
mengangkat telepon tersebut namun akhirnya diizinkan.

Kesempatan pura-pura mengangkat telepon itu digunakan Melati untuk mencari kunci
apartemen. Dia pun menemukannya dan akhirnya bisa melarikan diri. Melati sudah tak banyak
berpikir. Dalam pikirannya, Melati hanya menyelamatkan diri.

Setelah peristiwa itu, Melati pun menceritakan pengalaman tak menyenangkan itu kepada
temannya. Dibantu temannya, Melati pun akhirnya melaporkan kasus ini ke Hopehelps, yang
merupakan layanan tanggap dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Kepada HopeHelps UI, Melati mengaku sudah melaporkan kasus ini kepada dosen.
Dosennya pun kemudian melaporkan ke jurusan. Namun sayang, usaha untuk speak up itu justru
dibungkam. Melati malah diancam akan dicabut beasiswanya bila melibatkan pihak lain untuk
menyelesaikan kasus ini.

Mediasi antara Melati, J dan orang tua J pun sempat terjadi. Orang tua J memohon agar
Melati tidak membawa kasus ini ke polisi. Di pertemuan itu juga, J juga menawarkan diri untuk
cuti sukarela selama satu tahun sebagai bentuk pertanggungjawaban.

Karena merasa iba, Melati pun akhirnya menyetujui permintaan orang tua J. Tanggal 13
Februari 2020, J membuat surat pernyataan cuti selama satu tahun namun sayangnya itu hanya
janji belaka. Hingga kini, J masih aktif berkuliah dan masih selalu ada di kampus.rsebut

3 kasus tersebut menunjukkan betapa masih tinngi nya tingkat kekerasan seksual pada
perempuan, terutama di kalangan Pendidikan di negara ini. Sudah seharusnya ada perlindungan
bagi perempuan. Namun, apadaya perlindungan yang berbentuk RUU seperti sebelumnya akan
dihilangkan.

Anda mungkin juga menyukai