Dalam sejumlah riwayat, disebutkan bahwa pada awal kepemimpinannya, Abu Bakar
dihadapkan pada peristiwa-peristiwa besar yang berkenaan dengan kemurtadan
sebagian orang Arab.
Melihat kenyataan ini, Umar bin Khattab merasa khawatir. Ia kemudian menghadap
Abu Bakar dan memberi usul kepadanya agar segera mengumpulkan dan
membukukan Alquran sebab peperangan Yamamah telah menyebabkan banyaknya
penghafal Alquran yang gugur di medan perang. Ia juga khawatir jika peperangan di
tempat lain akan menewaskan lebih banyak penghafal Alquran.
Meski awalnya sempat ragu karena Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan
pembukuan Alquran, demi kemaslahatan umat Abu Bakar memerintahkan Zaid bin
Tsabit (yang dikenal sebagai juru tulis Alquran di masa Rasulullah) untuk menuliskan
dan mengumpulkan kembali naskah Alquran yang masih berserakan tersebut.
Zaid melakukan tugasnya ini dengan sangat teliti dan hati-hati. Maka itu, dia tidak
hanya cukup mengandalkan hafalan yang ada dalam hati para hafiz tanpa disertai
catatan yang ada pada para penulis.
Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Zaid berkata, ''Maka, aku pun mulai
mencari Alquran. Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, dari keping-kepingan batu,
dan dari hafalan para penghafal, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat
Attaubah berada pada Abu Huzaimah Al-Anshari yang tidak kudapatkan pada orang
lain.''
Perkataan itu lahir karena Zaid berpegang pada hafalan dan tulisan sehingga akhir
surat Attaubah itu telah dihafal oleh banyak sahabat. Dan, mereka menyaksikan ayat
tersebut dicatat. Tetapi, catatannya hanya terdapat pada Abu Huzaimah Al-Ansari.
Baru pada masa kekhalifahan Usman bin Affan, untuk pertama kali, Alquran ditulis
dalam satu mushaf. Penulisan Alquran di masa Usman disesuaikan dengan tulisan
aslinya yang terdapat pada Hafsah binti Umar. Usman memberikan tanggung jawab
penulisan ini kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash, dan
Abdurrahman bin Haris bin Hisyam.