Anda di halaman 1dari 9

Kelompok 1 & 2:

Ada Apa di Balik Pemalakan


Ada dua orang murid yang sedang melakukan kewajiban wajib mereka, ya, mereka
sedang belajar seperti biasanya, lalu tiba-tiba….
(pintu di dobrak) Okta : hey…hey Bima tadi dipalak!
Rezki : Yang bener di palak? Dia gak apa-apa kan??
Okta : sepertinya engga,
Rezki :lah, kok kamu bilang nggak sih,
Sinta :emangnya Bima dipalak dimana?
Okta : Di situ.. Apa.. di belakang sekolah,
Sinta :wah, pantes saja, disitu memang sering ada pemalakan,
Okta :tidaklah,
Sinta :Iya!,
Okta : tidak!
Rezki :Stop! (memisahkan keduanya)
Rezki : 3, 2, 1, mulai! (Ala wasit yang mulai tinju)
(Okta + Sinta liatin)
Rezki : Apa?
Sinta : Udah, percaya deh sama gue, dibelakang situ emang sangarnya preman-
preman,
Okta : Enggak, ini tuh kali pertama ada pemalakan disitu,
Rezki : Baik, oke… oke, begini aja, kita cari tahu dulu siapa yang benar dengan,
penyelidikan kasus … ada apa di balik pemalakan,
Sinta + Okta : Oke sepakat!
Rezki : Tapi gue nggak sih,
Okta : Lah terus napa lo nawarin kamfprett!
Rezki : Yudah, gue cuman mau ikut-ikutan aja. Pertama, kita harus cari korban
terlebih dahulu, Bima.

Lanjutan Kisah
Setelah berkeliling sekolah mencari Bima tak lama, mereka bertemu dengan…. Guru,
lalu bertemu kepala sekolah, dan akhirnya barulah bisa bertemu dengan Bima.
Reki : Saudara Bima, bisa dibantu jelaskan bagaimana kronologi kejadian pencopetan
yang baru anda alami berlangsung? (Ala detektif)
Bima : Awalnya gue pulang aja kayak biasa, tapi tiba-tiba aja ada orang yang
mencegat gue, orangnya itu make jaket, topi, sama pake celana seragam, (ciri-cirinya
hampir sama dengan si Okta)
Rezki : Apa?! Dari ciri-ciri yang saudara sampaikan saya mengenal pelakunya,
pelakunya pasti kau! Sinta, kan?
Sinta : Lah gue pake rok pe’a,
Rezki : Tapi bisa aja lo ganti celananya lo pake rok sebelumnya,
Sinta : Udahlah, ini buang-buang waktu, kita langsung ke tempat kejadiannya aja,
Okta : Ayuk, (jalan biasa sama yg lain kecuali Reza)
Rezki : Hmm! Oke. (jalan pelan ala film action) (didorong narrator biar cepet)

Lanjutan Kisah
Setelah itu mereka melakukan olah TKP dan mereka menemukan hal yang … WOW
gitu! Penasaran apa? Kita langsung tengok.
Rezki : Jadi inilah tempat kejadiannya. Sepertinya ada yang janggal,
Biam : Ada apa emang, Za?
Rezki : Rasanya gue ga asing lagi dengan ciri-ciri pelakunya, sama … Okta kok bisa
tahu jalan kesini, ya. Kayaknya tidak salah lagi kalau pelakunya adalah … orang yang
memalak Bima,
Sinta : Wow … aku tercengang, (ekspresi datar)
Okta : Yaelah, sekarang kita ngapain disini,

Rezki : Hmm! Kita tanyai saksi mata. Kamu, mas! Iya kamu, sini, sini, (memanggil
orang)
Dani : Ada apa mas?
Rezki : Apa emang betul, disini sering terjadi pemalakan?
Dani : Betul, mas,
Sinta : Tuh kan, apa gue bilang. Bisa jadi bahan gosip baru nih,
Rezki : Jangan terburu-buru, saudari Shi tikus, kita masih belum melakukan
klasifikasi,
Rezki : Bagaimana mas bisa mengetahui hal itu?
Dani : Karena saya yang malaknya, mas! (pegang kerah baju Rezki)
Okta : Ow ow ow, tenang mas, tenang,
Sinta : Kok lu ga kasih tahu dia orangnya Bim?
Boni : Ya gue udah lupa lagi,
Dani : Sekarang cepet kasih uang lo!
Rezki : Sabar, mas, sabar. Ini bisa diselesaikan baik-baik, kalau kayak gini ga seru,
iya, ga,
Dheni : Ga seru apanya?
Rezki : Ya gak seru, tinggal tarik pelatuk, dor, udahan, (sambil ambil pistol dari saku
atau senjata tajam) (NB : kalau senjata tajam ucapannya jadi “Ya gak seru, tinggal
cleb, udahan”)
Dani : Oh iya-iya, maaf mas,
Rezki : Haah! Baru tahu lo! Meskipun tingkah gue meragukan, tapi gue ini anak
polisi. Oke, sekarang mana uang lo!
Sinta : Lah, kok lu malah malak dia sih, Za,
Rezki : Diem lu!
Dani : Ini, mas, (ngasih uang)
Rezki : Nah, gitudong. Nih, (kasih lagi uangnya)
Bima : Loh, kok dibalikin lagi?
Rezki : Kan tadi dia minta duit, tapi berhubung gue lagi bokek, ya gue minta sama
dia, terus gue kasih ke dia,
Sinta : Yaelllah,
Rezki : Oke, dengan ini kasus ‘Ada Apa di Balik Pemalakan’ terbongkar. Kasus
ditutup. (Gaya sok keren)

Penutup
Seperti itulah bagaimana sebuah kasus pemalakan terbongkar, setelah kejadian itu
jalan yang ada di belakang sekolah menjadi daftar black street dan disarankan untuk
tidak dilewati.
Kelompok 3 & 4:

Berempati Terhadap Sesama


Di sebuah kelas Sekolah Menengah Pertama Negeri, empat orang siswa dan siswi sedang
memperbincangkan rencana menengok salah satu teman kelas mereka, Tina, yang tertimpa
musibah.

Awalnya diskusi berjalan lancar. Hanya saja setelah menyinggung perihal membawa buah
tangan, terjadi sedikit perdebatan.

Didan: Mungkin buah tangan yang kita bawa untuk Tina nanti jangan terlalu mahal. Karena
dia bisa kecelakaan pun karena ulahnya sendiri.

Didan berbicara dengan nada tak bersimpati. Wajahnya masam dan tak bersemangat.

Ulfa pun menanggapi.

Ulfa: Kenapa kamu bicara seperti itu, Didan? Okelah kalau soal perihal buah tangan yang
dibawa kita masih bisa mendiskusikannya. Tapi soal mengomentari musibah yang menimpa
Tina, saya rasa kamu berlebihan deh.

Haris dan Lulu menganggukkan kepalanya, bersepakat dengan apa yang barusan diucapkan
oleh Ulfa.

Haris: Apa yang dikatakan oleh Ulfa itu benar, Didan. Saat orang tertimpa musibah, dia
sedang dalam kondisi tidak baik. Masak kamu sampai hati berbicara tidak pantas seperti itu
dengan teman sendiri?

Didan, mengangkat kedua bahunya lalu menyambung lagi kalimatnya.

Didan: Ya, habis bagaimana? Kan memang dia sendiri yang bergaya dan pamer tentang
kemampuannya memanjat tebing. Lalu ketika dia jatuh karena terlalu percaya diri, kita juga
yang repot harus menjenguk, harus urunan uang santunan dan lainnya.
Lulu menggelengkan kepalanya saat mendengar Didan bicara seperti itu.

Lulu: Kamu langsung jatuh miskin kah, Dan, kalau menyumbang seribu rupiah untuk
menengok Tina nanti agar kita bisa sekadar membeli buah atau roti?

Sebelum Didan menyambung dan bicara, Lulu segera melanjutkan kalimatnya.

Lulu: Seribu rupiah itu sama sekali tidak sebanding dengan luka dan duka yang saat ini
dialami Tina dan keluarganya. Mereka pasti sedih dengan musibah ini. Tapi akan jadi jauh
lebih sedih lagi jika sampai mendengar kamu bicara seperti tadi.

Haris menyambar kalimat sebelum Didan membela diri dan menjatuhkan orang lain lagi.

Haris: Coba kamu bayangkan jika apa yang menimpa Tina itu justru menimpa kamu. Lalu
orang-orang berpikiran hal yang sama persis seperti yang kamu ucapkan tadi tentang Tina.
Apa kamu yakin tidak sedih dan terluka?

Didan mulai terdiam.

Ulfa: Kamu tidak boleh seperti itu Dan. Karena bagaimana pun, kamu pasti merasa tidak
nyaman jika ada orang yang berkata buruk tentang kamu. Makanya cobalah berempati
dengan musibah orang lain.

Didan terlihat mulai memahami apa yang dimaksud oleh teman-temannya tersebut. Akhirnya
ia pun meminta maaf.

Didan: Iya, sorry ya teman-teman. Seharusnya saya nggak bicara seperti itu tadi. Baiklah, jadi
kita mau membeli apa untuk menjenguk Tina nanti?

Diskusi pun kembali berlangsung dan jauh lebih adem daripada tadi.
Kelompok 5 & 6:

Peduli dengan Orang Lain


Suasana di dalam rumah minggu pagi sibuk seperti biasa. Ayah sedang membetulkan sepeda
Diaz, si bungsu, dan ibu sedang membersihkan rumah bersama Diana, si sulung.

Sementara itu Diaz sedang bermain game di ponsel dan seolah tak memperhatikan suasana
rumah yang sedang sibuk. Diana kemudian memanggil adiknya, Diaz.

Diana: Dek, tolong ambilkan ember dan kain pel. Tangan Kakak kotor, Ibu juga sedang
melipat pakaian bersih. Tolong, Dek.

Diaz: Nanti, Kak. Baru juga mulai main game nya. Masak ditinggal. Ini game online, Kak,
nggak bisa dipause.

Diana yang sedang membersihkan jendela kemudian menghampiri adiknya karena jarah
mereka tidak begitu jauh.

Diana: Lihat deh orang satu rumah sedang sibuk dan bekerja sama untuk membuat rumah ini
jadi jauh lebih rapi. Ayah bahkan lagi membetulkan sepeda kamu yang rusak. Terus kamu di
sini cuma main game?

Diana terlihat masih menahan kesabarannya. Diaz tidak menggubris sama sekali dengan
ucapan sang kakak. Karena telanjur kesal dan tak bisa menghadapi adiknya, akhirnya Diana
pun pergi ke garasi untuk mengadu pada Ayahnya.

Diana: Yah, Diaz tuh dari tadi cuma main game hape. Padahal sejak pagi aku sudah bantu ibu
ke pasar dan masak. Masih dilanjutkan beres-beres rumah juga. Aku minta tolong diambilkan
kain pel dan ember saja dia tidak bergerak dari kursinya.

Diana benar-benar jengkel saat mengucapkan kalimat itu. Ayah lalu menoleh pada putrinya
itu dan bertanya.

Ayah: Memangnya kamu sudah ajak bicara Diaz baik-baik?


Diana: Ya, sudah. Cuma aku udah jengkel karena permintaanku yang pertama nggak
digubris. Lalu kali kedua aku deketin, dia tetep nggak mau lepasin hape di tangannya.

Ayah lalu meletakkan bangun dari posisi duduknya dan menghampiri putra bungsunya.

Diaz: Diaz, kenapa kamu tidak mau menolong kakak?

Diaz yang masih seru bermain game lalu menjawab tanpa melihat wajah sang ayah.

Diaz: Ya, kan Diaz sibuk, yah. Ini aja hampir kalah karena diganggu sama kakak. Ini Ayah
ngomong, Diaz juga hampir kehilangan konsentrasi nih.

Ayah menoleh pada Diana yang mengangkat bahunya lalu masih tidak mau pergi sebelum
Ayah menegur Diaz dengan keras.

Ayah kemudian mengambil ponsel Diaz dengan sigap dan mematikannya. Diaz nampak
terkejut dan langsung menyuarakan protes.

Diaz: Kenapa ponsel Diaz diambil, Yah? Kan, Diaz, lagi main game. Tadi udah hampir
menang.

Ayah lalu bicara pada putra bungsunya.

Ayah: Itu ponsel ayah yang belikan, jadi secara kepemilikan, ponsel itu milik ayah. Jadi ayah
bisa berbuat apa saja pada barang milik ayah. Dan ayah merasa memberikan kamu hape
justru membuat Diaz jadi malas. Kakak tadi minta tolong pun tidak Diaz bantu. Padahal tidak
sampai satu jam yang akan kamu habiskan jika mengambilkan ember dan lap pel untuk
kakakmu.

Diaz: Ya, tapi kan itu memang pekerjaan perempuan, Yah. Pekerjaan laki-laki memang
dilayani bukan?

Ayah terkejut mendengar pernyataan Diaz tersebut.


Ayah: Bagaimana kamu bisa berpikiran demikian, Diaz? Dengar dari mana? Karena
sepertinya Ayah tidak pernah mengajarkan kamu hal itu.

Diaz lalu menjawab dengan ogah-ogahan.

Diaz: Dari Kakaknya Rizky. Katanya tugas perempuan itu ya memang beres-beres,
membantu di rumah, memasak. Sementara tugas laki-laki itu dilayani dan dihormati.

Ibu datang dari arah dapur dan berdiri di samping ayah.

Diana: Dan kamu menelan bulat-bulat apa yang disampaikan oleh kakaknya teman kamu itu?
Coba aku tanya? Apa ketika Ibu masak, ayah diam saja? Tidak. Ayah pasti ada membantu
ibu. Bahkan ketika aku mau bantu, ayah menyuruh untuk segera mengerjakan tugas sekolah
saja.

Ibu: Yang dikatakan oleh kakakmu itu benar, Nak. Peran laki-laki dan perempuan untuk
urusan domestik ini adalah setara. Tidak ada pekerjaan khusus untuk perempuan atau untuk
laki-laki saja. Sebab semuanya punya kewajiban yang sama.

Ayah pun menyambung.

Ayah: Kamu perlu menyaring lagi informasi yang kamu dapatkan Diaz. Tidak semuanya
kamu telan mentah dan mengaplikasikannya seolah itu adalah sebuah kebenaran. Apalagi
perkara menjaga dan merawat rumah. Ini rumah kita, jadi sepatutnya kita rawat dan jaga
bersama.

Diaz: Lalu apa yang dikatakan kakaknya Rizky itu salah?

Ibu: Mungkin persepsinya saja yang salah. Karena tugas domestik itu tidak memandang jenis
kelamin. Semua harus bisa melakukannya. Dan karena ini tempat kita tinggal bersama,
berarti kita juga yang harus menjaganya bukan?
Diaz mengakui kebenaran dari ucapan ibunya. Akhirnya ia pun meminta maaf dan mulai
terlibat membantu bersih-bersih.

Anda mungkin juga menyukai