Anda di halaman 1dari 11

HUBUNGAN POLIFARMASI DENGAN POTENSI DAN TINGKAT KEPARAHAN

INTERAKSI OBAT PADA RESEP ANTIDIABETES MELLITUS


Mazrifa Sengaji, Sri Herlina, Nugroho Wibisono*
Faklutas Kedokteran Universitas Islam Malang

ABSTRAK

Pendahuluan: Permasalahan yang sering terjadi di setiap fasilitas kesehatan adalah penggunaan obat yang
diberikan secara bersamaan atau disebut dengan polifarmasi. Polifarmasi yang terjadi pada pasien yang menerima
resep obat antidiabetes mellitus di salah satu Instalasi Farmasi Klinik di Kabupaten Malang Jawa Timur masih
sangat tinggi. Polifarmasi secara signifikan meningkatkan risiko terjadinya interaksi obat yang dapat
mempengaruhi outcome terapi pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan polifarmasi terhadap
potensi dan tingkat keparahan interaksi obat.
Metode: Metode penelitian bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan desain studi retrospektif. Data
merupakan resep antidiabetes mellitus dari pasien rawat jalan yang tersimpan di Instalasi Farmasi Klinik di
Kabupaten Malang Jawa Timur pada periode November 2021-Mei 2022. Sebanyak 150 sampel penelitian dipilih
melalui teknik purposive sampling berdasarkan kriteria inklusi. Data dianalisa secara deskriptik menggunakan
drug interactions checker dan dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Chi-Square dan diperkuat dengan
korelasi spearman
Hasil: Terdapat hubungan yang signifikan antara polifarmasi dengan potensi dengan p-value 0,000 < 0,05 dan
terdapat hubungan yang signifikan dan kuat antara polifarmasi dengan tingkat keparahan interaksi obat yang
ditunjukkan dengan p-value 0,000 < 0,05 dan nilai kekuatan korelasi 0,075.
Kesimpulan: Ada hubungan yang signifikan antara polifarmasi dengan potensi interaksi obat dan tingkat
keparahannya pada pasien diabetes mellitus di salah satu Instalasi Farmasi Klinik di Kabupaten Malang Jawa
Timur.

Kata kunci : Polifarmasi, interaksi obat, resep, anti-diabetes melitus

*Korespondensi:
Nugroho Wibisono,S.Farm., M.,Si., Apt
Jl.MT Haryono 193 Malang,Jawa Timur,Indonesia 65144
Email : nugrohowibisono@unisma.ac.id. Telpon : +62813-3537-0621

CORRELATION BETWEEN POLYPHARMATION WITH THE POTENCY AND SEVERITY LEVEL


OF DRUG INTERACTION IN DIABETES MELLITUS PRESCRIPTION
Mazrifa Sengaji, Sri Herlina, Nugroho Wibisono *
Faculty of Medicine, University of Islam Malang (UNISMA)

ABSTRACT

Background: Polypharmacy is the prescribing of multiple drungs to one patient, and is a problem that often occur
in health facilities. The polypharmacy prescriptions for diabetic patients at the Pharmacy Installation of the clinic
at Singosari-Malang-East Java is still very high. Polypharmacy was reported to increase the risk of drug
interactions affecting patient therapy outcomes. This study aims to determine the correlation between
polypharmacy with the potency and severity levels of the drug interactions.
Method: The research method is descriptive analytic using a retrospective study. Diabetes mellitus prescription
data were collected at the Pharmacy Installation of a clinic at Singosari - Malang- East Java from November 2021
up to May 2022. 150 samples were collected by a purposive sampling technique based on inclusion criteria. The
data were descriptively analyzed using a drug interaction checker and the Chi-Square test.
Result: There was a significant correlation btween polypharmacy with the potency of drug interactions (p-value =
0,000) and there was a significant correlation between polypharmachy andthe severity level of drug interactions
(p-value = 0,000) and and the strong relationship between polypharmacy and the severity of drug interactions is
indicated by a correlation coeffcient value of 0.075.
Conclusion: There was a significant correlation between polypharmacy with the potency of drug interactions and
its severity in diabetic patients of the Pharmacy Installation of the clinic at Singosari- Malang- East Java.

Keyword: Polypharmacy, drug interactions, prescription, antidiabetic mellitus


*Corresponding author :
Nugroho Wibisono,S.Farm., M.,Si.,Apt
MT. Haryono 193 Malang City, East Java., Indonesia, 651445
e-mail : nurohowibisono@unisma,ac.id. Telphone : +62813-3537-0621
PENDAHULUAN yang sedang berobat (Suryanita, 2020).
Interkasi obat pada dasarnya merupakan Diabetes mellitus merupakan penyakit
faktor yang seringkali dianggap mempengaruhi gangguan metabolik yang terjadi akibat tubuh tidak
respon tubuh atas suatu pengobatan dan seringkali bisa memproduksi insulin dengan baik (Anggoro and
juga dianggap peting secara klinis, karena dapat Novitaningrum, 2021). Diabetes mellitus dapat
menyebabkan keracunan atau dapat mengurangi mengakibatkan komplikasi akut dan kronis, karena
efektivitas obat yang berinteraksi. Hal tersebut dapat adanya berbagai komplikasi tersebut kemungkinan
memberi perubahan dalam efek terapi (Kusuma and besar pasien diabetes mellitus sering menerima
Nawangsari, 2020). Oleh karena interaksi obat berbagai macam obat dalam waktu bersamaan
seringkali dapat memberikan efek samping pada (Suryanita, 2020). Keberhasilan terapi pada pasien
pasien yang sangat berbahaya, maka ia harus diabetes mellitus tergantung pada pemilihan
mendapatkan perhatian secara khusus(Reyaan, obatobatan oral anti-diabetik yang dipilih. Oleh
Kuning and Adnyana, 2021). Interaksi obat dapat karena itu dalam praktiknya, pemilihan dan regimen
diklasifikasikan menjadi jenis interaksi obat secara terapi pada pasien diabetes mellitus seringali
farmasetika,farmakokinetika, dan farmakodinamika. dilakukan melalui satu jenis obat ternentu atau
Penelitian ini tidak meneliti jenis interaksi obat melalui kombinasi obat-obatan tertentu dengan cara
secara farmasetika karena tidak terdapat obat mempertimbangkan akan tingkat keparahan dan
antidiabetes mellitus dalam bentuk racikan di lokasi tingkat kesehatan dari penderita penyakit diabetes
tempat penelitian. Berdasarkan penelitian yang mellitus. Penelitian ini hendak mengkaji dan
dilakukan Fitrianingsih 2020 pada Apotek di kota mempelajari hubungan polifarnasi dengan potensi
Bandung menjelaskan bahwa terjadi interaksi obat dan tingkat keparahan interaksi obat pada pasien
secara farmakodinamika (90,34%), diikuti interaksi diabetes mellitus.
obat secara farmakokinetika(9,66%).
Tingkat keparahan interaksi obat METODE
diklasifikasikan menjadi tingkat keparahan mayor Desain Penelitian
apabila kejadiaan interaksi tinggi dan memberikan Desain penelitian ini menggunakan desain
efek samping interaksi yang dapat membahayakan retrospektif. Data yang digunakan pada penelitian ini
pasien. Tingkat keparahan yang moderat merupakan adalah resep antidiabetes mellitus pasien rawat jalan
hal yang memungkinkan terjadinya interaksi obat yang tercatat pada periode November 2021 – Mei
dalam suatu proses terapi dan memerlukan perhatian 2022. Tempat penelitian dilakukan di salah satu
ekstra khusus dari para tenaga medis. Sedangkan Instalasi Farmasi Klinik di Kabupaten Malang Jawa
tingkat keparahan interaksi obat pada ketegori minor Timur. Penelitian di lakukan pada bulan Juni-
merupakan masih dalam taraf yang ditoleransin September 2022, telah mendapat persetujuan
(Daniel, 2020). Penelitian melaporkan bahwa dari Kelayakan kode etik oleh KEPK (Komisi Etik
400 responden yang diteliti (pasien diabetes Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran
mellitus) di RSUP Haji Adam Malik, ditemukan UNISMA No.041/LE.003/IV/01/2022.
bahwa sebanyak 258 atau 64,5% responden
mendapatkan resep obat yang dinyatakan tidak Populasi dan Sampel Penelitian
memiliki interaksi, sebanyak 17 atau 4,3% Penelitian ini menggunakan populasi berupa
responden mendapatkan resep obat yang dinyatakan data resep pasien antidiabetes mellitus yang terdiri
memiliki interaksi minor, sebanyak 97 atau 24,3% dari obat oral antidiabetik (OAD) dan non OAD
responen mendapatkan resep obat yang dinyatakan sebanyak 236. Besar populasi dalam penelitian ini
memiliki interaksi moderat dan sebanyak 28 atau 7% ditentukan dengan menggunakan rumus slovin :
𝑁
responden mendapatkan resep obat yang dinyatakan 𝑛=
1 + 𝑁 (𝑑 2 )
memiliki interaksi mayor (Daniel, 2020). 236
Salah satu permasalahan yang sering 𝑛=
1 + 236 (0,052 )
didapatkan pada pasien diabetes mellitus adalah 236
𝑛=
menerima dua sampai lebih obat baik obat 1 + 236(0,0025)
antidibaetes mellitus oral maupun non antidibaetes 236
𝑛=
mellitus yang disertakan karena penyakit penyerta 1 + 0,59
236
(Parulion dkk., 2019). Polifarmasi pada dasarnya 𝑛=
1,59
merupakan suatu pemakaian obat yang melebihi apa 𝑛 = 150 Sampel
yang diperlukan secara medis di mana hal itu dapat
menyebabkan terjadinya interaksi obat, dan pada
akhirnya akan berdampak pada penurunan outcome Teknik purposive sampling digunakan untuk
terapi obat yang dilakukan (Ariani and Prihandiwati, menentukan sampel di mana sampel didasarkan pada
2021). Di samping itu, polifarmasi juga dapat kriteria inklusi sebagai berikut: (1) resep untuk
menyebabkan meningkatnya risiko akan terjadinya pasien diabetus mellitus yang berisi obat oral
interaksi obat-obatan dan efek samping yang antidiabetik atau OAD dan non OAD pada bulan
ditimbulkannya, serta hal-hal lain yang terkait November 2021 – Mei 2022 dalam satu resep, (2)
dengan obat (drug related problem) dan pada resep untuk pasien DM yang mengandung minimal
akhirnya akan berdampak pada output klinis pasien 2 obat OAD dan non OAD dalam satu resep dan (3)
resep rawat jalan untuk pasien DM.
1
Sementara kriteria eksklusi sampel pada HASIL DAN ANALISA DATA
penelitan ini berupa: (1) resep untuk pasien DM yang Tabel 1. Karakteristik Pasien Diabetus Mellitus
tidak terbaca dengan jelas, (2) resep yang Frekuensi
Karaktelistik Pasien (n=150) Persentase (%)
mengandung obat racikan untuk pasien DM, (3)
Jenis Laki-laki 62 41,33
resep yang mengandung hormon insulin dan (4) kelamin Perempuan 88 58,66
resep rawat inap. Total 150 100
Usia > 40 8 5,34
Instrumen Polifarmasi 40-60 96 64
> 65 46 30,66
Polifarmasi merupakan jumlah obat oral Total 150 100
antidiabetes mellitus (OAD) dan non OAD yang
terdiri dari 2-5 obat dalam satu resep, Dalam
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa lebih dari
penelitian ini polifarmasi pada resep digolongkan
setengah pasien diabetes mellitus (DM) berjenis
sesuai dengan jumlah obat yang tertulis didalamnya.
Polifarmasi yang ditemukan dikategorikan menjadi kelamin perempuan sebanyak 88 orang dengan
polifarmasi minor terdiri dari 2-4 jenis obat, persentase sebesar 58,66% dan mayoritas usia
polifarmasi mayor terdiri dari 5 – 9 jenis obat dan mereka 40-65 tahun sebanyak 96 orang dengan
hiperpolifarmasi > 10 jenis obat di dalam satu resep persentase sebesar 64%. Hasil penelitian terdahulu
(Daniel, 2020). Mengetahui derajat polifarmasi olehPoluan et al (2020) menunjukkan bahwa jenis
minor dan mayor dicek secara langsung pada lembar kelamin perempuan lebih dominan dibandingan
resep obat. dengan laki-laki. Hasil ini sesuai dengan hasil Riset
Kesehatan Dasar tahun 2018 yang menunjukkan
Instrumen Potensi dan Tingkat Keparahan bahwa diabetes mellitus di Indonesia cenderung
Interaksi Obat tinggi padaperempuan. Hal ini karena obesitas yang
Potensi interaksi obat adalah potensi aksi sering terjadi pada jenis kelamin perempuan.
suatu obat yang diubah atau dipengaruhi oleh obat
Perempuan secara fisik dianggap berpeluang
lain yang diberikan bersamaan. Jenis interaksi obat
mengalami peningkatan indeks masa tubuh (IMT)
secara Farmakodinamika, Farmakokinetika dan
diukur dengan Analisis data menggunakan aplikasi dan tidak dipungkiri pula bahwa kaum perempuan
medscape, aplikasi Drugs.com dan buku acuan selalu mengalami sindrom siklus bulanan. Selain
Stockley’s drug interaction (Daniel, 2020). itu, pada perempuan pasca menopause bisa
Pengecekan adanya potensi interaksi obat yang mengakibatkan terjadinya distribusi lemak yang
diminum secara bersamaan dilihat dari resep obat ada di dalam tubuhnya, sehingga pada akhirnya
yang tertulis. Cara penggunaan obat baik obat OAD lemak tersebut akan lebih mudah terakumulasi
dan non OAD menimbulkan jenis interaksi obat: (1) sebagai akibat dari proses hormonal tersebut.
Farmakokinetika (2) Farmakodinamika dan (3) Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun
Tidak terjadi interaksi (Unknown). Adanya potensi 2018, menunjukkan bahwa prevalensi diabetes
interaksi obat dinyatakan dengan : (1) Ya (terjadi melitus di Indonesia pada usia ≥ 15 tahun
interaksi) dan (2) Tidak (tidak terjadi interaksi obat). berdasarkan diagnosis dokter mengalami
Dari hasil pengecekan potensi interaksi obat akan
peningkatan sesuai dengan bertambahnya
didapatkan data berupa tingkat keparahan interaksi,
yaitu: (1) Ringan = minor : interaksi yang memiliki umur,namun mulai usia ≥ 65 tahun cendrung
signifikansi klinis yang rendah (2) Sedang = moderat mengalami penurunan hal ini juga dibuktikan
: interaksi yang memiliki signifikansi klinis yang berdasarkan hasilpenelitian Imelda pada tahun
rendah dibandingkan dengan interaksi berat (Mayor) 2019 prevalensi tertinggi terdapat pada pasien
dan membutuhkan pengawasan (closely-monitored) dengan usia 50-59 tahun (59,4%), kemudian pasien
(3). Berat = Mayor : memiliki potensi klinis yang dengan usia > 60 tahun (20,3%) dan usia 40-49
berbahaya dan serius (Daniel, 2020),(Barliana, Sari tahun (20,3%). Berdasarkan data di atas, dapat
and Faturrahman, 2013). ditarik kesimpulan bahwa manusia pada dasarnya
akan mengalami perubahan fisiologis (yang
Teknik Analisa Data menurun) dengan cepat ketika telah mencapai usia
Analisis data dilakukan seacara deskriptif 40 tahun lebih. Penjelasan riset tersebut juga
terhadap derajat polifarmasi, potensi interkasi obat, menyatakan bahwa kejadian diabetes pada seseorang
tingkat keparahan interaksi dan jenis interaksi obat. seringkali muncul di usia rawan itu. Masa itu
Untuk menganalisis hubungan polifarmasi terhadap merupakan momen di mana fungsi tubuh seseorang
potensi interkasi obat menggunakan uji Chi-Square akan semakin menurun, utamanya fungsi pankreas
dan untuk menganalisis hubungan polifarmasi sebagai suatu penghasil hormon insulinnya. Oleh
dengan dengan tingkat keparahan interaksi obat karena itu dapat dikatakan bahwa semakin dewasa
menggunakan uji Rank Spearman. seseorang, maka resiko terkena diabetes akan
semakin tinggi pula(Rahmawaty and Pratiwi, 2022).

2
Tabel 2. Distribusi Derajat Polifarmasi Tabel 5. Sebaran Obat yang Ditemukan dalam
Derajat Polifarmasi
Frekuensi Persentase Resep Pasien Diabetes Mellitus
(n=150) (%) No Nama Obat Frekuensi Persentase (%)
Minor (2-4 jenis obat) 37 24,7 1 Lisinopril 38 5.0
Mayor (5-9 jenis obat) 113 75,3 2 Glimepiride 122 15.9
Total 150 100% 3 Metformin 117 15.3
4 Acarbose 76 9.9
5 Amlodipine 68 8.9
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa apabila 6 Valsartan 5 0.7
dilihat dari derajat polifarmasi, maka dari 150 resep 7 Spironolakton 44 5.8
yang diteliti, mayoritas derajat polifarmasinya 8 Bisoprolol 21 2.7
berada pada kategori mayor (5-9 jenis obat), yaitu 9 Clopidogrel 24 3.1
10 Ondansetron 58 7.6
sebanyak 113 resep dengan frekuensi sebesar 11 Pioglitazone 17 2.2
75,3%. 12 Gabapentin 57 7.5
13 Simvastatine 12 1.6
Tabel 3. Distribusi Potensi Interaksi Obat 14 Candesartan 35 4.6
Frekuensi 15 Lansoprazole 10 1.3
Potensi IO Persentase (%) 16 Omeprazole 1 0.1
(n =150)
17 Gliquidone 12 1.6
Ya (terjadi interaksi) 112 74.7 18 UDCA 3 0.4
Tidak (tidak terjadi 19 Cimetidine 1 0.1
38 25.3 20 CPG 14 1.8
interaksi)
21 Furosimide 4 0.5
Total 150 100 22 Domperidone 1 0.1
23 Digoxin 5 0.7
24 Miniaspi 1 0.1
Tabel 3 menunjukkan bahwa apabila dilihat 25 Propanolol 1 0.1
dari potensi interaksi obat, maka dari 150 resep 26 Curcuma 1 0.1
yang diteliti, mayoritas resep tidak terjadi interaksi, 27 Allopurinol 2 0.3
yaitu sebanyak 112 resep dengan persentase sebesar 28 Citirizine 2 0.3
29 Aspirine 1 0.1
74,7%. 30 Diklofenak 2 0.3
31 Cefixime 2 0.3
Tabel 4. Distribusi Jenis dan Tingkat 32 Levofloxacin 2 0.3
33 Loperamide 2 0.3
Keparahan Interaksi Obat 34 Hidrokostison 1
Salep 0.1
Frekuensi
Jenis Interaksi IO Presentase (%) 35 Fenofibrate 1 0.1
(n=150)
36 Fenobarbital 1 0.1
Farmakokinetika 27 18.0 37 Ratinidine 1 0.1
Farmakodinamika 73 48.7 Total Keseluruhan 765 100
Tidak terjadi interaksi 37 24.66 Obat
(Unknown) 12 8.66
Total 150 100
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa dari total
Frekuensi
Tingkat Keparahan IO Presentase (%) 765 obat yang ditemukan pada 150 lembar resep,
(n=150)
Tidak ada 37 24.7 terdapat dua obat yang paling sering diresepkan atau
Ringan 26 17,3 paling sering dugunakan sebagai obat antidiabetes,
Sedang 86 57.3 yaitu glimepiride (sebanyak 112 resep atau 15,9%)
Berat 1 0.7 dan metformin (117 atau 15,3%).
Total 150 100
Tabel 6. Sebaran Obat yang Mengalami Potensi
Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa apabila dan Tingkat Keparahan Interaksi
dilihat dari jenis interaksi obat, maka mayoritas Interaksi Jenis Potensi Interaksi Hasil Pemeriksaan Tingkat
Obat-Obatan F % pada Link Kepara
interaksi obat terjadi secara farmakodinamika, yaitu han IO

sebanyak 73 interaksi dalam resep dengan Lisinopril- 10 6.7 Farmakodinamika Meningkatkan M


glimepiride resiko
persentase sebesar 48,7% dan apabila dilihat dari Hipoglikemia

tingkat keparahan interkasi obat, maka didapatkan Amlodipine 34 22.7 Farmakodinamika Amlodipin M
lebih dari setengah resep dinyatakan memiliki +
Metformin
menurunkan efek
metformin dengan
tingkat keparahan pada kategori sedang, yaitu antagonism
farmakodinami k
sebanyak 86 resep dengan persentase sebesar Metformin 19 12.7 Farmakodinamika Meningkatkan M
+Glimepiri resiko
57,3%. Hasil yang didapatkan ini sesuai dengan de hipoglikemia

penelitian serupa oleh Baiti Hayati dkk. (2020) di Valsartan 1 0.7 Farmakodinamika Valsartan dan M
+ spironolakton
mana laporan hasil penelitian mereka menyatakan spironolakt keduanya
on meningkatkan
bahwa kejadian interaksi obat secara kalium serum.
Spironolakt 2 1.3 Farmakodinamika Meningkatkan resiko M
farmakodinamika sebanyak 76,92%, on hiperglikemia dan
+bisoprolol hipertrigliserid
farmakokinetika 5,12% dan unknown 17,94% emia.
sedangkan untuk tingkat keparahan interaksi obat.

3
Metformin 2 1.3 Farmakodinamika Meningkatkan M
+ resiko asidosis yang ada pada obat kedua. Ketika hal itu terjadi,
Spironolakt laktat,
an heiperglikemia dan maka kadar plasma pada kedua obat akan
intoleransi
glukosa. mengalami peningkatan taua penurunan yang pada
Glimepiride 3 2.0 Farmakodinamika Meningkatkan M
+ bisoprolol resiko hipoglikemia. akhirnya akan beradibat pada terjadinya
Metformin 26 17.3 Farmakokinetika Onset kerja yang M
+ acarbose tertunda dan peningkatan toksisitas atau penurunan efektifitas
penurunan
biovabilitas. obat tersebut Jenis interaksi unkown merupakan
Glimepiride 2 1.3 Farmakokinetika menghambat M
+ isoenzim jenis interaksi obat-obatan yang pada dasarnya
Clopidogrel CYP450 2C9
Ondansetro 1 0.7 Farmakokinetika Ondansetron S belum diketahui secara pasti dan bukan merupakan
n+ meningkatkan kadar
metformin
metformin pada jenis yang interaksi seacra farmakokinetik ataupun
sekresi
Pioglitazon 1 0.7 Unknown Inhibitor OATP1B1 M
secara farmakodinamika. Utami (2013) menyatakan
e+
valsatran
dapat
meningkatkan bahwa ada sejumlah contoh obat bisa berinteraksi
paparan sistemik
valsartan. secara unknown, antara lain: metformin dengan
Metformin
+ lisinopril
12 8.0 Unknown Meningkataka n
efek
M lisinopril dan pioglitazone dan valsatran. Temuan
hipoglikemia
dengan
penelitian ini juga menunjukkan bahwa metformin
mekanisme
yang tidak
dengan lisinopril dan pioglitazone dengan valsatran
diketahui.
0 tidak 37 24.7
merupakan obat-obatan yang berinteraksi secara
terjadi
interak
unknown atu berinteraksi dengan mekanisme
si
Total 150 100
interaksi yang belum atau tidak diketahui.

Tabel 6. di atas menunjukkan bahwa dari 150 Tabel 7. Hasil Uji Chi-Square Hubungan
Polifarmasi denganPotensi Interkasi Obat
Resep yang diteliti, terdapat 100 resep (66,7%) yang p-
mengalami interaksi obat dan sisanya sebanyak 50 Potensi Total
Value
Polifarmasi
resep (33,3) tidak diketahui (unknown) interaksinya, Ya Tidak
bahkan tidak terjadi interaksi. Selanjutnya, dari 100
resep yang mengalami interaksi obat, sebanyak 91 Minor 3 34 37
Mayor 109 4 113 0.000
(60,7%) resep teridentifikasi memiliki jenis potensi
Total 112 38 150
interaksi farmakodinamika dengan tingkat
keparahan interaksi obat moderat. Sementara Tabel 7 di atas menunjukkan bahwa hasil
sisanya sebanyak 9 resep (6%) teridentifikasi tabulasi silang (crosstabs) menyatakan bahwa dari
memiliki jenis potensi interaksi farmakokinetika 113 resep yang dinyatakan memiliki derajat
dengan tingkat keparahan minor sampai moderat. polifarmasi mayor, sebanyak 109 berpotensi terjadi
Pengecekan mengenai potensi terjadinya interaksi interaksi obat dan sisanya sebanyak 4 resep
obat dalam penelitian ini dilakukan pada kombinasi dinyatakan tidak berpotensi terjadi interaksi obat.
2 obat yang kemungkinan diminum secara Sementara dari 37 resep yang memiliki derajat
bersamaan, yaitu: antara golongan obat OAD polifarmasi minor, didapatkan sebanyak 3 resep
dengan OAD, OAD dengan non-OAD serta obat berpotensi terjadi interaksi obat dan sebanyak 34
kombinasi non-OAD dengan non-OAD. Tabel 6 di resetidak berpotensi terjadi interaksi obat. Data ini
atas juga menginformasikan bahwa terapi obat yang juga dikuatkan oleh hasil analisis Chi-Square yang
sering berpotensi terjadi interaksi pada resep yang menunjukkan p-value sebesar 0,000 < 0,05. Artinya,
terdapat hubungan yang signifikan antara
diberikan oleh dokter pada pasien DM adalah obat
polifarmasi dengan potensi interaksi obat di salah
antihipoglikemia dengan obat antihipertensi. Pada
satu Instalasi Farmasi Klinik di Kabupaten Malang
penelitian ini kombinasi obat OAD dan non-OAD Jawa Timur
yaitu kombinasi metformin dan amlodipine
(farmakodinamika); kombinasi glimepiride dan Tabel 8. Hasil Uji Rank Spearman Hubungan
metformin (farmakodinamika); dan kombinasi Polifarmasi dengan Tingkat Keparahan
metformin dan acarbose (farmakokinetika). Interkasi Obat
Tingkat keparahan OI
Interaksi obat-obatan seacra farmakodinamika dapat
Polifa Koeisien P-
terjadi antara obat-obatan yang pada dasarnya rmasi Tidak
Ringan Sedang Berat
Total korelasi value
ada
bekerja di sistem reseptor, tempat kerja ataupun di
Minor 34 1 2 0 37
dalam sistem fisiologik sama. Ketika interaksi obat-
Mayor 3 25 84 1 113 0,756 0.000
obatan itu terjadi, maka akan melahirkan suatu efek Total 37 37 26 86 150
yang bsifatnya sinergistik, aditif atau bahkan
antagonistik tanpa mengalami suatu perubahan pada Tabel 8 di atas menunjukkan hasil tabulasi
kadar obat yang ada di dalam plasma (Utami, 2013). silang (crosstabs) antara variabel polifarmasi dan
Sementara interaksi obat-obatan secara tingkat keparahan interaksi obat di mana dari 37
farmakokinetik dapat terjadi apabila salah satu obat resep yang memiliki derajat polifarmasi minor,
yang dikonsumsi seseorang bisa mempengaruhi sebanyak 34 resep tidak memiliki tingkat keparahan
distribusi, absorpsi, metabolisme ataupun eksresi interaksi obat dan sisanya sebanyak 3 resep
4
memiliki tingkat keparahan pada ketegori ringan dan penyakit tersebut banyak memerlukan obat dalam
1 resep memiliki tingkat keparahan interaksi rangka untuk mencegah kejadian komplikasi atau
kategori sedang. Selanjutnya, dari 113 resep yang untuk mengobati komplikasi itu sendiri akibat dari
memiliki derajat polifarmasi pada ketegori mayor, penyakit itu. Oleh karena itu tidak heran apabila
sebanyak 3 resep tidak memiliki tingkat keparahan misalnya pasien DM cenderung menerima jenis obat
interaksi obat, sebanyak 25 resep memiliki tingkat dalam jumlah yang banyak (Setyaningsih et al.,
keparahan obat kategori ringan, sebanyak 86 resep 2022) Sehingga lebih banyak pasien diabetes
memiliki tingkat keparahan kategori sedang dan mengalami komplikasi dengan penyakit lain.
sebanyak 1 resep memiliki tingkat keparahan Potensi interaksi obat dikategorikan menjadi
interaksi obat pada kategori berat. Hal ini juga “Ya “ (terjadinya interaksi) dan “tidak” terjadinya
didukung oleh analisis Rank Spearman yang interaksi yang mana terdiri dari jenis interaksi yang
menunjukkan p-value sebesar 0,000 < 0,05. Artinya, terdiri dari jenis farmakodinamika, farmakokinetika
terdapat hubungan yang signifikan antara dan mekanisme yang tidak diketahui (Uknown).
polifarmasi dengan tingkat keparahan interaksi obat Pengecekan interaksi obat dilakukan dengan
di salah satu Instalasi Farmasi Klinik di Kabupaten menggunakan aplikasi sehingga tidak diketahui
Malang Jawa Timur Dengan demikian, maka secara aktual yang akan terjadi pada pasien yang
hipotesis yang sudah diajukan di awal juga mendapatkan obat antidiabetes. Pengecekan
dinyatakan diterima. Selanjutnya, didapatkan juga kemungkinan adanya interaksi obat berdasarkan
kekuatan korelasi yang kuat. Hal ini karena nilai cara penggunaan obat yang tertera didalam resep.
koefisien korelasi sebesar 0,756**. Nilai koefisien Data hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari
korelasi ini dinyatakan kuat karena berada di antara 150 resep obat, terdapat 113 resep (75,3%) yang
0.60 – 0.79 yang merupakan tolak ukur kekuatan dinyatakan mengalami potensi interaksi obat. Hal
korelasi pada kategori kuat. Tanda bintang dua itu terjadi pada banyak pasien DM yang telah
menunjukkan bahwa korelasi signifikan pada level menerima lebih dari 5 macam obat dalam satu resep
signifikansi 0,01. Artinya, jika pada level 0,01 saja yaitu disebut dengan polifarmasi mayor sebanyak
sudah dinyatakan signifikan, maka pada level 0,05 75,3%. Terjadinya potensi interaksi obat
tentu akan lebih signifikan. Kemudian apabila dilihat mengakibatkan tingkat keparahan yang
dari arah korelasi, maka korelasi dua variabel dikelompoknya menjadi tiga kelompok yaitu
dinyatakan searah. Hal ini karena nilai koefisien tingkat keparahan ringan (minor), sedang (moderat)
korelasi bernilai positif. Konsekuensinya, jika dan berat (mayor). Berdasarkan penelitian yang
derajat polifarmasi semakin meningkat, maka dilakukan didapatkan lebih dominan tingkat
tingkat keparahan interaksi obat juga akan semakin keparahan sedang atau moderat sebanyak 86 (57,3),
meningkat. Demikian juga sebaliknya. dibandingkan dengan tingkat keparahan ringan dan
berat. Tingkat keparahan interaksi ringan (minor)
PEMBAHASAN umumnya ditemukan terjadi pada lembar resep
Distribusi Derajat Polifarmasi Potensi, Jenis Dan sehingga tidak terjadinya perubahan regimen terapi
Tingkat Keparahan Interaksi Obat dan dapat dilakukan penanganan terapi seperti
Jumlah resep yang dilakukan pada penelitian memberikan penjedahan waktu minum obat dan
ini sejumlah 150 resep. Pengambilan resep obat anamudapun terjadinya interaksi pada tahap
dilakukan di salah satu Instalasi Farmasi Klinik di absorpsi, pada tingkat keparahan sedang (moderat)
Kabupaten Malang Jawa Timur didapatkan dominan memerluhkan perhatian khsusu karena lebih banyak
polifarmasi mayor yang terdiri dari 5-9 jenis obat terjadi pada efek samping obat pada pasien
dalam satu resep sebanyak 113 resep (75,3%) khsusunya pada pasien anak-anak serta pasien yang
dibandingkan dengan derajat polifarmasi minor lanjut usia (Reyaan, Kuning and Adnyana, 2021).
sebanyak 37 resep (24,7%). Beberapa penelitian Handayani (2015) dalam penelitiannya menguatkan
yang dilakukan sebelumnya telah membuktikan temuan penelitian ini di mana hasil penelitian
bahwa adanya potensi suatu interaksi pada obat bisa tersebut menyatakan bahwa dari 310 resep obat
meningkat pada saat pasien mengkonsumsi atau yang diteliti, didapatkan sebanyak 204 resep atau
menerima jumlah obat yang lebih banyak dari yang 65,80% yang ber-potensi mengalami interaksi obat
diperluhkan atau biasa disebut dengan polifarmasi. di mana potensi interaksi yang ditunjukkan terjadi
Polifarmasi merupakan penggunaan obat pada resep obat dengan penerimaan resep obat >5
dengan jumlah yang pada dasarnya tidak dibutuhkan macam-obat. Hal ini juga dikuatkan oleh temuan
atau pada dasarnya tidak diperlukan. Polifarmasi Mega Utami (2013) dalam penelitiannya yang
juga dapat memberikan efek atau risiko terjadinya menyatakan bahwa dari 1435 lembar resep yang
potensi interaksi obat dengan obat yang dapat diteliti, didapatkan sebanyak 62,16% resep
menyebabkan outcame terapi obat menurun. Hal ini antidiabetik oral mengalami insteraksi obat dan
sebenarnya hendak mengatakan bahwa pada sebanyak 37,84% resep tidak mengalami interaksi.
dasarnya potensi terjadinya interaksi obat dapat Berdasarkan data tersebut, didapatkan juga
meningkat pada saat pasien memperoleh atau informasi bahwa sebanyak 45,16% resep yang
menerima resep yang berjumlah yang lebih dari yang mengalami interaksi obat telah menerima lebih dari
diperlukan (polifarmasi). Penyakit DM adalah salah atau sama dengan (≥) 5 macam obat di dalam 1
satu penyakit dalam ketegori degeneratif di mana lembar resep. Sementara sebanyak 17% resep obat
yang mengalami interaksi, telah dinyatakan
5
menerima kurang dari (<) 5 macam obat. Namun manejemn terapi hiperglikemia serta sebagai line
pada penelitian (Daniel, 2020) menunjukan bahwa pertama pada pasien yang berdiagnosis DM tipe 2
polifarmasi minor lebih banyak 213 (53,3%) resep dalam terapi tunggal atau pada pasien yang
dibandingkan dengan polifarmasi mayor 76 (19%). mengalami kegagalan dalam mengubah ataupun
mengatur gaya hidup dan kegagalan dalam
Obat yang Mengalami Potensi dan Tingkat mengontrol kadar gula darahnya. Berdasarkan
Keparahan Interaksi obat dalam Lembar resep penelitian Irons (2013) obat metformin lebih
Sebaran obat yang ditemukan dalam resep digunakan karena efektivitas reduksi Hb AIC, tidak
obat antidiabetes mellitus yang ditemukan di salah mengakibatkan hipoglikemia serta kemamuan yang
satu Instalasi Farmasi Klinik di Kabupaten Malang dapat dikombinasikan dengan obat OAD lainya
Jawa Timur didapatkan total keseluhan obat baik untuk memberiakn efek terapi yang baik pada pasien
obat antidiabetes mellitus, antihipertensi, diabetes mellitus. Depkes (2005) menyatakan bahwa
antihiperlipedimia serta penyakit penyerta yang efek yang dikandung oleh obat pada golongan
lainya. Obat yang di dapatkan pada resep tersebut sulfonilurea dan biguanide adalah sensitivitas
dituliskan oleh dokter berdasarkan keluhan pada reseptor insulin. Oleh karena itu, ketika ketika
pasien serta diagnosis yang mendukung sehingga keduanya dikobinasikan, maka akan salling
pada pasien diberikan obat tersebut. Penelitian yang menunang satu sama lain. Jika obat pada olongan
dilakukan pada lembar resep obat antidiabetes sulfonilurea akan memberikan rangsangan sekresi
mellitus yang dimana pada resep tersebut banyak pankreas di mana hal itu akan memberi kesempatan
mengandung obat- obat golongan antidiabetes untuk senyawa-senyawa yang ada di dalam golongan
mellitus, pada sebaran data yang ditemukan dalam obat biguanide untuk bekerja secara efektif.
resep pasien DM didapatkan bahwa lebih banyak Pengalaman pemberian kombinasi dua golongan
pasien menerima obat glimepiride sebanyak 117 obat tersebut telah menunjukkan efektifitasnya pada
resep (15,9%) dan metformin 112 resep (15,3%). banyak penderita atau pasien yang mengalami
Glimepiride merupakan salah satu golongan diabetes. Sementara apabila dua golongan obat
sulfonylurea generasi kedua dengan mekanisme tersebut hanya diberikan secara sendiri-sendiri
merangsang sel pankreas yang berfungsi untuk (bukan kombinasi), pengalaman juga menunjukkan
memproduksi lebih banyak insulin serta membantu ketidakefektifannya.
untuk dapat merespon insulin, serta pada obat Pada penelitian ini salah satu contoh potensi
tersebut jarang memberikan efek samping berupa interaksi obat pada kelas terapi yang sama
hipoglikemia yang merupakante salah satu efek umumnya ditemukan interaksi obat secara
samping dari pasien diabetes mellitus. Obat farmakodinamika obat tersebut adalah metformin
glimepiride juga memiliki waktu mula kerja yang dan glimepiride, sedangkan pada kelas terapi yang
pendek dan lama, sehingga umumnya diberikan pada berbeda pada kombinasi metformin dan
penggunaan obat tersebut dengan dosis tunggal yang amlodipine, glimepiride dan lisinopril, valsartan
tejadi pada pasien yang memiliki lanjut usia, pada dan spironolaktan, metformin dan spironoloktan
penelitian ini pasien diabetes mellitus lebih cendrung serta glimepiride dan bisoprolol. Pemberian
mendapatkan resep obat glimepiride dibandingkan bersamaan obat metformin dan glimepiride dapat
dengan obat lain yang memiliki satu golongan meningkatkan hipoglikemia. Alasan pemberian
sehingga memungkinkan pasien tersebut mengalami obat tidak secara bersamaan karena efek samping
komplikaso pada gangguan ginjal yang disebabkan dari metformin adalah hipoglikemia. Pemberian
oleh diabetes mellitus (Handayani Khalida, 2015). obat gimepiride dan metformin secara bersamaan
Selain obat glimepiride obat metformin juga lebih akibatnya dihindari untuk mengurangi interaksi
banyak diresepkan pada peresepan obat yang terjadi obat antara metformin dan glimepiride agar
pada penelitian ini, metformin merupakan golongan meminimbalnya kasus ada jeda waktu yang cukup.
biguanid yang sering diberikan pada pasien diabetes Perlu dilakukan pemantauan gula darah yang sering
mellitus dengan berat badan yang berlebihan, akan dan pada pasien diberikan informasi mengenai
tetapi pada penelitian ini tidak secara detail potensi gejalah-gejalah terjadinya hipoglikemia
menggunakan obat metformin dengan pasien yang misalnya seperti sakit kepala, pusing, mengantuk,
kelebihan berat bandan. Handayani (2015) dalam lemas, lesuh, lapar dan berkeringat (Drug.com,
penelitiannya menunjukkan bahwa golongan obat 2020).
biguanid masih banyak digunakan di beberapa Handayani (2015) menyatakan bahwa pada
negara, termasuk Indonesia sendiri, sebagai terapi dasarnya potensi terjadinya interaksi obat secara
obat untuk penyakit hipoglikemia. Menurutnya, farmakodinamika lebih banyak terjadi pada level
alasan penggunaan golongan obat tersebut sebagai reseptor, pada sistem fisiologis ataupun pada tempat
terapi hipoglekemia, karena frekuensi asidosis laktat kerja yang sama di mana pada akhirnya akan
pada obat metformin cukup sedikit, asalkan dosis memberikan efek berlebihan (aditif), efek saling
yang digunakan tidak boleh > 1700 mg per-hari dan memperkuat (sinergis) atau efek yang berlawanan
sedang tidak terjadi gangguan fungsi ginjal pada (antagonistik). Adapun contoh dari obat yang
pasien yang menerima obat tersebut. Metformin berinteraksi secara farmakodinamika-antagonistik
merupakan obat line pertama terapi tunggal yang adalah kombinasi amlodipine dan metformin. Jika
terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2 kombinasi dua obat tersebut diberikan pada pasien,
berdasarkan Dipiro pada tahun 2009 di dalam maka amlodipine akan bisa mengurangi efek yang
6
ditimbulkan oleh metformin. Oleh karena itu, nya belum secara pasti diketahui. Oleh karena itu,
monitoring perlu dilakukan untuk senantiasa perlu dilakukan pemantauan secara berkala dan
mengecek kadar glukosa darah pasien. Selain itu, sering pada kadar gula darah, agar penggunaan
perlu dilakukan juga penginformasian terkait kedua obat tersebut bisa aman (Medscape, 2020).
dengan gejala yang bisa saja dialami oleh pasien, resiko hipoglikemia bisa tibul karena adanya
yaitu hipoglikemia (Medscape, 2019). interaksi antara obat lisinopril dengan metformin.
Jenis Interaksi obat secara farmakokinetika Resiko tersebut tentu sangat mengkhawatirkan,
pada penelitian ini pada kelas terapi yang sama karena penyakit diabetes mellitus sendiri pada
terjadi pada obat glimepiride dan acarbose. Ketika dasarnya penyakit kronis. Karena itu, penggunaan
diberikan bersamaan kemungkinan memiliki onset kedua obat tersebut harus senantiasa dimonitoring,
kerja yang tertunda dan penurunan bioavailabilitas tujuannya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
atau proses metabolisme. Penelitian ini sesuai diinginkan atau agar tidak terjadi sesuatu yang
dengan penelitian Handayani (2015) yang merugikan pasien. Menurut Rahman and Octavia
menunjukkan jenis interaksi farmakokinetika yang (2019), resiko yang tidak diinginkan tersebut
paling banyak terjadi pada obat metformin dengan sebenarnya bisa dicegah dengan mengatur
acarbose. Hal ini menunjukkan bahwa acarbose dosisnya. Mengatur dosis maksudnya adalah
yang bekerja dengan menghambat penyerapan memperkecil dosis dari kedua obat yang digunakan
metformin yang ada di dalam usus pada akhisnya tersebut, baik lisinopril atupun metformin. Selain
akan bisa menurunkan kadar plasma metformin itu, kadar gula darah dari pasien perlu dipantau
yang ada di dalam dara. Temuan penelitian dengan rutin dan teratur serta penggunaan obat
sebagaimana ditunjukkan di dalam Drug tersebut juga perlu diberikan jarak. Hal lain yang
Interactions Stockley’s (2008) menyebutkan bahwa tak kalah pentingnya adalah perlunya monitoring
ketika 19 pasien yang mengnalami diabetes mellitus tetang tanda-tanda terjadinya asidosis laktat dan
diberikan obat acarbose 50 atau 100 mg dengan hipoglikemia (Medscape, 2020). Jika kesemua itu
frekuensi sebanyak tiga kali dalam sehari dan dilakukan, maka kemungkinan resiko yang sudah
diberikan obat metformin 500 mg dengan frekuensi disebut akan bisa diminimalisir, bahkan bisa diatasi
sebanyak dua kali di dalam sehari, ternyata secara dengan baik.
keseluruhan dinyatakan mengalami penurunan Selanjutnya klafisikasi tingkat keparahan
Area Under the Curve (AUC) sebanyak 12% interaksi obat, antara lain: minor (artinya tingkat
sampai 13% dan penurunan kadar plasma keparahan ringan di mana interaksi bisa diatasi
metformin sebanyak 17% sampai 20% (Handayani, secara baik), moderat (artinya tingkat keparahan
2015). Rahman and Octavia (2019) menyatakan interaksi sedang di mana interaksi tersebut bisa
bahwa acarbose pada dasaarnya merupakan obat menimbulkan kerusakan pada organ), dan mayor
antidiabetik oral yang termasuk pada golongan obat (artinya tingkat keparahan interaksi berat yang
alpha-glukosidase inhibitor. Golongan obat dapat memberikan efek fatal seperti dapat
tersebut merupakan golongan obat yang mampu menyebabkan kematian) (Setyaningsih et al.,
menghambat enzim alfa glukosidase di mana 2022). Penelitian ini menunjukkan hasil tingkat
letkanya ada pada dinding usus halus manusia. keparahan interaksi obat lebih dominan pada
Selanjutnya, jika kombinasi acarbose dengan tingkat keparahan interaksi moderat. Secara teoritis,
metformin diberikan dalam satu resep, maka tingkat keparahan interaksi moderat ini memiliki
efeknya efek interaksinya adalah bahwa obat arti bahwa efek yang ditimbulkan dari interaksi obat
acarbose akan bisa atau mampu menurunkan kadar tersebut bisa memperburuk kondisi pasien seperti
AUC metformin. Persentase kadar metformin di kerusaan pada organ, Oleh karena itu, pertibangan
dalam dara yang diturunkan oleh acarbose cukup tentang penggunaan alternatif obat lain yang tidak
signifikan, yaitu sebesar 35%. Jika hal itu yang berinteraksi satu sama lain perlu dilakukan (Poluan,
terjadi, maka dampaknya pada mekanisme interaksi Wiyono and Yamlean, 2020). Tingkat keparahan
farmakokinetika. Hal itu karena ada keterlambatan kategori minor memiliki efek ringan dan tidak
serapan kadar metformin di dalam usus yang terjadi signifikan sehingga berpotensi kecil untuk
secara singkat. Menurut (Rahman and Octavia mempengaruhi hasil terapetik dan dapat diatasi
(2019), obat acarbose befungsi untuk mengurangi dengan baik tanpa harus adanyanya pengobatan
bioavailabilitas metformin, menghambat alpha- tambahan sedangkan untuk kategori major
glukosidase, dan mengurangi konsentrasi puncak merupakan tingkat keparahan yang berat sehingga
plasma metformin rata-rata. Hanya saja, yang perlu perlu adanya pertimbangan khusus.
diketahui adalah bahwa durasi atau waktu untuk Interaksi obat yang mengalami keparahan
mencapai konsentrasi puncak tersebut tidaklah moderat yang terjadi pada pada penelitian ini
mengalami perubahan. contohnya metformin dengan amlodipine yang
Pada penelitian ini salah satu jenis potensi mana obat amlodipine dapat mengurangi efek dari
interaksi obat yang tidak diketahui (unknown) metformin melalui mekanisme antagonisme secara
adalah metformin dan lisinopril. Penggunaan farmakodamika, dan menyebabkan kadar gula
lisinopril bersamaan dengan metformin dapat darah sangat rendah atau hipoglikemia. Pasien
meningkatkan toksisitas metformin dengan harus diamati secara cermat karena kehilangan
meningkatkan resiko hipoglikemia atau dapat kontrol glukosa dalam darah sehingga perlu
menurunkan kadar gula darah di mana mekanisme- monitoring kadar gula darah secara sering
7
(Medscape, 2020) selain itu, perlu pemberian obat menyatakan ada hubungan signifikan antara jumlah
secara berjarak dengan cara mengatur cara obat (polifarmasi) yang ada di dalam satu resep obat
penggunaan obat. Metformin dengan amlodipine antidiabetik oral dengan kejadian interaksi obat di
jika diberikan secara bersamaan akan terjadi mana hal itu ditunjukkan oleh p-value < 0,05.
hipoglikemia, sehingga perlu dilakukan eduasi atau Namun pada penelitian Milinia (2021) yang
KIE berdasarkan resep yang tertera. Hal ini dilakukan di RSI Siti Khadijah Palembang tidak
diperkuat oleh analisis penelitian Nafila (2021) menunjukkan temuan serupa di mana hasilnya
yang menyatakan bahwa kualitas pengobatan menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang
pasien bisa ditingkatkan dengan cara meminimalisir signfikan antara polifarmasi dan potensi kejadian
resep obat yang bisa mengalami interaksi. Salah interaksi obat yang ditunjukkan oleh p-value 0,318
satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan > 0,05 dengan korelasi koefisien sebesar -0,175.
pemberian jarak waktu minum obat, penyesuaian
dosis atau mengurangi dosis, pengganian salah satu Hubungan Polifarmasi dengan Tingkat
obat dengan potensi terjadi interaksi moderat Keparahan Interaksi Obat
dengan obat lain yang tidak memiliki potensi Berdasarkan hasil uji spearman antara
interaksi. Hanya saja, pergantian obat tersebut perlu polifarmasi dengan tingkat keparahan interaksi obat
dikonsultasikan dengan dokter yang menangani di salah satu Instalasi Farmasi Klinik di Kabupaten
pasien terkait (Arizka, 2021). Menurut Rahmiati Malang Jawa Timur diperoleh bahwa terdapat
and Supadmi (2012), ada sejumlah alternatif hubungan yang signifikan dengan ditujukkan nilai p-
tentang penatalaksanaan potensi interaksi obat, value sebesar 0,000< 0,05 didukung dengan nilai
antara lain dengan cara menghindari kombinasi hasil uji korelasi sebesar 0,756. Hal ini
obat (hal ini bisa dilakukan dengan cara mengganti menunjukkan bahwa hubungan antara polifarmasi
obat yang berinteaksi dengan obat yang tidak dengan tingkat keparahan interaksi kuat, dikatakan
berinteraksi) dan meneruskan pengobatan kuat karena nilai korelasi yang didapatkan berada di
sebagaimana telah dilakukan sebelumnya dengan antara 0,60 – 0,79 yang merupakan tolak ukur dari
catatan bahwa kondisi klinis pasien harus nilai korelasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa
senantiasa dipantau. Melanjutkan pengobatan semakin banyak terjadinya polifarmasi atau semakin
sebagaimana sebelumnya tersebut dilakukan, jika banyak pasien diabetes mellitus menerima resep
penggunaan kombinasi obat yang berinteraksi dalam jumlah banyak atau polifarmasi, maka tangka
dirasa optimal untuk meningkatkan kondisi keparahan interaksi obat juga semakin meningkat
kesehatan pasien atau jika interaksi yang ada pada yang dibuktikan dengan hasil uji arah korelasi
dasarnya tidak bermakna secara klinis. bernilai positif atau searah dari kedua variabel
tersebut. Pada dasarnya, peresepan obat dalam
Hubungan Antara Polifarmasi dengan Potensi jumlah yang banyak (polifarmasi) yang dapat
Interaksi Obat mengakibatkan serta menimbulkan potensi dan
Hasil analisis dengan uji Chi-Square antara tingkat keparahan interaksi obat secara langsung
polifarmasi dengan potensi interaksi obat diperoleh tidak akan mengakibatkan dan merugikan serta
hasil yang menyatakan bahwa terdapat hubungan memmberikan efek samping pada pasien dengan
(signifikan) antara kedua variabel yang ditunjukkan catatan agar dilakukan monitoring dan kontrol
dengan p-value 0,000 < 0,05). Penelitian ini sejalan secara berkala dan rutin tehadap penggunaannya dan
dengan penelitian Nafila (Arizka, 2021) yang pengaturan jarak tentang penggunaannya secara
menunjukkan juga tentang adanya hubungan tepat.
signifikan antara polifarmasi dengan kejadian Temuan penelitian ini juga didukung oleh
interaksi obat (p-value 0,000 < 0,005) dan juga ada penelitian Daniel (2020) yang menjelaskan bahwa
hubungan signifikan antara polifarmasi dengan terdapat hubungan antara derajat polifarmasi dengan
potensi interaksi obat (p-value 0,000 < 0,005). tingkat keparahan interaksi obat dengan nilai r-
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, polifarmasi hitung = 0.569 dan p-value < 0.001. Hal ini juga
mayor lebih banyak mengalami potensi interaksi sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
obat. Alasannya karena semakin banyak jumlah Rizkifani, Angelica and Nurmainah (2019) yang
resep obat yang diberikan pada pasien, maka menunjukkan temuan bahwa terdapat hubungan
kemungkinan terjadinya potensi interaksi obat yang signifikan dengan nilai korelasi koefisien yang
dengan obat lainnya akan semakin besar. Namun, positif. Demikian juga dengan penelitian yang
pasien yang menerima obat dalam jumlah banyak dilakukan oleh Rahmawaty and Pratiwi (2022)
cendrung memiliki komplikasi penyakit, sehingga dengan menggunakan uji Rank Spearman di mana
agar tidak terjadi potensi interaksi obat pada pasien, didapatkan hasil yang menyatakan ada hubungan
maka diberikan edukasi tentang bagaimana cara yang signfikan antara jumlah peresepan obat dengan
penggunaan obat serta waktu penggunaan obat. tingkat keparahan interaksi obat dengan dibuktikan
Penelitian Lamtiar dkk (2019) kejadiaan oleh p-value sebesar 0,000 < 0,05 dengan tingkat
interaksi obat-obat meningkatkan dengan keeratan -0,671 yang hubungan kedua variabel kuat,
penggunaan banyak obat yang salah satu faktornya namun tidak searah.
adalah penggunaan obat yang banyak dikonsumsi
(parulion dkk, 2019). Penelitian yang dilakukan KESIMPULAN
Mega (2013) juga menunjukkan temuan yang Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditarik
8
kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang Journal of Pharmacy and Natural Product,
signifikan antara polifarmasi dengan potensi 2(2), pp. 79–86.
interaksi obat dengan p-value sebesar 0,000 < 0,05 doi:10.35473/ijpnp.v2i2.280.
dan terdapat hubungan yang signifikan antara 9. Poluan, O.A., Wiyono, W.I. and Yamlean,
polifarmasi dengan tingkat keparahan interaksi obat P.V.Y. (2020) ‘Identifikasi Potensi
dengan p-value sebesar 0,000 < 0,05 dengan nilai Interaksi Obat Pada Pasien Diabetes
korelasi 0,756 di mana hal itu menunjukkan arah Melitus Tipe 2 Rawat Inap Di Rumah Sakit
hubungan yang kuat. Gunung Maria Tomohon Periode Januari –
Mei 2018’, Pharmacon, 9(1), p. 38.
SARAN doi:10.35799/pha.9.2020.27408.
Penelitian lanjutan hendaknya melakukan 10. Rahman, H. and Octavia, teresia A. (2019)
penelitian dengan metode prospektif sehingga dapat ‘Study of Metformin Interaction in Mellitus
diketahui efek yang timbul akibat interaksi obat Diabetes Patients’, Jurnal Farmasetis, 8(2),
secara aktual. pp. 55–58.
11. Rahmawaty, A. and Pratiwi, Y. (2022)
UCAPAN TERIMA KASIH ‘Kajian Drug Related Problems ( DRPs )
Terima kasih disampaikan kepada IOM FK Interaksi Obat Dalam Peresepan
Unisma, ibu Faiqoh Hikmah, Apt selaku Apoteker Polifarmasi Pada Pasien Prolanis Di
penanggung jawab dan apoteker pendamping serta Fasilitas Kesehatan Dasar Dokter X
asisten apoteker di salah satu Instalasi Farmasi Kabupaten Kudus’, Cendekia Journal of
Klinik di Kabupaten Malang Jawa Timur, yang telah Pharmacy, 6(1), pp. 13–25.
membantu untuk melancarkan penelitian ini. 12. Rahmiati, S. and Supadmi, W. (2012)
‘Kajian Interaksi Obat Antihipertensi Pada
DAFTAR PUSTAKA Pasien Hemodialisis Di Bangsal Rawat
1. Anggoro, D.A. and Novitaningrum, D. Inap Rsu Pku Muhammadiyah Yogyakarta
(2021) ‘Comparison of accuracy level of Periode Tahun 2010’, Pharmaciana, 2(1),
support vector machine (SVM) and pp. 97–110.
artificial neural network (ANN) algorithms doi:10.12928/pharmaciana.v2i1.658.
in predicting diabetes mellitus disease’, 13. Reyaan, I.B.M., Kuning, C. and Adnyana,
ICIC Express Letters, 15(1), pp. 9–18. I.K. (2021) ‘Studi Potensi Interaksi Obat
doi:10.24507/icicel.15.01.9. pada Resep Polifarmasi di Dua Apotek
2. Ariani, N. and Prihandiwati, E. (2021) Kota Bandung’, JURNAL MANAJEMEN
‘Evaluasi Potensi Interaksi Obat DAN PELAYANAN FARMASI (Journal of
Antidiabetika Oral Di Apotek Perintis Management and Pharmacy Practice),
Kuripan Banjarmasin’, Jurnal Insan 11(3), p. 145. doi:10.22146/jmpf.56931.
Farmasi Indonesia, 4(2), pp. 2–3. 14. Rizkifani, S., Angelica, F. and Nurmainah
doi:10.36387/jifi.v4i2.821. (2019) ‘Studi Karakteristik Peresepan Obat
3. Arizka, N. (2021) Hubungan polifarmasi Antidiabetik Oral di Apotek Kota
dengan interaksi obat pada pasien Pontianak’, (3), pp. 11–15. Available at:
skizofrenia di apotek bima skripsi. https://jurnal.untan.ac.id/index.php/jmfarm
4. Barliana, M.I., Sari, D.R. and Faturrahman, asi/article/viewFile/48960/75676590392.
M. (2013) ‘Analisis Potensi Interaksi Obat 15. Setyaningsih, I. et al. (2022) ‘Analisis
dan Manifestasi Klinik Resep Anak di Interaksi Obat Potensial pada analysis of
Apotek Bandung’, Jurnal Farmasi Klinik potential drug interactions in
Indonesia, 2(3), pp. 121–126. cardiovascular patient prescription in
5. Daniel, M. (2020) ‘Analisis Interaksi Obat polyclinic of disease in majalengka
Peresepan Polifarmasi Pada Pasien Instalasi hospital’, 3(1), pp. 21–28.
Rawat Jalan Di Rumah Sakit Umum Pusat 16. Suryanita, M.A. (2020) ‘Pola Peresepan
Haji Adam Malik 2019’, p. 35. Obat Antidiabetes Mellitustipe II pada
6. Handayani Khalida, 2015 (2015) ‘Analisis Pasien Geriatri’, Journal of
Potensi Interaksi Obat Diabetes Pharmaceutical Science and Herbal
MelitusPada Resep Obat Pasien rawat Jalan Tecnology, 5(1), pp. 23–27. Available at:
di RSAL Dr. Mintohardjo’, Skripsi, (April), http://jurnal.stikesnh.ac.id/index.php/jpsht/
pp. 1–84. article/view/332.
7. Kusuma, Y.I. and Nawangsari, D. (2020) 17. Utami, M.G. (2013) ‘Analisis Potensi
‘Identifikasi Potensi Drug Interaction Pada Interaksi Obat Antidiabetik Oral Pada
Pasien Stroke Di RSUD Margono Soekarjo Pasien di instalasi rawat jalan askes rumah
Purwokerto’, 2(2), pp. 55–56. sakit dokter soedarso pontianak periode
8. parulion dkk, 2019 (2019) ‘Analisis januari- maret 2013’, p. 11.
Hubungan Polifarmasi Dan Interaksi Obat 18. Stockley,IvanSweetman,Karen Baxter
Pada Pasien Rawat Jalan Yang Mendapat Stockley’s Drug Interactions 8th Edition.
Obat Hipertensi Di Rsp. Dr. Ario Wirawan London: Pharmaceutical Press (2008).
Periode Januari-Maret 2019’, Indonesian 19. Medscape.(2020).Drug Interaction
9
Checker(Online).https://reference.medsca
pe.com/druginteractionchecker.Diakses
tanggal 27 Agustus (2020).
20. Omudhome Ogbru P. (2018). Drug
Interactions. https://www.rxlist.com/drug-
interactionchecker.htm.Accessed
March17, 2018).
21. Medscape, 2019, DrugInteraction
Checker(Online),http://reference.medscap
e.com/drug- interactionchecker diakses
pada 3 Agustus 2019

10

Anda mungkin juga menyukai