Kritik Ideologi Pendidikan Terbit

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 315

KRITIK IDEOLOGI

PENDIDIKAN

Syahrul
Fawziah Zahrawati B
Nursaptini

Penerbit IAIN Parepare Nusantara Press

2022
KRITIK IDEOLOGI
PENDIDIKAN

Penulis
Syahrul
Fawziah Zahrawati B
Nursaptini

Editor: Andi Aras


Desain Sampul: Alwi
Penata Letak: Nur Annisa Wara

Copyright IPN Press,


ISBN: 978-623-5781-87-7
315 hlm 14.8 cm x 21 cm
Cetakan I, Agustus 2022
Diterbitkan oleh:
IAIN Parepare Nusantara Press
Jalan Amal Bakti No. 08 Soreang
Kota Parepare, Sulawesi Selatan 91132

Email: nusantarapress@iainpare.ac.id
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
dengan apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Dicetak oleh IAIN Parepare Nusantara Press, Parepare.

ii | Kritik Ideologi Pendidikan


Prakata
Buku ini menyajikan berbagai diskursus tentang
ideologi pendidikan, kritik ideologi pendidikan kaum sofis,
kritik institusionalisasi pendidikan, dan kritik
strukturalisasi pendidikan yang berupaya memotret
fenomena pendidikan di Indonesia secara utuh dan
disajikan sesederhana mungkin. Ketidakpuasan terhadap
stuktur pendidikan, memantik para kritikus untuk
menawarkan wajah baru bagi sistem pendidikan di
Indonesia.
Kritik ideologi pendidikan meyakini bahwa
kegiatan pendidikan tidak lepas dari muatan politik yang
menjadikan realitas sosial sebagai pusat permasalahan.
Dalam hal ini, stuktur pendidikan yang menindas dan
penuh politisasi serta kepentingan menjadi dalang
permasalahan pendidikan.
Buku ini memuat 5 bab. Pada bab pertama berisi
pendahuluan yang berupaya mengajak pembaca untuk
aware terhadap fenomena pendidikan yang telah
membudaya di masyarakat. Kemudian pada bab kedua
membahas berbagai tipologi ideologi pendidikan meliputi:
ideologi pendidikan konservatif, ideologi pendidikan
liberal, ideologi pendidikan pragmatis, kritik ideologi
konservatif dan liberal, matinya ideologi pendidikan, dan
masa depan ideologi pendidikan.
Selanjutnya, bagian bab ketiga memuat kritik
ideologi pendidikan kaum sofis yang terdiri dari
perkembangan ideologi pendidikan kaum sofis, pengaruh
perkembangan ideologi pendidikan kaum sofis, dan kritik
bisnis pendidikan kaum sofis.

Kritik Ideologi Pendidikan | iii


Bab keempat membahas kritik institusionalisasi
pendidikan yang terdiri dari: alasan institusionalisasi
pendidikan, lahirnya kesadaran kritis institusi pendidikan,
kritik tradisi institusionalisasi pendidikan, kritik
modernisasi institusi pendidikan, institusi pendidikan
sebagai rekayasa budaya, institusi pendidikan sebagai
rekayasa politik, institusi pendidikan sebagai arena
kapitalisme, nihilisme institusi pendidikan, matinya
ideologi ke-Tuhanan dalam institusi pendidikan, dan
membebaskan masyarakat dari institusi pendidikan.
Pada bab terakhir buku ini mendiskusikan kritik
strukturalisasi pendidikan, yakni: arena produksi stuktur
pendidikan, dilema antara strukturalisasi dan humanisasi
pendidikan, kebudayaan bisu dalam stuktur pendidikan,
guru dan murid dalam stuktur pendidikan, stuktur
pendidikan sebagai penjara, matinya subjek dalam stuktur
pendidikan, dan membebaskan masyarakat dari penjara
struktur pendidikan.
Akhir kata, penulis berharap agar buku ini dapat
menumbuhkan kesadaran atas realitas pendidikan dalam
bingkai kritik ideologi pendidikan sebagai suatu alur
pemikiran yang baru dan dan tidak lepas dari kondisi
lingkungan pendidikan pada era revolusi industri.

Kupang, Agustus 2022

Penulis

iv | Kritik Ideologi Pendidikan


Daftar Isi
PRAKATA…. ......................................................................... iii
DAFTAR ISI............................................................................. v
BAB I. PENDAHULUAN ...................................................... 1
BAB II. TIPOLOGI IDEOLOGI PENDIDIKAN
A. Ideologi Pendidikan Konservatif ............................... 11
B. Ideologi Pendidikan Liberal ....................................... 18
C. Ideologi Pendidikan Pragmatis ................................. 34
D. Kritik Ideologi Konservatif dan Liberal.................... 40
E. Matinya Ideologi Pendidikan..................................... 51
F. Masa Depan Ideologi Pendidikan ............................ 63
BAB III. KRITIK IDEOLOGI PENDIDIKAN KAUM SOFIS
A. Perkembangan Ideologi Pendidikan Kaum Sofis ... 71
B. Pengaruh Perkembangan Ideologi Pendidikan Kaum
Sofis ................................................................................ 86
C. Kritik Bisnis Pendidikan Kaum Sofis ........................ 93
BAB IV. KRITIK INSTITUSIONALISASI PENDIDIKAN
A. Alasan Institusionalisasi Pendidikan ....................... 103
B. Lahirnya Kesadaran Kritis Institusi Pendidikan .... 116
C. Kritik Tradisi Institusionalisasi Pendidikan ........... 143
D. Kritik Modernisasi Institusi Pendidikan ................. 155
E. Institusi Pendidikan Sebagai Rekayasa Budaya ..... 161
F. Institusi Pendidikan Sebagai Rekayasa Politik ....... 176
G. Institusi Pendidikan Sebagai Arena Kapitalisme ... 182
H. Nihilisme Institusi Pendidikan ................................. 187
I. Matinya Ideologi ke-Tuhanan dalam Institusi
Pendidikan ................................................................... 191
J. Membebaskan Masyarakat dari Institusi Pendidikan
....................................................................................... 198

Kritik Ideologi Pendidikan | v


BAB V. KRITIK STRUKTURALISASI PENDIDIKAN
A. Arena Produksi Struktur Pendidikan ...................... 213
B. Dilema antara Strukturalisasi dan Humanisasi
Pendidikan ................................................................... 240
C. Kebudayaan Bisu dalam Struktur Pendidika.......... 249
D. Guru dan Murid dalam Struktur Pendidikan ......... 258
E. Struktur Pendidikan Sebagai Penjara ....................... 265
F. Matinya Subjek dalam Struktur Pendidikan ........... 276
G. Membebaskan Masyarakat dari Penjara Struktur
Pendidikan ................................................................... 287
DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 301
BIOGRAFI PENULIS ............................................................ 307

vi | Kritik Ideologi Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN

Kita perlu mengingatkan kembali sebuah


pengalaman yang telah kita alami sejak masih sekolah.
Pengalaman itu berlangsung 12 tahun lebih jika kita sudah
mahasiswa Strata 1, tetapi apabila kita adalah seorang
sarjana bisa jadi pengalaman itu sudah di atas 17 tahun.
Kita tahu bahwa orangtua memasukkan kita ke sekolah
saat berusia 6 atau 7 tahun, dari situlah awal mula kita
mengenal lembaga pendidikan. Coba kita bayangkan
bagaimana caranya sebuah institusi pendidikan
mempersiapkan masa depan kita yang bahkan mereka pun
tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, bagaimana
perkembangan di masa depan, dan apa yang akan kita
lakukan di masa depan. Namun institusi pendidikan tetap
mempersiapkan masa depan kita yang mereka sendiri
tidak tahu seperti apa. Siapa yang tau saya akan menjadi
dosen, siapa yang tahu Chris John jadi petinju, dan siapa
yang tahu Jokowi jadi presiden, tetapi yang kita tahu
adalah belajar matematika, bahasa, IPA, IPS, PPKN, agama,
dan seni.
Institusi pendidikan sebenarnya tidak dapat
mempersiapkan sesuatu yang mereka tidak tahu, sehingga
mereka hanya akan mengajarkan apa yang mereka tahu,
seperti matematika, bahasa, IPA, IPS, PPKN, agama, seni
dan lainnya. Kurikulum hanya mempersiapkan kepada
kita hal-hal yang guru bisa ajarkan karena itu yang paling
mudah diajarkan di sekolah. Pada intinya, sekolah
memiliki aturan bayangan, misalnya matematika lebih
penting daripada sejarah, anak IPA lebih pintar daripada

Kritik Ideologi Pendidikan | 1


anak IPS, anak yang pintar dimasukkan ke kelas IPA, dan
sebagainya. Sekolah cenderung mengajarkan ketakutan,
padahal mencoba sesuatu yang baru pasti ada kesalahan,
misalnya takut salah mengerjakan soal ujian karena takut
tidak naik kelas, dan takut salah mengerjakan ujian
nasional karena takut tidak lulus. Ini seolah menandakan
bahwa waktu yang kita habiskan belajar selama bertahun-
tahun di sekolah tidak dinilai. Misalnya, penilaian
pelajaran agama, kalau pelajaran agama jelek, apakah itu
berarti agama anak tersebut jelek? Pertanyaan ini yang
sampai sekarang sulit dijawab karena menurut guru
agama, amalan manusia tidak bisa dihitung secara
kuantitatif.
Kita tahu bahwa banyak anak-anak yang nilainya
jelek ketika sekolah, tetapi ketika dewasa, mereka bisa
sukses. Sebaliknya banyak anak-anak yang nilainya bagus
ketika masih sekolah, tetapi mereka hanya jadi pegawai
biasa. Kenapa itu bisa terjadi? Karena masa depan tidak
ditentukan oleh institusi pendidikan. Anak-anak di sekolah
hanya diajarkan untuk menjadi guru. Guru matematika
mengajar muridnya untuk menjadi guru matematika, guru
IPA mengajar muridnya untuk jadi guru IPA, guru IPS
mengajar muridnya untuk menjadi guru IPS, dan
seterusnya. Anehnya, ambil salah satu guru, misalnya guru
matematika diberi tes IPS. Hasilnya, guru tersebut tidak
menguasai IPS. Jika guru-guru tersebut tidak bisa
melakukan hal yang lain dengan baik atau menguasai
semua mata pelajaran, lantas mengapa murid-muridnya
dipaksakan untuk mendapatkan nilai yang baik pada
semua mata pelajaran. Jika gurunya saja menguasai satu

2 | Kritik Ideologi Pendidikan


mata pelajaran, mengapa muridnya harus menguasai
semua mata pelajaran? Alasannya adalah pelajaran dasar,
tetapi ketika dewasa sang guru pun menyadari bahwa dia
tidak bisa menguasai semua pelajaran yang diberi ketika
masih sekolah karena pada dasarnya tidak ada manusia
yang sempurna di dalam segala hal.
Banyak pelajaran-pelajaran yang diberikan ketika kita
masih sekolah, tetapi kita tidak menggunakannya ketika
dewasa, misalnya [1] ketika kita masih sekolah kita diajari
peta buta, tetapi ketika dewasa saya tidak jadi ahli geografi,
bahkan sekarang saya dapat menggunakan google map
tanpa harus menghafal peta dunia. [2] Di sekolah dulu, kita
diminta menghafalkan nama-nama menteri dan gubernur
sedangkan mereka selalu diganti setiap masa periode
bahkan ada yang diganti secara mendadak. Oleh karena
itu, siapakah yang salah? Apakah yang seharusnya
dirubah? Kita tidak boleh menyalahkan guru dan kepala
sekolah, tetapi yang salah adalah struktur dan sistem
pendidikan. Sehingga yang perlu kita rubah adalah
struktur dan sistem pendidikan. Sejak kecil ketika anak
masuk sekolah kita harus menyiapkan beberapa waktu
untuk mencari tahu mata pelajaran apa yang disukai oleh
anak tersebut, sehingga kita dapat membagi kelas-kelas
tersebut berdasarkan minat peserta didik, tetapi tetap
masih diberi pelajaran dasar secukupnya tanpa harus
mencapai nilai setinggi-tingginya. Jadi sejak SD peserta
didik sudah diajari seperti masa kuliah.
Ada peserta didik yang dapat menghafalkan semua
mata pelajaran, tetapi ketika dewasa pikirannya akan
terkotak-kotak, kreativitasnya telah buntu, otak kanannya

Kritik Ideologi Pendidikan | 3


tidak akan jalan karena yang dilatih adalah otak kiri, yaitu
menghafal semua mata pelajaran. Sehingga yang terjadi
adalah bukan pintar, cerdas, kreatif, tetapi jago menghafal.
Orangtua juga harus mendukung bakat dan minat yang
dimiliki oleh anaknya. Anak yang nilai matematikanya
merah, tetapi nilai IPS bagus akan dileskan pelajaran
matematika oleh orangtuanya. Keputusan ini keliru karena
orangtua seharusnya mendukung bakat dan minat yang
dimiliki oleh anaknya dengan cara mengambil les IPS,
sehingga anak tersebut akan menjadi orang yang ahli
dalam ilmu sosial ke depannya. Oleh karena itu, struktur
dan sistem yang harus dirubah di sekolah adalah peserta
didik yang mendatangi guru di dalam kelas, bukan guru
yang mendatangi peserta didik.
Pada umumnya struktur pendidikan di Indonesia
terpola sedemikian rupa karena dipengaruhi oleh dua
ideologi yang kontradiktif, yaitu struktur pendidikan
Indonesia tidak bisa lepas dari keyakinan teologis dan
sekaligus juga mengadopsi paham postivistik. Kedua
keyakinan ini dapat kita uraikan sebagai berikut:
1. Teologis adalah pendidikan yang dibentuk berdasarkan
kepercayaan mistik yaitu sistem pendidikan yang
dipengaruhi oleh agama dan tradisi kebudyaan. Itu
adalah warisan di dalam agama, misalnya pendidikan
agama Islam yang doktrinnya melalui sekolah
pesantren.
2. Pendidikan yang positivistik adalah sistem pendidikan
yang diwarisi oleh tradisi Yunani yang telah
mengalami perkembangan di era modern.

4 | Kritik Ideologi Pendidikan


Perkembangan pendidikan ini ditandai dengan
munculnya institusi pendidikan umum.
Selama beberapa generasi, pemerintah Indonesia
telah berusaha menjadikan institusi pendidikan sebagai
tempat yang lebih baik dengan cara menyediakan banyak
persekolahan. Namun sejauh ini usaha tersebut tidak
pernah berjalan maksimal karena yang didapat dari
sekolah hanyalah pelajaran yang memaksa semua peserta
didik memanjat struktur pendidikan yang tak berujung
dan hanya menjadi arena pelanggeng kapitalisme serta
pelanggeng kepentingan politik. Struktur pendidikan saat
ini hanya menguntungkan bagi peserta didik yang sudah
mengawalinya sejak dini, yaitu anak dari keluarga kaya
yang telah memiliki habitus lebih sehat atau lebih siap, dan
sisanya hampir pasti gagal. Ini bisa disebabkan karena
banyaknya mata pelajaran yang diwajibkan di sekolah
sehingga membunuh kehendak banyak orang untuk belajar
sesuai dengan minat dan bakat. Selain itu, ilmu
pengetahuan diperlakukan ibarat komoditas, yaitu
dikemas, dijajakan, dan diterima sejenis harta pribadi oleh
yang menerimanya dan selalu langka di pasaran.
Para kritikus pendidikan mengusulkan beberapa hal
yang dapat merubah wajah sistem pendidikan Indonesia
supaya setiap orang dapat membeli pendidikan sesuai
pilihan masing-masing. Lalu mengusulkan agar
tanggungjawab pendidikan dipindahkan dari pemerintah
ke sekolah dan masyarakat sebagai institusi pendidikan
yang independen. Kita menginginkan revolusi pendidikan
agar sekolah universal dihapus dan diganti dengan
berbagai sistem pendidikan yang baru karena lebih tangkas

Kritik Ideologi Pendidikan | 5


menyiapkan orang untuk hidup dalam masyarakat
modern. Usul-usul ini dapat dimasukkan ke dalam tiga
kategori, yaitu [1] reformasi ruang kelas dalam sistem
persekolahan, [2] pembiakan sekolah bebas di seluruh
masyarakat, dan [3] transformasi seluruh masyarakat
menjadi satu ruang kelas raksasa (Zulfatmi, 2013).
Paradigma di atas kemudian disebut dengan kritik
ideologi pendidikan, yaitu mazhab pendidikan yang
meyakini adanya muatan politik dalam semua aktivitas
pendidikan, begitu juga dengan kritik ideologi pendidikan
yang menjadikan realitas sosial sebagai pusat
permasalahan yang diakibatkan oleh struktur pendidikan
yang menindas, penuh dengan politisasi, dan kepentingan.
Kritik ideologi pendidikan juga disebut aliran kiri karena
orientasi politiknya yang berlawanan dengan kebijakan
pemerintah yang bermuara pada konsep ideologi
konservatif. Pada intinya, kritik ideologi pendidikan
adalah pengakuan sepenuhnya terhadap kebebasan
individu. Disamping kebebasan individu, kritik ideologi
pendidikan juga sangat mengedepankan kuasa akal
manusia (rasionalitas) (Freire, 1984; Mu‟arif, 2005).
Selain itu, terdapat juga pendidikan liberal yang
selalu dikritik karena merupakan bagian dari aliran filsafat
eksistensialisme dan progreifisme, yaitu pendidikan liberal
tetap berorientasi untuk melakukan sebuah revolusi pada
norma-norma yang telah mapan serta bersifat konstruktif
dan dinamis. Akar permasalahan yang melatarbelakangi
konsep pendidikan liberal ialah pandangan yang
mengedepankan aspek pengembangan potensi,
perlindungan hak-hak dan kebebasan individu.

6 | Kritik Ideologi Pendidikan


Sedangkan, pendidikan konservatif adalah ideologi
pemikiran pendidikan yang berdasarkan pada teori-teori
klasik dan konvensional. Ciri khusus pendidikan ini adalah
pola pikir yang sangat kental dengan nuansa determinis,
normatif dan anti terhadap perubahan. Pada hakikatnya,
pendidikan konservatif mengajarkan pada setiap orang
agar tidak kritis terhadap setiap kebijakan karena siapa
pun yang membuat kebijakan dia adalah orang yang lebih
tinggi derajatnya. Oleh karena itu, mereka harus dihargai,
dihormati, dan diikuti semua kebijakannya. Bahkan bisa
dikatakan bahwa pendidikan konservatif tidak mengenal
adanya konsep perubahan bagi suatu kondisi masyarakat
(Mu‟arif, 2005; O‟Neill, 2008).
Kritik ideologi pendidikan dalam konteks akademik
disebut dengan “the new sociology of education” atau “critical
theory of education”. Kelahiran kritik ideologi pendidikan
sebagai suatu alur pemikiran baru yang tidak terlepas dari
keadaan lingkungan pendidikan khususnya di era revolusi
industri atau milenial. Kebangkitan kembali institusi
pendidikan yang bebas khususnya generasi milenial telah
melahirkan suatu alur pemikiran baru yang
mempertanyakan jalan kehidupan manusia yang serba
digital. Lebih jauh lagi, kritik ideologi pendidikan sebagai
suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan
dialektis antara filsafat pendidikan dan sosiologi. Kritik
ideologi pendidikan tidak hanya berhenti pada fakta-fakta
objektif yang umumnya dianut oleh aliran
positivistik, tetapi kritik ideologi pendidikan berusaha
menembus realitas sosial sebagai fakta sosial untuk

Kritik Ideologi Pendidikan | 7


menemukan kondisi yang bersifat trasendental yang
melampaui data empiris.
Kritik ideologi pendidikan ini sangat relevan dengan
teori kritik Habermas karena Ia tidak mengkritik teori
kritik yang sebelumnya, tetapi Ia melihat ada beberapa
kelemahan dari teori kritis generasi pertama. Teori kritik
pertama setelah mengkritik modernisasi pendidikan
kemudian putus asa karena tidak dapat mengobati
penyakit orang-orang modern yang telah terjebak di dalam
struktur pendidikan yang menindas. Oleh karena itu,
Habermas menawarkan rasio komunikasi di dalam teori
kritis. Rasio komunikasi ini juga memiliki relevansi dengan
metode dialogis Freire karena komunikasi dan dialogis
dapat menyelesaikan kemacetan teori kritis yang terjebak
di dalam orang-orang struktural yang menganggap dirinya
kritis.
Orang-orang tersebut yang membuat kemacetan
dalam teori kritis disebabkan karena mereka telah
membuat masyarakat salah dalam memahami teori ini,
yaitu mereka beranggapan bahwa kritik dengan
penaklukan itu sama dan praksis dengan penaklukan itu
sama. Sedangkan menurut Habermas dan Freire, kritik
hanya dapat maju dengan rasio komunikatif dan dialogis
yang dimengerti sebagai tindakan komunikatif dan
dialogis. Masyarakat komunikatif dan dialogis bukanlah
masyarakat yang melakukan kritik melalui kekerasan,
tetapi melalui argumentasi. Oleh karena itu, komunikatif
dan dialogis dapat dibedakan ke dalam dua macam
argumentasi, yaitu perbincangan atau diskursus dan kritik
(Freire, 2013; Hardiman, 1993).

8 | Kritik Ideologi Pendidikan


BAB II
TIPOLOGI IDEOLOGI PENDIDIKAN

Berdasarkan persepektif O‟Neill, kita dapat


memahami bahwa landasan ideologi pendidikan nasional
Indonesia adalah bercirikan ideologi konservatif dan
sekaligus juga bercirikan ideologi liberal. Pendidikan
Indonesia disebut bercirikan ideologi konservatif karena di
dalam landasan pendidikan berisikan nilai-nilai religius
dan kultural, pembudayaan dan keteladanan, serta masih
dominan campur tangan pemerintah terhadap pendidikan
masyarakat. Sebaliknya pendidikan Indonesia juga disebut
bercirikan ideologi liberal karena di dalam komponennya
berisikan pengembangan potensi peserta didik melalui
ilmu pengetahuan, kebebasan warga negara secara
demokratis, pemberdayaan partisipasi masyarakat dalam
pendidikan serta adanya kebijakan merdeka belajar. Lebih
jauh lagi, ideologi pendidikan Indonesia bisa disebut
sebagai konservatif dan sekaligus liberal karena ideologi
pendidikan Indonesia dapat memasuki dua rumpun
ideologi pendidikan tersebut (Soeharto, 2010, 2012).
Di sisi lain, ideologi pendidikan Indonesia disebut
konservatif karena berangkat dari tafsir elit pendidikan
Indonesia terhadap undang-undang dasar pendidikan
nasional, kurikulum pendidikan nasional, dan kebijakan
pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Jika dilihat dari perspektif ideologi pendidikan
O‟Neill, sistem pendidikan Indonesia mengandung ciri-ciri
ideologi konservatif dengan menempatkan beberapa poin
yang bercirikan ideologi liberal. Sebaliknya, ideologi

Kritik Ideologi Pendidikan | 9


pendidikan Indonesia mengandung ciri-ciri ideologi
liberal, karena melakukan kompromi berupa penambahan
ciri-ciri ideologi pendidikan konservatif atau pengurangan
kadar model liberalisme (Soeharto, 2012). Lebih jauh lagi,
sistem pendidikan nasional masih konservatif karena
dipengaruhi oleh tatanan agama dan sosiokultural serta
masih menerapkan nilai-nilai agama ke dalam kurikulum
sehingga kebijakannya sentralistik. Sedangkan ideologi
pendidikan liberal mendasarkan pada kebijakan yang
desentralistik karena sudah diterapkan kurikulum
merdeka belajar, namun ini hanya sekedar wacana saja
karena realitas sosialnya tidak sejalan dengan teori dan
konsep kebebasan dan kemerdekaan (Syahrul, 2019).
Ideologi pendidikan selalu berbenturan dengan poltik
kekuasaan karena institusi pendidikan belum independen,
sehingga kurikulum pendidikan tidak relevan untuk
mengembangkan peserta didik, tetapi lebih relevan untuk
melanggengkan kekuasaan. Oleh karena itu, kritik
terhadap ideologi pendidikan nasional tentu saja wajib
diadakan karena sebagai bahan perbandingan. Dalam hal
ini, kita perlu bersikap kritis terhadap ideologi pendidikan
yang bersifat konservatif yang di dalamnya termuat
beberapa paradigma, yaitu fundamentalisme,
intelektualisme, dan konservatisme. Selanjutnya kita juga
membutuhkan ideologi pembanding, yaitu ideologi liberal
dengan paradigma liberalisionisme, anarkisme, dan
liberalisme. Perbandingan dari kedua ideologi pendidikan
tersebut tentu saja mempunyai daya refleksi yang begitu
kuat pengaruhnya bagi permasalahan pendidikan di
Indonesia (Wisarja & Sudarsana, 2017).

10 | Kritik Ideologi Pendidikan


Sikap kritis secara bebas diperlukan sebagai
rasionalisasi pendidikan dari berbagai ideologi metafisik
yang ditawarkan oleh pemerintah. Dengan kebebasan ini,
kita dapat mencoba menawarkan wacana baru yang
sifatnya kulturalis atau pendidikan yang berbasis
masyarakat, sehingga ideologi pendidikan dapat
dikembalikan pada ideologi yang sesungguhnya (Wisarja
& Sudarsana, 2017). Oleh karena itu, kita perlu memahami
terlebih dahulu ideologi pendidikan yang ditawarkan,
yang pertama, ideologi pendidikan konservatif memandang
bahwa struktur pendidikan di Indonesia merupakan suatu
hukum wajib atau sebagai sebuah wewenang pemerintah.
Ideologi pendidikan yang dibentuk adalah bahwa peserta
didik pada dasarnya tidak memiliki wewenang dan
perencanaan untuk mempengaruhi struktur pendidikan
nasional. Kedua, ideologi pendidikan liberal menganggap
bahwa tidak ada keterkaitan antara persoalan politik dan
kekuasaan dengan institusi pendidikan karena institusi
pendidikan harus independen dan terbebas dari intervensi
penguasa atau pemerintah. Ketiga, ideologi pendidikan
kritis adalah sebagai sebuah paradigma lanjut dalam
tulisan ini yang berupaya untuk merekonstruksi ideologi
pendidikan konservatif dan liberal (Wisarja & Sudarsana,
2017).
A. Ideologi Pendidikan Konservatif
Pada dasarnya, ideologi pendidikan konservatif
mendukung ketaatan terhadap institusi dan struktur
pendidikan yang telah melalui proses dan diuji secara
kebudayaan, disertai dengan ketaatan terhadap hukum
yang berlaku dan tatanan sosial yang baku, yang

Kritik Ideologi Pendidikan | 11


berlandasan pada perubahan sosial yang konstruktif.
O‟Neill juga memandang bahwa dalam pendidikan yang
berideologi konservatif akan menerapkan kebijakan
pendidikan yang sentralistik dan memasukkan nilai-nilai
agama ke dalam kurikulum pendidikan nasional. Lebih
jauh lagi, kaum konservatif menganggap bahwa dalam
institusi pendidikan Indonesia, sasaran utama ideologi
pendidikan konservatif adalah pelestarian dan penerusan
struktur atau sistem sosial, tradisi-tradisi yang sudah
mapan, melegitimasi politik pendidikan, dan
melanggengkan kekuasaan pemerintah (Soeharto, 2012;
O‟Neill, 2008).
Dalam institusi pendidikan, kebijakan utama seorang
konservatisme adalah melestarikan tatanan sosial dan
tradisi yang sudah ada dengan cara mengelompokkannya
ke dalam dua bagian, yaitu ideologi pendidikan religius
dan sekuler. Seorang konservatisme menekankan pada dua
aspek ini demi mempertahankan sebuah kebijakan
pendidikan yang sudah ada tanpa memikirkan apakah
kebijakan tersebut rancu atau bahkan tidak tepat sama
sekali. Mereka cenderung menempatkan dirinya pada
posisi yang lebih aman, meskipun kedepannya secara
sadar atau tidak sadar justru kebijakan pendidikan yang
sedang diterapkan mengandung berbagai macam
kejanggalan dan kerusakan pada struktur dan institusi
pendidikan karena tidak dapat berkembang sama sekali.
Oleh karena itu, kita tidak bisa mengasumsikan kebijakan
pendidikan di Indonesia dengan hanya berbagai macam
atribut realitas yang dihasilkan dan dihadapi dengan
melalui konsep yang semata-mata lebih menitik beratkan

12 | Kritik Ideologi Pendidikan


pada aspek kemapanan yang sudah ada (Wisarja &
Sudarsana, 2017).
Pendidikan di Indonesia sejak berdiri sudah
mendambakan suatu jenis pendidikan yang konservatif
karena kebijakannya adalah bernuansa semi-modern. Oleh
karena itu, jika kita mendambakan sebuah pendidikan
yang liberal masih terlalu dini karena masih jauh dalam
bayangan kita saat ini. Kemarahan, keputusasaan dan
ketidakpuasan kita pada pemerintah tidak bisa dihindari
jika kita menengok ke beberapa negara tetangga seperti
Malaysia dan Singapura. Gambaran keadaan pendidikan
Indonesia yang belum dewasa dapat menjadi alasan dan
dasar yang cukup relevan bagi kita untuk membentuk
konsep baru agar kita tidak terjebak dalam sekat-sekat
ideologi pendidikan konservatif (Wisarja & Sudarsana,
2017).
Pola pikir yang membuat dan seringkali menimpa
kebiasaan konservatisme adalah dimulai dari tertutupnya
wawasan mereka mengenai revolusi, atau sebuah pola
pikir yang kurang peka terhadap perubahan sosial (Wisarja
& Sudarsana, 2017). Sementara itu, kebijakan atau sistem
pendidikan di Indonesia masih berlaku ideologi
konservatif, tetapi kita tidak mudah untuk menyatakannya
dalam bentuk general karena masih banyak dijumpai
bekas-bekas ideologi pendidikan kolonial yang terwadahi
dalam bentuk struktural dalam institusi pendidikan.
Institusi inilah yang membentangkan sayap konservatisme
pendidikan (Wisarja & Sudarsana, 2017). Meskipun
ideologi pendidikan Indonesia termasuk dalam kategori
ideologi pendidikan konservatif, itu tidak bisa disimpulkan

Kritik Ideologi Pendidikan | 13


sama dengan ideologi pendidikan fundamentalisme dan
ideologi pendidikan intelektualisme (Soeharto, 2012).
Ideologi pendidikan konservatisme tersebut dibagi atas
tiga, yaitu (O‟Neill, 2008):
1. Ideologi Pendidikan Fundamentalisme
Ideologi pendidikan fundamentalisme dikenal
dengan ideologi pendidikan religius yang pada dasarnya
cenderung meminimalkan pertimbangan-pertimbangan
intelektual karena lebih mendasarkan pada anggapan-
anggapan di atas kebenaran Tuhan ataupun kesepakatan
sosial dalam kelompok agama. Fundamentalisme
mencakup corak-corak keagamaan yang pada dasarnya
bersifat anti-intelektual karena mereka ingin melemahkan
pertimbangan-pertimbangan intelektual, serta mereka
cenderung mendasarkan keyakinan-keyakinannya di atas
penerimaan yang relatif tidak kritis terhadap kebenaran
agama yang mereka yakini (Muashomah, 2016; Soeharto,
2012).
Ideologi pendidikan fundamentalisme disebut
pendidikan religius karena berlandasan pada tatanan sosial
agamis yang menekankan pada pendidikan spiritual
sebagai pusat landasan watak moral pada manusia.
Sebagaimana dijumpai dalam berbagai pendidikan versi
Islam dan Kristen yang lebih fundamentalistis dan sangat
terikat pada pandangan yang cukup kaku dan harfiah
mengenai kenyataan yang diwahyukan melalui
kewenangan dan otoritas Al-Qur‟an dan Alkitab. Saat ini,
di Indonesia, konservatisme religius paling terwakili dalam
orientasi pendidikan Islam seperti pesantren dan tradisi-
tradisi Protestan, seperti Lutheran dan Baptisan, serta

14 | Kritik Ideologi Pendidikan


sekolah dan perguruan tinggi di bawah naungan
Kementerian Agama (Muashomah, 2016; Soeharto, 2010).
2. Ideologi Pendidikan Intelektualisme
Ideologi pendidikan intelektualisme lahir dari
ungkapan-ungkapan konservatisme yang didasari oleh
pemikiran sekuler yang cenderung kaku dan secara
fundamental bersifat otoritarian. Ideologi pendidikan
inteletualisme disebut juga sebagai ideologi pendidikan
sekuler karena berlandasan pada tatanan sosial kultural
yang peduli pada perlunya pelestarian, penyaluran
keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek kebudayaan
tradisional sebagai sebuah jalan untuk mempertahankan
struktur dan institusi pendidikan. Secara umum, ideologi
pendidikan intelektualisme dimaksudkan untuk mengubah
praktek-praktek politik yang ada dengan cara
menjadikannya lebih sempurna dan relevan dengan cita-
cita dan gagasan intelektual atau kerohanian ideal yang
pada intinya bersifat dimutlakkan. Misalnya,
konservatisme intelektual yang terpantul dalam tulisan-
tulisan Plato dan Aristoteles dan pemikiran Thomas
Aquinas (melandasi pandangan utama Gereja Katholik
Roma) (Muashomah, 2016; O‟Neill, 2008; Soeharto, 2010).
Lebih jauh lagi, fundamentalisme dan intelektualisme yang
senantiasa berkompetisi dalam memperjuangkan apa yang
menjadi pondasinya, tidak menunjukkan kemiripan
dengan ideologi pendidikan Indonesia (Soeharto, 2012).
Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah ideologi pendidikan
baru, yaitu konservatisme revisionis.

Kritik Ideologi Pendidikan | 15


3. Ideologi Pendidikan Konservatif Revisionis
Ideologi pendidikan konservatif revisonis adalah
penggabungan ideologi pendidikan konservatif religius
dan sekular dengan penambahan pada komponen
kurikulum dan kebijakan. Dengan adanya penambahan,
maka pilihan ideologi pendidikan konservatif revisionis
ditetapkan untuk menghubungkan kedua pandangan di
atas. Penggabungan ini juga dapat dilihat di dalam
kurikulum nasional Indonesia karena menunjukkan
kesamaan, walaupun terdapat beberapa perbedaan.
Hubungannya adalah komponen kurikulum pendidikan
nasional mengandung unsur konservatif religius yang
berisi pengetahuan agama, begitu pun juga dengan
konservatif sekular yang berisi nilai-nilai kultural.
Sedangkan perbedaannya adalah komponen kurikulum
pendidikan nasional yang berideologi konservatif religius
menggunakan kebijakan pendidikan sentralistik,
sedangkan pendidikan nasional yang berideologi sekuler
menggunakan kebijakan pendidikan desentralistik
(Soeharto, 2012; Syahrul, 2019). Oleh karena itu, hasil
penggabungan antara ideologi pendidikan konservatif
religius dengan sekuler menghasilkan ideologi pendidikan
konservatif revisionis.
Secara umum, ideologi pendidikan konservatif
revisionis dimaksudkan untuk mengubah kebijakan
pendidikan yang ada dengan menjadikannya lebih
sempurna yang berlandaskan pada cita-cita gagasan
fundamentalisme dan intelektualisme. Kebijakan
pendidikan yang dimaksud sebagaimana termaktub dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

16 | Kritik Ideologi Pendidikan


Pendidikan Nasional, yaitu [1] pengembangan tenaga
pendidik diatur dengan undang undang, [2] penyediaan
sarana dan prasarana oleh satuan pendidikan, [3]
pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama
antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, [4]
evaluasi pendidikan dilakukan melalui akreditasi dan
sertifikasi, [5] badan hukum pendirian satuan pendidikan,
[6] pengawasan dan penyelenggaraan dilakukan dengan
prinsip transparansi dan akuntabilitas diatur oleh
pemerintah.
Berdasarkan pada peraturan tersebut di atas, sistem
pendidikan Indonesia perlu direvisi karena di dalamnya
masih terdapat beberapa hal yang menuai kritik. Oleh
karena itu, kritik terhadap kebijakan pendidikan Indonesia
di atas dapat ditafsir ke dalam tiga bagian, yaitu (Soeharto,
2012):
1) Pengembangan tenaga pendidik diatur dengan undang-
undang. Kebijakan ini banyak ditafsir oleh pakar
pendidikan Indonesia sebagai bentuk sentralisasi
pendidikan. Penyerahan kepada pemerintah dalam
mengatur tenaga pendidik dimaknai sebagai adanya
dominasi negara terhadap tenaga pendidik, maka
kebijakan pendidikan ini dapat dimaknai sebagai
ideologi pendidikan konservatisme.
2) Kebijakan penyediaan sarana dan prasarana dinyatakan
dalam satuan pendidikan bahwa seolah pemerintah
lepas tangan dalam menyediakan sarana dan prasarana
pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab
bersama pemerintah dan institusi pendidikan atau
masyarakat.

Kritik Ideologi Pendidikan | 17


3) Kebijakan pendanaan pendidikan nasional yang
dinyatakan dalam undang-undang bahwa pendanaan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Dengan alasan, apabila pendanaan pendidikan hanya
dibebankan kepada pemerintah maka ini dipandang
mengabaikan peran masyarakat, sebaliknya, apabila
pemerintah tidak menanggung biaya pendidikan
masyarakat maka ini dipandang sebagai pengingkaran
tugas pemerintah atas pendidikan. Oleh karena itu,
pendanaan pendidikan ditanggung bersama oleh
pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, ideologi pendidikan
konservatif revisionis dapat memperbaiki kebijakan
pendidikan di Indonesia, menambah tipologi ideologi
pendidikan, dan juga sekaligus merevisi pandangan
O‟Neill tentang kebijakan pendidikan yang berideologi
konservatif (Soeharto, 2012).
B. Ideologi Pendidikan Liberal
Munculnya pendidikan liberal dimulai ketika
banyaknya kritikan terhadap kekuasaan yang menindas di
dalam institusi pendidikan dan institusi ini juga mulai
dipertanyakan keabsahannya. Kritik yang dilontarkan oleh
kelompok liberalisme adalah institusi pendidikan
seharusnya mencetak peserta didik secara kompleks dan
spesialis agar dapat memainkan peran penting untuk
melihat dan merubah realitas (Wisarja & Sudarsana, 2017).
Kelompok liberalisme bertujuan untuk menggagas institusi
pendidikan yang dianggapnya ideal bagi peserta didik
karena mereka memandang bahwa peserta didik pada

18 | Kritik Ideologi Pendidikan


dasarnya dilahirkan bebas dan memiliki nilai-nilai moral
yang pluralis (Bakar, 2012). Kemunculan pendidikan liberal
juga dipengaruhi oleh tesis Weber yang memandang
bahwa nilai-nilai bukanlah bagian dunia objektif karena itu
adalah soal pilihan rasional individu yang sifatnya
subjektif. Sehingga, ideologi pendidikan liberal tidak
sepenuhnya meyakini kebenaran objektif karena mereka
memandang bahwa individu seharusnya diberi kebebasan,
yaitu bebas untuk memilih nilainya sendiri secara subjektif
(Bakar, 2012).
Ideologi pendidikan liberal juga merupakan produk
dari modernisasi Barat yang telah berhasil menggeser
ideologi pendidikan konservatif yang ditandai dengan cara
berpikir manusia yang dikendalikan oleh sesuatu di luar
dirinya. Ideologi pendidikan liberal memiliki cita-cita
untuk mengangkat peserta didik menjadi pemilik
dunianya secara otonom dan membebaskan diri dari
penghalang yang memasung kebebasan indvidu agar
mereka mengekspresikan diri sebagai manusia
independen. Oleh karena itu, liberalisme dan
individualisme dianggap menjadi suatu hal yang tak
terpisahkan. Keduanya memiliki kesamaan ideologi dalam
membentuk suatu institusi pendidikan yang sangat
penting bagi awal-awal pertumbuhan ide-ide pendidikan
modern di Barat. Ide modernisme yang menonjol adalah
pencerahan (renaissance) yang kemudian melahirkan
kesadaran individu dari belenggu adat dan budaya
kegelapan yang memasung pikiran manusia selama
berabad-abad.

Kritik Ideologi Pendidikan | 19


Dasar ideologi pendidikan liberal dapat diklasifikasi
menjadi tujuh bagian, yaitu (Bakar, 2012):
1) Individualisme: Ideologi pendidikan liberal
menganggap individu sebagai sesuatu organisme yang
sangat penting di dalam institusi pendidikan. Oleh
karena itu, seluruh kebijakan pendidikan mengarah atau
diarahkan untuk memberikan ruang kepada kebebasan
dan hak-hak peserta didik, sehingga di dalam
pendidikan liberal, individualisme lebih penting dari
kolektivisme.
2) Rasionalisme: Ideologi pendidikan liberal mengakui
institusi pendidikan memiliki struktur yang rasional,
yang dapat dipahami secara logis. Oleh karena itu,
institusi pendidikan bisa dipahami lewat deliberasi
pikiran dan pencarian kritik terus menerus.
3) Kebebasan: Ideologi pendidikan liberal berangkat dari
kebebasan peserta didik karena kebebasan adalah
kemampuan peserta didik untuk berpikir kritis,
bertindak sesuai dengan mata hati (conscience) dan
determinasi.
4) Tanggungjawab: Ideologi pendidikan liberal dibentuk
oleh rasa tanggungjawab yang tinggi karena tanpa
tanggungjawab adalah sebuah keliaran, sehingga
ideologi pendidikan liberalisme adalah kebebasan yang
disertai tanggung jawab.
5) Keadilan: Ideologi pendidikan liberal menganggap
bahwa keadilan adalah nilai moral yang harus dijunjung
tinggi dalam institusi pendidikan karena kita tidak
boleh mengorbankan hak peserta didik demi membela
hak yang lainnya, sehingga pemberian keadilan kepada

20 | Kritik Ideologi Pendidikan


peserta didik dapat memberikan kesempatan kepada
mereka untuk bersaing dan menggapai hak-haknya.
6) Toleransi: Ideologi pendidikan liberal menganggap
bahwa kita harus menerima dan menghormati
keyakinan, ras, dan budaya peserta didik, meskipun itu
bebeda dengan kita, sehingga toleransi dijadikan
sebagai dasar kebersamaan dan kerukunan hidup.
7) Pluralisme: Ideologi pendidikan liberal menganggap
bahwa puncak tertinggi di dalam ideologi liberal adalah
pluralisme. Atau pluralisme ini adalah satu langkah di
atas toleransi. Salah satu yang membedakan pluralisme
dengan toleransi adalah dialog karena di dalam
pluralisme dialog adalah metode untuk mendiskusikan
perbedaan-peredaan yang ada dengan tujuan untuk
menerima semua perbedaan itu karena pada prinsipnya
adalah kebaikan.
Berdasarkan pada klasifikasi di atas, pada dasarnya
ideologi pendidikan liberal menempatkan peserta didik
pada posisi sentral di dalam struktur dan institusi
pendidikan, agar mereka dapat berpikir secara bebas dan
keluar dari lintasan struktur pendidikan. Meskipun
kebebasan yang dimaksud hanya sebatas perbaikan dari
tatanan yang ada, mereka berani menampilkan tatanan
baru yang lebih didasari pada pemikiran kritis dan bebas
yang sesungguhnya. Karena, pada dasarnya, tidak seorang
pun yang dapat menjadikan dirinya betul-betul bebas atau
tidak ada kebebasan mutlak pada kaum liberalis karena
tingkat kesadaran yang mereka capai hanya sampai pada
tahap kebebasan berekspresi bukannya kebebasan mutlak
(Wisarja & Sudarsana, 2017).

Kritik Ideologi Pendidikan | 21


Liberalisme pendidikan pada hakikatnya bertujuan
untuk melahirkan kesadaran kritis lewat ilmu pengetahuan
atau hasil pembelajaran yang diperoleh di dalam institusi
pendidikan. Lebih jauh lagi, ideologi pendidikan liberal
bertujuan untuk melestarikan dan memperbaiki struktur
dan institusi pendidikan yang ada dengan cara mendidik
secara efektif berdasarkan kebudayan yang ada, dan
mengajar setiap peserta didik untuk mengetahui cara
menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya
sendiri secara otonom (Soeharto, 2012; Wisarja &
Sudarsana, 2017). Ide-ide sentral ideologi pendidikan
liberal berdasarkan pada konsep-konsep rasionalitas,
kebebasan, toleransi, dan pluralitas. Dasar ini lahir dari
distribusi ideologi demokratis yang mengandung prinsip
perlakuan yang berimbang antara kebebasan dan
kesamaan, antara hak dan kewajiban, kepada peserta didik
(Bakar, 2012).
Ideologi pendidikan liberal dianggap cukup
menjanjikan dalam dunia pendidikan, lebih jauh lagi,
Dewey dan pengikut-pengikutnya meyakini hal itu karena
apabila peserta didik diberi kebebasan yang cukup untuk
mempelajari sesuatu yang besar, maka mereka akan
menyerapnya dengan baik, sehingga ini akan berguna bagi
dirinya dan masyarakat (Bakar, 2012). Selain itu, ideologi
pendidikan liberal terdiri dari dua bagian pokok, yaitu
liberalisme metodis (mempolakan) dan liberalisme direktif
(mengarahkan). Kedua ideologi ini berbeda-beda dalam
penerapannya, yakni liberalisme metodik ke liberalisme
direktif hingga ke liberalisme non-direktif atau liberalisme
laissez faire (O‟Neill, 2008; Soeharto, 2012). Lebih jauh lagi,

22 | Kritik Ideologi Pendidikan


ideologi pendidikan liberal terbagi atas dua paradigma,
yaitu ideologi pendidikan liberasionalisme dan anarkisme.
1. Ideologi Pendidikan Liberasionisme
Ideologi pendidikan liberasionisme menganggap
bahwa institusi pendidikan harus segera melakukan
revolusi struktur pendidikan dalam ruang lingkup besar
atas tatanan politis yang ada sebagai jalan menuju
perluasan kebebasan peserta didik serta menempatkan
posisi peserta didik ke dalam perwujudan potensi-potensi
personal secara otonom (Soeharto, 2012). Ideologi
pendidikan liberasionisme mencakup sudut pandangan
yang luas yaitu mulai dari liberasionisme pembaruan yang
relatif konservatif yang tercermin dalam gerakan-gerakan
menuntut hak-hak warga negara hingga ke komitmen yang
mendesak dan bernafsu terhadap liberasionisme
revolusioner. Gerakan ini juga kerapkali dianggap
bernuansa Marxisme karena seruannya yang menuntut
agar sistem pendidikan segera mengambil peran aktif
dalam menggulingkan kekuasaan politik dalam institusi
pendidikan (Muashomah, 2016; Soeharto, 2010).
Bagi kaum liberasionisme, institusi pendidikan
haruslah bersifat objektif (desentralisasi) dan
mengeliminasi kebijakan pendidikan yang bersifat
sentralistik. Hal ini karena institusi pendidikan memiliki
fungsi ideologis yang mapan, yaitu ia ada bukan hanya
untuk mengajar peserta didik tentang bagaimana cara
berpikir rasional dan ilmiah, melainkan juga untuk
membantu peserta didik mengenali kebijakan yang
sifatnya lebih tinggi (politik) yang mencakup pemecahan-
pemecahan masalah secara intelektual serta berbagai

Kritik Ideologi Pendidikan | 23


masalah pendidikan. Dengan kata lain, ideologi
pendidikan liberasionisme didirikan di atas kebijakan
pendidikan yang demokratis yang pada puncaknya
merupakan sebuah orientasi politik pendidikan. Oleh
karena itu, institusi pendidikan memiliki kewajiban moral
untuk mengajarkan program-program sosial yang
konstruktif untuk memajukan pendidikan ke arah yang
lebih mandiri atau independen yang didukung oleh
analisis objektif terhadap fakta-fakta yang ada
(Muashomah, 2016; O‟Neill, 2008; Soeharto, 2010).
Ideologi pendidikan liberasionisme memandang
bahwa struktur dan institusi pendidikan memiliki tatanan
politik dengan segala konsekuensinya, oleh karena itu,
dalam struktur dan institusi pendidikan dibutuhkan
kebebasan bagi peserta didik semaksimal mungkin.
Institusi pendidikan haruslah bersifat objektif
(desentralisasi) dan tidak bersifat sentralistik. Fungsi
institusi pendidikan tidak hanya sebagai tempat cara
berpikir efektif (rasional-ilmiah) melainkan juga sebagai
tempat untuk mengenal cara berpikir yang kritis pada
peserta didik. Dengan kata lain, ideologi pendidikan liberal
dilandasi oleh kebebasan secara terbuka. Ideologi
pendidikan liberal juga masih terbagi ke dalam dua bagian,
yaitu liberasionisme pembaharuan yang cenderung lebih
konservatif, dan liberasionisme revolusioner yang lebih
cenderung ke arah radikalisme secara kritis terhadap
struktur dan institusi pendidikan (Wisarja & Sudarsana,
2017).
Pada paradigma liberasionisme yang kedua,
kebebasan peserta didik menentukan institusi pendidikan

24 | Kritik Ideologi Pendidikan


yang sudah terstruktur yang semata-mata dianggap tidak
memenuhi hakikat kebaikan yang disetujui bersama.
Paradigma yang terakhir ini sudah mulai menghampiri
nilai kesadaran yang dulunya terbelenggu oleh struktur
dan institusi pendidikan yang ada. Keunggulan di dalam
tahapan ini adalah karena mampu menembus batas
kesadaran kolektif yang selama ini membelenggu
kesadaran kritis yang berbentuk ilmu dan pengetahuan di
dalam institusi pendidikan. Dengan demikian, tahapan
selanjutnya adalah anarkisme pendidikan yang tidak
mengenal pemakaian tatanan ilmu pengetahuan dan tidak
mempunyai daya tawar dalam menghadapi bentuk realitas
yang semakin kompleks, yang bertujuan untuk
membentuk sebuah komunitas yang tercerahkan (Wisarja
& Sudarsana, 2017).
2. Ideologi Pendidikan Anarkisme
Ideologi pendidikan anarkisme menganggap bahwa
penghapusan seluruh kekangan struktur dan institusi
pendidikan pada peserta didik adalah sebuah cara untuk
menumbuhkan kreativitas dan potensi yang dimiliki oleh
peserta didik. Penghapusan kekangan ini diyakini sebagai
jalan untuk menyediakan peluang kesuksesan atas potensi-
potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Sikap anarkisme
ini diwakilih oleh beberapa tulisan-tulisan tokoh
pendidikan terkenal seperti Ivan Illich, Neil Postman, dan
Paul Goodman (O‟Neill, 2008). Ideologi pendidikan
anarkisme memiliki objek kajian yang cukup luas, yaitu
dari anarkisme taktis yang ingin merevolusi struktur di
dalam institusi pendidikan demi mewujudkan kebutuhan
akan adanya kebijakan pendidikan baru hingga ke anarkis

Kritik Ideologi Pendidikan | 25


utopis yang membayangkan terciptanya sebuah
pendidikan yang bebas tak terbatas dari seluruh kekangan
struktur dan institusi apapun. Pada umumnya, seseorang
yang berideologi pendidikan anarkisme menaati sebuah
sistem investigasi eksperimental yang terbuka (ilmiah-
rasional) (Muashomah, 2016; Soeharto, 2010).
Lebih jauh lagi, objek kajian ideologi pendidikan
anarkisme ini dapat kita uraikan secara jelas, yaitu [1]
anarkisme taktis adalah menekankan pada kepentingan
sosial peserta didik yang dilakukan secara langsung atas
realitas pendidikan yang dianggap lebih bermanfaat dari
pada melanggengkan struktur di dalam institusi
pendidikan. [2] Anarkisme utopis adalah memimpikan
sebuah institus pendidikan permanen yang dapat
membebaskan peserta didik dari sekat-sekat pendidikan
yang telah terstruktur dalam institusi. Hakikat dari
paradigma ini adalah memberikan serta memperkenalkan
ruang baru bagi pembentukan kesadaran individu dalam
menghadapi permasalahan dalam institusi pendidikan
karena selama ini institusi pendidikan tidak mampu
mengkondisikan dirinya pada posisi sebagai objek realitas,
justru menjadikan peserta didik sebagai objek terikat atau
tawanan di sekolah-sekolah secara struktural. Lebih parah
lagi, peserta didik tidak diberi ruang untuk memilih dan
tidak menyadari telah masuk ke dalam penjara struktural
(Wisarja & Sudarsana, 2017).
Kaum yang berideologi pendidikan anarkisme juga
lebih menekankan pada tujuan untuk meminimal atau
menghapus sekat yang dibentuk oleh sturktur dan institusi
pendidikan dan berusaha sejauh mungkin membebaskan

26 | Kritik Ideologi Pendidikan


peserta didik dari struktur dan institusi pendidikan
tersebut (destrukturalisasi dan deinstitusionalisasi
pendidikan). Mereka meyakini bahwa pendekatan terbaik
terhadap perbaikan pendidikan adalah mengusahakan
revolusi untuk mempercepat pembaharuan-pembaharuan
struktur pendidikan secara cepat dan berskala besar di
dalam institusi pendidikan dengan cara menghapuskan
struktur pendidikan secara keseluruhan yang dinilai tidak
relevan, bahkan cenderung merugikan (Muashomah, 2016;
O‟Neill, 2008; Soeharto, 2010).
Pada dasarnya, orang yang berideologi pendidikan
anarkisme cenderung pada sebuah strategi tentang
bagaimana cara merasionalisasikan pendidikan. Mereka
menganggap bahwa ideologi pendidikan sebelumnya tidak
mampu mewakili seluruh kepentingan dan
merepresentasikan kebutuhan peserta didik dalam institusi
pendidikan. Justru ideologi pendidikan sebelumnya
menghegemoni kebebasan peserta didik hingga keluar
batas kewenangan yang ada dengan cara mempolakan
setiap bentuk kesadaran yang ada. Oleh karena itu,
ideologi pendidikan anarkisme inilah yang menjadi salah
satu dasar lahirnya kesadaran kritis yang lebih mengarah
ke bentuk rasionalisasi pendidikan. Lahirnya kesadaran
kritis dapat membebaskan peserta didik dari segala bentuk
realitas tanpa ada polarisasi kesadaran yang menyesatkan.
Lebih jauh lagi, Habermas menyebutnya „critical
conciousness‟ yaitu penekanan pada bentuk pemikiran yang
lebih rasional-ilmiah (praktis) diperoleh di dalamnya
(Wisarja & Sudarsana, 2017).

Kritik Ideologi Pendidikan | 27


3. Ideologi Pendidikan Neoliberalisme
Ideologi pendidikan liberal adalah suatu pandangan
yang menekankan pengembangan kemampuan,
melindungi hak dan kebebasan peserta didik serta
mengidentifikasi permasalahan-permasalahan di dalam
pendidikan dengan upaya untuk melakukan perubahan
sosial demi menjaga stabilitas masa depan pendidikan.
Konsep utama ideologi pendidikan neoliberalisme berakar
pada cita-cita Barat tentang individualisme. Selain itu,
lahirnya ideologi pendidikan neoliberalisme berkaitan erat
dengan bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan
oleh kapitalisme (Bakar, 2012). Oleh karena itu, ideologi
pendidikan neoliberalisme sangat berpengaruh dalam
modernisasi. Pengaruhnya dapat dilihat dalam beberapa
hasil analisis berikut (Bakar, 2012):
a) Pengaruh filsafat Barat tentang manusia universal atau
manusia yang rasional-liberal. Konsep ini didukung
oleh beberapa asumsi, yaitu [1] semua manusia
memiliki potensi sama dalam pendidikan, [2] baik
struktur dan institusi pendidikan dapat direkayasa oleh
akal, [3] peserta didik adalah manusia atomistik dan
otonom yang dapat menempatkan dirinya secara
atomistik, membawa pada keyakinan bahwa struktur
dan institusi pendidikan sebagai rekayasa sosial, dan
masyarakat dianggap bodoh karena tidak dapat
mengikuti pendidikan secara struktural di dalam
institusi pendidikan.
b) Pengaruhnya terhadap institusi pendidikan, yaitu
neoliberalisme berpandangan bahwa tujuan institusi
pendidikan seharusnya menyediakan informasi dan

28 | Kritik Ideologi Pendidikan


wadah yang diperlukan oleh peserta didik agar supaya
belajar sendiri secara efektif. Oleh karena itu, guru
seharusnya mengajar peserta didik bagaimana cara
menyelesaikan masalah sosial melalui pembelajaran
secara perseorangan atau kelompok dengan
menerapakan strategi pembelajaran ilmiah-rasional.
Sehingga institusi pendidikan adalah alat yang
digunakan untuk memecahkan masalah sosial.
c) Pengaruhnya terhadap struktur pendidikan, yaitu
neoliberalisme mengajarkan suatu sistem pendidikan
yang jauh dari model doktriner dan berusaha
menghilangkan tradisi-tradisi pengekangan terhadap
peserta didik atau dogma feodalistik yang menyokong
peserta didik secara otoriter dan totaliter. Ambisi
neoliberalisme pada cita-cita kebebasan disebabkan
karena ketidaksukaannya pada kolektivisme dan
aturan-aturan yang mengekang peserta didik. Ini
membaut peserta didik menjadi manusia imperior
karena mereka kehilangan kebebasan yang seharusnya
didapat dari upaya independensi peserta didik di dalam
institusi pendidikan. Neoliberalisme juga beranggapan
bahwa banyak masalah pendidikan di setiap negara,
tetapi itu tidak ada sangkutpautnya dengan persoalan
politik dan ekonomi karena pendidikan bisa
menyesuaikan diri dengan perubahan arah politik dan
perkembangan dunia perekonomian.
d) Pengaruhnya terhadap peserta didik, yaitu: [1] peserta
didik dipandang sebagai pribadi yang unik karena
memiliki kreativitas dan potensi yang besar apabila
seorang guru ahli dalam merangsang semua itu agar

Kritik Ideologi Pendidikan | 29


mereka dapat menemukan potensi apa yang ada pada
dirinya. Selain itu, peserta didik umumnya cenderung
menjadi baik berdasarkan adaptasi alamiah dari
perilakunya sendiri. [2] Peserta didik adalah individu
yang merupakan pribadi yang otonom yang dapat
bergerak mandiri dalam menanggapi atau
menyelesiakan kondisi-kondisi sosial dan masalah
personal yang dihadapinya.
Identifikasi pengaruh neoliberalisme ke dunia
pendidikan di atas, dapat diklasifikasikan menjadi tiga
metode, yaitu (Bakar, 2012):
1) Liberalisme metodis adalah guru yang mengusulkan
dan menggunakan sebuah metode baru dalam mengajar
tetapi Ia tidak bersikap kritis terhadap tujuan-tujuan
dan isi pendidikan yang sudah ada. Ideologi ini
menganggap bahwa metode-metode pembelajaran
harus disesuaikan dengan zaman, tetapi tujuan
pendidikan dan tradisi kebudayaan secara fundamental
tidak memerlukan penyesuaian secara keseluruhan.
Ideologi ini diperkuat oleh salah satu tokoh pendidikan
liberalisme metodis, yaitu Maria Montessori yang
mengusulkan tentang metode mengajar yang baru,
tetapi tujuan utama seperti kebudayaan dan inti
pendidikan tetap dipertahankan.
2) Liberalisme direktif adalah metode pembelajaran
tradisional baik tujuan dan isi pendidikan memerlukan
revolusi secara radikal yang dimulai dari orientasi
otoritarian tradisional ke arah yang lebih tepat yaitu
mengajar setiap peserta didik untuk berpikir secara
efektif bagi dirinya sendiri. Pada dasarnya, ideologi ini

30 | Kritik Ideologi Pendidikan


menginginkan revolusi pendidikan yang mendasar
dalam hal visi dan misi, struktur, dan kurikulum
institusi pendidikan sebagaimana adanya. Ideologi ini
menganggap bahwa wajib belajar adalah perlu untuk
mempertahankan beberapa kebutuhan dasar
pendidikan serta perlu juga untuk mengajukan
penetapan isi pelajaran yang akan diberikan kepada
peserta didik.
3) Liberalisme non-direktif adalah metode pembelajaran
yang memberikan kebebasan kepada peserta didik
untuk menentukan apakah mereka ingin belajar sesuatu
atau tidak, serta mereka dapat menetapkan kapan, di
mana, dan sejauh mana mereka ingin belajar. Ideologi
ini diarahkan untuk memecahkan masalah-masalah
peserta didik secara efektif, serta ingin mengurangi
seluruh batasan dengan cara melenyapkan hal-hal
seperti wajib belajar dan pengajaran mata pelajaran
wajib. Kemudian, menurut mereka lembaga pendidikan
harus memberikan wewenang dan kebebasan kepada
para peserta didik untuk memilih apakah mereka ingin
belajar atau tidak dan apa yang ingin mereka pelajari
serta memberi peserta didik kebebasan untuk memilih
pengalaman-pengalamnan pendidikan apapun yang
mereka anggap paling relevan dengan kebutuhan-
kebutuhan personil mereka (Bakar, 2012).
Perkembangan ideologi liberalisme di Indonesia
diawali ketika Soekarno membuka lebar-lebar masuknya
wacana asing pada tahun 1960-an dengan mengirimkan
beberapa pemuda Indonesia untuk kuliah di luar negeri.
Pada kesempatan inilah, para sarjana yang telah

Kritik Ideologi Pendidikan | 31


menyelesaikan pendidikan di luar negeri berhasil
membawa wajah baru pendidikan di Indonesia.
Sebenarnya pada era inilah ditandai lahirnya intelektual
baru yang tersebar di beberapa universitas terkemuka di
Indonesia (Wisarja & Sudarsana, 2017). Namun dalam
perkembangannya kemudian, tepatnya di era
Pemerintahan Orde Baru, pendidikan di Indonesia tidak
mencerminkan adanya liberalisme. Pendidikan justru
didesain secara sentralistik yang semuanya berpusat di
Jakarta atas dasat keputusan pemerintah yang berkuasa,
sehingga selama Pemerintahan Orde Baru tidak pernah ada
ideologi pendidikan liberal. Isu ideologi pendidikan liberal
kemudian dimunculkan kembali setelah runtuhnya
kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998.
Lebih jauh lagi, sistem pendidikan kemudian
dirumuskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 22
tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian
berpengaruh pada kebijakan pendidikan dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Di dalam Undang-Undang tersebut, dijelaskan
dua aspek yang berkaitan dengan kebijakan pendidikan
adalah [1] aspek penyediaan sarana dan prasarana oleh
satuan pendidikan dan [2] aspek pendanaan pendidikan
menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat. Kedua aspek ini
mengubah kebijakan pendidikan Indonesia dari sertralistik
menjadi desentralisasi. Berdasarkan kebijakan tersebut,
manajemen pendidikan Indonesia mengalami pembebasan,
dalam arti memberikan kebebasan kepada setiap Dinas
Pendidikan Daerah untuk menyediakan sarana dan

32 | Kritik Ideologi Pendidikan


prasarananya sendiri dan juga menentukan kebutuhan
anggarannya (Soeharto, 2012). Namun dalam kebijakan
tersebut, hanya dapat dikatakan sebagai liberalisme
sepihak karena seharusnya yang diberi kebebasan adalah
institusi pendidikan dan peserta didik.
Berdasarkan pada undang-undang tersebut, ideologi
pendidikan Indonesia menunjukkan adanya kesamaan
dengan ideologi pendidikan liberal meskipun dalam
realisasinya ada banyak perbedaan, yaitu pada landasan
ideologi dan kurikulum. Pada landasan ideologi,
pelestarian dan perbaikan tatanan sosial dilakukan melalui
tatanan sosial agamis dan kultural. Oleh karena itu, kita
dapat melihatnya dalam isi kurikulum juga dimuat
pengetahuan agama dan nilai-nilai kultural, sehingga
kedua pokok ini memberi warna yang berbeda dengan
model pendidikan liberalisme. Meskipun demikian
ideologi pendidikan Indonesia masih termasuk dalam
kelompok model tersebut karena ada kemiripan pada
kebijakan institusi dan kurikulum. Selain itu, struktur
pendidikan di Indonesia tidak memiliki landasan
pembaharuan tatanan politik seperti model ideologi
pendidikan liberal. Oleh karena itu, ada kesamaan dalam
landasan ideologi pengembangan institusi pendidikan,
tetapi di Indonesia tidak ada upaya melebur, mengganti,
dan menghapus institusi pendidikan, seperti ideologi
pendidikan liberal anarkisme. Dengan demikian, dalam
rumpun ideologi pendidikan liberal, ideologi pendidikan
Indonesia tidak tergolong model liberasionisme dan
anarkisme, tetapi termasuk liberalisme (Soeharto, 2012).

Kritik Ideologi Pendidikan | 33


Sebagai model liberalisme, ideologi pendidikan
Indonesia tidak memiliki kemiripan dengan tipe ideologi
pendidikan liberalisme metodis, direktif, dan non-direktif.
Perbedaannya dengan ketiga ideologi ini adalah terletak
pada dasar pendidikan, kurikulum, dan kebebasan peserta
didik. Meskipun pada dasar pendidikan menunjukkan
kesamaan pada pelestarian dan perbaikan tatanan sosial,
tetapi tatanan sosial yang dimaksud berbeda adalah
tatanan sosial dalam ideologi pendidikan Indonesia, yaitu
tatanan sosial agamis dan tatanan sosial kultural,
sedangkan pada ideologi pendidikan liberalisme metodis,
direktif, dan non-direktif hanya berisi pengetahuan ilmiah-
rasional. Oleh karena itu, ketiganya berbeda dengan
kurikulum pendidikan Indonesia yang berisi agama, nilai-
nilai budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Oleh
karena itu, dalam rumpun liberal, ideologi pendidikan
Indonesia termasuk model liberalisme bertipe liberalisme
kompromistik. Label kompromistik diambil karena adanya
variasi pengurangan dari model liberalisme pada
komponen landasan dan kurikulum (Soeharto, 2012).
C. Ideologi Pendidikan Pragmatis
Ideologi pendidikan pragmatis membuat institusi
pendidikan menjadi miskin kritik akademik atas realitas
sosial karena institusi pendidikan telah kehilangan bahasa
kritis dan daya kritisnya. Atau pendidikan kehilangan
ketajaman ideologi kritiknya atas institusi pendidikan yang
tidak sesuai lagi dengan idealisme akademik. Lebih jauh
lagi, institusi pendidikan tidak mampu menawarkan
kemungkinan-kemungkinan dikembangkannya institusi
pendidikan yang demokratis. Ini merupakan kritik

34 | Kritik Ideologi Pendidikan


terhadap eksistensi institusi pendidikan yang seharusnya
menjadi bagian dari kritik sosial yang kemudian ikut
mengkritisi persoalan-persoalan politik dalam struktur
pemerintahan. Oleh karena itu, apabila institusi
pendidikan kehilangan ideologi kritisnya maka ia tidak
mampu menjadi pencerah bagi masyarakat atau menjadi
agen perubahan sosial, sebaliknya institusi pendidikan
justru semakin jauh dari ideologi pendidikan itu sendiri
(Nuryanto, 2017).
Fakta yang terjadi dalam institusi pendidikan adalah
ideologi pragmatis hanya mendukung kepentingan-
kepentingan kapitalisme, tetapi ideologi ini tidak memberi
perhatian terhadap kepentingan-kepentingan yang bersifat
idealis atau apa yang seharusnya menjadi esensi
pendidikan. Akibatnya, politisasi, konsumerisme, dan
komersialisme pendidikan dikedepankan sementara nilai-
nilai moral pendidikan terpinggirkan. Oleh karena itu,
banyak dosen, guru, dan mahasiswa yang kita jumpai di
dalam institusi pendidikan lebih suka membuat karya
ilmiah tidak berbasis pada buku, tapi berbasis internet
yang lebih mudah, instan, dan tidak perlu bersusah payah.
Banyak juga di antara mereka yang lebih suka membaca
buku-buku motivasi dan novel karena ringan dan mudah
dibaca, tapi tidak mempertajam akal-budi dibandingkan
mereka membaca buku-buku filsafat yang berat dan rumit
tetapi kaya pengetahuan, inspiratif, dan mempertajam
akal-budi dan nurani (Nuryanto, 2017).
Lebih jauh lagi, mahasiswa lebih banyak memilih
jurusan yang menjanjikan peluang kerja di masa depan
daripada jurusan yang berbau pemikiran. Oleh karena itu,

Kritik Ideologi Pendidikan | 35


saat ini institusi pendidikan telah direduksi maknanya
sebagai tempat pemarkiran tenaga kerja sebelum
memasuki dunia kerja, dan institusi pendidikan sebatas
investasi ekonomi untuk mendapat lapangan pekerjaan.
Institusi pendidikan tidak lagi dimaknai secara idealis,
yaitu menyiapkan manusia untuk menciptakan lapangan
pekerjaan, tetapi mereka disiapkan untuk menjadi tenaga
kerja. Secara idealis, institusi pendidikan sebenarnya
merupakan lembaga untuk menyiapkan manusia memiliki
kepribadian yang otonomi, independen, dan memiliki
kreativitas agar tidak hanya sekedar hidup di dalam
masyarakat tapi juga berpengaruh dalam transformasi
masyarakat (Nuryanto, 2017).
Pada dasarnya, tujuan utama ideologi pendidikan
pragmatis adalah sangat idealis, yaitu untuk meningkatkan
kecerdasan praktis. Selain itu, ideologi ini juga memiliki
tujuan yang sama dengan pendidikan progresif, yaitu
untuk membuat peserta didik lebih efektif dalam
memecahkan berbagai masalah yang dialaminya.
Karakteristik ideologi pendidikan pragmatis dan
progresivitas bersifat duniawi, menjelajah, dan aktif karena
keduanya berorientasi kepada cara hidup liberal. Oleh
karena itu, secara filosofi, progresivisme ditopang oleh
filosofi pragmatisme (Soeharto, 2012). Namun dalam
penerapannya, kedua ideologi ini tidak lagi pada jalur
yang sama. Ideologi pendidikan progresif masih tetap
menjaga tujuan dasarnya, tetapi ideologi pendidikan
pragmatis telah keluar dari garis utamanya, yaitu menjadi
kendaraan ideologi kapitalisme dalam institusi pendidikan.

36 | Kritik Ideologi Pendidikan


Di akhir abad 20 sampai sekarang, terjadi
pertarungan kepentingan antara ideologi dalam institusi
pendidikan di Indonesia, sehingga ini sebagai contoh
kongkret bagaimana pendidikan itu tidak netral atau
dipolitis. Persoalan yang dimaksud adalah antara institusi
pendidikan yang berbasiskan pada nilai-nilai akademik
atau berbasiskan pada nilai-nilai korporasi. Nilai akademik
adalah nilai etis-utopis, sedangkan nilai korporasi adalah
nilai praktek pragmatis. Tarik menarik kepentingan
ideologi dalam pendidikan sesungguhnya merupakan tarik
menarik kepentingan antara idealisme dan pragmatisme.
Namun tetap diakui bahwa idealisme memiliki peran
penting dalam membentuk kehidupan masyarakat, dan
bahkan tidak sekedar memberi afirmasi atas peran
pendidikan dalam masyarakat, tetapi idealisme diyakini
memainkan peranan yang signifikan dalam membentuk
kehidupan politik dan kultural. Idealisme juga memiliki
peran sebagai media untuk menyiapkan dan melegitimasi
bentuk-bentuk tertentu kehidupan sosial. Oleh karena itu,
ideologi yang menjadi basis institusi pendidikan adalah
nilai-nilai idealisme (Nuryanto, 2017).
Beberapa faktor munculnya ideologi pendidikan
pragmatisme akibat perkembangan kapitalisme di
Indonesia, yaitu:
a) Institusi pendidikan tidak untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa atau membangun karakter bangsa
menuju sempurna, tetapi institusi pendidikan
dibangun untuk memenuhi keterampilan dasar dan
memenuhi kebutuhan teknis perusahaan asing yang
sangat jelas pro Barat dan kapitalis. Institusi

Kritik Ideologi Pendidikan | 37


pendidikan sebagai instrumen dari industri dan
sekaligus menjadi sub koordinat dari sektor industri
dengan konsep link and macth (Bakar, 2012).
b) Ideologi pendidikan pragmatisme sebagai pandangan
baru dalam melihat institusi pendidikan sebagai bagian
dari investasi masa depan (human investment).
c) Penyusunan kurikulum pendidikan secara matematis
demi memenuhi kepentingan pasar, kepentingan
kapitalisme, dan kepentingan penguasa.
d) Bisnis pendidikan yang menjadikan sekolah dan
perguruan tinggi diambil alih oleh kapitalisme,
sehingga didesain seperti perusahaan yang menarik
biaya sebanyak-banyaknya dari peserta didik.
e) Terjadinya kompetisi dan persaingan antara pengelola
institusi pendidikan sehingga tidak mungkin lagi
menempuh cara-cara konvensional (dari mulut ke
mulut atau melalui brosur saja) untuk memasarkan
lembaga mereka (Bakar, 2012).
Jika kita melihat kondisi pendidikan Indonesia
sekarang, pernyataan di atas berbanding terbalik dengan
konsep idealisme pendidikan karena di dalam pasar
pendidikan yang dibutuhkan adalah pendidikan
pragmatis. Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri bahwa
institusi pendidikan telah terseret dan didikte oleh
kepentingan pasar. Ideologi pasar berbeda dengan
idealisme karena pasar dibentuk oleh kapitalisme.
Idealisme lebih mementingkan nilai-nilai etis-humanistik,
sedangkan ideologi pasar lebih bertumpu pada nilai-nilai
pragmatis-materialistik dan menekankan kompetisi
dibanding koperasi. Sehingga, ketika ideologi pasar yang

38 | Kritik Ideologi Pendidikan


dominan dalam institusi pendidikan maka pendidikan
telah direduksi maknanya sebatas penguasaan teknik-
teknik dasar yang diperlukan dalam dunia kerja
(Nuryanto, 2017).
Institusi pendidikan yang berbasis pada ideologi
pendidikan pragmatis akan melahirkan orang-orang yang
kemampuan akademiknya adalah rasionalitas pasar,
karena dibentuk oleh dua karakter, yaitu konformitas dan
uniformitas. [1] Konformitas berarti peserta didik
diarahkan untuk bersikap adaptif dan pasif terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat
tanpa melibatkan mereka dalam proses penciptaan sejarah
atau menjadi pelaku sejarah. [2] Uniformitas berarti peserta
didik diarahkan untuk berpikir tunggal dan seragam
dalam melihat persoalan, tidak keluar dari kotak habitus
sendiri. Oleh karena itu, ideologi pendidikan pragmatisme
sangat berpengaruh terhadap hilangnya kesadaran
historis-kritis peserta didik dalam institusi pendidikan
karena ide tentang perkembangan diri mereka yang
bersifat moral dan etis telah digeser oleh perkembangan
diri yang bersifat teknis-material (Giroux dalam Nuryanto,
2017).
Institusi pendidikan yang dikontrol oleh nilai-nilai
pragmatis akan melahirkan orang-orang yang tumpul daya
kritisnya karena ideologi pendidikan pragmatis
menanamkan nilai-nilai rasionalitas instrumental yang
lebih menekankan pada konformitas dan adaptasi. Oleh
karena itu, apabila ideologi pragmatis yang menjadi basis
nilai dalam institusi pendidikan maka proses pembelajaran
peserta didik lebih banyak diarahkan pada ranah kognitif

Kritik Ideologi Pendidikan | 39


saja untuk dapat menguasai keterampilan-keterampilan
teknis yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Sehingga,
orientasi utama ideologi pendidikan pragmatis adalah
bagaimana peserta didik dapat diterima dan sukses di
tengah persaingan dunia kerja dan melanggengkan
kepentingan kapitalisme. Ideologi ini sama sekali telah
mengabaikan nilai-nilai sosial kemanusian karena yang
terbentuk dalam pikiran peserta didik adalah
individualisme dan materialisme. Selain itu, mereka
menganggap bahwa sukses akademik diukur seberapa
cepat seseorang mendapatkan pekerjaan setelah
menyelesaikan pendidikan dan mereka diterima disebuah
tempat kerja yang diminati banyak orang di masyarakat
misalnya jadi PNS dan BUMN (Tabrani, 2014).
Oleh karena itu, yang berkembang dalam institusi
pendidikan di Indonesia adalah keterampilan dan keahlian
dalam meniru, mengikuti, dan menghafal. Ini dapat
melahirkan paham-paham yang pragmatis yang kemudian
akan diwarisi oleh para guru kepada murid-muridnya.
Peserta didik di sekolah jarang dilatih untuk berpikir
karena guru-guru hanya mengajar mereka untuk ahli
dalam meniru dan menghapal teori-teori dan rumus-
rumus. Sehingga, kita sulit menemukan orang-orang yang
kreatif yang keluar dari sekolah-sekolah di Indonesia
karena pada umumnya mereka yang keluar dari sekolah-
sekolah di Indoensia cenderung menjadi pemuja lambang-
lambang dan simbol-simbol.
D. Kritik Ideologi Konservatif dan Liberal
Indonesia benar-benar di persimpangan dua ideologi
pendidikan besar, yaitu korservatif dan liberal. Kedua

40 | Kritik Ideologi Pendidikan


ideologi tersebut, misalnya konservatisme cenderung
menghasilkan watak dan etos yang lebih terfokus pada
pengaplikasian nilai-nilai komunitasnya, seperti nilai-nilai
agama dan tradisi kebudayaan, sedangkan liberalisme
cenderung mengembangkan peranan individu yang
mampu sejajar dengan perkembangan mutlak dari
keberadaan sistem besar dunia yang terus bergerak
fluktuatif (Wisarja & Sudarsana, 2017). Kedua ideologi
pendidikan ini tidak lepas dari grand design paham
kapitalisme global. Jika dulu ketika pemerintah kolonial
Belanda hanya memberikan kesempatan pada penduduk
pribumi (inlander) untuk sekolah sampai SR (Sekolah
Rakyat), sementara golongan ningrat (borjuis) saja yang
mempunyai kesempatan melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi (Bakar, 2012).
Sekarang yang kita perlukan adalah sebuah bentuk
kritis terhadap ideologi pendidikan yang fanatik terhadap
konservatisme dan liberalisme. Dalam sistem pendidikan
Indonesia, ideologi konservatif dan liberal tidak berhasil
karena keduanya saling berbenturan dan selalu menutup
rapat-rapat jalur masuknya ideologi kritis. Kedua ideologi
ini masih saja berputar pada aspek kondisional internal,
sehingga sampai hari ini belum ada hasil yang bisa
sepenuhnya membawa pendidikan Indonesia ke arah yang
lebih cerah. Konsolidasi yang pernah dilakukan di antara
keduanya pun tidak pernah memberi jalan keluar yang
menjanjikan perubahan kualitas pendidikan di Indonesia.
Daya jual pendidikan di dalam kedua ideologi ini tidak
menunjukkan ketertarikan pada masyarakat, bahkan masih
jauh dari realitas sosial (Wisarja & Sudarsana, 2017).

Kritik Ideologi Pendidikan | 41


Solusi baru untuk ideologi pendidikan konservatif
dan liberal adalah memasukkan nilai kritis ke dalam sistem
pendidikan Indonesia. Namun cara ini tidaklah mudah
dilakukan karena kedua ideologi ini masih tetap
dirapatkan fungsinya terutama ideologi pendidikan
konservatif. Sehingga, konservativisme maupun
liberalisme bisa dimaknai bahwa selama ini keberadaannya
belum menyentuh arah dan konsepsi lanjut mengenai
eksistensi pendidikan. Sedangkan salah satu ideologi ini,
yaitu ideologi pendidikan liberal merupakan proyek
spekulatif yang mendorong timbulnya ketegangan baru
yang mungkin diperparah oleh konflik dalam rumusan
pendidikan selanjutnya (Wisarja & Sudarsana, 2017).
Pentingnya ideologi pendidikan kritis di dalam
sistem pendidikan Indonesia karena bertujuan untuk
melatih berpikir kritis yang dapat dilakukan dengan cara
mempertanyakan apa yang dilihat dan didengar dalam
institusi pendidikan. Lebih jauh lagi, ideologi ini dapat
dilanjutkan kearah pertanyaan yang lebih filosofis, yaitu
bertanya mengapa dan bagaimana tentang hal tersebut.
Ideologi pendidikan kritis juga mengajarkan kepada kita
bahwa jangan langsung menerima mentah-mentah
informasi yang masuk darimana pun datangnya tanpa
mencernanya dengan baik dan cermat sebelum akhirnya
disimpulkan. Menerapkan ideologi pendidikan kritis juga
mengajarkan kita untuk berperilaku hati-hati dan tidak
tergesa-gesa dalam menyikapi permasalahan (Wiratma,
2010).
Dalam sudut pandang kritis, ideologi pendidikan
konservatif dan liberal memiliki perbedaan, yaitu:

42 | Kritik Ideologi Pendidikan


1) Ideologi pendidikan konservatif biasanya selalu
memakai motode pedagogi, dan implikasi kesadaran
yang diperoleh adalah kesadaran magik. Sedangkan,
ideologi pendidikan liberal biasanya selalu memakai
metode andragogi, dan implikasi kesadaran yang
diperoleh adalah kesadaran naif. Ideologi pendidikan
liberal juga biasanya menggunakan metode pendidikan
dialog, dan implikasinya kesadaran yang diperoleh
adalah kesadaran kritis (Bakar, 2012).
2) Perjalanan ideologi pendidikan konservatif tidak dapat
memberikan peluang sama sekali bagi individu untuk
menuju sebuah pencerahan pemikiran. Bahkan ideologi
ini jelas-jelas menciptakan sebuah keyakinan mistisme
yang berlebihan, dengan menyebarkan pola-pola yang
menjadikan individu sulit bertindak sebagai subjek
ketika menerima pengetahuan lewat pendidikan.
Ideologi ini seolah-olah merepresentasikan kesucian
dalam bentuk penyadaran yang penuh dengan
kebajikan dan membuat kehidupan manusia menjadi
lebih baik dalam menghadapi tantangan kehidupannya.
Sedangkan, ideologi pendidikan liberal secara umum
merepresentasikan kebebasan dalam segala bentuk
pemikiran akan tetapi tetap terpaku dalam koridor yang
telah ditata sebelumnya dan tidak berani meninggalkan
secara langsung tatanan kesadaran tersebut, bahkan
cenderung melestarikannya (Wisarja & Sudarsana,
2017).
Lebih jauh lagi, ideologi pendidikan liberal memiliki
beberapa kelemahan sebagaimana diungkap oleh Kneller
bahwa pandangan liberalisme cukup logis, tetapi

Kritik Ideologi Pendidikan | 43


mengandung kelemahan, yaitu (Kneller dalam Bakar,
2012):
1) Tidak jelasnya kriteria yang digunakan untuk
mengukur atau menentukan apa yang disebut kebaikan
dan kegunaan kebebasan individu. Apabila kebebasan
diserahkan begitu saja kepada peserta didik maka akan
melahirkan pandangan yang bermacam-macam yang
sifatnya individualistis.
2) Institusi pendidikan seharusnya menjadi pendoman
bernegara dan bermasyarakat karena di dalamnya
terdapat idealisme dan progresivisme. Namun institusi
pendidikan justru dianggap berbeda dengan
masyarakat pada umumnya karena institusi pendidikan
adalah masyarakat belajar. Jadi ruang lingkup gerak
institusi pendidikan sebagai masyarakat lebih sempit
dibandingkan dengan masyarakat pada umumnya.
Sehingga pendidikan liberalisme hanya ada dalam
institusi pendidikan dan tidak bisa berpengaruh
terhadap negara, justru sebaliknya dikendalikan oleh
negara.
Kritik terhadap ideologi pendidikan liberal makin
memuncak ketika kaum liberal memandang tujuan
ideologi punya cita-cita kemanusiaan, namun ternyata
tujuannya untuk memanusiakan manusia gagal. Wacana
demokrasi dalam tradisi liberalisme hanya slogan karena
kenyataannya tak diikuti dengan tindakan yang
memberikan kebebasan pada warga negara untuk bersuara
justru bermunculan institusi pendidikan yang semakin
elitis (Bakar, 2012).

44 | Kritik Ideologi Pendidikan


Fakta dalam masyarakat adalah ideologi pendidikan
liberal melahirkan kompetisi atau persaingan di institusi
pendidikan diantaranya sekolah, taman kanak-kanak
hingga perguruan tinggi. Mereka menggunakan sistem
perengkingan untuk mengaduh peserta didik siapa yang
paling pintar. Melalui ujian akhir semester dengan
menggunakan selembaran soal pertanyaan yang akan
dinilai secara kuantitatif untuk mencari tahu siapa yang
memperoleh nilai tertinggi. Kompetisi dalam institusi
pendidikan bisa juga memberi manfaat bagi peserta didik,
tetapi hanya dalam kondisi-kondisi tertentu saja. Karena
kompetisi dalam institusi pendidikan yang melibatkan
peserta didik yang sudah kuat dan mapan dalam ekonomi,
pendidikan, dan modal tidak adil jika dibandingkan
dengan mereka yang lemah, sehingga ini bukan kompetisi
yang sehat, tetapi bisa menjadi eksploitasi pada peserta
didik (Bakar, 2012).
Dampak dari kompetisi dalam institusi pendidikan
adalah pendidikan akan mengabaikan peserta didik yang
kalah atau mereka akan dilabeli bodoh. Mereka yang
bodoh, tidak mampu, dan miskin akan jadi pecundang,
tersingkir, dan menjadi orang-orang termaginalkan dalam
masyarakat. Ini adalah resiko dari kompetisi dalam
institusi pendidikan. Oleh karena itu, apabila institusi
pendidikan dijadikan arena kompetisi, maka sebenarnya
institusi pendidikan hanya didesain untuk kepentingan
para pemenang, yaitu mereka yang cerdas, pandai, dan
kuat modal ekonomi, budaya, dan sosial. Faktanya institusi
pendidikan di Indonesia tidak didesain untuk kepentingan
orang-orang miskin dan bodoh karena sebenarnya institusi

Kritik Ideologi Pendidikan | 45


pendidikan di Indonesia hanya didesain untuk arena
berkompetisi bagi orang-orang yang sudah memiliki modal
ekonomi (Bakar, 2012).
Pengaruh liberalisme pada sektor ekonomi adalah
melahirkan kapitalisme, selanjutnya kapitalisme juga akan
berpengaruh pada institusi pendidikan, sehingga
kapitalisme pendidikan akan melahirkan komersialisasi
pendidikan. Komersialisasi pendidikan dapat dibagi ke
dalam dua jenis, yaitu:
1) Komersialisasi pendidikan yang mengacu pada institusi
pendidikan yang menggunakan fasilitas dan gedung
yang mahal. Institusi pendidikan ini hanya dapat
dimasuki oleh sekelompok masyarakat yang memiliki
modal ekonomi, akan tetapi institusi ini tidak dapat
dikategorikan komersialisasi karena mereka memang
tidak meperdagangkan pendidikan. Biaya pendidikan
yang tinggi yang mereka peroleh adalah untuk
memfasilitasi jasa pendidikan serta menyediakan
infrastruktur pendidikan yang bermutu, seperti
menyediakan fasilitas teknologi informasi, laboratorium
dan perpustakaan, serta memberikan kepada para guru
atau dosen gaji menurut standar. Sisa anggaran yang
mereka peroleh ditanamkan kembali dalam bentuk
infrastruktur pendidikan. Komersialisasi pendidikan
jenis ini tidak akan mengancam idealisme pendidikan
nasional, akan tetapi perlu dicermati juga karena dapat
melahirkan diskriminasi dalam pendidikan nasional
(Bakar, 2012).
2) Komersialisasi pendidikan yang mengacu kepada
institusi pendidikan yang hanya mementingkan uang

46 | Kritik Ideologi Pendidikan


pendaftaran dan uang kuliah saja, tetapi mengabaikan
kewajiban-kewajiban pendidikan. Institusi pendidikan
yang seperti ini diorganisasikan seperti perusahaan
karena ekonomi kapitalis mempengaruhi hubungan-
hubungan antara elemen-elemen dalam institusi
pendidikan yang tidak jauh berbeda dengan perusahaan
yang diorganisasikan untuk menghasilkan produk
(Bakar, 2012).
Lebih jauh lagi, pengaruh liberalisme terhadap
pendidikan dapat diuraikan sebagai berikut (Bakar, 2012):
1) Pangaruh liberalisme terhadap peserta didik, yaitu
perilaku para guru jauh dari mendidik, mereka justru
lebih pada sikap pembiaran. Aturan-aturan yang
seharusnya menjadi instrumen penting pendidikan
tidak digunakan lagi. Peserta didik sebagai makhluk
yang sedang berada dalam proses perkembangan dan
pertumbuhan jauh dari fitrahnya masing-masing. Oleh
karena itu, mereka memerlukan bimbingan dan
pengarahan yang konsisten untuk menuju ke arah titik
optimal.
2) Pengaruh liberalisme terhadap pembelajaran, yaitu
kurangnya perhatian guru dalam pembentukan moral
peserta didik karena pembelajaran lebih pada orientasi
yang bersifat transfer of knowledge and skill dalam
mengembangkan proses intelektualisasi, sehingga
pembelajaran menjadi terbelah, yaitu di satu pihak
mengarah kepada konservatisme dan di lain pihak
mengarah kepada liberalisme.
3) Pengaruh liberalisme terhadap institusi pendidikan,
yaitu liberalisme telah merusak dinding-dinding

Kritik Ideologi Pendidikan | 47


institusi pendidikan, bahkan telah meracuni pemikiran
para guru maupun peserta didik. Kedisiplinan telah
hilang pada institusi pendidikan, sehingga institusi
pendidikan merasa sulit untuk menerapkan disiplin
secara baik, bahkan sanksi dalam pendidikan sudah
tidak mudah untuk dilakukan. Institusi pendidikan
sudah tidak dapat menerapkan pendidikan
kedisiplinan, maka ia telah kehilangan fungsi
pendidikannya yang sejati.
4) Pengaruh liberalisme kepada guru, yaitu fungsi guru
telah diganti menjadi fungsi tutor, ia tidak lagi dapat
menjalankan fungsi pedagogiknya. Guru tidak lagi
menjalankan perannya terhadap persoalan bagaimana
mengubah ilmu pengetahuan yang bersifat kognitif
menjadi makna dan nilai yang seharusnya
diinternalisasikan ke dalam diri peserta didik dengan
menggunakan strategi, model, metode, dan pendekatan
pembelajaran. Penanaman nilai-nilai dan makna
kehidupan yang terhayati bagi peserta didik untuk
bergerak, bertintak, dan berperilaku secara konkret
dalam kehidupan sehari-hari seolah tidak penting lagi.
Pendidikan liberalisme sekarang berjalan lebih
menitikberatkan pada pendekatan naturalistik-
positivistik. Ini adalah pendekatan keilmuan yang lebih
menitikberatkan pada aspek koherensi-kognitif tanpa
banyak menanamkan moralitas-praktis pada peserta
didik.
5) Pengaruh liberalisme kompetisi dan komersialisai
terhadap pendidikan, yaitu kompetisi dan komersialisai
telah mempengaruhi eksistensi institusi pendidikan baik

48 | Kritik Ideologi Pendidikan


pada tingkat SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi.
Beberapa sekolah telah bergeser dari tradisi nilai
luhurnya dengan mengelola institusi pendidikan seperti
perusahaan. Sementara itu, kompetisi antara institusi di
pendidikan dan kompetisi dalam lembaga pendidikan
telah terjadi tanpa memberikan pelayanan yang
memadai, serta berbagai brosur atau iklan dicetak lebar,
dan spanduk dipasang di berbagai sudut-sudut jalan
untuk dapat menarik perhatian konsumen, sehingga
fungsi institusi pendidikan telah bergeser dari fungsi
pedagogik menjadi sebuah perdagangan (Bakar, 2012).
Berdasarkan pada uraian di atas, ukuran keberhasilan
dalam institusi pendidikan seharusnya lebih luas dan tidak
hanya sekedar indikator kesuksesan kerja saja, tetapi
peserta didik harus dilatih menjadi warga negara yang
kritis, aktif, dan bertanggung jawab terhadap institusi
pendidikan. Peserta didik yang kritis dapat diwujudkan
apabila institusi pendidikan didasarkan pada nilai-nilai
etis-humanistik dan pengetahuan yang diajarkan lebih
pada pengetahuan emansipatoris daripada teknis dan
praktis (Tabrani, 2014). Berdasarkan pandangan Habermas,
kita perlu mempertimbangkan tiga kategori dalam
mengonstruksi pengetahuan emansipatoris institusi
pendidikan, yaitu (Hebermas dalam Tabrani, 2014):
1) Pengetahuan teknis adalah kontrol kepastian,
objektivitas, dan bebas nilai.
2) Pengetahuan praktis adalah menggunakan metode
hermeneutik untuk menafsirkan watak dasar realitas.
Metode hermeneutik membantu peserta didik untuk
menganalisa kategori-kategori dan asumsi-asumsi yang

Kritik Ideologi Pendidikan | 49


membentuk realitas serta membantu memahami
bagaimana pengaruh pendidikan dalam masyarakat.
Kelemahan metode hermenutik adalah ia gagal dalam
mengembangkan suatu bentuk analisis yang
memungkinkan peserta didik untuk mengidentifikasi
hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan,
khususnya bagaimana kekuasaan dan ideologi yang
dominan memproduksi seperangkat makna,
pemahaman-pemahaman, dan praktek-praktek yang
mendukung dan melanggengkan dominasi dalam
lembaga pendidikan.
3) Pengetahuan emansipatoris adalah sebuah bentuk
pengetahuan yang mengorientasikan peserta didik
untuk memahami realitas sosial berdasarkan pada relasi
dialektis kekuasaan. Proses pembelajaran ini bertujuan
untuk mengkritisi pengetahuan dan mendemistifikasi
kepentingan-kepentingan ideologis di balik konstruksi
pengetahuan (Tabrani, 2014).
Kita dapat memilih pengetahuan di atas untuk
menumbuhkan pikiran kritis pada peserta didik agar
dalam proses pembelajaran yang kita lakukan terhindar
dari konsep-konsep relatif dan spekulatif yang justru
memudarkan proses pencarian eksistensi pendidikan.
Pengetahuan di atas penting karena perbendaharaan
kosakata ideologi pendidikannya dapat memainkan
kontinuitas secara historis sehingga membentuk karakter
pendidikan yang aktif dan dinamis. Lebih jauh lagi,
pengetahuan di atas dapat memperkaya pemahaman guru
dan peserta didik terhadap kemajuan yang telah ada dalam
institusi pendidikan dari rangkaian struktur pendidikan.

50 | Kritik Ideologi Pendidikan


Oleh karena itu, unsur penting yang layak untuk ditunggu
dalam institusi pendidikan Indonesia adalah akan adanya
pluralisme yang lebih bernuansa objektif dan logis yang
terinspirasi dari ideologi pendidikan kritis.
E. Matinya Ideologi Pendidikan
Ideologi pendidikan sekarang ini mengalami
perkembangan yang sangat besar dan jauh lebih baik
daripada ideologi sebelum perkembangan ilmu
pengetahuan karena teori-teorinya bisa dibuktikan,
kesalahan-kesalahan bisa diperiksa, dan hasil-hasilnya bisa
dipraktekkan. Misalnya, ideologi pendidikan sekarang
dapat mengirim manusia ke bulan, menyuntik manusia
untuk melawan penyakit, memindahkan gambar-gambar
melewati ruang yang sangat luas supaya gambar itu bisa
terlihat di ruang-ruang tamu kita. Oleh karena itu, bagi
Postman manusia tanpa ideologi dapat menyebabkan
bunuh diri dan menenggelamkan diri mereka ke dalam
narkotika dan alkohol, dan terkadang orang-orang
melakukan kesenangan apapun, bahkan mereka
menemukannya dalam kekerasan (Postman, 2002). Di sisi
lain, terdapat ideologi-ideologi yang gagal, yaitu ideologi
ekonomi, konsumerisme, dan teknologi. Ideologi-ideologi
tersebut tidak sempurna karena tidak dapat menceritakan
asal usul kehidupan manusia, kemana manusia akan
menuju, dan kapan manusia akan berakhir. Hal ini
disebabkan karena ideologi-ideologi ini hanya terjadi
secara kebetulan dan tidak mampu menjawab pertanyaan
tentang bagaimana dunia ini akan berakhir. Karena bagi
banyak orang, hidup yang terjadi secara kebetulan itu
bukanlah suatu hidup yang berarti (Postman, 2002).

Kritik Ideologi Pendidikan | 51


1) Ideologi ekonomi berpandangan bahwa jika anak pintar
di sekolah, nilai baik pada hasil evaluasi, dan
berperilaku baik, maka anak akan dihargai dengan
pekerjaan dan gaji ketika selesai sekolah. Ideologi ini
tidak mampu menciptakan alasan-alasan yang
memuaskan bagi pendidikan di sekolah karena
pendidikan dan produktivitas saling bergandengan
tangan, janjinya untuk memberikan pekerjaan yang
menarik seperti ideologi-ideologi lainnya, maka dia
menjadi sesuatu yang berlebihan. Tidak ada suatu bukti
yang kuat untuk mempercayai bahwa gaji yang tinggi,
perkerjaan yang menarik akan bisa tersedia bagi para
murid setelah mereka lulus. Pada kenyataannya, hampir
semua sekolah akan mengajarkan hal-hal yang sesuai
untuk meyiapkan kaum muda untuk bisa meraih
pekerjaan yang sesungguhnya. Tentu saja pekerjaan
yang bergaji baik, sangat kompetitif akan bisa tersedia,
seperti biasanya bagi mereka dengan tingkat
kemampuan penggunaan bahasa yang tinggi. Akan
tetapi, satu-satunya alasan mengapa kemampuan
bahasa itu sangat penting adalah untuk menjamin agar
bisa masuk ke dalam pekerjaan yang terhormat
(Postman, 2002).
2) Ideologi konsumerisme bukan hanya sekedar sebuah
pengalaman dalam pemerintahan atau kehidupan
sosial, dan bahkan bukan sekedar teori ekonomi, tetapi
sebuah narasi yang komprehensif mengenai
penggambaran dunia, bagaimana segala sesuatu mulai
menjadi jalan bagi keberadaan mereka, dan apa yang
terletak di atas dunia. Kosumerisme beranggapan

52 | Kritik Ideologi Pendidikan


bahwa kebaikan itu melekat pada orang-orang yang
membeli segala sesuatu, sedangkan kejahatan itu berada
pada orang-orang yang tidak bisa membelinya.
Penyembahan pada ideologi konsumerisme berfungsi
sebagai dasar metafisik dari pendidikan di sekolah
karena konsumerisme telah ditekankan kepada para
kaum muda di awal kehidupan mereka, jauh sebelum
mereka masuk ke sekolah, lingkungan masyarakat telah
memberikan pelajaran-pelajaran melalui periklanan.
Misalnya: televisi mulai dilihat pada usia 8 bulan,
kemudian mulai dilihat secara serius pada usia 3 tahun,
sehingga iklan televisi adalah satu-satunya sumber nilai
yang paling substansial tanpa ada perlindungan bagi
anak-anak (Postman, 2002).
3) Ideologi teknologi membuat orang menjadi percaya
bahwa semua anak akan memiliki akses yang sama
terhadap informasi dan teknologi yang akan
menyamakan kesempatan belajar bagi orang kaya dan
orang miskin. Pendidikan dimaksudkan untuk
membebaskan anak-anak dari perbudakan teknologi,
akan tetapi, dalam masyarakat sekarang ini pendidikan
telah mempersekutukan dirinya dengan ideologi-
ideologi teknologi. Ideologi teknologi mengklaim
dirinya terbebas dari kesalahan-kesalahan yang mereka
iklankan di TV, misalnya detergen, obat-obatan, serbet
kesehatan, mobil, bahan makanan, sistem bank dan
transportasi. Orang-orang mempercayai karya-karya
teknologi dan bersandar pada teknologi bahwa
teknologi itu memberikan janji-janji. Mereka merasa
kehilangan jika ketika tidak bisa mengakses teknologi,

Kritik Ideologi Pendidikan | 53


dan mereka sangat bersenang hati ketika teknologi itu
hadir di hadapan mereka. Kebanyakan orang-orang
menganggap bahwa teknologi bekerja dalam cara-cara
yang misterius. Oleh karena itu, setiap adanya
pergantian metode mereka akan segera mengganti gaya
hidup mereka, jadwal-jadwal mereka, kebiasaan-
kebiasaan mereka dan hubungan-hubungan mereka
untuk bisa menerima teknologi (Postman, 2002).
Setelah lingkungan yang makin mapan, ideologi-
ideologi tersebut di atas dangan keras menyingkirkan
ruang gerak anak-anak serta kaum muda umumnya yang
kebanyakan juga murid-murid sekolah, kini alienasi itu
berlangsung pula di sekolah. Mata pelajaran disesakkan ke
otak-otak para murid, kesadaran untuk maju dipacu lewat
pengembangan pola-pola penciptaan keresahan, ancaman
dan hukuman oleh guru. Akibatnya berangkat ke sekolah
dianggap beban yang amat berat bagi peserta didik.
Sekolah kehilangan ruh kanalisasi diri, etos kesepahaman,
ekspresi dan aktualisasi pemikiran. Sekolah kini
kehilangan maknanya sebagai wahana pendewasaan, bagi
seluruh penghuni di dalamnya dan otoritas-otoritas yang
bersinggungan dengan keberadaannya. Apa bedanya
sekolah dan penjara jika ruang-ruang kelas bagi peserta
didik lebih mirip kerangkeng-kerangkeng. Pintu yang
tertutup ketika pelajaran berlangsung sehingga peserta
didik kehilangan cakrawala optic alternative, bangku-
bangku memaku tubuh murid-murid supaya tidak sedikit
pun bergerak, dan tentu saja guru berperan mirip seperti
sipir penjara, membentak jika ada kesalahan, bahkan

54 | Kritik Ideologi Pendidikan


memukul ketika ada yang dirasanya pantas dipukul
(Postman, 2002).
Ideologi-ideologi yang diyakini di sekolah hanya
dijadikan sebagai model bagi orang-orang modern untuk
keluar dari daerah-daerah penuh sesak yang dipenuhi
dengan sampah yang menyedihkan. Sekolah melengkapi
kekalahan dan kesendirian dengan kecintaan kepada
sejarah dan masa depan, kepada simbol-simbol yang
disucikan dan pada janji-janjinya tentang kebebasan
(Postman, 2002). Faktanya sekolah tidak selalu membantu.
Sebagai contoh, di sekolah-sekolah, kita menjumpai bahwa
tes-tes yang diberikan untuk menentukan betapa tingkat
kecerdasan seseorang, atau lebih utama lagi adalah untuk
mengukur berapa banyak kecerdasan yang dimiliki
seseorang. Apabila pada tes IQ, seorang anak memiliki
skor 138 dan anak lainnya adalah 106, maka anak yang
pertama memiliki tingkat kecerdasan yang lebih daripada
anak yang kedua.
Bagi Postman konsep di atas adalah sebuah konsep
yang aneh karena seseorang yang dianggap memiliki
kecerdasan tidak seharusnya dikategorikan. Kecerdasan
seseorang tergantung pada lingkungan di mana mereka
berada, berapa banyak mereka mengetahui situasi yang
ada di sekitarnya, dan seberapa jauh mereka memiliki rasa
tertarik. Oleh karena itu, kecerdasan adalah prestasi
khusus, yang dilakukan dalam rangkaian keadaan-keadaan
tertentu. Kecerdasan bukanlah sesuatu yang dimiliki dalam
kuantitas-kuantitas yang terukur karena hal itu akan
mengarah kepada istilah yang bukan seperti di atas rata-
rata dan di bawah rata-rata. Dapat disimpulkan bahwa,

Kritik Ideologi Pendidikan | 55


istilah di atas rata-rata adalah seseorang yang tidak
memiliki banyak kecerdasan tetapi banyak melakukan hal-
hal yang cerdas. Sedangkan orang yang disebut dengan di
bawah rata-rata adalah seseorang yang banyak memiliki
kecerdasan tetapi banyak melakukan hal-hal yang bodoh
(Postman, 2002).
Di lingkungan sekolah misalnya apa yang dilakuakan
oleh para murid di ruang kelas. Mereka tidak hanya duduk
dan mendengarkan guru. Mereka diharuskan untuk
meyakini menurut cara yang telah ditetapkan oleh pihak-
pihak yang mempunyai otoritas, atau setidaknya berpura-
pura serta berperilaku meyakini ajaran tersebut ketika
mereka menempuh ujian-ujian. Kebanyakan dari mereka
diharuskan untuk mengingat. Mereka hampir tidak pernah
diminta untuk melakukan pengamatan-pengamatan,
merumuskan definisi-definisi, atau melakukan beberapa
perbedaan intelektual yang lebih daripada sekedar
melakukan pengulangan-pengulangan dari apa yang telah
dikatakan oleh orang-orang lain sebagai sesuatu yang
benar. Mereka jarang sekali didorong maupun
dibangkitkan semangatnya untuk mempertanyakan
persoalan-persoalan yang penting dan mendasar (Postman
& Weingartner, 2001).
Bagi kebanyakan orang, persoalan dalam soal-soal
evaluasi tampaknya tidak ada kesalahan yang terkandung
di dalamnya. Bahkan, barangkali semua itu dianggap
sebagai cerminan dari suatu gagasan yang progresif.
Bagaimanapun, para murid diminta untuk mengerjakan
dalam kelompok-kelompok kecil dan mengerjakan soal-
soal itu. Begitu juga halnya bagi para pembuat buku-buku

56 | Kritik Ideologi Pendidikan


pelajaran yang distandarisasi. Barangkali demikian juga
halnya dengan kebanyakan peserta didik yang dijadikan
objek untuk mengerjakan soal-soal evaluasi, mereka juga
menyetujuinya. Akan tetapi bagi Postman kita bisa
memastikan bahwa persetujuan mereka kebanyakan
didasarkan dan terletak pada penyakit kejiwaan yang
disebabkan oleh gangguan pikiran (Postman, 2002). Oleh
karena itu, mereka merasa bahwa semua itu adalah penting
dan dibutuhkan bagi keberlangsungan kegiatan akademis
mereka, dan penting bagi keadaan-keadaan yang
berkembang saat ini. Ilustrasi tersbut dapat diungkapkan
sebagai berikut;
Torres mengetahui betapa mudahnya anda
melupakan apa yang telah anda pelajari, dan
Figueros menaruh kemarahan pada murid-murid
yang tertangkap sedang menyontek, dan
Maldono membayangkan bahwa akhirnya Dia
akan mengetahui kira-kira apakah ujian yang
akan datang, dan seorang murid kelas tiga
menjadi sangat cemas dan khawatir karena tanpa
jawaban-jawaban, riwayatnya akan tamat. Jenis
permainan hebat apakah yang telah dimainkan di
sini, dan siapakah yang menjadi pihak
pendosanya dan kepada siapakah dia berdosa?
(Postman & Weingartner, 2001, pp. 94–95).
Tujuan evaluasi ini adalah untuk membuat peserta
didik lebih sempurna, dan mempersiapkan mereka agar
menjadi petugas-petugas yang patuh dalam birokrasi dan
mencegah mereka agar tidak menjadi berani dan tidak
menjadi murid yang independen. Oleh karena itu, standar-
standar yang dipakai oleh kebanyakan sekolah adalah
bukanlah standar yang tinggi maupun standar yang

Kritik Ideologi Pendidikan | 57


rendah tetapi proses ini biasanya mengambil bentuk
berupa pengucapan kembali (membeo) terhadap apa yang
telah dikatakan oleh para guru atau yang dikatakan oleh
buku-buku untuk kemudian ditulis kembali dalam bentuk
teks-teks jawaban (Postman & Weingartner, 2001). Menurut
Postman teori bisa saja benar di masa lalu namun tidak
relevan di masa sekarang (Postman, 2002). Bahkan kita
harus bersikap kritis ketika ingin memasukkan dan
menyusun kehidupan orang-orang terdahulu dalam
pendidikan sekarang, dan kita harus berani mengatakan
bahwa mereka adalah pembuat kesalahan yang besar.
Namun aspek historis ini sangat baik bagi kemunculan
teori-teori baru.
Ideologi pendidikan di atas disebut ideologi
konvensionalisme yang lebih banyak mengejarkan
ketidakberdayaan karena peserta didik harus tunduk pada
tradisi yang diajarkan oleh guru di sekolah. Guru
diposisikan sebagai sosok yang selalu dianggap benar,
apabila bertentangan dengannya berarti salah. Hasilnya,
kualitas peserta didik hanya mampu sejajar dengan
gurunya. Para guru cenderung berpikir tentang diri
mereka sebagai para penyampai kebenaran. Mereka adalah
orang-orang yang berharap mampu meningkatkan
kecerdasan para muridnya dengan mengungkapkan apa
yang mereka anggap benar, atau menjadikan kebenaran-
kebenaran itu tak bisa dibantah dan mengekalkan gagasan-
gagasan. Para guru sebagai pendeteksi-pendeteksi
kesalahan yaitu berperan sebagai orang yang dapat
meningkatkan kecerdasan para muridnya dengan
membantu mereka untuk mengurangi kesalahan-kesalahan

58 | Kritik Ideologi Pendidikan


dalam pengetahuan dan keterampilan-keterampilan
mereka. Dengan cara ini, dapat dilihat bahwa, para guru
kurang tertarik dalam membuat peserta didik supaya
cerdas, tetapi mereka lebih tertarik untuk menjadikan
peserta didik tidak terlalu bodoh (Postman, 2002).
Lebih jauh lagi, Postman memandang proyek-proyek
edukasi sudah terlalu jauh melampaui praktek-praktek
pendidikan di institusi pendidikan. Struktur pendidikan di
sekolah cenderung konservatif karena sekolah lebih
berperan sebagai tembok pembatas daripada ruang yang
lapang untuk pergerakan pikiran. Proses pembelajaran di
sekolah bagi murid tampak sebagai penjara yang
membatasi kebebasan mereka. Peserta didik harus duduk
terpaku di bangku kelas yang terstruktur seolah proses
pendidikan ini tidak mengenal belas kasih. Ini
menandakan bahwa sekolah sebagai media komunikasi
dan sumber informasi sedang mengalami kebangkrutan
moralitas. Akibatnya, sekolah konvensional tidak dapat
bertahan secara ekonomi karena tidak dapat mengikuti
persaingan dan perkembangan teknologi (Palmer, 2003).
Hal ini dapat dibuktikan dengan kebijakan pendidikan
yang ada di Indonesia, yaitu kebijakan sistem
komputerisasi telah sempai pada kampung-kampung
terpencil, namun computer sebagai alat yang akan
digunakan tersebut tidak sampai ke sekolah-sekolah,
sehingga para guru memaksa orangtua murid untuk
datang ke kota membeli komputer. Kebijakan pendidikan
yang tidak berdasarkan pada kebudayaan dan kondisi
sosial masyarakat hanya akan menghabiskan uang negara
setiap tahunnya.

Kritik Ideologi Pendidikan | 59


Konvensionalisme pendidikan membentuk para guru
menjadi teks-books, yaitu guru hanya sekedar
menyampaiakan sesuatu dengan berpedoman pada apa
yang ada di dalam buku tanpa ada ide kritis dan kretivitas
apapun. Sehingga, buku-buku teks tampak sebagai musuh-
musuh pendidikan, yaitu alat untuk menyumbar
dokmatisme dan meremehkan proses belajar. Buku-buku
itu mungkin meyelamatkan para guru dari kesulitan-
kesulitan, tetapi justru menimbulkan kesulitan-kesulitan
pada peserta didik berupa kemandegan dan kejahatan pola
pikir (Postman, 2002). Oleh karena itu, jawaban yang
terbaik adalah menyeleksi buku teks tersebut dan
menggantinya dengan dokumen-dokumen lain dan bahan-
bahan lain yang dipilih secara seksama oleh guru. Akan
tetapi penghilangan ini terlalu traumatik, maka kita tidak
harus meninggalkannya, hanya saja kita tidak
menggunakannya dengan tujuan seperti biasanya. Kita
akan memulainya dengan sebuah premis bahwa buku teks
adalah bagian dari usaha seseorang untuk menjelaskan
sesuatu kepada kita, dan dengan demikian menceritakan
kebenaran kepada kita tentang beberapa persoalan.
Sehingga, kita akan mengetahui bahwa penulis pasti
memasukkan beberapa fakta yang masih bisa
diperdebatkan, opini-opini yang lemah dan kesimpulan-
kesimpulan yang keliru (Postman, 2002).
Bagi Postman, tidak ada alasan kuat bagi para guru
untuk menjadikan buku-buku teks sebagai satu-satunya
kebenaran pendoman di lingkungan pendidikan karena
buku-buku tersebut tidak lepas dari hal-hal sebagai berikut
(Postman, 2002):

60 | Kritik Ideologi Pendidikan


1) Setiap orang melakukan kesalahan, termasuk orang-
orang yang menulis tentang kesalahan. Tidak ada
seorangpun yang terbebas dari kesalahan, dan akan
sangat membahayakan apabila kita berpikir bahwa kita
tidak melakukan kesalahan. Adanya pemahaman
bahwa setiap orang memiliki kemungkinan berbuat
salah dalam jumlah yang tak terbatas, termasuk kita
sendiri, akan memberikan rasa rendah hati pada para
guru dan jaminan bahwa mereka tidak akan pernah
menjadi pusing.
2) Semua kesalahan bisa dikurangi. Para guru sekarang
menghabiskan waktunya yang berharga dalam
perdebatan yang tak bermakna mengenai apakah
kecerdasan itu bisa dipastikan, apakah kecerdasan bisa
dipengaruhi faktor genetik atau lingkungan, apakah
jenis-jenis kecerdasan itu, dan berapa banyak perbedaan
kecerdasan antara satu ras dengan ras lainnya. Debat-
debat mengenai kesalahan semacam ini benar-benar
tidak perlu. Kesalahan adalah sebuah bentuk perilaku.
Kesalahan bukanlah sesuatu yang kita miliki, melainkan
sesuatu yang kita lakukan. Tidak seperti kecerdasan,
kesalahan bukanlah sebuah metafora atau bangunan
hipotesis yang kehadirannya dipengaruhi oleh skor
pada ujian. Kita bisa melihat kesalahan, membacanya,
mendengarnya, dan mengurangi keberadaanya adalah
sesuatu yang mungkin.
3) Kebanyakan kesalahan dilakukan dengan tenggorokan,
lidah, bibir, dan gigi, atau bisa dikatakan kesalahan itu
terutama menyatu dengan bicara. Cukup benar kiranya
apabila dikatakan bahwa cara-cara kita berbicara

Kritik Ideologi Pendidikan | 61


dikontrol oleh cara-cara kita mengolah pikiran, dan
tidak ada seorangpun yang benar-benar yakin apakah
sebenarnya pemikiran itu. Akan tetapi kita yakin bahwa
ekspresi utama dari pemikiran adalah kata-kata. Ketika
kita berpikir, kebanyakan kita mengatur kalimat-kalimat
dalam kepala kita. Ketika kita melakukan kesalahan,
kita melakukan kekeliruan-kekeliruan kalimat. Bahkan
ketika kita melakukan kesalahan secara tidak verbal,
kita mendahulukan perbuatan dengan berbicara kepada
diri sendiri secara bersungguh-sungguh supaya kita
memikirkan bahwa perbuatan itu benar. Singkat kata,
kata-kata menimbulkan perbuatan. Kenyataan ini
memberikan pada guru satu pokok persoalan yang
khusus, di mana mereka akan menjadi ahli dalam
persoalan ini. Keahlian mereka akan terletak pada
pengetahuan tentang cara-cara berbicara yang
mengarah pada kejahatan yang tidak diperlukan,
kegagalan, kesalahpahaman dan kesakitan.
Hal tersebut di atas menjadi alasan bahwa kita
mungkin menciptakan sistem yang baik bagi penciptaan
ideologi yang baru. Oleh karena itu, pendidikan
seharusnya membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran
baru dan tidak hanya bertanggungjawab terhadap
kelestarian teori-teori tanpa pernah memikirkan bagaimana
caranya menciptakan rumusan-rumusan baru. Postman
mengatakan bahwa peserta didik hanya dididik menjadi
pendengar yang baik yang hanya sekedar mengikuti
kurikulum, sehingga lembaga pendidikan lebih berperan
sebagai pembatas daripada ruang untuk kemajuan pikiran.
Apabila tujuan anda adalah menciptakan pendidikan-

62 | Kritik Ideologi Pendidikan


pendidikan baru, maka seseorang memerlukan standar-
standar yang disasarkan pada aktivitas-aktivitas kecakapan
dan kemampuan yang nyata serta pada peserta didik yang
yakin, ketika mereka secara sungguh-sungguh terlibat
dalam proses belajar. Seseorang harus berada di tengah-
tengah dan menyelami serta mempedulikan hal-hal yang
berkaitan dengan suasana hati dan pemikiran para peserta
didik (Postman, 2002).
Postman menegaskan bahwa ilmu pengetahuan mesti
diajarkan secara utuh, yaitu mulai dari latar belakang,
proses penemuan, nilai-nilai kontekstual, sampai
perkembangan terkini. Dengan begitu, peserta didik
memahami tujuannya serta dapat mengkritiknya. Oleh
karena itu, pendidikan yang ideal adalah nilai-nilai ilmu
pengetahuan mesti disikapi dengan pola pikir kritis,
sehingga dapat mendorong penciptaan ilmu pengetahuan
baru. Sebagai contoh, business school lebih maju daripada
sekolah umum karena di sekolah ini yang memiliki tujuan
adalah pemerintah yang mempekerjakan guru-guru PNS
untuk dapat melanggengkan kekuasaannya, sedangkan
business school tidak ada kepentingan politik di dalamnya
tetapi yang ada adalah kepentingan bersama antara
orangtua murid dan pemilik Yayasan untuk memanfaatkan
guru-guru swasta mengabulkan tujuan murid-murid. Oleh
karena itu, yang terjadi adalah sekolah umum tidak
memberikan layanan bagi publik, justru sekolah
menciptkan masyarakat publik.
F. Masa Depan Ideologi Pendidikan
Manusia memiliki kemampuan untuk membawa
pengalaman mereka melintasi waktu menuju masa depan

Kritik Ideologi Pendidikan | 63


yang lebih baik. Sebagai pengendali waktu, manusia bisa
mengakumulasi ilmu pengetahuan dari masa lalu dan
mengkomunikasikan apa yang mereka ketahui tentang
masa depan. Postman percaya bahwa perdebatan masa
depan sekolah-sekolah berfokus pada masalah kurikulum,
metode pengajaran, pengujian standar, dan peran
teknologi. Sementara itu, sangat sedikit perhatian yang
difokuskan kepada metafisika sekolah. Padahal manusia
memberikan stabilitas pada masa depan dunia pendidikan
hanya melalui kemampuan metafisik untuk menciptakan
kembali dunia pendidikan yang baru dengan mangabaikan
masalalu pendidikan yang tidak relevan dan
menghadirkan kembali masa lalu yang memiliki
kemiripan-kemiripan ideologi (Postman, 2002).
Apabila orang-orang dapat menghadirkan kembali
ideologi dalam pendidikan, maka tidak akan ada
permasalahan di sekolah dan tentu saja tidak akan ada
krisis sekolah. Akan tetapi masalah di sekolah selalui
dipengaruhi oleh dua aspek, yaitu (Postman, 2002):
1) Aspek rekayasa; misalnya kurikulum yang menjadi
sarana bagi para peserta didik untuk memperoleh
pendidikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat
beberapa perselisihan mengenai kurikulum dan mata
pelajaran yang bisa meningkatkan kesalehan seseorang,
kepatuhan dan keimanan, dan juga terdapat peserta
didik yang bertipe skeptis, bahkan ada beberapa guru-
guru yang di antaranya tidak beriman. Bahkan orang
yang skeptis dan tidak beriman mengetahui mengapa
mereka ada, apa yang diharuskan kepada mereka untuk

64 | Kritik Ideologi Pendidikan


dipelajari, dan mengapa mereka melawan keharusan
itu.
2) Aspek metafisik; misalnya ideologi yang menjadi tujuan
atau misi yang mendasari akhir pendidikan. Eksistensi
dari sekolah semacam itu adalah adanya gagasan
transenden dan spiritual yang memberikan tujuan dan
kejelasan untuk belajar.
Kedua aspek tersebut dilakukan supaya sekolah bisa
mencapai kemanfaatan bagi kaum muda, para orangtua
murid, dan para guru di sekolah untuk memiliki satu
ideologi atau bahkan lebih baik apabila memiliki beberapa
ideologi. Apabila manusia tidak memiliki satu ideologi
pun, maka sekolah itu tidak akan berarti untuk kehidupan
manusia. Tanpa sebuah ideologi, hidup tidak akan
bermakna. Tanpa makna, belajar itu tidak akan memiliki
tujuan. Tanpa sebuh tujuan, sekolah-sekolah adalah
rumah-rumah tahanan, bukan sebuah rumah yang
memberikan perhatian (Postman, 2002). Alasan-alasan
diperlukannya ideologi di lingkungan pendidikan karena
(Postman, 2002):
1) Diperlukan tujuan yang jelas dalam lembaga
pendidikan. Tujuan yang jelas disini berupa penanaman
nilai-nilai kemanusiaan, moral dan budaya yang baik.
Pembelajaran tidak hanya didasarkan kepada ilmu
pengetahuan yang pasti dan jelas karena akan
mengakibatkan kegugupan para pelajar dan
menyebabkan mereka menyontek ketika ujian.
2) Diperlukan metode pembelajaran yang bisa menjadi alat
untuk mendeteksi kesalahan-kesalahan. Misalnya,
semua pelajaran diajarkan dari perspektif historis.

Kritik Ideologi Pendidikan | 65


Dengan perspektif ini, guru dapat membantu peserta
didik untuk melihat bahwa ilmu pengetahuan adalah
panggung bagi perkembangan kemanusiaan, baik di
masa lalu maupun di masa depan.
3) Diperlukan rasa percaya diri, misalnya guru dapat
memperlihatkan kepada peserta didik bahwa kesalahan
bukanlah sesuatu yang memalukan, melalui kesalahan
akan menjadikannya alat untuk meningkatkan
pemahaman.
4) Diperlukan argumen-argumen yang berkaitan dengan
peserta didik, misalnya argumen-argumen kebebasan
berekspresi, kultur pembauran, makna pendidikan bagi
seluruh masyarakat, dan melibatkan teknologi.
Argumen dan eksperimen ikut terlibat di dalamnya
untuk membentuk pendidikan yang sesuai dengan
zamannya.
Alasan-alasan tersebut di atas menjadi titik tolak di
haruskannya sebuah perubahan dalam lembaga
pendidikan karena apabila sekolah tidak melakukan
perubahan, maka sekolah tidak akan menghasilkan orang-
orang bijak yang cerdas dalam masyarakat. Namun dalam
masyarakat kita masih menjumpai orang-orang
berpengaruh dan pemimpin suatu lembaga penting yang
tidak menyukai perubahan, tidak toleran dan memiliki
banyak uang serta kepentingan-kepentingan politik,
sehingga mereka harus mempertahankannya dengan cara
menghabiskan banyak uang untuk mendapatkan
dukungan. Mereka melakukan demikian karena merasa
terancam dengan adanya masyarakat yang selalu
memperbaharui sistem. Di sisi lain, terdapat juga orang-

66 | Kritik Ideologi Pendidikan


orang yang tidak punya kedudukan di dalam masyarakat,
tetapi juga merasa terancam karena mereka
mengidentifikasi diri dengan beberapa gagasan dan
lembaga yang ingin mereka pertahankan supaya terbebas
dari kritisisme dan perubahan. Oleh karena itu, kedua
golongan tersebut sangat senang jika sekolah kurang
melakukan atau bahkan tidak melakukan apa-apa dalam
membangkitkan keberanian kaum muda untuk melakukan
revolusi (Postman & Weingartner, 2001).
Contoh tindakan-tindakan yang sering dilakukan
oleh guru-guru yang anti revolusi pendidikan adalah
mereka mengajar sebagai kegiatan memelihara dan
menundukkan peserta didik untuk menerima dunia
sebagai mana adanya, dengan segenap aturan-aturan
kulturalnya, kewajiban-kewajiban, segenap untaian
kebudayaan bahkan semua prasangka-prasangka kultural
yang ada. Sebaliknya di dalam revolusi pendidikan guru
melakukan kegiatan pembelajaran sebagai sebuah aktivitas
subversif, yaitu peserta didik harus diajari untuk menjadi
pemikir-pemikir yang kritis, supaya mereka menjadi
perempuan dan laki-laki yang berpikir dan berjiwa
merdeka, berbeda dengan kebijaksanaan konvensional di
zaman mereka dan dengan kekuatan dan keahlian yang
cukup untuk melakukan perubahan terhadap hal-hal yang
keliru (Postman, 2002). Oleh karena itu, guru sehurusnya
melakukan tiga hal:
1) Membantu para pelajar untuk melihat bahwa ilmu
pengetahuan adalah panggung bagi perkembangan
kemanusiaan, baik di masa lalu maupun di masa depan.

Kritik Ideologi Pendidikan | 67


2) Mengenalkan para pelajar dengan orang-orang dan
gagasan-gagasannya, dan bagaimana memahami
sesuatu melalui gagasan itu.
3) Memperlihatkan kepada para pelajar bahwa kesalahan
bukanlah sesuatu yang memalukan.
Pentingnya sebuah peran subversif bagi guru dalam
proses pembelajaran, atau lebih tepat dikatakan sebagai
revolusi pendidikan. Revolusi birokrasi pendidikan
menjadi sasaran utama dalam kemajuan suatu lembaga
pendidik karena birokrasi ibarat stop kontak listrik yang
tidak perlu dihilangkan, tetapi mereka perlu dikontrol
apakah hak-hak istimewah masyarakat tetap ada dan bisa
digunakan. Oleh karena itu, Postman mengharapkan
supaya sekolah itu menjadi subversif, dan dengan kata lain
sekolah-sekolah itu bertindak sebagai satu jenis birokrasi
yang anti birokrasi. Itu berarti bahwa lembaga pendidikan
harus terbebas dari intervensi birokrasi pemerintah agar
bisa menjadi lembaga yang independen. Oleh karena itu,
lembaga pendidikan dapat memberikan perspektif kepada
kaum muda dalam memandang masyarakatnya bahwa
apakah birokrasi-birokrasi negara sudah berjalan baik bagi
masyarakat (Postman & Weingartner, 2001).
Apabila seorang guru menginginkan sebuh
penegasan dalam proses pengajaran sebagai sebuah
aktivitas subversif, dia tidak sedang menciptakan ideologi
baru tetapi hanya sekedar mengambil salah satu ideologi
yang lebih diutamakan daripada ideologi lainnya. Tipe-tipe
guru masa depan (Postman & Weingartner, 2001):
1) Tipe guru lampu penerang, yaitu guru yang meyakini
bahwa dia mempunyai kemampuan untuk memberikan

68 | Kritik Ideologi Pendidikan


penerangan kepada muridnya. Tindakan yang
dilakukan guru ini terhadap muridnya adalah ingin
menerangi pemikiran mereka dengan cara memberikan
cahaya karena akan kegelapan yang memasuki
pikirannya.
2) Tipe guru tukang kebun, yaitu guru ini mengolah dan
mengembangkan pemikiran perserta didik dengan cara
memberikan pupuk untuk menyuburkan pemikiran
mereka, supaya mereka tumbuh dan berkembang
dengan subur.
3) Tipe guru manajer personalia, yaitu guru yang lebih
menginginkan agar peserta didik selalu sibuk berpikir
dan menjadi peserta didik yang selalu efisien dan giat
dalam berusaha.
4) Tipe guru pembentuk otot, yaitu guru yang cenderung
memperkuat pemikiran muridnya yang dianggap
lembek.
5) Tipe guru pengisi keranjang, yaitu tipe guru yang ingin
memenuhi pemikiran muridnya yang masih dianggap
kosong.
Berdasarkan pada tipe-tipe tersebut di atas, ideologi
pendidikan masa depan adalah ideologi yang mengarah
pada perubahan. Kita bisa memastikan bahwa
neoliberalisme dan kritisisme nampaknya akan mengambil
bagian di titik paling depan, meskipun konservatisme
bertarung mati-matian, tetapi tetap saja akan kalah dengan
semakin berkurangnya manusia yang percaya kepada
Tuhan karena keyakinan mereka telah digantikan oleh
teknologi yang semakin canggih.

Kritik Ideologi Pendidikan | 69


70 | Kritik Ideologi Pendidikan
BAB III
KRITIK IDEOLOGI PENDIDIKAN KAUM SOFIS

A. Perkembangan Ideologi Pendidikan Kaum Sofis


Sofis (sophistes) adalah nama yang diberikan kepada
sekelompok filsuf yang hidup dan berkarya pada zaman
yang sama dengan Sokrates. Istilah Sofis belum dikenal
sebelum abad ke-5 SM karena mereka baru muncul pada
pertengahan hingga akhir abad ke-5 SM. Istilah yang
populer sebelumnya pada abad ke-4 SM adalah “orang
bijaksana” atau seorang yang mempunyai keahlian dalam
bidang tertentu atau dalam era modern dikenal dengan
istilah “sarjana” atau “cendekiawan”. Di abad ke-4 SM,
istilah philosophos sangat populer di dalam masyarakat
Yunani karena istilah ini menjadi nama yang biasanya
dipakai untuk orang-orang terpelajar pada masa itu dalam
arti “sarjana” atau “cendikiawan”, sedangkan istilah
sophistes khusus dipakai untuk menamai para guru-guru
yang berkeliling dari kota ke kota memberikan pendidikan
pada masyarakat Yunani sekitar paruh kedua abad ke-5.
Meskipun kaum Sofis sezaman dengan Sokrates, tetapi
kaum Sofis dipandang sebagai penutup era filsafat pra-
Sokratik karena setelahnya Sokrates akan membawa
perubahan besar di dalam filsafat Yunani (Bertens, 1999).
Sejarah perkembangan filsafat dimulai sekitar tahun
450 SM di Yunani tepatnya di Kota Athena yang
merupakan pusat perkembangan kebudayaan, politik, dan
pendidikan. Meskipun sebelumnya sudah ada filosof,
tetapi mereka hanya memusatkan perhatiannya pada alam
atau fisik semata. Baru setelah kemunculan kaum Sofis dan
Sokrates babak baru pendidikan dimulai yang ditandai

Kritik Ideologi Pendidikan | 71


dengan kajian kemanusiaan. Sokrates dan kaum Sofis
hidup pada rentang waktu yang sama di Athena, tetapi
sokrates tidak dikatakan seorang Sofis karena dia berbeda
dengan kaum Sofis. Perbedaan mendasar dan paling utama
di antara mereka adalah Sokrates tidak pernah mengakui
dirinya sebagai seorang Sofis (orang yang pandai dan
bijaksana) melainkan sebagai seorang yang mencintai
kebijaksanaan. Lebih jauh lagi, kita dapat melihat
perbedaan yang mendasar di dalam metode pendidikan
antara kaum Sofis dengan Sokrates, yaitu kaum Sofis
menuntut bayaran pada setiap muridnya sebagai upah
yang mereka ajarkan, sedangkan sokrates tidak. Selain itu,
jika kaum Sofis menganggap dirinya mengetahui
segalanya, maka sebaliknya sokrates menganggap dirinya
tidak mengetahui apa-apa (Hadiwijono, 1980).
Kaum Sofis bukanlah suatu mazhab tersendiri karena
para filsuf yang digolongkan sebagai Sofis tidak memiliki
ajaran bersama ataupun organisasi tertentu. Sofisme
sebenarnya adalah suatu aliran dan suatu gerakan dalam
intelek (Hadiwijono, 1980). Di dalam sejarah filsafat,
dikenal beberapa nama filsuf yang termasuk kaum Sofis,
yaitu Xeniades dari Korintus, Prodikos dari Keos, Gorgias
dari Leontinoi, Protagoras dari Abdera, Lycophron,
Antiphon dan Kritias dari Athena, Thrasymakos dari
Chalcedon, dan Hippias dari Elis. Dari beberapa nama
Sofis tersebut, hanya Gorgias, Hippias, Protagoras,
Prodikos, dan Antiphon yang fragmen-fragmen tulisannya
masih tersimpan sehingga pengajarannya dapat
diketahui. Sedangkan Thrasymakos dan Kritias hanya
terdapat sedikit tulisan yang berbicara mengenai mereka,

72 | Kritik Ideologi Pendidikan


serta Xeniades dan Lycophron sama sekali tidak ada
fragmen tulisan mereka yang tersimpan (Gibert, 2003).
Kaum Sofis sangat berperan dalam kemajuan
perkembangan pemikiran filsafat Yunani karena mereka
diminati oleh banyak orang. Pada saat itu, Athena menjadi
kota pendidikan karena banyak orang-orang yang datang
di kota ini untuk belajar filsafat pada guru-guru Sofis,
sehingga kota ini pula menjadi pusat kebudayaan dan
politik Yunani. Oleh karena itu, muncullah istilah “cinta
kebijaksanaan” dan menjadi istilah sehari-hari yang
dipopulerkan di Kota Athena. Alasan inilah yang
kemudian melahirkan struktur pendidikan yang nantinya
akan berpengaruh pada lahirnya institusi pendidikan di
era modern karena adanya sekelompok orang yang
mengikuti pembelajaran, misalanya belajar pidato dan
retorikan dari para Sofis di Athena. Orang-orang yang
tergabung dalam kaum Sofis ini memiliki keterampilan
khusus dan minat yang besar terhadap kebijaksanaan
sehingga memiliki banyak pengikut. Oleh karena itu,
mereka menamai diri “bijaksana” (sophia) karena merasa
sudah paling benar.
Berkat kefasihan kaum Sofis dalam berargumen,
mereka menjadi terkenal dan memiliki banyak pengikut di
Athena. Mereka kemudian memiliki banyak kesempatan
keliling dari kota ke kota di Yunani untuk melatih kaum
muda dalam kemahiran berpidato, berdiskusi, dan
berdebat. Keterampilan inilah yang diajarkan oleh kaum
Sofis kepada murid-muridnya, bukan berpikir dan
berusaha mencapai kebenaran. Mereka hanya fokus
melatih kemampuan berbicara dan berdebat untuk

Kritik Ideologi Pendidikan | 73


mengalahkan lawan mereka lewat argumen. Sebenarnya
kaum Sofis juga sangat berpengaruh dalam keilmuan dan
filsafat karena menumbuhkan kemampuan seseorang
dalam berbicara dan berdebat, dan menimbulkan
keinginan setiap orang untuk dapat berbicara dengan baik.
Oleh karena itu, setiap murid-murid dari kaum Sofis ini
memiliki pengetahuan, keterampilan, dan pandai dalam
aturan bagaimana seharusnya berbicara untuk
memperoleh kemenangan.
Orang-orang yang tergabung dalam kaum Sofis ini
tidak semuanya berasal dari Athena, tetapi pada umunya
mereka banyak berkarya di kota ini. Lebih jauh lagi, latar
balakang penyebab dan alasan muculnya kaum Sofis,
yaitu:
1) Kemajuan berpikir masyarakat Athena ditandai setelah
berakhirnya perang dengan Persia pada tahun 449 SM.
Sistem sosial masyarakat Athena kemudian berkembang
pesat di dalam bidang politik dan ekonomi. Athena
kemudian dijadikan pusat perekonomian, politik,
intelektual, dan kebudayaan Yunani. Setelah
sebelumnya, filsafat dan ilmu pengetahuan kurang
berkembang di Athena, melainkan di tempat-tempat
lain, tetapi setelah Athena menjadi pusat politik dan
ekonomi, Athena kemudian menjadi pusat dalam
bidang intelektual dan kultural (Bertens, 1999).
2) Kesadaran masyarakat Athena akan pentingnya
pendidikan. Masyarakat Athena menyadari bahwa
meningkatnya kesejahteraan warga Athena dipengaruhi
oleh kemajuan sektor pendidikan. Peran utama
pendidikan pada waktu itu adalah melatih kemampuan

74 | Kritik Ideologi Pendidikan


masyarakat untuk berbicara dengan baik dan
meyakinkan di depan umum karena sistem
pemerintahan Athena adalah demokrasi langsung.
Untuk mewujudkan masyarakat Athena ke dalam
sistem demokrasi, pemerintah membutuhkan
pendidikan untuk mencerdaskan masyarakat Athena.
Oleh karena itu, di dalam sistem pemerintahan yang
demokrasi, orang-orang mulai sadar bahwa mereka
membutuhkan pendidikan. Para orangtua
membutuhkan guru untuk mengajari anak-anaknya
bagaimana cara memenangkan debat dan diskusi.
Sementara itu, banyak bermunculan kaum Sofis yang
menyelenggarakan pendidikan untuk mendidik anak-
anak agar ahli dalam beretorika. Di sisi lain, setiap anak-
anak yang mengikuti pendidikan kaum Sofis harus
dikenakan biaya per anak. Oleh karena itu, kebanyakan
murid-muridnya berasal dari aristoktat atau kaum
bangsawan (Bertens, 1999).
3) Asimilasi kebudayaan Athena dengan orang-orang dari
berbagai bangsa yang memiliki adat istiadat, hukum,
ilmu pengetahuan, dan filsafat yang berbeda. Hal ini
memaksa masyarakat Athena harus belajar dan
memahami etika, tradisi, agama dari bangsa Timur.
Kaum Sofis memanfaatkan situasi ini menjadi tema
penting yang harus dipelajari masyarakat Athena pada
saat itu karena ini berkaitan langsung dengan
kebutuhan orang-orang dalam bermasyarakat berupa
peraturan-peraturan, kesepakatan sosial atau adat
kebiasaan (nomos) ataukah kodrat manusia
(physis). Namun ketika itu, kaum Sofis lebih memilih

Kritik Ideologi Pendidikan | 75


bersikap positivis dengan cara memberikan pandangan
yang rasional pada murid-muridnya karena mereka
menganggap bahwa kehidupan sosial tidak memiliki
dasar kodrat manusia, tetapi kehidupan sosial manusia
adalah merupakan kesepakatan manusiawi saja
(Bertens, 1999). Lebih jauh lagi, mereka tidak ragu-ragu
mengatakan kepada muridnya bahwa manusia adalah
ukuran untuk segala sesuatu. Oleh karena itu, ideologi
pendidikan kaum Sofis adalah relativisme dalam hal
pandangannya terhadap etika sosial dan ilmu
pengetahuan. Mereka menganggap bahwa baik buruk
dan benar salah itu bersifat relatif saja atau tergantung
pada manusia yang bersangkutan. Meskipun sikap
relativisme ini dikritik oleh Sokrates, tetapi kaum Sofis
tetap mengalami kesuksesan besar terutama
pengaruhnya terhadap murid-muridnya. Ini
menunjukkan sejarah buruk dalam dunia pendidikan
yang sebenarnya sudah dimulai dari peradaban Yunani.
Sehingga kita dapat menyadari bahwa meskipun di
dalam masyarakat itu banyak pilihan yang lebih baik
(pendidikan yang membebaskan) tetapi masyarakat
secara umum tetap saja mejatuhkan pilihannya pada
pendidikan yang menindas.
Berdasarkan uraian di atas, kemunculan kaum Sofis
ditandai dengan kemajuan pesat pada bidang ilmu
pengetahuan dan seni budaya yang diikuti dengan
perkembangan sistem politik dan ekonomi di Athena.
Kesejahteraan masyarakat nampak pada situasi yang
bergelimang kemakmuran yang perlahan namun pasti
turut mempengaruhi gaya hidup masyarakat Athena

76 | Kritik Ideologi Pendidikan


menjadi lebih nyaman ketimbang tahun-tahun ketika
masih dalam suasana berperang. Akan tetapi,
kesejahteraan, kemakmuran, dan kenyamanan hidup tidak
berlangsung lama karena situasi ini akan segera menjelma
menjadi penurunan moralitas publik, menurunnya
kepercayaaan terhadap agama, korupsi di kalangan orang-
orang terkemuka, dan akhirnya sikap publik terhadap
kebenaran objektif tampak lebih skeptis (Hegel, 2002).
1. Kritik Ideologi Pendidikan Protagoras
Protagoras lahir sekitar tahun 485 SM di kota Abdera
di daerah Thrake. Ia kemudian menjadi Sofis terkenal dan
banyak dikagumi di Kota Athena. Ia menjalankan
profesinya sebagai guru privat pidato di Sisilia, Italia dan
Athena, Yunani. Ia menyebut dirinya sebagai seorang
sophistês, yang berarti guru kebijaksanaan. Namun pada
akhir hidupnya, Protagoras tidak bernasib baik di Kota
Athena karena Ia dituduh durhaka, sehingga bukunya
tentang agama dibakar di tengah masyarakat Athena. Ia
kemudian melarikan diri ke Sisilia, tetapi dalam perjalanan
perahu layarnya mengalami kecelakaan, sehingga Ia
tenggelam bersama kapalnya. Dalam sejarahnya,
Protagoras banyak mengarang sejumlah buku, tetapi yang
tersisah hanya beberapa tulisan-tulisan singkat. Namun
ajarannya masih dapat diterapkan karena gagasan-gagasan
Protagoras masih ramai dipersoalkan di kemudian hari,
khususnya Plato yang banyak menulis tentang Protagoras,
salah satunya adalah dialognya yang berjudul Theaitêtos
dan Protagoras (Bertens, 1999).
Lebih jauh lagi, terdapat pemikiran Protagoras yang
sangat terkenal dan ditulis dalam buku yang berjudul

Kritik Ideologi Pendidikan | 77


Alêtheia (kebenaran). Dia mengatakan bahwa manusia
adalah ukuran untuk segala-galanya untuk hal-hal yang
ada sehingga mereka ada dan untuk hal-hal yang tidak ada
sehingga mereka tidak ada (Bertens, 1999). Dari tulisan ini,
Protagoras ditafsir sebagai seorang yang relativisme karena
baginya kebenaran tergantung pada sudut pandang
manusia. Manusialah yang menentukan benar tidaknya
sebuah perkara dan ada tidaknya sesuatu. Oleh karena itu,
manusia yang dimaksudkan oleh Protagoras adalah
individu bukan kelompok, sehingga kebenaran tergantung
pada setiap individu atau kebenaran itu berdasarkan sudut
pandang tiap-tiap individu, bukan kebenaran yang
tergantung pada kita bersama-sama atau kebenaran itu
tidak tergantung dalam sekelompok. Oleh karena itu,
kebenaran yang dimaksudkan oleh Protagoras adalah
sifatnya relatif, yaitu semua pendapat individu sama-sama
benar walaupun mereka bertentangan satu sama lainnya.
Paham relativisme ini yang kemudian dikritik oleh Plato,
menurutnya pendapat Protagoras hanya benar untuk
dirinya sendiri saja dan kemungkinan besar tidak benar
untuk orang lain (Hadiwijono, 1980).
Protagoras mengajarkan pada muridnya bahwa
manusia adalah ukuran dari segala-galanya. Ukuran itu
adalah lebih bersifat relativisme yang mengarah kepada
kebenaran subjektif. Bagi Protagoras tidak ada kebenaran
„ada‟ yang sejati, artinya tidak ada sesuatu pun yang
mutlak adanya, misalnya kebenaran, kebaikan, keindahan
dalam diri manusia, tetapi hanya sekedar anggapan
manusia saja. Karena pada hakekatnya, manusia memiliki
pandangan yang dinamis, yaitu sekarang „ia‟, tetapi besok

78 | Kritik Ideologi Pendidikan


sudah lain lagi. Hal ini terjadi karena ada dua macam gerak
yang mempengaruhi perubahannya, yaitu gerak yang
terjadi pada perubahan alam itu sendiri dan gerak cara
pandang manusia. Atau bukan barang yang dipandang itu
saja yang bergerak, akan tetapi juga panca indra
yang memandang. Oleh karena itu, setiap sudut
pandangan manusia tergantung pada dua macam gerakan
tadi. Bahkan, mencari pengetahuan juga adalah
memandang, meskipun memandang dari dalam dengan
jiwa dan pikiran. Jika dikembangkan maka kebenaran
relatif itu sifatnya subjektif karena tidak lagi
memperhatikan nilai-nilai yang terkandung pada objek,
tetapi sepenuhnya bergantung kepada subjek yang
memandang objek tersebut, sehingga kebenaran yang ada
selalu berbeda-beda (Bertens, 1999).
Di sisi lain, Protagoras juga memiliki pandangan
tentang adanya keindahan di dalam berdebat atau dikenal
dengan “seni berdebat”. Seni berdebat ini dapat kita lihat
dalam tulisan Protagoras yang berjudul Antilogia
(Pendirian-pendirian yang Bertentangan). Seni berdebat ini
lahir karena ada anggap bahwa semua manusia tidak
memiliki ukuran kebenaran yang sama. Seni berdebat ini
juga ada hubungannya dengan paham relativisme
Protagoras. Di sisi lain, seni bedebat ini adalah sebuah
arena bagi kaum Sofis ketika itu menunjukkan keahlian
mereka dalam beretorika. Protagoras menulis sebuah karya
yang ada hubungannya dengan seni berdebat, yang
berbunyi “tentang semua hal terdapat dua pendirian yang
bertentangan” (Bertens, 1999). Pertentangan inilah yang
memiliki nilai seni di dalam berdebat karena masing-

Kritik Ideologi Pendidikan | 79


masing individu memiliki nilai-nilai tersendiri untuk
mengukur sebuah kebenaran. Oleh karena itu, perdebatan
yang panjang membutuhkan sebuah argumen dan gaya
bahasa yang indah untuk didengar oleh para audiens.
Semakin indah sebuah bahasa, maka dialah yang menjadi
pemenang di dalam perdebatan, juga tergantung pada
kepandaian seseorang dalam berargumen, apakah ia akan
berhasil meyakinkan para pendengarnya mengenai
kebenaran menurutnya. Di sinilah letak peran kaum Sofis
untuk memberikan pelatihan berargumen atau pendidikan
retorika untuk dapat melatih murid-muridnya agar mereka
bisa membuat argumen yang paling lemah menjadi yang
paling kuat.
Dalam karya yang lainnya, Protagoras juga
memberikan pendidikan pada murid-muridnya tentang
negara. Ia memberi suatu teori tentang asal-usul adanya
sebuah negara. Dalam pandangannya, negara terbentuk
tidak berdasarkan kodrat, tetapi ia terbentuk berdasarkan
hasil dari konsensus manusia itu sendiri. Protagoras
mengilustrasikan bahwa sebelum terbentuknya sebuah
negara, manusia sebelumnya hidup sendiri-sendiri.
Namun karena manusia merasa lemah dan banyak
mendapatkan ancaman binatang buas, mereka mulai
mencari kawanan lainnya untuk hidup berkelompok.
Ternyata setelah berkelompok, manusia mengalami
kendala lagi yaitu hidup berkelompok itu tidak semudah
yang dipikirkan karena terdapat banyak keragaman di
dalamnya. Akhirnya Dewa turun dan memberikan mereka
anugerah berupa petunjuk akan keadilan dan kehormatan
kepada sesama manusia. Berkat kedua anugerah ini,

80 | Kritik Ideologi Pendidikan


manusia dapat hidup berdampingan dalam sebuah
kelompok. Untuk sampai pada konsep negara, manusia
mengadakan dan membuat undang-undang sebagai
pedoman dalam bersosialisasi dalam kelompok
masyarakat. Sehingga, undang-undang tertentu dibuat
berdasarkan pada kecocokan antara sekelompok individu
di dalam suatu negara, yang belum tentu sama dengan
undang-undang di negara lainnya (Bertens, 1999;
Hadiwijono, 1980).
Ajaran Protagoras tentang agama dapat dilihat pada
tulisannya yang berjudul Peri Theôn (perihal dewa-dewi).
Dalam pengajarannya, Protagoras menghapuskan berbagai
bentuk pengetahuan yang dianggap tidak berguna. Oleh
karena itu, Ia dituduh sebagai seorang atheis di Athena
karena sebuah risalahnya tentang agama. Salah satu
pernyataan Protagoras yang dapat diambil dari
pandangannya tentang agama adalah saya merasa tidak
mampu menetapkan dewa-dewa itu ada atau tidak, dan
saya juga tidak dapat menentukan hakikat mereka karena
banyak hal yang menjadi penghalang, baik kaburnya
eksistensi dewa-dewa tersebut maupun pendeknya hidup
manusia (Bertens, 1999). Berdasarkan pada pandangan
tersebut, perspektif Protagoras tentang agama dapat
disebut suatu skeptisisme karena baginya dewa-dewa tidak
mungkin mencapai kebenaran.
Fokus utama Protagoras adalah bukan menemukan
kebenaran absolut, tetapi Ia mempertanyakan apakah
kebenaran absolut itu benar-benar ada. Baginya tidak ada
yang baik dan buruk secara pasti, sehingga tidak ada
kebenaran objektif di dunia ini. Kata-katanya yang paling

Kritik Ideologi Pendidikan | 81


terkenal adalah manusia adalah ukuran segala sesuatu. Ini
juga dikenal dalam konsepnya different words, yaitu suatu
pandangan bahwa ada dua sisi yang saling kontradiksi
dalam setiap isu-isu masalah. Dari landasan pemikiran
inilah, Protagoras melatih murid-muridnya untuk
berargumen dari kedua sisi dengan indikator. Namun
Protagoras juga memiliki murid yang sangat cerdas yang
kemudian berani mengkritik balik. Perdebatan mereka
dapat dilihat berikut ini (Bertens, 1999).
Suatu hari Protagoras mengangkat seorang murid
dan mengajarinya hukum. Lalu manyatakan padanya
bahwa si murid boleh menunda pembayarannya sampai si
murid memenangkan kasus pertama. Setelah pelajaran
selesai, ternyata murid ini tidak bekerja, dan tidak mau
mencari kasus. Akhirnya Protagoras membawa kasus ini
ke pengadilan dengan tuntutan si murid harus membayar
Protagoras karena telah mengajarnya. Di pengadilan
Protagoras menyatakan bahwa apapun keputusan
pengadilan sang murid harus membayarnya: (1) kalau
Protagoras menang, berarti si murid harus membayarnya
atas peritah pengadilan dan (2) kalau Protagoras kalah,
berarti si murid harus membayarnya karena memenangkan
kasus pertama. Si murid juga membalas: apapun
keputusan pengadilan, Ia tidak boleh membayar gurunya:
(1) kalau dia kalah, berarti Ia tidak memenangkan kasus
pertama, jadi tidak perlu membayar gurunya dan (2) kalau
dia menang, berarti gurunya kalah di pengadilan, dan itu
berarti Ia tidak perlu membayar sesuai keputusan
pengadilan (Bertens, 1999).

82 | Kritik Ideologi Pendidikan


Meskipun peristiwa tersebut di atas tidaklah etis jika
dibandingkan dengan kondisi pendidikan sekarang, tetapi
pada intinya Protagoras sukses dalam mendidik murid-
muridnya karena ide yang disampaikan oleh muridnya
adalah apa yang diajarkan oleh Protagoras. Di sisi lain, Ia
juga mengajarkan pada muridnya bahwa kebenaran itu
tidak selamanya objektif tetapi ada juga yang sifatnya
subjektif, misalnya; (1) Ia membuat pembedaan antara rasa
dan pemikiran, rasa itu subjektif dan pemikiran itu objektif.
(2) Pengalaman di sekolah berbeda dengan aku, namun
kita sama-sama paham tentang apa itu sekolah dan apa
bedanya dengan pasar. Protagoras menentang pandangan
akan objektivitas akal dan universalitas kebenaran. Ia
memposisikan akal di bawa rasa karena seperti itulah
mekanisme alam manusia. Setiap orang adalah ukuran
kebenaran atau kesalahannya sendiri. Apa yang
menurutku benar, itulah kebenaran; apa yang menurutmu
benar, itu juga kebenaran meskipun bertentangan dengan
pandanganku. Rasa sakitmu itu benar sebagaimana rasa
sakitku juga benar (Bertens, 1999).

2. Kritik Ideologi Pendidikan Gorgias


Gorgias lahir di Leontinio, Sisilia sekitar tahun 483
SM. Dia adalah salah satu Sofis yang sangat terkenal. Oleh
karena itu, Ia dapat mengelilingi kota-kota di Yunani, salah
satunya adalah Athena, dimana Ia diakui kecerdasannya
dan mengalami kesuksesan besar karena keahlian dia
dalam berargumen. Gorgias kemudian meninggal pada
usia 108 tahun, sekitar tahun 375 SM. Salah satu buku
Gorgias yang sangat terkenal adalah yang
berjudul “Tentang Alam atau yang Tidak Ada”. Di dalam

Kritik Ideologi Pendidikan | 83


buku tersebut, Ia menuliskan tiga proposisi, yaitu (Bertens,
1999):
1) Tidak ada sesuatu pun, kalau ada sesuatunya, maka ia
terjadi dan eksis selama-lamanya karena itu tidak
mungkin terjadi dan timbul dari yang ada atau tak ada.
Eksis selama-lamanya adalah sangat mustahil karena
eksis selama-lamanya berarti tak terhingga, sehingga ia
tidak dapat ada dalam dirinya sendiri dan di dalam
yang lain. Atau dengan kata lain, tidak ada sesuatu pun
eksis karena tidak ada sebab atau awal yang masuk
akal. Sesuatu itu harusnya punya sebab atau awal, baik
dari sesuatu (yang lain) atau dari bukan sesuatu. Kalau
berawal dari sesuatu, berarti tidak ada awalnya,
sementara dari bukan sesuatu itu tidak mungkin.
2) Seandainya sesuatu ada, maka itu tidak dapat dikenali.
Jika ada pengetahuan tentang yang ada, maka itu hanya
konstruksi pikiran dan yang tidak eksis tidak masuk ke
dalam pikiran. Oleh karena itu, tidak ada kehilapan
karena semua itu adalah mustahil. Atau dengan kata
lain, kalau pun ada sesuatu eksis, tidak akan dapat
diketahui karena pengetahuan setiap orang berbeda-
beda, sehingga kebenaran pastinya tidak akan bisa
ditangkap.
3) Seandainya sesuatu dapat dikenali, maka pengetahuan
itu tidak bisa disampaikan kepada orang lain karena
tiap-tiap pengetahuan berlainan dengan yang
digambarkan. Atau dengan kata lain, kalaupun dapat
diketahui, tidak akan dapat dikomunikasikan karena
penangkapan setiap orang terhadap hasil komunikasi
pun beragam.

84 | Kritik Ideologi Pendidikan


Ketiga proposisi di atas didukung oleh banyak
pendapat, sehingga Gorgias dianggap tidak hanya
menganut paham skeptisisme, tetapi pandangannya juga
ada kesamaan dengan paham nihilisme, yaitu paham yang
menganggap bahwa tidak ada sesuatu pun atau tidak ada
sesuatu yang bernilai di dunia ini karena apa yang
dimaksudkan oleh Gorgias itu seolah seperti apa adanya.
Kita juga tidak bisa sepenuhnya menyimpulkan bahwa
paham nihilisme adalah ideologi utama yang dianut oleh
Gorgias karena ada kesulitan jika ingin menafsir bahwa
pendirian-pendirian itu sepenuhnya mengandung maksud
Gorgias. Di sisi lain, Dia justru dianggap ingin menyindir
metode berargumentasi yang dipakai oleh madzhab Elea
dengan memperlihatkan bahwa cara berargumentasi
mereka dapat diteruskan hingga menjadi mustahil.
Lebih jauh lagi, Gorgias berpandangan bahwa pikiran
manusia itu terbatas karena manusia tidak mungkin
mencapai kebenaran yang sejati. Oleh karena itu, kita tidak
perlu menyibukkan diri untuk melakukan yang sia-sia
dengan menyalami dan mencari kebenaran sejati. Kita
seharusnya lebih konsentrasi kepada hal-hal yang pasti saja
seperti bisnis, politik, kesenangan sehari-hari, dan lain
sejenisnya. Sehingga manusia seharusnya menggunakan
common sense untuk mengukur kebenaran sosial dan
individual. Dari uraian tersebut, kita dapat menyimpulkan
bahwa Gorgias tidak mengajarkan sesuatu nilai tertentu
karena baginya setiap manusia memiliki pandangan
tentang nilai secara berbeda. Misalnya, apa yang dianggap
bernilai oleh laki-laki, dapat dianggap tidak bernilai bagi
perempuan. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu

Kritik Ideologi Pendidikan | 85


untuk dapat meyakinkan orang lain tentang sesuatu hal,
sehingga orang lain mengikuti pendapatnya. Ini adalah
metode pendidikan yang sangat berpengaruh yang
diajarkan oleh Gorgias kepada setiap murid-muridnya.
Dengan demikian, pendidikan adalah seni untuk
meyakinkan orang lain tentang pengetahuan dan
kebenaran yang ditunjang dengan gaya bahasa tertentu,
serta pentingnya mengemukakan alasan-alasan yang tidak
hanya menyentuh akal budi, tetapi juga hati pendengarnya
(Bertens, 1999).
B. Pengaruh Perkembangan Ideologi Pendidikan Kaum
Sofis
Perkembangan ideologi pendidikan kaum Sofis
memiliki kemajuan yang amat pesat hingga masih diadopsi
sampai sekarang karena desain pendidikannya
dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme yang relevan dengan
modernisasi. Meskipun dalam sejarah perkembangan
pendidikan, kaum Sofis tidak selalu dipandang dengan
cara yang sama, namun pada umumnya mereka lebih
banyak mendapat citra positif, walaupun juga terdapat
sekelompok orang yang melihatnya secara negatif. Oleh
karena itu, yang terjadi adalah mereka dikemukakan dalam
timbangan yang negatif, tetapi dalam uraian lainnya
mereka mendapatkan citra positif karena metode
pendidikan merekalah yang diikuti sampai sekarang.
Meskipun dalam segi keilmuan Sokrates lebih diminati
sampai sekarang, tetapi dalam segi desain atau struktur
pendidikan kaum Sofis lebih diminati.
Pengaruh pendidikan kaum Sofis mulai tampak
dalam krisis pemikiran Yunani karena pada waktu itu

86 | Kritik Ideologi Pendidikan


orang-orang merasa jenuh dengan sekian banyaknya
pemikiran dan pendirian yang telah dikemukakan dalam
filsafat prasokratik. Sehingga kaum Sofis melihat
perkembangan itu secara skeptis, dan mereka pun berhasil
membawa pandangan skeptisisme ini ke dalam
masyarakat Athena. Misalnya lewat keahlian beretorika
Protagoras dan Gorgias, mereka berhasil memutar balikan
pola pikir masyarakat, yaitu kebenaran diragukan dan
dasar ilmu pengetahuan sendiri digoncangkan. Meskipun
sikap kaum Sofis pada saat itu dianggap membawa
pengaruh negatif pada kebudayaan Yunani, sebaliknya
mereka justru dikagumi dan mendapat banyak murid atau
pengikut dari kaum bangsawan.
Penyebab langsung perkembangan kaum Sofis juga
berkaitan dengan stabilnya sistem demokrasi Athena
ketika itu. Sistem demokrasi Athena turut serta
mendukung kaum Sofis untuk mengembangkan retorika
sebagai seni berbicara. Karena sebagai negara demokrasi,
Athena membutuhkan orang-orang yang ahli berpidato,
sehingga ilmu retorika menjadi sangat penting meskipun
hanya dianggap sekedar ekspresi pikiran sang orator
dengan menekankan pada struktur, bukan pada
substansinya. Retorika kemudian menjadi seni berbahasa
yang didesain untuk mengimpresi pendengar dengan
penekanan pada keindahan kata-kata belaka, dan hal ini
digunakan untuk menarik perhatian masyarakat Athena
untuk mencapai kesepakatan pada putusan yang
diinginkan oleh sang orator. Oleh karena itu, kaum Sofis
sangat penting karena ilmu retorika mereka dibutuhkan
oleh orang-orang Athena untuk mengajarkan pada anak-

Kritik Ideologi Pendidikan | 87


anak mereka cara berpidato, berdiskusi, dan berdebat.
Sehingga kaum Sofis mendirikan sekolah retorika tempat
dimana para pemuda kaya Athena belajar berargumen.
Sekolah retorikan yang didirikan oleh kaum Sofis adalah
berbayar, berbeda dengan Sokrates yang tidak meminta
upah pada muridnya. Jadi dapat kita bandingkan bahwa
tradisi pendidikan kaum Sofislah yang kita anut dan
berkembang sampai sekarang bukan tradisi pendidikan
Sokrates.
Akibat perkebangan pendidikan kaum Sofis yang
semakin kuat dalam masyarakat Yunani hingga
masyarakat sekarang, banyak nilai-nilai tradisional dalam
bidang agama dan moralitas mulai roboh, serta peranan
polis sebagai kesatuan sosial dan politik mejadi kabur.
Kemampuan kaum Sofis dalam memainkan ilmu retorika
ke dalam teknik berpidato dan berargumen melahirkan
dampak negatif karena keterampilan berpidato akan
dipergunakan untuk maksud-maksud jahat. Misalnya
kemampuan kaum Sofis dalam membuat argumen yang
paling lemah menjadi paling kuat karena ini dianggap
berdampak pada relativisme dalam bidang moral. Namun
berbeda dengan kaum Sofis seperti Protagoras dan Gorgias
karena mereka tidak menyalahgunakan ilmu retorikanya
untuk maksud-maksud jahat. Mereka justru dihormati oleh
masyarakat karena memiliki moralitas yang bermutu
tinggi, tetapi hal ini tidak berlaku untuk kaum Sofis
lainnya.
Di sisi lain, perkembangan pemikiran kaum Sofis juga
mempunyai pengaruh positif atas kemajuan pendidikan
dan kebudayaan Yunani. Tidak bisa dipungkiri bahwa

88 | Kritik Ideologi Pendidikan


kaum Sofis membawa suatu revolusi intelektual di Yunani
yang hingga sampai hari ini masih diikuti oleh banyak
negara. Misalnya dalam bahasa, Gorgias dan Sofis lain
menemukan ilmu bahasa yang baru untuk prosa Yunani.
Kaum Sofis juga sangat berpengruh secara mendalam pada
sejarawan besar Yunani, seperti Herotodos dan
Thukydides. Lebih jauh lagi, pandangan hidup kaum Sofis
juga sangat berpengaruh pada dramawan-dramawan
terkenal seperti Sophokles dan Euripides. Kaum Sofis juga
mengambil manusia sebagai objek bagi pemikiran filsafat
dan meletakkan fundamen untuk pendidikan sistematis
bagi kaum muda. Bahkan kaum Sofis pun juga dianggap
sangat berpengaruh pada filsuf besar Yunani seperti
Sokrates, Plato, dan Aristoteles karena jasa terbesar mereka
adalah mempersiapkan kelahiran filsafat baru yang
dijadikan sebagai titik balik atau kritik ketiga filsuf besar
ini.
Lebih jauh lagi, kaum Sofis sebagai inisiasi lahirnya
filosof baru Yunani karena sebelumya filsafat Yunani
hanya memikirkan kosmos. Namun kaum Sofis kemudian
menggeser cara pemikiran ini yang tidak lagi pada alam
tetapi pada manusia. Namun dalam beberapa pandangan
ideologi pendidikan kaum Sofis direhabilitasikan ke dalam
penilaian-penilaian yang negatif dan positif. Penilaian-
penilaian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
(Bertens, 1999)
1) Lahirnya pandangan negatif terhadap kaum Sofis
karena adanya krisis pemikiran yang dimunculkan oleh
para Sofis dalam perkembangan kebudayaan Yunani.
Misalnya sikap skeptisisme yang dianut oleh kaum Sofis

Kritik Ideologi Pendidikan | 89


atas kejenuhannya dengan banyak pendirian yang telah
dikemukakan dalam filsafat prasokratik. Reaksi dari
kaum Sofis adalah meragukan kebenaran dan dasar
ilmu pengetahuan digoncangkan. Atas tindakan kaum
Sofis tersebut, mereka dianggap mempunyai pengaruh
negatif atas perkembangan kebudayaan Yunani. Kaum
Sofis berhasil memberikan rekontruksi baru terhadap
nilai-nilai tradisional dalam bidang agama dan moral.
Peranan polis sebagai kesatuan sosial politik menjadi
kabur karena kaum Sofis memajukan suatu orientasi
pan-Hellen. Pendidikan kaum Sofis sangatlah
berpengaruh dalam kemahiran beretorika, misalnya
ilmu berpidato, diskusi, dan berdebat dianggap bahaya
karena teknik berpidato ini dapat digunakan untuk
maksud-maksud jahat seperti mengalahkan orang lain.
2) Lahirnya pandangan positif terhadap kaum Sofis karena
mereka memiliki peran yang sangat penting dalam
perkembangan kebudayaan, politik, ekonomi, dan
pendidikan di Yunani. Kaum Sofis sangat berpengaruh
dalam perkembangan Yunani karena mereka berhasil
melakukan revolusi intelektual yang berdampak besar
pada kemajuan pendidikan di Athena. Kaum Sofis
berhasil menemukan gaya bahasa yang baru atau ilmu
retorika, dan mereka juga sangat berjasa dalam
perkembangan ilmu sejarah dan seni drama. Mereka
juga sangat berjasa dalam perkembangan humanisme
pendidikan di Yunani karena mereka melibatkan kajian
kemanusian di dalam pendidikan dan kajian filsafat
humanis atau pelibatan manusia dalam kajian filsafat,
serta mereka meletakkan fundamen untuk pendidikan

90 | Kritik Ideologi Pendidikan


sistematis pada generasi muda. Pengaruh utama dalam
perkembangan pendidikan kaum Sofis adalah mereka
mempersiapkan kelahiran filsafat baru yang kemudian
direalisasikan oleh Sokrates, Plato dan Aristoteles.
Di dalam sejarah filsafat Yunani, pada umumnya
kaum Sofis dipandang secara negatif karena dipengaruhi
oleh ideologi kapitalisme, misalnya, mereka mengajar
murid-muridnya hanya untuk mendapatkan upah yang
banyak, menghalalkan segala cara untuk memenangkan
diskusi dan debat, serta mengajarkan relativisme pada
murid-muridnya. Akan tetapi, ideologi kaum Sofis tidak
hanya berakhir di Athena saja, justru ideologi pendidikan
kaum Sofis yang berkembang dan diikuti oleh semua
institusi pendidikan sampai sekarang. Berikut adalah
beberapa alasan perkembangan ideologi pendidikan kaum
Sofis, sehingga dapat berpengruh pada institusi
pendidikan di era modernisasi:
1) Kaum Sofis menjadikan manusia sebagai pusat
pemikiran utama di dalam institusi pendidikan. Lebih
jauh lagi, pemikiran atau ide-ide manusia dijadikan
sebagai tema dan objek kajian di dalam
pendidikan. Misalnya, pandangan Prodikos tentang
dewa-dewi sebagai proyeksi pemikiran manusia, atau
pandangan Protagoras tentang proses pemikiran untuk
mengenali sesuatu (Tjahjadi, 2004).
2) Kaum Sofis merupakan pelopor dalam hal pentingnya
bahasa di dalam pendidikan (Tjahjadi, 2004). Hal ini
dapat dilihat dari perkembangan retorika dan juga
pentingnya pemilihan kata yang tepat dalam
berargumen. Selain itu, kaum Sofis juga menemukan

Kritik Ideologi Pendidikan | 91


ilmu bahasa, serta berpengaruh terhadap perkembangan
sejarah dan seni drama. Tidak bisa dipungkiri bahwa,
semua pengaruh yang dibawa oleh kaum Sofis sangat
relevan dengan perkembangan pendidikan di era
modernisasi (Bertens, 1999).
3) Kaum Sofis berhasil melakukan sebuah revolusi di
dalam pendidikan, yaitu konstruksi moralitas
tradisional. Misalnya, kritik kaum Sofis terhadap
pandangan tradisional moralitas membuka cakrawala
pemikiran baru terhadap etika rasional dan otonom
pemikiran manusia (Tjahjadi, 2004).
4) Kaum Sofis sangat berpengaruh terhadap
perkembangan pemikiran Sokrates, Plato, dan
Aristoteles karena secara tidak langsung, ketiga filsuf ini
mengembangkan ide-ide filsafatanya dengan banyak
mengkritik kaum Sofis, sehingga mereka pun
menemukan sebuah ide baru karena berusaha untuk
berbeda dengan kaum Sofis. Di sisi lain, Sokrates, Plato,
dan Aristoteles memiliki banyak pengikut karena orang-
orang telah banyak membaca kritik-kritiknya terhadap
kaum Sofis. Oleh karena itu, di dalam sejarah
perkembangan pendidikan, yang benar adalah para
filsuf dan yang salah dalah kaum Sofis.
Lebih jauh lagi, alasan sehingga kaum Sofis masih
diakui dalam sejarah perkembangan pendidikan karena
mereka juga menyumbangkan banyak hal yang menjadi
fondasi perkembangan pendidikan saat ini. Peran kaum
Sofis dalam mendidik para politisi di Athena membuat
mereka berjasa dalam mengembangkan ilmu retorika dan
logika sampai hari ini. Lebih jauh lagi, mereka

92 | Kritik Ideologi Pendidikan


mengembangkan seni retorika dan metode ilmiah yang
pengaruhnya masih terasa hingga kini. Kita juga berhutang
budi pada kaum Sofis karena mereka juga turut
berpartisipasi dalam kemajuan ilmu pengetahuan empiris.
Sebagai pendidik para politisi di Athena, kaum Sofis
tentunya juga memiliki ilmu pengetahuan yang luas terkait
sejarah dan mengenal berbagai bentuk ilmu pemerintahan.
Kaum Sofis juga memperkenalkan kita pada aneka ragam
kesenian dan syair-syair Yunani kuno. Sebelum mereka
dikenal dalam ilmu retorika, kaum Sofis juga kebanyakan
mempelajari ilmu alam, seperti aritmatika, geometri, dan
astronomi, serta seni musik yang sangat akrab bagi mereka
dan pertama kali dikembangkan.
C. Kritik Bisnis Pendidikan Kaum Sofis
Di era modernisasi, kata Sofis tidak menarik lagi di
lingkungan pendidikan. Misanya, di dalam bahasa Inggris,
kata “sophist” justru menunjukkan seseorang yang menipu
orang lain dengan mempergunakan argumentasi-
argumentasi yang tidak sah. Terutama kritik Sokrates,
Plato, dan Aristoteles membuat nama Sofis berbau jelek.
Salah satu kritik mereka adalah kaum Sofis meminta uang
kepada setiap muridnya sebagai imbalan pengajaran yang
mereka berikan. Lebih jauh lagi, Plato mengatakan bahwa
kaum Sofis merupakan pemilik warung yang menjual
barang rohani, sementara Aristoteles mengarang buku
yang berjudul Sophistikoi Elenchoi (cara-cara berargumentasi
kaum Sofis) dengan maksud untuk mengkritik bahwa cara
berargumentasi kaum Sofis tidak sah. Namun, sampai
akhir ini, justru sifat-sifat jelek kaum Sofis yang dikritik
oleh Sokrates, Plato, dan Aristoteles dipertahankan di

Kritik Ideologi Pendidikan | 93


dalam institusi pendidikan di beberapa negara, khususnya
Indonesia (Bertens, 1999).
Lebih jauh lagi, kritik Plato dan Aristoteles terhadap
pendidikan kaum Sofis adalah kaum Sofis hanya sibuk
dengan argumen dan melupakan kebenaran. Mereka juga
hanya mengajar dengan gaya retorika belaka dan memberi
ajaran namun tidak menjawab pertanyaan dan tidak
menyelesaikan masalah. Mereka justru mengingkari nilai
absolut moralitas dan merasa serba tahu apa yang
sebenarnya mereka tidak tahu. Selain itu, mereka juga
memiliki sifat self-contradiction (pikiran kaum Sofis saling
bertentangan) dan dangkal dalam berpikir. Di sisi lain,
kritik terhadap bisnis pendidikan kaum Sofis, yaitu
(Bertens, 1999):
1) Mereka menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis.
Mereka orang-orang pertama yang memungut bayaran
atas layanan pendidikan, menarik bayaran untuk
mengajar “wisdom” dan “virtue”.
2) Dapatkah kebijakan diajarkan? Ya dan mereka yang
memiliki kemampuan untuk mengajarkannya.
3) Kebijakan itu sifatnya kontekstual, sesuai dengan
kebudayaan yang menjadi wadahnya (berlawanan
dengan pandangan Socrates, Plato, dan Aristoteles).
Oleh karena itu, kebijakan harus diajarkan secara
khusus oleh guru khusus.
4) Kaum Sofis melakukan perjalanan dari kota ke kota, dan
mengiklankan diri mereka sebagai pemikir profesional,
lalu menawarkan pengetahuan mereka untuk dijual. Ini
mirip dengan yang ditawarkan oleh institusi pendidikan
akhir-akhir ini.

94 | Kritik Ideologi Pendidikan


Kaum Sofis adalah seorang guru, tetapi
kelemahannya adalah menjual ilmunya. Sehingga
kapitalisasi pendidikan bukanlah hal yang baru karena
sejak zaman Yunani kuno sudah dimulai oleh para kaum
Sofis, yaitu semakin berat ilmunya maka semakin banyak
pula bayarannya. Salah satu pemikiran dari kaum Sofis
adalah tentang kebenaran. Tokoh Sofisme yang
berpendapat tentang kebenaran adalah Protagoras dan
Gorgias. Mereka berpendapat bahwa manusia merupakan
ukuran kebenaran dan ukuran kebenaran itu bersifat relatif
sesuai dengan waktu dan perubahan alam atau juga
disebut dengan teori relativisme. Menurut mereka terdapat
kebenaran objektif yang bersumber kepada manusia.
Mereka berusaha menyeimbangkan antara filsafat dan ilmu
pengetahuan yang nantinya akan berkembang pesat
menjadi beberapa objek kajian. Dari pendapat itulah,
Sokrates, Plato dan Aristoteles menentang segala teori
kebenaran yang diungkapkan oleh kaum Sofis.
Secara khusus, Sokrates menentang pendapat kaum
Sofis tentang relativisme karena bagi Sokrates ada
kebenaran yang objektif yang tidak tergantung pada
dirinya. Sebagai contoh, pada suatu hari, salah seorang
sahabat Sokrates pernah bertanya kepada Dewata Delphol,
apakah ada orang yang lebih bijaksana daripada Sokrates?
Dewata tersebut menjawab bahwa tidak ada orang yang
lebih bijaksana daripada Sokrates. Sokrates terkejut dan
tidak percaya dengan jawaban Dewata itu, Sokrates
kemudian mulai mencari tahu tentang hal itu. Secara tidak
langsung, Sokrates sebenarnya ingin mencari tahu dan
membuktikan apakah jawaban Dewata itu salah. Sokrates

Kritik Ideologi Pendidikan | 95


kemudian bercakap-cakap dengan para negarawan dengan
maksud menunjukkan bahwa mereka lebih bijaksana
daripada dirinya. Para negarawan tersebut memang
dipandang bijaksana oleh banyak orang dan mereka
sendiri pun berkeyakinan bahwa mereka itu bijaksana.
Namun dari percakapan-percakapan yang telah Ia lakukan,
tidak ditemukan jawaban yang pas, justru Sokrates
menemukan bahwa mereka itu sebenarnya tidak bijaksana.
Kemudian Sokrates pergi ke para penyair dengan tujuan
yang sama, tapi hasilnya juga sama. Oleh karena itu,
Sokrates kemudian menarik keismpulan bahwa dia lebih
bijaksana dari mereka semua. Kita pun bisa menyimpulkan
bahwa, Sokrates lebih bijaksana daripada mereka karena
Dia memiliki sikap rendah diri dan tidak begitu saja
langsung mengakui bahwa dirinya adalah seorang yang
bijaksana (Bertens, 1999).
Kritik terhadap pendidikan kaum Sofis adalah
mereka mengembangkan seni retorika sebagai satu cara
dan usaha menggunakan bahasa untuk mempengaruhi
orang lain. Tiga alat utama retorika yang mereka
kembangkan, yaitu (Bertens, 1999):
1) Erictics adalah argumen yang dipakai untuk
memenangkan debat, bukan mencari kebenaran. Erictics
hanya dimaksudkan untuk mengalahkan lawan dan
bukan untuk mencerahkan. Aristoteles menyebutnya
argumen yang kotor di dalam diskusi atau percakapan
karena tujuan mereka adalah membuat argumen yang
buruk menjadi lebih indah.

96 | Kritik Ideologi Pendidikan


2) Antilogic adalah berargumen dengan cara mengajukan
proporsi-proporsi yang berlawanan, menuju satu aporia
“dead end” jalan buntu.
3) Persuasi adalah kata-kata yang memiliki kekuatan sama
seperti paksaan. Kuncinya menurut Gorgias adalah
“kairos” (mengatakan sesuatu dengan kata yang tepat
pada waktu yang tepat). Para Shofis lebih suka
menggunakan logos (logis/proof) dan etos
(trust/credibility), bukan pathos (emotion/value).
Kritik terhadap egoisme kaum Sofis yaitu mereka
percaya bahwa egoisme itu wajar dan natural. Hal ini
karena setiap orang pasti akan membela dirinya sendiri di
dalam sebuah percakapan, diskusi, dan debat. Sebaliknya,
Callicles justru mengkritik Socrates sebagai seorang yang
naif dan tidak alamiah ketika menyatakan bahwa hukum
(nomos) itu bersifat objektif karena kehidupan alami itu
mengedepankan kepentingan yang lebih kuat dan
superior. Dalam bentuk ekstrim, kaum Sofis menganut satu
bentuk doktrin “might makes right” sebagaimana
dinyatakan oleh Trasymachus. Oleh karena itu, bagi kaum
Sofis keadilan itu hanya untuk orang-orang yang sederajat,
memiliki kedudukan yang sama dan kekuatan yang setara.
Sehingga, secara alami, “ikan besar makan ikan kecil”
(Bertens, 1999).
Kritik terhadap moralitas konvensional kaum Sofis
dari Callicles salah satu murid Georgias. Menurutnya
moralitas konvensional diciptakan oleh orang yang lemah
dan bodoh untuk menghalangi mereka yang kuat dan
pintar melakukan sesuai tuntutan natural. Orang lemah
tersebut mengeksploitasi kelemahan mereka untuk

Kritik Ideologi Pendidikan | 97


kepentingan mereka sendiri. Akhirnya moralitas menjadi
terbalik, yang hakikatnya benar menjadi sesuatu yang
disepakati sebagai salah. Padahal yang sejati adalah norma-
norma yang berjalan secara alami, bukan kesepakatan.
Selain itu, kritik terhadap relativisme dan subjektivisme
kaum Sofis dapat dilihat dari cara berpikir kaum Sofis yang
sifatnya relativisme dan subjektivisme. Mereka
menganggap bahwa setiap orang merupakan ukuran dari
kebenaran. Kebenaran adalah apa yang manusia pahami
dan sadari. Dari uraian tersebut, kaum Sofislah yang
pertama kali menyangkal gagasan adanya realitas objektif
yang independen di luar kesadaran manusia. Lebih jauh
lagi, karakter utama kaum Sofis, yaitu (Bertens, 1999):
1) Mencari kebenaran tidak menjadi prioritas utama, tetapi
lebih konsentrasi kepada retorika;
2) Mengembangkan pandangan bahwa kebenaran itu
tergantung kepada ruang dan budaya;
3) Meragukan adanya kebenaran absolut, bahkan Gorgias
mempertanyakan kemungkinan seseorang memiliki
pengetahuan;
4) Yang disebut kebenaran adalah yang menang dalam
tabrakan argumentasi;
5) Kaum Sofis mengajar murid-muridnya untuk
memahami situasi, menata situasi dan mengarahkannya
pada sesuatu tujuan yang diinginkan.
Sikap subjektivisme kaum Sofis di atas ditandai
dengan ditinggalkannya konsep-konsep objektivitas dalam
diri mereka. Ukuran kebaikan dan kebenaran bagi para
Sofis tergantung pada dirinya masing-masing yang mereka
sesuaikan dengan kebutuhan sementara. Ideologi ini

98 | Kritik Ideologi Pendidikan


merupakan doktrin utama dari kaum Sofis untuk
mewujudkan hasrat murid-muridnya dengan memberikan
suatu formula yang dianggap tepat pada zaman itu, dan
membiarkan setiap murid-muridnya untuk
mengembangkan formula tersebut secara lebih lanjut
dalam wadah politik Athena. Ideologi pendidikan kaum
Sofis ini sangat mendambakan pengetahuan akan
kebenaran „ada‟ yang sejati, meskipun secara retoris
mereka bersikap skeptis.
Selain sikap relativisme dan subjektivisme, kaum
Sofis juga bersikap skeptisisme terhadap fenomena yang
ada. Mereka menyatakan bahwa segala sesuatu yang
berasal dari pengalaman merupakan bentuk pengetahuan
yang keliru, tetapi kekeliruan itulah yang menjadi dasar
bagi kita untuk melawan kebenaran struktural yang
menindas alam bawah sadar kita karena hampir semua
pemikiran manusia lebih cenderung pada kekeliruan
semata. Pemikiran kaum sofis tidak akan menggapai
kondisi „ada‟ yang sejati karena „ada‟ yang sejati itu sendiri
tidak ada bagi mereka. Oleh karena itu, apabila kaum sofis
dihadapkan pada situasi pemikiran seperti ini, maka
sangat rasional jika mereka memilih untuk bersikap skeptis
terhadap persoalan tersebut. Pandangan kaum sofis
tentang ketiadaan kebenaran „ada‟ yang sejati inilah yang
menjadi sumber pemikiran skeptisisme. Sehingga ilmu
filsafat yang mereka ajarkan hanyalah sekedar skeptisisme
naif semata.
Kaum Sofis tidak percaya dengan keberadaan „ada‟
yang sejati, sehingga kemudian mereka menyerang orang-
orang yang mempercayainya. Barangkat dari landasan

Kritik Ideologi Pendidikan | 99


pemikiran skeptisisme naif, kaum Sofis tidak hanya
menolak kebenaran agama bagi diri mereka sendiri, tetapi
mereka juga menggunakan pemikiran skeptisisme untuk
melegitimasi karya-karya mereka yang dianggap amoral.
Kaum Sofis dengan tegasnya mengungkapkan
pandangannya pada masyarakat Athena tentang tidak
adanya kebenaran mutlak. Mereka berusaha
mempengaruhi publik dengan pandangan yang bersifat
skeptis yang mana menyatakan bahwa, di dalam filsafat
klasik, pencarian kebenaran merupakan kegiatan yang sia-
sia dan tidak ada kebenaran „ada‟ yang sejati di dalamnya,
sehingga moralitas, keadilan, dan agama akan kehilangan
legitimasinya. Oleh karena itu, harus segera ditanggalkan.
Pemikiran kaum Sofis yang sangat tidak filsafati ini hanya
dapat dijumpai pada zaman ketika setiap orang Athena
malas untuk berpandangan hidup yang serius. Tetapi bisa
jadi masih banyak juga pada era modern sekarang ini
karena faktanya adalah orang-orang lebih memilih ideologi
pendidikan kaum Sofis dibandingkan dengan ideologi
pendidikan Sokrates.
Lebih jauh lagi, kritik terhadap pidato kaum Sofis
yang hanya sekedar memainkan retorika semata untuk
menarik perhatian para audiens melalui argumen dan
pemilihan kata yang sifatnya puitis yang terlepas dari
pertimbangan nilai-nilai moralitas seperti benar-salah dan
baik-buruk dari tema yang disampaikan oleh orator. Oleh
karena itu, keterampilan berpidato begi kaum Sofis hanya
merupakan kemahiran dalam mempertahankan, ataupun
menyangkal argumen dalam posisi apapun. Mereka juga
dipandang sebagai konsumen retorika kosong karena

100 | Kritik Ideologi Pendidikan


mereka hanya menggunakannya sebagai sarana untuk
menarik perhatian publik dalam berpidato. Hal ini mereka
lakukan karena dalam pandangan kaum Sofis, kebenaran
objektif bukanlah sesuatu yang penting. Mereka justru
menempatkan benar dan salahnya sesuatu tergantung dari
sudut pandang mereka sendiri, atau benar dan salahnya
sesuatu itu sifatnya relatif.

Kritik Ideologi Pendidikan | 101


102 | Kritik Ideologi Pendidikan
BAB IV
KRITIK INSTITUSIONALISASI PENDIDIKAN

Anak dari golongan miskin hanya mampu


memperoleh kesempatan bersekolah di institusi
pendidikan yang memiliki fasilitas sangat minim,
sedangkan anak dari golongan kaya akan mampu
mengenyam pendidikan dengan fasilitas yang lengkap di
institusi pendidikan yang elit (Martono, 2010). Inilah wajah
institusi pendidikan kita sekarang di Indonesia. Institusi
pendidikan yang sudah dianggap mapan dan memiliki
mutu yang tinggi, yaitu manajemen pendidikan yang
terstruktur dan memiliki tenaga pendidik yang berkualitas,
justru hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kaya.
Sedangkan, mereka yang miskin hanya bisa memasuki
institusi pendidikan yang memiliki mutu rendah (Zamroni,
2011).
A. Alasan Institusionalisasi Pendidikan
Institusi pendidikan masih berlangsung hingga
sekarang karena masyarakat sudah percaya bahwa
lembaga ini dapat menjadi arena untuk meramalkan nasib
seseorang di masa depannya. Masyarakat juga percaya
dengan ilmu pengetahuan yang diajarkan di institusi
pendidikan karena dianggap dapat membuat seseorang
ahli dalam bidang tertentu. Misalnya, apabila seseorang
diajarkan ilmu kedokteran maka dipastikan ia akan
menjadi dokter, apabila seseorang diajarkan ilmu
pendidikan maka dapat diramalkan ia akan menjadi guru,
dan sebagainya. Sebegitu percayanya masyarakat terhadap
institusi pendidikan, sehingga mereka tidak pernah merasa

Kritik Ideologi Pendidikan | 103


curiga lagi terhadap pola kehidupan di dalamnya. Di sisi
lain, kita juga masih menemukan orang-orang yang kritis
terhadap institusi pendidikan, di antaranya adalah Paulo
Freire dan Ivan Illich. Bagi Freire, pendidikan tidak
ubahnya membuat seseorang terasing dengan dunia
luarnya, sedang Illich menyerukan dengan bebaskan
masyarakat dari belenggu sekolah (deschooling society).
Mereka tidak sepakat dan tidak puas dengan kebijakan-
kebijkan institusi pendidikan yang selama ini berlangsung
(Riyadi, 2016).
1. Teori Pemarkiran dan Rekayasa Institusionalisasi
Pendidikan
Teori pemarkiran memandang bahwa untuk
menghindari pengangguran, anak-anak tetap bersekolah
dari SD sampai Perguruan Tinggi. Teori ini juga
dipengaruhi oleh faktor usia seseorang karena mereka
masih dianggap anak-anak belum matang dalam bekerja,
sehingga mereka diparkir beberapa tahun dalam institusi
pendidikan, sambil diberi pengetahuan dan keterampilan
kerja. Di sisi lain, teori pemarkiran juga dipengaruhi oleh
usia pendidikan cenderung berbanding terbalik dengan
kesempatan mobilitas sosial pada usia lulus sekolah dini.
Ini berdampak pada semakin meningkatnya angka
pengangguran jika lapangan pekerjaan dapat menerima
anak usia dini. Agar bisa menghindari pengangguran,
peserta didik tetap bersekolah. Jadi peran institusi
pendidikan adalah memarkir anak-anak usia dini untuk
menunggu para tenaga kerja tua pensiun (Giddens, 2007).
Teori pemarkiran ini menarik karena memberikan
kemungkinan kontra-intuitif tertentu, misalnya teori ini

104 | Kritik Ideologi Pendidikan


menunjukkan bahwa usia pendidikan dalam kondisi
tertentu bisa saja berbanding terbalik dengan laju
perkembangan ekonomi suatu daerah atau wilayah,
contohnya di Italia secara keseluruhan, pendapatan per
kapita rata-rata berkorelasi positif dengan tingkat
kehadiran di sekolah pada kelompok usia 11-15 tahun.
Pada sisi lain, tingkat masuk dan tetap bersekolah, setelah
batas usia secara resmi dimungkinkan untuk
meninggalkan bangku sekolah, berkorelasi negatif dengan
pendapatan perkapita dan dengan tolak ukur
perkembangan ekonomi ke wilayah lainnya (Giddens,
2007).
Teori pemarkiran juga bermanfaat bagi wanita karir
yang tidak memiliki waktu merawat anaknya, sehingga
anak-anak dapat diparkir di institusi pendidikan. Seorang
ibu hanya dapat merawat anak-anak mereka pada usia
tertentu saja karena ketika sudah masuk pada usia sekolah
mereka harus melepas dan berbagi dengan institusi
pendidikan untuk merawat dan mendidik anak-anak
mereka. Jadi salah satu alasan semakin kuatnya institusi
pendidikan adalah karena didukung oleh beban ibu-ibu
rumah tangga yang mengeluhkan atas hak asuh anak
seolah dibebankan sepenuhnya kepada mereka. Tuntutan
perempuan inilah yang kemudian memaksa para laki-laki
untuk mendirikan sebuah institusi pendidikan karena
perempuan tidak sepenuhnya punya banyak waktu untuk
mendidik anak-anaknya karena mereka kebanyakan
menghabiskan banyak waktu di luar rumah demi
kebutuhan finansial.

Kritik Ideologi Pendidikan | 105


Teori pemarkiran sangat berperan terhadap adanya
perspektif konflik dalam lingkungan kerja dan keluarga.
Teori ini dianggap dapat menyelesaikan persoalan-
persoalan yang tidak seimbang yang dihadapi dalam dunia
kerja dan kelaurga. Meskipun demikian perspektif konflik
juga melihat adanya ketidak seimbangan dalam penerapan
teori pemarkiran dalam institusi pendidikan, yaitu institusi
pendidikan dalam prakteknya telah melakukan proses
reproduksi sosial. Proses ini merujuk pada kenyataan
bahwa institusi pendidikan memiliki peran dalam
membantu pembagian kerja dalam masyarakat dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Pada akhirnya, situasi ini
berdampak tidak adil pada keluarga miskin karena anak
yang miskin, meskipun ia mampu mengenyam pendidikan
di sekolah pada akhirnya mereka tetap juga akan menjadi
orang miskin (Martono, 2010).
Hal di atas disebabkan oleh perbedaan latar belakang
keluarga antara orang miskin dan orang kaya. Dalam
beberapa penelitian, ditemukan adanya korelasi antara
latar belakang keluarga dengan keberhasilan pendidikan,
yaitu ditentukan oleh habitus masing-masing anak. Anak
dari keluarga kaya tertentu memiliki modal yang lebih
dominan dibandingkan dengan anak dari keluarga miskin.
Oleh karena itu, dalam ranah pendidikan, anak dari
keluarga kaya lebih banyak dan lebih mampu meraih akses
pendidikan dan lebih mudah bila dibandingkan dengan
anak dari keluarga miskin. Ketika anak dari keluarga
miskin mendapat kesempatan yang sama dengan anak dari
keluarga kaya, maka tetap saja anak miskin selalu tidak

106 | Kritik Ideologi Pendidikan


mendapat peluang yang sama karena habitus mereka tidak
sama dengan anak dari keluarga kaya (Martono, 2010).
2. Teori Modal Manusia
Teori modal manusia memberikan kesimpulan yang
berbeda dengan teori pemarkiran. Teori modal manusia
menganggap keputusan pendidikan dalam istilah untung-
rugi karena bersekolah hingga ke jenjang perguruan tinggi
dengan perbedaan ekonomi menunjukkan persoalan ini
bukan semata-mata pilihan negatif tetapi bersekolah dalam
kadar tertentu merupakan sebuah keputusan positif
(Giddens, 2007). Hal ini karena institusi pendidikan
dipercaya sebagai sebuah lembaga yang dapat
memperbaiki kondisi ekonomi seseorang. Faktanya di
dalam masyarakat, orang-orang yang memiliki jabatan di
struktur pemerintahan dan meiliki perusahaan yang kaya
adalah orang-orang yang pernah belajar di institusi
pendidikan. Oleh karena itu, dengan bukti-bukti yang
seperti ini, masyarakat semakin percaya dengan institusi
pendidikan bahwa kelak jika mereka atau anak-anak
mereka setelah selesai mengenyam pendidikan di institusi
pendidikan akan memiliki nasib yang lebih baik dari yang
sebelumnya.
Institusi pendidikan adalah organisasi-organisasi
disiplin dan sifat-sifat birokrasinya yang dapat
mempengaruhi modal manusia. Sebagaimana halnya
semua bentuk organisasi disiplin, seperti sekolah
beroperasi dalam batas-batas tertutup dengan membatasi
dan memisahkan peserta didik dengan interaksi sehari-hari
di luar. Sekolah adalah sebuah wadah yang melahirkan
kuasa disiplin. Sifat tertutup kehidupan sekolah

Kritik Ideologi Pendidikan | 107


memungkinkan dilakukannya koordinasi yang ketat
terhadap interaksi antar individu yang terlibat di
dalamnya. Anak-anak menghabiskan separuh waktunya
dalam ruang kelas secara tertutup dari gangguan
perjumpaan-perjumpaan di luar sekolah. Selain itu, ada
juga pembagian-pembagian di antara kelas-kelas berbeda
yang didasarkan pada kategori tingkatan, serta ada sekat-
sekat di sekolah itu sendiri.
Menurut Giddens kebanyakan perjumpaan-
perjumpaan di sekolah sangat bertolakbelakang dengan
sektor-sektor kehidupan sosial yang di dalamnya aktivitas
memiliki peraturan normatif yang lebih longgar karena
desain ruangan dan sekat-sekat kelas merupakan bagian
dari watak arsitektur, baik dalam pemisahan ruang-ruang
kelas maupun penataan bangku-bangku yang sering
ditemui di dalamnya (Giddens, 2007).
Ruang-ruang kelas sengaja didesain sebagai arena
penerapan kuasa disiplin. Bentuk-bentuk ruang kelas yang
dibatasi dinding-dinding serta di dalamnya ada
penyusunan bangku yang berjejer secara rapi adalah
sebuah strategi untuk mengorganisasikan sikap, gerak, dan
isyarat tubuh peserta didik. Pengaturan ruang guru dan
murid dalam konteks sebuah kelas sangat berbeda dari
pengaturan ruang dalam kebanyakan situasi lain yang
melibatkan pertemuan-pertemuan tatap muka. Secara
esensial, ruang kelas adalah sebagaimana wadah kuasa,
tetapi ruang kelas bukan semata-mata wadah kuasa yang
melahirkan tubuh-tubuh yang patuh (Giddens, 2007).
Institusi pendidikan sengaja dikategorikan sebagai
lembaga formal karena sebagai tempat memasukkan pola-

108 | Kritik Ideologi Pendidikan


pola perilaku dan harapan normatif yang yang akan
disebar luaskan di lingkungan masyarakat. Sekolah sebagai
sebuah institusi formal sesungguhnya terpisah secara fisik
dengan tempat kerja dan terpisah secara temporer dengan
pengalaman kerja dalam rentang kehidupan peserta didik.
Meskipun sekolah dan tempat kerja sama-sama memiliki
segenap pola kekausaan disipliner, pola-pola tersebut
bukan semata-mata aspek dari sebuah bentuk
institusionalisasi. Kedisiplinan sekolah memiliki kadar
moral yang sangat kuat yang kurang dimiliki di tempat
kerja. Kedisiplinan sekolah mengandung sebuah
paradigma pendidikan abstrak yang melestarikan dan
mereproduksi hal-hal yang dirintis dan diciptakannya,
seperti watak moral dan poros otoritas atau normatif. Ini
didesain sebagai penolakan terhadap anak-anak bandel
dan berprilaku menyimpang dari perilaku mereka yang
seharusnya. Penolakan terhadap perilaku ini dilakukan
oleh guru kerena mereka memiliki hak istimewa moral
yang dipegang di sekolah (Giddens, 2007).
Bagi Giddens, modal manusia yang dimiliki oleh
para guru dan penyelenggara sekolah dalam upaya
meneguhkan otoritas mereka pada saat yang bersamaan
hanya sekedar klaim-klaim legitimasi. Para guru di sekolah
merupakan pusat-pusat modal manusia bagi
penyebarluasan ilmu pengetahuan yang diakui sebagai
komoditas langkah oleh peserta didik yang patuh dan yang
ingin memperbaiki sikap bandel. Guru memiliki kontrol
secara langsung terhadap penentuan waktu dan penjedaan
aktivitas yang membentuk pengorganisasian ruang kelas
dan jadwal pelajaran secara keseluruhan. Tentu saja

Kritik Ideologi Pendidikan | 109


dengan semua fakta ini para guru berpijak secara tak
langsung pada sumber-sumber dukungan institusional
yang kokoh dalam masyarakat secara lebih luas. Dengan
kata lain, pertukaran antara aktivitas anak-anak bandel
dengan pengaruh dari masyarakat yang lebih luas
merupakan pertukaran yang dilakukan oleh semua pihak
yang terlibat (Giddens, 2007).
Dalam pembentukan modal manusia, kita juga perlu
belajar pada Syariati tentang mazhab pembentukan
berpikir manusia. Ada tiga mazhab berpikir pada manusia,
yaitu (Syariati, 1984):
1) Historisme adalah sebuah paham yang menganggap
bahwa modal manusia sebagai produk sejarah. Ia
menganggap bahwa sejarahlah yang membuat modal
manusia dan menentukan apa yang harus ditempuh
olehnya serta bagaimana manusia harus mengarah pada
modal yang dimilikinya.
2) Sosiologisme adalah sebuh paham yang menganggap
bahwa modal manusia mengambil semua ciri-cirinya
dari masyarakat atau dibentuk oleh lingkungan sosial,
bukan oleh dirinya sendiri sebagai individu. Apabila ia
nampak dermawan, berani dan kesatria, maka hal ini
disebabkan karena ia telah dibesarkan dalam suatu
lingkungan masyarakat bertipe feodalistik, tetapi jika ia
menjadi orang yang haus uang hal ini disebabkan
karena ia telah dididik dalam masyarakat borjuis.
3) Biologisme adalah sebuah paham yang menganggap
bahwa modal manusia dibentuk nafsu. Hal ini sama
dengan pandangan Sigmun Freud yang menganggap

110 | Kritik Ideologi Pendidikan


bahwa manusia pada dasarnya dikendalikan oleh
libidonya.
Melihat proses pembentukan modal manusia di atas,
nampak jelas teori modal manusia merupakan salah satu
konsep yang paling penting di dunia pendidikan. Secara
eksklusif, teori modal manusia sangat berpengaruh dalam
bidang pendidikan karena ini dianggap sangat berperan
dalam perkembangan pendidikan dan kemajuan suatu
institusi pendidikan. Oleh karena itu, institusi-institusi
pendidikan yang ingin memakmurkan dan
mensejahterahkan masyarakat harus memperhatikan dan
mengembangkan secara serius modal manusia yang
dimilikinya. Pengembangan modal manusia adalah sebuah
bentuk investasi dan merupakan tuntutan dari pendidikan
modern yang merupakan kunci dari perkembangan
masyarakat (Sugiono, 2012).
Teori modal manusia adalah konsepsi yang berusaha
untuk mengaitkan peran manusia dengan pentingnya
institusi pendidikan, sebagai bagian dari upaya untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar perkembangan
dan kebutuhan masyarakat serta memberi alasan tentang
mengapa sebuah negara mampu menghasilkan kekayaan
dan mensejahterahkan rakyatnya. Oleh karena itu, dapat
dimaknai bahwa modal manusia sebenarnya bukanlah
sebuah konsep baru dalam dunia pendidikan. Peran modal
manusia adalah sebagai penentu dalam dunia pendidikan
dan telah menjadi perhatian utama dalam institusi
pendidikan secara klasik. Dalam perkembangan pemikiran
pendidikan secara klasik ke pemikiran pendidikan secara
modern terdapat pergeseran makna yang sangat besar

Kritik Ideologi Pendidikan | 111


mengenai peran manusia dalam institusi pendidikan, yaitu
pemikiran pendidikan secara klasik cenderung memiliki
karakter humanis dan memberikan peran agency kepada
manusia, sedangkan pemikiran pendidikan secara modern
cenderung berangkat dari pemahaman yang kapitalis dan
instrumental tentang manusia dalam institusi pendidikan
(Sugiono, 2012).
Teori modal manusia sebagai sumber daya manusia
yang menekankan pada pentingnya kualitas dan kuantitas
untuk mendorong para teoretisi modal manusia untuk
mengasosiasikan modal manusia dengan pendidikan.
Institusi pendidikan sudah dipercaya sebagai tempat untuk
membangun modal manusia, sehingga negara harus
mengalokasikan sumber daya yang sangat besar pada
institusi pendidikan. Institusi pendidikan dipercaya dapat
menghasilkan keuntungan ganda baik secara individu
maupun kolektif, yaitu secara individu dapat
meningkatkan pendidikan, sedangkan secara kolektif
dapat meningkatkan taraf pendidikan dalam masyarakat
dan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang sangat
cepat.
Dalam pendidikan nasional, modal manusia sangat
berkaitan dengan kualitas yang bersumber pada
pendidikan formal, yang outputnya adalah pengetahuan
dan keterampilan teknis, sedangkan dalam pendidikan
internasional menuntut masyarakat untuk memberi
perhatian pada pendidikan informal, yaitu pengalaman
dan keterampilan yang diperoleh dari interaksi sosial
dalam kerangka kultural yang berbeda-beda. Oleh karena
itu, secara esensial modal manusia yang kosmopolitan

112 | Kritik Ideologi Pendidikan


adalah sumber daya manusia yang berpendidikan dan
memiliki keterampilan serta pengalaman yang
memungkinkan individu untuk bekerja dengan baik dalam
lingkungan yang berbeda (Sugiono, 2012).
Di institusi pendidikan, modal manusia sangat erat
dan lebih luas kaitannya dengan kosmopolitan daripada
pendidikan formal. Kesadaran pluralistas dan pentingnya
menghargai pluralitas seringkali berkembang tidak di
ruang kelas, melainkan melalui pengalaman personal di
lingkungan masyarakat. Oleh karena itu, pengembangan
modal manusia yang kosmopolitan harus memberikan
ruang yang sangat besar bagi munculnya interaksi sosial
yang multikultural. Meskipun demikian, pentingnya
pengalaman secara individu dalam pengembangan modal
manusia yang kosmopolitan tidak menjadikan kebutuhan
institusi pendidikan hilang atau berkurang karena institusi
pendidikan tetap menjadi bagian penting, sekalipun bukan
yang terpenting, dalam pengembangan modal manusia
yang kosmopolitan (Sugiono, 2012).
Tujuan institusi pendidikan bagi pengembangan
modal manusia yang kosmopolitan bukanlah semata-mata
sebuah proses yang menghasilkan tenaga kerja yang
diperlukan di masyarakat, yaitu pengetahuan,
keterampilan dan keahlian individu yang dibutuhkan
dalam duni kerja atau individu-individu yang mampu
mendorong dan menghasilkan barang dan jasa. Institusi
pendidikan adalah sebuah lembaga yang diwajibkan
mampu menghasilkan individu yang memiliki visi
kosmopolitan dan mampu membuka cakrawala dan mind-
set yang memungkinkan individu-individu tersebut untuk

Kritik Ideologi Pendidikan | 113


bukan hanya bisa menerima tetapi juga sangat menghargai
pluralitas sebagai sebuah berkah, bukan masalah (Sugiono,
2012).
Tidak dapat dipungkiri bahwa mewujudkan institusi
pendidikan menjadi lebih kosmopolitan bukanlah
pekerjaan yang mudah. Banyak hambatan yang dihadapi
dalam upaya reorientasi pendidikan konsmopolitan.
Tantangan yang paling awal kita hadapi adalah politik
karena politik akan menghadapkan kita kepada kelompok-
kelompok yang secara ideologis nasionalis yang melihat
pendidikan sebagai sarana untuk menghasilkan warga
negara yang patriotis dan nasionalis. Selain itu, tantangan
politis ini juga semakin besar dalam kaitannya dengan
benturan kultural maupun religius. Oleh karena itu,
banyak orang yang meragukan dan bersikap skeptis
terhadap reorientasi pendidikan ini. Menurut mereka
pendidikan dalam kerangka kosmopolitan yang
berorientasi pada perubahan visi dan sikap yang
cenderung sangat normatif, sehingga mereka mengaggap
tidak memungkinkan dilakukannya pengukuran dan
standarisasi terhadap hasil pendidikan karena pendidikan
berkaitan dengan prestasi (Sugiono, 2012).
Kritik terhadap ideologi pendidikan yang mengarah
pada pengembangan modal manusia yang kosmopolitan
tidaklah terlalu sulit untuk kita respon. Jika kita melihat
dari sudut pandang politik, tidak ada kontradiksi antara
gagasan kosmopolitanisme dengan nasionalisme karena
keduanya bukanlah kutub yang berseberangan dalam
sebuah institusi pendidikan. Dalam sejarahnya, kita bisa
melihat bahwa seorang visioner kosmopolitan dapat hidup

114 | Kritik Ideologi Pendidikan


berdampingan dengan seorang visioner nasionalis tanpa
harus menghancurkan salah satunya. Lebih jauh lagi,
terdapat beberapa bukti sejarah perubahan politik yang
terjadi di Indonesia pada tahun 1998, runtuhnya negara-
negara sosialis pada akhir tahun 1980an, dan
perkembangan kontemporer politik di Timur Tengah saat
ini secara jelas menunjukkan bahwa individu tidak bisa
hidup hanya dengan ideologi nasionalis. Oleh karena itu,
individu dan kelompok akan memberontak dan melawan
tindakan represi melalui politik yang dilakukan oleh para
pemimpin meskipun atas nama kepentingan nasional
(Sugiono, 2012).
Kosmopolitanisme penting dalam institusi
pendidikan karena merupakan pemikiran yang kritis
terhadap adanya ideologi yang berusaha untuk
melemahkan konsep modal manusia yang dominan saat
ini. Dilihat dalam perspektif ini, ideologi kosmopolitan
menawarkan gagasan mengenai modal manusia yang
sangat berbeda. Perbedaan ideologi tersebut dapat dilihat
secara esensial mengenai modal manusia yang dibangun di
atas dua dasar, yaitu [1] modal manusia yang
kosmopolitan mengembalikan posisi dan signifikansi
individu sebagai agensi dan tujuan (nilai) dalam institusi
pendidikan, bukan instrumen untuk tujuan atau nilai yang
lain dan [2] modal manusia yang kosmopolitan mendorong
munculnya solidaritas dan empati individual terhadap
sesamanya sebagai bagian dari umat manusia secara
keseluruhan dalam institusi pendidikan (Sugiono, 2012).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kosmopolitanisme

Kritik Ideologi Pendidikan | 115


memperjuangkan eksistensi dan esensi individu dalam
institusi pendidikan yang telah terstruktur.
B. Lahirnya Kesadaran Kritis Institusi Pendidikan
Lahirnya kesadaran kritis dalam institusi pendidikan
dipengaruhi oleh dua pandangan dasar, yaitu language of
critique dan language of possibility. Language of critique berarti
mengembangkan bahasa kritik dalam pendidikan. Bahasa
kritik di sini menyangkut pada tiga hal, yaitu [1]
mengembangkan budaya kritis dalam mempelajari teks,
artinya semua teks yang dipelajari ditempatkan di atas
meja kritisisme, [2] membangun budaya kritik dalam relasi
antar civitas akademik dalam institusi pendidikan, dan [3]
membangun institusi pendidik sebagai media kritis atas
realitas sosial, terutama menyangkut semakin
pragmatisnya pendidikan. Sedangkan language of possibility
berarti mengembangkan bahasa positif dan konstruktif
dalam pendidikan (Tabrani, 2014). Selain itu, institusi
pendidikan juga perlu menawarkan metode-metode
alternatif dalam melihat persoalan sosial dalam institusi
pendidikan, yaitu dekonstruksi pendidikan dan
rekonstruksi pendidikan. Oleh karena itu, kesadaran kritis
dapat memberikan alternatif untuk memecahkan masalah
dan persoalan yang dikritik dalam institusi pendidikan.
Selain itu, kritik institusi pendidikan juga berasal dari
Illich, seorang filsuf pendidikan, yang menganggap bahwa
lembaga pendidikan telah menjadi sebuah komoditas yang
produksinya dimonopoli, dibatasi distribusinya dan
dinaikkan harganya jauh di atas kemampuan masyarakat
miskin (Illich, 1982). Sekolah tumbuh menjadi institusi
pendidikan yang membagi masyarakat ke dalam kelas-

116 | Kritik Ideologi Pendidikan


kelas sosial yang sangat tidak egaliter. Sekolah menjadi
institusi pendidikan dalam era industri sedemikian
mekanistik dan memperkurus kemanusiaan. Intitusi
pendidikan hanya merupakan lembaga yang mereproduksi
ideologi-ideologi kapitalisme. Institusi pendidikan akan
membuka pintu bagi sejumlah pengetahuan yang morat-
marit di pasar bebas, yang akan membawa kita semua ke
sebuah paradok meritokrasi (sistem penjenjangan
berdasarkan prestasi) yang vulgar yang mesti terasa seakan
egaliter (Zulfatmi, 2013).
Institusi pendidikan merupakan sarana umum yang
palsu, meskipun sekilas institusi pendidikan memberi
kesan terbuka terhadap semua orang yang datang ke
sekolah, tetapi dalam kenyataannya institusi pendidikan
hanya terbuka kepada mereka yang terus-menerus
memperbarui surat kepercayaan mereka. Oleh karena itu,
struktur pendidikan diibaratkan seperti Jalan Tol bagi
mereka yang mampu membayar biaya pendidikan, maka
mereka akan dengan leluasa masuk pada institusi
pendidikan dan menikmatinya, tetapi bagi mereka yang
tidak mampu membayar memiliki kesempatan untuk
memperoleh pengetahuan di institusi pendidikan. Ini
diakibatkan karena mahalnya biaya pendidikan (Illich,
1982).
Ketidakadilan di institusi pendidikan ditunjukkan
melalui kebijakan dalam institusi itu sendiri, yaitu
mayoritas anak-anak dan golongan kelas menengah atas
akan masuk ke dalam institusi pendidikan yang bermutu
tinggi dan akan menempati golongan kelas sosial yang
sama dalam masyarakat ketika mereka dewasa, sedangkan

Kritik Ideologi Pendidikan | 117


anak-anak dari golongan kelas menengah bawah akan
memasuki institusi pendidikan yang bermutu rendah dan
akan tetap menempati posisi kelas sosial yang sama dalam
masyarakat ketika dewasa. Hal ini disebabkan karena
perbedaan kualitas pendidikan yang mereka peroleh,
misalnya anak-anak kelas menengah atas dengan modal
ekonomi yang mereka miliki dapat mengakses pendidikan
yang baik dari sisi kualitas guru, fasilitas belajar,
manejemen sekolah, dan lain sebagainya. Bahkan mereka
dapat memperoleh pendidikan yang bermutu di luar
institusi pendidikan seperti mengikuti berbagai les-les dan
kursus yang membantu meningkatkan kualitas akademik
mereka. Sebaliknya, anak-anak kelas menengah bawah
dengan modal ekonomi yang serba terbatas tidak dapat
mengakses pendidikan yang bermutu, apalagi mengikuti
les-les tambahan di luar sekolah (Tabrani, 2014).
Hingga akhir ini, institusi pendidikan masih
dibiarkan berjalan seperti ini, sehingga institusi pendidikan
mempunyai kontribusi dalam mereproduksi posisi peserta
didik dan mempertahankan hierarki kelas sosial di
masyarakat. Dalam konteks ini, Institusi pendidikan hanya
berfungsi sebagai kekuatan reproduktif, tidak menjadi
kekuatan produktif yang memungkinkan terjadinya
mobilitas kelas sosial melalui institusi pendidikan.
Kebijakan ini menempatkan institusi pendidikan hanya
dalam satu perspektif atau monolitik, seolah-olah
pendidikan hanya untuk melayani kepentingan
masyarakat dominan dan melanggengkan struktur sosial
yang ada. Padahal pendidikan selalu berwajah ganda
dapat melayani kepentingan masyarakat dominan dan

118 | Kritik Ideologi Pendidikan


sekaligus dapat melayani kepentingan masyarakat
subordinat. Artinya, pendidikan sebenarnya memiliki
kekuatan represif dan sekaligus liberatif, adaptif dan
sekaligus transformatif (Tabrani, 2014).
Institusi pendidikan sekarang ini menyerupai sebuah
pabrik yang menjadikan peserta didik sebagai bahan baku,
lalu mengubah mereka menjadi produk pekerja yang
dibutuhkan oleh kapitalisme. Untuk menjadi produk yang
lulus dan bersertifikat, peserta didik harus sesuai dengan
kriteria-kriteria yang mereka butuhkan. Oleh karena itu,
institusi pendidikan mengalienasikan peserta didik dari jati
diri mereka sendiri. Dengan janji bahwa, orang yang
masuk ke dalam lembaga pendidikan akan mendapatkan
kesuksesan dan terjamin keberlangsungan hidupnya,
sehingga industri pendidikan menjadi seperti “agama
baru” yang menjanjikan keselamatan (Illich, 1982).
Institusi pendidikan menjadi agama baru atau ritual
yang diperlukan untuk ambil bagian dalam masyarakat,
dan menjadi sarana untuk mendapatkan penyelamatan
sekuler bagi mereka yang terlantar dalam pendidikan. Oleh
karena itu, institusi pendidikan saat ini menjalankan tiga
fungsi umum agama sepanjang sejarahnya, yakni “[1]
menjadi gudang mitos masyarakat, [2] pelembagaan
kontradiksi dalam mitos tersebut, dan [3] lokus ritual yang
memproduksi serta menyelubungi perbedaan antara mitos
dan realitas” (Palmer, 2003, p. 331).
Illich menyadari bahwa bagi sebagian besar manusia,
hak belajar mereka dipersempit menjadi kewajiban
bersekolah. Intitusi pendidikan mengelompokkan orang
menurut umur, pengelompokan ini didasarkan pada tiga

Kritik Ideologi Pendidikan | 119


premis yang diterima begitu saja, anak hadir di sekolah,
anak belajar di sekolah, dan anak hanya bisa diajar di
sekolah (Illich, 1982). Adanya kewajiban pendidikan bagi
setiap warga negara membuat peserta didik terbiasa
melihat proses belajar bukan sebagai proses mengerti dan
memahami, namun sebagai sesuatu yang dikonsumsi,
disimpan, dihitung dan dihargai setara dengan nilai orang
dalam masyarakat.
Kewajiban bersekolah juga secara tidak terelakkan
membagi suatu masyarakat dan negara ke dalam kutub-
kutub yang saling bertentangan. Misalnya menentukan
peringkat negara-negara di dunia menurut sistem kasta
internasional. Semua negara diurutkan seperti pada sistem
kasta di mana posisi setiap negara di bidang pendidikan
ditentukan berdasarkan jumlah tahun rata-rata rakyatnya
bersekolah, suatu ukuran yang terkait erat dengan produk
nasional bruto per kepala, dan itu menyakitkan (Illich,
1982). Kesempatan yang sama untuk memperoleh
pendidikan memang merupakan sasaran yang sangat
didambakan dan dapat dilaksanakan, tetapi
mengidentikkan hal ini dengan kewajiban bersekolah
merupakan suatu kekeliruan yang mirip dengan anggapan
bahwa keselamatan sama dengan tempat ibadah.
Wajib pendidikan sembilan tahun di institusi
pendidikan telah membagi masyarakat menjadi dua
bidang, yaitu profesi bersifat akademis (profesional) dan
profesi yang lain tidak akademis (non-profesional). Orang
yang dapat menyelesaikan pendidikan melalui institusi
pendidikan disebut professional, sedangkan bagi yang
tidak melalui institusi pendidikan disebut non-profesional.

120 | Kritik Ideologi Pendidikan


Institusi pendidikan menjejalkan asumsi kepada
masyarakat bahwa pendidikan hanya berharga bila
diperoleh melalui institusi pendidikan, yaitu lewat proses
konsumsi berjenjang (kelas 1, naik ke kelas 2, dst). Peserta
didik belajar bahwa derajat keberhasilan individu yang
akan dinikmati dalam masyarakat bergantung pada
seberapa besarkah Ia mengonsumsi pelajaran. Illich
mengecam institusi pendidikan yang seperti ini karena di
dalamnya berlangsung dehumanisasi yaitu proses
pengikisan martabat kemanusiaan karena struktur
pendidikan telah terasing dari kehidupan nyata. Institusi
pendidikan yang tidak lebih sekedar mentransfer ilmu atau
pengajaran telah membunuh kehendak banyak orang
untuk belajar secara mandiri.
Institusi pendidikan sebagai tempat untuk
mendoktrin anak-anak bahwa pengajaran menghasilkan
kegiatan belajar. Ketika kita belajar membutuhkan institusi
pendidikan, semua kegiatan kita cenderung berbentuk
relasi klien dengan institusi pendidikan. Namun, ketika
seseorang yang mengajar dirinya sendiri disepelekan dan
semua kegiatan non-profesional diragukan. Institusi
pendidikan sebagai lembaga yang menghasilkan dan
memasarkan pengetahuan menjadikan masyarakat
mengasumsikan bahwa pengetahuan itu higienis, murni,
memberi dampak yang berarti, yang dihasilkan oleh kepala
manusia dapat dipaket-paket atau dikemas-kemas,
sehingga dengan alasan itu institusi pendidikan itu adalah
sesuatu yang wajib. Orang-orang harus mengikuti
pendidikan secara struktural karena meyakini bahwa

Kritik Ideologi Pendidikan | 121


belajar mandiri itu adalah sesuatu yang dikucilkan
(diksriminatif) (Zulfatmi, 2013).
Desain pendidikan yang terstruktural melatih
imaginasi peserta didik untuk menerima ijazah bukan
sebagai nilai. Struktur pendidikan mengajarkan kita bahwa
kegiatan belajar yang bernilai adalah hasil kehadiran di
institusi pendidikan, nilai belajar meningkat bersamaan
dengan jumlah masukan (input), dan nilai ini dapat diukur
dan didokumentasikan oleh angka rapor dan sertifikat.
Nilai-nilai yang telah dilembagakan yang ditanamkan di
sekolah merupakan nilai yang bisa dikuantifikasi. Sekolah
memasukkan orang ke suatu dunia di mana segala sesuatu
dapat diukur, termasuk imajinasi mereka, dan juga
manusia itu sendiri. Padahal perkembangan pribadi bukan
hal yang dapat diukur. Di sisi lain, institusi pendidikan
mensyaratkan peraturan yang sangat ketat berupa waktu,
tempat, bentuk kegiatan, dan tujuan belajar. Oleh karena
itu, jenis pendidikan ini tidak berarti pendidikan yang baik
karena mengekang kebebasan peserta didik (Illich, 1982).
Kaya maupun miskin semuanya tunduk pada
institusi pendidikan yang menentukan arah hidup,
membentuk pandangan hidup, dan menetapkan apa yang
wajar dan tidak bagi mereka. Orangtua yang miskin,
menginginkan anaknya masuk ke dalam institusi
pendidikan, tetapi kurang peduli akan apa yang ingin
anak-anak mereka pelajari. Mereka lebih peduli akan nilai
dan ijazah yang akan mereka dapatkan setelah melalui
institusi pendidikan. Sedangkan, orangtua dari kelas
menengah menyerahkan anak mereka ke dalam asuhan
guru supaya anaknya tidak sampai mempelajari apa yang

122 | Kritik Ideologi Pendidikan


dipelajari anak-anak miskin di jalanan. Kebanyakan peserta
didik dari kalangan keluarga miskin secara intuisi
mengetahui apa yang telah dilakukan oleh sekolah-sekolah
terhadap mereka, yaitu membingungkan mereka tentang
proses dan substansi sehingga segala sesuatu menjadi
kabur. Sehingga anak-anak di institusi pendidikan bingung
apa yang seharusnya mereka akan peroleh antara mengajar
dengan belajar, antara tingkat kemajuan dengan
pendidikan, antara ijazah dengan kompetensi, atau antara
kelancaran dengan adanya kemampuan untuk menyatakan
sesuatu yang baru (Illich, 1982).
Di sekolah-sekolah yang sama mutunya seorang
murid miskin jarang mengimbangi murid kaya. Bahkan
kalaupun mereka belajar pada sekolah yang setaraf dan
masuk pada umur yang sama, murid-murid miskin itu
tidak memiliki kesempatan belajar sama seperti murid-
murid kelas menengah. Kelebihan yang dimiliki anak kelas
menengah ini nampak pada percakapan, buku-buku yang
dimilikinya di rumah sampai pada masalah pergi berlibur
dan pandangan terhadap diri sendiri; dan ini berlaku bagi
anak yang menikmati semua itu, baik di sekolah maupun
di luar sekolah. Dengan demikian, anak yang lebih miskin
pada umumnya akan ketinggalan selama Ia tergantung
pada pendidikan sekolah untuk memperoleh kemajuan
dan pengetahuan (Illich, 1982, p. 17).
Illich menyoroti legitimasi yang diberikan secara
terstruktur di institusi pendidikan terhadap keterampilan
yang dimiliki oleh seseorang yang telah lulus dari sekolah.
Orang yang telah mengenyam pendidikan secara
struktural dianggap telah memiliki keterampilan yang

Kritik Ideologi Pendidikan | 123


memadai yang ditandai dengan diberikannnya ijazah oleh
institusi pendidikan. Ini berdampak pada monopoli
institusi pendidikan pada semua struktur sosial dalam
masyarakat yang seharusnya tidak dilakukannya. Siapa
pun yang tidak setuju dengan kebijakan ini maka akan
disingkirkan dari struktur sosial masyarakat khususnya
dunia kerja. Banyak hal yang kita tidak tahu dan apa yang
terjadi dalam institusi pendidikan, bisa jadi institusi
pendidikan hanya melayani kepentingan segelintir
masyarakat yang konsumtif-konsumeristik dengan
mencetak serta memasok tukang-tukang yang bisa
diberikan instruksi untuk berbuat sesuai dengan keinginan
institusi pendidikan atau pemerintah. Kebijakan ini seolah
membodohi masyarakat karena mereka telah dipaksa
untuk selalu tunduk pada diskriminasi yang didasarkan
atas sertifikat atau ijazah mengenai keterampilan yang
dimiliki seseorang.
Banyak orang beranggapan keliru bahwa institusi
pendidikan memberikan jaminan prestasi belajar yang
memadai pada masyarakat. Namun institusi pendidikan
yang semestinya memeratakan kesempatan belajar,
ternyata memonopoli kreativitas peserta didik. Oleh karena
itu, di beberapa negara kaya kebanyakan orang-orang lebih
banyak belajar di luar sekolah karena bagi mereka institusi
pendidikan merupakan penjara bagi sebagian besar masa
hidup mereka. Pengetahuan dan keadilan tidak bisa
dikembangkan melalui institusi pendidikan karena para
pendidik berusaha mengaitkan pengajaran dan ijazah.
Pengetahuan dan kedudukan seseorang dalam masyarakat
dicetak dalam institusi pendidikan. Misalnya belajar berarti

124 | Kritik Ideologi Pendidikan


menuntut suatu keterampilan atau pemahaman yang baru,
sedangkan kenaikan kelas dan kelulusan tergantung pada
pandangan yang sudah dibentuk oleh guru (Illich, 1982).
Oleh karena itu, orang-orang telah dipaksa untuk
selalu tunduk pada struktur pendidikan demi memperoleh
ijazah agar keterampilan yang mereka miliki mendapat
legitimasi dalam masyarakat. Di sisi lain, perguruan tinggi
yang tugasnya memasok guru-guru berijazah atau berasal
dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
seringkali dikritik karena ketidakmampuannya
menyiapkan lulusan yang berkualifikasi dan kompeten di
bidangnya. Perguruan tinggi ini dituding melahirkan
lulusan yang setengah-setengah karena memiliki dosen-
dosen yang kemampuannya juga setengah-setengah.
Bahkan ada alumni yang tidak pantas menjadi guru tetapi
tetap jadi guru, dan ada pula dosen yang tidak pantas jadi
dosen tetapi tetap jadi dosen. Kritik Illich ini relevan
dengan permasalahan pendidikan yang dihadapi di
Indonesia. Selain itu, permasalahan ini masih digodok oleh
decision maker yang berhubungan dengan sertifikasi guru.
Sistem pendidikan Indonesia mengalami problematis
seperti yang pernah dilaporkan dalam salah satu TV
swasta bahwa guru yang telah benar-benar memenuhi
syarat mendapatkan sertifikasi hanyalah sekitar 31%.
Realitas pendidikan yang ada di Indonesia tidak
semuanya sama dengan realitas yang dihadapi Illich pada
waktu itu karena bisa jadi kondisi yang dihadapi di
Indonesia lebih memprihatinkan. Kita bisa melihatnya
pada kebijakan sertifikasi guru di Indonesia yang dianggap
ada unsur diskriminasi di dalamnya. Selain itu, pendidikan

Kritik Ideologi Pendidikan | 125


tinggi juga menyediakan jual beli gelar yang illegal melalui
program kuliah jarak jauh yang mempersingkat waktu
untuk mendapatkan gelar. Oleh karena itu, ijazah yang
diperoleh dari program kuliah seperti ini berangkat dari
logika “semakin banyak uang maka semakin singkat waktu
kuliah yang bisa ditempuh”. Tidak menutup kemungkinan
orang-orang yang terlibat dalam jual beli ijzah ini telah
menjadi guru dan mejadi bagian dalam sistem
pemerintahan. Melihat kondisi tersebut, institusi
pendidikan telah kehilangan esensinya sebagai lingkungan
ilmiah karena justru melahirkan genarasi penipu. Maka
kita tidak heran jika para lulusan dari institusi pendidikan
seperti ini tidak mempunyai kompetensi pedagogis yang
seharusnya dimiliki oleh seorang guru dan dosen.
Berdasarkan pada persoalan di atas, kita perlu
melihat pandangan Freire yang menyatakan bahwa
kesadaran kritis terhadap institusi pendidikan merupakan
suatu kewajiban bagi kita dalam melakukan sebuah
tindakan dan analisis terhadap sekolah dan perguruan
tinggi. Kesadaran kritis adalah suata hal yang wajar dan
perlu kita miliki, tapi itu tidaklah cukup tanpa melakukan
sebuah tranformasi pendidikan. Oleh karena itu, kita perlu
melakukan tindakan praktis dalam pencapaian tujuan
pembebasan dan perubahan dalam institusi pendidikan.
Kesadaran kritis ini didasarkan pada konsepsi hubungan
dialektis antara dunia pendidikan dengan kesadaran
manusia seperti kebudayaan dan realitas sosial. Proses
pembentukan kesadaran kritis tidak hanya sekedar teknik
atau sekedar transfer informasi yang dilakukan oleh guru
kepada muridnya, tetapi suatu proses penyadaran yang

126 | Kritik Ideologi Pendidikan


dilakukan dengan menggunakan metode dialogis, yaitu
subjek dengan subjek (guru dengan murid) yang kemudian
akan mengantarkan manusia untuk mampu memecahkan
masalah eksistensial mereka (Freire, 2013).
Hal ini menandakan bahwa kesadaran kritis melihat
institusi pendidikan sebagai realitas sosial secara ilmiah
karena oaring-orang yang terlibat di dalamnya harus
memahami suatu sistem dan struktur pendidikan secara
komprehensif dan mengakar sampai pada faktor dasar
tentang bagaimana mereka menyadari realitas sosial yang
terjadi dalam institusi pendidikan. Pada umumnya
kesadaran kritis dalam pendidikan lahir dari konsep
humanis karena yang dibentuk dalam institusi pendidikan
adalah manusia yang tentunya juga harus mengedepankan
kemanusiaan dibandingkan struktur pendidikan. Manusia
sendirilah yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam
institusi pendidikan karena manusia tidak mengada secara
terpisah dari realitas dunianya, tetapi manusia mengada
dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia
(Sartre, 2002). Realitas itulah yang harus diperhadapkan
pada peserta didik supaya ada kesadaran kritis. Pedagogi
kritis ini didasarkan pada pemahaman bahwa peserta didik
memiliki potensi dan kreativitas untuk berkreasi dan
membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi, dan
politik (Schipani, 1988).
Dalam menumbuhkan kesadaran kritis, pertama-
tama guru dan murid harus bekerjasama dalam
menemukan dan menyerap permasalahan yang akan
dijadikan batas kajian. Permasalahan tersebut dijadikan
sebagai tema-tema kunci dalam diskusi dengan

Kritik Ideologi Pendidikan | 127


memperhatikan berbagai dampak yang ditimbulkan serta
keterkaitan tema-tema kunci dengan ide pokok diskusi.
Dengan proses demikian, peserta didik mengalaminya
secara langsung sehingga mereka dapat mendalami
masalah tersebut dengan cara meberikan sebuah solusi
yang diucapkan dalam bahasanya sendiri. Inilah yang
disebut oleh Freire menamai dunia dengan bahasa sendiri.
Metode dialogis ini dapat membatu peserta didik dalam
menumbuhkan kesadaran kritis karena mereka dapat
mengucapkan kata-kata sendiri kemudian dieja dan ditulis.
Metode pembelajaran ini perlu dikembangkan agar peserta
didik dapat merangkai kata-kata dari hasil penamaannya
sendiri terhadap realitas sosial yang Ia alami.
Membangkitkan kesadaran kritis pada peserta didik
haruslah dimulai dari gurunya, yaitu guru harus memulai
dari yang berkaitan dengan pandangan dirinya terhadap
realitas dunianya atau keadaan lingkungan di sekitarnya.
Karena pandangan atau persepsi guru terhadap dirinya
dan lingkungannya (alam realitas) akan berpengaruh
secara singnifikan terhadap tindakan (perilaku) dalam
proses pembelajaran. Oleh karena itu, apabila kesadaran
kritis telah mampu dikuasai oleh guru maka akan dengan
mudah diturunkan pada muridnya. Dalam analisis Freire,
ada dua kesadaran yang menjadi turunan dari kesadaran
kritis. Dua kesadaran tersebut adalah kesadaran magis dan
kesadaran naif (Freire, 2013).
1. Kesadaran Magis
Kesadaran magis adalah kesadaran pada peserta
didik yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor
dengan faktor lainnya. Kesadaran magis sendiri lebih

128 | Kritik Ideologi Pendidikan


melihat faktor di luar peserta didik sebagai penyebab dari
penindasan atau ketidak berdayaan (Sutri, 2011).
Kesadaran ini pada umumnya terjadi dalam masyarakat
berbudaya bisu atau masyarakatnya tertutup. Ciri
kesadaran ini adalah anggota masyarakatnya memiliki sifat
fatalistik karena hidup mereka ada di bawah kekuasaan
orang lain atau hidup dalam ketergantungan. Kesadaran
yang dimiliki oleh masyarakat yang berbudaya bisu
bersifat fatalistik dan selalu hidup dalam ketergantungan
terhadap orang lain walaupun Ia sebenarnya tahu bahwa
dirinya dalam kondisi yang tertindas. Kondisi ini
dilanggengkan oleh penindas dengan cara mencegah
orang-orang dari kesadaran kritis. Oleh karena itu, mereka
tetap terikat dengan penjelasan magis dan membatasi
kegiatan-kegiatan yang sekedar menerima secara pasif.
Misalnya, peserta didik miskin tidak mampu melihat
kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik
dan kebudayaannya (Yunus, 2004).
Kesadaran magis ditandai dengan dua orientasi
dasar, yaitu menyerahkan fakta-fakta pada penguasa
untuk menjelaskan mengapa segalanya seperti ini dan
pandangan yang sederhana tentang hubungan kausalitas.
Orientasi inilah yang kemudian membuat masyarakat
terjebak dalam tingkat kesadaran magis dan terperangkap
dalam mitos inferioritas alamiah. Oleh karena itu, mereka
tidak mampu melawan atau mengubah realitas di mana
mereka hidup, justru mereka menyesuaikan diri dengan
realitas yang ada. Kesadaran magis menyebabkan manusia
membisu, menceburkan diri ke lembah kemustahilan
untuk melawan kekuasaan. Masyarakat yang masih berada

Kritik Ideologi Pendidikan | 129


pada kondisi ini tidak akan bisa mengobjektifikasi fakta
dan kehidupan sehari-hari yang sebetulnya menindas
karena mereka tidak memiliki persepsi struktural yang
membentuk dan terus membentuk persepsi berdasarkan
realitas sosial yang dialaminya. Oleh karena persepsi
strukturalnya kurang, maka bagi mereka kenyataan adalah
super realitas atau sesuatu yang berada di luar kenyataan
objektif (Freire, 2007).
Lebih jauh lagi, Freire menyebut bahwa orang yang
masih berada pada tahap kesadaran magis menganggap
hari ini biasa-biasa saja dan hari esok adalah bentuk
pengulangan hari sekarang. Hal ini menunjukkan bahwa
orang yang berada pada tahap kesadaran magis selalu
pasrah pada kenyataan, memandang masa depan sebagai
suatu hal yang sudah pasti dan tidak bisa dirubah lagi
(Freire, 2007). Pandangan seperti inilah yang kemudian
melahirkan masyarakat bisu karena mereka menganggap
melawan kekuasaan sama halnya dengan menceburkan
diri ke lembah kemustahilan dan kesengsaraan. Mereka
tidak akan mengakui bahwa mereka memiliki masalah,
justru mereka berusaha untuk menutupi masalah itu
dengan cara meletakkan masalah di waktu dan tempat
yang lain. Seraya berkata, kami tidak pernah menghadapi
masalah seperti ini, segalanya sudah sejak dari dulu
berjalan seperti ini karena pemerintah atau penguasa tidak
ingin melangkah lebih maju. Orang-orang seperti ini
menggantungkan nasibnya pada penguasa atau negara dan
mereka seolah tidak bisa berbuat apa-apa tanpa kendali
penguasa. Oleh karena itu, mereka sudah terpisah dari
eksistensinya sebagai subjek aktif di dunia (Freire, 2013).

130 | Kritik Ideologi Pendidikan


Orang seperti ini seolah menunjukkan bahwa seluruh
hidupnya hanya terpusat pada kebutuhan hidup dan cara
bertahan hidup secara individual, dan dia tidak memiliki
kesadaran kritis, jiwa sosial dan sense of life dalam
pengertian yang lebih historis. Hanya dengan pengertian
ini, kesadaran semitransitif bisa mengetahui bagaimana
individu terpisah dari eksistensinya sebagai mahluk sosial
dan aktif (Smith, 2008). Keterpisahan ini dipahami sebagai
alienasi individu dari eksistensinya karena ada
kepentingan politik yang menghalangi kesadaran kritis
mereka untuk mengkritisi masalah sosial yang ada,
misalnya tingkat kesehatan yang rendah, mutu pendidikan
yang rendah, kemiskinan, pengangguran dan
permasalahan lainnya. Mereka bahkan berpikir hanya ada
sedikit kesempatan untuk berubah atau bahkan tidak ada
sama sekali keinginan bagi mereka untuk mengubah
keadaan tersebut meskipun mereka dapat mengubah
struktur sosial yang menindas, tapi mereka hanya sekedar
menjadi penonton dan penindas baru.
Pola berpikir seseorang yang masih berada pada
tahap kesadaran magis cenderung menyerahkan nasibnya
pada segala sesuatu yang sifatnya mistik atau di luar
kesadarannya, sehingga mereka hanya mengambil sebuah
tindakan yang fatalistik. Misalnya, mereka
menggantungkan diri secara total pada Tuhan, alam dan
penindas. Oleh karena itu, jika terjadi suatu penyimpangan
sosial, satu-satunya yang mereka anggap logis adalah
penarikan diri dan menjauh dari keadaan serta
menyesuaikan dengan kehidupan yang ada karena jalan
terakhir mereka adalah menunggu segalanya akan berubah

Kritik Ideologi Pendidikan | 131


dengan sendirinya. Oleh karena itu, kita dapat memastikan
bahwa orang yang memiliki kesadaran magis lebih melihat
faktor di luar manusia (natural maupun supra natural)
sebagai penyebab dari ketidakberdayaannya (Freire, 1984).
Lebih jauh lagi, dapat disimpulkan bahwa kesadaran
magis adalah dampak dari pendidikan konservatif
(Maragustam, 2010) yang dilakukan dengan cara peserta
didik hanya menerima materi pembelajaran secara
dogmatis dari guru tanpa ada mekanisme untuk
memahami makna ideologi dari setiap konsepsi tersebut.
Metode pendidikan seperti ini tidak dapat memberikan
kecerdasan, kreativitas, dan kemampuan menganalisis
pada peserta didik, sehingga mereka tidak memiliki
kemampuan intelektual untuk memahami kaitan antara
sistem dan struktur sosial yang berdampak buruk terhadap
kehidupan masyarakat. Pendidikan yang sifatnya
konservatif hanya menjadi wadah para guru untuk
bercerita pada murid-muridnya. Oleh karena itu, guru
menjadi subjek dan murid adalah objek. Guru menjelaskan
materi pelajaran tanpa mengaitkannya dengan konteks
sosial yang ada, seolah-olah realitas sosial itu adalah
sesuatu yang statis, atau guru menguraikan sebuah topik
pembelajaran yang sama sekali asing bagi pengalaman
eksistensial para peserta didik, sehingga Freire
menganalogikan metode pendidikan seperti ini dengan
pendidikan “gaya bank” (Freire, 2013).
2. Kesadaran Naif
Kesadaran naif adalah proses pergeseran kesadaran
magis sebagai tahap untuk maju selangkah yang dilakukan
dengan perubahan dari menyesuaikan diri dengan fakta-

132 | Kritik Ideologi Pendidikan


fakta kehidupan yang tidak terelakkan ke arah
memperbaharui penyelewengan-penyelewengan yang
dilakukan pendidik dan peserta didik dalam sebuah
institusi pendidikan yang pada dasarnya keras. Pada tahap
ini, mereka sudah mulai percaya bahwa jika mereka bisa
merubah perilakunya, maka institusi pendidikan akan
berjalan dengan baik. Meskipun demikian, orang-orang
pada tahap kesadaran naif menyederhanakan masalah
dengan melimpahkannya pada peserta didik sebagai
penyebab utama munculnya permasalahan, bukan pada
institusi pendidikan yang menaunginya (Smith, 2008).
Sehingga kesadaran naif dapat diartikan sebagai tingkat
kesadaran di mana manusia beranggapan bahwa
dirinyalah sebagai sumber dari permasalahan itu sendiri
atau dengan kata lain, aspek manusia menjadi akar
permasalahan dalam masyarakat (Yunus, 2004).
Pada kesadaran ini, peserta didik sudah mampu
merefleksikan dirinya, sadar akan keadaannya namun
belum dapat bicara atas nama kepentingannya. Peserta
didik sudah memiliki kemampuan dalam mengenali
realitas yang terjadi tetapi masih ditanggapi dengan sikap
yang primitif dan naif. Mereka juga sudah mulai sadar
bahwa situasinya menindas, namun situasinya belum
memungkinkan mereka untuk berjuang mandiri. Mereka
sadar bahwa dirinya (atau masyarakat dan negaranya)
berada dalam kondisi yang belum mandiri, sehingga pada
akhirnya mereka tidak berjuang. Mereka hanya dapat
menceritakan masa lalu, memperdebatkan persoalan,
berpolemik, selalu diselumuti emosional, dan berdebat
tetapi tidak dengan berdialog. Orang-orang pada tingkat

Kritik Ideologi Pendidikan | 133


ini menyederhanakan masalah dengan cara menimpakan
penyebabnya pada individu-individu, bukan pada sistem
itu sendiri.
Orang-orang yang memiliki kesadaran naif
memandang institusi pendidikan sebagai sesuatu yang
ideal dalam menyediakan norma atau aturan untuk menata
struktur dan sistem pendidikan. Oleh karena itu, peserta
didik memposisikan dirinya sebagai kaum tertindas karena
mereka tidak seperti kaum penindas yang dapat mengatur
dan menyusun struktur dan sistem pendidikan yang akan
diterapkan. Inilah yang Freire sebut dengan agresi
horisontal dan penghakiman terhadap kaum tertindas
(Smith, 2008). Sebaliknya, apabila peserta didik memiliki
jalur ini, maka jalur yang mereka pilih adalah melebur
dengan para penindas, bekerjasama, dan kedepannya akan
menjelma menjadi penindas baru. Kondisi seperti ini
disebut oleh Freire dengan “pemberian makan kepada
benalu penindas” karena mereka secara implisit
menyalahkan diri sendiri, orang lain atau kelompok
tertindas. Lebih jauh lagi, kaum tertindas
menginternalisasikan kepercayaan-kepercayaan tersebut
dan menjadikannya sebagai milik sendiri, sehingga secara
tidak langsung kaum tertindas melanggengkan ideologi
dan keyakinan kaum penindas (Smith, 2008).
Sebagai generasi penindas, mereka akan mengalami
hidup yang kontradiktif karena sebagai penindas baru
mereka justru menunjuk dirinya sebagai pihak ketiga yang
menganggap dirinya sebagai objek yang dikenai
perlakuan, bukannya sebagai subjek yang mampu
melakukan sesuatu. Meskipun mereka mengalami

134 | Kritik Ideologi Pendidikan


penindasan, mereka tetap memandang negatif kaum
tertindas karena mereka tidak percaya pada kemampuan
diri sendiri dan kelompoknya. Oleh karena itu, mereka
meyakini bahwa kesalahan mereka bertumpu pada dirinya
sendiri dan berkata “kami tidak tahu bagaimana harus
mengingat, kami tidak dapat berpikir, tidak ada pendahulu
yang mengajarinya, dan seolah-olah ini adalah kesalahan
nenek moyang mereka yang sejak dahulu tidak
memberikan pencerahan”. Mereka juga menyadari bahwa
ketidakadilan yang mereka alami seperti ekploitasi adalah
sesuatu yang salah, tetapi mereka tidak mampu
mengidentifikasi keadaan tersebut karena mereka masih
belum bisa melampaui batas dari sekedar menyalahkan
atau saling menyalahkan satu sama lainnya. Mereka
akhirnya dengan jelas melihat kegagalan-kegagalan karena
mereka tidak memiliki kekuatan-kekuatan besar dalam
sebuah sistem dan struktur yang memaksa kaum tertindas
maupun kaum penindas (Smith, 2008).
3. Kesadaran Kritis
Kesadaran kritis bersifat analisis sekaligus praksis
dan tahu ada masalah, dan berusaha untuk menyelesaikan
masalah. Peserta didik dianggap mampu memahami
persoalan sosial mulai dari pemetaan masalah, identifikasi
serta mampu menentukan unsur-unsur yang
mempengaruhinya. Kemudian mampu menawarkan
solusi-solusi. Puncak kesadaran kritis adalah “kesadaran
transformatif” yaitu tidak sekedar mau menyelesaikan
masalah, tetapi mau berubah. Antara ide, perkataan dan
tindakan serta progresifitas dalam posisi seimbang. Peserta
didik adalah agen yang berkesadaran, bukan sekedar

Kritik Ideologi Pendidikan | 135


orang yang punya kesadaran yang mampu menghindari
pemahaman yang simplistis terhadap habitus sosial, dan
mampu memahami dunia sekeliling melalui dekodifikasi,
problematisasi dan transformasi (Tabrani, 2014).
Uraian di atas menunjukkan bahwa peserta didik
adalah tipikal manusia yang berkesadaran kritis yang bisa
membedakan antara yang natural dan yang kultural.
Mereka juga menyadari bahwa dunia bukan sebagai
sesuatu yang “given”, sebagai dunia yang secara dinamis
berada dalam proses “menjadi”. Peserta didik adalah
manusia yang berkesadaran kritis yang tidak terjebak ke
dalam false consciousness, yaitu realitas sesuatu yang ideal
dan tidak bisa dirubah (Tabrani, 2014). Oleh karena itu,
munculnya kesadaran kritis atas kritik terhadap kesadaran
magis dan naif karena peserta didik harus terbebas dan
dapat melampaui kedua kesadaran tersebut. Kritik tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Kritik terhadap kesadaran magis, yaitu tidak mampu
memahami realitas sekaligus dirinya sendiri. Ia lebih
percaya pada kekuatan takdir yang telah menentukan
bahwa ia harus hidup miskin, bodoh, terbelakang (Sutri,
2011). Kesadaran ini adalah kesadaran pasrah/pasif,
misalnya, dunia ini yah seperti ini, mau diapain lagi,
kita kan hanya bisa menjalani, sudah ada yang membuat
skenario.
b) Kritik terhadap kesadaran naif, yaitu hanya sekedar
mengerti bahwa dirinya itu tertindas, terbelakang dan
itu tidak lazim, namun kurang mampu untuk
memetakan secara sistematis masalah sosial tersebut.
Apalagi untuk mengajukan suatu tawaran solusi dari

136 | Kritik Ideologi Pendidikan


masalah sosial (Sutri, 2011). Misalnya, kamu tau kalau
kamu punya masalah tapi kamu tidak mampu
menyelesaikan, kemudian membiarkan mengalir begitu
saja. Itu sudah jelas menindas dan buruk, tetapi dijalani
saja.
Kesadaran kritis ini sangat berbeda dengan kesadaran
naif karena peserta didik tidak lagi sebagai sumber
masalah, tetapi permasalahan dalam pendidikan
bersumber dari struktur dan institusi pendidikan. Oleh
karena itu, pada tingkat kesadaran kritis, peserta didik
tidak lagi menganggap dirinya sebagai sumber masalah,
justru mereka dapat menunjukkan sikap kritis atas dirinya
sendiri dari sistem yang menindas. Mereka semakin sadar
atas eksistensi mereka dalam struktur dan institusi
pendidikan. Mereka juga menyadari bahwa peraturan,
peristiwa, hubungan dan prosedur tertentu sekedar
sebagai contoh dari ketidakadilan yang terstruktur dan
terinstitusionalkan. Selain itu, penindasan yang
diinstitusikan ini disadari oleh peserta didik bahwa itu
tidak hanya terjadi sekali waktu di satu tempat dan satu
orang saja, tetapi itu berlangsung dalam jangka waktu
yang lama, menyebar luas, dan menimpa banyak orang.
Oleh karena itu, melalui kesadaran kritis peserta didik
semakin menyadari bahwa penindasan tersebut diperparah
dengan diwajibkannya setiap orang untuk mematuhi
kebijakan, norma, prosedur dan hukum (Smith, 2008).
Kemampuan seseorang untuk mendefinisikan
kesalahan institusi pendidikan menyebabkan ia paham
tentang bagaimana harus bekerjasama secara sistemik, dan
mempelajari bagaimana cara kerja penindas. Oleh karena

Kritik Ideologi Pendidikan | 137


itu, pandangan peserta didik terhadap institusi pendidikan
menjadi lebih realistis, demikian juga terhadap diri mereka
sendiri dan kelompoknya. Mereka yang dahulunya selalu
menyalahkan diri sendiri sebagai sumber masalah mulai
menyadari bahwa kita tidak harus melakukan itu pada diri
sendiri karena tidak akan memberikan dampak atau
perubahan apa-apa terhadap keberadaan kita di dunia.
Lebih jauh lagi, Freire mengatakan bahwa suatu kesadaran
akan menjadi realistis apabila melibatkan kesadaran kritis
yang di dalamnya akan mengarah pada perubahan realitas
objektif karena pada dasarnya struktur dan institusi
pendidikan bukanlah suatu kesadaran yang benar-benar
objektif karena banyak kepentingan politik di dalamnya
sehingga mereka mengingkari realitas objektif institusi
pendidikan dan menciptakan pengganti yang palsu (Freire,
2013).
Kesadaran kritis sangat diperlukan dalam institusi
pendidikan karena nalar kritik masyarakat diperlukan
untuk menghadapi degradasi dalam perkembangan
teknologi dan media yang memunculkan akal
instrumental. Kontrol pendidikan tidak dilakukan melalui
fisik dan paksaan, tetapi dapat dilakukan melalui
globalisasi teknologi dan media sosial. Kecanggihan ini
membuat peserta didik tidak sadar bahwa mereka sedang
dikontrol, bahkan mereka menganggap bahwa kondisi
seperti itu baik-baik saja karena dilakukan melalui bentuk-
bentuk kontrol yang halus. Oleh karena itu, kebutuhan dan
keinginan sekarang ini sulit dibedakan oleh peserta didik.
Lebih parah lagi karena guru pun tidak mengetahui
mengapa orang-orang membeli satu produk atau komoditi

138 | Kritik Ideologi Pendidikan


tertentu. Mereka membeli tanpa didasari nilai guna, tapi
didasarkan pada nilai tanda (simbol) yang diiklankan
secara masif lewat media sosial. Jadi, mereka membeli
komoditi itu berdasarkan pada prestise, bukan berdasar
atas kebutuhan sesungguhnya. Kalau masyarakat membeli
komoditas atas dasar nilai tanda maka sebenarnya mereka
telah tergiring menjadi masyarakat konsumtif (Tabrani,
2014).
Berpikir pada tingkat kesadaran kritis berarti mampu
secara jelas mendefinisikan kontradiksi-kontradiksi antara
tindakan mereka sendiri dan tujuan pembebasannya yang
ditandai dengan beberapa hal, yaitu:
(1) penafsiran yang mendalam atas berbagai
masalah, (2) penjelasan kausalitas, (3) mencoba
penemuan-penemuan yang dihasilkan seseorang,
(4) keterbukaan untuk melakukan revisi, (5) usaha
untuk menghindari distorsi ketika memahami
masalah dan menghindari konsep-konsep yang
telah diterima sebelumnya ketika menganalisis
masalah, (6) menolak untuk mengubah
tanggungjawab, (7) menolak sikap pasif, (8)
mengemukakan pendapat, (9) mengedepankan
dialog dari pada polemik, (10) menerima
pandangan baru tetapi bukan sekedar sifat
kebaruannya dan dengan keinginan untuk tidak
menolak pandangan kuno hanya karena sifat
kekunoannya, yakni menerima apa yang benar
menurut pandangan kuno dan baru (Smith, 2008,
pp. 80–81).
Menumbuhkembangkan kesadaran kritis di atas
dapat dilakukan melalui proses edukasi dan pedagogi
yang bertumpu pada tiga tahapan, yaitu (1) naming,

Kritik Ideologi Pendidikan | 139


mempertanyakan sesuatu: what is the problem? (2) reflecting,
proses mencari akar masalah dengan pertanyaan: why is it
happening? (3) acting, proses mencari alternatif pemecahan
masalah: what can be done to change the situation? Tiga
tahapan ini merupakan derivasi dan filsafat praksis yang
menghubungkan antara praktek, refleksi dan aksi (Tabrani,
2014). Selanjutnya, untuk mencapai tahap kesadaran kritis,
maka diperlukan tiga tindakan, yaitu:
a) Tindakan komunikatif, yaitu mengungkapkan bahwa
pada tahap kesadaran kritis individu lebih
mengandalkan sumber-sumber komunitas mereka
sendiri dari pada harus bergantung pada pihak luar.
Selain mengandalkan komunitas, mereka juga
mengandalkan diri mereka sendiri yang mungkin di
mata penindas sebagai tindakan yang arogan.
b) Tindakan reflektif, yaitu upaya-upaya sadar untuk
menemukan informasi baru melalui proses refleksi.
Refleksi disertai aksi menjadi interdependen adalah
sebuah lingkaran berpikir dan aksi konstan yang
dirancang untuk meningkatkan akurasi pemahaman
bagi kaum tertindas (Dewey, 2002).
c) Tindakan dialogis, yaitu kesadaran kritis ditandai
dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah,
percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan
menolak yang dilaksanakan dalam bentuk dialogis.
Pada tingkat dialogis, orang mampu merefleksikan dan
melihat hubungan sebab akibat, sadar ada masalah, tahu
ada masalah, mampu mencari solusi, mau berdialog dan
mau memperjuangkannya. Ini ditandai dengan adanya
pemahaman yang mendalam mengenai kondisi-kondisi

140 | Kritik Ideologi Pendidikan


kekinian, dan ada kemauan untuk mencari solusi
terhadap setiap permasalahan yang terjadi melalui
tindakan dialogis (Freire, 2013).
Tindakan-tindakan di atas menjadi pertanyaan
adalah apakah peserta didik mampu menjadi manusia
kritis? Dalam pendidikan kritis menempatkan keyakinan
yang tinggi pada peserta didik untuk menjadi subjek yang
berkesadaran kritis karena filsafat dasar pendidikan kritis
didasarkan pada tiga asumsi dasar, yaitu: [1] setiap orang
diyakini memiliki potensi untuk berkembang dan berubah
sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki dan memiliki
self-refled win untuk belajar. [2] Manusia sebagai makhluk
yang tidak sempurna tetapi memiliki panggilan ontologis
dan historis untuk menjadi manusia yang lebih sempurna.
[3] Manusia adalah mahluk yang hidup secara otentik dan
praksis ketika terlibat dalam transformasi dunia (Tabrani,
2014).
Dari ketiga pandangan di atas, menunjukkan bahwa
peserta didik memiliki kemampuan menjadi critical
conscious being, yaitu mereka menjadikan institusi
pendidikan sebagai productive force bukan sebagal
reproductive force. Pendidikan sebagai productive force berarti
pendidikan itu memiliki peran dan tanggung jawab dalam
proses mobilitas sosial. Pendidikan memiliki peran dalam
mengubah struktur sosial di mana melalui institusi
pendidikan peserta didik mampu mentransendensi posisi
kelas sosialnya ketika dewasa. Sebaliknya, pendidikan
sebagai reproductive force berarti menjadikan institusi
pendidikan semata-mata untuk melanggengkan struktur
sosial yang ada (Tabrani, 2014). Lebih jauh lagi, peserta

Kritik Ideologi Pendidikan | 141


didik yang sudah memiliki kesadaran kritis bisa menuju ke
dua arah, yakni aktualisasi diri dan mengubah institusi
pendidikan:
a) Proses aktualisasi diri adalah berupa penolakan
terhadap penindasan, eleminasi nilai-nilai dan
kebiasaan-kebiasaan yang dipaksakan oleh institusi
pendidikan kepada peserta didik. Mereka yang kritis
tidak akan menghindari suatu konflik, tetapi
mempersiapkan diri untuk menghadapi konflik yang
mungkin akan timbul. Dengan dimulainya proses
aktualisasi diri pada setiap peserta didik maka lambat
laun karakter pribadi penindas akan terusir dari dalam
dirinya, dan mereka bebas untuk mendirikan sebuah
institusi pendidikan yang lebih baik dan adil dari pada
yang ada sebelumnya (Yunus, 2004).
b) Mengubah institusi pendidikan adalah memerlukan
sebuah keberanian dari peserta didik dalam mengambil
resiko untuk dapat mewarnai sikap orang-orang
tertindas. Mereka lebih berani melakukan perubahan
daripada tertindas oleh status quo karena mereka telah
menyadari bahwa institusi pendidikanlah yang harus
disalahkan, sehingga mereka mampu malakukan aksi
dengan cara-cara yang dinilai salah oleh institusi. Isu
yang muncul dalam perubahan institusi pendidikan
yang tidak adil, bukannya pembaharuan atau
penghancuran individu-individu tertentu. Proses
perubahan ini memiliki dua aspek, yaitu [1] penegasan
diri dari penolakan untuk menjadi pelanggeng status
quo yang menindas, dan [2] berusaha secara sadar dan
empiris untuk mengganti institusi yang menindas

142 | Kritik Ideologi Pendidikan


dengan sistem yang adil dan bisa mereka kuasai (Yunus,
2004).
Jika peserta didik dapat melalui dua kesadaran kritis
di atas, maka mereka bisa melihat aspek struktur dan
institusi pendidikan yang menjadi sumber masalah. Peserta
didik yang tertindas akan bergerak ke arah kesadaran kritis
menyadari bahwa betapapun keras usahanya, mereka tidak
akan bisa menyerupai penindas dan oleh sebab itu mereka
tidak lagi memiliki keinginan untuk menyerupai penindas.
Mereka fokus pada entitasnya sendiri karena mereka ingin
menjadi diri sendiri sebagai manusia yang unik dan jujur
terhadap tradisi dan kebiasaan mereka sendiri (Yunus,
2004), sehingga peserta didik secara bertahap lebih merasa
sebagai subjek dari pada objek dalam institusi pendidikan.
Di institusi pendidikan, masih ada komunitas tertindas
(masyarakat kelas bawah/miskin) yang berhasil
mentransendensi kelas sosialnya dengan pendidikan yang
mereka dapatkan. Harus diakui bahwa ada mobilitas kelas
sosial dan transformasi kelas bawah-menengah-atas
melalui institusi pendidikan. Akan tetapi mobilitas yang
seperti ini terjadi dalam jumlah yang relatif kecil, terbatas,
dan tidak terlalu signifikan. Struktur atasnya relatif tetap,
tidak berubah. Oleh karena itu, institusi pendidikan harus
berfungsi sebagai agen untuk memproduksi struktur sosial
yang baru dan adil (Tabrani, 2014).
C. Kritik Tradisi Institusionalisasi Pendidikan
Pendidikan tradisional telah membuat kekeliruan
dengan menyibukkan diri dan berkutat dengan spekulasi
tentang tujuan dan standar terakhir dalam menentukan
benar dan salahnya serta baik dan buruknya institusi

Kritik Ideologi Pendidikan | 143


pendidikan. Pendidikan tradisional hanya akan membawa
kepada perdebatan yang berkepanjangan juga telah
membawa dampak tragis berupa pemisahan dan isolasi
kegiatan pendidikan dengan pengalaman konkret manusia
di dalam masyarakat. Dewey mengkritik Socrates,
Aristoteles, dan Imanuel Kant, menurutnya, mereka
melakukan hal yang sia-sia karena berspekulasi terlalu
jauh, untuk standar terakhir, kebahagiaan puncak, dan
kepuasan puncak karena manusia secara terus menerus
mengalami perubahan dan tidak ada batasnya. Hingga
akhirnya, orang-orang hanya akan berdebat tentang tujuan
akhir yang perkepanjangan, dan akan terlampau jauh
dengan kenyataan sehari-hari dalam masyarakat, sehingga
ini akan semakin jauh juga dengan esensi di dalam institusi
pendidikan.
Oleh karena itu, yang terjadi dalam institusi
pendidikan adalah ada jarak antara ideal pendidikan dan
realitas pendidikan karena rumusan idealnya yang tidak
membumi. Bagi Dewey, pola pendidikan tradisional
cenderung melupakan kondisi subjektif (internal subjektif)
dan juga cenderung melupakan kondisi objektif (eksternal
subjektif). Hal ini terjadi karena pendidikan tradisional
masih terjebak dalam aliran pemikiran yang ideologis dan
metafisik, sehingga cenderung spekulatif dalam
penerapannya. Akibatnya, jenis pendidikan ini tidak
dilakukan dengan sungguh-sungguh dan rasional karena
tidak berbasis pada pengalaman subjek dalam konteks
sosial-budaya dan kondisi objektif masyarakat
(Wasitohadi, 2014).

144 | Kritik Ideologi Pendidikan


Teori pendidikan dan kehidupan nyata seolah-olah
berjarak, hal ini berakar dari banyaknya orang yang
percaya akhir dari sesuatu yang sifatnya metafisik yang
hanya spekulatif dan juga sangat elit dan tidak berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari. Alam semesta ini juga
dianggapnya teratur dan tertib, tetapi bagi Dewey, alam ini
faktual. Pendidikan yang kita rumuskan terlalu abstrak
tidak terjangkau oleh manusia normal. Hal ini menjadi
kritik terhadap pendidikan karakter yang begitu intensif,
tetapi jumlah orang yang berkarakter baik tidak bertambah
banyak. Misalnya dalam penyusunan kurikulum yang
semua arahnya ke pembentukan karakter melalu teori-teori
moralitas. Karakter semacam ini hanya akan jadi elit yang
kemudian hanya akan dihafalkan oleh anak-anak di
sekolah. Tidak bisa dirilkan untuk membangun karakter
peserta didik karena pendidikan ini terlalu elit, mewah dan
eksklusif.
Institusi pendidikan seringkali menjadi senjata untuk
memaksa manusia meyakini adanya tradisi historis yang
mengontrol penghayatan makna individu ke dalam suatu
institusi pendidikan yang homogen. Banyak orang digiring
oleh sejarah karena cara membaca sejarah yang linear,
sehingga semua orang terseret ke dalam metode
pembelajaran institusi pendidikan. Misalnya, kalau ingin
sukses semua anak harus menghafal Al-Qur‟an, bisa gawat
peradaban kita karena banyak anak yang tidak memiliki
bakat menghafal kemudian dipaksa. Mungkin anak
tersebut bakatnya adalah analitis bukan penghafal, atau
anak tersebut bakatnya tidak di agama tapi di ilmu alam,
ilmu sosial, atau matematika, sehingga akan ada kerugian-

Kritik Ideologi Pendidikan | 145


kerugian tersendiri. Kesadaran hari ini atau kesadaran baru
menyadarkan kita bahwa manusia itu tidak seragam, tetapi
manusia memiliki watak, kemampuan, kreativitas dan
minat yang bermacam-macam.
Lebih jauh lagi, Dewey mengkritik beberapa hal
dalam sistem sekolah traditional karena itu dianggap tidak
mampu menyentuh aspek-aspek pendidikan yang meliputi
arena afektif, kognitif dan psikomotorik. Kritikannya
tersebut diantarannya adalah bahan ajar, cara guru
mengajar, cara murid belajar, dan cara menyelenggarakan
pendidikan:
1) Di sekolah tradisional terlalu banyak mata pelajaran
yang diajarkan karena tujuan sekolah tradisional adalah
agar para peserta didik dapat menduduki jabatan
intelektual dan sangat kental dengan sistem materio
sentris. Oleh karena itu, mata pelajaran yang banyak
jumlahnya perlu dikurangi dan diganti dengan
pengajaran dan latihan-latihan kerja. Di samping itu,
pengetahuan yang diberikan di sekolah tradisional
kepada peserta didik merupakan pengetahuan yang
telah diolah, disiapkan, dan dipecahkan kesulitannya
terlebih dahulu oleh orang dewasa. Hal ini tidak ada
gunanya menurut Dewey karena anak secara alami
mengalami proses berpikir sendiri dari permulaan
hingga akhir sesuai dengan tingkat kemajuannya sendiri
(Setiyadi, 2010).
2) Kritik Dewey adalah guru dianggap memposisikan diri
terlalu sentral karena semua proses pembelajaran di
kelas terlalu terpusat kepada guru karena guru
dianggap sebagai yang maha tahu. Jadi guru yang

146 | Kritik Ideologi Pendidikan


memaksakan bahan ajar dan berpikir kepada murid
hingga memecahkan soal untuk murid telah menjadikan
guru aktif, sebaliknya murid-muridnya menjadi
konsumen yang pasif. Menurut Dewey tidak perlu
adanya minat paksaan dalam kegiatan pembelajaran.
Hal itu disebabkan adanya dua minat dalam diri anak,
yaitu minat langsung dan minat tidak langsung. Guru
dalam hal ini seharusnya hanya berfungsi sebagai
penunjuk jalan, pengamat tingkah laku anak untuk
dapat mengetahui hal apa yang menarik minat anak,
sehingga guru dapat menentukan masalah yang akan
dijadikan pusat minat anak dalam proses pembelajaran
(Setiyadi, 2010).
3) Cara belajar peserta didik di sekolah tradisional hanya
mendengarkan ceramah guru. Sekolah tradisional sering
juga dinamakan sekolah anak, sekolah dengar, sekolah
percaya, dan sekolah buku karena murid dipaksa
mengambil hal yang telah dituturkan dan dipikirkan
untuk mereka dalam buku. Sekolah tradisional tidak
memberikan kebebasan pada peserta didik dan tidak
ada kesempatan untuk mengeluarkan sesuatu dengan
spontan. Pikiran dan tindakan peserta didik didasarkan
pada struktur atau sistem yang telah dipatuhi para
guru. Oleh karena itu, kondisi seperti ini membutuhkan
kesadaran kritis agar dapat dilakukan perubahan karena
peserta didik harus diberi kebebasan untuk bekerja,
menyelidiki, dan mengamati sendiri sesuai dengan
kemampuan yang ia miliki. Oleh karena itu, peserta
didik dapat belajar sambil bekerja atau sebaliknya
bekerja sambil belajar. Inilah wujud dari istilah learning

Kritik Ideologi Pendidikan | 147


by doing yang sering dikemukakan oleh Dewey. Anak
harus dididik sesuai dengan minat dan bakatnya agar
kecerdasannya bisa timbul dalam dirinya dan
lingkungan sosialnya. Lebih jauh lagi, ini akan
mengarah pada kemampuan anak untuk menyelidiki
secara teratur hingga akhirnya dapat berpikir secara
ilmiah, objektif, dan logis (Dewey, 2002; Setiyadi, 2010).
4) Struktur dan peraturan yang ada di sekolah tradisional
seakan-akan memaksa peserta didik untuk pasif,
sehingga interaksi antara murid dan guru cenderung
kaku karena budaya di sekolah tidak memberikan
kebebasan bertindak. Desain gedung, kelas, bangku,
dan kurikulum mengikat pada struktur pendidikan,
sehingga ini tidak memberikan kebebasan kepada
murid dan guru. Selain itu, mereka juga tidak memiliki
kesempatan untuk mengadakan penyelidikan dan
percobaan. Lebih jauh lagi, jumlah mata pelajaran
terlalu banyak, yaitu peserta didik diwajibkan lulus
pada semua jenis mata pelajaran (Setiyadi, 2010).
Kritik Dewey di atas berdasarkan pada
pengalamannya dalam pendidikan formal yang
dijalaninya, pengalamannya sebagai pengajar, dan
pengamatannya terhadap laboratorium sekolah. Meskipun
demikian, Ia tetap meyakini bahwa keselamatan di dunia
ini akan semakin tercapai melalui pendidikan dan tidak
lagi melalui campur tangan Ilahi dari dunia lain (Dewey,
2002). lni menunjukkan bahwa Dewey tidak mengakui
keberadaan Tuhan, dan baginya, keselamatan adalah hasil
dari upaya manusia melalui pendidikan. Oleh karena itu,
Ia telah merumuskan sebuah konsep tentang filsafat,

148 | Kritik Ideologi Pendidikan


agama, serta teori dan praktek pedagogi yang dimilikinya.
Dewey menjadi sangat terkenal karena pandangan-
pandangannya tentang filfsafat pendidikan, yaitu ilmu
pendidikan tidak bisa dipisahkan dari filsafat karena
pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan
untuk menghancurkan kebiasaan yang lama dan
membangun kembali yang baru.
Secara esensial, peran institusi pendidikan adalah
memberikan pendidikan pada setiap orang agar mereka
dapat melakukan perbuatan nyata dalam kehidupan
masyarakat. Misalnya, membangun potensi-potensi yang
dimiliki oleh peserta didik, tetapi perkembangan
potensinya ditentukan oleh dialektika sosial atau
ditentukan oleh lingkungan. Selain itu, pintar dan tidak
pintarnya peserta didik ditentukan oleh pengalamannya di
dalam lingkungan pendidikan, keluarga, dan masyarakat.
Oleh karena itu, institusi pendidikan tidak boleh tenggelam
dalam pemikiran-pemikiran metafisik belaka. Mereka
harus berpijak pada pengalaman serta menyelidiki dan
mengelolah pengalaman tersebut secara kritis. Dengan
demikian, institusi pendidikan dapat menyusun suatu
sistem nilai dan norma dalam masyarakat.
Institusi pendidikan sebenarnya bertujuan untuk
membentuk kembali dan mengorganisasikan ulang
pengalaman yang bermakna dan menambah kemampuan
peserta didik dalam memberi arah terhadap pengalaman
yang selanjutnya. Untuk sampai pada tahap berikutnya,
tenaga pendidikan memiliki peran penting untuk
membimbing peserta didik, memperluas pengetahuan, dan
meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik agar

Kritik Ideologi Pendidikan | 149


dapat menjelajah kehidupan yang baru dibangunnya di
atas pengetahuan yang mereka miliki sebelumnya. Dalam
hal ini, institusi pendidikan harus tetap menekankan
bahwa setiap orang belajar dari pengalamannya yang
berasal dari aktivitas yang asli dari lingkungannya. Oleh
karena itu, institusi pendidikan harus mempersiapkan
lingkungan belajar yang memacu penumbuhan dan
pengembangan pengalaman.
Dalam banyak tulisannya, Dewey sering memberikan
kritik terhadap institusi pendidikan tradisional. Ia
mengatakan bahwa dalam sekolah tradisional pusat
perhatian pembelajaran berada diluar kebutuhan anak
didik, guru, buku dan sebagainya. Kondisi ini merupakan
kegagalan untuk melihat anak sebagai makhluk hidup
yang tumbuh dalam pengalaman dan kapasitasnya untuk
mengontrol pengalaman dalam transaksinya dengan
lingkungan. Hal ini disebebkan karena pokok persoalan
sosial dalam masyarakat terisolasi dari peserta didik
karena yang terjadi dalam proses pembelajaran adalah
hubungan formal antara guru dan peserta didik, simbolik,
dan statis. Oleh karena itu, institusi pendidikan hanya
berfungsi sebagai tempat mendengar ceramah bagi
perserta didik, untuk instruksi massal, dan selanjutnya
terpisah dari realitas kehidupan masyarakat.
Di sisi lain, institusi pendidikan juga memiliki
kebebasan, yaitu menetukan kurikulum dan metode
pembelajaran. Kedua hal ini merupakan suatu kesatuan
yang berisi pengalaman-pengalaman yang teruji yang
dapat diubah dan dapat dibentuk berdasarkan minat dan
kebutuhan peserta didik. (1) Kurikulum pendidikan adalah

150 | Kritik Ideologi Pendidikan


dasar dari segala kebijakan yang akan diterapkan dalam
institusi pendidikan. (2) Metodenya adalah learning by
doing yang terfokus pada keaktifan peserta didik. (3)
Peserta didik adalah sekelompok orang yang memiliki
kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.
(4) Guru adalah orang yang berperan untuk mengawasi
dan membimbing pengalaman belajar peserta didik tanpa
mengganggu minat dan kebutuhan peserta didik (Dewey,
2002).
Dari keempat hal di atas, kurikulum menjadi sumber
masalah karena seharusnya tidak dibagi ke dalam bidang
mata pelajaran yang bersifat membatasi dan tidak wajar.
Kurikulum mestinya lebih dibangun di seputar unit-unit
yang wajar yang timbul dari pengalaman-pengalaman dan
pertanyaan-pertanyaan peserta didik yang mendesak
perubahan struktur pendidikan. Kurikulum pendidikan
seharusnya bervariasi, tapi idealnya adalah mata pelajaran
sekolah yang tradisional (seni, sejarah, matematika,
membaca, dan lain-lain) dapat disusun ke dalam teknik
problem solving yang berguna untuk menumbuhkan rasa
ingin tahu peserta didik dan untuk mempelajari materi-
materi tradisional, seperti halnya mereka bekerja
menyelesaikan masalah-masalah atau isu-isu yang telah
mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari (Wasitohadi,
2014).
Metode pendidikan bagi Dewey adalah upaya
menanamkan suatu disiplin, tetapi bukan otoritas. Inti dari
penerapan sikap disiplin adalah kemampuan guru dalam
mengontrol muridnya melalui kekuatan eksternal. Lebih
jauh, Dewey menganggap bahwa tidak ada sesuatu

Kritik Ideologi Pendidikan | 151


tindakan yang baik dan benar secara objektif karena semua
nilai adalah subjektif. Oleh karena itu, metode yang dapat
diterapkan untuk membentuk suatu pembelajaran disiplin
adalah (Wasitohadi, 2014):
1) Semua metode yang mengarah ke penindasan harus
dibuang karena guru harus membangkitkan “impulse”
peserta didik supaya timbul kekuatan internal untuk
mencapai “mastery learning”.
2) Guru harus peka dan memahami kecakapan dan minat
setiap muridnya agar dapat memunculkan minat karena
tidak ada minat yang sifatnya universal. Pada intinya,
semua orang memiliki minat dan kemauan terhadap
pelajaran berbeda-beda.
3) Guru harus membuat suasana kelas semenarik mungkin
agar peserta didik turut berpartisipasi dalam proses
belajar.
Metode tersebut di atas pernah diterapkan oleh
Dewey dalam penelitiannya mengenai pendidikan. Ia
menerapkan metode learning by doing dalam penelitiannya
tersebut di sekolah-sekolah. Hasilnya penelitiannya
menunjukkan bahwa, Ia berhasil menerapkan metode
learning by doing tanpa ada metode pendidikan tradisional
karena baginya metode ini terlalu mengandalkan
kemampuan mendengar dan menghafal. Hal utama yang
Dewey lakukan dalam penerapan metode learning by doing
adalah menekankan pentingnya kreativitas dan
keterlibatan peserta didik dalam diskusi dengan
pemecahan masalah. Kunci utama metode learning by doing
adalah guru melatih pikiran peserta didik untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dan mengurangi

152 | Kritik Ideologi Pendidikan


indoktrinasi atau pengisian formulasi-formulasi dan teori-
teori. Guru tidak boleh melakukan penyiksaan secara fisik
dan bertindak sewenang-wenang terhadap peserta didik
karena hanya akan menghilangkan kebebasan dalam
pelaksanaan pendidikan.
Pembelajaran tradisional dibatasi dan dikritik oleh
Dewey karena cenderung mengandalkan kemampuan
mendengar dan menghafal, sedangkan dalam esensi
pembelajaran guru bertugas mendampingi peserta didik
dalam berkreativitas dan berdiskusi dalam menyelesaikan
masalah. Dengan demikian, guru harus berperan sebagai
mediator dan fasilitator dalam membantu proses belajar
peserta didik. Oleh kerena itu, guru harus memiliki dan
memahami tiga peran utama pembelajaran, yaitu (Dewey,
2002):
1) Guru harus mengurangi metode ceramah dalam proses
pembelajaran karena mereka seharusnya menyediakan
media dan perangkat pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik terlibat di dalamnya atau
mengalaminya secara langsung. Sehingga kegiatan
dalam pembelajaran ini adalah melibatkan peserta didik
untuk menjalankan proses belajar atau membentuk
definisi sendiri. Oleh karena itu, kunci utama dalam
pembelajaran ini adalah guru menyediakan pengalaman
belajar bagi peserta didik itu sendiri.
2) Guru mengadakan sebuah kegiatan-kegiatan di dalam
kelas untuk membangkitkan rasa ingin tahu peserta
didik dan membantu peserta didik untuk
mengekspresikan gagasan-gagasannya atau
mengkomunikasikan ide ilmiah mereka. Dengan kata

Kritik Ideologi Pendidikan | 153


lain, guru memberi motivasi kepada peserta didik untuk
berpikir dan mencari pengalaman baru. Misalnya, guru
memberikan sebuah contoh kasus yang dimaksudkan
untuk dianalisis oleh peserta didik secara mandiri yang
kemudian mereka presentasikan bagaimana cara
menghadapi, memecahkan, dan memberi solusi kasus
tersebut, sedangkan peran guru adalah menyemangati
peserta didik.
3) Guru melakukan monitoring dan evaluasi tentang
apakah cara dan proses berpikir peserta didik sudah
berhasil atau tidak, dan mempertanyakan apakah ilmu
yang diperoleh peserta didik dapat memecahkan
masalah-masalah yang akan dihadapinya. Hal ini
menunjukkan bahwa sangatlah penting bagi seorang
guru agar tidak pernah mengatakan bahwa
pendapatnya merupakan kebenaran tunggal karena
yang baik adalah seharusnya tidak mengajukan solusi
atau argumen yang tunggal terhadap satu persoalan.
Mereka seharusnya selalu terbuka terhadap perubahan
dan perkembangan baru, yaitu menawarkan jawaban
tetapi peserta didik juga diminta untuk menemukan
jawaban-jawaban alternatif secara mandiri.
Berdasarkan pada poin di atas, pembelajaran tidak
berarti memindahkan atau mentransfer ilmu dari guru
kepada murid, tetapi pembelajaran merupakan dialog
antara guru dengan murid untuk mengembangkan
pemikiran masing-masing khususnya murid. Pembelajaran
dimaknai sebagai bentuk partisipasi guru dalam proses
pengembangan pengetahuan peserta didik. Dengan kata
lain, pembelajaran merupakan suatu bentuk dari proses

154 | Kritik Ideologi Pendidikan


belajar peserta didik yang dibantu dan difasilitasi oleh
guru. Pembelajaran akan berlangsung dengan baik apabila
guru berpikir secara rasional dengan memberikan
kebebasan kepada peserta didik untuk berpikir secara
bebas. Berpikir yang rasional merupakan suatu cara
berpikir yang jernih, terstruktur, ilmiah, dan politis. Lebih
jauh lagi, cara berpikir yang paling dibutuhkan adalah
guru dan murid dapat berpikir secara konstruktif karena
proses berpikir ini jauh lebih penting dari pada sekedar
berusaha untuk mendapatkan jawaban.
Cara berpikir konstruktif sangat relevan dengan
dunia pendidikan saat ini. Cara berpikir ini juga sejalan
dengan konsep pemikiran Dewey, yaitu konsep active-
learning adalah konsep yang dimunculkan untuk
menunjukkan bahwa setiap peserta didik memiliki potensi-
potensi yang cemerlang berdasarkan ciri khas masing-
masing atau tidak seragam dalam satu kelas, tetapi peserta
didik dapat mengembangkan potensinya itu berdasarkan
bidang ilmu yang ia minati (Dewey, 2002). Konsep active-
learning dikenal dengan pendidikan partisipatif yang
melibatkan secara aktif peserta didik dalam proses
pembelajaran. Dengan kosep ini, peserta didik dipacu
untuk terlibat secara aktif untuk dapat mengembangkan
seluruh sumber daya yang dimiliknya. Oleh karena itu,
guru harus dapat membuat muridnya aktif dalam
pembelajaran seperti mendengar, mencontoh, dan menjadi
fasilitator untuk memotivasi muridnya dalam berdialog.
D. Kritik Modernisasi Institusi Pendidikan
Kritik ideologi dirancang untuk membongkar
bekerjanya ideologi dalam berbagai bidang kehidupan

Kritik Ideologi Pendidikan | 155


masyarakat dan pendidikan, serta bekerjanya kepentingan
pribadi di balik kedok kebaikan bersama yang mungkin
berlangsung secara sadar atau tidak sadar dengan
memperlihatkan bagaimana ideologi tersebut
mengabadikan suatu sistem yang memperkuat yang kuat
dan memperlemah yang lemah, yakni menindas
kepentingan umum. Salah satu tugas kritik ideologi adalah
membongkar modernisasi institusi pendidikan. Tujuan
pendidikan kritis sangatlah praktis yaitu melahirkan
masyarakat egalitarian yang lebih adil, dimana kebebasan
individu dan kolektif dapat terwujud dan menghapus
penggunaan serta dampak kekuasaan yang tidak sah
dalam pendidikan. Bagi para teoritikus kritik dan pemikir
pendidikan kritis, guru dan peneliti tidak dapat lagi
mengklaim netralitas dan kepolosan politik serta ideologi
(Palmer, 2003). Oleh karena itu, terdapat enam hal yang
dikritik dalam modernisasi institusi pendidikan, yaitu:
1) Paradigma objektivisme dalam modernisasi pendidikan
melahirkan ilmu tradisional, karena paradigma ini
membaca manusia sama dengan membaca benda dan
menggunakan metode yang sama. Semua dianggap
pasif layaknya benda.
2) Teori modernisasi pendidikan melampaui esensi
pendidikan, yaitu teori yang canggih tapi malah
merubah masyarakat menjadi masyarakt konsumerisme.
Institusi pendidikan justru menjadi arena kapitalisme
yang meproduksi orang-orang penyembah teknologi
dan konsumeristik, sehingga hal ini dipertanyakan
dalam lingkungan pendidikan tentang bagaimana masa
depan pendidikan, bagaimana konstruksi sosial, dan

156 | Kritik Ideologi Pendidikan


berbagai macam teori tapi institusi pendidikan hanya
menjadi pasar kapitalisme. Modernisasi pendidikan
tersebut tidak bisa menjawab masa depan masyarakat,
tetapi malah menciptakan masyarakat konsumerisme.
3) Tidak emansipatif, yaitu tidak membuat masyarakat
lebih baik, dan tidak meningkatkan derajat hidup
masyarakat.
4) Ilmu untuk ilmu, value-free, yaitu tidak memikirkan baik
buruknya, pantas atau tidak pantas. Pengembangan
pendidikan yang seluas-luasnya tanpa
mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga
kritiknya adalah tidak ada ilmu yang netral atau bebas
nilai, setiap ilmu pasti ada kepentingannya. Karena
semua manusia memiliki kepentingan, maka
kepentingan perlu diperhatikan agar pendidikan lebih
mendukung kemanusian.
5) Melanggengkan status quo, yaitu ilmu pengatahuan
yang anti status quo selalu dipresur. Jadi boleh
memikirkan apa saja yang penting tidak mendobrak
status quo (struktur yang sudah dianggap mapan).
6) Melupakan historisitas ide, yaitu para filosof/ilmuwan
lupa bahwa gagasan dan teori apapun muncul dalam
konteks sejarahnya sendiri-sendiri, dan tidak ada ide
yang lahir dari ruang kosong. Misalnya, sekularisme
muncul di Barat karena orang Barat sedang putus asa
terhadap agama/gereja yang sangat hegemonik dan
dominatif; munculnya gagasan Marxisme karena saat
itu revolusi industri besar-besaran, yaitu melahirkan
relasi buruh dan majikan (relasi pemodal dan pekerja)
yang dominasi yang luar biasa dari pemilik modal

Kritik Ideologi Pendidikan | 157


terhadap pekerja atau strukturnya sangat
menguntungkan pemilik modal dan sangat merugikan
bagi para pekerja.
Hingga akhirnya, kritik modernisasi pendidikan
tersebut di atas gagal karena modernisasi pendidikan
dengan pesimis, segalanya sudah tunduk dalam
manipulasi total (herschaff) dan rasion instrumental
(instrumentale vernuft). Manusia telah ditelan ke dalam
peradaban modern, atau manusia menjadi one-dimensional
man (Marcuse, 2000). Berdasarkan pandangan Habermas,
ada kekeliruan yang dilakukan dalam mengkritik
modernisasi pendidikan, yaitu (Habermas, 2012):
1) Masih mengakui subjek-objek, tuan-hamba, berkuasa-
dikuasai, sehingga hasilnya sama saja, misalnya kita
mengkritik para koruptor karena tidak dapat jatah
korupsi tapi kalau dapat jatah kita yang korupsi, dan
sebaliknya kita yang akan dikritik. Hal seperti inilah
yang tidak diperhatikan oleh para kritikus modernisasi
pendidikan.
2) Menerima objektivasi manusia dalam hubungannya
dengan manusia lain telah menerapkan pendekatan
yang serupa dengan cara menangani alam atau benda.
Belum lagi pemilik modal dari kapitalis membentuk
budaya kapitalisme dalam lembaga pendidikan,
sehingga menumpulkan akal sehat/pikiran manusia.
Kritik terhadap rasio instrumental (cara berpikir
orang modern) di dalam institusi pendidikan karena
dianggap hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Ini
hanya cocok untuk kepentingan teknis karena sifatnya
objektif, yaitu (Habermas, 2012):

158 | Kritik Ideologi Pendidikan


1) Rasio ini merupakan cara kita berpikir untuk
memecahkan masalah dan mencanpai tujuan.
2) Rasio ini menjadikan akal pikiran sebagai alat untuk
mengatasi sesuatu atau mencapai tujuan.
3) Rasio ini idenya dipakai ketika manusia berhadapan
dengan sesuatu yang bersifat alamiah atau kebendaan.
Misalnya, ketika kita hendak menyebrangi sungai
dimana di sana tidak ada jembatan padahal kita harus
menyebrangi sungai tersebut, maka kita bisa berpikir
untuk menebang pohon untuk dijadikan jembatan atau
perahu. Kita tidak memiliki kepentingan kayu tersebut
karena ia benda mati. Berbeda dengan tatkala kita
berhadapan dengan sesama manusia yang sudah tentu
memiliki kepentingan masing-masing.
4) Rasio ini melakukan refleksi dunia kehidupan manusia.
Gagalnya rasio instrumental tersebut di atas melahirkan
sebuah gagasan baru bagi Habermas, yaitu rasio
komunikatif yakni rasio dimana kita mengungkapkan
kepentingan kita. Berdasarkan rasio ini, ketika kita
berhadapan dengan manusia lain, maka terjadi
pertemuan antar-kepentingan. Kepentingan-
kepentingan individu inilah yang harus
dikomunikasikan agar masing-masing individu
mengetahui kepentingan-kepentingan yang ada dan
kemudian dicari titik temu dari kepentingan-
kepentingan tersebut guna memuaskan setiap individu
yang memiliki kepentingan. Oleh karena itu, jika itu
berhubungan dengan pendidikan yang di dalamnya ada
manusia maka harus menggunakan “rasio
komunikatif”. Manusia jika berinteraksi harus

Kritik Ideologi Pendidikan | 159


komunikatif, tidak boleh ada pengobjekan. Misalnya
kurikulum baru tidak harus langsung
diimplementasikan, sebelumnya perlu ada komunikasi
antara guru, peserta didik, dan masyarakat. Mereka
tidak boleh hanya dijadikan sebagai objek.
Komunikasi dalam masyarakat sering tercegat oleh
modernisasi, diantaranya adalah kepentingan pasar dan
birokrasi dalam institusi pendidikan. Institusi pendidikan
adalah desain modernisasi pasar dan birokrasi impersonal,
dikoordinasikan melalui satu rasionalitas strategi. Institusi
pendidikan biasanya tidak menggunakan logika
komunikasi tapi menggunakan logika modernisasi dan
kekuasaan, yaitu ada target-target yang ingin dicapai,
sehingga manusia dijadikan objek dan komunikasi sulit
hidup dalam institusi pendidikan. Komunikasi seharusnya
hidup dalam lifeworld, yaitu dunia tempat manusia berbagi
makna, dikordinasikan melalui rasionalitas komunikasi.
Dunia ini adalah dunia yang dinamis yang tidak bisa
dipatenkan isinya seharusnya seperti apa.
Oleh karena itu, modernisasi pendidikan memiliki
kecenderungan menjajah (kolonialisasi) terhadap lifeworld
dan mengancam tindakan komunikatif dalam institusi
pendidikan, sehingga tindakan komunikatif dalam institusi
pendidikan tidak bisa dilaksanakan karena semuanya
sudah diatur oleh penguasa dan pemilik model. Meskipun
ada diskusi, itu sudah diatur oleh rambu-rambu yang
terlalu banyak agar tidak menabrak aturan pasar atau
aturan birokrasi. Kolonialisasi kehidupan dalam
modernisasi pendidikan, yaitu kepentingan uang dan

160 | Kritik Ideologi Pendidikan


kekuasaan menggantikan tindakan komunikatif, misalnya
universitas dan sekolah diatur dengan startegi pasar.
E. Institusi Pendidikan sebagai Rekayasa Budaya
Salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan
dalam institusi pendidikan adalah pendidikan merupakan
sebuah gagasan atau rekayasa yang menimbulkan budaya.
Rekayasa budaya atau disebut dengan invasi kultural
merupakan akulturasi dengan bantuan sarana budaya
terhadap kebudayaan lain, sehingga terjadi penaklukan
budaya baru terhadap budaya lama yang pada akhirnya
mengalami proses pemalsuan kultural atau keterasingan
terhadap budayanya sendiri (Riyadi, 2016). Ini bisa
dipahami bahwa institusi pendidikan merupakan arena
yang paling tepat untuk membentuk budaya serta
propaganda nilai-nilai budaya yang dianggap penting
dalam pendidikan.
Setiap peserta didik dalam institusi pendidikan akan
mengalami dilema kultural karena menghadapi banyaknya
budaya dari luar yang asing yang kemudian akan
menyergap dirinya. Oleh karena itu, peserta didik sulit
dipastikan akan tetap konsisten dengan budayanya sendiri
ketika sudah memasuki institusi pendidikan karena
kebudayaan yang diperoleh dalam institusi pendidikan
sifatnya struktural yang secara langsung dan sitematis
akan diinternalisasi oleh guru dan peserta didik.
Kenyataan ini akan membawa dampak pada rekayasa
budaya di dalam institusi pendidikan, yakni; [1]
menjauhkan seseorang dari tradisi dan nilai-nilai
budayanya sendiri dan [2] memunculkan rasa keterasingan
terhadap hakekat diri sendiri, serta kondisi sisio-budaya

Kritik Ideologi Pendidikan | 161


sendiri dan proses tidak mengenali jati dirinya sendiri yang
kemudian timbul rasa malu terhadap kekayaan budaya
sendiri sebab dianggap kuno dan tradisional (Riyadi, 2016).
Institusi pendidikan menjadi arena rekayasa budaya
yang dapat mengarahkan peserta didik untuk mengikuti
dan meyakini kebenaran yang didapatkan lewat kerangka
berpikir keilmuan di sekolah dan perguruan tinggi. Cara
berpikir ini menjadikan seseorang tidak mampu keluar
dari jeratan pemahaman ilmu yang didapatkan dari
institusi pendidikan. Indoktrinasi lebih mendominasi dan
memaksakan kemauan ide-ide edukatif dan kebudayaan
pada peserta didik tanpa memperhatikan kebutuhan,
harapan, dan aspirasi mereka. Institusi pendidikan ingin
membentuk peserta didik sesuai dengan kebutuhan pasar
dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, peserta didik
dirampas kebebasannya dalam berkata-kata, berpikir,
berbahasa, bermasyarakat, dan berkebudayaan. Sehingga
peserta didik mudah diserbu dan diisi dengan nilai-nilai
dan benda-benda asing yang cocok dengan kepentinggan
penguasa.
Pada akhirnya, peserta didik yang ditaklukkan akan
menerima lalu menyenangi semua peristiwa di
sekililingnya. Mereka tidak lagi menggunakan mata dan
hati nurani sendiri, tetapi mereka akan senang hati
menerima semua kejadian di sekitarnya sesuai dengan
keinginginan penguasa. Secara alami, peserta didik akan
semakin patuh pada budaya penindas baru dan akan
menirukan pola tingkah laku para penindas, sehingga
peserta didik akan dianggap anak yang baik karena
semakin prima dan semakin sukses proses pendidikannya

162 | Kritik Ideologi Pendidikan


karena dapat meniru kebudayaan yang diajarkan pada
mereka. Oleh karena itu, rekayasa budaya dikatakan
berhasil apabila peserta didik tunduk secara mutlak dan
pasif menerima semua perintah yang diberikan oleh para
guru.
Peranan institusi pendidikan sebagai sarana budaya
dapat dibandingkan dari alasan dan penyebab munculnya
berbagai institusi pendidikan yang dibentuk oleh kekuatan
organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat
dan terutama kekuatan politik kekuasaan. Misalnya,
munculnya berbagai institusi pendidikan yang disponsori
oleh para penguasa dan kapitalisme yang cenderung pada
kelanggengan kepentingan kebijakan politik mereka.
Sebagai bentuk bukti nyata dukungan terhadap argumen
ini, yaitu kita dapat melihatnya di negara-negara totaliter
dengan pemerintahan yang menguasai segala-galanya
lewat kekuasaan absolut, pemerintah membatasi
kebebasan individu dengan memberikan pendidikan yang
seragam pada semua peserta didik melalui kurikulum
buatan penguasa. Sebaliknya, perlawanan terhadap
kebijakan ini dapat kita lihat dalam sebuah negara yang
menjunjung tinggi ideologi demokrasi dengan
mengutamakan hak-hak dan kebebasan individu. Dengan
ideologi ini, maka tersusunlah sistem pendidikan yang
memperhatikan dan mengembangkan penghargaan
terhadap hak-hak peserta didik.
Berangkat dari pendidikan di Indonesia, sistem
pendidikannya cuman satu yakni mencerminkan ide-ide
politik para politisi yang berkuasa. Oleh karena itu,
institusi pendidikan harus bersikap otokratis dan mutlak

Kritik Ideologi Pendidikan | 163


sebab dengan sepenuhnya mereka harus melaksanakan
semua perintah para penguasa politik yang bersifat
otoriter. Pemerintah Indonesia yang otoriter menjadikan
institusi pendidikan sebagai kekuatan politik untuk
mendominasi rakyat karena secara mutlak pemerintah
mengatur kebijakan di institusi pendidikan. Sementara itu,
negara yang dipimpin oleh raja atau negara yang
menganut ideologi otokratis, kekuatan politiknya juga
mempunyai kekuatan yang sangat besar bahkan sangat
absolut tidak terbatas dalam mempengaruhi kebijakan
pendidikan. Raja mempunyai wewenang untuk memilih
dan menentukan kebudayaan apa yang akan diajarkan
pada peserta didik di sekolah maupun perguruan tinggi.
Kedua bentuk pemerintahan di atas memaksa
institusi pendidikan harus patuh dan tunduk mengikuti
segala keputusan dan kebijakan pemerintah. Oleh karena
itu, institusi pendidikan di Indonesia menganut sistem
oligarkis yang diperintah oleh beberapa penguasa yang
terpilih dan pemerintah Indonesia juga mengembangkan
sistem pendidikan yang monolinier seperti negara
otokratis. Institusi pendidikan di Indonesia hanya
mengutamakan pendidikan bagi kelompok-kelompok
tertentu yang sengaja dipersiapkan untuk menjadi penerus
penguasa. Sedangkan masyarakat Indonesia banyak
dibiarkan tidak terdidik dan dalam keadaan terbelakang
sebagai abdi penguasa.
Hampir dipastikan Indonesia juga menganut sistem
ideologi kapitalisme dan komunisme karena institusi
pendidikan dikuasai oleh sekelompok pemodal. Institusi
pendidikan di Indonesia umumnya dikuasai oleh pemodal,

164 | Kritik Ideologi Pendidikan


sehingga pada umumnya institusi pendidikan
dikembangkan atas dasar investasi. Alasan utama adalah
institusi pendidikan dibangun atas dasar bisnis dan
keuntungan ada pada pemilik modal. Di Indonesia yang
menerapkan diktator proletariat menerapkan pendidikan
sebagai fungsi negara. Pendidikan merupakan senjata
untuk menguasai rakyat yakni memacu rakyat menjadi
manusia yang seragam. Politik pendidikan di Indonesia
sama dengan pengendalian secara ketat terhadap negara
dan rakyat, sehingga institusi pendidikan erat sekali
kaitannya dengan sistem politik dan ambisi-ambisi politik
negara (Riyadi, 2016).
Oleh karena itu, institusi pendidikan di Indonesia
hanya mampu menghasilkan alumni-alumni yang
berkesadaran magis dan naif. Sangat jarang kita temukan
sarjana-sarjana yang berkesadaran kritis. Dari ketiga
kesadaran tersebut dapat diuraikan bagaimana perannya
dalam menumbuhkan kebudayaan berdasarkan sudut
pengalaman-pengalaman yang ada pada institusi
pendidikan di Indonesia, yaitu:
1. Penumbuhan Kesadaran Magis (Magical
Consciousness)
Kesadaran magis sengaja ditumbuhkan pada peserta
didik agar mereka tidak mampu mengetahui hubungan
atau kaitan antara satu faktor dengan faktor yang lainnya.
Proyek-proyek seperti ini seringkali terjadi dalam institusi
pendidikan di Indonesia karena pada umumnya banyak
alumni dari institusi pendidikan tidak mampu berkreasi
dan berkarya serta para sarjana Indonesia selalu tetap
berada di pinggiran arus pembangunan dunia yang

Kritik Ideologi Pendidikan | 165


berjalan begitu cepat. Akibatnya, jumlah pengangguran
terdidik di Indonesia justru bertambah banyak setiap
tahunnya karena semakin banyak pula institusi pendidikan
yang mewisudah alumninya setiap tahunnya. Mereka ini
kebanyakan berasal dari kelas menengah terpelajar.
Pengangguran terpelajar ini sebenarnya diakibatkan oleh
sistem pembelajaran di institusi pendidikan yang hanya
mendoktrin orang-orang untuk kerja menjadi PNS, BUMN,
dan Kariawan Swasta.
Doktrin di atas hanya akan mengantarkan para
sarjana ke dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan.
Sangat jarang institusi pendidikan yang mampu
menumbuhkan kreativitas pada para sarjana, sehingga
dengan mental yang diperoleh di atas maka institusi
pendidikan telah membawa dampak pada alienasi
(keterasingan) kepada para calon sarjana terhadap dunia
luar. Doktrin di atas juga dapat dikatakan sebagai
penanaman kebudayaan palsu karena institusi pendidikan
memberikan pada peserta didik bahwa sekolah dan
perguruan tinggi telah dianggap dapat menjanjikan kerja
langsung. Pada hal perkembangan dalam dunia kerja
begitu cepat melebihi nalar keilmuan yang diajarkan di
institusi pendidikan. Para pelajar telah dialienasikan oleh
institusi pendidikan yang mengisolasi mereka ketika
mereka bermaksud menjadi produsen dan konsumen dari
pengetahuan mereka sendiri.
Hal tersebut di atas terjadi karena orang-orang yang
belajar dan diajar dalam institusi pendidikan akan
kehilangan inisiatifnya untuk tumbuh mandiri dan
menutup diri terhadap hal-hal yang berkembang di luar

166 | Kritik Ideologi Pendidikan


pelajaran yang diajarkan di institusi pendidikan.
Kreativitas dan kemampuan diukur dari nilai-nilai yang
diatur oleh institusi pendidikan dan kesuksesan seseorang
juga ditentukan oleh seberapa tinggi nilai evaluasi yang
didapatkannya dan seberapa tinggi gelar kesarjanaan yang
diperolehnya. Oleh karena itu, institusi pendidikan telah
menjadi nilai konsumtif pasar kerja yang berkembang
dengan memberikan janji-janji pengembangan potensi
kerja yang menggiurkan, sehingga institusi pendidikan
telah menjadi lembaga rekayasa budaya yang paling
ampuh untuk membuat orang teralienasi (Riyadi, 2016).
2. Penumbuhan Kesadaran Naif (Naival Consciousness)
Institusi pendidikan sebagai sebuah lembaga
kesadaran yang melihat keterbelakangan peserta didik dari
perspektif orang lain. Di institusi pendidikan, etika,
pengetahuan, dan kreativitas dianggap sebagai sesuatu
masalah yang harus dicapai dan dikembangkan karena ini
adalah merupakan jalan menuju perubahan sosial. Institusi
pendidikan bertujuan untuk membangun peserta didik
yang mempunyai watak negatif dan positif yang
dilakukannya dengan cara (Riyadi, 2016):
a) Menjinakkan peserta didik yang anti terhadap
otoritarisme dan absolutisme terhadap segala bentuk
yang meliputi semua bidang kehidupan baik agama,
moral, sosial, politik dan ilmu pengetahuan.
b) Institusi pendidikan berdasarkan pada suatu
kepercayaan atas kemampuan manusia sebagai subjek
yang memiliki potensi-potensi alamiah, terutama
kekuatan-kekuatan mempertahankan diri untuk

Kritik Ideologi Pendidikan | 167


menghadapi dan mengatasi semua masalah kehidupan
peserta didik.
c) Institusi pendidikan memberikan keyakinan baru akan
pentingnya transformasi sosial sebagai bentuk
kesadaran seseorang atas teori normatif pendidikan.
Segala bentuk yang diajarkan di atas bertujuan agar
dapat membebaskan perilaku peserta didik yang liar dan
bebas. Institusi pendidikan pada umunya mengarahkan
mereka untuk dapat membentuk kesalehan sosial. Institusi
pendidikan yang awalnya untuk mengatur dan membekali
potensi peserta didik harus dipahami secara produktif,
tetapi kenyataannya justru menjadi lembaga yang
menakutkan karena memaksakan pemahaman yang
dogmatis dan kaku kepada peserta didik. Hal ini menjadi
polemik dalam institusi pendidikan karena semua
kemampuan peserta didik dievaluasi dan diukur dengan
nilai serba hitam dan merah. Nilai hitam jika peserta didik
mendapatkan nilai yang tinggi dalam proses belajarnya
begitu juga sebaliknya mendapat nilai merah jika peserta
didik tidak mampu mendapatkan nilai standar yang telah
ditentukan (Riyadi, 2016).
Proses evaluasi dalam institusi pendidikan dianggap
berkonotasi pragmatisme karena model penilaian adalah
salah dan benar dalam mengukur kelulusan peserta didik
lebih mengarah nalar pragmatisme. Paham ini dalam dunia
pendidikan ditumbuhkan oleh paradigma budaya
konsumerisme kapitalis. Pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi adalah merupakan sifat dari budaya kapitalisme.
Sifat dasar pembangunan yang pragmatis telah
membentuk karakter yang mendasari terselenggaranya

168 | Kritik Ideologi Pendidikan


institusi pendidikan yang kapitalis. Pada dasarnya, sikap
pragmatisme adalah merupakan sebuah ideologi berpikir
demi efisiensi dan efektivitas sebuah pembangunan. Di sisi
lain, pragmatisme ini memunculkan dampak negatif bagi
pembangunan institusi pendidikan yakni sikap
pembangunan yang bersifat pragmatis lebih banyak
mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang sebenarnya
merupakan bagian dan tujuan dari pembangunan institusi
pendidikan. Hal ini disebabkan karena yang ada dalam
benak para pembangun atau pemilik modal (kontraktor
dan pemerintah) adalah bagaimana cara membangun
sarana secara efektif, efisien, dan cepat sehingga dana
pembangunan dapat diambil separuh untuk dinikmati.
Paham di atas sebenarnya serupa dengan motif yang
ada pada kapitalisme klasik, yaitu ideologi yang
mengajarkan pada individu agar mampu mendapatkan
keuntungan semaksimal mungkin dengan modal
seminimal mungkin. Dari sinilah dapat dilihat bahwa
pembangunan institusi pendidikan kemudian membawa
dampak negatif dengan munculnya hegemoni budaya dan
politik. Dampak yang ditimbulkan dari hegemoni kultural
dapat dilihat dari munculnya modernisasi sebagai salah
satu motif pembangunan. Modernisasi pembangunan telah
menciptakan ideologi baru melalui rekayasa budaya dan
politik yang diciptakan secara sistematik dan terstruktur
untuk mengganti ideologi, budaya dan politik rakyat yang
tradisional. Rekayasa budaya ini dilakukan melalui
institusi agama dan institusi pendidikan untuk
mengaburkan hubungan kekuasaan dan menyebabkan
orang kehilangan nilai-nilai humanitas.

Kritik Ideologi Pendidikan | 169


Modernisasi telah berhasil merekayasa budaya
melalui institusi pendidikan yang berdampak pada
masyarakat secara umum dan juga lembaga-lembaga
lainnya yang termanifestasikan secara kelompok, sehingga
mempengaruhi citra rasa, moralitas, adat istiadat,
keagamaan, politik, dan hubungan sosial. Rekayasa
budaya ini telah berpengaruh pada seluruh aspek
humanitas karena mereka telah terhegemoni oleh budaya
konsumerisme atau kebudayaan benda. Nilai-nilai
kemanusiaan telah tercerabut dan digantikan dengan nilai-
nilai kebendaan. Keakuan manusia tidak lagi difokuskan
pada kesucian jiwa akan tetapi pada prestasi akumulasi
dan konsumerisme materi. Lingkungan pendidikan telah
berubah menjadi corak hedonistik, yakni kesuksesan
dirumuskan sebagai sesuatu yang mendatangkan
kenikmatan fisikal. Padahal kenikmatan fisikal seringkali
menjerumuskan pada penghancuran kehidupan (Gramsci,
2013).
Institusi pendidikan menjadi salah satu sasaran
propaganda pembangunan karena mereka tidak bisa lepas
dari paham-paham pragmatisme sebagai ideologi
pembangunan bermazhab kapitalisme. Fakta yang terjadi
dalam institusi pendidikan adalah kecenderungan
menempatkan peserta didik sebagai pelaku atau robot
pembangunan bukan sebagai individu yang memiliki jiwa
independen yang memiliki kreativitas dan potensi
personal. Kritik ini diarahkan pada institusi pendidikan
konvensional yang hanya sekedar membentuk manusia
yang bermental dan berorientasi pada pembangunan yang
kapitalis dan komersialis. Meskipun demikian

170 | Kritik Ideologi Pendidikan


pembangunan membutuhkan keterlibatan institusi
pendidikan dalam rangka mensosialisasikan arti
pentingnya pembangunan pada masyarakat (Riyadi, 2016).
Pentingnya peran institusi pendidikan dalam
pembangunan karena paradigma yang digunakan adalah
sumber daya manusia. Sumber daya mananusia sendiri
adalah hasil produksi dari institusi pendidikan. Teori
pembangunan menempatkan manusia dan institusi
pendidikan sebagai bagian penting dari faktor produksi.
Oleh karena itu, manusia adalah sebagai faktor produksi,
maka paradigma ini tentu saja mereduksi manusia menjadi
pekerja. Maka dari itu, institusi pendidikan merupakan
jalur strategis untuk menciptakan sumber daya manusia
yang produktif. Dalam era modernisasi, manusia yang
dapat bekerja secara produktif dan profesional adalah
mereka yang telah memperoleh ijazah dan ilmu melalui
institusi pendidikan yang diformalkan. Gelar dan ijazah
yang diperoleh dari institusi pendidikan didesain semata-
mata sebagai sertifikat yang harus dimiliki setiap orang
untuk dapat bekerja, sehingga manusia dalam institusi
pendidikan hanya dipahami sebagai kerangka pragmatis
mencari kerja atau semata-mata hanya menuntut ilmu
untuk menjadi tenaga kerja.
Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia di dasarkan
pada ukuran kesuksesan seseorang ditentukan oleh kerja
apakah sesuai dengan bidang studi dalam institusi
pendidikan. Ilmu yang diperoleh dari institusi pendidikan
tidak dipahami sebagai pengembangan keilmuan akan
tetapi pendidikan dipahami sebagai pencarian pekerjaan
yang bersifat praktis. Kenyataan pendidikan di Indonesia

Kritik Ideologi Pendidikan | 171


hanya sekedar diarahkan untuk memenuhi kepentingan
penguasa dan kapitalisme. Ini dapat dibuktikan dengan
semakin melemahnya kesadaran manusia terhadap
kehidupan yang diciptakan secara sosial. Dampak yang
terjadi dalam masyarakat adalah pendidikan, pasar, dan
politik membentuk sebuah relasi yang saling
ketergantungan ke dalam sebuah lingkaran sistem yang
nyaris tidak dapat dipisahkan. Infrastruktur pendidikan
yang digunakan hanya mengehendaki peserta didik
diarahkan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan
tekhnologi saja. Hasilnya, sistem pendidikan yang
semacam inilah cenderung menciptakan manusia
pragmatis pembangunan yang hanya mampu menuruti
aktor penguasa. Peserta didik hanya menjadi imajinasi
sosiologis untuk mengekspresikan realitas yang berada di
luar struktur. Dari sinilah dapat disimpulkan bahwa
institusi pendidikan telah membatasi kebebasan manusia,
sehingga mereka terkungkung dalam nalar pragmatis.
3. Penumbuhan Kesadaran Kritis (Critical
Consciousness)
Kesadaran kritis memandang institusi pendidikanlah
sebagai sumber masalah pendidikan dalam masyarakat.
Kesadaran kritis dapat memberikan ruang bagi individu
agar mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam
institusi pendidikan dan individu mampu melakukan
analisis bagaimana cara kerja institusi pendidikan. Institusi
pendidikan dipahami sebagai realitas yang dilihat
sebagaimana adanya yang diletakkan sebagai sebuah
institusionalisasi. Dalam hal ini, institusionalisasi
pendidikan merupakan bagian dari rekayasa budaya atau

172 | Kritik Ideologi Pendidikan


rekayasa sosial. Oleh karena itu, kesadaran kritis dapat
mengarahkan peserta didik untuk dapat melihat institusi
pendidikan yang telah membelenggu dan mengalienasi
dirinya.
Munculnya alienasi dalam institusi pendidikan
karena adanya diskriminasi terhadap kelompok minoritas
dan munculnya alienasi terhadap peserta didik karena
kemiskinan. Adanya institusi pendidikan yang mengitari
peserta didik membuat mereka tidak memungkinkan
dapat keluar dari struktur institusi pendidikan yang
membelenggu. Oleh karena itu, institusionalisasi
pendidikan melahirkan diskriminasi, penindasan,
peminggiran dan ketidakadilan sosial. Hal ini disebabkan
oleh adanya unsur superioritas kelompok dalam institusi
pendidikan terhadap kelompok lainnya. Lebih jauh lagi,
ada beberapa faktor mengapa institusi pendidikan
melahirkan diskriminatif, yaitu adanya klaim kebenaran
yang tidak disertai dengan adanya pemahaman pluralitas.
Faktor ini adalah bersumber dan berlangsung dalam
institusi pendidikan yang sifatnya eksklusif dan
konvensional. Secara harfiah, eksklusif berarti tertutup
pada kelompok lain dan terpisah dari kelompok lain yang
berbeda karena semata-mata dan tidak ada sangkut
pautnya dengan yang lain.
Institusi pendidikan pada umumnya dipahami
sebagai sebuah lembaga yang memandang bahwa
keyakinan, pandangan, pikiran dan prinsip dirinya
sendirilah yang paling benar. Sementara pendidikan yang
tidak terlembagakan sering dianggap remeh dan anak-anak
yang belajar pada lembaga ini dianggap tidak punya masa

Kritik Ideologi Pendidikan | 173


depan yang jelas serta berbeda dengan mereka yang
terlembagakan karena mereka memiliki legitimasi ijazah
yang digunakan untuk mencari kerja. Oleh karena itu,
institusi pendidikan merupakan arena pendidikan yang
bersikap anti dialogis dan eksklusif terhadap pemikiran
yang berasal dari kelompok kritis. Lebih jauh lagi,
penyebab lahirnya eksklusifisme institusi pendidikan,
yaitu:
a) Ideologi yang dikembangkan dalam institusi pendidikan
telah terbakukan melalui penafsiran-penafsiran tertentu
yang dilegalkan oleh institusi pendidikan, kemudian
diajarkan kepada peserta didik. Meskipun institusi
pendidikan pada umumnya menekankan pada
pembebasan, namun pada akhirnya kehilangan misi
kemanusiaan sebagai institusi pembebas, justru menjadi
tempat dehumanisasi. Ketika pendidikan mengalami
proses institusionalisasi yang berlebihan maka yang
terjadi adalah budaya bisu karena tidak ada lagi yang
berani mengkritisi dan menfasir di luar dari yang diakui
oleh institusi pendidikan.
b) Adanya alienasi terhadap manusia dalam institusi
pendidikan yang diakibatkan oleh eksistensi institusi
pendidikan lebih penting dibandingkan eksistensi
manusia. Konsep ini berawal dari keluhan manusia
yang merasa institusi pendidikan tidak dipersiapkan
untuk kemanusiaan tetapi untuk kepentingan
kapitalisme. Seringkali, institusi pendidikan dianggap
sebagai arena investasi modal ekonomi untuk
meneruskan tradisi dan kekayaan material dari generasi
ke generasi selanjutnya. Modal ini disebut oleh Freire

174 | Kritik Ideologi Pendidikan


dengan sistem pendidikan gaya bank (banking education
system) karena dalam prakteknya pendidikan hanyalah
proses pengalihan pengetahuan (transfer of knowledge).
Oleh karena itu, sistem pendidikan seperti ini akan
menimbulkan nalar eksklusif karena pada dasarnya
institusi pendidikan yang dikembangkan menganut
sistem searah dan tidak menampilkan sistem dialogis
(Freire, 2013; Riyadi, 2016).
Melihat persoalan di atas selama ini tidak ada
kesadaran kritis yang mengarah kepada penyadaran dan
pengetahuan yang memadai karena peserta didik akan
terus membisu dan berada di bawah tekanan institusi
pendidikan. Akibatnya, peserta didik tidak dapat
mengkritik sejarah, belajar dari sejarah, dan belajar dari
budayanya sendiri. Situasi ketertindasan inilah yang
kemudian menimbulkan kebudayaan bisu (culture of
silence). Secara filosofis, institusi pendidikan yang
dikembangkan masih terhenti pada tahap normatif
konvensional karena kurang memperhatikan aspek sejarah
dan kekinian teks. Jika klaim kebenaran berbenturan
dengan sejarah yang di dalamnya mengandung
kepentingan, misalnya kepentingan kelompok, golongan,
etnis, birokrasi, maka akan muncullah penghapusan atau
perubahan penafsiran terhadap teks-teks konvensional.
Penafsiran teks konvensional yang diklaim sebagai
ideologi tunggal dapat menjadi pemicu munculnya konflik
karena diidentifikasi sebagai penafsiran tunggal dan juga
diklaim sebagai sebuah kebenaran secara absolut yang
mengesampingkan kebenaran ideologi lain. Budaya bisu
terjadi karena ideologi pendidikan yang dikembangkan

Kritik Ideologi Pendidikan | 175


tidak melalui analisis kritis dan penafsiran-penafsiran
secara objektif, tetapi secara langsung ideologi ini
diresmikan oleh institusi pendidikan yang dibentuk oleh
lembaga sosial tertentu untuk kemudian diajarkan kepada
peserta didik atau masyarakat. Secara objektif, ideologi
sebelumnya menekankan pada pembebasan. Namun, pada
akhirnya kehilangan pesan profesinya sebagai ideologi
pembebas.
Secara esensial, ideologi pendidikan terbuka kepada
semua golongan masyarakat, tetapi dalam institusi
pendidikan, ideologi pendidikan dibatasi pada masyarakat
tertentu saja. Oleh karena itu, orang-orang yang tidak
dapat menempu pendidikan di institusi pendidikan akan
dilabeli sebagai orang tidak berpendidikan. Proses labelling
ini jelas akan menghilangkan rasa kemanuisaan pada
orang-orang yang teralienasi dari institusi pendidikan. Hal
ini seringkali dijumpai dalam institusi pendidikan,
misalnya pendidik menggunakan metode pembelajaran
yang menggagas pendekatan konflik, tanpa disadari
pendidik telah megarahkan peserta didik pada ideologi
eksklusif.
F. Institusi Pendidikan sebagai Rekayasa Politik
Upaya pemerintah dalam memajukan masyarakat
melalui institusi pendidikan dan mewujudkan mutu
sumber daya masyarakat agar menjadi sumber daya
pembangunan maka dilakukan dengan sebuah rekayasa
politik. Rekayasa politik yang dimaksud adalah
merumuskan dan menetapkan sebuah pendekatan,
metode, dan strategi dalam kebijakan pendidikan untuk
mengatur penyelenggaraan institusi pendidikan secara

176 | Kritik Ideologi Pendidikan


ketat, terencana, dan terprogram. Lebih jauh lagi, rekayasa
politik dalam institusi pendidikan didesain dan
dirumuskan berdasarkan kebijakan pemerintah atas
kehendak dan kepentingan mereka kedepannya. Oleh
karena itu, kebijakan pendidikan yang diterapkan dalam
institusi pendidikan didasarkan pada keseluruhan
keputusan serta perundang-undangan hasil dari proses
dan produk politik yang mengatur penyelenggaraan
pendidikan.
Rekayasa politik dalam institusi pendidikan dapat
kita lihat pada zaman orde baru sampai sekarang, yaitu
salah satu tujuan institusi pendidikan adalah mendukung
pembangunan nasional. Oleh karena itu, peserta didik
yang masuk ke dalam institusi pendidikan didoktrin dan
diarahkan untuk menjadi pekerja. Inilah yang dilakukan
oleh semua peserta didik setelah selesai menuntut ilmu di
institusi pendidikan. Mereka masuk ke dalam dunia kerja
karena sudah siap menjadi kuli yang diperintah oleh
atasan atau majikannya tanpa harus melakukan kritik
apapun. Oleh karena itu, ketika kondisi institusi
pendidikan menjadi demikian maka hasil yang diperoleh
dari institusi pendidikan adalah bukan lagi melahirkan
orang-orang terdidik yang siap mengabdi kepada bangsa
dan negara untuk melakukan perubahan, tetapi mereka
berada di bawah kendali pemerintah dan penguasa lainnya
yang memiliki modal besar atau kapitalisme. Posisi peserta
didik hanya digunakan sebagai penyokong
keberlangsungan dan kemajuan usaha para majikannya.
Institusi pendidikan telah didesain ke arah
pembangunan ekonomi maka yang terjadi kemudian

Kritik Ideologi Pendidikan | 177


adalah produk dari institusi pendidikan tidak lagi memiliki
kesadaran kritis yang tinggi karena yang dikejar dalam
institusi pendidikan adalah mencari ilmu atau mengenyam
pendidikan, mereka harus mencari kerja atau bekerja,
mendapatkan uang, dan melangsungkan kehidupannya
masing-masing. Oleh karena itu, apabila mereka
diharapkan untuk memikirkan persoalan pembangunan
bangsa dan kemanusiaan, maka itupun sangat sulit terjadi
karena tujuan mereka sekolah adalah untuk bekerja.
Sedangkan tujuan sebenarnya dari pendidikan adalah
sangat mulia, yaitu melahirkan peserta didik yang peduli
terhadap persoalan bangsa dan ikut membangun
bangsanya dengan lebih baik di masa mendatang. Namun
yang terjadi hari ini adalah peserta didik secara sengaja
maupun tidak sengaja diarahkan sebagai pekerja karena di
situ ada kepentingan politis yang sedang dijalankan oleh
pemerintah yang berkuasa (Wiratma, 2010).
Kepentingan politis yang ada dalam institusi
pendidikan adalah politik penumpulan kesadran kritis dan
penumpulan sikap kritis terhadap struktur sosial. Oleh
karena itu, institusi pendidikan akan menjadikan para
penguasa lebih mudah untuk menjalankan tujuan-tujuan
politiknya karena peserta didik atau masyarakat tidak
memiliki kesadaran untuk melakukan protes penolakan,
atau kritik terhadap sebuah kebijakan penguasa yang
diterapkan. Semua peserta didik ketika sedang menimba
ilmu di institusi pendidikan hanya diberi ilmu yang
menekankan kemampuan kognitif, sedangkan kemampuan
afeksi dan psikomotorik yang melatih peserta didik untuk

178 | Kritik Ideologi Pendidikan


peduli, perhatian dan kritis terhadap realitas sosial tidak
ditanamkan sama sekali.
Doktrin yang terjadi adalah pendidikan hanya
didapat dari lingkungan formalis seperti sekolah,
perguruan tinggi, pesantren, dan sebagainya dengan
asumsi bahwa hanya dari situlah tempat ilmu dan
pengetahuan diperoleh. Paham ini menutup kemungkinan
adanya tempat lain sebagai tempat untuk memperoleh
ilmu pengetahuan seperti pendidikan yang diajarkan
dengan model pendidikan non formal dan informal. Selain
itu, pembedaan cara untuk memperoleh ilmu dan
pengetahuan secara sadar para pendidik sebenarnya dapat
melakukan kritik atas muatan pendidikan itu sendiri dari
konsepsi selama ini. Mereka sebenarnya menyadari bahwa
institusi pendidikan yang dianggap sakral dan penuh
kebajikan ternyata tidak terlepas dari berbagai kepentingan
yang pada dasarnya menindas. Kritik ini akan semakin
memperkaya pemaknaan pendidikan itu sendiri, sehingga
diharapkan nantinya menghasilkan pemahaman-
pemahaman baru yang lebih tepat mengenai pendidikan
dan permasalahannya.
Para pendidik dan peserta didik tanpa sadar telah
terjebak dan mengikuti alur yang tidak jauh dari persoalan
kapitalisme. Mereka tidak menyadari hakikat dari ideologi
pendidikan yang dipakai dalam institusi pendidikan.
Meskipun ada orang yang menganggap bahwa institusi
pendidikan itu bersifat netral dari unsur-unsur kapitalisme
gaya baru, tentu saja orang tersebut sesungguhnya tidak
memahami konsep serta ideologi pendidikan apa yang
sudah terdistribusi ke dalam institusi pendidikan yang

Kritik Ideologi Pendidikan | 179


telah terkonsumsi. Lebih jauh lagi, kita dapat memaknai
bahwa arah institusi pendidikan ternyata hanyalah
berfungsi sebagai gudang mencari tenaga kerja bagi
industri yang telah tersedia, sehingga yang terjadi adalah
hasil atau produk dari institusi pendidikan selalu
mengarah ke arah marginalisasi nilai ilmu dan
pengetahuan itu sendiri. Terdapat sebuah kesan di dalam
institusi pendidikan bahwa para pendidik dan peserta
didik diarahkan ke dalam sebuah fenomena kepentingan
politik khususnya sebagai bahan utama pengisi
industrialisasi.
Secara umum, terdapat banyak orang yang masih
percaya bahwa institusi pendidikan mampu melahirkan
produk-produk pendidikan yang berkualitas dan dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara intelektual maupun
sosial. Lebih jauh lagi, bagi pemerintah, sebagai pemegang
kebijakan pendidikan dengan adanya konsep politik
pendidikan yang terarah meniscayakan adanya kebijakan
pendidikan yang mencerahkan dan memberadabkan
masyarakat. Namun, apabila saat ini masih banyak
kebijakan pendidikan yang tidak mencerahkan dan justru
menjadikan pendidikan sebagai proyek komersialisasi
tertentu, ini dikarenakan politik pendidikan yang
dijalankan oleh pemerintah cenderung lebih memihak
kepada golongan tertentu (Wisarja & Sudarsana, 2017).
Lebih jauh lagi, kita menemukan banyak ilmuwan
menjadi bagian yang menghamba dalam institusi
pendidikan yang merupakan bagian dari sistem borjuis
berdasarkan kapitalisme. Para ilmuwan ini memerlukan
kapital dan uang karena itu mau tidak mau tergantung

180 | Kritik Ideologi Pendidikan


pada kapitalisme dan kelas borjuis. Profesi mereka menjadi
kebutuhan-kebutuhan materil penguasa yang kemudian
memaksanya menjadi sekedar alat di tangan kapitalisme.
Oleh karena itu, kapitalismelah kekuatan yang
mendominasi yang mendikte pada sains dan menentukan
bagaimana seorang anak harus dibesarkan, dididik dan
dibentuk sedemikian rupa dalam institusi pendidikan,
sehingga apabila mereka telah dewasa mereka akan
mengabdi pada kebutuhan dan keinginan penguasa dan
kapitalisme. Peserta didik akan diikat oleh struktur dan
sistem dalam institusi pendidikan karena mereka
dibesarkan di institusi pendidikan dan pengajaran yang
sudah diatur terlebih dahulu. Peserta didik tidak akan
dapat bersikap bebas dalam karya-karyanya karena mereka
diharuskan untuk menemukan, merancang, dan membuat
apa yang telah ditetapkan (Syariati, 2001).
Institusi pendidikan menjadi budak uang dan ilmu
pengetahuan digunakan untuk menyalurkan keinginan
manusia akan kekayaan. Sebelum berkembangnya ideologi
kapitalisme, uang dan ilmu pengetahuan berdiri saling
terpisah. Orang yang beruang tidak dapat menjadi orang
yang bijak, sedangkan orang yang berilmu tidak menjadi
orang kapitalis. Siapa yang bijak akan kurang kekayaan
dan siapa yang kaya akan kurang kebijakannya. Bila ia
menginginkan kekayaan, ia akan memilih jalan menuju
pasar, tetapi bila ia menginginkan ilmu pengetahuan, ia
akan memilih tinggal di sudut rumahnya atau suatu
tempat peribadahan di mana ia akan ditemani oleh
beberapa orang lainnya dan di sana ia harus menderita
lapar dan deprivasi. Meskipun demikian ia menikmati

Kritik Ideologi Pendidikan | 181


suatu kehidupan yang bijak dengan derajat ilmu
pengetahuan dan kesucian pikiran.
Berdasarkan uraian di atas, institusi pendidikan telah
didesain untuk melanggengkan kekuasaan dan mengabdi
kepada penguasa dan kapitalisme, sehingga bagi Shariati
institusi pendidikan telah direduksi menjadi istri yang
selalu kalah dalam perkawinan di mana uang menjadi
suami yang dominan (Syariati, 2001). Modernisasi telah
mengembangkan ilmu pengetahuan secara luas. Disiplin
ilmu telah lahir berdasarkan bakat dan minat masing-
masing individu. Semua peserta didik dapat memilih
jurusan yang relevan dengan dengan cita-citanya. Orang
bekerja berdasarkan atas disiplin ilmu yang dia miliki
adalah sebuah keistimewaan tersendiri. Namun urusan
materi kadang melumpuhkan idealisme, keahlian kadang
hanya menjadi sebuah ambisi bukan atas dasar kreativitas.
Materi yang menggiurkan membohongi ilmu pengetahuan
yang telah bertahun-tahun ditekuninya.
G. Institusi Pendidikan sebagai Arena Kapitalisme
Peran ideologi kapitalisme adalah memainkan
perbedaan institusi pendidikan negeri dengan swasta, dan
institusi pendidikan miskin dengan sekolah kaya yang
mengakibatkan image negatif di masyarakat umum yang
mengingkari kualitas institusi pendidikan swasta yang
miskin. Institusi pendidikan berkualitas sering
diidentikkan dengan tampilan visual yang mencerahkan
harapan, misalnya fasilitas mewah, baju seragam bermerek,
gedung yang mewah dan bertingkat. Selain itu, institusi
pendidikan berkualitas menarik bayaran yang mahal dari
orangtua murid dan proses seleksi penerimaan murid baru

182 | Kritik Ideologi Pendidikan


yang sangat ketat, yaitu hanya menerima peserta didik
yang sudah pintar dan menolak mereka yang bodoh serta
hanya menerima peserta didik yang berasal dari keluarga
kaya (Martono, 2010).
Pada hakikatnya, institusi pendidikan merupakan
sebuah tempat bagi seseorang untuk memperoleh ilmu
pengetahuan yang nantinya dapat dimanfaatkan untuk
masa depannya. Namun, institusi pendidikan yang selama
ini dijalankan, seolah telah tercerabut dari hakikat
pendidikan itu sendiri. Institusi pendidikan semata-mata
dilakukan hanya untuk mencapai kehidupan yang layak,
mencari pekerjaan, mendapatkan penghargaan atau
sekedar untuk melanggengkan kekuasaan dan penindasan.
Institusi pendidikan sering dipandang sebagai satu-
satunya harapan masa depan bagi setiap orang dan negara,
bahkan hal ini sudah mengakar dalam pemikiran sebagian
besar masyarakat. Selain itu, keberhasilan seseorang dalam
institusi pendidikan hanya dipahami sebagai keberhasilan
memperoleh selembar ijazah yang nantinya dapat
dijadikan sebagai jaminan untuk memperoleh perkerjaan
yang layak (Dewey, 2002; Martono, 2010).
Institusi pendidikan masih diyakini sebagai satu-
satunya jalan menuju kesuksesan. Modal simbolik seperti
ijazah dan gelar masih menjadi prioritas yang ingin diraih
oleh anggota masyarakat, sehingga tidak heran jika banyak
anggota masyarakat yang masih berupaya mendapat
simbol-simbol tersebut dengan cara instan demi meraih
kesuksesan (Martono, 2010). Nasib setiap orang
digantungkan pada institusi pendidikan karena apabila
mereka tidak memiliki ijazah maka menyulitkan mereka

Kritik Ideologi Pendidikan | 183


untuk mendapat legitimasi dalam masyarakat, seperti
mendapatkan pekerjaan, penghormatan dari orang lain,
dan simbol-simbol status sosial lainnya. Sehingga yang
terjadi adalah peserta didik masuk ke dalam institusi
pendidikan hanya untuk memperoleh ijazah bukan untuk
menuntut ilmu pengetahuan.
Pada umumnya, masyarakat pun sering
membenarkan persepsi di atas. Para sarjana berkerja tidak
sesuai dengan ijazahnya dan tidak berdasi atau tidak
berseragam sering kali mendapat cemoohan masyarakat.
Oleh karena itu, apabila kualitas individu hanya diukur
dengan selembar ijazah maka akibatnya sering muncul
persepsi dengan selembar ijazah kita dapat meraih
segalanya. Dari persepsi ini, akan melahirkan ideologi-
ideologi kapitalisme di dalam institusi pendidikan karena
kapitalisme lahir dari nilai kuantitaif yang diperoleh
peserta didik di sekolah. Hal ini lebih disebabkan
mahalnya biaya sekolah pada jenjang pendidikan tinggi.
Hanya penduduk dari kelas atas saja yang mampu
menempuh pendidikan sampai usia 16 sampai 18 tahun,
sehingga semakin tinggi jenjang sekolah, maka persentase
jumlah penduduk yang menempuh pendidikan semakin
rendah (Martono, 2010).
Kritik terhadap institusi pendidikan adalah lebih
mengedepankan nilai sains daripada nilai sosial.
Pendidikan nilai sosial kurang mendapat porsi yang
seimbang dalam institusi pendidikan. Selain itu, institusi
pendidikan masih menggunakan nilai sains sebagai
indikator kecerdasan peserta didik karena angka-angka
yang menjadi penentu layak tidaknya peserta didik

184 | Kritik Ideologi Pendidikan


mendapat predikat anak pintar. Nilai yang berupa angka
saat ini menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi
peserta didik karena mereka harus menghadapi tembok
tinggi yang berupa ujian nasional. Ujian nasional
merupakan sarana untuk menyeleksi peserta didik untuk
naik ke jenjang yang lebih tinggi. Nilai ini kemudian
direpresentasikan dalam bentuk selembar ijazah dan
sederet gelar. Simbol-simbol yang berupa ijazah atau gelar
inilah yang kemudian menjadi modal budaya yang tidak
semua orang mampu mendapatkannya. Selanjutnya,
institusi pendidikan akan menjadi modal simblolik bagi
peserta didik bersekolah di institusi pendidikan favorit
menjadi sebuah kebanggaan bagi dirinya.
Institusi pendidikan lebih banyak memfokuskan pada
sisi kuantitas untuk mengukur keberhasilan atau kualitas
peserta didik. Kualitas ini lebih ditunjukkan melalui nilai
hasil ujian dalam bentuk angka-angka. Pendidikan juga
hanya dimaknai sebagai jalan untuk mencari pekerjaan
yang layak dan mengejar status sosial. Selain itu, dikotomi
institusi pendidikan favorit dan tidak favorit telah
memunculkan komersialisasi institusi pendidikan karena
institusi pendidikan favorit akan memasang biaya mahal
kepada calon muridnya dengan menawarkan berbagai
fasilitas dan pendidikan yang berkualitas (Martono, 2010).
Sedangkan institusi pendidikan tidak favorit akan
didatangi oleh calon murid yang miskin dan hasil buangan
dari institusi pendidikan favorit.
Pandangan orangtua dan anak bahwa institusi
pendidikan favorit akan memberikan jaminan kesuksesan,
sehingga para orangtua berbondong-bondong untuk

Kritik Ideologi Pendidikan | 185


menyekolahkan anaknya ke institusi pendidikan favorit
(yang mahal). Pandangan inilah yang kemudian
memunculkan proses kapitalisasi institusi pendidikan.
Ketika institusi pendidikan favorit banyak diminati
masyarakat karena dianggap mampu memberikan jaminan
keberhasilan, maka institusi pendidikan akhirnya
memasang biaya yang tinggi. Sesuai hukum permintaan,
ketika permintaan tinggi, maka harga akan tinggi, maka
sekolah sebagai lembaga pendidikan akan mengikuti
hukum ini. Oleh karena itu, institusi pendidikan favorit
akan memberikan iming-iming berupa fasilitas yang
lengkap, guru atau dosen yang bergelar dan berkualitas
sampai memberikan jaminan kerja bagi lulusannya.
Sedangkan institusi pendidikan yang tidak favorit dengan
fasilitas yang tidak lengkap dan guru yang tidak
berkualitas serta letaknya yang berada di pinggiran akan
sepi.
Dampak yang ditimbulkan oleh ideologi kapitalisme
dalam institusi pendidikan adalah masyarakat tidak akan
melirik profil institusi pendidikan miskin karena dianggap
tidak mampu membawa anaknya menuju pintu
keberhasilan. Institusi pendidikan akan cenderung menjadi
eksklusif, terutama institusi pendidikan favorit yang
mahal. Institusi pendidikan favorit hanya dapat dinikmati
oleh segelintir orang dari golongan atas. Institusi
pendidikan ini dilengkapi dengan fasilitas yang serba
mewah dan dibatasi dengan pagar tinggi, seolah-olah jika
anak ingin belajar harus dikarantina di institusi
pendidikan.

186 | Kritik Ideologi Pendidikan


H. Nihilisme Institusi Pendidikan
Kondisi institusi pendidikan nasional saat ini
dihadapkan pada fenomena pendidikan anti realitas. Hal
ini karena institusi pendidikan tidak berbasis pada
kebudayaan, kebutuhan dan realitas kehidupan
masyarakat Indonesia. Misalnya, sebagian besar
masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris yang
berbasiskan pada pertanian dan perkebunan. Namun
pendidikan Indonesia belum mampu mengembangkan
budaya pertanian dan perkebunan yang baik dan produktif
melalui institusi pendidikan. Akibatnya, pemerintah
Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan
masyarakatnya sendiri. Oleh karena itu, mereka
menutupinya dengan mengimpor hasil pertanian dari luar
seperti beras, buah-buahan, kedelai, dan bahkan garam.
Hal ini disebabkan karena tidak adanya political will dari
pemerintah untuk mengembangkan pertanian dan
perkebunan, sehingga profesi sebagai petani menjadi
profesi pinggiran yang sama sekali tidak diminati oleh
mayoritas masyarakat Indonesia. Hampir tidak ada anak
Indonesia saat ini yang bercita-cita menjadi petani, padahal
mayoritas warganya hidup dalam wilayah agraris. Ini
menunjukkan adanya gap antara institusi pendidikan dan
realitas sosial.
Institusi pendidikan yang anti realitas tidak berpijak
di bumi. Teori-teori yang diajarkan di sekolah dan
perguruan tinggi tidak mencerminkan apa yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena teori-teori yang
diajarkan adalah teori-teori yang dikonstruksi di ruang dan
tempat yang berbeda. Teori-teori ini berasal dari negara

Kritik Ideologi Pendidikan | 187


lain atau belahan bumi yang lain, sehingga teori-teori ini
berusaha untuk dikonstruksi dan dilakukan
kontekstualisasi agar teori-teori tersebut menjadi bermakna
bagi kehidupan peserta didik. Teori-teori yang diajarkan
dalam institusi pendidikan tidaklah netral atau value free,
tapi selalu didasarkan pada satu nilai atau ideologi
tunggal. Faktanya, apapun teori yang diajarkan dalam
institusi pendidikan di Indonesia adalah teori a-historis
(tidak berbasis pada konteks sejarah dan kearifan lokal),
sehingga relevansi dan signifikansinya terhadap
kehidupan dan masa depan peserta didik jauh dari hakikat
pendidikan itu sendiri.
Para ilmuwan dalam institusi pendidikan saat ini
cenderung dan dominan pada penelitian-penelitian
akademik yang dilakukan lebih mendukung penggunaan
teori-teori Barat untuk memahami konteks kearifan lokal.
Peneliti yang berdasarkan pada konteks kearifan lokal dan
konstruksi terhadap teori-teori Barat masih jarang ditemui.
Akibatnya, institusi pendidikan menjadi miskin dalam
melahirkan teori-teori baru yang berbasis pada kearifan
lokal. Oleh karena itu, para ilmuan di institusi pendidikan
lebih berperan sebagai konsumen daripada produsen ilmu.
Meskipun dalam metodologi penelitian selalu disebutkan
bahwa penelitian kualitatif berorientasi untuk menemukan
teori-teori baru, tapi pada kenyataannya tidak seperti yang
dideskripsikan. Jarang sekali penelitian-penelitian dari
institusi pendidikan, seperti dalam bentuk skripsi, tesis,
disertasi, dan dosen yang berakhir dengan penemuan teori-
teori baru (Nuryanto, 2017).

188 | Kritik Ideologi Pendidikan


Institusi pendidikan di Indonesia saat ini memang
ada kecenderungan untuk menjadikan peserta didik
sebagai konsumen ilmu, teori, atau konsep, daripada
produsen. Seperti yang pernah diungkapkan oleh
Hardiman bahwa peserta didik di Indonesia tidak diajak
untuk merefleksi bagaimana seorang pakar di bidang
tertentu menemukan atau melahirkan sebuah teori atau
diajak untuk mengkritisi atau mendemitologisasi ideologi
di balik teori. Padahal di balik teori selalu ada nilai dan
ideologi (Hardiman, 1993). Ini menandakan bahwa proses
pendidikan dan pengajaran di dalam institusi pendidikan
hanya sebatas pada tahap penerimaan teori, konsep, dan
pengetahuan yang lebih menekankan pada aspek kognitif.
Dalam konsep hierarki pendidikan, pembentukan aspek
kognitif atau pengetahuan adalah tahap yang paling dasar.
Seharusnya yang dikembangkan dalam institusi
pendidikan adalah tahap kedua di atas pengetahuan, yaitu
tahap critical reflection of theory yang memiliki fungsi untuk
mengkaji bias-bias ideologi di balik teori.
Selain itu, terdapat juga tahap ketiga setelah
kesadaran kritis, yaitu tahap contextualization of theory.
Tahap ini adalah melakukan kontekstualisasi teori ke
dalam kearifan lokal sejauh mana teori yang dikonstruksi
pada ruang dan waktu yang berbeda dapat diterapkan
dalam ruang kehidupan sosial masyarakat. Sedangkan
tahap yang paling tinggi adalah theoritical production. Tahap
ini adalah proses pendidikan yang bertujuan untuk
memproduksi teori yang berbasiskan pada kearifan lokal.
Apabila keempat tahap pendidikan ini sudah menjadi
tradisi dalam institusi pendidikan di Indonesia maka

Kritik Ideologi Pendidikan | 189


peserta didik tidak semata-mata menjadi consumer of theory,
tetapi juga producer of theory. Sayangnya, hingga level
penulisan karya ilmiah pun masih banyak yang belum
mampu melahirkan teori baru yang berbasis penelitian
pada kearifan lokal (Nuryanto, 2017).
Kemiskinan institusi pendidikan Indonesia dalam
melahirkan teori dilihat dari konstribusi sekolah dan
perguruan tinggi terhadap perubahan sosial yang masih
minim. Sudah ribuan skripsi, tesis, dan disertasi dihasilkan
oleh perguruan tinggi, tapi semakin jauh juga signifikansi
penelitian-penelitian akademik tersebut dengan perubahan
sosial dalam masyarakat. Kenyataan menunjukkan bahwa
karya-karya akademik ilmiah tersebut memiliki dampak
yang tidak begitu signifikan terhadap perubahan sosial
karena paradigma penelitian yang digunakan lebih banyak
didominasi oleh paradigma penelitian positivistik dan
hermeneutik. Tujuan penelitian positivistik adalah
memahami tingkah laku manusia berbasiskan pada
prinsip-prinsip ilmu alam. Sedangkan tujuan penelitian
hermeneutik adalah memahami dan menafsirkan tingkah
laku manusia melalui penafsiran terhadap pengalaman
hidup mereka.
Pendekatan penelitian positivistik dan hermeneutik
tidak sampai pada tahap transformasi, yaitu menjadikan
pemahaman dan penafsiran terhadap tingkah laku
manusia sebagai basis untuk melakukan upaya-upaya
perubahan sosial masyarakat yang diteliti, seperti yang
menjadi prinsip dalam penelitian berbasis teori kritis. Fakta
menunjukkan bahwa masih sangat minim sekali penelitian
akademik di perguruan tinggi yang berbasis pada teori

190 | Kritik Ideologi Pendidikan


kritis, atau dengan menggunakan model Participatory
Action Research (PAR). Inilah mungkin salah satu yang
menyebabkan kenapa penelitian akademik di kampus
kurang memiliki dampak sosial.
I. Matinya Ideologi ke-Tuhanan dalam Institusi
Pendidikan
Amat penting untuk disampaikan di sini tentang
pemikiran dasar Nietzsche mengenai kematian Tuhan
dalam sains. Nietzsche memahami Tuhan seperti mimpi,
yaitu ketika kita tidur dan bermimpi, kita seperti berada
dalam dunia nyata yang ternyata hanya mimpi. Seperti
demikianlah mengenai Tuhan dalam institusi pendidikan
saat ini. Para ilmuwan dalam institusi pendidikan tidak
mampu membedakan antara kenyataan yang sebenarnya
dengan kenyataan yang hanya merupakan ilusi semata.
Lebih jauh lagi, kritik Nietzsche pada institusi pendidikan,
yaitu Ia menganggap Tuhan hanya proyeksi dari
keterbatasan para ilmuwan yang merindukan sebuah
kekuasaan dan popularitas yang tidak terbatas dalam
institusi pendidikan. Selain itu, pemikiran Nietzsche
mengenai kematian Tuhan sendiri terdapat pada sebagian
karya-karyanya, yaitu tulisannya yang terkenal mengenai
ilmu kebahagiaan. Ini terdapat pada bukunya yang
berjudul The Gay Science yang di dalamnya menceritakan
tentang ada seorang gila datang ke sebuah kerumunan dan
berteriak-teriak mengenai kematian Tuhan (Wibowo, 2004).
Nietzche menggambarkan Zarathustra yang telah
lama betapa di atas gunung kemudian turun melewati
seseorang yang sedang bertapa di suatu tempat, berkata:
“aneh orang ini belum tahu kalau Tuhan telah mati”.

Kritik Ideologi Pendidikan | 191


Kemudian di kota, Zarathustra masuk ke dalam pasar dan
menuduh orang-orang telah membunuh Tuhan.
Lengkapnya dapat diperhatikan sebagai berikut:
Si gila. Tidakkah kalian dengar tentang si gila yang
menyalahkan sebuah lentera pada jam-jam pagi
yang terang benderang; Ia lari masuk ke pasar dan
berteriak: Saya mencari Tuhan! Saya mencari
Tuhan! Si gila terbahak-bahak kegirangan di
tengah-tengah orang banyak yang berdiri. Mereka
sudah tidak percaya kepada Tuhan. Seorang di
antara mereka berkata: Apakah Ia telah tersesat
seperti seorang bocah? Atau bersembunyikah Ia?
Takutkah Ia kepada kita? Mengembarakah Ia?
Atau telah pindah? Demikianlah ocehan mereka
sambil tertawa. Si gila kemudian meloncat ke
tengah mereka dan menembus mereka bersama
lenteranya. Dia berteriak: Kemanakah Tuhan
larinya? Aku akan jelaskan kepadamu semua. Kita
telah membunuhnya kalian dan aku. Kita semua
adalah pembunuh. Bukankah lentera harus
dinyalakan ketika pagi? Belumkah kita dengar para
penggali pusara yang sedang menguburkan
Tuhan? Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati (God is
dead. God remains dead) (Wibowo, 2004).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa Nietzsche
mengemukakan kebudayaan sains dalam institusi
pendidikan, yaitu Tuhan telah mati dalam hati para saintis
karena yang dipentingkan dalam institusi pendidikan
hanyalah materi belaka, apalagi para akademisi didominasi
oleh ilmu alam (science) yang telah menjauhkan manusia
dari kepercayaan sepenuhnya kepada Tuhan. Kritik
Nietzsche ini merupakan fenomena intelektual di Barat,
dimana agama gagal dalam memberikan jawaban yang

192 | Kritik Ideologi Pendidikan


memuaskan terhadap tuntutan intelektual manusia yang
mencari sesuatu di balik yang ada. Secara simbolik Tuhan
telah mati dalam institusi pendidikan karena para saintis
sudah tidak menghiraukan tindakan moral apapun yang
ada adalah etik yang situasional dan individual.
Lebih jauh lagi, tidak ada etik yang bersumber dari
wahyu yang berlaku secara universal dalam institusi
pendidikan sehingga para saintis telah kehilangan kiblat
yang sebenarnya. Pada dasarnya, Nietzsche sebenarnya
mengkritik para saintis karena Ia masih merindukan
sesuatu yang bermakna dalam institusi pendidikan
meskipun Ia telah menjadi seorang agnostik dan ateis.
Keadaan di Barat tersebut, dapat terjadi di mana saja,
termasuk di semua institusi pendidikan apabila
masyarakatnya telah meninggalkan ajaran wahyu dan
menuhankan sains. Untuk itu, apa yang dikritik oleh
Nietzsche akan lebih berkembang pada zaman modern
yang ditandai dengan rasionalisme, humanisme dan
perubahan yang cepat, serta postmodern yang ditandai
dengan tidak adanya hal yang definitif (Wibowo, 2004).
Mendengar kritik Nietsche terhadap para saintis
seolah institusi pendidikan telah mengantarkan kita pada
sebuah kekafiran ke-Tuhanan, namun ini hanyalah sebuah
kesalahan dalam memamahi cara berpikirnya. Boleh kita
katakan bahwa Nietzsche tidak percaya agama bahkan Ia
meninggalkan agamanya, kemudian berbalik
mengkritiknya, tetapi yang paling penting dalam diri
Nietzsche adalah ada kekuatan gaib yang menyebabkan
dirinya eksis di dunia ini. Nietzsche tentu seorang ateis
karena dia meninggalkan agamanya tetapi dia tidak seperti

Kritik Ideologi Pendidikan | 193


orang ateis pada umumnya karena dia masih mencari
sebuah kesalehan (Wibowo, 2004).
Saya tidak bermaksud untuk membela Nietzsche dan
menjadi pengikutnya karena dia pun menganjurkan pada
setiap pembacanya untuk tetap eksis dengan dirinya
sendiri. Yang paling penting dalam pemikiran Nietzsche
adalah kritiknya pada para saintis yang mendewakan
keilmuan yang kemudian dikembangkan melalui institusi
pendidikan. Kritiknya Nietzsche terhadap para pembela
objektivisme (bebas nilai) atau para saintis karena Ia
meragukan semua itu dan menganggapnya bahwa para
saintis telah membunuh Tuhan dalam dirinya. Ini juga
melibatkan para peneliti yang memberi jarak pada objek
penelitiannya.
Bagi Nietzsche manusia yang cacat dalam keyakinan
adalah manusia yang percaya Tuhan sekaligus juga
beriman dalam sains dan manusia yang merasa diri cerah
tetapi Ia masih terbelunggu dan menjadi tahanan
kepercayaan. Oleh karena itu, manusia butuh sains dan
butuh pegangan ilmiah untuk bisa hidup. Kritik Nietzsche
dalam sains, yaitu dalam arti apa kita masih saleh,
keyakinan-keyakinan tidak lagi memiliki tempat dalam
institusi pendidikan. Hanya jika keyakinan-keyakinan itu
memutuskan untuk merendahkan dirinya ke level
hipotesa, mau mengadopsi sudut pandang sementara
percobaan eksperimental sebagaimana fiksi regulatif.
Dengan begitu, keyakinan-keyakinan tersebut boleh diberi
akses atau bahkan menjadi nilai tertentu dalam domain
institusi pendidikan.

194 | Kritik Ideologi Pendidikan


Institusi pendidikan dibangun seperti kota
berbenteng tertutup kokoh dengan tembok penahan dan
dengan pasukan penjaga yang teliti menyensor siapa saja
yang akan masuk ke dalam institusi tersebut. Siapa pun
yang akan masuk ke dalam institusi pendidikan akan
berhadapan dengan polisi kecurigaan di gerbangnya dan
meminta agar setiap orang yang masuk ke dalam banteng
tersebut membuang apa saja yang namanya keyakinan
yang tidak rasional. Faktanya di dalam institusi
pendidikan, para saintis menemukan segala sesuatu secara
objektif. Oleh karena itu, apapun yang berbau subjektif,
polisi sains tidak mengizinkan yang namanya keyakinan
agama, keyakinan ideologis, sosiologis, dan praduga apa
pun berkeliaran di dalamnya.
Kita tahu bahwa ketika kita masuk ke dalam institusi
pendidikan, kita dituntut agar metodologi harus objektif
atau bebas nilai. Kita tidak boleh menggunakan kitab suci
dan wahyu karena di dalam institusi pendidikan ada
prosedur kerja yang harus ditaati untuk menemukan
segala sesuatu secara objektif. Kalau ditelaah lebih dekat
lagi, bukankah artinya seperti ini, sebuah keyakinan
diterima dalam sains jika berhenti sebagai keyakinan.
Jangan-jangan yang namanya roh disiplin saintifik itu
memang dimulai dari segala bentuk keyakinan,
kemungkinan memang begitu supaya disiplin semacam itu
bisa muncul tinggal dicari apakah sebelumnya ada
keyakinan lain yaitu keyakinan bersifat imperatif dan
tanpa syarat sedemikian rupa, sehingga mengorbankan
dirinya seluruh bentuk keyakinan-keyakinan lainnya.

Kritik Ideologi Pendidikan | 195


Kita melihat sains pun didirikan atas sebuah
kepercayaan tidak ada sains tanpa praduga. Benarkah sains
betul-betul bebas nilai atau bebas dari keyakinan-
keyakinan. Nietzsche bertanya-tanya, jangan-jangan
dibalik upaya atas pelarangan sebetulnya ada keyakinan
lain secara diam-diam menginginkan menjadi satu-satunya
raja dalam institusi pendidikan, sehingga keyakinan
tersebut menuntut agar segala keyakinan harus
ditinggalkan. Sebenarnya di balik pelarangan tersebut ada
kehendak atas objektivitas itu sendiri yang tidak lain juga
sebagai sebuah keyakinan. Bila keyakinan-keyakinan lain
harus disensor, maka keyakinan sains bersifat imperatif
tanpa syarat dan bersifat arbiter (sewenang-wenang).
Nietzsche melihat bahwa ada sebuah kehendak
dalam sains tak terduga yang memaksakan sebuah
prosedur agar warga institusi seolah-seolah bersikap
ilmiah atau objektif. Ia yang menginginkan dominasi rasio
objektif, ternyata keinginan tersebut berasal dari luar rasio
objektif. Prosedur ilmiah yang diterapkan oleh para
saintifik adalah sesuatu yang sama sekali tidak ilmiah,
yaitu kepercayaan yang mendahului prosedur ilmiah itu
sendiri. Yang dilihat oleh Nietzsche sebenarnya adalah roh
metode saintifik, apa mekanismenya, atas nama apa sains
menamakan dirinya sains, roh apa yang menggerakkan
dan memberinya hidup. Nietzsche melihat bahwa roh sains
sebenarnya sama sekali bukan roh yang saintifik. Metode
ilmiah yang penuh prosedur ternyata disemangati oleh
sesuatu yang sama sekali tidak tunduk pada metode yang
didirikannya sendiri. Singkatnya di balik roh saintifik ada
kepercayaan tertentu mengenai kebenaran.

196 | Kritik Ideologi Pendidikan


Tidak ada sesuatu pun yang mutlak diperlukan selain
dari kebenaran dan apabila dibandingkan dengan
kebenaran lainnya, hanyalah sekunder belaka. Kehendak
absolut kebenaran apakah sebuah kehendak untuk tidak
membiarkan diri salah atau apakah kehendak untuk sama
sekali tidak mau salah. Menurutnya yang kedua inilah
karena mereka tidak mau salah, sehingga darimanakah
sains memperoleh sebuah kebenaran di atas semua
kebenaran yang lainnya. Keyakinan seperti itu sama sekali
tidak bisa akan ada jika yang namanya kebenaran dan
ketidakbenaran berada dalam waktu yang sama berguna
satu bagi yang lainnya.
Menurut Nietzsche jangan-jangan ada yang lebih
mengerikan, yaitu di balik fanatisme akan kebenaran itu,
ada prinsip destruktif yang memusuhi kehidupan,
kehendak akan kebenaran adalah secara diam-diam
kehendak akan kematian. Ketika seseorang menentukan
sebuah standar kebenaran, maka seseorang tersebut
menolak dunia ini sebagai sebuah kebenaran karena
kebenaran dan ketidakbenaran sebenarnya terpadu ke
dalam satu perilaku manusia. Ketika saat ini kita tahu
bahwa wajah sains itu dalam praksisnya terwujud dalam
pemerkosaan habis-habisan atas sumber daya alam,
pemincangan keseimbangan ekologis, dan pereduksian
manusia telah dikritik oleh Nietzsche.
Di balik sains ada kepercayaan metafisik, tentunya ke
mana saya akan sampai, sebuah kepercayaan metafisik
yang atasnya kepercayaan atas sains dilandaskan selalu
ada. Kita yang lain yang selalu mencari pengetahuan, kita
yang lain yang tanpa Tuhan dan anti metafisik, meskipun

Kritik Ideologi Pendidikan | 197


begitu, toh masih meminjam api dari kebakaran yang
sudah dikobarkan oleh sebuah kepercayaan milliner,
kepercayaan agama, yang juga merupakan
kepercayaannya Plato atau kepercayaan bahwa Tuhan
adalah kebenaran yang Ilahi. Tetapi kita harus bilang apa
jika ini semakin lama semakin terdiskreditkan, jika
semuanya ternyatakan sebagai tidak Ilahi, jika semua itu
adalah kesalahan, kebutaan, dan kebohongan; dan jika
Tuhan itu adalah kebohongan kita yang paling tahan lama.
Jadi Nietzsche membawa analisis sains ke dalam
kepercayaan metafisika dan kepercayaan Tuhan sebagai
kebenaran, sehingga kematian Tuhan adalah dari dalam
diri orang-orang yang bermental sains dalam institusi
pendidikan.
J. Membebaskan Masyarakat dari Institusi Pendidikan
Ivan Illich adalah salah satu tokoh filsafat pendidikan
yang secara terbuka mengkritik institusionalisasi
pendidikan yang dilakukan oleh Pemerintah Austria
karena baginya institusi pendidikan tidak jauh berbeda
dengan institusi agama yang memaksakan ajarannya
kepada masyarakat untuk diikuti dan dibela. Selain itu,
kebencian terhadap institusi pendidikan karena
memposisikan dirinya sebagai satu-satunya lembaga yang
mampu membawa individu pada kesuksesan berupa
status, kepandaian, keberhasilan meraih kerja dan
sebagainya. Oleh karena itu, masyarakat seolah terjebak
karena mereka menganggap institusi pendidikan sebagai
pintu masa depan kesejahteraan masyarakat. Namun,
secara esensial, proses pendidikan tidak dapat disamakan

198 | Kritik Ideologi Pendidikan


dengan institusi pendidikan karena pendidikan tidak sama
dengan cara kerja institusi (Illich, 1982; Martono, 2010).
Misi utama adalah institusi pendidikan harus
direformasi karena masyarakat masih terjebak pada mitos-
mitos institusi pendidikan yang dianggap jaminan dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, Illich mengatakan
bahwa kita harus dapat mereformasi institusi pendidikan
karena masyarakat harus mengubah persepsi mereka
mengenai mitos-mitos pendidikan. Mitos-mitos tersebut
terdiri dari (Illich, 1982; Martono, 2010):
1) Mitos nilai institusi, yaitu: masyarakat belajar untuk
membutuhkan institusi pendidikan, belajar yang
bernilai adalah hasil kehadiran individu di kelas, nilai
yang meningkat diukur dari ilmu pengetahuan yang
diperoleh, serta nilai-nilai dapat diukur dan dicatat
melalui gelar dan ijazah.
2) Mitos tentang pengukuran nilai, yaitu: institusi
pendidikan menenggelamkan individu ke dalam dunia
struktural bahwa segala hal adalah dapat diukur
termasuk prestasi, dan institusi pendidikan membagi
mata pelajaran yang hasilnya dapat diukur dengan
standar nasional.
3) Mitos pemaketan nilai-nilai, yaitu: institusi pendidikan
menerapkan dan juga sekaligus menjual kurikulum
pada orangtua dan peserta didik, sehingga kurikulum
berfungsi sebagai barang komoditas.
4) Mitos kemajuan yang berkesinambungan, yaitu: untuk
dapat maju, institusi pendidikan mengharuskan setiap
peserta didik agar selalu naik ke tingkat yang lebih
tinggi dengan kompetisi yang lebih ketat untuk

Kritik Ideologi Pendidikan | 199


mendapatkan penghargaan terhadap gelar yang
diperoleh dan status sosial.
Pendapat Illich di atas memang cukup radikal karena
Ia menginginkan reformasi pendidikan dalam masyarakat.
Meskipun, secara faktual, reformasi pendidikan sulit untuk
dilakukan karena masyarakat masih mengagung-agungkan
keberadaan institusi pendidikan, tetapi ini adalah jalan
yang diberikan oleh Illich kepada kita untuk melakukan
transformasi pendidikan. Salah satu mitos yang harus
dikonstruksi adalah keyakinan masyarakat modern
terhadap institusi pendidikan yang masih memandang
status sosial tertentu yang diperoleh dari institusi
pendidikan, sehingga merekapun berlomba-lomba untuk
meraih status yang tinggi melalui institusi pendidikan. Hal
ini ternyata dilegitimasi oleh sistem pendidikan melalui
berbagai kebijakan pendidikan seperti gelar atau titel
akademik. Keberhasilan pendidikan hampir selalu
menyaratkan nilai sebagai indikator utama. Oleh karena
itu, indikator inilah yang menyulitkan kita untuk
melakukan reformasi pendidikan secara umum. Selain itu,
tuntutan dari dunia kerja juga selalu menyaratkan
kepemilikan bukti berupa selembar ijazah atau nilai
(Martono, 2010).
Freire juga memberikan beberapa argumentasi
mengenai cara kerja institusi pendidikan yang selama ini
berkembang di masyarakat. Institusi pendidikan selama ini
lebih merupakan praktek pendidikan gaya bank yang lebih
memposisikan peserta didik sebagai objek pendidikan dan
guru sebagai subjeknya. Institusi pendidikan seharusnya
memposisikan guru dan murid sebagai subjek pendidikan,

200 | Kritik Ideologi Pendidikan


dan realitas sosial sebagai objeknya. Hakikat dasar
pendidikan adalah melakukan proses penyadaran dan
pembebasan terhadap peserta didik. Penyadaran mengenai
realitas yang ada di sekitarnya dan pembebasan dari segala
hal yang membelenggunya serta pendidikan harus mampu
mengangkat individu dari permasalahan yang ada di
sekitarnya. Melalui proses penyadaran dan pembebasan
ini, maka peserta didik akan mampu berpikir secara kritis
mengenai permasalahan yang dihadapinya. Proses
penyadaran dan pembebasan ini akan terwujud ketika
selama proses pembelajaran dalam institusi pendidikan
berlangsung secara dialogis antara murid dan guru. Dialog
ini akan menghilangkan dualisme antara guru dan murid,
serta dapat juga menghapus dominasi guru di kelas (Freire,
2013; Martono, 2010).
Praktek pendidikan gaya bank masih banyak
dilakukan dalam institusi pendidikan di Indonesia. Proses
pembelajaran yang mengutamakan unsur dialog tidak
banyak ditemukan. Guru lebih banyak berceramah
daripada menggunakan metode pembelajaran yang
bersifat dialogis, seperti diskusi. Selain itu, guru dan murid
juga dipaksakan dan dituntut untuk menyelesaikan semua
materi pelajaran sesuai batas waktu yang telah ditentukan,
sedangkan materi pelajaran yang diajarkan cukup banyak.
Peserta didik dipaksa untuk mendapatkan hasil
semaksimal mungkin, akan tetapi proses pembelajaran
yang telah dilaluinya kurang mendapat perhatian. Orang-
orang lebih tertarik untuk menanyakan “berapa nilaimu”
daripada mempermasalahkan “hari ini kamu belajar apa?”;
“mengapa harus belajar itu?” (Martono, 2010).

Kritik Ideologi Pendidikan | 201


Institusi pendidikan yang kita kenal selama ini adalah
sebuah wadah untuk memanusiakan manusia. Visi seperti
inilah yang kemudian melumpuhkan daya kritik setiap
orang karena telah menganggap institusi pendidikan telah
berada pada garis kemanusiaan. Apakah cukup dengan
informasi tersebut lantas kita tidak perlu menelusuri apa
yang sebenarnya disebut sebagai konsep pendidikan dalam
institusi pendidikan. Rasa percaya juga telah melemahkan
sikap kritis setiap orang karena telah melihat bukti-bukti
manusia hasil format pendidikan yang kini menempati
posisi yang sangat penting di lembaga-lembaga struktural
dan juga mendapat upah dari hasil pajak dan pungutan
lainnya. Oleh karena itu, institusi pendidikan harus
menjadi arena produksi dan tranformasi kebudayaan,
bukan reproduksi kebudayaan. Institusi pendidikan harus
menjadi ajang pemberdayaan dan pembebasan individu
serta kelompok dalam sebuah masyarakat yang adil
dengan mendorong otonomi individu dan kolektif dalam
sistem demokrasi partisipatoris yang menghargai
keragaman serta kemajemukan kelompok sosial dan
budaya (Palmer, 2003).
Perlunya sebuah kesadaran untuk melihat apa
sebenarnya yang dibentuk dalam institusi pendidikan.
Apakah manusia yang penurut atau yang kritis? Sangat
sulit untuk membentuk manusia kritis dalam institusi
pendidikan karena dapat mengancam kekuasaan
struktural, tetapi untuk membentuk manusia penurut
sangatlah mudah karena untuk melanggengkan kekuasaan
struktural. Bangkitnya kesadaran kritis membuka jalan ke
arah pengungkapan ketidakpuasan sosial secara tetap

202 | Kritik Ideologi Pendidikan


karena ketidak puasan itu adalah unsur-unsur yang nyata
dari sebuah situasi yang menindas. Oleh karena itu, kita
perlu menyadari bahwa institusi pendidikan lebih dari
sekedar reproduksi kebudayaan untuk memperkuat
mereka yang sudah kuat dalam masyarakat dan
mempertahankan marginalisasi terhadap mereka yang
sudah lemah. Sehingga kita dapat mentransformasikan
institusi pendidikan menjadi arena untuk melakukan
perlawanan, pergulatan, perjuangan kultural, dan
penentangan terhadap hegemoni budaya yang telah
melahirkan stigmatisasi, marginalisasi, penindasan, dan
pengabaian sebagian besar manusia (Palmer, 2003).
Perlunya pembebasan dalam institusi pendidikan
karena banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang
miskin dengan segala keterbatasan hanya mampu
menggunakan lidi sebagai alat bantu berhitung. Ini adalah
realitas sosial yang yang terjadi dalam institusi pendidikan
Indonesia. Institusi pendidikan adalah lembaga eksklusif
yang dibatasi tembok tinggi dan pagar besi yang siap
menutup akses orang miskin untuk dapat bersekolah di
tempat yang cukup mewah dan unggulan. Gedung yang
mewah bertingkat seolah-olah mereka sedang dikarantina
dalam proses mendapatkan pengetahuan, serta pagar
tembok dengan alih-alih keamanan, justru telah membatasi
peserta didik dengan realitas sosial di sekitarnya (Martono,
2010). Dari kasus ini, kita melihat pendidikan hanya
dominan diberikan kepada anak-anak yang tergolong
keluarga kaya secara ekonomi.
Dalam institusi pendidikan, kebanyakan peserta
didik hanya duduk diam di kelas dan mendengar pelajaran

Kritik Ideologi Pendidikan | 203


secara pasif dan sopan dari guru-gurunya. Dengan
demikian, peserta didik hanya menerima pelajaran secara
akademik saja dan tidak diajar untuk berpikir dan
beradaptasi dengan dunia di luar sekolah. Berdasarkan
persoalan tersebut, Dewey menyusun beberapa konsep
tentang pembelajaran yang seharusnya dipahami oleh para
pendidik, yaitu (Dewey, 2002):
1) Peserta didik adalah orang-orang yang dapat belajar
aktif (active learner). Oleh karena itu, mereka tidak harus
dipacu untuk belajar lebih baik karena mereka sudah
aktif dalam proses pembelajaran.
2) Kurikulum pendidikan seharusnya mencakup semua
aspek kepribadian dan lingkungan sosial peserta didik
untuk mengasah kemampuannya dalam menghadapi
lingkungan di mana ia berada, sehingga ia mampu
menyesuaikan diri dan memecahkan masalah yang
dialaminya secara reflektif.
3) Semua masyarakat baik miskin maupun kaya, baik laki-
laki maupun perempuan, dan dari semua lapisan sosial,
serta dari semua budaya memiliki hak untuk mendapat
pendidikan yang layak.
Institusi pendidikan terbaik adalah sekolah dan
perguruan tinggi yang demokratis karena dapat
memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk
memperoleh ilmu pengetahuan di dalamnya. Dengan
demokrasi yang ada, maka tidak terdapat klasifikasi,
diferensiasi, dan jarak sosial dalam institusi pendidikan. Ini
akan memberikan kesampatan kepada peserta didik untuk
mengambil bagian dan beraktifitas sesuai dengan minat,
bakat, serta intelegensinya secara maksimal, agar

204 | Kritik Ideologi Pendidikan


pertumbuhan pengetahuan peserta didik dapat
berlangsung secara maksimal. Selain itu, institusi
pendidikan difungsikan sebagai laboratorium bagi peserta
didik untuk belajar hidup bermasyarakat secara
demokratis, sedangkan para pendidik adalah sebagai
peserta yang turut memfasilitasi dalam proses
pembelajaran. Mereka tidak berperan sebagai seorang yang
memiliki otoritas penuh untuk menentukan segala sesuatu
dalam kelas. Meskipun demikian, tenaga pendidik harus
bebas menentukan dan menata bahan ajar di kelas agar
peserta didik akan belajar disiplin untuk tumbuh dalam
kehidupan bersama dengan orang lain dari
pengalamannya sendiri, bukan aturan dari luar yang
diberikan kepada mereka.
Secara esensial, pendidikan adalah upaya menolong
peserta didik agar dapat beradaptasi dengan masalah yang
mereka hadapi dalam masyarakat dan upaya membekali
mereka dengan keterampilan agar dapat menghasilkan
perubahan yang nyata dalam kehidupan masyarakat. Jika
sekolah atau perguruan tinggi tidak memberi pengaruh,
perubahan, dan pertumbuhan yang positif terhadap
masyarakat, maka institusi pendidikan tersebut tidak
disebut pendidikan. Kehidupan masyarakat yang
demokratis dapat terwujud apabila dalam institusi
pendidikan sudah diterapkan ideologi demokratis menjadi
suatu ideologi institusi. Bagi Dewey, ide pokok demokrasi
pendidikan adalah pandangan hidup yang dicerminkan
dengan adanya pastisipasi setiap peserta didik dalam
membentuk nilai-nilai yang mengatur hidup bersama
dalam institusi pendidikan. Oleh karena itu, institusi

Kritik Ideologi Pendidikan | 205


pendidikan yang demokratis adalah telah mengintegralkan
dan mengembangkan sumber daya manusia pada setiap
peserta didik tanpa ada hubungannya dengan sarana
untuk mencapai tujuan dari pihak yang berkuasa.
Lebih jauh lagi, Dewey juga mengungkapkan
beberapa hal yang berkaitan dengan konsep demokrasi
pendidikan, di antaranya adalah (Dewey, 2002):
1) Pendidikan sebagai kebutuhan hidup, yaitu pendidikan
merupakan kebutuhan hidup dan sebagai bentuk
transmisi yang dilakukan melalui komunikasi. Hal ini
tidak lepas dari pandangan bahwa hidup pada dasarnya
adalah proses perbaikan diri. Maka kelestarian hidup
hanya dapat dijaga dengan perbaikan yang konstan
yaitu pendidikan.
2) Pendidikan sebagai sebuh fungsi sosial, yaitu institusi
pendidikan tidak hanya sebagai tempat dan perantara
interaksi ilmu pengetahuan saja, melainkan sebagai
arena bagi setiap orang dalam melakukan aktivitas
untuk memberi pengaruh kepada orang lain dalam
institusi tersebut yang akan mengalami perubahan
secara berangsur. Perubahan yang berlangsung secara
berangsur tersebut disebabkan oleh proses pendidikan
yang berlangsung secara terus-menerus, dan setiap
individu mempunyai peran dan berpartisipasi dalam
proses pendidikan.
3) Pendidikan sebagai petunjuk, yaitu pada situasi sosial
tertentu anak berhubungan langsung dengan perbuatan
mereka, untuk apa mereka lakukan dan berbuat secara
tiba-tiba. Aktivitas mereka ini secara langsung
merupakan hasil dari pengertian dan partisipasinya

206 | Kritik Ideologi Pendidikan


terhadap pendidikan. Institusi pendidikan yang
demokratis merupakan sebuh tempat yang tepat bagi
penafsiran sebuah aktivitas dalam pengajaran,
sedangkan lingkungan masyarakat sebagai arena
pembelajaran untuk memperoleh perasaan sosial atas
kekuatan mereka sendiri dari materi-materi serta
peralatan yang digunakan dalam bersosialisasi.
4) Pendidikan sebagai penumbuhan, yaitu belajar dari
makna yang berasal dari pengalaman adalah hasil dari
habitus. Habitus individu mengasah panca indera
merupakan suatu pembelajaran untuk mengatur
aktivitas yang akan membawa perkembangan
kemampuan. Salah satu bentuk penumbuhan tersebut
adalah kriteria nilai dari pendidikan merupakan
perluasaan dalam menumbuhkan hasrat seseorang
secara nyata.
5) Pendidikan sebagai bekal, yaitu pendidikan merupakan
sebuah bekal untuk menghadapi masa depan yang lebih
baik serta mempersiapkan atau mendapatkan kesiapan
untuk banyak tugas atau tanggung jawab mendatang.
6) Pendidikan adalah membentangkan objek masa lalu ke
objek masa depan, yaitu pendidikan yang dibentangkan
dari segala sesuatu yang nampak untuk membentuk
banyak kesamaan sebagai konsepsi pertumbuhan yang
menjadi perlengkapan untuk program yang
berkelanjutan.
7) Pendidikan sebagai latihan, yaitu pendidikan
merupakan latihan dari bagian-bagian yang ada melalui
pengulangan latihan.

Kritik Ideologi Pendidikan | 207


8) Pendidikan sebagai formasi, yaitu pendidikan
merupakan upaya membentuk kepribadian seseorang
yang didasarkan pada doktrin-doktrin yang diajarkan.
Pembentukan kepribadian ini didasarkan juga pada
materi penyajian yang pantas menjadi materi
pendidikan. Dalam proses pembentukan kepribadian,
memungkinkan adanya proses asimilasi karena adanya
kepribadian-kepribadian tertentu yang perlu dibentuk
pada peserta didik. Oleh karena itu, kontrol asimilasi
dari penyajian-penyajian baru untuk menemukan
karakter mereka memiliki peran yang sangat penting
setelah penyajian-penyajian baru.
9) Pendidikan sebagi rekapitulasi dan reintrospeksi, yaitu
institusi pendidikan harus mampu menjadikan peserta
didik sebagai individu yang memiliki pengalaman
aktivitas sebagai dasar pembentukan pengetahuan.
Belajar dari hasil pengalaman masa lampau akan
membantu kita mengerti keadaan sekarang. Masa lalu
adalah pengalaman dan juga sebagai sumber daya yang
besar dalam mengembangkan imajinasi, sedangkan
masa kini adalah masalah-masalah yang sudah
seharusnya dapat diselesaikan dan diselamatkan karena
sudah belajar dari pengalaman masa lampau. Di sini
dapat kita lihat bahwa pengetahuan masa lampau dan
masa kini memiliki sinergisitas yang harus
dipertahankan untuk mewujudkan suatu pendidikan
yang lebih berhasil. Masa lalu sebagai tolak ukur dalam
melangkah ke depan dengan melihat aspek positif dan
negatif yang terjadi selama masa tersebut, sedangkan

208 | Kritik Ideologi Pendidikan


pengetahuan masa kini membentuk suatu kondisi yang
memunculkan dan mengkombinasikan realita yang ada.
10) Pendidikan sebagai rekonstruksi, yaitu institusi
pendidikan harus dapat melakukan perubahan secara
signifikan ke arah yang lebih baik untuk menjamin
kualitas dan mutu pendidikan yang diajarkan kepada
setiap peserta didik karena mereka selalu membutuhkan
pendidikan dalam pertumbuhan menuju ke arah yang
lebih dewasa agar dapat berdiri pada level kemandirian.
Rekonstruksi terhadap institusi pendidikan secara
formal disimpulkan dalam pengalaman pendidikan
yang terus menerus menghadapi masa yang akan
datang sebagai rekapitulasi masa lalu.
11) Pendidikan sebagai kekuatan nasional dan relasi sosial,
yaitu masyarakat harus dibekali ilmu pengetahuan
melalui institusi pendidikan yang diberikan atas dasar
minat dan ketertarikan secara individu sebagai bentuk
kekuatan, relasi dan kontrol sosial terhadap
pemerintahnya. Institusi pendidikan yang baik adalah
secara sistematis memberikan makanan yang positif
bagi pemulihan dan pemeliharaan integritas politik dan
kekuasaan negara. Sebagai kekuatan nasional, institusi
pendidikan dapat memindahkan pengetahuan kepada
masyarakat untuk memperkuat nasionalisme dalam
kehidupan berpolitik.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kebebasan
akademik dalam institusi pendidikan sangatlah penting
karena kebebasan akademik diperlukan guna
mengembangkan prinsip demokrasi di dalam institusi
pendidikan yang bertumpuh pada interaksi dan kerjasama

Kritik Ideologi Pendidikan | 209


yang didasarkan pada sikap saling menghormati dan
memperhatikan satu sama lain. Berpikir kreatif
menemukan solusi atas masalah yang dihadapi bersama,
dan bekerjasama untuk merencanakan dan melaksanakan
solusi. Secara implisit, hal ini berarti sekolah dan
perguruan tinggi haruslah demokratis dan mendorong
serta memberikan kesempatan kepada semua peserta didik
untuk aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan,
merancang kegiatan dan melaksanakan rencana tersebut.
Dewey menganggap lebih penting melatih pikiran
peserta didik untuk memecahkan masalah yang dihadapi
dari pada mengisinya dengan doktrin-doktrin dan
formulasi-formulasi secara struktural. Oleh karena itu,
pendidik harus mengenal hubungan kausal antara
tindakan dan pikiran serta antara eksperimen dan refleksi.
Hal ini karena pendidikan akan berlangsung secara terus
menerus dari refleksi atas pengalaman individu dalam
mengembangkan moralitasnya. Dengan demikian,
pendidikan adalah proses mencari pengetahuan yang
secara berkesinambungan. Dalam proses ini, setiap
individu akan melakukan perjuangan yang terus menerus
berlangsung untuk membentuk sebuah konsep dari setiap
eksperimen, pengalaman, dan pemikiran (Dewey, 2002).
Kita percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai
sarana untuk meningkatkan keberanian dan pembentukan
kemampuan inteligensi. Oleh karena itu, menumbuhkan
kesadaran pada setiap peserta didik sangatlah penting
sebagai penghormatan pada hak dan kewajiban yang
paling fundamental.

210 | Kritik Ideologi Pendidikan


Pada intinya, tujuan yang ingin dicapai setiap orang
masuk ke dalam institusi pendidikan adalah sepenuhnya
demi pemenuhan kebutuhan kehidupan masing yang
berada dalam kehidupan itu sendiri atau masyarakat. Oleh
karena itu, institusi pendidikan harus mendasarkan tujuan
pendidikan pada lingkungan masyarakat di mana mereka
hidup dan tempat di mana pendidikan berlangsung.
Tujuan yang ditetapkan haruslah khusus, tidak berlaku
secara universal, dan temporer karena tidak ada kebenaran
dan nilai yang mutlak dan berlaku secara universal.
Sehingga pendidikan yang mereka peroleh dijadikan
sebagai instrumen untuk bertindak yang hasilnya akan
menjadi instrumen untuk pencapaian tujuan berikutnya
dan dijadikan sebagai alat untuk pertumbuh.
Masyarakat yang tergabung dalam suatu institusi
pendidikan harus berusaha menghidupkan semangat
kerjasama dan saling menolong. Misalnya, di kelas, kita
menciptakan situasi seperti dalam kehidupan yang
sesungguhnya yang menuntut adanya kerjasama. Sehingga
kita dapat menyadari bahwa untuk dapat mencapai tujuan
kita harus mengusahakan hubungan yang lebih erat antara
guru dan murid dan sekolahnya dengan orangtua murid
serta kebudayaan di lingkungan mereka tinggal. Institusi
pendidikan dipandang sebagai naungan kedua bagi
peserta didik. Tempat bernaung ini harus baik di mana
hidup serasa bersekutu dan dikejar kepentingan dan tujuan
bersama. Oleh karena itu, Dewey mengatakan bahwa
institusi pendidikan adalah persekutuan hidup dalam
ukuran kecil, sebuah masyarakat mini, yang di satu pihak
mencerminkan kehidupan bersama di luar institusi dan di

Kritik Ideologi Pendidikan | 211


pihak lain harus memberikan sumbangan demi
memperbaiki kehidupan bersama.
Sebagai pedoman dalam mengolah institusi
pendidikan, Dewey merekomendasikan dua pedoman
penting yang harus diperhatikan, yaitu: pertama upaya
untuk membedakan hasil-hasil (results) dan tahap akhir
(end). Tahap akhir adalah hasil dari langkah-langkah yang
berkesinambungan dan teratur yang diambil secara cerdas,
bukan dari kegiatan yang dilaksanakan pada tahap awal.
Kedua, terdapat tiga langkah untuk mencapai tujuan dalam
pendidikan, yaitu: [1] mengidentifikasi faktor-faktor
penghalang bagi para pelajar yang menyebabkan tidak
tercapainya tujuan, dan bersamaan dengan itu, harus
diperhatikan sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan
yang dimaksud; [2] merumuskan urutan pemanfaatan
sarana yang ada dan; [3] mempertimbangkan kegunaan
dari semua sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan
yang dimaksud (Dewey, 2002).

212 | Kritik Ideologi Pendidikan


BAB V
KRITIK STRUKTURALISASI PENDIDIKAN

A. Arena Produksi Struktur Pendidikan


1. Habitus
Habitus adalah nilai-nilai, model-model hidup, gaya-
gaya ekspresi, benar/salah, pantas/tidak pantas,
baik/buruk, indah/tidak indah yang kita serap dari
sekeliling kita setiap hari. Habitus ada di luar substansi,
bersifat temporer dan aksidental, serta dapat dipilah
dengan jelas dan tegas dari substansi (Bourdieu, 1990, 1997;
Jenkins, 2013). Itu yang kemudian menjadi sudut pandang
dan perspektif setiap individu. Habitus melengkapi subjek
sebagai substansi yang ada pada dirinya sendiri; hal yang
keberadaannya untuk dirinya sendiri; hal yang
eksistensinya dapat dipilah dari hal lain. Habitus bukan
merupakan kebiasaan yang dilakukan tanpa sengaja,
melainkan dipikirkan atau diolah terlebih dahulu. Dalam
habitus, disposisi-disposisi yang berupa skema persepsi
dan tindakan akan membuat individu memproduksi
sejumlah praksis baru yang telah beradaptasi dengan dunia
sosial tempat individu tinggal. Oleh karena itu, habitus
pendidikan dibangun melalui proses yang terstruktur di
lembaga pendidikan formal, pendidikan non-formal dan
pendidikan informal.
Bourdieu menempatkan habitus sebagai struktur
mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk
menghadapi kehidupan sosialnya (Ritzer & Douglas, 2010).
Lebih jauh lagi, habitus menggambarkan serangkaian
kecenderungan yang mendorong aktor untuk beraksi dan
bereaksi dengan cara-cara tertentu. Habitus juga sebagai

Kritik Ideologi Pendidikan | 213


ruang konseptual di mana pengalaman dan kebiasaan
tersimpan sebagai seperangkat ingatan mengenai
bagaimana sang aktor berperilaku. Selain itu, habitus
merupakan konstruksi sosial dari agen mengenai cara
melakukan sesuatu, merespon situasi, dan memahami apa
yang terjadi. Oleh karena itu, habitus adalah pengetahuan
yang kita tidak sadari namun telah menjadi kebiasaan dan
rutinitas kita dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk habitus
ini mencakup sesuatu dengan rentang situasi yang
beragam mulai dari cara berjalan, makan atau berbicara,
hingga ketegorisasi politik seperti kelas, kelompok usia,
dan jenis kelamin.
Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai kajian
sosiologis dan filsafat atas dasar perilaku manusia dalam
bermasyarakat. Dalam artian bahwa habitus adalah nilai-
nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta
melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung
lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola
perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut
(Bourdieu, 1997). Oleh karena itu, habitus seseorang sangat
kuat sehingga dapat mempengaruhi tubuh secara fisik dan
psikis. Habitus yang sudah sangat kuat dan sudah
tertanam dalam diri individu secara psikis akan
mengendap menjadi perilaku fisik yang disebutnya sebagai
Hexis, misalnya (Jenkins, 2013):
Sewaktu SMA, Bourdieu tinggal di asrama. Di
waktu-waktu kosong karena tidak banyak hiburan,
Ia mulai membaca buku yang tebal-tebal.
Akhirnya, kegiatan membaca pun menjadi suatu
kebutuhan yang amat penting untuknya. Bourdieu
seolah tidak bisa hidup tanpa membaca. Sewaktu

214 | Kritik Ideologi Pendidikan


kuliah, Ia diminta banyak menulis paper ilmiah. Ia
pun mulai belajar menulis, dan menyukai kegiatan
itu. Di sisi lain, Ia juga banyak ikut kelompok
diskusi di kampus. Kegiatan itu merangsang
dirinya untuk berani berpendapat, berargumen,
dan mendengarkan pemikiran orang lain. Dari
sudut pandang teori habitus, Bourdieu sudah
memiliki habitus yang tepat untuk menjadi seorang
pendidik, yakni habitus membaca, menulis, dan
berdiskusi. Habitus yang sama memungkinkan Ia
untuk lulus kuliah dengan nilai yang lumayan
baik, sehingga Ia bisa menjadi pendidik. Habitus
tersebut Ia peroleh dari penghayatan nilai-nilai
yang ada di lingkungannya, yang kemudian
mengendap menjadi cara berpikir dan pola
perilaku yang Ia hayati sebagai manusia.
Setiap individu memiliki habitus masing-masing,
yaitu sesuai dengan cara hidupnya masing-masing dan
sesuai dengan nilai yang Ia hayati selama ini. Habitus lahir
dari kebiasaan individu dalam berinteraksi dengan
dunianya dan individu lainnya dalam kehidupan sehari-
hari. Lebih jauh lagi, dunia manusia adalah dunia sosial
berupa pergaulan dan komunitas. Pertemuan individu
dengan unsur dunia fisik, biologis, dan sosial
menghasilkan jejak-jejak pengaruh dalam diri yang saling
berinteraksi dan beradu dengan kesadarannya
sebagai subjek. Dari kebiasaan tersebut, mereka akan
menguasai berbagai perlengkapan yang digunakan secara
terampil dan diinternalisasi ke dalam dirinya. Oleh karena
itu, perlengkapan itu lama-kelamaan dihayati sebagai
bagian dari dirinya yang diinternalisasi dari waktu ke

Kritik Ideologi Pendidikan | 215


waktu, serta terus terjadi melalui berbagai proses imitasi,
asosiasi, abstraksi, dan identifikasi (Baert, 2010).
Semakin banyak hal yang diinternalisasi, maka
semakin banyak pula pengaruh dalam diri individu.
Sesuatu yang sudah diinternalisasikan akan membentuk
struktur yang bertahan lama seiring dengan kesadaran
subjektif serta realitas objektif yang dijalani individu, dan
masih akan berubah-ubah apabila ada internalisasi dari
pola-pola struktur tertentu. Sebagai sistem, hal-hal yang
sudah diinternalisasi tersebut saling berhubungan untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu dan memiliki struktur-
struktur yang mengatur dan mengelola rangkaian tindakan
yang akan ditampilkan dalam arena. Sebagai struktur,
ada hierarki yang menjadi dasar penentu prioritas
tindakan, yaitu skema yang secara relasional membuat
jaringan skema. Skema adalah representasi dari benda-
benda, baik yang konkret maupun abstrak. Satu skema
hanya bermakna jika dihubungkan dengan skema yang
lain. Relasi antar skema memungkinkan adanya
pemaknaan terhadap diri sendiri/individu dan
dunia/masyarakat. Skema tersebut memiliki dua unsur
yang saling berkaitan yaitu struktur (objektif) dan agen
(subjektif) (Baert, 2010).
Habitus dianggap dapat mengatasi persoalan
dualisme individu dan masyarakat, yaitu struktur dan
agen sosial. Bourdieu mencoba mendeskripsikan,
menganalisis, dan mempertimbangkan sejarah individu
dan sejarah struktur sosial dengan cara keluar dari
dualisme antara objektivisme dan subjektivisme melalui
pendekatan yang memperhatikan struktur sekaligus

216 | Kritik Ideologi Pendidikan


mempertimbangkan pengalaman agen. Cara berpikir ini
melihat secara objektif dan subjektif atau struktur dan agen
dapat terjalin secara dialektik. Dialektika hubungan antara
yang subjektif dan objektif ini merupakan salah satu dari
dua dimensi habitus, yang terdiri dari
dimensi prakseologis (arah orientasi sosial) dan dimensi
afeksi (cita-cita dan selera) (Baert, 2010; Haryatmoko, 2003).
Dua dimensi habitus tersebut menggambarkan adanya
disposisi seseorang atau suatu kelas sosial yang
menentukan arah orientasi sosial, cita-cita, selera, cara
berpikir, dan etos.
Selain itu, habitus dibentuk oleh dua hal, yaitu proses
sejarah dan kehidupan sosial. Berikut ini dapat diuraikan
secara rinci.
1) Habitus merupakan produk sejarah yang menghasilkan
praktek individu dan kolektif (Ritzer & Douglas, 2010).
Habitus yang diinternalisasi oleh individu diperoleh
dalam proses sejarah sebagai titik temu antara kebiasaan
dengan arena, sebagai warisan dari masalalu yang
dipengaruhi oleh struktur yang ada, dan sebagai
kebiasaan individu tertentu yang diperoleh melalui
pengalaman hidupnya dan mempunyai fungsi tertentu
dalam sejarah dunia sosial dimana kebiasaan itu terjadi.
Pengalaman hidup individu yang didapat dari hasil
sejarah tersebut, kemudian diinternalisasi ke dalam
dirinya untuk merasakan, memahami, menyadari dan
menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah individu
memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya
(habitus mengendalikan pikiran dan pilihan tindakan
individu). Sebagai contoh: sopir yang melajukan

Kritik Ideologi Pendidikan | 217


kendaraan di jalan raya pada posisi sebelah kiri, dan
menyetir kendaraannya pada posisi sebelah kanan, telah
menjadi sebuah sistem atau perangkat disposisi yang
bertahan lama dan diperoleh melalui latihan berulang
kali. Kita tidak tahu dengan pasti, kapan mulai terjadi,
tetapi jelas bahwa mula-mula kebiasaan tidak begitu
saja terjadi. Selain itu, pembentukannya perilaku itu
butuh upaya yang berkelanjutan dan dalam sebuah
proses yang tidak pendek. Faktanya, itu sudah
berlangsung sangat lama hingga sampai sekarang.
2) Habitus memproduksi dan diproduksi oleh kehidupan
sosial. Di satu pihak, habitus adalah struktur yang
menstruktur, artinya, habitus adalah sebuah struktur
yang menstruktur kehidupan sosial. Di lain pihak,
habitus adalah struktur yang terstruktur, yaitu, habitus
adalah struktur yang distrukturisasi oleh dunia sosial.
Lebih jauh lagi, Bourdieu menjelaskan bahwa habitus
adalah proses dialektika internalisasi dari eksternalitas,
dan eksternalisasi dari internalitas. Sehingga, di satu
pihak, habitus diciptakan oleh praktek atau tindakan. Di
lain pihak, habitus adalah hasil tindakan yang
diciptakan oleh kehidupan sosial. Sebagai contoh,
menyetir kendaraan di jalan raya di jalur kiri. Orang
menjadi nyaman dengan struktur yang telah tertata
seperti ini. Kenyamanan itu menjamin hilangnya rasa
takut akan perilaku sopir lain dari arah berlawanan
yang juga menyetir kendaraan dari jalur kiri mereka.
Struktur ini telah tertata sebelum kita bisa menyetir
kendaraan, tetapi saat itu kendaraan yang membawa
kita disetir oleh orang lain yang juga melajukan

218 | Kritik Ideologi Pendidikan


kendaraan di jalur kiri. Jadi Ia lahir dari kondisi sosial
tertentu dan karena itu menjadi struktur yang sudah
diberi bentuk terlebih dahulu oleh kondisi sosial dimana
dia diproduksikan (Adib, 2012).
Berdasarkan pada uraian di atas, habitus merupakan
hasil dari tindakan sosial individu dan kelompok yang
diterjemahkan menjadi kemampuan yang lebih ilmiah,
sehingga dapat berkembang dalam lingkungan sosial
tertentu. Lebih jauh lagi, habitus dapat digambarkan
sebagai hasil atau produk dari internalisasi struktur sosial
yang diwujudkan. Selain itu, Habitus juga diperoleh
sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial
yang diduduki, sehingga habitus akan berbeda-beda,
tergantung dimana dan bagaimana posisi individu tersebut
dalam kehidupan sosial. Seseorang yang menduduki posisi
yang sama dalam dunia sosial, cenderung akan memiliki
kebiasaan yang sama (Bourdieu, 1990).
Habitus sebagai produk sejarah dan produk
internalisasi struktur dapat berubah-ubah sesuai dengan
arena di mana ia berada. Habitus dapat bertahan lama dan
dapat pula berubah dalam arti dapat dialihkan dari satu
bidang ke bidang yang lain. Sebagai contoh, seorang warga
Indonesia dan tinggal di Indonesia, memiliki kebiasaan
untuk menolong sesama apalagi kalau orang lain tersebut
dalam keadaan kesusahan, maka seolah terdapat kewajiban
bagi mereka untuk menolongnya. Namun ketika warga
Indonesia tersebut pindah dan tinggal di luar negeri yang
memiliki struktur dan kebudayaan yang berbeda, maka
ketika ada oranglain yang membutuhkan bantuan, mereka
merasa tidak berkewajiban untuk menolongnya. Habitus

Kritik Ideologi Pendidikan | 219


warga Indonesia tersebut dalam kasus ini dapat tetap
seperti ketika Ia masih di Indonesia yaitu menolong
oranglain, atau juga habitusnya dapat berubah, yaitu
dengan bersikap acuh dan tidak menolong orang tersebut
(Bourdieu, 1997).
Habitus berperan sebagai pegusul apa yang
sebaiknya dipikirkan oleh aktor dan apa yang sebaiknya
mereka pilih untuk dilakukan. Dalam menentukan pilihan,
aktor menggunakan pertimbangan mendalam berdasarkan
pada modal yang mereka punya, yaitu antara modal
budaya, sosial, dan ekonomi. Ketiga modal tersebut
sebagai prinsip-prinsip yang dijadikan sebagai dasar oleh
aktor dalam memilih strategi yang akan digunakan dalam
arena (kehidupan sosial). Mereka mempunyai perasaan
dalam bertindak (ada logikanya), yaitu untuk apa aktor
bertindak. Inilah yang disebut dengan logika tindakan.
Logika tindakan (logika praktis) berbeda dengan
rasionalitas (logika formal). Selain itu, terdapat konsep
relasionalisme dari Bourdieu yang digunakan untuk
menuntun individu untuk mengakui bahwa habitus
bukanlah struktur yang tetap karena diadaptasi oleh
individu yang secara konstan berubah di hadapan situasi
yang saling bertentangan di mana mereka berada (Ritzer &
Goodman, 2004).
Waktu kerjapun bisa mempengaruhi seseorang dalam
melakukan suatu tindakan, atau habitus dan tindakan
seseorang bisa berubah sesuai waktu dan logika zamannya.
Misalnya, kebiasaan orang dalam berpakaian. Perempuan
di Jawa pada waktu dulu identik dengan menggunakan
jarit dan kebaya, akan tetapi dengan berjalannya waktu

220 | Kritik Ideologi Pendidikan


dan kondisi sosial sekarang ini, pakaian itu sudah jarang
kelihatan dan tidak dipakai sebagai pakaian keseharian.
Namun sering dipakai ketika acara-acara adat tertentu
seperti memperingati hari kartini.

2. Modal
Untuk membangung habitus, setiap individu
membutuhkan modal karena modal adalah sesuatu yang
harus dimiliki setiap individu untuk mencapai tujuan
tertentu. Modal yang digunakan Bourdieu adalah padanan
metafora dari istilah modal dalam ekonomi, yaitu segala
sesuatu yang dapat dilipatgandakan dalam rangka
mendapatkan keuntungan baik dalam segi ekonomi, sosial,
politik, dan budaya. Ia juga menggambarkan modal
sebagai semua sumber daya sosial yang merupakan
akumulasi yang memungkinkan individu untuk
memperoleh manfaat. Oleh karena itu, jenis-jenis modal
yang digunakan dalam teorinya meliputi "modal ekonomi"
(uang, simpanan, aset), "modal pendidikan" (gelar,
penghargaan), "modal simbol" (prestise, status, otoritas)
dan "modal budaya" (koleksi, objek). Kondisi objektif
sangat ditentukan oleh modal yang dimiliki seseorang,
yaitu kondisi keberadaannya dalam masyarakat pada
umumnya, sebagai relasi dari modal-modal yang
dimilikinya (Jenkins, 2013).
Modal memungkinkan kita untuk mendapatkan
kesempatan-kesempatan dalam hidup. Untuk
mendapatkan kesempatan tersebut, individu
membutuhkan tiga modal ini, yaitu modal ekonomi, modal
budaya, dan modal sosial.

Kritik Ideologi Pendidikan | 221


a. Modal Ekonomi
Modal ekonomi adalah semua sumber daya ekonomi
individu atau segala bentuk kekayaan materi yang dimiliki
oleh individu termasuk pendapatan, warisan, investasi
atau tabungan yang berwujud uang, giro, emas/perhiasan,
saham, tanah, rumah serta barang mewah lainnya
(Krisdinanto, 2014). Bisa juga berupa alat-alat produksi dan
materi. Komponen modal ekonomi bersifat nyata, kasat
mata, dan dapat dipegang. Contohnya, [1] saya pintar
Bahasa Inggris karena orangtua saya punya banyak uang
untuk membayar biaya kursusku; [2] saya kuliah di
kampus unggulan jurusan kedokteran karena orangtuaku
punya banyak uang.
b. Modal Budaya
Modal budaya merupakan semua sumber daya
budaya yang dapat menentukan kedudukan seorang
individu dalam arena, misalnya kelompok sosial yang
terdidik (kelas profesional) menggunakan modal budaya
sebagai strategi untuk mempertahankan atau mendapatkan
status dan kehormatan dalam masyarakat (Palmer, 2003).
Modal budaya bisa diperoleh individu melalui bentukan
dan internalisasi padanya sejak kecil terutama melalui
ajaran orangtuanya dan pengaruh lingkungan
keluarganya, bisa diperoleh melalui pendidikan formal,
non-formal dan bisa berupa materi yang berkaitan dengan
seni. Modal ini terdiri dari tiga bentuk: [1] meliputi
pengetahuan umum, keterampilan, nilai budaya, agama,
norma, bakat turunan, dan lainnya; [2] meliputi
kepemilikan benda-benda budaya yang bernilai tinggi; [3]
meliputi gelar, tingkat pendidikan, keahlian tertentu yang

222 | Kritik Ideologi Pendidikan


diperoleh melalui jenjang pendidikan (Krisdinanto, 2014).
Misalnya bahasa, siapa yang memiliki dominasi bahasa
dalam pendidikan maka dia akan mendominasi kelompok
lain. Contohnya: [1] kemampuan seorang guru dalam
beretorika akan diikuti oleh muridnya; [2] saya tidak
punya buku tapi saya memiliki smartphone yang bisa
koneksi internet untuk baca artikel online dan ebook.
c. Modal Sosial
Modal sosial adalah hubungan sosial yang terjalin
dalam masyarakat yang mencerminkan hasil interaksi
sosial dalam jangka waktu yang sangat lama sehingga
terjalin pola kerjasama, menghasilkan jaringan dan
pertukaran sosial (social network), serta saling percaya
(trust). Sedangkan nilai, norma dan peraturan yang
mendasari hubungan sosial tersebut juga termasuk dalam
modal sosial yang mengukur semua sumber daya yang
berkaitan dengan kepemilikan jaringan sosial
berkelanjutan dari semua relasi dan semua orang yang
dikenal (Krisdinanto, 2014). Misalnya, keluarga dan teman.
Contohnya, [1] saya jadi Pegawai Negeri karena saya
memiliki keluarga yang membantu saya lolos seleksi
CPNS; [2] saya tidak punya buku dan smartphone, tetapi
saya memiliki banyak teman yang memiliki banyak buku
yang bisa saya pinjam.
Bedasarkan pada uraian di atas, jika individu ingin
masuk dan ikut bermain dalam pertempuran adu kekuatan
yang ada di arena, Ia harus memiliki ketiga modal tersebut
untuk bisa beradaptasi. Modal tersebut bisa diperoleh,
apabila individu memiliki habitus yang tepat dalam
hidupnya. Oleh karena itu, individu harus memiliki

Kritik Ideologi Pendidikan | 223


pengetahuan, keterampilan, dan bakat yang tepat agar bisa
berjuang dalam arena tersebut. Supaya berhasil, individu
harus mempunyai modal serta memanfaatkannya sebesar
mungkin. Dalam arena, individu akan menempatkan
dirinya berdasarkan fungsi dan jumlah modal yang
dimilikinya serta berdasarkan relatif kepentingan modal
tersebut. Individu menempati posisi masing-masing yang
ditentukan oleh dua dimensi, yaitu [1] menurut besarnya
modal yang dimiliki dan [2] sesuai dengan bobot
komposisi keseluruhan modal mereka (Krisdinanto, 2014).
Apabila individu memiliki habitus membaca,
menulis, dan berdiskusi akan menghasilkan modal
intelektual atau modal budaya. Sementara, habitus rajin
bekerja dan banyak jaringan bisnis akan menghasilkan
modal ekonomi. Modal bukanlah sesuatu yang mati,
melainkan hidup dan bisa diubah. Misalnya, karena
individu memiliki modal intelektual/pendidikan (modal
budaya), Ia bisa bekerja sebagai pendidik dan memiliki
uang (modal ekonomi) untuk hidup. Modal intelektual
juga bisa diubah menjadi modal sosial (jaringan yang
banyak), sehingga bisa memperkaya modal intelektual itu
sendiri. Modal ekonomi juga bisa diubah, misalnya dengan
investasi, sehingga menghasilkan modal ekonomi dan
modal budaya yang lebih besar.
Dalam mempertahankan dan mendapatkan berbagai
bentuk modal, kita perlu melakukan strategi reproduksi
sosial. Individu berusaha mempertahankan atau
menambah jenis dan besarnya modal. Usaha tersebut
diarahkan untuk mempertahankan dan memperbaiki
status sosial. Dalam hal ini, keluarga menjadi basis strategi

224 | Kritik Ideologi Pendidikan


pokok yang meliputi strategi investasi biologis, strategi
pewarisan, dan strategi pendidikan. [1] Strategi investasi
biologis adalah usaha pembatasan jumlah keturunan
supaya dapat mencukupi warisan modal. Selain itu,
strategi ini juga menjaga supaya kesehatan tetap terjamin,
di mana strategi ini tidak lepas dari pilihan konsumsi
makanan, hiburan, istirahat, dan olah raga. [2] Strategi
pewarisan berfungsi untuk menjamin warisan kekayaan
yang cukup pada keluarga, seperti tanah, toko, uang dan
lainnya. Hal ini dikarenakan modal ekonomi menentukan
hubungan kekuasaan. Sedangkan [3] strategi pendidikan
merupakan upaya untuk menghasilkan keterampilan sosial
yang mumpuni agar mampu mengola warisan atau
mampu memperbaiki strata sosial (Haryatmoko, 2003).
3. Arena
Ketika kita sudah memiliki modal di atas maka kita
sudah bisa masuk ke arena. Sebaliknya, jika arena tidak
jelas maka sulit untuk membangun habitus. Untuk
mencapai tujuan, habitus dan arena harus relevan. Jika
arena sudah jelas, habitus harus dicek apakah sudah sesuai
atau tidak. Karena apabila individu ingin berhasil di suatu
arena, maka ia perlu mempunyai habitus dan modal yang
tepat. Arena adalah jaringan relasi antarposisi objektif
dalam masyarakat atau ruang-ruang yang ada dalam
masyarakat. Ruang khusus yang ada dalam masyarakat
seperti arena pendidikan, arena bisnis, arena seni, dan
arena politik. Arena merupakan (1) tempat untuk
memperjuangkan dan memperebutkan sumber daya atau
modal dan juga untuk memperoleh akses tertentu yang
dekat dengan hirarki kekuasaan dan (2) semacam

Kritik Ideologi Pendidikan | 225


hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur
posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan
masyarakat yang terbentuk secara spontan (Adib, 2012).
Namun, bagi Bourdieu, arena lebih dipandang secara
relasional daripada secara struktural. Keberadaan relasi-
relasi ini terpisah dari kesadaran dan kehendak individu
(Ritzer & Goodman, 2010).
Bourdieu menggambarkan masyarakat seperti sebuah
arena yang tersusun saling berkaitan, yaitu: arena
pendidikan, arena ekonomi, arena politik, arena seni, arena
budaya, arena agama dan lain-lain. Dinamika arena ini
didasarkan pada pertarungan perebutan posisi dalam
arena. Pada saat yang sama, habitus dan arena juga
merupakan produk dari arena daya-daya yang ada di
masyarakat. Lebih jauh lagi, Bourdieu membayangkan
masyarakat sebagai semacam sistem arena yang memiliki
berbagai daya yang saling tarik-menarik. Sebuah wilayah
yang mengandung sistem dan relasi-relasi tempat
terjadinya adu kekuatan. Di sisi lain, Takwin (2006)
membayangkan sistem arena seperti sebuah sistem
planet, yaitu ada gaya gravitasi, mengandung energi,
memiliki semacam atmosfer yang melindungi dari daya-
daya yang merusak yang datang dari luar planet. Setiap
arena memiliki struktur dan dayanya sendiri, serta
ditempatkan dalam suatu arena yang lebih besar yang juga
memiliki kekuatan, strukturnya sendiri dan seterusnya.
Bourdieu mengatakan bahwa setiap arena baik
budaya, politik, ekonomi dan lainnya dibentuk secara
struktural. Ia ditentukan oleh hubungan kausal antara
posisi-posisi para individu yang berada dalam arena. Oleh

226 | Kritik Ideologi Pendidikan


karena itu, arena adalah sebuah konsep yang dinamis.
Namun, habitus tidak sepenuhnya ditentukan oleh
struktur objektif, tetapi dapat juga ditentukan oleh
tindakan subjektif individu. Ini bertujuan untuk
memberikan hak kepada individu untuk berkreasi melalui
posisi-posisi yang terdapat dalam arena, dan memberi
kesempatan kepada individu untuk menggunakan
berbagai strategi (Fashri, 2007). Individu atau aktor tidak
bergerak dalam ruang kosong, tetapi mereka bergerak
dalam arena, yaitu arena sosial yang ditata dan dikuasai
oleh relasi sosial objektif. Selain itu, arena digambarkan
sebagai sebuah medan pertempuran atau medan
perjuangan untuk merebut kekuasaan dengan individu
lainnya.
Individu yang masuk dalam suatu lingkungan seperti
(politik, seni, intelektual) harus menguasai kode-kode dan
aturan-aturan permainan di dalamnya. Hal ini karena
setiap bidang memiliki aturan permainannya sendiri.
Arena perjuangan juga dipahami sebagai arena kekuatan,
yang merupakan tempat perjuangan antara individu dan
kelompok. Arena perjuangan sosial, merupakan hasil dari
proses otonomisasi yang berlangsung lama dan panjang
dalam diri individu (Bourdieu, 1997). Individu yang masuk
ke dalam permainan biasanya tidak dalam suatu kondisi
kesadaran penuh. Hal ini dikarenakan habitus
memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka
secara spontan. Arena di sini merupakan metafora yang
digunakan Bourdieu untuk menggambarkan kondisi
masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan sumber
daya atau modal (Bourdieu, 1990).

Kritik Ideologi Pendidikan | 227


Misalnya, apabila seseorang ingin berhasil dalam
arena pendidikan, maka ia perlu memiliki habitus
pendidikan (belajar, menulis, berdiskusi, dan membaca)
dan modal intelektual (pendidikan dan penelitian) yang
tepat. Jika ia tidak memiliki habitus dan modal yang tepat
untuk dunia pendidikan, maka ia tidak akan berhasil
dalam arena pendidikan. Contoh, habitusnya orang kaya
dengan orang miskin dalam pendidikan berbeda. Jika dia
orang kaya maka dia memiliki banyak modal ekonomi,
modal sosial, dan modal budaya, sehingga arenanya
adalah sekolah dan universitas unggulan. Begitupun juga
dalam arena bisnis, jika seseorang ingin berhasil dalam apa
yang ia kelola, maka ia harus memiliki habitus yang tepat
(ulet bekerja dan hemat) serta modal ekonomi (uang
sebagai modal usaha) maupun modal sosial (jaringan
kenalan yang luas) yang tepat. Jika orang memiliki habitus
pendidik, dan ia terjun ke dalam dunia bisnis, maka
kemungkinan besar, ia tidak akan berhasil, sehingga
habitus, modal, dan arena memiliki hubungan yang sangat
erat. Oleh karena itu, apabila ingin berhasil dalam salah
satu arena, orang perlu mempunyai habitus dan modal
yang tepat untuk arena itu karena apabila ia tidak memiliki
habitus dan modal yang tepat, maka kemungkinan besar
akan gagal dalam arena yang telah ia pilih (Jenkins, 2013).
Dalam suatu arena, terdapat pertarungan di mana
kekuatan-kekuatan bertarung berdasarkan modal. Modal
merupakan sebuah konsentrasi kekuatan secara spesifik
yang beroperasi dalam arena. Setiap arena menuntut
individu untuk memiliki modal-modal khusus, supaya
dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya.

228 | Kritik Ideologi Pendidikan


Haryatmoko mengatakan bahwa individu yang memiliki
modal dalam pertarungan ini akan menguasai dan
menentukan akses pada keuntungan-keuntungan tertentu
yang dipertaruhkan dalam arena (Haryatmoko, 2003).
Arena perjuangan ini mirip dengan pasar karena terdapat
produsen dan konsumen. Contohnya, di arena intelektual,
seseorang harus memiliki modal istimewa yang spesifik
seperti kecerdasan, pengetahuan yang luas, prestasi,
otoritas keilmuan, dan sebagainya untuk menampilkan
tindakan yang dapat dihargai dan membuatnya menjadi
individu yang berpengaruh. Selain itu, individu juga harus
memiliki habitus yang memberinya strategi dan kerangka
tingkahlaku yang memungkinkannya menyesuaikan diri
dan beradaptasi secara memadai pada arena intelektual.
Mereka yang memiliki relevansi antara habitus, modal,
dan arena akan lebih mampu melakukan tindakan
mempertahankan, menguasai, dan mengubah struktur
dibandingkan mereka yang tidak relevan di antara
ketiganya. Secara ringkas, Bourdieu memformulasikan
rumus generatif yang menerangkan praktek sosial dalam
mengganti setiap relasi sederhana antara individu dan
struktur dengan relasi antara habitus dan arena yang
melibatkan modal dengan persamaan [(Habitus x Modal) +
Arena = Praktek] (Jenkins, 2013).
4. Dominasi Simbolik
Meskipun kita dapat mengatur habitus, modal, dan
arena pada akhirnya akan melahirkan dominasi simbolik
karena ternyata dalam masyarakat ditentukan oleh
dominasi simbolik. Dominasi simbolik adalah penindasan
dengan menggunakan simbol-simbol. Penindasan ini tidak

Kritik Ideologi Pendidikan | 229


dirasakan sebagai penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang
secara normal perlu dilakukan. Artinya, penindasan
tersebut telah mendapatkan persetujuan dari pihak yang
ditindas itu sendiri, karena orang-orang yang memiliki
kekuasaan atau otoritas selalu memaksakan simbol-simbol
nilai di masyarakat. Misalnya, [1] setiap tahunnya
kurikulum pendidikan selalu berubah, peraturan di
sekolah dan universitas, semua itu diatur oleh orang-orang
yang memiliki dominasi simbolik. Logis tidak logis aturan
tersebut kita terima karena mereka punya atoritas untuk
menindas secara simbolik. [2] Guru yang otoriter di kelas,
namun tidak mendapatkan perlawanan apapun dari
muridnya karena muridnya telah menyetujui penindasan
yang dilakukan oleh gurunya. Atau seorang istri yang
tidak dapat membela diri, walaupun telah dirugikan oleh
suaminya karena ia secara tidak sadar telah menerima
statusnya sebagai yang tertindas oleh suaminya
(Wattimena, 2012).
Bourdieu menggunakan pendekatan Marx dalam
menggambarkan kondisi sosial masyarakat melalui
paradigma “dominasi kelas”. Namun, Bourdieu
membedakan diri dari pendekatan Marx dengan
mengembangkan teorinya tentang “dominasi simbolik”
yang terkait dengan kajian budaya. Bourdieu memperluas
perjuangan kelas pada perjuangan simbolik dalam bentuk
pengelompokkan perbedaan-perbedaan objektif yang
ditentukan oleh tiga akumulasi modal, yaitu ekonomi,
budaya, dan sosial. Pendekatan Marx hanya
mendefinisikan posisi sosial dengan mengacu pada satu
posisi saja, yaitu hubungan-hubungan produksi ekonomi

230 | Kritik Ideologi Pendidikan


(dominasi kelas diproduksi oleh modal ekonomi), dan Ia
mengabaikan hubungan-hubungan produksi budaya
(dominasi simbolik diproduksi oleh modal budaya).
Karena semua pertentangan yang mendasari bidang sosial
tidak dapat direduksi pada oposisi antara pemilik dan
bukan pemilik sarana produksi ekonomi saja, tetapi kita
harus melihat adanya hubungan-hubungan produksi
budaya. Oleh karena itu, Bourdieu mengembangkannya
dengan menggunakan metode verstehen Weber yaitu
paradigma tindakan sosial. Berdasarkan
pendekatan Weber, tindakan individu diarahkan pada
makna dalam arti tindakan yang terkait dengan reaksi
orang lain atau perilaku orang lain. Bourdieu
menggunakan pendekatan dimensi simbolik dalam
pemikiran Weber yang terkait dengan legitimasi kekuasaan
(tradisional, karismatik, dan legal-rasional) dalam
memaparkan mekanisme-mekanisme dominasi. Dengan
demikian, penjelasan sosial harus mempertimbangkan
dominasi simbolik (modal budaya).
Mekanisme dominasi simbolik memuncak pada
pemikiran Bourdieu tentang doxa. Secara singkat, doxa
adalah pandangan penguasa yang dianggap sebagai
pandangan seluruh masyarakat. Jalur masuknya dominasi
simbolik (doxa) adalah bahasa. Bagi Bourdieu, bahasa
adalah alat komunikasi yang bersifat netral, tanpa
kepentingan. Bahasa adalah simbol kekuasaan. Dalam
bahasa, tersembunyi dominasi simbolik serta struktur
kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Tata bahasa yang
digunakan oleh seseorang mencerminkan kelas sosial
ekonominya di masyarakat. Dalam arti ini, sebagai sebuah

Kritik Ideologi Pendidikan | 231


simbol, bahasa adalah suatu teks yang perlu untuk terus
dipahami secara kritis (Wattimena, 2012). Akan tetapi
masyarakat tidak lagi memiliki sikap kritis pada
pandangan penguasa. Pandangan penguasa biasanya
bersifat sloganistik, sederhana, popular, dan amat mudah
dicerna oleh rakyat banyak, walaupun secara konseptual,
pandangan tersebut mengandung banyak kesesatan.
Oleh karena itu, doxa melanggengkan dominasi
penguasa untuk meraih, mempertahankan,
mengembangkan kekuasaannya, dan mempermainkan
simbol yang telah diyakini oleh yang dikuasai, sehingga
mereka kehilangan sikap kritisnya pada penguasa. Mereka
yang dikuasai, secara tidak sadar melihat dirinya sama
dengan penguasa. Mereka tidak menyadari bahwa dirinya
telah ditindas, bahkan mereka tidak merasa dalam
ketertindasan. Doxa juga berlaku dalam arena
keilmuan/pendidikan, misalnya, [1] paradigma
positivisme kontemporer menganggap bahwa realitas
dilihat sebagai sesuatu yang bisa diukur dan dihitung,
seperti menghitung uang belanja dan [2] empirisme
dogmatis yang menganggap bahwa kebenaran ilmiah
hanya pada apa yang dapat dilihat oleh panca indera. Ini
kemudian menjadi pandangan penguasa (komunitas
ilmiah) yang dianggap sebagai pandangan seluruh
ilmuwan (yang dikuasai) (Wattimena, 2012). Oleh karena
itu, banyak ilmuwan modern terjebak pada doxa penguasa
di bidang penelitian karena mereka menerima begitu saja
pandangan penguasa sebagai pandangannya, sehingga
mereka kehilangan sikap kritisnya. Pada akhirnya, mereka
hanya mengabdi pada kepentingan penguasa karena

232 | Kritik Ideologi Pendidikan


mereka telah kehilangan sifat aslinya sebagai manusia dan
kebutuhan sebagai manusia nyata di dunia. Misalnya,
perumusan kurikulum pendidikan, kita semua tidak ikut
dalam perumusannya, tetapi diklaim bahwa kita semua
akan setuju sehingga akan diterapkan dalam institusi
pendidikan.
Bourdieu mengungkapkan bahwa pendidikan adalah
proses untuk melanggengkan dominasi simbol dan
membenarkan nilai-nilai yang dianggap mapan dalam
masyarakat (Martono, 2012). Dunia sosial mereproduksi
kebenarannya sendiri melalui pendidikan, sehingga
pendidikan formal tidak kritis karena dia membicarakan
dirinya sendiri untuk melanggengkan kebenarannya
sendiri. Oleh karena itu, pendidikan dijadikan alat untuk
melanggengkan kelas-kelas di tengah masyarakat karena
nilai yang paling tinggi tetap dimiliki oleh kelompok yang
memiliki kuasa simbolik. Karena pemerintah yang
memiliki habitus, modal, dan arena. Sedangkan yang tidak
memiliki habitus, modal, dan arena jika ia masuk ke dalam
struktur pendidikan yang seperti ini akan kalah. Misalnya,
kurikulum 2013 dan Merdeka Belajar, mereka yang belum
mengerti pasti bingung karena habitus, modal, dan arena
yang mereka miliki belum sesuai. Contohnya sekolah yang
ada di daerah-daerah terpencil dan sekolah-sekolah miskin.
Begitupun dengan Ujian Nasional, di sekolah-sekolah yang
peserta didiknya adalah buangan karena tidak diterima di
sekolah-sekolah unggulan pasti akan tersendat.
Bagi Bourdieu, kekerasan selalu ada dalam lingkaran
kekuasaan, seperti institusi pendidikan yang merupakan
produk dan hasil dari struktur kekuasaan. Hal demikian

Kritik Ideologi Pendidikan | 233


dikarenakan kelompok dominan berusaha menguasai
kelompok yang didominasi, sehingga mereka berusaha
membuat struktur dan aturan yang harus diikuti oleh
pihak yang didominasi. Mereka juga selalu menyusun
sebuah strategi agar apa yang diupayakan tidak mudah
dikenali oleh pihak yang didominasi. Strategi kelompok
dominan dalam menguasai kelompok yang didominasi
dilakukan secara halus, tetapi itu berlangsung secara
kontinyu, sehingga yang didominasi tidak menyadari
kalau mereka sedang ditindas. Bahkan mereka yang
terdominasi mengaggap dirinya sudah sepatutnya seperti
itu. Oleh karena itu, mereka yang terdominasi tidak bisa
keluar dari dominasi simbolik karena itu sudah dianggap
sebagai tatanan moral dalam struktur pendidikan,
sehingga Bourdieu mengatakan bahwa inilah yang disebut
dengan kekerasan simbolik di sekolah (Martono, 2012).
Adapun beberapa orang yang menganggap bahwa
kekerasan simbolik merupakan penerapan dominasi
sedemikian rupa, sehingga tindakan dominasi tersebut
dianggap sebagai perilaku menyimpang, namun,
meskipun demikian ia diakui sebagai sesuatu yang sah.
Oleh karena itu, kekerasan simbolik yang terjadi dalam
masyarakat seperti dalam institusi pendidikan tidak akan
mengundang perlawanan karena ia sudah mendapat
legitimasi sosial (Fashri, 2007).
Lebih jauh lagi, konsep kekerasan simbolik dapat
diuraikan pada pendidikan negeri dan swasta. Dominasi
sekolah negeri terhadap sekolah swasta sebagai kekerasan
yang tak kasat mata melalui simbol-simbol dan
pemalsuan realitas dengan cara memberikan informasi

234 | Kritik Ideologi Pendidikan


yang keliru, sehingga korban dari dominasi tersebut tidak
merasakannya sebagai kekerasan, bahkan melihatnya
sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar. Konsepsi ini
berasal dari proses perubahan yang bertanggungjawab dari
sejarah yang seolah-olah menjadi sesuatu yang sudah
semestinya, kemudian menjadi mitos yang didukung oleh
wacana yang dikuasai oleh pendidikan negeri atau swasta.
Lalu diterima dan didukung oleh struktur sosial dan
budaya sehingga terorganisir dalam masyarakat. Menurut
Haryatmoko, kekerasan simbolik pada dasarnya
berlangsung karena ketidaktahuan, serta adanya
pengakuan dari yang ditindas ( Freire, 2013; Haryatmoko,
2003). Dominasi simbolik ini berjalan karena kekerasan
simbolik diterima baik oleh yang mendominasi maupun
yang didominasi, di antaranya bahasa, gaya hidup,
cara berpikir, cara bertindak, dan kepemilikan yang khas
pada kelompok tertentu yang didasarkan pada ketubuhan.
Selain itu, Bourdieu juga menggambarkan kekerasan
simbolik dalam proses belajar di lingkungan pendidikan
formal, yaitu peserta didik yang berhasil di sekolah
merupakan hasil dari perilaku budaya dalam keluarga
karena mereka sudah memiliki kebiasaan mengerjakan PR,
kebiasaan mengikuti kursus atau les privat, serta kebiasaan
mempelajari hal-hal yang tidak berkaitan dengan
akademik seperti gaya berjalan, cara berpakaian atau cara
berbicara. Pada umumnya, anak-anak dari keluarga kaya
telah mempelajari perilaku-perilaku ini dari lingkungan
keluarga mereka, sehingga mereka tidak merasa kesulitan
mengikuti model pendidikan yang diharapkan oleh
lingkungan sekolah karena mereka telah mempunyai

Kritik Ideologi Pendidikan | 235


budaya yang sama. Sebaliknya anak-anak yang berasal dari
keluarga miskin tidak mempelajari di keluarganya,
sehingga mereka kesulitan mengikuti model pendidikan
yang dituntut dalam kurikulum pendidikan dan mereka
juga tampak kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekolah. Oleh karena itu, apabila kelas bawah
ingin berhasil dalam lingkungan sekolah maka harus
bersikap, bertindak, dan berperilaku seperti anak-anak dari
kalangan atas. Konsep ini menjelaskan bahwa kelas atas
dapat mendominasi dalam lingkungan pendidikan karena
mereka dapat memaksakan ideologi, budaya atau gaya
hidupnya pada kelompok kelas bawah. Sebaliknya, kelas
bawah dipaksa untuk menerima, mengakui, dan
mempraktekkan ideologi, budaya, atau gaya hidup kelas
atas dan membuang jauh-jauh ideologi, budaya atau gaya
hidup kelas bawah (Martono, 2010).
5. Distingsi dan Resistensi
Dalam masyarakat, terdapat juga hasil dominasi
simbolik, yaitu distingsi dan resistensi. Distingsi dan
resistensi adalah sesuai dengan karakternya masing-
masing, dan membedakan dirinya sendiri di tengah-tengah
masyarakat. Resistensi adalah orang yang didominasi
secara simbolik, sementara yang mendominasi adalah
distingsi. Distingsi memiliki kuasa makna, sedangkan
resistensi dikuasai karena ia dikuasai maka ia melawan.
Perbedaan simbolik antara individu dalam tatanan
hierarkis masyarakat tidak akan tampak bila tidak ada
distingsinya. Misalnya, tennis meja tidak akan dapat
dibedakan jika tidak ada olahraga lain seperti sepakbola
sehingga orang bisa membedakannya. Meskipun

236 | Kritik Ideologi Pendidikan


perbedaan praktek sosial budaya berubah setiap waktu
seiring dengan adopsi praktek sosial budaya oleh
kelompok yang lebih rendah, tetapi perbedaan simbolik
tersebut selalu ada distingsinya.
Distingsi berarti tindakan membedakan diri yang
dilakukan oleh individu untuk menunjukkan kelasnya
dalam masyarakat atau kelas tinggi membedakan dirinya
dengan kelas rendah. Biasanya, pembedaan dilakukan oleh
kelas menengah ke atas untuk menunjukkan statusnya
yang khas dibandingkan dengan kelas yang lebih rendah.
Bourdieu juga menjelaskan bahwa lifestyle mempunyai efek
pembeda/distingsi dan legitimasi dalam tatanan sosial
masyarakat, misalnya: [1] Kelompok sosial yang lebih
tinggi menyukai sebuah musik yang dianggap lebih
bermutu daripada kelompok sosial yang lebih rendah.
Musik merupakan sumber pembeda dalam selera mereka,
dan pembeda ini, pada saat yang sama, merupakan sebuah
legitimasi bahwa kelompok sosial yang lebih tinggi
berbeda karena mereka menyukai musik yang berbeda. [2]
Orang yang berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas
akan menggunakan pakaian ataupun mobil dengan merek
yang khusus, yang harganya jauh lebih tinggi dari apa
yang bisa dibeli oleh kelas ekonomi yang lebih rendah; [3]
Seseorang membeli hp terbaru untuk membedakan dirinya
dengan orang lain yang masih menggunakan hp lama; [4]
Dalam konteks pendidikan, lulusan perguruan tinggi luar
negeri biasanya melakukan pembedaan terhadap lulusan
perguruan tinggi dalam negeri (Wattimena, 2012). Mereka
merasa berbeda, jika mampu membaca, menulis, ataupun
berbicara dalam bahasa asing, sesuatu yang tidak dimiliki

Kritik Ideologi Pendidikan | 237


oleh mereka yang lulus dari perguruan tinggi dalam
negerti. Proses penempatan diri ini merupakan ciri khas
kelas ekonomi menengah ke atas yang ingin mendapatkan
pengakuan dari kelas ekonomi yang lebih rendah.
Sebaliknya, kelas ekonomi menengah ke bawah juga
melakukan hal yang sama. Namun, bagi Bourdieu,
tindakan tersebut bukanlah merupakan
pembedaan/distingsi, melainkan suatu bentuk resistensi.
Individu pada posisi sosial ini akan memperoleh disposisi-
disposisi budaya tertentu yang mereka telah legitimasi.
Misalnya: [1] Seorang anak buruh akan menerima
disposisi-disposisi sebuah kehidupan dimana kebutuhan
ekonomi merupakan hal yang utama, seperti kehidupan
buruh itu sendiri, yaitu pandangannya terhadap makanan.
Bagi mereka, makanan itu yang penting bisa
mengenyangkan, tidak memperhatikan nilai gizinya; [2]
Pandangan terhadap seni, mereka lebih memahami aliran
realis yang dapat dinikmati dengan mudah; [3] Pandangan
terhadap pakaian, mereka lebih memilih pakaian yang
memberi manfaat, bukan karena nilai keindahan
(Krisdinanto, 2014); [4] Orang-orang sudah mulai
berlomba-lomba menggunakan motor baru, tetapi dia
masih menggunkan Motor Vespa tua. Jadi resistensi adalah
tindakan yang dilakukan oleh kelas bawah sebagai anti
kemapanan.
Distingsi dan resistensi akan melahirkan perubahan
sosial karena jika tidak ada distingsi dan resistensi maka
kehidupan ini datar. Tetapi karena ada individu yang
melawan dan membedakan dirinya, maka dari situlah akan
melahirkan dinamika sosial. Pola perubahan yang terjadi

238 | Kritik Ideologi Pendidikan


dalam resistensi dan distingsi adalah persaingan. Oleh
karena itu, faktor yang sangat penting dalam persaingan
adalah strategi karena mau atau tidak mau, sadar atau
tidak sadar, setiap orang akan mengambil strategi secara
sendiri-sendiri. Kelompok yang memiliki kuasa akan
mengambil strategi tertentu untuk melanggengkan
kekauasaannya, sedangkan kelompok yang tidak memiliki
kuasa biasanya mengambil strategi tertentu untuk
menjatuhkan kekuasaan.
Bourdieu mengungkapkan bahwa kelompok sosial
dalam tatanan hierarkis masyarakat sebenarnya sedang
melakukan pertarungan simbolik, yaitu orang-orang dari
kelas bawah berusaha meniru atau mengimitasi praktek-
praktek budaya dari kelas atas untuk menaikkan status
sosialnya dalam masyarakat. Selanjutnya orang-orang dari
kelas atas, yang peka terhadap tindakan imitasi ini, akan
merubah perilaku sosial budayanya. Mereka mencari
perilaku sosial/gaya hidup dan budaya lain yang selalu
mampu menciptakan perbedaan sosial secara simbolik.
Tindakan imitasi dan usaha pencarian perbedaan
merupakan sumber dari perubahan praktek-praktek
budaya yang berlangsung secara dialektis antara kelas atas
dan kelas bawah dalam arena. Akan tetapi, pertarungan
simbolik ini hanya membuat kelas bawah rugi karena
apabila mereka melakukan imitasi berarti mereka
mengakui adanya perbedaan di antara mereka tanpa bisa
menciptakan budaya baru.

Kritik Ideologi Pendidikan | 239


B. Dilema antara Strukturalisasi dan Humanisasi
Pendidikan
Dilema antara strukturalis dan humanis dalam
institusi pendidikan diawali dari kritik Kierkegaard
terhadap abstraksionisme Hegel, yaitu dialektika roh Hegel
telah membuat abstrak segala hal, dan menyingkirkan
manusia dari posisinya sebagai pribadi yang konkret
karena yang rill dalam filsafat Hegel bukannya
pengalaman individual konkret, namun ide-idenya yang
abstrak. Hegel menganggap hal-hal yang sifatnya kolektif
(kita, zaman kita, roh dunia, dan lainnya) itu lebih tinggi
dan lebih rill daripada yang individual dan partikular.
Oleh karena itu, Kierkegaard mengkritik Hegel karena
mereduksi manusia dalam dimensi crowd-nya
(kerumunannya) belaka karena manusia kehilangan
individualitasnya dan otentitasnya (Garot, 2017).
Kierkegaard mengkritik kelompok-kelompok sosial
dalam masyarakat kontemporer karena baginya itu adalah
sebagai massing of society. Dalam masyarakat kontemporer
the crowd atau kelompok sosial menenggelamkan individu,
sehingga individu merasa hampa tanpa the crowd. Manusia
modern adalah mahluk anomi yang tergantung kepada
para ahli untuk menunjukkan jalan yang benar. Manusia
modern tidak bisa menjadi dirinya sendiri, dan bahkan
merasa nyaman dengan konsep-konsep abstrak. Manusia
modern tereduksi hanya menjadi angka-angka dan
kehilangan otentitasnya. Problematika otentisitas
masyarakat modern adalah [1] Inauthenticity yaitu segala
yang muncul ketika karakter dan kebutuhan individu
diabaikan, diingkari, dikaburkan atau diletakkan di bawah

240 | Kritik Ideologi Pendidikan


struktur-struktur, konsep-konsep abstrak atau kelompok-
kelompok abstrak atau kelompok-kelompok. [2]
Authenticity yaitu kondisi subjektif dari satu individu
sebenarnya. Pada suatu ketika, tanpa berlindung di balik
naungan atau bersandar kepada kelompok-kelompok atau
struktur-struktur untuk memperoleh makna atau tujuan
(Marcuse, 2000).
Lebih jauh lagi, Marcuse mengatakan bahwa manusia
modern terjebak ke dalam satu dimensi, antara lain
(Marcuse, 2000):
1) Administrasi total, yaitu untuk mempertahankan status
quo, segala hal mesti diatur (ada pedoman dan
rumusan). Ketika semuanya sudah diatur maka
kreativitas akan hilang karena kemanapun pasti ada
pagarnya.
2) Bahasa fungsional, yaitu ada pendefinisian-
pendefinisian ulang sesuai fungsi yang diinginkan,
misalnya, penggusuran menjadi penertiban, menaikkan
harga menjadi penyesuaian harga. Jadi ada definisi
operasional dibuat sesuai status quo.
3) Pengabaian/penghapusan sejarah, yaitu sejarah-sejarah
tertentu sering dikonstruksi sesuai kepentingan yang
punya kuasa karena kepentingan visinya, sejarah-
sejarah tertentu diabaikan atau dihapus.
4) Kebutuhan palsu, yaitu sebenarnya kita tidak terlalu
membutuhkan hal tersebut, tetapi bagi yang punya
kuasa diciptakan, dinarasikan, dan disosialisasikan,
sehingga kita merasa butuh.
5) Imperium citra, yaitu hari ini orang baik tidak penting,
yang baik itu orang kelihatan baik atau proyek agar

Kritik Ideologi Pendidikan | 241


orang lain terkesan baik. Tidak cukup orang berbuat
baik, tetapi bagaimana agar orang tahu kamu berbuat
baik. Sehingga hari ini, imperium citra menjadi kunci
kesuksesan. Misalnya, karena ingin kelihatan baik,
peserta didik rajin, paling tidak peserta didik pura-pura
cium tangan.
Dimensi di atas telah terlegitimasi ke dalam institusi
pendidikan, sehingga institusi pendidikan memproduksi
budaya subjek-objek secara struktural yang kemudian
mengalienasikan peserta didik seolah institusi
pendidikanlah yang serba tahu dan benar atas segala yang
diajarkan, dan peserta didik dianggap tidak mengetahui
apa-apa, tidak diberikan ruang dialog sebagai subjek-
subjek. Strukturalisasi tidak hanya mewarnai mereka yang
kemanusiaannya dirampas, tetapi juga mereka yang
merampasnya. Dalam perjuangan humanisasi, orang-orang
tertindas tidak boleh berbalik menjadi penindas. Maka
perjuangan bagi pembebasan yang dilaksanakan oleh
kaum tertindas harus merupakan perjuangan untuk
sekaligus membebaskan juga kaum penindas. Inisiatif
untuk pembebasan harus datang dari kaum tertindas
karena kaum penindas seraya menindas sesamanya tidak
mungkin menemukan kekuatan untuk membebaskan diri
dari kekuatan menindas itu sendiri (Freire, 2013).
Hubungan antara struktur dan humanis ditampilkan
sebagai contoh atau bentuk tipologi dialektika Hegelian.
Struktur sebagai jalur kekuasaan dan dominasi penindas
tidak mungkin ada tanpa eksistensi manusia. Oleh karena
itu, relasi struktur dengan manusia merupakan manifestasi
dari dehumanisasi, yaitu struktur didehumanisasikan oleh

242 | Kritik Ideologi Pendidikan


tindakan penindas yang membutakannya dari tindakannya
tersebut yang kemudian dapat menghancurkan dirinya
sendiri, sementara yang tertindas didehumanisasikan oleh
realitas eksistensial penindasan dan internalisasi bayang-
bayang penindas. Konsekuensi logisnya yaitu penindas
menyokong keberadaan eksistensial identitas ganda,
sehingga kaum tertindas haruslah membebaskan dirinya
sendiri dari penindas-penindasnya (Freire, 2013).
Pembebasan sejati terjadi kalau tangan-tangan yang
tertindas diubah menjadi tangan-tangan yang mampu
mengubah dunia. Kaum tertindas mampu memahami
penindasan yang mengerikan karena merekalah yang
menanggung dan mengalami beban penindasan.
Merekalah yang lebih memahami keharusan pembebasan.
Oleh karena itu, fitrah seorang manusia adalah merdeka
dan bebas karena manusia adalah penguasa atas dirinya,
dan telah menjadi ciri khas tersendiri bahwa manusia
mampu mengatasi masalahnya sendiri dengan kehendak
untuk berkuasa. Hal yang seperti inilah yang dimaksudkan
oleh Freire dalam memperjuangkan pendidikan
yang humanis. Bagi Freire pendidikan haruslah
berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan
dirinya sendiri, atau pendidikan haruslah
mengimplikasikan tentang konsep manusia agar Ia
memiliki keberanian untuk berkata “ya pada
kehidupan” tidak dibuat lemah dan merasa ketakutan
dalam menjalakan hidup yang sesungguhnya (Santoso,
2009).

Kritik Ideologi Pendidikan | 243


Di sisi lain, kita juga dapat melihat gagasan Marx
tentang pendidikan yang kemudian dapat diringkas ke
dalam empat tesis, yaitu:
1) Pendidikan mempunyai sifat kelas. Orang komunis
membebaskan pendidikan dari pengaruh kelas yang
berkuasa, demikian manifest komunis. Sebagaimana
halnya dengan semua sektor lainnya dari kehidupan
ekonomi dan sosial, demikian pula pendidikan yaitu
sekolah tunduk kepada perubahan-perubahan yang
ditimbulkan oleh perjuangan kelas.
2) Hubungan antara pengajaran dan pendidikan dengan
aktivitas revolusioner kaum proletar yang mengemban
pada misi historis untuk mengakhiri perjuangan kelas.
Pendidikan bukannya sekedar penyesuaian pada
pengaruh lingkungan, bukan pula persiapan untuk
masa depan utopis melainkan untuk membantu proses
perubahan proses perubahan masyarakat yang diakui
sebagai suatu keharusan yang akan mengakibatkan
lahirnya masyarakat tanpa kelas dan insan baru.
3) Dalam masyarakat tanpa kelas terjadilah manusia
sesungguhnya yang bahagia bebas dari rasa asing
terhadap dirinya sendiri. Pendidikan sebagai sektor
institusional yang otonom akan punah, seperti halnya
dengan negara.
4) Pendidikan dan kerja produktif hendaknya
dihubungkan satu sama lain. Pendidikan ini harus
membuat manusia terbiasa dengan prinsip-prinsip
umum ilmiah dari semua proses produksi.
Konsepsi Marx di atas merupakan kelanjutan aksi
radikal yang dilakukan oleh Freire untuk merubah kembali

244 | Kritik Ideologi Pendidikan


dunia kependidikan yang sudah tidak lagi humanis dan
merupakan hal yang penting dan patut kita teruskan
perjuangannya. Salah satunya adalah melakukan
perubahan sosial guna membentuk masyarakat yang baru
dan anti terhadap status quo (penindasan dalam
pendidikan) karena pendidikan merupakan sebuah bentuk
perjanjian khusus dengan masyarakat untuk menentukan
kehidupan sosial di masa yang akan datang. Oleh karena
itu, masyarakat haruslah berpartisipasi dalam lembaga
pendidikan (Freire, 2013).
Konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Freire
tidak hanya meliputi di ruang kelas saja. Meskipun Ia
memahami pentingnya aktivitas di ruang kelas untuk
reproduksi dan transformasi, Ia menekankan bahwa teknik
pendidikan baru tidak akan menciptakan sekolah atau
masyarakat yang sama sekali baru. Pendidikan dapat
membantu kita memahami dunia yang kita tinggali dan
membuat kita siap mengubahnya, tetapi bila kita juga
mengaitkan pendidikan dengan kenyataan lebih luas di
mana manusia dan dengan perjuangan mengubah
kenyataan tersebut (Palmer, 2003). Lebih jauh lagi, Freire
mengkritik dampak yang ditimbulkan oleh strukturalisasi
pendidikan, yaitu (Freire, 2013):
1) Institusi pendidikan hanya menstruktur pikiran
manusia untuk bekerja meskipun kerja itu penting tetapi
itu tidak mendasar. Oleh karena itu, institusi
pendidikan hanya mencetak pekerja dan mental budak
secara struktural, sehingga fungsi pendidikan sebagai
pemberdayaan, emansipasi, perbaikan individu dan
sosial tidak berjalan.

Kritik Ideologi Pendidikan | 245


2) Institusi pendidikan menjelaskan status seseorang
dalam masyarakat dan apa yang diharapkan dari
mereka. Peserta didik ditegaskan terhadap struktur-
struktur yang mapan, di mana posisi anak dan apa yang
harus dilakukan. Sejauh mana pasar membutuhkan kita,
seperti itulah kita dicetak, dan apa yang diinginkan oleh
masyarakat kita lakukan, seperti itulah kita diarahkan.
3) Institusi pendidikan menekankan pentingnya struktural
pendidikan bagi masyarakat. Namun kalau pendidikan
berfungsi melanggengkan tatanan masyarakat, di mana
pendidikan itu sendiri ada di dalamnya.
Berdasarkan uraian di atas, institusi pendidikan
mempunyai banyak implikasi dan selalu mengikuti aturan
sistem yang telah ditetapkan melalui sebuah struktur
hierarkis di atasnya. Negara atau pihak yang berkuasa
untuk membentuk dengan proses ke bawah, serangkaian
klaim bahwa proses tersebut secara rill mewakili hasrat
untuk mendirikan bangunan yang tercerahkan. Lebih jauh
lagi, institusi pendidikan ditempatkan dalam situasi
persaingan pasar, keberhasilan akademis ditunjukkan
dengan menerbitkan hasil-hasil ujian dan tes,
pengelolaannya didesentralisasi, dan orientasi pasar
mengubah budaya humanis menjadi strukturalis (Palmer,
2003).
Bagi Gramsci, institusi pendidikan telah menstruktur
manusia untuk menempati dua bangunan terpisah, yaitu:
1) Strukturalisasi pendidikan mengacu pada materi-materi
esensial mengenai ilmu pengetahuan dan ketertarikan
pada segenap kemajuan yang harus mendapatkan
prioritas. Oleh karena itu, transformasi ilmu

246 | Kritik Ideologi Pendidikan


pengetahuan yang masuk ke Indonesia bukanlah
melalui berbagai tahapan unik dan klasifikasi
penemuan-penemuan, inovasi-inovasi mandiri yang
benar-benar selalu mengikuti kebudayaan. Indonesia
dalam skema ilmu pengetahuan hanya mendapatkan
dan harus mengakui peradaban yang ditentukan oleh
kualitas pendidikan. Pengaruh Barat dalam institusi
pendidikan Indonesia seakan-akan menumbuhkan
keterpurukan dan kejatuhan derajat sebagai manusia
dan bangsa yang berkebudayaan. Konsumerisme
pengetahuan yang melanda Indonesia sebagai gaya dan
primitivisasi yang terpola. Akhirnya harus bermuara
pada ketidakberdayaan dan marginalisasi kemampuan
intelektual.
2) Humanisasi pendidikan adalah menggagas tentang hak-
hak dan kewajiban peserta didik. Artinya, setiap
individu harus memilih kalau tidak mau terjebak dalam
strukturalisasi pendidikan yang dipolitisir sedemikian
rupa menjadi sebuah ideologi. Gagasan ilmiah
dimaksudkan untuk melibatkan peserta didik
memasuki dunia benda-benda, sedangkan gagasan
tentang hak dan kewajiban dimaksudkan untuk
memasukkan peserta didik ke dalam koridor negara
serta peranannya menjadi masyarakat independen
(Wisarja & Sudarsana, 2017).
Struktur pendidikan tidak akan berjalan lancar dan
benar-benar berhasil apabila tidak melewati proses kritis.
Bangunan besar ideologi pendidikan adalah kategori
rasional dalam memahami kehendak pendidikan itu
sendiri. Kebijakan pendidikan lebih bernuansa politis

Kritik Ideologi Pendidikan | 247


daripada humanis dalam berkembangnya lembaga-
lembaga pendidikan. Struktur pendidikan sangat objektif
memandang manusia sebagai objek pendidikan, sehingga
itu dapat dikatakan sebagai tirani pendidikan padahal
secara esensial pendidikan sangatlah humanis. Secara
politis, institusi pendidikan akan dikendalikan oleh
pemerintah yang ada pada negara secara struktural. Oleh
karena itu, pemerintah dapat dengan mudah membunuh
satu ideologi pendidikan dibandingkan mengupayakan
perbaikan struktur pendidikan. Lebih jauh lagi, usaha-
usaha rasionalisasi struktur pendidikan tidak akan
berkembang kalau mainstream kebijakan pemerintah
masih harus ditaati (Wisarja & Sudarsana, 2017).
Struktur pendidikan membuat institusi pendidikan
ketergantungan pada negara karena negara sebagai suplier
terbanyak untuk menunjang gagasan seputar pemeratan
pengetahuan dengan tujuan mendapat hasil instan, berupa
sarjana dan pekerja terampil siap pakai yang diterjunkan
dalam berbagai lapangan pekerjaan. Terjadinya
strukturalisasi pendidikan dalam masyarakat disebabkan
karena penentuan konsep pendidikan yang kabur serta
kesalahan pengambilan kebijakan pendidikan bagi
masyarakat sipil. Pemerintah yang memiliki wewenang
dapat mengatur struktur pendidikan secara sentralistik,
sehingga pada akhirnya mereka berhasil membuat institusi
pendidikan benar-benar menjadi barang mati yang harus
rela ditendang kesana-kemari dan digoyang oleh berbagai
kepentingan yang memang bukan seharusnya terjadi dan
menjadi kehendaknya (Wisarja & Sudarsana, 2017).

248 | Kritik Ideologi Pendidikan


Dalam paradigma kritis, pendidikan merupakan
arena perjuangan politik, sehingga urusan pendidikan
adalah melakukan refleksi kritis terhadap strukturalisasi
dan humanisasi pendidikan. Tugas utama pendidikan
adalah menciptakan ruang, agar individu dapat bersikap
kritis terhadap struktur pendidikan, serta melakukan
dekonstruksi dan advokasi untuk menuju ke pendidikan
yang lebnih baik. Pendidikan kritis tidak bisa bersikap
netral, bersikap objektif maupun berjarak dengan
masyarakat seperti anjuran positivisme. Tujuan pendidikan
adalah melakukan kritik terhadap dominasi simbol dan
struktur serta pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang
tertindas untuk mencipta sistem sosial baru dan lebih adil.
Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu
menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan
menganalisis secara bebas struktur pendidikan, sehingga
tugas utama pendidikan adalah memanusiakan kembali
manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan
struktur yang tidak adil (Wiratma, 2010).
C. Kebudayaan Bisu dalam Struktur Pendidikan
Struktur pendidikan adalah salah satu penyebab
lahirnya kebudayaan bisu, yakni munculnya
ketidakberdayaan dan ketakutan untuk mengekspresikan
pikiran dan perasaan, sehingga diam dianggap sebagai
sikap dan perilaku santun yang juga sering dibudayakan di
kelas-kelas perkuliahan dan pembelajaran di sekolah.
Mereka memilih bisu karena mereka hanya menerima
begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan,
ada ketakutan dari kaum tertindas akan adanya kesadaran
tentang ketertindasan mereka. Budaya bisu yang dimaksud

Kritik Ideologi Pendidikan | 249


oleh Freire bukan karena protes atas perlakuan yang tidak
adil dan bukan strategi untuk menahan intervensi
penguasa dari luar, tetapi budaya bisu yang terjadi adalah
karena bisu dan bukan membisu. Mereka dalam budaya
bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak memiliki
kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Oleh karena
itu, menguasai realitas hidup ini termasuk menyadari
kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai
bahasa berarti mempunyai kesadaran kritis dalam
mengungkapkan realitas (Freire, 2007).
Diam atau bisu dalam hal ini bukan karena protes
atas perlakuan yang tidak adil, tetapi kerena mereka
memang bisu atau dibisukan, bukan membisu. Mereka
memang tidak tahu apa-apa. Untuk itu, perlu pendidikan
yang dapat membebaskan dan memberdayakan, yaitu
pendidikan yang membuat yang tertindas dapat
mendengar suaranya yang asli. Pendidikan yang relevan
dalam masyarakat berbudaya bisu adalah mengajar untuk
memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri
dan bukan suara dari luar termasuk suara pendidik.
Struktur pendidikan adalah sebuah pemolaan,
sehingga setiap pemolaan merupakan pemaksaan pilihan
seseorang terhadap orang lain, mengubah kesadaran orang
yang dipola agar cocok dengan kesadaran orang yang
memilih pola itu. Oleh karena itu, perilaku kaum tertindas
adalah suatu perilaku terpola, menuruti apa yang telah
digariskan oleh kaum penindas (Freire, 2013). Jika di dalam
proses pembelajaran, peserta didik tidak menyadari bahwa
guru berusaha untuk membuat mereka agar bisa menjadi
seperti apa yang dipolakan oleh guru tersebut, maka dalam

250 | Kritik Ideologi Pendidikan


proses pembelajaran tersebut terjadi sebuah penindasan.
Kaum penindas telah menjadikan orang lain tidak
manusiawi dan membelenggu hak-hak mereka. Ketika
kaum tertindas berjuang untuk menjadi lebih manusiawi
dan berusaha untuk merutuhkan kekuasaan kaum
penindas, sebenarnya mereka sedang berusaha
memulihkan harkat kemanusiaan kaum penindas yang
telah pupus selama melakukan penindasan (Freire, 2013).
Memperjuangkan kesetaraan dalam struktur
pendidikan sering tidak menguntungkan untuk mereka
yang di bawah dan selalu menguntungkan yang di atas.
Namun mereka yang di bawah selalu dihibur-hibur dan
yang di atas melanggengkan sebuah sistem agar mereka
tidak di bawah, sehingga yang di bawah harus berjuang
untuk bisa di atas. Oleh karena itu, kelas atas memiliki
nasib yang berbeda karena mereka memiliki banyak uang
untuk membayar sekolah yang bagus sehingga tambah
pintar, sedangkan orang miskin hanya dapat memperoleh
pendidikan dari lembaga pendidikan yang bermutu
rendah sehingga mereka selalu di bawah. Lebih jauh lagi,
banyak orang yang tidak menyadari bahwa struktur
pendidikan yang mereka lalui sekarang telah berbeda
bahkan sudah didesain sesulit mungkin agar orang-orang
lama dapat menari didepan penderitaan kaum muda. Hal
yang luput dari kesadaran kita bahwa sebenarnya mereka
itu adalah hasil seleksi dari struktur sebelumnya yang
belum tentu sesulit kaum muda. Namun yang tertanam
dalam diri penguasa adalah mewariskan struktur dan
sistem yang menindas. Rasa bangga dan gelar yang mereka

Kritik Ideologi Pendidikan | 251


peroleh jika dapat membuat sebuah syarat-syarat baru
dalam struktur pendidikan.
Acara wisuda yang begitu mewah dan meriah tidak
menjadi sebuah jaminan kesuksesan para sarjana dan
institusi pendidikan karena akan banyak pengangguran
terpelajar tiap tahunnya. Hal ini karena struktur
pemerintahan tidak sejalan dengan struktur pendidikan.
Lembaga pendidikan hanya dapat melepaskan tahanan
intektual dari struktur pendidikan yang kemudian akan
menjalani hukumannya di dalam struktur masyarakat
sebagai penjara nasional. Oleh karena itu, bagi Marcuse
(2000) manusia modern seperti orang yang sedang naik bus
besar dan bagus, fasilitas lengkap, berjalan dengan lancar
dan enak. Para penumpang merasa puas tetapi tidak tahu
tujuan bus itu. Bus berjalan sesuai mekanisme gerak motor
untuk terus maju padahal bus tersebut menuju dalam
jurang kebinasaan. Hal ini karena orang-orang hanya
memilih bus yang bagus atau kurikulum yang bagus tanpa
tahu tujuannya akan kemana, dan bagaimana jalanan yang
akan dilaluinya, atau tidak tahu bagaimana kondisi sekolah
dan masyarakat tempat menerapkannya.
Bourdieu juga banyak berbicara tentang masalah-
masalah struktur pendidikan di atas. Baginya, struktur
pendidikan adalah suatu proses penciptaan ulang
dominasi simbolik yang telah ada sebelumnya. Ia melihat
bahwa struktur pendidikan sangat besar perannya dalam
mereproduksi dan melestarikan relasi kekuasaan dan
hubungan kelas yang ada di masyarakat (Adib, 2012).
Struktur pendidikan melestarikan ketidakadilan serta
kesenjangan sosial yang telah berlangsung lama di

252 | Kritik Ideologi Pendidikan


masyarakat. Adanya ketidakadilan dalam sistem
pendidikan didasarkan pada analisis Bourdieu terhadap
data-data mahasiswa yang memasuki fakultas-fakultas
tenar di Prancis. Jika anda berasal dari keluarga yang
cukup kaya, memiliki habitus membaca, menulis, dan
berdiskusi sejak kecil, maka kemungkinan besar anda akan
belajar di fakultas-fakultas tenar di perguruan tinggi
ternama di negara anda (Bourdieu, 1997).
Struktur pendidikan menutup pintu bagi orang-orang
yang tidak memiliki habitus maupun modal sebagai
seorang pelajar. Orang-orang yang ditolak ini adalah
umumnya kelas ekonomi bawah yang memang tidak
memiliki habitus maupun modal untuk belajar secara
akademik. Dengan demikian, struktur pendidikan pada
hakikatnya bersifat diskriminatif. Secara tidak langsung,
struktur pendidikan menindas orang-orang yang memang
sejak awal sudah kalah dari segi modal ekonomi dan
modal budaya. Secara struktural, institusi pendidikan
melestarikan kesenjangan sosial antara si-kaya dan si-
miskin, antara si-pintar (memiliki habitus dan modal
intelektual), dan si-bodoh (tidak memiliki habitus maupun
modal intelektual) (Wattimena, 2012).
Bagi Bourdieu, pendidikan memainkan peran penting
dalam perubahan tatanan sosial di tengah masyarakat
modern. Jadi Bourdieu mengembangkan sebuah teori
pendidikan yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa
(Krisdinanto, 2014):
1) Struktur pendidikan dapat mereproduksi susunan
masyarakat, dengan cara mendidik anak-anak kelas
dominan untuk melanjutkan sekolah setinggi-tingginya

Kritik Ideologi Pendidikan | 253


yang pada waktunya nanti, memungkinkan mereka
untuk dapat menempati posisi-posisi penting dalam
masyarakat.
2) Struktur pendidikan melegitimasi adanya
penggolongan sekolah individu. Berdasarkan ideologi
bakat bawaan, penggolongan ini terjadi dengan tidak
memperhatikan asal usul sosialnya tetapi sebaliknya
dengan memperhatikan hasil dari kemampuan yang
dimiliki sejak lahir dari individu tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, Bourdieu berusaha untuk
menunjukkan bahwa struktur pendidikan membentuk
sebuah kekerasan simbolik yang kuat dengan cara
memberikan legitimasi yang sesuai dengan kekuatan asal
dari hierarki sosial, yaitu dengan cara mentransfer
pengetahuan yang dekat dengan kelas dominan. Jadi,
individu dari kelas dominan memiliki modal budaya yang
memungkinkan untuk menyesuaikan diri dengan
tuntutan sistem pendidikan dengan mudah, sehingga
mereka bisa berhasil dengan baik di dalam lembaga
pendidikan. Hal itu dapat terjadi karena adanya legitimasi
yang telah diproduksi dalam institusi pendidikan.
Legitimasi ini tidak tersembunyi tetapi juga tidak nampak
karena sudah menyatu dengan struktur pendidikan. Salah
satu struktur yang melegitimasi kelompok dominan ini
adalah ijazah yang dimilikinya. Legitimasi ini semakin
lama semakin menonjol dan semakin kuat dalam struktur
pendidikan untuk menghasilkan ijazah. Oleh karena itu,
ijazah menjadi syarat mutlak untuk bisa memasuki
perusahaan-perusahaan dan birokrasi pemerintahan,
demikian juga bagi kaum borjuis industri yang telah

254 | Kritik Ideologi Pendidikan


berlangsung lama untuk mentransfer kedudukan
sosialnya.
Dengan adanya legitimasi ijazah dalam struktur
pendidikan, hampir semua kelas sosial dipaksa untuk
memperoleh ijazah agar dapat merubah kedudukan sosial
mereka, termasuk para pemilik modal. Mereka juga
dituntut untuk memiliki ijazah bisnis agar dapat
memimpin perusahaannya. Bagi Bourdieu, keberhasilan
kelas dominan dalam institusi pendidikan disebabkan
karena modal budaya yang mereka miliki berdekatan
langsung dengan struktur pendidikan yang telah
terlegitimasi. Oleh karena itu, kelas bawah harus
melakukan penjagaan terhadap proses legitimasi melalui
dua keyakinan yang mendasar, yaitu (Krisdinanto, 2014):
1) Struktur pendidikan harus netral agar pengetahuan-
pengetahuan yang diperoleh sebagai sesuatu yang
independen. Jadi struktur pendidikan tidak
dipersepsikan sebagai tempat penanaman perlindungan
budaya yang dimiliki oleh golongan borjuis saja, tetapi
juga melibatkan pengakuan terhadap kelas bawah
(proletar).
2) Kegagalan atau keberhasilan individu dalam institusi
pendidikan seringkali dianggap sebagai warisan yang
dikembalikan pada pembawaan wataknya. Mereka yang
mengalami kegagalan dalam institusi pendidikan sering
dipahami sebagai sebuah kegagalan individu yang
dikembalikan pada ketidakmampuannya sendiri (anak
bodoh). Menurut Bourdieu, ideologi warisan ini perlu
dicegah karena memainkan peran individu dalam

Kritik Ideologi Pendidikan | 255


struktur pendidikan yang dianggapnya sebagai sebuah
takdir yang Ia terima dari Tuhan.
Melihat persoalan di atas, institusi pendidikan tidak
dapat mengatasi semua masalah sosial dengan baik, dan
banyak orang yang mempercayai bahwa menugaskan
institusi pendidikan untuk menyelesaikan masalah-
masalah sosial sama dengan melemparkan persoalan ke
tempat pembuangan sampah yang cukup memakan biaya.
Hampir bisa dipastikan tidak ada yang lebih manusiawi
daripada cerita-cerita tentang kesalahan-kesalahan kita dan
bagaimana kita mengatasi kesalahan itu, dan kemudian
terjatuh kembali kepada kesalahan, dan melanjutkan
upaya-upaya kita untuk melakukan koreksi-koreksi. Oleh
karena itu, ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang
dipastikan melainkan suatu perjuangan terus-menerus
untuk mengatasi prasangka buruk, otoritarianisme, atau
bahkan sesuatu yang sudah dianggap lumrah (Postman,
2002).
Tidak lazim lagi bahwa hampir setiap orang mengejar
nilai nominal tertiggi dalam institusi pendidikan, sehingga
kreativitas adalah urusan belakang karena tidak memiliki
nilai nominal yang tertera di ijazah. Hasil dari mengerjakan
soal-soal yang diperoleh dari kemampuan menghapal dan
mengeja kembali apa yang disampaikan oleh guru dan
dosen adalah ukuran kecerdasan. Nilai tertinggi adalah
sebuah jaminan kelulusan dan penghargaan, sehingga para
pelajar termotivasi untuk mengejar nilai-nilai nominal
tertinggi dalam menjawab soal-soal. Takpernah terbayang
lagi bahwa kreativitas atau hasil karya dan cipta adalah

256 | Kritik Ideologi Pendidikan


tujuan utama dari pendidikan. Oleh karena itu, kita dapat
membagi dua jenis penilaian pada peserta didik, yaitu:
1) Penilaian dengan kemampuan peserta didik untuk
mengulangi dan menuliskan apa yang pernah
diinformasikan oleh guru dan dosen melalui soal-soal
atau ujian tes (hal ini sifatnya negatif).
2) Penilaian berdasarkan keterampilan dan kreativitas
yaitu daya cipta, pengembangan, temuan, dan sifat
kritik terhadap apa yang dialaminya (hal ini sifatnya
positif).
Berdasarkan pada uraian di atas, kategori guru yang
sukses mengajar adalah pada poin kedua karena ini
didasarkan pada filsafat humanis, yaitu setiap orang
memiliki karakter masing-masing ada yang rajin dan ada
yang malas. Ada juga yang sudah pintar atau sudah
menguasai pelajaran dan ada yang belum pintar atau
belum menguasai pelajaran. Namun secara programis,
kurikulum telah memandang guru layaknya sebagai robot.
Guru tidak dapat menyalurkan keunikan dan
keterampilannya karena keseragaman metode menjadi
program utama dalam kurikulum. Penguasaan materi
tidak menjadi prioritas tetapi kemampuan mengajar
dengan meniru sistem yang ada adalah keunggulan dan
nilai utama dalam kurikulum. Oleh karena itu, institusi
pendidikan hanya akan menerima peserta didik yang
sudah pintar atau menguasai pelajaran, bahkan sudah
lengkap dengan motivasi belajar yang tinggi. Sangat jarang
ditemukan lembaga pendidikan yang ingin mendidik
orang bodoh, malas, dan lemah motivasi.

Kritik Ideologi Pendidikan | 257


Saya membayangkan jika sebuah lembaga
pendidikan memberikan pelayanan yang betul-betul
demokratis, yaitu para pelajar diberi kesempatan agar
dapat memilih guru atau dosen untuk mengampuh mata
kuliah selama satu semester. Tentu institusi telah
menyediakan guru dan dosen yang linear atau profesional
dalam bidangnya karena apabila selama satu semester
setiap guru ditugaskan mengajar satu mata pelajaran yang
tidak dia sukai, atau pelajaran yang bisa menimbulkan
kesulitan-kesulitan baginya, maka guru itu akan dipaksa
melihat situasi yang juga dialami oleh kebanyakan para
pelajar akan melihat segala sesuatu dari pandangan
seorang guru pemula daripada guru senior.
D. Guru dan Murid dalam Struktur Pendidikan
Kritik Illich terhadap institusi pendidikan adalah
struktur pendidikan sampai sekarang masih membatasi
kompetensi guru yang hanya sebatas wilayah kelas.
Struktur pendidikan menghalangi guru dan mengklaim
keseluruhan kehidupan manusia sebagai wilayahnya. Bila
lembaga pendidikan dihapus, maka rintangan orang dalam
struktur pendidikan hilang dan akan ada pembenaran bagi
invasi pedagogis atas privasi tiap orang seumur hidup
(Zulfatmi, 2013). Secara tidak langsung, institusi
pendidikan didesain secara struktural agar para orangtua
merasa wajib memasukkan anak-anaknya ke dalam
institusi pendidikan, sehingga anak harus melakukan apa
yang diperintahkan oleh orangtunya. Institusi pendidikan
sekarang ini telah salah dipahami oleh orangtua yaitu
dengan adanya anggapan bahwa hanya sekolahlah yang
bertanggung jawab terhadap pendidikan anak, sehingga

258 | Kritik Ideologi Pendidikan


orangtua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya
kepada institusi pendidikan.
Sturktur pendidikan juga cenderung menyita waktu
dan tenaga guru. Ini pada gilirannya akan membuat guru
sebagai pengawas, pengkhotbah, dan ahli terapi. Dalam
setiap peran ini, guru mendasarkan otoritasnya atas
anggapan yang berbeda. Oleh karena itu, guru berperan
sebagai penyalur (distributor) menjajakan produk yang
sudah jadi dan dikemas rapi pada para murid (konsumen).
Salah satu komponen penting dalam pendidikan adalah
guru dan murid. Antara guru dan murid sama-sama
merupakan subjek pendidikan karena keduanya sama-
sama penting. Guru tidak boleh memperlakukan muridnya
sebagai objek pembelajaran, dan mereka tidak boleh
merasa berkuasa dalam kelas dan berbuat sesuka hati pada
muridnya. Selanjutnya, murid juga tidak boleh dianggap
sebagai seorang dewasa dalam pembelajaran karena
mereka memiliki sifat kodrat kekanak-kanakan yang
berbeda dengan sifat orang dewasa. Oleh karena itu, guru
harus beranjak dari sifat kekanak-kanakan ini untuk
melaksanakan proses pembelajaran. Lebih jauh lagi, Illich
(1982) mengatakan bahwa ada 3 macam tipe guru, yaitu:
1) Guru sebagai pengawas, yaitu ia bertindak sebagai
pemimpin dan menuntun para murid melewati lika-liku
yang melelahkan, menjaga agar aturan benar-benar
ditaati tanpa keinginan untuk menghasilkan pendidikan
yang mendalam, melatih murid-murid untuk mengikuti
kegiatan rutin tertentu.
2) Guru sebagai moralis, yaitu ia mengganti peran
orangtua dan negara dalam mengajarkan tentang apa

Kritik Ideologi Pendidikan | 259


yang benar atau salah dari segi moral, tidak saja di
sekolah, tetapi juga di masyarakat. Ia juga berperan
sebagai orangtua bagi setiap muridnya karena ia
menjamin bahwa semua muridnya merasa sebagai
warga negara yang sama.
3) Guru sebagai ahli terapi, yaitu ia merasa punya
wewenang untuk menyelidiki kehidupan pribadi setiap
muridnya untuk membantunya berkembang sebagai
pribadi yang mandiri. Fungsi ini dijalankan oleh guru
sebagai pengawas dan pengkhotbah untuk meyakinkan
muridnya menerima apa yang baik dan benar.
Guru yang memiliki ketiga tipe di atas akan
membebaskan muridnya dari belenggu struktur-struktur
yang menetapkan peserta didik sebagai bagian objek
pembelajaran atau membatasi haknya untuk bebas dalam
institusi pendidikan. Namun hal di atas, tidak sama
dengan guru yang mencampuradukkan dalam dirinya
fungsi sebagai hakim, ideolog, dan dokter. Akan tetapi
mereka mendidik atas tujuan mencerdaskan manusia,
sehingga mereka tidak hanya sekedar menjalankan
fungsinya dalam struktur pendidikan. Mereka juga lebih
memilih menaklukkan simbol-simbol pendidikan daripada
menyembah simbol-simbol pendidikan. Selain itu, dalam
institusi pendidikan terdapat guru yang telah menjadi
penindas baru dan ada pula guru yang telah menjadi guru
yang kritis. Lebih jauh lagi, ada dua karakter dari seorang
guru, yaitu:
1) Guru/dosen struktural adalah pelayan pemerintah
sebagai fungsi pengabdian dirinya. Ciri-cirinya adalah

260 | Kritik Ideologi Pendidikan


guru/dosen yang cenderung teksbook, gila pangkat dan
jabatan.
2) Guru/dosen kritis adalah selalu curiga dengan segala
bentuk kebijakan pemerintah dan tidak mudah
menerima informasi baru. Ciri-cirinya adalah disukai
oleh banyak murid dan mahasiswa, memiliki
manajemen waktu yang baik, metode mengajar yang
baik, tidak membosankan, dan rajin mengembangkan
keilmuannya.
Berdasarkan pada poin pertama di atas, institusi
pendidikan melahirkan pendidikan gaya bank, yaitu
dimana para guru menganggap dirinya sebagai orang yang
berpengetahuan kepada orang yang mereka anggap tidak
mengetahui apa-apa. Pendidikan gaya bank ini merupakan
bentuk pengekangan terhadap kebebasan daya kreativitas
dan nalar manusia, sehingga kelak akan melahirkan sikap
imperior di kalangan para peserta didik (generasi muda)
(Yunus, 2004). Sedangkan pada poin kedua, komunikasi
dialogis tercermin dalam proses pembelajaran, guru tidak
menjadi satu-satunya sumber yang seakan-akan
mengetahui segalanya, dan guru tidak menampilkan diri
di hadapan murid-muridnya sebagai orang yang
berpengetahuan. Berbeda dengan pendidikan gaya bank,
yaitu guru mengukuhkan keberadaannya sendiri karena
menganggap murid-muridnya bodoh, sehingga para murid
bagaikan budak terasingkan (Freire, 2013).
Pendidikan gaya bank biasanya memiliki hubungan
kontradiksi antara guru-murid dalam proses pembelajaran.
Hubungan kontradiksi murid dan guru tersebut adalah
sebagai berikut (Freire, 2007; Sutri, 2011; Yunus, 2004):

Kritik Ideologi Pendidikan | 261


1) Guru mengajar, murid diajar;
2) Guru mengetahui segalanya, murid tidak tahu apa-apa;
3) Guru berpikir, murid dipikirkan;
4) Guru bicara, murid patuh mendengarkan;
5) Guru mengatur, murid diatur;
6) Guru memilih dan melaksanakan pilihannya, murid
menuruti dan menyetujui;
7) Guru bertindak atau berbuat, murid membayangkan
bagaimana bertindak atau berbuat sesuai dengan
tindakan gurunya;
8) Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid
menyesuaikan diri dengan pelajaran tersebut;
9) Guru mencampuradukkan wewenang ilmu
pengetahuan dan kewenangan jabatannya yang
dilakukan untuk menghalangi kebebasan murid;
10) Guru adalah subjek dalam proses belajar, murid adalah
objek belaka.
Berdasarkan pada uraian di atas, pendidikan gaya
bank akhirnya menjadi sebuah kegiatan menabung, di
mana para murid adalah celengan dan guru sebagai
penabung. Pembelajaran bukanlah lagi sebagai proses
komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-
pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal,
dan diulang dengan patuh oleh muridnya. Guru sebagai
pencerita mengarahkan murid-muridnya untuk menghafal
secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Lebih
buruk lagi, murid diubahnya menjadi bejanah-bejanah,
wadah-wadah kosong untuk diisi oleh guru. Semakin
penuh guru mengisi wadah itu, semakin baik pula ia
sebagai seorang guru. Semakin patuh wadah-wadah itu

262 | Kritik Ideologi Pendidikan


untuk diisi semakin baik pula mereka sebagai murid
(Freire, 2013). Oleh karena itu, sturktur pendidikan
membuat dilema peserta didik, yaitu:
1) Mereka sekolah karena pekerjaan dan gengsi, sebagai
konsekuensinya adalah mereka terpenjarakan oleh
institusi pendidikan.
2) Tetapi, jika mereka masuk dalam institusi pendidikan
karena kebutuhan ilmu pengetahuan dan kreativitas, itu
akan membuat mereka lebih mudah untuk melepaskan
diri dari institusi pendidikan, dan secara otomatis akan
lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan.
Ruang gerak yang disediakan bagi peserta didik di
atas hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan
menyimpan. Pendidikan hanya dipahami sebagai sarana
pewarisan ilmu, dan tidak ada kepedulian pada proses
pendewasaan pemikiran peserta didik. Peserta didik juga
tidak mampu mengkritisi realitas sosial yang ada di
lingkungan sekitarnya. Pendekatan pendidikan gaya bank
tidak menyarankan kepada peserta didik agar mereka
melihat realitas secara kritis dan tidak mempersoalkan
pertanyaan-pertanyaan penting, misalnya “seperti apakah
sang penggembala memberikan rumput hijau kepada
kambingnya, tetapi sebaliknya menekankan pada
pentingnya untuk mengetahui bahwa sang penggembala
telah memberikan rumput hijau kepada kambingnya”
(Freire, 2013).
Sebaliknya, pendidikan gaya bank telah memiliki
tujuan-tujuan yang telah ditentukan, sehingga merampas
hak bagi peserta didik untuk memiliki tujuan sendiri,
misalnya “pelajaran-pelajaran yang verbalistik, bahan

Kritik Ideologi Pendidikan | 263


bacaan yang telah ditentukan, metode-metode untuk
menilai ilmu pegetahuan, jarak antara guru dan murid,
ukuran-ukuran bagi kenaikan kelas” (Freire, 2013). Cara
pandang seperti ini cenderung mekanis, yaitu memisahkan
peserta didik dari isi dan proses belajar dalam kelas.
Pendekatan ini menurut Freire telah mengasumsikan
bahwa ilmu pengetahuan adalah semacam barang atau
uang yang bisa ditransfer dari satu orang kepada orang
lain, atau ilmu pengetahuan ditransfer dari pengajar
kepada pengajar. Hal yang demikian telah mengasumsikan
secara tidak langsung bahwa guru adalah layaknya dewa
yang tahu segalanya dan murid dipandang sebagai sesuatu
yang berdaya dan tidak tahu apa-apa.
Oleh karena itu, dalam pendidikan gaya bank, guru
merupakan subjek yang memiliki pengetahuan yang
diisikan kepada murid. Murid adalah sebagai wadah atau
suatu tempat deposit belaka dan objek belaka. Sangat jelas
dalam pendidikan gaya bank bahwa tidak terjadi
komunikasi yang sebenarnya antara guru dan murid.
Praktek pendidikan semacam itu mencerminkan
penindasan yang terjadi di masyarakat sekaligus
memperkuat struktur-struktur yang menindas, sehingga
Freire ingin menghapus pendidikan gaya bank tersebut.
Sebagai alternatif, Ia menciptakan sistem baru yang
dinamakan “pendidikan dialogis” yang memungkinkan
konsientisasi. Dalam konsientisasi, guru dan murid
bersama-sama menjadi subjek dan disatukan oleh objek
yang sama. Tidak ada lagi yang memikirkan dan yang
tinggal menelan, tetapi mereka berpikir bersama (Freire,
2013).

264 | Kritik Ideologi Pendidikan


E. Struktur Pendidikan sebagai Penjara
Secara esensial, struktur pendidikan dibangun untuk
mendukung perkembangan dan kemajuan suatu negara,
namun seiring perkembangan zaman, esensi pendidikan
telah digeser oleh modernisme dan kapitalisme. Sebagai
hasil, orang-orang terjebak dalam struktur pendidikan.
Ada dua alasan mengapa orang-orang tersebut terjebak
dalam struktur pendidikan, yaitu karena [1] mereka ingin
memperoleh ijazah sebagai syarat mendapatkan pekerjaan.
Orang-orang seperti ini sangat berbahaya bagi struktur
sosial karena akan merusak fungsi dari struktur yang
mapan dan peradaban manusia, [2] mereka mengejar ilmu
pengetahuan sebagai dasar untuk meningkatkan
keterampilan dan kreativitas. Ini adalah tujuan yang suci
dari pendidikan dalam mengembangkan sumber daya
manusia. Alasan seseorang masuk dalam struktur
pendidikan adalah sebuh pilihan yang dipaksakan karena
mereka tidak punya pilihan lain selain yang dipolakan oleh
pemerintah. Oleh karena itu, Postman (2002) melihat
struktur pendidikan sebagai sebuah narasi hidup yang
bermakna karena tanpa makna, belajar itu tidak akan
memilih tujuan, tanpa sebuah tujuan, sekolah-sekolah
adalah rumah-rumah tahanan, bukan sebuah rumah yang
memberikan perhatian.
Di banyak negara muncullah apa yang disebut
dengan pendidikan tinggi “siklus pendek” yaitu
kuliah/kursus singkat yang menawarkan pilihan-pilahan
yang lebih fleksibel dan berjarak pendek. Namun, hanya
sedikit orang yang mengikuti kursus tersebut. Penelitian
menunjukkan bahwa orang-orang yang memilih kursus

Kritik Ideologi Pendidikan | 265


pendidikan siklus pendek memang memiliki kesempatan
untuk mendapatkan pekerjaan dengan bayaran yang baik
ternyata unggul daripada orang-orang yang menempuh
kuliah/kursus yang lebih lama dan tradisional “siklus
panjang”. Namun pilihan peserta didik untuk memilih
pendidikan jangka pendek menjadi dilema layaknya si
tahanan. Para peserta didik tetap akan memilih pendidikan
jangka panjang agar tidak lepas dari struktur pendidikan,
meski itu akan memenjarakannya dalam waktu yang
cukup lama. Pendidikan jangka pendek dijadikan sebagai
tempat pengembangan skill untuk dapat menaklukan
struktur pendidikan.
Menurut Giddens struktur tidak boleh disamakan
dengan kekangan namun meskipun demikian ia bersifat
mengekang dan membelokkan manusia. Struktur adalah
sebagai kehadiran ruang-waktu, hanya dalam
perwujudannya dalam praktek-praktek tersebut dan
sebagai jejak-jejak ingatan yang berorientasi pada perilaku-
perilaku para agen manusia yang pintar (Giddens, 2007).
Lebih jauh lagi, agar teori struktur ini mudah dipahami,
Giddens memetakannya ke dalam beberapa bagian,
sebagai berikut:

266 | Kritik Ideologi Pendidikan


Struktur Sistem Strukturasi
Aturan dan Relasi-relasi yang Kondisi-kondisi
sumber daya, diproduksi di yang mengatur
atau seperangkat antara para aktor keterulangan
relasi atau kolektivitas, atau
transformasi, terorganisasi transformasi
terorganisasi sebagai praktek- struktur-
sebagai praktek sosial struktur, dan
kelengkapan- reguler. karenanya
kelengkapan dari reproduksi
sistem-sistem sistem-sistem
sosial. sosial itu sendiri.
Sumber: (Giddens, 2007, p. 40).
Giddens mengatakan bahwa mereka yang
menyenangi produk-produk struktur dalam masyarakat
cenderung hanya tertarik pada generalisasi-generalisasi.
Generalisasi-generalisasi ini lemah karena tidak membantu
menjelaskan makna eksplanatoris dari kebanyakan apa
yang dilakukan oleh para ahli ilmu sosial (Giddens, 2007).
Oleh karena itu, menggeneralisasi manusia adalah sebuah
tindakan yang tidak humanis yang berujung pada sebuah
penjara struktural. Sedangkan menurut Syariati ada empat
macam penjara yang mengungkung manusia kearah
kemajuan, yaitu materi, alam, sejarah dan masyarakat
(Syariati, 2001).
Struktur pendidikan di Indonesia menggunakan
sistem pendidikan yang baru yang mencoba
menggabungkan antara pendidikan tradisi Yunani dan
budaya Indonesia. Budaya Indonesia tidak dinetralisir oleh
efek negatif dari budaya Barat karena masyarakat
Indonesia telah menerima modernisasi. Orang-orang
Indonesia telah jauh meninggalkan budaya mereka justru

Kritik Ideologi Pendidikan | 267


mereka telah berhasil melestarikan budaya Barat melalui
doktrin-doktrin dan struktur pendidikan. Upaya dari
indigenousasi budaya-budaya Indonesia melalui ilmu
sosial tidak berhasil karena ilmu sosial blunder dalam
penyusunan kurikulum.
Salah satu dari sikap objektif pendidikan adalah
kebebasan berpikir, mengeluarkan aspirasi atau gagasan,
dan kebebasan berkarya. Meskipun demikian, itu tetap
berbeda dengan implementasinya karena struktur
pendidikan di Indonesia juga sangat dipengaruhi oleh
sebuah keyakinan yang mistik atau agama yang sifatnya
tidak rasional. Ini bisa dilihat dalam kurikulum yang
dibuat oleh pemerintah.
Saya melihat bahwa tujuan dari sistem pendidikan
adalah mencari anak-anak untuk dijadikan objek. Mereka
digunakan sebagai tenaga kerja dalam struktur pendidikan
untuk melakukan fungsinya masing-masing. Anak-anak
adalah agen bernilai yang bisa memberi penghasilan pada
semua subjek atau para aktor pendidikan. Dalam filsafat
pendidikan, peserta didik menyadari diri mereka sebagai
bahan mentah yang akan diajarkan sebuah teori dan
praktek untuk menjadi generasi pelanjut. Secara natural,
mereka akan menjadi penindas-penindas yang baru dalam
institusi pendidikan. Oleh karena itu, manusia sendiri yang
tetap menjadi masalah yang pelik dan tak terpecahkan
dalam intitusi pendidikan. Meskipun ilmu pengetahuan
telah membantu manusia dalam mengatasi berbagai
masalah yang menghalangi kemajuan sosialnya. Namun
itu gagal karena struktur pendidikan lebih bersifat seperti
penjara struktural.

268 | Kritik Ideologi Pendidikan


Bagi Syariati, proses kemajuan manusia tergantung
pada kemampuannya untuk melampaui empat penjara
atau empat kekuatan deterministik di atas. Sebelum Ia
menjadi seorang manusia dalam arti sebenarnya, Ia
terpenjara dalam empat penjara tersebut. Hanya dengan
membebaskan dirinya dari cengkraman kekuatan-
kekuatan, ia dapat menjadi manusia dalam arti kata yang
sebenarnya. “Saya memberontak, karena itu saya ada” ini
ungkapan Syariati terhadap struktur-struktur yang telah
memenjarakan masyarakat. Oleh karena itu, hanya dengan
memberontak Ia menjadi manusia. Di muka bumi manusia
harus menyendiri, mengasingkan dirinya, dan menjadi
sadar bahwa ia berbeda dengan binatang. Manusia
dikaruniai kebebasan untuk memilih (Syariati, 2001).
Selama manusia merasa bahwa struktur pendidikan
sudah serba cukup, maka ia tidak akan lebih dari seekor
binatang buas yang berkelana dalam mencari makanan
hariannya di institusi pendidikan, tetapi apabila ia
menganggap struktur pendidikan tidak mampu memenuhi
kerinduan-kerinduan luhurnya dan tujuan-tujuan yang
lebih tinggi, maka ia mulai berjalan melampaui tahap
rendah sebagai mahluk yang terkekang. Oleh karena itu,
menurut Syariati manusia sejati memiliki tiga dimensi,
yaitu (Syariati, 2001):
1) Dimensi kesadaran, yaitu manusia adalah mahluk yang
memiliki kesadaran di dalam struktur pendidikan
karena mereka memiliki pengalaman tentang kualitas
dan esensi dirinya, dunia dan hubungan antara dirinya
dengan struktur pendidikan.

Kritik Ideologi Pendidikan | 269


2) Dimensi kebebasan, yaitu kebebasan individu dalam
institusi pendidikan dalam memilih apa yang dapat
menolongnya dalam mencapai taraf tertinggi dari
proses menjadi manusia.
3) Dimensi daya cipta ada dua yaitu [a] seni industri
bertujuan untuk menundukkan kekuatan-kekuatan
struktural, sehingga ia menciptakan seni-seni kreatif
untuk melestarikan karya sedemikian rupa, sehingga ia
dapat memperoleh berkat dengan apa yang diinginkan
manusia. [b] Seni kreatif diciptakan oleh intelektual
manusia yang kreatif untuk mempercantik alam atau
untuk menyempurnakan apa yang ia anggap masih
kurang dalam pendidikan atau untuk melengkapi apa
yang ia anggap masih pincang dalam pendidikan.
Berdasarkan pada poin kedua di atas, apabila
manusia dirampok kemauannya atau kebebasan
memilihnya, ia akan kehilangan kemanusiaannya. Namun
yang sangat mengerikan dalam struktur pendidikan adalah
apabila naturalisme maupun matrealisme diterima sebagai
norma dalam pendefinisian manusia. Oleh karena itu,
manusia pasti akan terbelunggu dalam kerangka-kerangka
struktural pendidikan dan kehilangan kemampuan
bebasnya. Padahal kemauan bebas inilah yang menolong
manusia menciptakan esensi rill dalam institusi pendidikan
(Syariati, 2001).
Di sisi lain, kurikulum pendidikan adalah ibarat
sebuah penjara yang memiliki jeruji besi yang tidak bisa
dilewati dan di dalamnya terdapat sebuah aturan yang
harus diikuti. Bahkan negara pun adalah sebuah penjara
yang sangat besar yang dapat membatasi eksistensi kita

270 | Kritik Ideologi Pendidikan


sebagai mahluk dunia, sehingga negara pun telah
membatasi hubungan sesama manusia. Orang-orang
haruslah menjadi warga negara yang baik seperti
membayar pajak dan berkontribusi pada pembagunan
negara. Ubah kesadaran palsu bahwa masyarakat sipil
seperti petani, nelayan, pedagang bekerja untuk struktural,
sehingga orang-orang memperoleh keuntungan dari
penjara tersebut adalah orang-orang yang memiliki posisi
dalam struktur.
Kelompok yang diuntungkan dalam suatu struktur
pendidikan merasa terancam dengan adanya kesadaran
kritis, sedangkan kelompok yang ditindas dalam suatu
struktur merasa terbebaskan dengan adanya kesadaran
kritis. Di sisi lain, terdapat kelompok tertindas yang
merasa nyaman dengan kondisi ketertindasannya. Hal
inilah yang membuat kelompok ini juga merasa takut
dengan adanya kesadaran kritis. Misalnya di Indonesia,
para pegawai negeri yang hidup dari upah hasil pungutan
pajak dan hutang luar negeri. Mereka adalah warisan
strategi Belanda yaitu mempekerjakan orang-orang
Indonesia pada zaman penjajahan yang kemudian tradisi
ini dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia yang mengambil
alih kekuasaan Belanda. Penjajahan di Indonesia tidak
berakhir pada zaman kolonial Belanda saja, tetapi tradisi
ini telah diwariskan ke dalam sistem pendidikan. Anehnya
masyarakat merasa nyaman dengan sistem pendidikan
yang menindas ini. Oleh karena itu, tradisi-tradisi yang
masih dilestarikan dalam institusi pendidikan di Indonesia
adalah sebagai berikut:
1) Sekolah merefleksikan kepentingan para penjajah

Kritik Ideologi Pendidikan | 271


2) Aspirasi dan kebutuhan mereka yang dijajah biasanya
diabaikan
3) Kelompok penjajah biasanya mengungkapkan nilai-nilai
dan budaya masyarakat terjajah dan menegaskan
superioritas mereka
4) Dalam sistem pendidikan kolonial, seseorang
diasingkan dari budaya aslinya
5) Orang-orang yang dijajah diarahkan, mereka tidak bisa
mengarahkan diri mereka sendiri. Cirinya adalah
mereka meneriakkan kebebasan, tetapi ketika diberi
kebebasan tidak tahu mau melakukan apa karena sudah
terbiasa diarahkan.
Kondisi di atas dialami oleh para pegawai yang
tergabung dalam struktur pendidikan. Mereka secara
terang-terangan takut akan adanya kesadaran kritis karena
kondisi kehidupan mereka tergantung pada uang negara.
Jika mereka bebas, mereka tidak tahu apa yang harus
mereka lakukan karena mereka sudah terbiasa
dikendalikan oleh struktur. Ini layaknya seperti sebuah
robot yang tidak dapat berbuat apa-apa tanpa kontrol dari
majikannya. Oleh karena itu, sebanyak jumlah pegawai
negeri, maka sebanyak itu pula jumlah orang yang takut
akan kesadaran kritis. Hilangnya kesadaran kritis dalam
suatu negara karena adanya budaya pegawai negeri.
Mereka lebih cenderung apatis karena seolah tidak ada
daya untuk mengkritik pemerintah karena jaminan
kehidupan/karir dipegang oleh pemerintah. Mereka telah
merasa puas dan sejahtera karena telah digaji dengan uang
negara.

272 | Kritik Ideologi Pendidikan


Kesadaran kritis ternyata tidak selamanya menjadi
hal yang menyenangkan bagi semua orang, justru terdapat
beberapa kelompok yang takut akan kesadaran tersebut
karena mereka menganggap itu akan membawa manusia
kepada fanatisme atau keruntuhan total dunia mereka. Hal
ini melahirkan sebuah anggapan bahwa lebih baik bagi
para korban ketidakadilan untuk tidak mengenal diri
mereka sendiri sebagaimana adanya. Sebaliknya, dengan
memungkinkan seseorang untuk memasuki proses sejarah
sebagai subjek-subjek yang bertanggungjawab, penyadaran
ini akan mengantarkan mereka masuk ke dalam pencarian
afirmasi diri sendiri dan dengan demikian menghindarkan
fanatisme (Freire, 2013), sehingga ketakutan ini ada karena
disebabkan oleh adanya kesadaran fanatik dalam diri
kaum tertindas, yaitu:
1) Mereka tau ada masalah dan struktur yang menindas,
tetapi tidak mencari solusi;
2) Mereka menekankan masifikasi dan tujuannya adalah
perubahan, tetapi bukan transformasi yang mereka
lakukan adalah mencari penindas lain yang mereka
kagumi untuk menggatikan penindas lama;
3) Tujuan mereka adalah perubahan, dengan cara
menghancurkan penindas lama lalu menggantinya
dengan penindas baru. Mereka tidak fokus untuk
mengganti sistem, tetapi mereka hanya mengganti
orangnya, sehingga hasil dari perubahan tetap dengan
struktur yang sama;
4) Mereka menggunakan masifikasi untuk menjadikan
kaum tertindas sebagai alat yang dimanispulasi oleh
sekelompok kecil pemimpin karismatik, termasuk para

Kritik Ideologi Pendidikan | 273


pemimpin populis yang lazimnya tampak revolusioner.
Pada kenyataannya mereka berusaha mengendalikan
dan memanipulasi revolusi demi tujuan-tujuan mereka
sendiri.
Persoalan di atas sebelumnya telah diramalkan oleh
Freire bahwa kaum tertindas akan mengalami kesulitan
dalam membebaskan diri dari belenggu agar tidak menjadi
penindas baru. Hal ini karena Ia melihat para kaum
tertindas terlempar menjadi sub-oppreesed dengan
mengidentifikasi diri sebagai penindas baru. Faktanya,
kaum penidas dan tertindas telah menjadi suatu faktisitas
atau fakta sosial yang akan selalu ada. Dalam persoalan ini,
manusia tetap memiliki pilihan apakah ia memilih
humanisasi atau dehumanisasi yang sama-sama ada dalam
dirinya. Meskipun banyak yang menganggap humanislah
yang paling tepat disandang oleh manusia, tetapi pada
kenyataannya dehumanisasi dipilih secara diam-diam.
Oleh karena itu, kaum tertindas harus memahami
kenyataan ini agar eksistensi mereka kembali pada
fitrahnya semula, yaitu manusia sempurna (subjek) yang
hidup secara manusiawi (merdeka dan tidak tertindas).
Freire menegaskan bahwa seseorang harus benar-
benar menyadari tetang eksistensi dirinya dalam struktur
pendidikan agar pembebasan dan pemanusiaan dapat
dilakukan secara serius dan sungguh-sungguh. Karena,
apabila manusia tidak mampu mengenali apa yang ingin ia
lakukan secara sungguh-sungguh, maka ia tidak akan
pernah menyadari apa yang sesungguhnya akan ia capai
dalam pendidikan formal. Lebih jauh lagi, Freire
mengungkapkan bahwa, sangat rumit memberi

274 | Kritik Ideologi Pendidikan


pemahaman pada setiap peserta didik bahwa mereka
sebenarnya mampu memahami eksistensi dirinya dalam
struktur pendidikan, sebelum mereka sendiri benar-benar
menyadari bahwa bakat dan keterampilan yang mereka
miliki adalah fitrah kemanusiaan bukan dari gurunya
(Freire, 2007).
Peserta didik harus menyadari dunianya dan tidak
boleh berhenti. Mereka harus senantiasa berproses, meluas,
dan berkembang dari satu tahap ke tahap berikutnya, serta
dari tingkat kesadaran magis sampai pada tingkat
kesadaran kritis. Jika dalam realitasnya mereka telah
sampai pada tahap kesadaran kritis, maka mereka sudah
sampai pada tahap proses pemaknaan (interpretasi atau
analisis) dan bukan lagi proses menghafal materi pelajaran.
Pada hakikatnya, peserta didik yang sudah mengerti tidak
lagi menghafal karena mereka menyatakan diri atau
sesuatu berdasarkan suatu sistem kesadaran yang
dimilikinya, sedangkan peserta didik yang menghafal
materi pelajaran hanya menyatakan diri atau sesuatu
secara mekanis tanpa menyadari apa yang dikatakannya,
dari mana ia menerima hafalan tersebut dan untuk apa ia
menyatakan kembali hafalan-hafalan itu (Yunus, 2004).
Itulah sebabnya mengapa Freire menempatkan
kesadaran kritis sebagai kesadaran yang paling tinggi dari
tingkatan kesadaran manusia, sebab dengan kesadaran
kritislah peserta didik mampu menyadari hakikat dirinya
dan realitas sosial dalam struktur pendidikan. Secara
esensial, manusia memiliki akal dan kesadaran yang
berfungsi untuk mengubah keadaan dirinya, sedangkan
eksistensi dirinya diyakini selalu berkembang dan

Kritik Ideologi Pendidikan | 275


dipengaruhi oleh beberapa faktor sosial yang
melingkupinya. Kesadaran peserta didik akan realitas
sosial dan hakikat keberadaannya dalam struktur
pendidikan disebut Freire dengan kesadaran kritis, yaitu
kesadaran yang tidak hanya berhenti pada arena
konseptual, tetapi juga sampai pada aktualisasi diri
(tindakan sosial).
Kesadaran kritis ini akan tumbuh dalam diri peserta
didik jika dikembangkan dalam proses pendidikan yang
humanis atau peserta didik berpikir secara kritis.
Pembelajaran humanis dan kritis tidak menempatkan
peserta didik sebagai subjek yang pasif, akan tetapi sebagai
subjek yang aktif. Pendidikan ini disebut oleh Freire
sebagai “Pendidikan Hadap Masalah”. Proses pendidikan
ini dijadikan media atau proses untuk menumbuhkan atau
menyadarkan manusia dari ketertindasan dan segala
bentuk ketidakadilan. Dengan kata lain, pendidikan ini
dijadikan sebagai proses untuk menjadikan manusia
menjadi sadar akan keberadaan dirinya dan lingkungan
sekelilingnya (Yunus, 2004).
F. Matinya Subjek dalam Struktur Pendidikan
Pada dasarnya, kurikulum pendidikan Indonesia
mewarisi tradisi pengajaran sembah yang berarti tunduk
pada yang lebih tua. Tradisi ini mulanya untuk
memberikan petunjuk tegas dan membedakan antara
rakyat bangsawan dan rakyat jelata yang merambah pada
iklim kelas dalam konteksasi pembelajaran di sekolah-
sekolah. Kemudian tradisi ini lebih jauh sebagai polarisasi
struktur pendidikan gaya kolonial. Persoalannya adalah
orientasi pembelajaran dan perbaikan iklim yang

276 | Kritik Ideologi Pendidikan


sedemikian berbeda, seperti; karakteristik, perilaku, sistem
nilai, dan sebagainya. Namun yang jelas dari kesemuanya
itu merindukan sesuatu hal yang sama, yakni perbaikan
masa depan bangsa melalui kurikulum pendidikan yang
baru (Wisarja & Sudarsana, 2017).
Mengonsumsi kurikulum baru bukan karena kita
butuh, kita hanya dipaksa untuk memenuhi kebutuhan
para desainer kurikulum, sehingga bagi Marcuse, kita
semua hidup dalam satu dimensi pendidikan. Semua segi
kehidupan hanya diarahkan kepada satu tujuan, yaitu
menjalankan dan melanggengkan struktur pendidikan
yang telah ada atau yang dianggap berjalan dengan dasar
rasionalitas. Semua status kehidupan di luar mainstream
(kemanusian, kebebasan, otonomi, hubungan sosial) hanya
menjadi alat untuk mempertahankan status quo. Misalnya,
kita mengkritik kemiskinan dalam seminar yang
diselenggarakan di hotel mewah atau para kritikus
pendidikan yang sering mengkritik struktur pendidikan
terjebak juga dalam strktur pendidikan yang kapitalis.
Pendidikan di Indonesia pada khususnya mengalami
sebuah degradasi acuan atau pegangan pada konteks
pengajaran dan pembelajaran, dimana tuntutan
menjadikan murid sebagai subjek hampir-hampir tidak
diberikan ruang gerak oleh kurikulum yang dijalankan.
Persoalanya adalah pada dasarnya kurikulum yang sedang
dijalankan dan bahkan sampai sekarang ini tak lain hasil
adopsi dari dua paradigma konservatif dan liberal.
Ironisnya Indonesia tidak cukup mampu mengorganisir
kedua paradigma tersebut sehingga ketidakjelasan begitu
nampak. Berkaitan dengan permasalahan pendidikan di

Kritik Ideologi Pendidikan | 277


Indonesia sudah sepatutnya pendidikan bukannya
dijadikan objek dari ilmu dan pengetahuan itu sendiri
(Wisarja & Sudarsana, 2017).

Hasil interpretasi para elite pendidikan Indonesia


mengatakan bahwa komponen kurikulum pendidikan
nasional baik isi kurikulum maupun praktisinya masih
menimbulkan dualisme. Artinya dalam rumusan pasal-
pasal dan ayat-ayat dalam isi dan praktisi kurikulum
pendidikan nasional terkandung ciri-ciri ideologi
pendidikan konservatif dan liberal. Dengan kata lain,
kurikulum sebagaimana uraikan dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
memiliki ciri-ciri ideologi konservatif dan liberal (Soeharto,
2012). Berdasarkan Undang-Undang tersebut, ideologi
konservatif dan liberal memiliki 11 aspek yang mendasari,
yaitu:
1) Aspek penetapan standar pendidikan nasional oleh
pemerintah bercirikan konservatif;
2) Aspek pengembangan kurikulum mangacu SNP
bercirikan liberal dan konservatif;
3) Aspek diversitas kurikulum sesuai jenjang pendidikan
bercirikan liberal;
4) Aspek penyusunan kurikulum dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia bercirikan konservatif;
5) Aspek muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan
menengah bercirikan konservatif;
6) Aspek muatan wajib kurikulum pendidikan tinggi
bercirikan konservatif;

278 | Kritik Ideologi Pendidikan


7) Aspek penetapan kerangka dasar dan struktur
kurikulum pendidikan dasar dan menengah oleh
pemerintah bercirikan konservatif:
8) Aspek diversitas pengembangan kurikulum pendidikan
dasar dan menengah di bawah koordinasi dan supervisi
negara bercirikan liberal dan konservatif;
9) Aspek pengembangan pendidikan tinggi mengacu
standar nasional pendidikan, bercirikan liberal dan
konservatif;
10) Aspek pengembangan kerangka dasar dan strutur
kurikulum pendidikan tinggi mengacu standar nasional
pendidikan bercirikan liberal dan konservatif;
11) Aspek evaluasi hasil belajar dilakukan oleh pendidik
bercirikan liberal (Soeharto, 2010).
Berdasarkan uraian di atas, aspek penetapan standar
nasional pendidikan oleh pemerintah pada komponen
kurikulum pendidikan ditafsir oleh para elit pendidikan di
Indonesia sebagai pemberian rambu-rambu atas perbedaan
kurikulum di tingkat lokal dan setiap satuan jenjang
pendidikan. Oleh karena itu, sistem pendidikan nasional
mengandung pemberian kebebasan (liberal), tetapi juga
dibarengi dengan keterikatan (konvensional). Pemberian
kebebasan dalam mengembangkan kurikulum harus sesuai
kebutuhan dan kearifan lokal, serta satuan jenjang
pendidikan membawa konsekuensi pada perbedaan
kurikulum (liberal), sedangkan acuan standar nasional
pendidikan membawa konsekuensi keseragaman
kurikulum (konservatif).
Selain itu, kuatnya pengaruh ideologi konservatif
dapat dilihat pada aspek penetapan kerangka dasar

Kritik Ideologi Pendidikan | 279


struktur kurikulum pendidikan pada tiap-tiap sekolah
yang menunjukkan masuknya kekuasaan pemerintah
pusat ke daerah untuk menentukan sistem pendidikan.
Lebih jauh lagi, pengaruh ideologi konservatif dapat
ditunjukkan melalui dominasi pemerintah dalam praktek
pendidikan di setiap sekolah, seperti yang pernah terjadi
pada masa rezim orde baru yang otoritarian. Masuknya
kekuasaan pemerintah ke dalam kurikulum pendidikan
nasional juga nampak pada aspek pengawasan
penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu, kita bisa
memaknai bahwa sistem pendidikan Indonesia tidak bisa
memberikan kebebasan kepada setiap lembaga pendidikan
dalam menyusun kurikulum pendidikan, justru setiap
lembaga pendidikan harus tunduk pada koordinasi dan
supervisi negara (Soeharto, 2012).
Di sisi lain, terdapat perbedaan pengembangan
kurikulum pendidikan dasar dan menengah, sehingga ini
menunjukkan adanya kebebasan (liberal) untuk
mengembangkan apa saja dan bagaimana saja
pembelajaran yang guru inginkan. Meskipun demikian
apabila guru berada di bawah koordinasi dan supervisi
negara, maka yang nampak adalah dominasi kekuasaan
pemerintah terhadap lembaga pendidikan (konservatif).
Selain itu, pada tingkat pendidikan tinggi, kuatnya
dominasi pemerintah dalam pendidikan juga tampak.
Namun di sisi lain, juga diberi kebebasan. Misalnya,
pendidikan tinggi memiliki kebebasan untuk
mengembangkan diri sesuai dengan ciri masing-masing,
tetapi di sisi lain, apa yang akan mereka kembangkan
harus tetap mengacu pada standar nasional pendidikan

280 | Kritik Ideologi Pendidikan


dan aspek pengembangan kerangka dasar dan struktur
kurikulum pendidikan tinggi juga harus mengacu standar
nasional pendidikan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa meskipun pendidikan tinggi diberi kebebasan
untuk mengembangkan dirinya dan struktur
kurikulumnya, mereka tidak bisa meninggalkan peranan
pemerintah sebagai produk standar nasional pendidikan
yang harus diacu (Soeharto, 2012).
Kurikulum pendidikan nasional tidak memberikan
kebebasan penuh pada daerah, sekolah, dan guru dalam
hal aspek pembangunan struktur pendidikan dan evaluasi
hasil belajar. Namun dalam kebijakan baru, aspek evaluasi
hasil belajar dilakukan oleh para guru tidak sepenuhnya.
Meskipun demikian, pemerintah sudah mengurangi
campur tangan dalam evaluasi hasil belajar peserta didik,
serta sudah menandakan adanya pemberian kebebasan.
Hal ini sama dengan yang pernah diungkapkan oleh
Goodlad, yaitu [1] “kurikulum inti merupakan
tanggungjawab masyarakat dengan menjamin semua
murid sekolah dasar dan menengah berhubungan dengan
arena paling penting dari pengalaman manusia, [2] sistem
konseptual yang mengidentifikasi persoalan-persoalan
utama yang dijawab dalam mengembangkan sebuah
kurikulum harus dirumuskan secara baku, dan [3]
peninjauan kurikulum harus kembali ke dasar dan tidak
ada yang lebih mendasar untuk dikaji daripada apa yang
dipraktekkan atau dilakukan, baik atau buruk, benar atau
salah” (Palmer, 2003, pp. 224–225).
Kritik terhadap perpaduan ideologi konservatif dan
liberal dalam sistem pendidikan Indonesia menghasilkan

Kritik Ideologi Pendidikan | 281


kurikulum yang menyelidiki kebudayaan, pengalaman
kekuasaan, dominasi, dan penindasan, yakni menjadikan
sasaran, tujuan, dan muatan kurikulum sebagai subjek
kritik ideologi dan menyusun sebuah agenda untuk
mendorong pemberdayaan. Dengan demikian, kurikulum
menempatkan sekolah sebagai sarana kritik sosial bukan
sebagai sarana reproduksi ideologi dan kultur (Palmer,
2003). Oleh karena itu, diperlukan kritik ideologi yang
rasional terhadap kurikulum pendidikan di Indonesia
untuk mengarah ke arah yang lebih baik, maka perlu
dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Meningkatkan pemberdayaan dan kebebasan anak
didik
2) Menghindari kurikulum instrumental yang sempit
3) Memastikan bahwa pendidikan mendorong kesetaraan
dan demokrasi
4) Mengembangakan otonomi, hak suara, dan kekuasaan
kultural anak didik
5) Proses belajar kolaboratif
6) Mengembangkan pendidikan estetika dan rasionalitas
instrumental
7) Mengembangkan fleksibilitas dan kemampuan
memecahkan masalah pada anak didik
8) Menyelidiki secara kritis konteks lingkungan dan
budaya dari biografi kultural komunitas dan individu
9) Mengembangkan proses belajar melalui diskusi
10) Menyelesaikan permasalahan kesempatan yang sama
11) Mengembangkan kewarganegaraan dalam demokrasi
partisipatoris

282 | Kritik Ideologi Pendidikan


12) Menjalankan pendidikan politik dan mempelajari
permasalahan yang secara politik bersifat peka
13) Menerapkan pandangan yang luas tentang dasar-dasar
dalam kurikulum, dimana pendidikan adalah tujuan itu
sendiri, bukan hendak mencapai tujuan instrumental
lain
14) Mengembangkan komunikasi interaktif di dalam dan
melalui pendidikan (Palmer, 2003).
Di sisi lain, Habermas mengungkapkan bahwa dalam
rancangan kurikulum, kita membutuhkan kepentingan
pembentuk pengetahuan dalam menghasilkan rancangan
kurikulum, yaitu (Habermas, 2012):
1) Pandangan rasional dan behavioris yang melihat
kurikulum sebagai produk menunjukkan kepentingan
teknis, sehingga menghasilkan kurikulum instrumental
dan birokrasi;
2) Pandangan humanistik, interpretatif, dan pragmatis
yang melihat kurikulum sebagai praktek dikaitkan
dengan pendekatan proses terhadap kurikulum yang
memaparkan dan memahami interaksi dalam
pendidikan, bukan menentukan hasilnya;
3) Pandangan eksistensial dan kritik ideologi yang
memberdayakan dan melihat kurikulum sebagai praksis
mewujudkan kepentingan emansipatoris. Kepentingan
emansipatoris mempermasalahkan kurikulum misalnya,
melalui riset aksi, yaitu tujuan yang berkaitan dengan
masalah dan pendekatan pemecahan masalah, dan
dimasukannya isu-isu emansipatoris serta kritis dalam
kurikulum. Contohnya program sadar budaya yang
dikembangkan Freire dan program kajian sosial lainnya.

Kritik Ideologi Pendidikan | 283


Berdasarkan uraian di atas, kurikulum merupakan
wilayah pertarungan ideologi, pandangan sosiologi
terutama pengetahuan yang diajarkan dalam pendidikan
menunjukkan bagaimana kelompok yang berkuasa
memelihara kekuasaan melalui kurikulum, dan bagaimana
pengetahuan serta kekuasaan dilegitimasi dalam
kurikulum. Contohnya, melalui penentuan status
pengetahuan resmi oleh kelompok yang berkuasa, dan
memberikan akses yang berbeda untuk mendapatkan serta
memahami pengetahuan resmi. Sosiologi berpendapat
bahwa kurikulum dapat menjadi subjek kritik ideologi dan
mendorong kritik ideologi pada struktur pendidikan
(Palmer, 2003). Kritik terhadap kebijakan kurikulum
pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut.

Kebijakan Marxisme Fungsionalisme Feminisme


Pendidikan Kebijakan Sekolah Perempua
tahun 1944 pendidikan didesain hanya n tidak
(sistem yang untuk kalangan mendapatk
triparti) cenderung orang-orang an posisi
pada kelas tertentu saja yang sama
menenga dengan
dan tidak laki-laki di
menghilan sekolah
gkan
ketimpang
an
Perbaikan Sekolah Semua orang Feminisme
pendidikan dirancang mempelajari liberal
tahun 1988 untuk jurusan yang
(kurikulum menghasilk sama
nasional) an tenaga
kerja di

284 | Kritik Ideologi Pendidikan


masyarakat
Keterampil Borjuis bisa Meningkatkan Sekolah
an belajar sekolah kompetisi dan tidak
tahun 2000 sambil pilihan dalam memboleh
(perkenala menjalanka masyarakat kan
n n bisnis pemberian
akademis) pribadinya susunan
penuh
topik
gender

Illich juga menyumbangkan kritiknya terhadap


kurikulum, yaitu menurutnya sekolah memiliki sebuah
struktur yang mewajibkan semua anak karena
menganggap mereka tidak bisa menyiapkan diri untuk
hidup di masa dewasa dalam masyarakat tanpa melalui
struktur pendidikan. Lebih jauh lagi, sekolah mengklaim
bahwa apa yang tidak diajarkan secara struktural sangat
kecil nilainya atau tak bernilai sama sekali dan apa yang
dipelajari di luar struktur pendidikan tidak menjamin masa
depan anak. Illich menamakan struktur ini dengan
kurikulum tersembunyi karena telah terstruktur secara
tersembunyi dalam kerangka kerja kurikulum di setiap
sekolah-sekolah. Selain itu, kurikulum tersembunyi telah
menjadi keyakinan bagi setiap anak dan orangtua dan juga
dianggap sebagai inisiasi resmi sebelum mereka masuk ke
pendidikan formal dan memang telah dilegitimasi secara
institusional dalam sekolah (Illich, 1999).
Kurikulum tersembunyi mendefinisikan sebuah
struktur kelas baru bagi masyarakat. Di dalamnya
sejumlah besar konsumen pengetahuan yakni orang-orang

Kritik Ideologi Pendidikan | 285


yang membeli banyak persediaan pengetahuan dari
sekolah menikmati keistimewaan hidup, punya
penghasilan tinggi, dan punya akses ke alat-alat produksi
yang hebat, sehingga kurikulum tersembunyi menuntut
agar semua anak berumur tertentu berkumpul dalam
kelompok-kelompok kelas di bawah bimbingan seorang
guru. Murid di dalam kelas sebagai konsumen diajar untuk
menyesuaikan keinginan guru yang telah distandarisasi
dalam kurikulum. Maka mereka dikondisikan untuk
merasa bersalah jika mereka tidak berperilaku
sebagaimana ditentukan di dalam kurikulum dengan
angka rapor dan sertifikat yang akan menempatkan
mereka pada pekerjaan yang telah diramalkan untuk
mereka.
Sekolah dianggap menjual kurikulum yang
diproduksi dari proses yang sama dan mempunyai
struktur yang sama pula layaknya barang dagangan yang
dijual di pasar. Produksi kurikulum yang kebanyakan ada
di sekolah-sekolah dimulai dengan penelitian yang
dianggap ilmiah dan layak untuk dipasarkan. Hasil
kurikulum ini adalah konsep makna yang telah
direncanakan, nilai yang telah disepakati, dan suatu
komoditas. Kurikulum dan struktur pendidikan ini
mengandung daya tarik dan memungkinan untuk layak
dijual kepada sejumlah pada masyarakat. Sehingga ini
dipakai sebagai dasar untuk membenarkan besarnya biaya
produksi kurikulum tersebut. Selain itu, kurikulum
tersembunyi digunakan untuk menentukan strata sosial
atau rangkaian kemahiran atau kenaikan pangkat di dalam

286 | Kritik Ideologi Pendidikan


masyarakat atau menempatkan seseorang digaris kasta
atau ningrat-aristokrat (Illich, 1999).
Analisa Illich tentang kurikulum tersembunyi
dimaksudkannya untuk memperjelas bahwa penghapusan
pendidikan formal akan bermanfaat bagi pendidikan
umum, sama seperti kehidupan keluarga, politik
keamanan, iman, dan komunikasi akan mendapat
keuntungan bila melalui proses yang sama. Oleh karena
itu, Ia melakukan dekonstruksi terhadap sekolah karena
menganggap sekolah saat itu tidak dapat lagi diandalkan
untuk membentuk kualitas anak didik. Ia menawarkan
sebuah pendidikan alternatif untuk menjawab persoalan
ini. Di sisi lain, pendidikan alternatif tidak menjadi
kenyataan selama abad modern, dimana sekolah semakin
menjamur dan banyak didirikan. Justru sekolah tidak akan
pernah mati, akan tetapi sekolah merupakan jalan hidup
bagi masyarakat postmodern (Illich, 1982; Syahrul, 2019).
G. Membebaskan Masyarakat dari Penjara Struktur
Pendidikan
Tujuan utama pendidikan adalah membebaskan atau
memberi kebebasan pada peserta didik dari doktrin-
doktrin yang menyesatkan, yaitu pembelajaran yang
berusaha mengulang sejarah dan membebaskan
masyarakat dari struktur pendidikan yang memenjarakan.
Satu-satunya kelompok yang dapat melawan struktur
pendidikan adalah kaum muda dan gelombang
cendikiawan yang selalu kritis melihat situasi sosial
budaya. Kaum muda memiliki waktu untuk mengkritisi
realitas dan situasi sosial budaya, dan mereka dapat
menunjukkan titik-titik lemah mana yang harus diperbaiki

Kritik Ideologi Pendidikan | 287


karena yang muda bisa keluar dari sistem, tetapi kalau
yang sudah tua sudah tertelan dengan sistem yang ada.
Oleh karena itu, kaum muda harus berjuang untuk
membebaskan masyarakat dari penjara struktural
pendidikan.
Masyarakat pertama kali melibatkan dirinya dalam
struktur pendidikan di saat berusia 6 atau 7 tahun. Dalam
struktur pendidikan, anak-anak pertama kali memulai
pendidikan di sekolah dasar sebelum pada sekolah tinggi.
Jenjang ini harus dilalui oleh setiap anak karena kepatuhan
orangtua mereka terhadap pemerintah. Oleh karena itu,
para orangtua mendaftarkan anak-anak mereka di sekolah
untuk menjalani dan melalui struktur pendidikan yang
semuanya atas pemberdayaan pemerintah. Sacara
struktural, anak-anak akan diajarkan mata pelajaran yang
mendukung kepentingan dan kekuasaan pemerintah.
Melalui struktur pendidikan ini masyarakat akan dikontrol
oleh pemerintah. Hasilnya, para ilmuwan tidur berjalan
dalam struktur pendidikan.
1. Misi Pembebasan Pendidikan Ivan Illich
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah merupakan
praksis yang tidak sebangun dengan struktur pendidikan
itu sendiri. Oleh karena itu, Illich berusaha untuk
membangkitkan kesadaran kritis masyarakat untuk segera
melakukan revolusi institusi pendidikan, yakni dengan
menguji mitos-mitos pendidikan yang ada dalam institusi
pendidikan secara radikal yang selama ini telah mapan
dalam pandangan masyarakat. Ia berusaha membebaskan
masyarakat dari belenggu sekolah dan paling tidak Ia bisa
membuat masyarakat sadar bahwa ilmu tidak hanya dapat

288 | Kritik Ideologi Pendidikan


diperoleh dari sekolah (Illich, 1982). Hal ini karena struktur
pendidikan tidak mudah dilalui dan juga pelaksanaannya
yang rumit. Jauh lebih mudah kalau pendidikan ini
diupayakan melalui lembaga alternatif yang dibangun
menurut gaya sekolah yang ada sekarang.
Kemajuan teknologi di era milenial serta sikap baru
para guru terhadap murid maupun penambahan saran dan
prasarana pendidikan (di sekolah maupun di rumah) dapat
melampaui struktural pendidikan. Tanggungjawab
mendidik juga dapat dibagi antara orangtua dan guru. Hal
ini karena saluran-saluran pendidikan yang serba canggih
dan bisa diakses di mana saja. Ketersediaan sarana belajar
yang lebih pragmatis khususnya melalui media internet
yang bisa diakses di mana saja tanpa harus melalui
struktur pendidikan, sehingga bagi Illich, setiap orang
dapat mengubah setiap momen dalam hidupnya menjadi
momen belajar, berbagi pengetahuan, dan peduli satu sama
lain. Ia menyarankan sebuah learning web yang bisa
mengubah cara belajar masyarakat. Ia juga memikirkan
tentang sebuah sistem peer-matching (pencari partner) di
mana seorang murid dapat memasukkan nama, lokasi, dan
deskripsi tentang kegiatan belajarnya yang sedang
membutuhkan belajar. Sistem tersebut lalu memberikan
nama dan alamat murid lain yang juga memasukkan
deskripsi sejenis, sehingga sistem tersebut bisa menjadi
pondasi decentralized-web yang dapat menopang sistem
pendidikan yang baik.
Illich menawarkan empat jenis implementasi
pendidikan dengan menggunakan learning web yang

Kritik Ideologi Pendidikan | 289


bersama-sama membentuk sebuah learning networks (Illich,
1982; Palmer, 2003):
1) Ensiklopedia terbuka berisi materi edukasi yang mudah
diakses oleh pengguna.
2) Database berisi orang-orang yang bersedia menuliskan
kemampuan mereka dan tempat orang-orang ini bisa
berbagi atau menukar kemampuan mereka.
3) Jaringan yang dapat membantu orang menceritakan
proses belajar mereka dalam harapan untuk mencari
orang lain yang ingin berkolaborasi.
4) Daftar profesional dan freelancers dengan informasi
kualifikasi, jasa, dan persyaratan yang diperlukan untuk
jasa tersebut.
Tawaran Illich di atas sangat mudah
diimplementasikan di era milenial sekarang ini karena
hampir semua orang sudah mudah dalam mengakses
internet. Sebagian besar juga telah diterapkan oleh
beberapa orang, yaitu, dengan membuat situs blog di
internet dengan akun masing-masing, sehingga orang lain
mudah mengakses dan membaca tulisan-tulisan tersebut.
Pembelajaran juga lebih mudah dan praktis lewat YouTube
karena banyaknya orang-orang yang membagi video
tutorialnya lewat situs tersebut, bahkan orang-orang dapat
memilih jenis kebutuhan apa yang mereka ingin pelajarai.
Di sisi lain, adanya penemuan aplikasi pendidikan (Ruang
Guru) yang dapat diinstal setiap orang di handphone
masing-masing.
Solusi yang ditawarkan Illich tepat karena kita semua
telah belajar sebagian apa yang kita ketahui justru di luar
sekolah. Belajar bagaimana bisa hidup, belajar berbicara,

290 | Kritik Ideologi Pendidikan


berpikir, merasa, mencintai, bermain, menyembuhkan diri,
berpolitik, dan bekerja tanpa campur tangan guru. Selain
itu, benar juga bahwa institusi pendidikan mempunyai
peran dalam menciptakan proses belajar dalam waktu dan
situasi tertentu. Namun hal ini tidak berarti bahwa hanya
institusi pendidikan saja yang bisa menciptakan proses
belajar. Banyak orang yang bisa membaca dan senang
membaca yang beranggapan bahwa mereka bisa dan
senang membaca karena sekolah. Namun ketika
mereka ditanya secara langsung mengenai hal ini, mereka
akan melepaskan ilusi ini. Fakta yang ada malah
menunjukkan bahwa kebanyakan orang mendapatkan
banyak pengetahuan yang berguna justru di luar
pengajaran yang telah diprogram di institusi
pendidikan.
Illich mengungkapkan bahwa suatu struktur
pendidikan yang membebaskan harus dapat dilakukan
seperti di bawah ini (Illich, 1982):
1) Pendidikan harus memberi kesempatan kepada semua
orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber
belajar pada setiap saat. Membuka materi belajar untuk
siapa saja yang ingin belajar kapan pun dan memberi
kesempatan kepada semua orang untuk bebas serta
memudahkan kepada setiap orang untuk memperoleh
sumber belajar dimana pun.
2) Pendidikan harus mengizinkan semua orang yang ingin
memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain
dengan mudah, demikian pula bagi orang yang ingin
mendapatkannya. Memberikan kesempatan kepada
orang yang ingin berbagi pengetahuan dan orang yang

Kritik Ideologi Pendidikan | 291


ingin belajar dari mereka atau ingin mendapatkannya
agar dapat dengan mudah melakukannya.
3) Menyediakan tempat untuk siapa saja yang ingin
menunjukkan sebuah isu ke publik dengan kesempatan
untuk menyuarakan tantangan dan kesulitan mereka,
dan menjamin tersedianya masukan umum yang
berkenaan dengan pendidikan.
Upaya di atas akan membebaskan peserta didik dari
struktur pendidikan yang membatasi kebebasan dalam
institusi pendidikan dan upaya ini juga akan menghapus
perbedaan ekonomi, pendidikan, dan politik dalam suatu
negara. Oleh karena itu, Illich menawarkan demokrasi
pendidikan sebagai solusi dalam memperoleh pendidikan,
sistem pembelajaran dan pengembangan kurikulum.
Baginya, membebaskan peserta didik dari belenggu
struktur pendidikan adalah hal yang terpenting, serta
membuka pintu untuk bisa membawa mereka keluar dari
mitos-mitos pendidikan pendidikan yang sudah
mapan. Untuk lebih jelasnya, ide-ide pembebasan Illich
dalam dunia pendidikan ditertujukan pada sasaran-sasaran
sebagai berikut (Illich, 1982):
1) Untuk memberikan kebebasan pada masyarakat dalam
mengakses institusi pendidikan dan menghapus kontrol
yang selama ini dipegang oleh pemerintah atas struktur
dan nilai-nilai pendidikan versi mereka.
2) Untuk memberikan kebebasan pada guru dalam
membagikan keterampilan atau pengetahuan dengan
menjamin kebebasan mereka dalam mengajar atau
mempraktekkan keterampilan itu di depan peserta
didik.

292 | Kritik Ideologi Pendidikan


3) Untuk memberikan kebebasan kepada setiap individu
untuk mengkritisi suatu kekuasaan yang memonopoli
struktur pendidikan dan mengembangkan kreativitas
yang dimiliki setiap orang, serta memberikan
kesempatan kepada setiap orang untuk membentuk
kelompok belajar secara mandiri dalam masyarakat.
4) Untuk memberikan kebebasan kepada peserta didik
dari kewajiban menggantungkan harapan-harapan dari
struktur pendidikan yang diberikan oleh institusi
pendidikan dengan cara memberikan mereka
kesempatan belajar mandiri dari pengalaman dan
memberi kesempatan kepada mereka untuk memilih
guru, pembimbing, penasehat yang dianggapnya cocok.
Dari poin-poin di atas dapat disimpulkan bahwa
Illich mencoba membebaskan masyarakat dari
anggapannya tentang lembaga pendidikan sebagai sarana
satu-satunya untuk memperoleh pendidikan. Faktanya,
ilmu pengetahuan ternyata tidak hanya dapat diperoleh
dari sekolah, akan tetapi dapat diperoleh dari luar sekolah
seperti lingkungan masyarakat, keluarga, dan media sosial
(internet). Oleh karena itu, Illich ingin adanya kebebasan
bagi setiap individu dalam berkreasi dan berpikir kritis
serta adanya kebebasan untuk berbicara atau berargumen
dalam lembaga pendidikan.
2. Misi Pembebasan Pendidikan Paul Freire
Freire mengatakan bahwa pendidikan yang
membebaskan adalah pendidikan yang menumbuhkan
kesadaran kritis pada peserta didik yang ditandai dengan
kedalaman penafsiran pada materi pelajaran, masalah-
masalah yang dibahas, percaya diri dalam berdiskusi, serta

Kritik Ideologi Pendidikan | 293


mampu menerima dan menolak apa yang diajarkan. Pada
level ini peserta didik mampu menafsirkan, merefleksi, dan
melihat hubungan kausal antara dirinya dan guru.
Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa peserta didik
langsung mencapai tingkatan kesadaran tertinggi, tetapi
mereka harus tetap belajar sebagai proses bergerak dari
kesadaran diri pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang
lebih tinggi, yaitu masa akan datang. Oleh karena itu,
pendidikan yang dapat membebaskan adalah proses
pembelajaran yang mendengar suara peserta didik melalui
metode dialogis, selain itu, metode ini juga memberi
kesempatan pada peserta didik untuk mendengarkan
suaranya sendiri dan bukan suara dari luar termasuk suara
guru. Guru dan murid bersama-sama menjadi subjek yang
disatukan oleh objek yang sama. Sehingga tidak ada lagi
yang dipikirkan dan memikirkan, tetapi mereka berpikir
bersama dan saling memikirkan.
Guru adalah seorang seniman, tetapi menjadi
seniman tidak berarti guru dapat membentuk profil bagi
murid-muridnya. Apa yang dilakukan oleh seorang
pendidik dalam mengajar adalah membuat kemungkinan
peserta didik jadi dirinya sendiri. Guru tidaklah
menganggap bahwa semua peserta didik itu semuanya
sama, misalnya dalam memberikan ujian atau evaluasi.
Guru seharusnya membangkitkan potensi-potensi yang
dimiliki oleh tiap-tiap anak pada tahap maksimal. Sehingga
guru perlu memiliki banyak teori-teori pembelajaran. Guru
tidak harus membentuk muridnya sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh gurunya karena setiap anak memiliki
kecerdasan masing-masing berdasarkan passion-nya, hanya

294 | Kritik Ideologi Pendidikan


saja sebagian anak malas dalam mengembangkan passion-
nya atau tidak ada yang mengarahkannya.
Di kelas, seharusnya guru mengajarkan tentang
bagaimana peserta didik mengkritisi cara hidupnya yang
sekarang. Guru harus mencari teori pendidikan yang dapat
mengkritisi kehidupan agar pola hidup manusia dapat
meningkat. Karena dunia ini sifatnya tidak statis, tetapi ada
proses transformasi yang selalu berubah. Oleh karena itu,
guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru, serta
guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dalam
proses belajar untuk merangsang pemikiran kritis para
peserta didik. Sehingga guru dan murid secara bersama-
sama mengembangkan kemampuan berpikir kritis untuk
mengerti secara kritis dirinya sendiri dan dunia tempat
mereka berada. Mereka akan melihat bahwa dunia bukan
merupakan realitas yang statis, melainkan suatu proses
yang dinamis, sehingga mereka menyadari bahwa diri
mereka dan kehidupan sosial adalah sesuatu yang belum
selesai (Freire, 2013).
Dalam konteks yang demikian, Freire terpanggil
untuk membebaskan peserta didik dari ketertindasan
dengan cara membangkitkan kesadaran kritis di dalam
pembelajaran. Ada beberapa tema sentral dalam konsep
pendidikan pembebasan, yaitu humanisasi, hadap masalah
dan dialog. Dari ketiga tema tersebut dapat melahirkan
kesadaran kritis apabila dilakukan sebagai berikut:
a. Pendidikan Humanis
Humanisme dalam pendidikan adalah hal paling
ideal karena pendidikan seharusnya berorientasi kepada
nilai-nilai humanis (mengembalikan kodrat manusia

Kritik Ideologi Pendidikan | 295


menjadi pelaku atau subjek, bukan penderita atau objek).
Pendidikan juga seharusnya menjadi kekuatan penyadar
dan pembebas umat manusia dari kondisi ketertindasan.
Pada tahap ini perlu dilakukan proses belajar yang
hendaknya berbentuk investigasi dan identifikasi pada
kenyataan sosial dalam masyarakat. Misalnya di negara
agraris, maka kurikulum pendidikan juga harus
melibatkan realitas kehidupan sosial pertanian di
dalamnya.
b. Pendidikan Hadap Masalah
Pendidikan hadap masalah adalah mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memahami secara kritis
cara mereka mengada dalam dunia pendidikan tentang
bagaimana mereka menemukan dirinya sendiri. Mereka
akan memandang dunia pendidikan bukan sebagai realitas
yang statis, tetapi sebagai realitas yang berada dalam
proses atau dinamis (Freire, 2013). Pendidikan hadap
masalah memilih topik yang berkaitan dengan masalah
sosial yang terjadi dalam masyarakat kemudian dijadikan
sebagai titik tolak dalam pendidikan. Pendidikan harus
sesuai dengan kenyataan sehari-hari, misalnya
lingkungannya di desa dan masyarakatnya bertani, maka
yang diperkuat adalah masalah sosial yang dihadapi oleh
para petani di desa.
Pendidikan hadap masalah menganggap manusia
sebagai makhluk yang berada dalam proses menjadi
(becoming), sebagai sesuatu yang tidak pernah selesai,
makhluk yang tidak pernah sempurna, dan realitas sosial
yang juga tidak pernah selesai. Sifat manusia yang tidak
pernah selesai dan sifat yang terus-menerus mengalami

296 | Kritik Ideologi Pendidikan


perubahan dari realitas sosial secara alami mensyaratkan
proses pendidikan terus-menerus berlangsung (Freire,
2013). Oleh karena itu, pendidikan hadap masalah secara
terus-menerus memperbaharui refleksinya di dalam
refleksi peserta didik. Misalnya, peserta didik tidak lagi
sebagai pendengar dan penurut, tetapi mereka telah
menjadi rekan diskusi yang kritis melalui dialog dengan
guru. Guru menyajikan pelajaran kepada murid sebagai
bahan pemikiran bersama, dan menguji kembali
pemikirannya yang terdahulu ketika murid
mengemukakan hasil pemikiran sendiri. Sehingga, peran
seorang guru adalah bersama-sama dengan peserta didik
menciptakan suatu suasana pembelajaran yang
menempatkan pengetahuan pada tahap merata (doxa)
diganti dengan pengetahuan sejati pada tahap ilmu (logos)
(Freire, 2013).
c. Pendidikan Dialogis
Pendidikan dialogis adalah proses interaksi antar
manusia melalui kata dengan tujuan memberi nama
kepada dunia dengan memadukan aksi dan refleksi (Freire,
2013). Kaedah-kaedah dalam pendidikan dialogis dapat
dilakukan sebagai berikut:
(1) Pendidikan dialogis harus berdasarkan pada kepekaan
terhadap kemampuan-kemampuan bawaan di dalam
setiap manusia untuk menemukan diri sendiri;
(2) Pendidikan dialogis mengandaikan kerendahan hati,
yaitu kemauan untuk belajar dari orang lain,
memperlakukan orang lain sederajat, keyakinan bahwa
orang lain dapat mengajar kita;

Kritik Ideologi Pendidikan | 297


(3) Pendidikan dialogis menuntut kepercayaan yang besar
bahwa manusia pada hakikatnya dipanggil untuk
menjadi subjek yang harus mengerjakan dan mengubah
dunia, dan karenanya juga selalu bergerak menuju
kemungkinan-kemungkinan yang senantiasa baru,
membuat kehidupan ini senantiasa menjadi makin
penuh dan semakin kaya baik secara individual maupun
kolektif;
(4) Pendidikan dialogis harus pula bersandar pada cinta
kasih yang mendalam terhadap dunia dan manusia. Itu
berarti keberanian untuk terlibat pada orang lain dan
menghasilkan tindakan untuk mencapai kebebasan; dan
(5) Pendidikan dialogis harus berasaskan pada
pengharapan yang berakar pada kesadaran bahwa
manusia itu makhluk yang belum selesai. Esensi dari
pendidikan dialogis adalah menuntut sikap mau
mendengar, mau memahami diri sendiri, dan memiliki
sense of humor (Freire, 2013, p. xxiii).
Akhirnya, pembelajaran dialogis mengarah kepada
sintesa budaya yang dicapai dengan dialog terus menerus
antara guru dan murid, sehingga mampu menciptakan
pegangan bagi tindakan mereka. Oleh karena itu dialogis
selalu bersifat kooperatif, yang berarti adanya kesatuan
antara guru dan murid dalam usaha memacu proses
pembebasan, dan juga membangun kesatuan bagi
pembebasan melalui perombakan struktur yang menindas.
Sedangkan tindakan anti dialogis ditandai dengan usaha
menguasai manusia, membuat manusia tunduk, pasif,
menyesuaikan diri dengan keadaan, sehingga tetap tinggal
tertindas. Tindakan anti dialogis juga memanipulasi

298 | Kritik Ideologi Pendidikan


dengan menghambat masyarakat untuk berpikir secara
kritis dengan menciptakan mitos-mitos yang disebar
luaskan oleh kaum penindas. Sehingga, ini bertujuan untuk
menjajah budaya, memaksa pandangan-pandangan hidup
dan menghambat kreativitas peserta didik serta
menciptakan rasa rendah diri (Freire, 2013).

Kritik Ideologi Pendidikan | 299


300 | Kritik Ideologi Pendidikan
Daftar Pustaka

Adib, M. (2012). Agen dan struktur dalam pandangan


Pierre Bourdieu. BioKultur, 1(2), 91–110.
Baert, P. (2010). Social theory in the twentieth century and
beyond (2nd ed.). Retrieved from
https://www.worldcat.org/title/social-theory-in-
the-twentieth-century-and-beyond/oclc/495597148
Bakar, M. Y. A. (2012). Pengaruh paham liberalisme dan
neoliberalisme terhadap pendidikan Islam di
Indonesia. TSAQAFAH: Jurnal Peradaban Islam, 8, 135–
160. Retrieved from
https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqa
fah/article/view/22
Bertens, K. (1999). Sejarah filsafat Yunani. Yogyakarta:
Kanisius.
Bourdieu, P. (1990). The logic of practice. California:
Atanford University Press.
Bourdieu, P. (1997). Outline of a theory of practice. London:
Cambridge University Press.
Dewey, J. (2002). Pengalaman Pendidikan (J. de Santo,
Trans.). Yogyakarta: Kepel Press.
Fashri, F. (2007). Penyingkapan kuasa simbol, apropnasi,
reflektivis pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta:
Juxtapose.
Freire, P. (1984). Pendidikan sebagai praktek pembebasan (A. A.
Nugroho, Trans.). Jakarta: PT Gramedia.
Freire, P. (2007). Politik pendidikan: kebudayaan, kekuasaan dan
pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Freire, P. (2013). Pendidikan kaum tertindas (U. Danandjaya
& M. Faqih, Trans.). Jakarta: Pustaka LP3ES.
Garot, E. (2017). Pergumulan individu dan kebatiniahan
menurut Soren Kierkegaard (No. 1). Retrieved from

Kritik Ideologi Pendidikan | 301


http://jurnal.wima.ac.id/index.php/ARETE/article/
view/1865
Gibert, J. (2003). In the blackwell companion to ancient
philosophy. Malden: Blackwell.
Giddens, A. (2007). Teori strukturasi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gramsci, A. (2013). Prison notebooks, catatan-catatan dari
penjara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Habermas, J. (2012). Teori tindakan komunikatif: kritik atas
rasio fungsionalis (Nurhadi, Trans.). Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Hadiwijono, H. (1980). Sari sejarah filsafat barat. Yogyakarta:
Kanisius.
Hardiman, F. B. (1993). Kritik ideologi: pertautan pengetahuan
dan kepentingan. Penerbit Kanisius.
Haryatmoko. (2003, November). Menyingkap kepalsuan
budaya penguasa: landasan teoritis gerakan sosial
menurut Bourdieu. Majalah BASIS, 11–12.
Hegel, G. W. F. (2002). Filsafat sejarah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Illich, I. (1982). Bebas dari sekolah (C. Woekirsari, Trans.).
Jakarta: Yayasan Obor.
Illich, I. (1999). Menggugat pendidikan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Jenkins, R. (2013). Membaca pikiran Pierre Bourdieu (Nurhadi,
Trans.). Bantul: Kreasi Wacana.
Krisdinanto, N. (2014). Teori habitus Pierre Bourdieu [teori
sosiologi Pierre Bourdieu]. Retrieved from EDOC
website: https://edoc.pub/teori-sosiologi-pierre-
bourdieu-pdf-free.html
Maragustam. (2010). Mencetak pembelajaran menjadi insan
paripurna (filsafat pendidikan Islam). Yogyakarta: Nuha
Litera.

302 | Kritik Ideologi Pendidikan


Marcuse, H. (2000). Manusia satu-dimensi (S. G. Sukur & Y.
Priyasudiarja, Trans.). Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya.
Martono, N. (2010). Kritik sosial terhadap praktik
pendidikan dalam film “laskar pelangi.” Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, 16(3), 341-350–350.
https://doi.org/10.24832/jpnk.v16i3.466
Martono, N. (2012). Kekerasan simbolik di sekolah: sebuah ide
sosiologi pendidikan Pierre Bourdieu. Jakarta: Rajawali
Pers.
Mu‟arif. (2005). Wacana pendidikan kiri. Yogyakarta:
IRCiSod.
Muashomah, L. (2016). Pendidikan pondok pesantren
dalam perspektif ideologi-ideologi pendidikan. Al-
Mabsut: Jurnal Studi Islam dan Sosial, 10(1), 297–314.
Retrieved from
http://www.ejournal.iaingawi.ac.id/index.php/alm
absut/article/view/120
Nuryanto, A. (2017). Kritik budaya akademik di
pendidikan tinggi. The Journal of Society & Media, 1(1),
35–42. https://doi.org/10.26740/jsm.v1n1.p35-42
O‟Neill, W. F. (2008). Ideologi-ideologi pendidikan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Palmer, J. A. (Ed.). (2003). 50 Pemikir pendidikan: dari Piaget
sampai masa sekarang. Yogyakarta: Jendela.
Postman, N. (2002). Matinya pendidikan: redefinisi nilai-nilai
sekolah (A. Ma‟ruf, Ed.; S. Farida, Trans.). Yogyakarta:
Jendela.
Postman, N., & Weingartner, C. (2001). Mengajar sebagai
aktivitas sebversif (S. Farida, Trans.). Yogyakarta:
Jendela.
Ritzer, G., & Douglas, J. (2010). Teori sosiologi: dari teori
sosiologi klasik sampai perkembangan mutakhir teori sosial
postmodern (Nurhadi, Trans.). Yogyakarta: Kreasi
Wacana.

Kritik Ideologi Pendidikan | 303


Ritzer, G., & Goodman, D. J. (2004). Teori sosiologi modern.
Jakarta: Prenada Media, 121.
Riyadi, A. A. (2016). Studi Islam dan radikalisme
pendidikan dalam konteks masyarakat majemuk.
Elpeduaem, 3(2), 45–57. Retrieved from
http://ejournal.undar.ac.id/index.php/lppm/article
/download/566/391.
Santoso, L. (2009). Epistemologi kiri. Yogyakarta: Ar-ruzz
Media.
Sartre, J. P. (2002). Eksistensialisme dan humanisme.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schipani, D. S. (1988). Religious education encounters
liberation theology. Alabama: Religious Education
Press.
Setiyadi, A. C. (2010). Konsep demokrasi pendidikan
menurut John Dewey. At-Ta’dib, 5(1).
https://doi.org/10.21111/at-tadib.v5i1.585
Smith, W. A. (2008). Conscientizacao: tujuan pendidikan
Pendidikan Paulo Freire. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soeharto, K. (2010). Perdebatan ideologi pendidikan. Jurnal
Cakrawala Pendidikan, 2(2).
Soeharto, K. (2012). Analisis interpretasi elit pendidikan
Indonesia tentang ideologi pendidikan nasional.
Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran (JPP), 17(1), 68–81.
Retrieved from
http://journal.um.ac.id/index.php/pendidikan-dan-
pembelajaran/article/view/3217
Sugiono, M. (2012). Pengembangan human capital dan
pendidikan kosmopolitan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sutri. (2011). Pendidikan kaum marginal dalam novel laskar
pelangi karya Andrea Hirata (kajian strukturalisme
genetik) (Universitas Sebelas Maret). Retrieved from
https://eprints.uns.ac.id/8391/1/21653161120110112
1.pdf?cv=1

304 | Kritik Ideologi Pendidikan


Syahrul. (2019). Pendidikan alternatif untuk komunitas
tertindas. Yogyakarta: CV. Sarnu Untung.
Syariati, A. (1984). Tugas cendikiawan muslim. Yogyakarta.
Syariati, A. (2001). Tugas Cendikiawan muslim. Jakarta: PT.
Grafindo Persada.
Tabrani, T. (2014). Isu-isu kritis dalam pendidikan Islam
perspektif pedagogik kritis. Jurnal Ilmiah Islam Futura,
13(2), 250–270. https://doi.org/10.22373/jiif.v13i2.75
Tjahjadi, S. P. L. (2004). Petualangan intelektual. Yogyakarta:
Kanisius.
Wasitohadi, W. (2014). Hakikat pendidikan dalam
perspektif John Dewey tinjauan teoritis. Satya Widya,
30(1), 49–61.
https://doi.org/10.24246/j.sw.2014.v30.i1.p49-61
Wattimena, R. A. A. (2012, April 14). Berpikir kritis
bersama Pierre Bourdieu | Rumah Filsafat
[Sumbangan Filsafat untuk Kemajuan Indonesia].
Retrieved March 28, 2020, from Rumah Filsafat
website:
https://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-
kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-
bourdieu/
Wibowo, A. S. (2004). Gaya filsafat Nietzsche. Yogyakarta:
Galangpress Group.
Wiratma, I. G. L. (2010). Politik pendidikan dalam
pengembangan kesadaran kritis dan jati diri. Jurnal
IKA (Ikatan Keluarga Alumni), 8(2). Retrieved from
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/IKA/arti
cle/view/160
Wisarja, I. K., & Sudarsana, I. K. (2017). Refleksi kritik
ideologi pendidikan konservatisme dan liberalisme
menuju paradigma baru pendidikan. Journal of
Education Research and Evaluation, 1(4), 283–291.
https://doi.org/10.23887/jere.v1i4.11925

Kritik Ideologi Pendidikan | 305


Yunus, F. M. (2004). Pendidikan berbasis realitas sosial Paulo
Freire, Y.B. Mangunwijaya. Retrieved from
https://books.google.co.id/books?id=9ESyHAAAC
AAJ
Zamroni. (2011). Dinamika peningkatan mutu. Yogyakarta:
Gavin Kalam Utama.
Zulfatmi, Z. (2013). Reformasi sekolah (studi kritis
terhadap pemikiran Ivan Illich). Jurnal Ilmiah
Didaktika: Media Ilmiah Pendidikan Dan Pengajaran,
14(1). https://doi.org/10.22373/jid.v14i1.498

306 | Kritik Ideologi Pendidikan


Biografi Penulis

Syahrul, S.Pd., M.Pd. lulus S1 di Prodi


Pendidikan Sosiologi, Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Muhammadiyah Makassar (UNISMUH
Makassar) tahun 2013. Lulus S2 di Prodi
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
(Konsentrasi Pendidikan Sosiologi),
Program Pascasarjana, Universitas Negeri Yogyakarta
(UNY), tahun 2016. Saat ini adalah dosen tetap Program
Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Kupang
(UNMUH Kupang), dan mengampu mata kuliah Sosiologi
Pendidikan, Pembelajaran Sosiologi, Pendidikan
Multikultural, dan Pengembangan Bahan Ajar Sosiologi.
Buku ini adalah karya kelima, setelah sebelumnya pernah
menulis buku yang berjudul “Pendidikan Alternatif untuk
Komunitas Tertindas”, “Teori-Teori Pembelajaran:
Multikultural, Humanis, Kritis, Konstruktivis, Reflektivis,
Dialogis, dan Progresif”, “Pendidikan Multikultural”, dan
“Pengantar Sosiologi Umum”.

Kritik Ideologi Pendidikan | 307


Fawziah Zahrawati B, S.Pd., M.Pd., M.M.
lahir di Takalar, 23 Juni 1992 dari
pasangan Burhanuddin dan St.
Mukminiati. Pendidikan S1 ditempuh
selama 4 tahun (2009-2013) di Universitas
Muhammadiyah Makassar dengan
mengambil jurusan Pendidikan Sosiologi.
Setelah itu, pada tahun 2014 hingga 2016 melanjutkan
pendidikan Magister (S2) di Universitas Negeri Yogyakarta
dengan jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Konsentrasi Pendidikan Sosiologi. Pada tahun 2017 hingga
2020 menempuh pendidikan Magister dengan jurusan
Manajemen Pendidikan di STIE Nobel Indonesia.
Kesibukannya saat ini menjadi dosen tetap di Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare sejak tahun 2017.
Beberapa karya ilmiah yang telah dipublikasikan terkait
social science education, gender, anak, dan manajemen
pendidikan. Pembaca dapat mengakses publikasinya pada
link Google Scholar:
https://scholar.google.com/citations?user=NbBk3mkYp1
UC&hl=id.

308 | Kritik Ideologi Pendidikan


Nursaptini, S.Pd., M.Pd. lahir pada
tanggal 4 April 1992 di Dusun
Pengendong Desa Mujur Kecamatan
Praya Timur Kabupaten Lombok
Tengah. Penulis telah menyelesaikan
pendidikan formal di Madrasah
Ibtidaiyah (MI) Al-Khaeriyah NW Rajek
lulus pada tahun 2003. Madrasah Tsanawiyah (MTs) AL-
Khaeriyah NW Rajek lulus pada tahun 2006. Madrasah
Aliyah (MA) Al-Khaeriyah NW Rajek lulus pada tahun
2009. Pendidikan Sarjana diselesaikan di STKIP
Hamzanwadi Selong, lulus pada tahun 2014. Pendidikan
Magister diselesaikan di Universitas Negeri Yogyakarta,
lulus pada tahun 2016. Sekarang aktif menjadi dosen di
Universitas Mataram Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi.

Kritik Ideologi Pendidikan | 309

Anda mungkin juga menyukai