Anda di halaman 1dari 6

Artikel 2

Transisi dari Cara Kerja Struktural ke Metriks Pasca-Delayering


di Kementerian Keuangan
Donny Maha Putra

Transisi dari struktur kerja yang hierarkis dan berbasis jabatan ke model organisasi
metriks yang lebih fokus pada fungsi dan keahlian membawa berbagai tantangan.
Teori perubahan organisasi oleh Kurt Lewin (1947), yang mencakup tahapan
"unfreeze-change-refreeze," menawarkan kerangka kerja yang berguna untuk
memahami dan mengelola transisi ini. Dalam konteks Kementerian Keuangan,
proses "unfreeze" melibatkan pengakuan akan kebutuhan perubahan dari
struktural ke metriks, sementara "change" membutuhkan adaptasi peran,
klarifikasi kewenangan, dan pengembangan infrastruktur baru seperti budaya dan
regulasi. Transisi ke struktur kerja metriks memerlukan pemahaman yang
mendalam tentang dinamika organisasi dan interaksi antara individu dan
kelompok dalam konteks baru. Menurut Bridges (2009) dalam "Managing
Transitions: Making the Most of Change," mengelola sisi manusia dari perubahan
seringkali lebih menantang daripada perubahan teknis itu sendiri. Bridges
menekankan pentingnya mengelola transisi dengan memahami tiga fase: ending,
losing, dan letting go; the neutral zone; dan the new beginning. Dalam konteks
Kementerian Keuangan, ini berarti memandu individu melalui proses penyesuaian
ini dengan komunikasi yang jelas dan dukungan yang memadai.

Individu Terdampak

Teori peran sosial dan konflik peran dapat membantu menjelaskan kekhawatiran
yang dirasakan oleh Pejabat Eselon 2, JF Lama, dan JF Baru, serta Staf Pelaksana
terkait dengan adaptasi peran dan klarifikasi kewenangan. Konflik peran, yang
terjadi ketika harapan dari satu peran bertentangan dengan harapan dari peran
lain, mungkin menjadi signifikan dalam transisi ini, menuntut solusi yang jelas dan
komunikasi efektif. Mengatasi kekhawatiran tersebut membutuhkan pendekatan
yang mengakui kompleksitas perubahan peran dan otoritas mereka. Hersey dan
Blanchard (1969) dalam teori kepemimpinan situasional mengusulkan pentingnya
adaptasi gaya kepemimpinan berdasarkan kematangan individu terkait tugas
dan hubungan. Dalam transisi ini, pelatihan kepemimpinan dapat membantu para
pejabat mengembangkan fleksibilitas dalam gaya mereka untuk mendukung tim
mereka secara efektif.

Infrastruktur

Budaya organisasi dan regulasi adalah dua pilar utama yang mendukung atau
menghambat transisi. Budaya yang adaptif dan berorientasi pada pembelajaran,
seperti yang dijelaskan dalam teori budaya organisasi oleh Edgar Schein, sangat
penting dalam mendukung perubahan. Sementara itu, regulasi harus direvisi
untuk mencerminkan struktur dan proses kerja baru, sebuah proses yang
menuntut kejelasan dan konsistensi. Perubahan budaya dari struktural ke metriks
membutuhkan strategi yang mendalam dan berkelanjutan. Schein (2010) dalam
"Organizational Culture and Leadership" menyoroti bahwa untuk mengubah
budaya, organisasi harus memulai dengan perubahan pada tingkat artefak, nilai-
nilai yang dinyatakan, dan asumsi dasar. Kementerian Keuangan dapat
menerapkan workshop dan sesi brainstorming untuk mengidentifikasi dan
meredefinisi nilai-nilai inti yang mendukung kerja metriks.

Problematika dan Isu Khusus

Isu seperti pengelolaan Plt/Plh, pendelegasian tugas, dan pengaturan kinerja


menuntut solusi yang inovatif dan adaptif. Teori delegasi kewenangan dan
manajemen kinerja memberikan panduan tentang bagaimana mengatasi isu-isu
ini, menekankan pentingnya kejelasan dalam peran, tanggung jawab, dan
ekspektasi. Pendelegasian tugas dan pengaturan kinerja dalam struktur metriks
membutuhkan sistem yang jelas dan transparan. Locke dan Latham (2002) dalam
teori goal-setting menekankan pentingnya menetapkan tujuan yang spesifik,
menantang, dan dapat diterima bagi individu dan tim. Hal ini dapat membantu
dalam merancang sistem penilaian kinerja yang baru dan lebih efektif yang
mendorong pertumbuhan dan pencapaian individu dan tim.

Rekomendasi

1. Klarifikasi Peran dan Kewenangan: Penggunaan teori desain pekerjaan


untuk menyusun ulang deskripsi pekerjaan yang jelas akan membantu
dalam klarifikasi peran dan kewenangan. Pengembangan deskripsi
pekerjaan yang jelas harus mengikuti pedoman dari Nadler dan Tushman
(1980) tentang desain organisasi. Mereka menyarankan struktur yang
memungkinkan aliran informasi dan keputusan yang efisien, memperkuat
pentingnya peran dan kewenangan yang jelas dalam mendukung
pembagian peran ini.

2. Pelatihan dan Pengembangan: Pendekatan andragogi yang menekankan


pada pengalaman dan kebutuhan belajar pegawai, dapat mendukung
pengembangan keahlian dan adaptasi budaya kerja baru. Mengadopsi
pendekatan Knowles (1984) tentang andragogi, program pelatihan harus
dirancang untuk memenuhi kebutuhan belajar para staf/pegawai,
memperkuat pentingnya pengalaman, kebutuhan akan aplikasi praktis, dan
motivasi internal. Pelatihan dan pengembangan ini juga perlu ditekankan
khususnya pada pimpinan tinggi unit yang terdampak delayering, karena
adanya perbedaan mainset cara kerja yang sebelumnya hirarki menjadi
metriks berbasis project.
3. Revisi Regulasi: Pendekatan hukum yang pragmatis dan adaptif,
memungkinkan fleksibilitas dalam implementasi, akan mendukung transisi
ke struktur kerja baru. Proses peninjauan regulasi dapat diinformasikan oleh
kerangka kerja Coase (1960) tentang teori perusahaan, yang menekankan
perlunya struktur dan aturan yang meminimalkan biaya transaksi dan
mendukung koordinasi dan kolaborasi yang efisien.

4. Sistem Penilaian Kinerja: Pengembangan sistem penilaian kinerja yang


mencerminkan kontribusi individu menuntut aplikasi teori penilaian
berbasis kompetensi dan hasil. Desain sistem penilaian kinerja untuk
jabatan fungsional dampak delayering dapat merujuk pada insight dari
teori keadilan organisasi Adams (1965), yang menyoroti pentingnya
persepsi keadilan dan kesetaraan dalam evaluasi kinerja antar tim, antar
pejabat struktural dan fungsional.

5. Optimalisasi Penggunaan Teknologi: Penggunaan Satu Kemenkeu,


terutama pada Modul Nadin (naskah dinas), perlu disesuaikan, dengan
konsep role Tim dan Jabatan, yang dapat memotret efisiensi operasional,
termasuk dalam pengelolaan arsip dan penomoran naskah dinas. Rogers'
(2003) teori difusi inovasi menyediakan wawasan tentang bagaimana
memperkenalkan dan mendorong adopsi sistem collaborative tools
(MsTeams) dikemenkeu dapat di optimalkan, dengan mempertimbangkan
faktor-faktor seperti keuntungan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, dan
observabilitas pegawai.

6. Pengelolaan Arsip Terpusat: Teori manajemen pengetahuan dapat


membantu dalam pengembangan sistem pengelolaan arsip yang efektif
dan terpusat.

7. Komunikasi dan Feedback: Teori komunikasi organisasi menawarkan


insight tentang bagaimana membangun kanal komunikasi yang efektif
untuk mendukung transisi. Pengembangan kanal komunikasi yang efektif
untuk dialog terbuka dan penyesuaian berkelanjutan perlu segera
dilakukan, segera dibuat program pimpinan mendengar yang di
lembagakan sebagai sarana komunikasi dua arah antara staf dengan
pimpinan.

8. Penyesuaian Insentif: Teori motivasi, seperti teori kebutuhan Maslow atau


teori X dan Y McGregor, dapat membantu dalam penyesuaian skema
insentif untuk memotivasi kinerja. Peninjauan ulang sistem penghasilan
pegawai, semula berbasis grading, agar menggunakan pendekatan yang
berkeadilan, dengan konsep Pay for position + Pay for Performance + dan
Pay For People.
Pentingnya Perubahan Budaya Kerja

Perubahan budaya kerja menjadi kunci untuk mendukung adaptabilitas,


meningkatkan kolaborasi, dan memperkuat keterlibatan pegawai. Teori budaya
organisasi oleh Schein dan teori adaptasi oleh Lewin menawarkan panduan
bagaimana menciptakan budaya yang mendukung perubahan. Perubahan
budaya, tidak hanya dilevel staf, atau pejabat yang terdampak delering, tetapi
perubahan budaya pimpinan justru menjadi kunci keberhasilan.

Cara Pandang Pegawai untuk Semua Level

Transisi dari struktur organisasi yang berbasis hierarki ke model yang


mengutamakan keahlian dan kontribusi individu menuntut perubahan mendasar
dalam cara pandang pegawai di semua level. Ini bukan hanya perubahan
struktural, tetapi lebih penting lagi, perubahan dalam mindset dan kultur
organisasi. Dalam proses transisi ini, teori pembelajaran organisasi dan
manajemen perubahan menawarkan wawasan berharga untuk membimbing
dan mendukung pegawai dalam beradaptasi dengan realitas baru.

1. Menggeser Fokus dari Hierarki ke Keahlian. Dalam struktur tradisional,


keputusan sering kali diambil berdasarkan tingkatan hierarki, di mana posisi
seseorang dalam organisasi menentukan pengaruh dan akses mereka
terhadap sumber daya. Transisi ke model yang berfokus pada keahlian dan
kontribusi mengubah paradigma ini. Menurut teori pembelajaran organisasi
yang diusulkan oleh Argyris dan Schön (1978), organisasi yang sukses
adalah yang memfasilitasi pembelajaran dan adaptasi berkelanjutan di
semua level. Ini berarti mengakui dan memberdayakan individu
berdasarkan keahlian, bukan posisi, dan mendorong semua pegawai untuk
berkontribusi pada pembelajaran dan inovasi organisasi.
2. Mendorong Sikap Proaktif. Transisi ini memerlukan pegawai untuk
mengadopsi sikap proaktif terhadap pekerjaan dan pembelajaran.
Daripada menunggu instruksi, pegawai diundang untuk mengambil inisiatif,
mengidentifikasi peluang untuk perbaikan, dan berkolaborasi lintas fungsi
untuk mencapai solusi. Konsep ini sejalan dengan teori "proactivity" dalam
psikologi organisasi, yang menekankan pentingnya mengambil kendali
atas situasi kerja dan menjadi agen perubahan (Bateman & Crant, 1993).
Dalam konteks transisi ke struktur berbasis metriks, sikap proaktif ini
membantu mempercepat adaptasi dan meningkatkan efektivitas
organisasi.
3. Pembelajaran Berkelanjutan sebagai Kunci Adaptasi dan Inovasi.
Pembelajaran berkelanjutan menjadi kunci dalam mempersiapkan
pegawai untuk beradaptasi dengan perubahan dan berinovasi. Ini
mencakup pengembangan keahlian individual dan kontribusi terhadap
pembelajaran kolektif organisasi. Model pembelajaran organisasi oleh
Senge (1990), yang menyoroti pentingnya organisasi sebagai sistem
pembelajaran, memberikan kerangka untuk memahami bagaimana
individu dan tim dapat bersama-sama membangun pengetahuan dan
kapabilitas baru. Menerapkan prinsip-prinsip ini dalam konteks transisi ke
struktur berbasis metriks memungkinkan organisasi untuk tidak hanya
beradaptasi dengan perubahan tetapi juga memanfaatkannya sebagai
peluang untuk inovasi dan pertumbuhan

Peran Pemimpin dalam Manajemen Perubahan

Untuk mendukung transisi ini, pemimpin di Kementerian Keuangan harus


mengambil peran aktif sebagai role model. Mengadopsi prinsip kepemimpinan
transformasional dan mengikuti kerangka kerja manajemen perubahan oleh
Kotter, pemimpin dapat memainkan peran kunci dalam menavigasi organisasi
melalui perubahan budaya kerja yang diperlukan. Langkah Konkrit untuk
Implementasi:

1. Demonstrasi Perilaku: Pemimpin harus secara konsisten menunjukkan


perilaku yang mencerminkan nilai dan praktik dari struktur kerja metriks
baru. Ini termasuk pengambilan keputusan berbasis data, kolaborasi lintas
fungsi, dan komitmen terhadap pembelajaran berkelanjutan.

2. Komunikasi Strategis: Mengembangkan dan mengimplementasikan


strategi komunikasi yang jelas dan transparan, yang menguraikan tujuan
dan manfaat dari perubahan struktur kerja kepada semua pegawai. Ini
harus mencakup forum terbuka, sesi tanya jawab, dan update reguler
tentang proses transisi. Knowing your Imployee jangan hanya menjadi
Jargon semata.

3. Pelatihan Kepemimpinan: Menyelenggarakan pelatihan khusus untuk


pemimpin pada semua level, fokus pada pengembangan keterampilan
kepemimpinan transformasional dan manajemen perubahan. Ini akan
membekali mereka dengan alat dan teknik untuk mendukung tim mereka
selama transisi. Perubahan tidak hanya dilakukan dilevel bawah dilevel atas
menjadi kunci keberhasilan perubahan.

4. Fasilitasi Kolaborasi: Menciptakan lingkungan yang mendukung kolaborasi


dan inovasi, dimana pemimpin dan pegawai dapat bekerja sama dalam
merancang solusi kreatif untuk tantangan yang dihadapi selama transisi.

5. Pendekatan Berbasis Feedback: Menerapkan mekanisme feedback yang


memungkinkan pegawai untuk berbagi ide, kekhawatiran, dan saran.
Pemimpin harus responsif terhadap feedback ini dan menyesuaikan
strategi transisi sesuai kebutuhan. Dialog perubahan perlu menjadi agenda
setting pada pimpinan unit terkait.
Summary

Proses transisi dari cara kerja struktural ke metriks menuntut pemahaman


mendalam tentang dinamika organisasi dan kebutuhan adaptasi pada semua
level. Dengan menerapkan rekomendasi konkrit yang berbasis teori dan praktek
manajemen terbaik, Kementerian Keuangan dapat mengatasi tantangan yang
ada, memastikan transisi yang mulus dan efektif. Kunci dari kesuksesan transisi ini
terletak pada klarifikasi peran, pengembangan kemampuan, adaptasi budaya
kerja, dan penggunaan teknologi yang efisien. Manajemen perubahan yang
diperkuat dengan pemimpin sebagai role model, komunikasi strategis, dan
dukungan yang kontinu akan memastikan bahwa transisi ini tidak hanya
meningkatkan efisiensi tetapi juga memperkuat kolaborasi dan keterlibatan
pegawai.

References

1. Lewin, K. (1947). Frontiers in Group Dynamics. Human Relations, 1(1), 5-41.

2. Schein, E. H. (2010). Organizational Culture and Leadership. Jossey-Bass.

3. Kotter, J. P. (1996). Leading Change. Harvard Business School Press.

4. Hackman, J. R., & Oldham, G. R. (1976). Motivation through the design of work:
Test of a theory. Organizational Behavior and Human Performance, 16(2),
250-279.

5. McGregor, D. (1960). The Human Side of Enterprise. McGraw-Hill.

6. Edgar, B. & Peter, M. (2011). Strategic Human Resource Management: Theory


and Practice. Sage Publications.

Anda mungkin juga menyukai