Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

“SUBDURAL HEMATOMA e.c POST OP CRANIOTOMY”

Disusun dalam rangka memenuhi tugas


Stase Keperawatan Gawat Darurat

Oleh:
Kelompok 8

Burhanuddin 14420222081
Muslimah Kurniawati 14420222083
Novitri Cahyani Marinda 14420222085
Tisna HS Sianu 14420222086
Lidya Nurul Adha 14420222095
Indrayani Idris 14420222099
Kosni Kolnea 14420222159
Annizha Kartini 14420222185
Andi Fenni Mulya Putri S. 14420222186
Rif’at Afifah 14420222193
Sri Ayu 14420222206

1. Preceptor Lahan
2. Nama: Ika Kartika, S. Kep ( )

3. Preceptor Institusi
4. Nama: Akbar Asfar, S.Kep.,Ns.M.Kes.,M.Kep ( )

DAPARTEMEN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN KRITIS


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2023
A. Konsep Dasar Medis
1. Pengertian Subdural Hematoma
Subdural hematoma adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural (di antara
duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena
jembatan (bridging veins) yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat
vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada
permukaan otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral
hemisfer dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging veins.
Perdarahan subdural juga menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak
dibawahnya biasanya berat (Aromatario et al., 2021).
Hematoma subdural, sesuai dengan namanya, terbentuk karena kumpulan darah yang
tidak normal di bawah dura mater. Ini adalah salah satu cedera intrakranial yang
berhubungan dengan trauma kepala yang kejam, terutama pada pasien anak. Pendarahan
kecil bisa hilang secara spontan. Namun, perdarahan yang lebih besar dapat meningkatkan
jarak antara vena penghubung dan menyebabkan sejumlah besar darah di sekitar otak,
yang pada akhirnya menyebabkan herniasi struktur otak (Sharma et al., 2018).
Perdarahan subdural yang disebabkan karena perdarahan vena, biasanya darah yang
terkumpul hanya 100-200 cc dan berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-
7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari.
Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah sehingga
dapat memicu lagi timbulnya perdarahan-perdarahan kecil dan membentuk suatu kantong
subdural yang penuh dengan cairan dan sisa darah. Hematoma subdural dibagi menjadi 3
fase, yaitu akut, subakut dan kronik. Dikatakan akut apabila kurang dari 72 jam, subakut
3-7 hari setelah trauma, dan kronik bila 21 hari atau 3 minggu lebih setelah trauma (Nouri
et al., 2021).
Pada hematoma subdural, darah terkumpul di antara lapisan jaringan yang
mengelilingi otak. Pada hematoma subdural, perdarahan terjadi antara dura dan lapisan
berikutnya, arachnoid. Pendarahan terjadi di bawah tengkorak dan di luar otak, bukan di
otak itu sendiri. Saat darah terkumpul, hal itu memberi tekanan lebih besar pada otak. Jika
tekanan di dalam tengkorak meningkat ke tingkat yang sangat tinggi, hematoma subdural
dapat menyebabkan ketidaksadaran dan kematian (Feghali et al., 2020).
2. Etiologi
Subdural hematoma timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Orang
dengan kelainan pendarahan dan orang yang mengonsumsi pengencer darah lebih
mungkin mengalami hematoma subdural. Cedera kepala yang relatif ringan dapat
menyebabkan hematoma subdural pada orang dengan kecenderungan pendarahan. Pada
hematoma subdural kronis, vena kecil di permukaan luar otak mungkin robek sehingga
menyebabkan perdarahan di ruang subdural. Gejala mungkin tidak terlihat selama
beberapa hari atau minggu. Orang lanjut usia berisiko lebih tinggi mengalami hematoma
subdural kronis karena penyusutan otak menyebabkan pembuluh darah kecil ini lebih
meregang dan lebih rentan robek (Aromatario et al., 2021). Perdarahan subdural dapat
terjadi pada (Uno, 2023):
a. Trauma
1) Trauma Kapitis
2) Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
3) Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi
bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan
juga pada anak-anak.
b. Non-Trauma
1) Pecahnya aneurisma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdural. 2). Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan
perdarahan subdural
2) yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.
3) Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati penggunaan antikoagulan
3. Klasifikasi
a. Perdarahan Akut
Dikatakan sebagai perdarahan akut apabila gejala yang timbul segera kurang dari 72
jam setelah trauma. Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat
mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu
kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi
melebar luas. Pada gambaran CT-scan, didapatkan lesi hiperdens (Hamou et al., 2022).
b. Perdarahan sub akut
Perdarahan sub akut biasanya berkembang dalam beberapa hari sekitar 4-21 hari
sesudah trauma. Awalnya pasien mengalami periode tidak sadar lalu mengalami
perbaikan status neurologi yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu
penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Sejalan
dengan meningkatnya tekanan intrakranial, pasien menjadi sulit dibangunkan dan
tidak merespon terhadap rangsang nyeri atau verbal. Pada tahap selanjutnya dapat
terjadi sindrom herniasi dan menekan batang otak. Pada gambaran CT-scan didapatkan
lesi isodens atau hipodens. Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel
darah merah dan resorbsi dari hemoglobin (Hamou et al., 2022).
c. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 21 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Gejala perdarahan
subdural kronik dapat muncul dalam waktu berminggu-minggu ataupun bulan setelah
trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja
bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan
vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik, kita
harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara
perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi (Hamou et al., 2022).
d. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi
hematoma, pada hematom yang baru kapsula masih belum terbentuk atau tipis di
daerah permukaan araknoid. Kapsula dapat melekat pada araknoid bila terjadi
robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis
dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari
plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma.
Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang
menyebabkan membesarnya hematoma. Darah di dalam kapsul akan membentuk
cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma
akan membesar dan menimbulkan gejala seperti pada tumor serebri. Sebagaian besar
hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada
gambaran CT-scan didapatkan lesi hipodens (Hamou et al., 2022).
4. Manifestasi Klinis
Gejala hematoma subdural sebagian besar bergantung pada kecepatan perdarahan
(Msheik et al., 2023):
a. Pada cedera kepala yang disertai pendarahan serius dan tiba-tiba yang menyebabkan
hematoma subdural, gejalanya mungkin akan langsung pingsan atau bahkan
mengalami koma.
b. Ada yang tampak normal selama berhari-hari setelah cedera kepala, namun perlahan
menjadi bingung dan kemudian pingsan beberapa hari kemudian. Hal ini disebabkan
oleh laju perdarahan yang lebih lambat, menyebabkan hematoma subdural yang
membesar secara perlahan.
c. Pada hematoma subdural yang tumbuh sangat lambat, mungkin tidak ada gejala yang
terlihat selama lebih dari 2 minggu setelah pendarahan dimulai.
Gejala hematoma subdural meliputi: Sakit kepala, Kebingungan, Perubahan perilaku,
Pusing, Mual dan muntah, Kelesuan atau rasa kantuk yang berlebihan, Kelemahan, Apatis,
bahkan sampai mengalami kejang (Feghali et al., 2020).
5. Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan araknoid. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak
dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoid. Karena otak
dikelilingi cairan serebrospinal yang dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam
keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek
beberapa vena halus pada tempat dimana mereka menembus duramater. Perdarahan yang
besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural (Lavrador et
al., 2018).
Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah parietal.
Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura interhemisferik serta tentorium
atau diantara lobus temporal dan dasar tengkorak. Perdarahan subdural akut pada fisura
interhemisferik pernah dilaporkan, disebabkan oleh ruptur vena-vena yang berjalan
diantara hemisfer bagian medial dan falks, juga pernah dilaporkan disebabkan oleh lesi
traumatik dari arteri perikalosal karena cedera kepala. Perdarahan subdural
interhemisferik akan memberikan gejala klasik monoparesis pada tungkai bawah. Pada
anak-anak kecil perdarahan subdural di fisura interhemisferik posterior dan tentorium
sering ditemukan karena goncangan yang hebat pada tubuh anak (shaken baby syndrome)
(Feghali et al., 2020).
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh
jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik
cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena
tekanan intracranial yang berangsur meningkat. Perdarahan subdural kronik umumnya
berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih
besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat
menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena
tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang
besar sebelum gejala klinis muncul. Karena perdarahan yang timbul berlangsung perlahan,
maka lucid interval juga lebih lama dibandingkan perdarahan epidural, berkisar dari
beberapa jam sampai beberapa hari. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya
membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang
dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh
darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan
volume dari perdarahan subdural kronik (Feghali et al., 2020).
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan
perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari
cairan likuor ke aksis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan
tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang
cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu
akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Akibatnya perfusi serebral berkurang
dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau
subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang
otak terdorong ke bawah melalui insisura tentorial oleh meningkatnya tekanan
supratentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke
thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang
lainnya (Feghali et al., 2020).
6. Komplikasi
Tanpa pengobatan, hematoma yang besar dapat menyebabkan koma dan kematian.
Komplikasi lain termasuk (Sharma et al., 2018):
a. Herniasi otak: Peningkatan tekanan dapat menekan dan mendorong jaringan otak
sehingga bergerak dari posisi normalnya. Herniasi otak seringkali menyebabkan
kematian.
b. Pendarahan berulang: Orang lanjut usia yang baru pulih dari hematoma memiliki
risiko lebih tinggi mengalami pendarahan lagi. Otak yang lebih tua tidak pulih secepat
otak yang lebih muda. Selain itu, seiring bertambahnya usia, otak kita menyusut dan
jarak antara tengkorak dan otak melebar. Hal ini semakin meregangkan pembuluh
darah kecil antara lapisan membran luar otak dan tengkorak dan membuat otak yang
lebih tua lebih rentan terhadap pendarahan di masa depan jika terjadi cedera kepala
lainnya.
c. Kejang: Kejang dapat terjadi bahkan setelah hematoma telah diobati.
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan jejas
dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran
atau pingsan. Jika ada tanyakan pernah atau tidak penderita kembali pada keadaan
sadar seperti semula. Jika pernah apakah tetap sadar seperti semula atau turun lagi
kesadarannya, dan di perhatikan lamanya periode sadar atau lucid interval. Untuk
tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah
terjadinya trauma kepala. Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk
mencari penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau sumbatan
nafas atas, atau karena proses intrakranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar
perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak
sesisi dan muntah-muntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang
sedang diderita, obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam
pengaruh alcohol (Aromatario et al., 2021).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup
jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau nadi (circulation)
yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus dibersihkan apabila terjadi
sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakeal lalu
diikuti dengan pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi
dan oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk
memonitor saturasi O2. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan darah untuk
memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera dilakukan pemberian cairan
untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan darah,
bradikardia dan bradypnea (Aromatario et al., 2021).
Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS), pemeriksaan diameter kedua pupil, dan
tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma
Glasgow menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon motorik
pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan diameter kedua pupil dan
adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di dalam otak dan
terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang korteks menuju medula spinalis
(Aromatario et al., 2021).
c. Pemeriksaan penunjang
Orang yang mendapatkan pertolongan medis setelah cedera kepala sering kali
menjalani pencitraan kepala, biasanya dengan computerized tomography (CT scan)
atau magnetic resonance imaging (MRI scan). Tes ini menghasilkan gambar bagian
dalam tengkorak, biasanya mendeteksi adanya hematoma subdural. MRI sedikit lebih
unggul dibandingkan CT dalam mendeteksi hematoma subdural, namun CT lebih
cepat dan lebih mudah tersedia. Jarang, angiografi dapat digunakan untuk
mendiagnosis hematoma subdural. Selama angiografi (angiogram), kateter
dimasukkan melalui arteri di selangkangan dan dimasukkan ke dalam arteri di leher
dan otak. Pewarna khusus kemudian disuntikkan, dan layar sinar-X menunjukkan
aliran darah melalui arteri dan vena (Aromatario et al., 2021).
8. Penatalaksanaan
Penentuan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu kita harus
memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Didalam masa mempersiapkan
tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan
medikamentosa untuk menurunkan peningkatan tekanan intrakrania (PTIK). Seperti
pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau furosemid 10 mg intravena, dihiperventilasikan,
a. Tindakan tanpa operasi
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan
tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi
penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat
mengalami pengapuran. Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma tetapi
tidak menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) yang bermakna
kemungkinan menderita suatu diffuse axonal injury. Pada penderita ini, operasi tidak
akan memperbaiki defisit neurologik dan karenanya tidak di indikasikan untuk
tindakan operasi (Msheik et al., 2023).
b. Tindakan Operasi
Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala- gejala
yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran
hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang
tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs).
Tindakan operasi ditujukan kepada: Evakuasi seluruh SDH, Merawat sumber
perdarahan, Reseksi parenkim otak yang nonviable, Mengeluarkan ICH yang ada
(Msheik et al., 2023).
Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah (Msheik et al., 2023):
1). Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau pergeseran
midline shift > 5 mm pada CT-scan.
2). Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK.
3). Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan
pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin antara
saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit.
4). Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed.
5). Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.
- Trephinasi lubang duri. Sebuah lubang dibor di tengkorak di atas area hematoma
subdural, dan darah disedot keluar melalui lubang tersebut.
- Kraniotomi. Bagian tengkorak yang lebih besar diangkat, untuk memungkinkan
akses yang lebih baik ke hematoma subdural dan mengurangi tekanan. Tengkorak
yang diangkat akan diganti segera setelah prosedur.
- Kraniektomi. Satu bagian tengkorak diangkat untuk jangka waktu yang lama, agar
otak yang cedera dapat membesar dan membengkak tanpa kerusakan permanen.
Kraniektomi tidak sering digunakan untuk mengobati hematoma subdural.
B. Konsep Dasar Operasi Craniotomy
1. Definisi Craniotomy
Kraniotomi (craniotomy atau craniectomy) berasal dari kata cranium yang berarti
tengkorak/tulang kepala dan tomia yang berarti memotong. Jadi, kraniotomi merupakan
suatu prosedur pembedahan yang dilakukan dengan membuka sebagian tulang kepala
untuk mendapatkan akses ke rongga kepala. Kraniotomi adalah prosedur pembedahan
pada kranium, atau bagian tengkorak yang melindungi otak. Tengkorak memiliki lebih
dari 20 jenis tulang; 8 di antaranya merupakan bagian dari cranium (Chughtai et al., 2019).
Pada awal masa kanak-kanak, tulang tersebut tidak menyatu, sehingga memberi ruang
bagi otak untuk tumbuh dan berkembang. Saat dewasa, tulang akan saling menyatu
sehingga hanya ada ruang kecil untuk saraf dan pembuluh darah. Pada kraniotomi, bagian
tengkorak yang bernama flap tulang (bone flap) akan dibuka atau diangkat untuk
menjangkau otak, melakukan biopsi, atau mengurangi tekanan intrakranial. Apabila
dikembalikan ke posisi semula, maka tulang akan ditahan dengan baut dan plat logam.
Jika flap tulang diangkat permanen, maka prosedur ini disebut kraniektomi. (Chughtai et
al., 2019).
Kraniotomi dapat dikategorikan berdasarkan teknik bedah dan bagian otak yang
dibedah. Berdasarkan letak bagian otak, kraniotomi dibedakan menjadi parietal,
suboccipital, frontotemporal, dan temporal. Namun, ada kasus di mana pembedahan
dilakukan pada lebih dari satu bagian otak. Sedangkan untuk teknik, kraniotomi dapat
menggunakan teknik lubang kunci atau burr (melubangi tengkorak dengan pengeboran)
atau skull base, untuk pembedahan yang kompleks atau riskan. (Chughtai et al., 2019).
Sebelum tindakan operasi, pasien dan keluarga perlu memahami betul tentang
diagnosa, rencana tindakan yang akan dilakukan, teknik yang akan digunakan, tujuan
tindakan dan manfaat yang diharapkan, hingga risiko yang mungkin terjadi.
Pasien/keluarga juga perlu mengetahui apakah ada jalan lain yang dapat ditempuh selain
operasi, dan apa-apa yang mungkin terjadi apabila pasien/keluarga memilih untuk tidak
dilakukan operasi. (Chughtai et al., 2019).
2. Tujuan Operasi Craniotomy
Tujuan craniotomy menurut Chughtai et al., (2019), meliputi:
a. Menyembuhkan penyakit yang berlokasi di otak – Contohnya adalah tumor otak (jinak
dan ganas), aneurisma, atau cedera traumatis. Penyakit ini dapat menimbulkan tekanan
intrakranial atau peningkatan tekanan dari cairan serebrospinal. Jika tidak segera
diobati, penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan saraf permanen atau kematian.
b. Menghentikan pendarahan intrakranial – Ini adalah akumulasi darah pada otak karena
pecahnya arteri. Arteri seringkali pecah karena kondisi lain, misalnya bertambahnya
tekanan pada dinding arteri atau cedera otak traumatis. Pendarahan intrakranial dapat
menyebabkan sel otak mati.
c. Melakukan biopsi – Biopsi otak adalah prosedur pengambilan sampel jaringan otak
untuk analisis mikroskopis. Prosedur ini sering digunakan untuk menentukan
keganasan tumor.
d. Melakukan aspirasi – Hampir serupa dengan biopsi, aspirasi adalah pengambilan
sampel cairan untuk analisis.
e. Mengobati penggumpalan darah – Darah akan menggumpal ketika ada cedera yang
menyebabkan trombosit saling berkumpul. Kondisi ini dapat menyumbat arteri dan
meningkatkan tekanan dalam otak.
f. Mengobati patah tulang pada tengkorak – Tengkorak adalah salah satu tulang terkuat
di tubuh, karena fungsinya sebagai pelindung otak, yang sangat lunak. Akan tetapi,
tengkorak juga dapat mengalami patah tulang apabila terkena benturan keras.
g. Memasang suatu alat – Implan saraf biasanya digunakan untuk bypass area otak yang
sudah tidak berfungsi akibat penyakit, seperti stroke atau cedera.
3. Indikasi Operasi Craniotomy
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intracranial (Chughtai et al., 2019).:
a. Adanya tanda herniasi/lateralisasi
b. Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
c. Mengurangi tekanan intracranial, mengevakuasi bekuan darah, mengontrol bekuan
darah, tumor otak, perdarahan (hemorrage), peradangan dalam otak, trauma pada
tengkorak
4. Tahapan Operasi
a. Praoperasi
Jika kondisi pasien memerlukan kraniotomi, hal pertama yang akan Pasien jalani
adalah melakukan pemeriksaan CT scan guna melihat lokasi bagian otak pasien yang
memerlukan prosedur kraniotomi. Pada tahapan ini akan dilakukan juga pemeriksaan
fungsi saraf dan akan diminta menjalani puasa selama 8 jam. Pastikan pasien sudah
memberi informasi pengobatan yang sedang dijalani, maupun Riwayat alergi yang
Pasien miliki. (Chughtai et al., 2019).
b. Proses Operasi
Pada proses operasi, kraniotomi akan dimulai dengan menyayat lapisan kulit kepala
yang kemudian dijepit dan ditarik memperjelas kondisi di dalam. Kemudian tulang
tengkorak akan dibor. Setelah bagian tersebut selesai, tulang tengkorak akan dipotong
dengan menggunakan gergaji khusus. Langkah selanjutnya, tulang diangkat dan dokter
mulai mengakses bagian otak yang perlu ditangani. Setelah pembukaan tulang
tengkorak telah selesai, bagian otak yang mengalami kerusakan atau masalah akan
diperbaiki, bahkan diangkat. Jika Tindakan sudah selesai dilakukan, bagian tulang dan
kulit kepala akan direkatkan Kembali dengan menggunakan jahitan, kawat, atau
staples bedah. Namun, jika Pasien memiliki tumor pada tulang tengkorak atau tekanan
rongga kepala tinggi, maka penutupan tulang tersebut mungkin tidak langsung
dilakukan. (Chughtai et al., 2019).
c. Pasca Operasi
Pada pascaoperasi, dokter akan memantau kondisi pasien dan melakukan beberapa hal
seperti, meminta pasien berbaring dengan posisi kepala lebih tinggi daripada posisi
kaki, untuk mencegah kepala dan wajah bengkak. Setelah stabil, pasien akan dilatih
menghirup napas dalam-dalam untuk mengembalikan fungsi paru-paru. Dokter juga
akan melakukan pemeriksaan dan memberikan terapi untuk sistem saraf. Dan sebelum
pasien pulang, dokter akan mengajari beberapa cara untuk menjaga kebersihan area
luka operasi. Selama pemulihan, pasien butuh banyak istirahat beberapa minggu
sampaienergi pasien kembali pulih. Pasien juga perlu memerhatikan baik-baik
aktivitas yang dilakukan. Tidak boleh mengendarai kendaraan atau mengangkat beban
terlalu berat untuk mencegah ketegangan pada bagian bekas sayatan. Tunggu sampai
dokter memperbolehkan pasien melakukan hal-hal tersebut. (Chughtai et al., 2019).
5. Risiko Operasi Craniotomy
Hampir sama dengan berbagai operasi lainnya, kraniotomi juga memiliki risiko selama
proses operasi maupun pascaoperasi. Beragam risiko komplikasi yang mungkinterjadi
pada operasi kraniotomi, di antaranya (Chughtai et al., 2019).:
a. Infeksi
b. Perdarahan atau pembekuan darah
c. Otak membengkak
d. Kejang
e. Pneumonia
f. Tekanan darah tidak stabil
g. Kelemahan otot
h. Penurunan kesadaran
Selain itu, jika pada pascaoperasi kraniotomi pasien dapat mengalami beberapa hal,
seperti kejang, kesulitan berbicara, lengan atau kaki menjadi lemah, kemampuan
penglihatan menurun, tubuh menjadi demam atau menggigil, luka bekas operasi
mengalami perdarahan atau bernanah, segeralah konsultasi ke dokter terkait untuk
perawatan yang tepat. Keputusan melakukan prosedur kraniotomi harus dilakukan secara
hati-hati. Minta penjelasan sebanyak-banyaknya dari dokter bedah saraf, sehingga pasien
agar lebih siap dalam menjalani kraniotomi dan risiko yang mungkin terjadi. (Chughtai et
al., 2019).
C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
Peran perawat dalam manajemen Subdural Hematoma sangat penting. Kondisi
Subdural Hematoma dapat terjadi di berbagai setting perawatan pasien meliputi UGD,
rawat inap dan bahkan di rawat jalan. Oleh karena itu, kompetensi manajemen Subdural
Hematoma harus dikuasai bukan hanya oleh perawat UGD saja tetapi oleh seluruh perawat
rumah sakit yang kemungkinan kontak dengan pasien Subdural Hematoma. Peran perawat
dalam manajemen Subdural Hematoma diantaranya deteksi tanda dan gejala, monitoring
tanda vital, deteksi dan pencegahan/ perburukan serta deteksi komplikasi pasca tindakan,
edukasi pasien dan keluarga, serta rehabilitasi pasca tindakan. Pendekatan yang digunakan
tentunya menggunakan pendekatan proses keperawatan yaitu pengkajian, penegakkan
diagnosis keperawatan, penentuan tujuan dan outcomes, pemilihan rencana tindakan,
implementasi dan evaluasi (NANDA, 2021).
a. Primer
1) Airway (Jalan Nafas)
a). Pasien terpasang intuybasi
b). Terdapat secret / sputum di paru-paru
c). Suara nafas tidak normal: gurgling,snoring
2) Breathing (Pernafasan)
a). Observasi adanya pernafasan efektif
b). Periksa warna kulit
c). Identifikasi pola pernafasan tidak normal
d). Observasi adanya penggunaan otot bantu nafas
3) Circulation (Sirkulasi)
a). Observasi denyut nadi, kualitas dan karakternya
b). Observasi adanya gangguan irama jantung
c). Observasi pengisian kapiler, warna kulit dan suhu tubuh
4) Disability (Susunan Saraf Pusat)
a). Tingkat kesadaran pasien menurun
b). Cek respon pupil pasien
c). Observasi sistem neurologi menurun
5) Exprosure (Kontrol Lingkungan)
a). Buka baju penderita lihat kemungkinan cedera yang timbul tetapi cegah
hipotermi/kedinginan
b. Sekunder
1). Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa cheyne stokes atau ataxia breathing. Napas berbunyi,
stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
2). Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan
pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke
jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
3). Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan
otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas.
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi:
a). Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
b). Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
c). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata. d).
Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e). Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f). Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu
sisi, disfagia, disatria, kesulitan menelan.
Pada sistem saraf pusat dinilai kesadaran pasien dengan GCS (Glasgow Coma
Scale) dan perhatikan gejala kenaikan Tekanan Intrakranial (TIK).
4). Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia urin,
ketidakmampuan menahan miksi. Pada sistem urogenetalis diperiksa kualitas,
kuantitas, warna, kepekatan urine, untuk menilai: apakah pasien masih dehidrasi.
5). Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin
proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan
(disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
6). Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi
yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks spinal
selain itu dapat terjadi penurunan tonus otot.
2. Diagnosis Keperawatan
Dalam SDKI diagnose keperawatan yang bisa diangkat untuk kasus subdural
hematoma meliputi (PPNI, 2016):
a. Penurunan kapasitas adaptif intracranial
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif
c. Nyeri Akut
d. Gangguan Integritas Jaringan
e. Risiko infeksi
f. Risiko deficit nutrisi
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi dan luaran keperawatan berdasarkan diagnose keperawatan yang diangkat
dalam SIKI dan SLKI meliputi (PPNI, 2018a, 2018b) :
Diagnosis Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi
Bersihan jalan Setelah dilakukan intervensi Manajemen Jalan Napas (I.01011)
napas tidak keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
effektif maka bersihan jalan nafas  Monitor pola napas (frekuensi,
meningkat, dengan kriteria hasil: kedalaman, usaha napas)
- Batuk efektif meningkat  Monitor bunyi napas tambahan
- Produksi sputum menurun (misalnya: gurgling, mengi,
- Mengi menurun wheezing, ronchi kering)
- Wheezing menurun  Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma)
Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan
napas dengan head-tilt dan chin-
lift (jaw thrust jika curiga trauma
fraktur servikal)
 Posisikan semi-fowler atau fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika
perlu
 Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
 Lakukan hiperoksigenasi sebelum
penghisapan endotrakeal
 Keluarkan sumbatan benda padat
dengan forsep McGill
 Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak ada
kontraindikasi
 Ajarkan Teknik batuk efektif
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.
Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi Pemberian Analgesik (I.08243)
keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
maka tingkat nyeri menurun, dengan  Identifikasi karakteristik nyeri
kriteria hasil: (mis: pencetus, pereda, kualitas,
- Keluhan nyeri menurun lokasi, intensitas, frekuensi,
- Meringis menurun durasi)
- Sikap protektif menurun  Identifikasi Riwayat alergi obat
- Gelisah menurun  Identifikasi kesesuaian jenis
- Kesulitan tidur menurun analgesik (mis: narkotika, non-
- Frekuensi nadi membaik narkotik, atau NSAID) dengan
tingkat keparahan nyeri
 Monitor tanda-tanda vital sebelum
dan sesudah pemberian analgesik
 Monitor efektifitas analgesik
Terapeutik
 Diskusikan jenis analgesik yang
disukai untuk mencapai analgesia
optimal, jika perlu
 Pertimbangkan penggunaan infus
kontinu, atau bolus opioid untuk
mempertahankan kadar dalam
serum
 Tetapkan target efektifitas
analgesik untuk mengoptimalkan
respons pasien
 Dokumentasikan respons terhadap
efek analgesik dan efek yang tidak
diinginkan
Edukasi
 Jelaskan efek terapi dan efek
samping obat
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian dosis dan
jenis analgesik, sesuai indikasi
Gangguan Setelah dilakukan intervensi Perawatan Luka (I.14564)
integritas jaringan keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
maka integritas kulit dan jaringan  Monitor karakteristik luka (mis:
meningkat, dengan kriteria hasil: drainase, warna, ukuran , bau)
- Kerusakan lapisan kulit  Monitor tanda-tanda infeksi
menurun Terapeutik
- Kerusakan lapisan jaringan  Lepaskan balutan dan plester
menurun secara perlahan
 Cukur rambut di sekitar daerah
luka, jika perlu
 Bersihkan dengan cairan NaCl
atau pembersih nontoksik, sesuai
kebutuhan
 Bersihkan jaringan nekrotik
 Berikan salep yang sesuai ke
kulit/lesi, jika perlu
 Pasang balutan sesuai jenis luka
 Pertahankan Teknik steril saat
melakukan perawatan luka
 Ganti balutan sesuai jumlah
eksudat dan drainase
 Jadwalkan perubahan posisi setiap
2 jam atau sesuai kondisi pasien
 Berikan diet dengan kalori 30 – 35
kkal/kgBB/hari dan protein 1,25 –
1,5 g/kgBB/hari
 Berikan suplemen vitamin dan
mineral (mis: vitamin A, vitamin
C, Zinc, asam amino), sesuai
indikasi
 Berikan terapi TENS (stimulasi
saraf transcutaneous), jika perlu
Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Anjurkan mengkonsumsi
makanan tinggi kalori dan protein
 Ajarkan prosedur perawatan luka
secara mandiri
Kolaborasi
 Kolaborasi prosedur debridement
(mis: enzimatik, biologis,
mekanis, autolitik), jika perlu
 Kolaborasi pemberian antibiotik,
jika perlu
Risiko infeksi Setelah dilakukan intervensi Pencegahan Infeksi (I.14539)
keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
maka tingkat infeksi menurun,  Monitor tanda dan gejala infeksi
dengan kriteria hasil: lokal dan sistemik
- Demam menurun Terapeutik
- Kemerahan menurun  Batasi jumlah pengunjung
- Nyeri menurun  Berikan perawatan kulit pada area
- Bengkak menurun edema
- Kadar sel darah putih membaik  Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
 Pertahankan teknik aseptic pada
pasien berisiko tinggi
Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
 Ajarkan etika batuk
 Ajarkan cara memeriksa kondisi
luka atau luka operasi
 Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
 Anjurkan meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian imunisasi,
jika perlu
Risiko jatuh Setelah dilakukan intervensi Manajemen Gangguan Makan (I.03111)
keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
maka status nutrisi membaik, - Identifikasi status nutrisi
dengan kriteria hasil: - Identifikasi alergi dan intoleransi
makanan
- Identifikasi makanan yang disukai
- Porsi makan yang dihabiskan - Identifikasi kebutuhan kalori dan
meningkat jenis nutrien
- Berat badan membaik - Identifikasi perlunya penggunaan
- Indeks massa tubuh (IMT) selang nasogastrik
membaik - Monitor asupan makanan
- Monitor berat badan
- Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium
Terapeutik
- Lakukan oral hygiene sebelum
makan, jika perlu
- Fasilitasi menentukan pedoman diet
(mis: piramida makanan)
- Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
- Berikan makanan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
- Berikan makanan tinggi kalori dan
tinggi protein
- Berikan suplemen makanan, jika
perlu
- Hentikan pemberian makan melalui
selang nasogastik jika asupan oral
dapat ditoleransi
Edukasi
- Ajarkan posisi duduk, jika mampu
- Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan (mis: Pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan, jika perlu

D. Kajian Islami tentang Penyakit


Ketika seorang muslim ditimpa penyakit, maka yang pertama dilakukan adalah
membangun kesadaran bahwa apa yang menimpanya adalah bagian dari kasih sayang Allah
yang termanifestasi dalam bentuk penyakit dalam pandangan manusia. Apa yang menimpa
manusia berupa penyakit pada hakekatnya bukanlah sesuatu yang negatif sehingga ia
diposisikan sebagai musuh, tetapi sesuatu yang dapat memberi manfaat yang sangat besar
pada diri manusia sebagai hamba Allah. Untuk mencapai semua ini, seorang yang sakit harus
mampu bersabar agar ia mampu menepis segala hal-hal yang bisa merusak kesabarannya.
Seorang yang sabar akan memeroleh janji Allah swt berupa surga sebagaimana firman Allah
swt dalam QS al-Insan/76:12; yang terjemahannya “Dan Dia memberi balasan kepada
mereka karena kesabarannya (berupa) surga dan (pakaian) sutera” (Nawwir, 2021).
Menurut al-Qasimi, kesabaran yang dimaksud dalam ayat di atas adalah kesabaran dalam
ketaatan dan menjauhi larangannya, mengajak ke jalan Allah, dan bersabar menghadapi
gangguan dan penderitaan. Penyakit merupakan sesuatu yang sangat mengganggu kehidupan
manusia yang dijalani dengan penuh penderitaan (Nawwir, 2021). Keutamaan orang yang
sakit merupakan penghargaan tersendiri bagi seorang muslim dari Allah swt. karena mendapat
keistimewaan berupa pengampunan kesalahan sebagaimana dalam hadis Nabi yang
mengatakan; “Setiap muslim yang ditimpa musibah seperti penyakit atau lainnya, maka Allah
menghapus kesalahannya laksana pohon yang berguguran daunnya” (Hadi, 2020).
Hadis ini sudah cukup bagi seorang muslim dalam membangun keyakinannya bahwa
adanya penyakit yang menimpa dirinya adalah sebuah penghargaan dari Allah swt. Oleh
karena itu, orang yang sakit adalah orang yang telah dipilih oleh Allah swt.untuk digugurkan
dosa-dosanya. Dalam kehidupan sehari-hari, tampak banyak orang melakukan sesuatu yang
menurut pandangan manusia sudah seharusnya sakit karena kelalaian menjaga kesehatan,
namun tidak dipilih oleh Allah sebagai orang yang memeroleh pahala besar. Pada sisi lain, ada
orang yang sangat ketat menjaga kesehatannya, namun ia terpilih menjadi hamba yang akan
digugurkan dosanya dengan cara mendapat penyakit (Hadi, 2020).
E. Terapi Komplementer/ Holistik (Akupuntur) untuk Subdural Hematoma
Hematoma subdural (SDH) adalah cedera intrakranial akibat trauma kepala yang hebat.
Penyakit ini berkembang ketika darah berkumpul secara tidak normal di bawah dura, dan
biasanya terjadi ketika pembuluh darah yang mengalir antara otak dan tengkorak meregang,
rusak, atau robek dan mulai mengeluarkan darah ke ruang subdural. Bisa juga terjadi secara
spontan atau setelah cedera kepala tembus. Perdarahan kecil bisa hilang dengan sendirinya.
Namun, perdarahan yang lebih signifikan dapat meningkatkan jarak antara vena-vena
penghubung, sehingga mengakibatkan sejumlah besar darah beredar di otak. Ruang potensial
ini mungkin menyimpan sejumlah besar darah pada berbagai tahap, memungkinkannya berada
dalam keadaan akut (didiagnosis <14 hari setelah trauma) atau kronis (didiagnosis >14 hari
setelah trauma). Perdarahan yang tidak terdiagnosis kemudian dapat ditemukan sebagai SDH
kronis (Nurwati et al., 2023).
Mirip dengan semua prosedur bedah lainnya, operasi SDH memiliki risiko beberapa
komplikasi. Meskipun komplikasi ini bisa parah, sebagian besar jarang terjadi. Komplikasi
yang dapat terjadi setelah operasi SDH meliputi perdarahan lebih lanjut, infeksi, kejang,
stroke, dan defisit neurologis ringan. Kompresi akibat peningkatan tekanan intrakranial dapat
menyebabkan kelumpuhan saraf okulomotor (OMP). Penelitian sebelumnya menunjukkan
bahwa SDH traumatis akut dapat menyebabkan ptosis serebral bilateral. Ditemukan juga
bahwa perbaikan ptosis setelah operasi kraniotomi menunjukkan hasil neurologis yang baik
(Nurwati et al., 2023).
Akupunktur dapat menjadi alternatif rehabilitasi setelah bedah saraf. Terlepas dari
kenyataan bahwa proses yang mendasarinya masih belum pasti, beberapa uji klinis
membuktikan bahwa akupunktur dan elektroakupunktur mendorong rehabilitasi fungsi saraf
dengan mengatur dan menormalkan garis dasar neurotransmitter. Mekanismenya dapat
ditunjukkan dengan meningkatkan aliran darah oftalmik, menurunkan tekanan intraokular,
dan menstimulasi faktor neurotropik yang diturunkan dari otak (Nurwati et al., 2023).
Diplopia adalah persepsi dua gambar, yang dapat disebabkan oleh ketidakselarasan mata
(yang hilang ketika salah satu mata tersumbat) atau masalah optik (diplopia monokuler, yang
tidak hilang dengan penglihatan monokuler). Ptosis atau blepharoptosis adalah kelainan di
mana kelopak mata bagian atas turun sehingga membuat mata lebih sulit dibuka dan
menyempitkan tepi kelopak mata atas. Ptosis memiliki etiologi yang berbeda, salah satunya
adalah ptosis serebral dan OMP. Pada OMP, saraf kranial ketiga rusak akibat trauma, penyakit
pembuluh darah, aneurisma sirkulasi posterior, peradangan, atau massa intrakranial. Diplopia
dan ptosis adalah gejala OMP yang paling umum. Midriasis, blepharoptosis, dan disfungsi
pergerakan otot ekstraokular juga dapat dilihat pada OMP (Nurwati et al., 2023).
Pengobatan tradisional Tiongkok (TCM) menyediakan perawatan yang dapat
meringankan dan mengatasi gejala kelumpuhan saraf kranial yang menyusahkan. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa empat perawatan akupunktur (titik akupunktur LI4, LV3,
Taiyang, SP6, ST36, GB32, dan GB20) selama 11 minggu dapat memperbaiki kelumpuhan
saraf abducens terkait diplopia . Selain itu, 48 pasien dengan kelumpuhan abducens
disembuhkan dengan EA terutama Jianming 3 dan Shangming. Aktivasi saraf di kulit, jaringan
ikat, dan otot akibat akupunktur digambarkan sebagai unit akupunktur saraf (NAU).
Tampaknya bertindak sebagai konstituen neuroaktif lokal dalam respon biokimia terhadap
penyisipan jarum. Komponen terapeutik lain dari NAU adalah serat eferen somatik halus dan
padat yang mempersarafi otot dan serabut saraf otonom. Mayoritas serabut otonom
merupakan saraf yang mengandung noradrenalin, dan setiap intervensi akupunktur yang tepat
dapat menstimulasi interaksi antara komponen saraf eferen otonom dan somatic (Nurwati et
al., 2023).
Berdasarkan stimulasi mekanis atau elektrik manual pada serat eferen NAU yang
menginervasi otot, mediator yang dilepaskan oleh komponen otonom dapat diklasifikasikan
sebagai mediator stimulasi dan penghambatan. Sebagian besar sitokin proinflamasi
interleukin (IL), bradikinin, dan prostaglandin (PG) merupakan mediator stimulasi.
Asetilkolin (Ach), asam γ-aminobutyric (GABA), noradrenalin (NA), β-endorfin, nitric oxide
(NO), dan somatostatin merupakan mediator penghambat. Namun, serotonin (5-HT) dan
histamin yang memiliki peran stimulasi dan penghambatan, menyesuaikan
ketidakseimbangan fungsional akibat trauma atau cedera pada NAU yang sesuai (Nurwati et
al., 2023).
Tujuan pengobatan kelumpuhan saraf kranial adalah untuk memperbaiki penyebab
utamanya. Namun, jika kelumpuhan tidak segera teratasi, akupunktur dianggap berkhasiat
dalam meringankan kelumpuhan saraf. Laporan ini memiliki beberapa keterbatasan karena
tidak tersedia penelitian yang dirancang dengan baik mengenai akupunktur untuk OMP. Selain
itu, perlu dicatat bahwa pendekatan pengobatan yang dilaporkan di sini tidak boleh menjadi
pengobatan umum untuk OMP terisolasi. Selain itu, beberapa orang mungkin mengalami efek
samping ringan dan jangka pendek seperti: nyeri, memar atau pendarahan, dan pusing setelah
akupunktur meskipun hal tersebut sangat jarang terjadi (Nurwati et al., 2023).
F. Penyimpangan KDM

Trauma kepala, fraktur depresi tulang tengkorak, hipertensi, malformasi areteri venosa, aneurisma, distrasia darah, obat, merokok

Pecahnya pembuluh darah otak (perdarahan intracranial)

Darah masuk ke dalam jaringan otak

Darah membentuk massa/hematoma

Penatalksanaan craniotomy

Luka insisi Perdarahan otak Prosedur anastesi


pembedahan
DX: Gangguan
integritas
jaringan Penekanan pada ↓ aliran darah Penekanan pada
Sel melepaskan jaringan otak ke otak susunan saraf pusat
mediator nyeri:
Prostaglandin,
sitokinin Peningkatan TIK Penekanan pada Penekanan pada
Port dientri ↓ suplai O2
pusat pernafasan system pencernaan
mikroorganisme ke otak
Implus ke pusat Dx:Penurunan Penurunan
kapasitas Penurunan kerja
nyeri di otak motalitas usus
DX: Risiko adaptasi DX: Risiko organ pernafasan
(thalamus)
infeksi intrakranial perfusi
serebral tidak ↓ ekspansi paru, Bising usus
Somasensori efektif menurun
refleks menelan dan
korteks otak:
penumpukan secret
nyeri
dipresepsikan DX: Konstipasi
Ketidakadekuatan
suplai O2
DX: Nyeri Akut DX: Risiko deficit
nutrisi
DX: bersihan jalan
nafas tidak efektif
DAFTAR PUSTAKA
Aromatario, M., Torsello, A., D’errico, S., Bertozzi, G., Sessa, F., Cipolloni, L., & Baldari, B.
(2021). Traumatic epidural and subdural hematoma: Epidemiology, outcome, and dating.
Medicina (Lithuania), 57(2), 1–16. https://doi.org/10.3390/medicina57020125
Chughtai, K. A., Nemer, O. P., Kessler, A. T., & Bhatt, A. A. (2019). Post-operative complications
of craniotomy and craniectomy. Emergency Radiology, 26(1), 99–107.
https://doi.org/10.1007/s10140-018-1647-2
Feghali, J., Yang, W., & Huang, J. (2020). Updates in Chronic Subdural Hematoma:
Epidemiology, Etiology, Pathogenesis, Treatment, and Outcome. In World Neurosurgery
(Vol. 141). Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/j.wneu.2020.06.140
Hadi, A. (2020). Konsep Dan Praktek Kesehatan Berbasis Ajaran Islam. Al-Risalah, 11(2), 53–70.
https://doi.org/10.34005/alrisalah.v11i2.822
Hamou, H. A., Clusmann, H., Schulz, J. B., Wiesmann, M., Altiok, E., & Höllig, A. (2022).
Chronische subdurale Hämatome. Deutsches Arzteblatt International, 119(12), 208–213.
https://doi.org/10.3238/arztebl.m2022.0144
Lavrador, J., Teixeira, J., Oliveira, E., Simão, D., Santos, M., & Simas, N. (2018). Acute subdural
hematoma evacuation: Predictive factors of outcome. Asian Journal of Neurosurgery, 13(03),
565–571. https://doi.org/10.4103/ajns.ajns_51_16
Msheik, A., Gerges, T., Mokdad, Z. Al, Abbass, D., Mohanna, A., & Aoude, A. (2023).
Revolutionizing Treatment for Chronic Subdural Hematoma : Promising Outcomes With
Middle Meningeal Artery Embolization. 15(5). https://doi.org/10.7759/cureus.39733
NANDA. (2021). NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions & Classification, 2021-
2023 (12th ed.). Thieme.
Nawwir, Y. (2021). Penyakit dalam Perspektif Ihsan. Jurnal Ilmiah Islamic Resources, 17(2), 56.
https://doi.org/10.33096/jiir.v17i2.82
Nouri, A., Gondar, R., Schaller, K., & Meling, T. (2021). Chronic Subdural Hematoma (cSDH):
A review of the current state of the art. Brain and Spine, 1(November), 100300.
https://doi.org/10.1016/j.bas.2021.100300
Nurwati, I., Handayani, S., & Muhammad, F. (2023). Acupuncture improves diplopia and ptosis
after subdural hematoma surgery: A case report. International Journal of Surgery Case
Reports, 105(36), 108108. https://doi.org/10.1016/j.ijscr.2023.108108
PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Defenisi dan Indikator Diagnostik (1st
ed.). DPP PPNI.
PPNI. (2018a). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Defenisi dan Tindakan Keperawatan
(Edisi 1). DPP PPNI.
PPNI. (2018b). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Defenisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan (Edisi 1). DPP PPNI.
Sharma, R., Rocha, E., Pasi, M., Lee, H., Patel, A., & Singhal, A. B. (2018). Subdural Hematoma:
Predictors of Outcome and a Score to Guide Surgical Decision-Making. Physiology &
Behavior, 176(5), 139–148. https://doi.org/10.4049/jimmunol.1801473.The
Uno, M. (2023). Chronic Subdural Hematoma Evolution of Etiology and Surgical Treatment―.
Neurologia Medico-Chirurgica, 63(1), 1–8. https://doi.org/10.2176/jns-nmc.2022-0207

Anda mungkin juga menyukai