Bbf20 Modul Pengembangan Budaya Anti Korupsi Final
Bbf20 Modul Pengembangan Budaya Anti Korupsi Final
Jl. Sapta Taruna Raya No. 26 Kompleks PUPR Pasar Jumat, Jakarta Selatan
Telepon: (021) 7511875
Judul Modul:
PEMBANGUNAN BUDAYA ANTI KORUPSI
Penulis Modul:
1. R. Agoeng Triadi, S.T., M.Eng.Sc.
2. Benni Mustofa, S.Pd., M.Pd.
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya Modul
Pembangunan Budaya Anti Korupsi sebagai materi substansi dalam pelatihan-pelatihan yang
diselenggarakan di BPSDM Kementerian PUPR. Modul ini disusun untuk memenuhi kebutuhan
ASN agar dapat menguasai kompetensi anti korupsi dalam pelaksanaan bidang tugasnya.
Modul Pembangunan Budaya Anti Korupsi disusun dalam 5 (lima) bab yang terbagi atas
Pendahuluan, Materi Pokok dan Penutup. Penyusunan modul yang sistematis diharapkan
mampu mempermudah peserta pelatihan dalam memahami korupsi, gratifikasi, dan
pembangunan budaya anti korupsi. Penekanan orientasi pembelajaran pada modul ini lebih
menonjolkan partisipasi aktif dari para peserta.
Akhirnya, ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada Tim Penyusun
dan Narasumber sehingga modul ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyempurnaan maupun
perubahan modul di masa mendatang senantiasa terbuka dan dimungkinkan mengingat akan
perkembangan situasi, kebijakan dan peraturan yang terus menerus terjadi. Semoga Modul ini
dapat memberikan manfaat bagi peningkatan pemahaman ASN dalam penguasaan kompetensi
anti korupsi sesuai bidang tugasnya.
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB IV INTEGRITAS DAN BUDAYA ANTI KORUPSI ................................................... 65
A. PENGERTIAN INTEGRITAS ........................................................................................... 65
B. CORE VALUES INSAN PUPR ......................................................................................... 70
C. PEMBANGUNAN BUDAYA ANTI KORUPSI ................................................................... 75
D. LATIHAN ...................................................................................................................... 88
E. RANGKUMAN .............................................................................................................. 88
F. EVALUASI ..................................................................................................................... 88
GLOSARIUM .......................................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 93
v
DAFTAR INFORMASI VISUAL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
vi
PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL
DESKRIPSI
Pembangunan Budaya Anti Korupsi merupakan salah satu mata pelatihan yang diberikan
pada pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya
Manusia Kementerian PUPR. Modul ini menjabarkan secara detail dan informatif mengenai
korupsi, gratifikasi, dan pembangunan budaya anti korupsi. Pemahaman setiap materi pada
modul tersebut diperlukan oleh setiap ASN dalam menerapkan perilaku anti korupsi dalam
kesehariannya, serta dalam mewujudkan budaya anti korupsi pada kegiatan pembangunan
infrasruktur di Kementerian PUPR. Setiap kegiatan belajar dilengkapi dengan latihan dan/atau
evaluasi yang menjadi alat ukur tingkat penguasaan peserta pelatihan setelah mempelajari
materi dalam modul ini.
PERSYARATAN
1. Bacalah dengan cermat bagian pendahuluan ini, sampai anda mempunyai gambaran
kompetensi yang harus dicapai, dan ruang lingkup modul ini.
2. Baca dengan cermat bagian demi bagian, dan tandailah konsep/informasi pentingnya.
3. Segeralah membuat rangkuman tentang hal-hal esensial yang terkandung dalam modul.
vii
5. Untuk memperluas wawasan anda, bacalah sumber-sumber lain yang relevan baik berupa
kebijakan maupun subtansi bahan ajar dari media cetak maupun dari media elektronik.
6. Untuk mengetahui sampai sejauh mana pemahaman anda tentang isi modul ini, cobalah
untuk menjawab soal-soal latihan secara mandiri.
7. Apabila ada hal-hal yang kurang dipahami, diskusikanlah dengan teman sejawat atau
dicatat untuk bahan diskusi pada saat tutorial.
8. Peserta membaca dengan seksama setiap sub materi pokok dan bandingkan dengan
pengalaman anda yang alami di lapangan atau ditempat kerja.
9. Jawablah pertanyaan dan latihan, apabila belum dapat menjawab dengan sempurna,
hendaknya anda latihan mengulang kembali materi yang belum dikuasai.
10. Buatlah rangkuman, buatlah latihan dan diskusikan dengan sesama peserta untuk
memperdalam materi.
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Jasa konstruksi, yang menghasilkan produk akhir berupa bangunan baik dalam bentuk
sarana dan prasarana, memiliki peranan penting dan strategis dalam mendukung
pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang kehidupan, seperti ekonomi, sosial, dan
budaya. Mengingat pentingnya peranan jasa konstruksi tersebut terutama dalam rangka
mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas, dibutuhkan suatu pengaturan
penyelenggaraan jasa konstruksi yang terencana, terarah, terpadu serta menyeluruh.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memiliki tugas utama untuk
membangun infrastruktur di Indonesia. Dalam pelaksanaan tugasnya, Kementerian PUPR
didukung oleh ASN yang bertindak sebagai ujung tombak pelaksana kegiatan dimaksud.
Dalam hal ini, para ASN PUPR perlu dibekali dengan kompetensi integritas yang memastikan
1
bahwa pembangunan infrastruktur dilaksanakan bebas dari korupsi. Dengan dimilikinya
kompetensi ini oleh ASN PUPR, diharapkan Kementerian PUPR dapat menerapkan budaya
anti korupsi berlandaskan pada core values BerAKHLAK dan corporate culture iProVe.
B. DESKRIPSI SINGKAT
Modul ini berjudul Pembangunan Budaya Anti Korupsi dan merupakan bagian materi
dari pelatihan-pelatihan di BPSDM Kementerian PUPR. Materi yang disampaikan dalam
modul ini dimaksudkan sebagai acuan dalam penyampaian pemahaman tentang korupsi
yang diberikan di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Secara
garis besar, modul ini menjelaskan berbagai hal seputar korupsi, gratifikasi, serta bagaimana
pelaksanaan pembangunan budaya anti korupsi yang dilakukan di Kementerian PUPR.
Modul ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari kurikulum berbagai pelatihan yang
ada di Kementerian PUPR. Kedudukan modul berada dalam kurikulum setiap pelatihan
manajerial dan pelatihan teknis yang diselenggarakan sebagai berikut:
D. TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Hasil Belajar
2
2. Indikator Hasil Belajar
1. Korupsi
Sub materi pokoknya mencakup pengertian dan penyebab korupsi, bahaya dan dampak
korupsi, strategi pemberantasan korupsi, latihan, rangkuman, dan evaluasi.
2. Gratifikasi
Sub materi pokoknya mencakup pengertian dan jenis gratifikasi, perlakuan terhadap
gratifikasi, pengendalian gratifikasi, mekanisme pelaporan gratifikasi, latihan,
rangkuman, dan evaluasi.
Sub materi pokoknya mencakup pengertian integritas, integritas dalam core values
insan PUPR, pembangunan budaya anti korupsi, latihan, rangkuman, dan evaluasi.
3
BAB II
KORUPSI
I. Pengertian Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus. Corruptio memiliki arti
beragam yakni tindakan merusak atau menghancurkan. Corruptio juga diartikan kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Kata corruptio kemudian
diadopsi dalam bahasa Inggris menjadi kata corruption atau dalam bahasa Belanda menjadi
corruptie. Kata corruptie dalam bahasa Belanda masuk ke dalam perbendaharaan Bahasa
Indonesia menjadi korupsi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan
sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Definisi lain dari korupsi disampaikan
oleh World Bank pada tahun 2000, yaitu penyalahgunaan kekuasaan publik untuk
keuntungan pribadi. Definisi World Bank ini selanjutnya menjadi standar internasional dalam
merumuskan arti dari korupsi.
Definisi korupsi telah dijelaskan dalam 13 pasal yang terkandung dalam Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Selain undang-undang tersebut,
terdapat peraturan=peraturan lain yang terkait dengan korupsi, antara lain:
1. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam pemberantasan korupsi.
2. Undang-Undang nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan
bebas dari Korupsi, kolusi dan Nepotisme.
4
4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
8. Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pelaporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara yang Wajib dilaporkan secara
Elektronik.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, korupsi
dirumuskan ke dalam 30 bentuk tindak pidana korupsi. Namun, pada dasarnya ke-30 bentuk
tindak pidana korupsi tersebut dapat dibedakan menjadi 7 (tujuh) kelompok, yaitu:
5
persetujuan yang sah. Contoh dari penggelapan dalam jabatan adalah
penyelewengan dana proyek, pengelolaan aset negara yang tidak sesuai peraturan,
dan penjualan aset milik negara secara ilegal.
6
Korupsi juga mempengaruhi kredibilitas dan legitimasi pemerintahan, melemahkan
sistem politik dan birokrasi, serta menimbulkan ketidakpercayaan terhadap institusi
publik dan pengambil keputusan. Hal ini dapat menciptakan lingkungan bisnis yang tidak
stabil dan menurunkan daya saing negara dalam pasar global.
Selain itu, korupsi dapat mengurangi akses masyarakat terhadap layanan publik
seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan infrastruktur yang berkuali tas,
sehingga menghambat kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu,
pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama bagi pemerintah dan masyarakat
agar negara dapat berkembang secara berkelanjutan dan adil bagi seluruh rakyatnya.
Ada banyak faktor yang menjadi penyebab korupsi. Terdapat banyak teori yang
mencoba untuk mengidentifikasi penyebab korupsi, namun tidak ada satu teori tunggal yang
dapat menjelaskan semuanya. Beberapa teori yang sering dibahas antara lain:
2. Teori budaya, yang menyebutkan bahwa korupsi dapat dipengaruhi oleh budaya yang
menerima atau bahkan mendukung praktek-praktek koruptif. Budaya ini dapat meliputi
adat istiadat, norma sosial, agama, sistem pendidikan, dan sebagainya.
7
4. Teori psikologis, menyatakan bahwa korupsi bisa disebabkan oleh faktor-faktor
psikologis seperti serakah, ambisi berlebihan, keinginan untuk meraih prestasi atau
status sosial, dan sebagainya.
Donald R. Cressey dalam teorinya yang terkenal “The Fraud Triangle” Atau Segitiga
Penipuan, menjelaskan bahwa ada 3 (tiga) faktor korupsi yang harus ada bersama-sama
dalam sebuah situasi agar terjadi penipuan atau korupsi. Ketiga faktor tersebut adalah
seperti pada gambar di bawah.
1. Tekanan finansial
Tekanan finansial bisa berasal dari banyak hal, seperti utang yang menumpuk,
kebutuhan hidup yang tinggi, atau kemauan untuk meningkatkan gaya hidup. Ketika
8
orang merasa tertekan finansial, mereka mungkin mencari jalan pintas untuk
memperoleh uang, termasuk melalui tindakan penipuan atau korupsi.
2. Kesempatan
Kesempatan atau peluang untuk melakukan penipuan atau korupsi dapat muncul ketika
seseorang memiliki akses ke sumber daya atau uang yang cukup besar dan tidak
memiliki pengawasan yang efektif. Misalnya, seorang pegawai pemerintah
yang bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran mungkin menemukan kesempatan
untuk membebankan biaya fiktif atau menjual informasi rahasia kepada pihak ketiga.
3. Rasionalisasi/Alasan moral
Orang yang melakukan tindakan penipuan atau korupsi seringkali menggunakan
rasionalisasi atau alasan moral untuk meyakinkan diri mereka bahwa apa yang mereka
lakukan adalah benar atau tidak berbahaya. Mereka mungkin berargumen bahwa
tindakan mereka tidak akan menyakiti siapa pun, atau bahwa mereka berhak atas uang
tersebut karena alasan tertentu.
Menurut teori The Fraud Triangle ini, semua tiga faktor harus ada bersama-sama agar
penipuan atau korupsi terjadi. Dalam upaya untuk mencegah dan mengatasi korupsi, maka
perlu dilakukan upaya pencegahan dan penanganan yang fokus pada menghilangkan satu
atau lebih faktor dalam segitiga penipuan tersebut. Misalnya dengan memperketat
pengawasan dan pengendalian terhadap akses sumber daya yang rentan terhadap penipuan
dan korupsi serta meningkatkan integritas dan etika pejabat publik.
Selain Teori Segitiga Fraud, terdapat teori terkenal lainnya, yaitu Teori GONE yang
dicetuskan oleh Jack Bologne. Ia menyatakan bahwa rasa serakah dan tamak adalah sumber
dari kasus korupsi. Dia menyebut teori ini dengan menggunakan akronim "GONE": Greedy,
Opportunity, Needs, dan Expose. Jika keempat variabel ini terjadi bersamaan, maka
seseorang akan semakin dengan mudah melakukan tindak pidana korupsi. Serakah (greedy)
yang didukung oleh adanya peluang yang luas (opportunity), serta diperkuat oleh kebutuhan
(needs), akan memicu keinginan seseorang untuk melakukan tindakan korupsi. Keinginan ini
9
juga diperkuat oleh keadaan hukum yang tidak jelas dan hukuman yang terlalu ringan
(expose) bagi pelaku korupsi, sehingga tidak ada efek jera yang muncul. (Jack Bologna, Tomie
Singleton. 2006). Keempat faktor dalam teori GONE dapat dibagi menjadi dua kategori utama
berdasarkan kekuatan pengendalian, yaitu faktor generik dan faktor individu. Faktor generik
adalah faktor yang terkait dengan kontrol organisasi. Faktor generik ini mencakup
Teori ini sangat relevan untuk menggambarkan kondisi korupsi di Indonesia saat ini.
Secara umum, korupsi terjadi melalui empat faktor tersebut. Dorongan kebutuhan dan
keserakahan seseorang untuk terlibat dalam korupsi semakin diperkuat oleh kesempatan
yang diberikan kepada mereka sebagai pejabat yang menduduki posisi atau jabatan di suatu
tempat atau lingkungan kerja. Posisi dan jabatan ini memberikan peluang bagi mereka untuk
melakukan korupsi. Peluang tersebut didukung oleh hukuman pidana yang tidak sebanding
dengan keuntungan besar yang dapat mereka peroleh dari tindakan korupsi, serta perilaku
aparat penegak hukum yang mudah disuap dengan tujuan mengurangi hukuman yang akan
diberikan kepada tersangka tindakan korupsi (Jack Bologne, Tomie Singleton, 2006). Walau
bagaimanapun, semua faktor tersebut sebenarnya berpusat pada satu hal, yakni toleransi
terhadap korupsi, karena dalam banyak hal koruptor adalah orang yang tidak puas akan
keadaan dirinya.
Secara umum, faktor penyebab korupsi bisa dibagi menjadi dua, yaitu:
1. faktor internal
Faktor internal merupakan dorongan yang berasal dari dalam diri sendiri. Faktor ini
banyak dipengaruhi oleh persepsi diri terhadap korupsi, dimana salah satu penyebab
masih bertahannya sikap permisif terhadap korupsi ialah karena belum jelasnya batasan
bagi istilah korupsi, sehingga terjadi ambiguitas dalam melihat korupsi.
10
Menurut Lewin (dikutip dalam Sarwono, 2008), Teori Medan menyatakan perilaku
manusia merupakan hasil dari interaksi antara faktor kepribadian (personality) dan
lingkungan (environment) atau dengan kata lain lapangan kehidupan seseorang terdiri
dari orang itu sendiri dan lingkungan, khususnya lingkungan kejiwaan (psikologis) yang
ada padanya. Melalui teori ini, perilaku korupsi diapat dianalisis maupun diprediksi
memiliki dua opsi motif yakni dari sisi lingkungan atau kepribadian individu terkait.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan penyebab korupsi yang datang dari sebab-sebab atau
dorongan luar. Robert Merton (Means End Scheme Theory) mendefinisikan korupsi
sebagai perilaku yang diakibatkan oleh tekanan sosial sehingga menyebabkan terjadinya
pelanggaran norma-norma. Terdapat beberapa faktor eksternal korupsi sebagai berikut
a. Aspek hukum/undang-undang
b. Aspek Ekonomi
11
1) Ketimpangan penghasilan dan kebutuhan. Contohnya seorang sopir taksi
mencurangi nota pembelian bensin lantaran penghasilan yang didapatkan tidak
cukup untuk membiayai kebutuhan keluarganya.
c. Aspek Organisasi
2) Tidak ada kultur/budaya organisasi yang benar baik berupa tujuan, fokus, dan
standar atau cara mencapai tujuan yang jelas.
Tindak pidana pencucian uang adalah kegiatan yang melibatkan proses mengubah uang
hasil dari tindak pidana menjadi aset yang sah secara hukum. Di Indonesia, pencucian uang
diatur oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang. Perbuatan pencucian uang terdiri dari tiga tahap utama, yang
meliputi:
12
2. ini adalah deposito tunai besar-besaran ke rekening bank, pembelian aset berharga
menggunakan uang tunai, atau pengiriman uang melalui transfer internasional.
4. cara mentransfer uang melalui beberapa rekening, melakukan transaksi bisnis palsu,
membeli atau menjual aset dengan harga yang tidak wajar, atau menggunakan
instrumen keuangan lainnya. Tujuan dari tahap ini adalah menciptakan lapisan kesulitan
dalam melacak sumber asal uang yang dicuci.
Salah satu bentuk pencegahan korupsi terdapat dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun
2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan atau biasa disebut Stranas PK, yaitu dokumen
yang memuat visi, misi, sasaran, strategi dan fokus kegiatan prioritas pencegahan korupsi,
serta peranti anti korupsi. Peraturan Presiden ini dikenal sebagai Perpres tentang Strategi
Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK). Perpres ini menguraikan kerangka strategis yang
digunakan oleh pemerintah dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di
Indonesia. Stranas PK mencakup pendekatan, langkah-langkah, dan prioritas dalam
memerangi korupsi serta melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
13
Terdapat 3 (tiga) hal yang menjadi fokus Stranas PK, yaitu:
2. Keuangan Negara
c. Penguatan tata Kelola penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada komoditas
mineral dan batubara
14
c. Penguatan Pengawasan Badan Usaha Pemerintah (BUMN dan BUMD)
Konflik kepentingan adalah situasi di mana individu atau entitas memiliki dua atau lebih
kepentingan yang bertentangan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam
konteks pemerintahan, konflik kepentingan dapat timbul ketika pejabat atau aparatur sipil
negara (ASN) menghadapi situasi di mana kepentingan pribadi mereka berbenturan dengan
tugas atau tanggung jawab resmi yang mereka emban. Pengertian konflik kepentingan
tercantum pada Undang-undang 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Pasal 1 ayat (14) dan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi
Birokrasi No 12 Tahun 2016 tentang Pedoman Umum Penanganan Konflik Kepentingan, yang
dimaknai sebagai: "kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk
menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga
dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat
dan/atau dilakukannya.
Konflik kepentingan dapat berujung pada gratifikasi karena adanya peluang yang
muncul untuk memperoleh manfaat pribadi atau keuntungan yang tidak seharusnya
diperoleh dalam posisi atau jabatan tertentu. Ketika seseorang menghadapi konflik
kepentingan antara tugas atau tanggung jawab resmi dan kepentingan pribadi, mereka
mungkin tergoda untuk menggunakan posisi atau wewenang mereka untuk memperoleh
hadiah atau pemberian (gratifikasi) dari pihak lain yang memiliki kepentingan dalam
keputusan atau tindakan yang diambil. Gratifikasi tersebut dapat berupa uang, barang,
fasilitas, hiburan, atau bentuk imbalan lainnya yang bertujuan untuk mempengaruhi individu
yang terlibat dalam konflik kepentingan agar bertindak sesuai dengan keinginan pihak lain
yang memberikan gratifikasi tersebut. Dalam beberapa kasus, gratifikasi ini dapat melanggar
etika, hukum, atau peraturan yang berlaku.
15
Adanya gratifikasi dalam konteks konflik kepentingan sering kali menimbulkan
ketidakadilan, korupsi, atau penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dapat merusak kepercayaan
publik terhadap institusi atau individu yang terlibat dalam praktik semacam itu, serta
mempengaruhi integritas sistem secara keseluruhan. Untuk mencegah gratifikasi yang timbul
akibat konflik kepentingan, penting untuk membangun sistem pengawasan yang kuat,
memiliki kode etik yang jelas, serta melakukan pendidikan dan pelatihan yang
mempromosikan integritas dan akuntabilitas. Selain itu, transparansi, pertanggungjawaban,
dan penegakan hukum yang tegas juga diperlukan untuk mencegah terjadinya praktik
gratifikasi yang merugikan kepentingan publik.
Pelanggaran konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa terancam hukuman
pidana berdasarkan Pasal 12 huruf i Undang-Undang 31 Tahun 1999 Jo Undang Undang 20
Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan Pasal tersebut, pelakunya terancam
16
penjara penjara seumur hidup atau paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp. 200 juta dan dan paling banyak Rp. 1 miliar.
Surat edaran menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat nomor 18 tahun 2017 tentang
pedoman penanganan benturan kepentingan di Kementerian Pekerjaan Umum Dan
Perumahan Rakyat, aturan ini menjelaskan tentang benturan kepentingan dalam
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Benturan kepentingan terjadi
dalam berbagai bentuk, seperti menerima gratifikasi, pemberian hadiah, atau hiburan yang
dapat mempengaruhi keputusan atau jabatan. Jenis benturan kepentingan yang terjadi juga
beragam.
1. Hubungan afiliasi
Hubungan yang dimiliki oleh ASN Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
dengan pihak yang terkait dengan kegiatan Kementerian tersebut, baik karena
hubungan darah, hubungan perkawinan, maupun hubungan pertemanan yang dapat
mempengaruhi keputusannya. Keputusan atau tindakan seseorang dapat dipengaruhi
oleh hubungan pribadi yang erat dengan pihak terkait, seperti keluarga, teman dekat,
atau mitra bisnis. Hal ini dapat menghambat objektivitas dalam pengambilan keputusan.
17
2. Kepentingan pribadi atau golongan
Situasi di mana ASN Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menerima
gratifikasi, pemberian atau penerimaan hadiah/cinderamata, atau hiburan yang dapat
mempengaruhi keputusan atau jabatannya.
3. Rangkap jabatan
4. Kelemahan sistem
18
risiko bahwa mereka akan mengutamakan kepentingan finansial pribadi dibandingkan
dengan kepentingan jangka panjang organisasi atau masyarakat. Kelemahan semacam
ini dalam sistem dapat menciptakan lingkungan di mana benturan kepentingan mudah
terjadi. Untuk mencegah benturan kepentingan yang disebabkan oleh kelemahan dalam
sistem, penting untuk memperkuat transparansi, membangun mekanisme pengawasan
yang efektif, dan menjaga keseimbangan kekuasaan yang sehat. Sistem yang kuat dan
tata kelola yang baik agar dapat membantu mengurangi risiko benturan kepentingan
dan memastikan bahwa keputusan dan tindakan didasarkan pada kepentingan yang
lebih luas daripada hanya kepentingan individu atau kelompok tertentu.
Kehidupan telah diciptakan dengan penuh harmoni, semua berjalan sesuai dengan
orbitnya. Ketika sesuatu mengalami penyimpangan maka terjadilah kerusakan dimuka bumi.
Penanganan korupsi perlu diselesaikan secara komprehensif, karena korupsi adalah masalah
kehidupan, dimana dampak dan bahayanya bisa berpengaruh secara jangka panjang dan
sangat merusak sendi-sendi kehidupan. Cerita tentang Bumi dan kerusakan yang
mengancamnya diceritakan secara menarik pada salah satu film dokumenter “Home” karya
Yann Arthus-Bertrand.
Film yang isinya bercerita tentang perubahan muka bumi dan kerusakan alam yang
terjadi akibat perilaku manusia, sebagian cuplikan filmya kemudian dibuat menjadi film
pendek tentang korupsi kehidupan. Film ini diharapkan dapat menyadarkan manusia bahwa
telah terjadi kerusakan di muka bumi sebagai dampak dari ulah tangan manusia, dan bahwa
manusia sendiri yang nanti akan menanggung akibat dari kerusakan tersebut. Dampak
korupsi tidak hanya terhadap lingkungan saja, namun juga kepada berbagai aspek kehidupan.
19
Penjabaran dampak-dampak korupsi tersebut adalah sbb:
1. Dampak ekonomi
Korupsi memiliki dampak yang sangat merugikan bagi perekonomian suatu negara.
Berikut adalah beberapa dampak korupsi dari segi ekonomi:
20
e. tertentu yang memiliki akses kekuasaan dan kekayaan, dengan masyarakat umum
yang tidak memiliki akses tersebut.
f. Meningkatkan biaya hidup, menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa, karena
para pelaku korupsi biasanya menetapkan harga yang lebih tinggi dari harga pasar
untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
i. Memburuknya citra negara, karena praktek korupsi yang semakin marak akan
membuat citra negara semakin buruk di mata dunia internasional, sehingga negara
tersebut akan kehilangan reputasi dan kepercayaan dari negara-negara lain.
Korupsi juga memiliki dampak yang sangat merugikan dalam hal politik dan demokrasi.
Berikut adalah beberapa dampak korupsi dari segi politik dan demokrasi:
b. Meningkatkan pengaruh kelompok tertentu, seperti oligarki dan klan politik yang
memiliki akses kekuasaan dan kekayaan. Hal ini dapat membuat kompetisi politik
menjadi tidak sehat dan berpotensi menimbulkan konflik.
21
d. Menghambat reformasi politik dan kebijakan anti korupsi yang dilakukan oleh
pemerintah, karena para pelaku korupsi akan mencoba untuk melemahkan upaya-
upaya tersebut demi menjaga kepentingan mereka.
Beberapa dampak korupsi dari segi pertahanan dan keamanan adalah sbb:
22
pelaku korupsi cenderung menjual informasi rahasia demi keuntungan pribadi.
d. Mendorong konflik sosial, karena adanya perasaan tidak puas dan ketidakadilan di
kalangan masyarakat.
23
6. Dampak pada birokrasi pemerintah
Bagi birokrasi pemerintah, korupsi dapat menghambat kinerja dan menyebabkan sistem
pemerintahan tidak berjalan dengan baik. Beberapa dampak negatif dari korupsi yaitu:
c. Menurunkan kualitas pelayanan publik yang disebabkan oleh para birokrat yang
korup dan lebih berfokus untuk mengumpulkan uang daripada memberikan
pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat.
a. Dapat merusak integritas dan otoritas lembaga penegak hukum seperti kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan. Ketika petugas penegak hukum terlibat dalam korupsi,
kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut menurun drastis. Hal ini
mengakibatkan melemahnya kemampuan lembaga penegak hukum dalam
menyelidiki, menuntut, dan mengadili pelanggaran hukum.
24
b. Kecurangan dalam proses hukum, khususnya dalam hal dapat mempengaruhi
proses hukum secara menyeluruh. Hakim, jaksa, atau polisi yang korup dapat
menerima suap untuk mempengaruhi keputusan atau menghentikan penyelidikan
terhadap tindak pidana tertentu. Ini mengarah pada ketidakadilan dalam sistem
peradilan pidana dan memungkinkan para pelaku kejahatan untuk lolos dari
hukuman yang seharusnya mereka terima.
c. Korupsi dapat memperlambat proses hukum yang seharusnya cepat dan efektif.
Korupsi dapat menyebabkan penundaan atau penghambatan penyelidikan,
penuntutan, dan pengadilan, karena terdapat kendala-kendala seperti permintaan
suap, intervensi politik, atau manipulasi bukti. Akibatnya, proses hukum menjadi
lambat dan keadilan tertunda bagi para korban kejahatan.
d. Peningkatan kejahatan yang disebabkan oleh korupsi yang merajalela dalam sistem
penegakan hukum, sehingga menciptakan iklim di mana kejahatan berkembang
dan menjadi lebih sulit untuk diberantas. Ketika pelaku kejahatan mengetahui
bahwa mereka dapat membayar untuk menghindari hukuman, mereka akan lebih
cenderung untuk melanggar hukum. Ini mengarah pada peningkatan tingkat
kejahatan, termasuk tindak kejahatan serius seperti perdagangan narkoba,
pencucian uang, atau kejahatan terorganisir.
e. Salah satu dampak paling merugikan dari korupsi terhadap penegakan hukum
adalah menurunnya kepercayaan publik. Ketika masyarakat kehilangan
kepercayaan terhadap sistem peradilan pidana, mereka cenderung merasa putus
asa dan tidak percaya bahwa hukum dapat ditegakkan dengan adil. Hal ini dapat
menghasilkan sikap apatis atau bahkan adopsi hukum rimba (vigilantisme), di mana
individu atau kelompok mengambil hukum ke tangan mereka sendiri karena
kehilangan keyakinan pada keadilan sistematis
f. Memperhatikan dampak yang buruk, maka dalam rangka memerangi korupsi dan
memperkuat penegakan hukum, penting untuk mengadopsi pendekatan yang
komprehensif yang mencakup reformasi lembaga, penguatan integritas dan
25
akuntabilitas petugas penegak hukum, serta partisipasi aktif masyarakat dalam
pengawasan terhadap kegiatan penegakan hukum.
a. Eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam seperti hutan, sungai,
tambang, dan lahan pertanian. Pelaku korupsi seringkali terlibat dalam praktik
ilegal seperti penebangan liar, penangkapan ikan secara berlebihan, atau
pertambangan ilegal demi keuntungan pribadi. Hal ini mengakibatkan kerusakan
ekosistem yang parah, termasuk deforestasi, penurunan keanekaragaman hayati,
dan degradasi tanah.
26
lingkungan menjadi tidak efektif, keberlanjutan lingkungan terancam, dan peluang
bagi generasi mendatang untuk menikmati lingkungan yang sehat dan lestari
menjadi berkurang.
Dalam rangka melawan korupsi dan melindungi lingkungan, penting untuk memperkuat tata
kelola yang baik, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pada kegiatan terkait sektor
lingkungan, serta mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan dan
pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, diperlukan upaya serius untuk meningkatkan
kesadaran akan pentingnya perlindungan lingkungan, serta mempromosikan praktik bisnis
yang bertanggung jawab dan berkonytribusi secara positif terhadap lingkungan.
Dalam jangka panjang, korupsi dapat merusak dan melemahkan struktur sosial dan
ekonomi suatu masyarakat. Kekayaan yang seharusnya digunakan untuk pembangunan
infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan dapat dipakai oleh individu atau kelompok tertentu
untuk kepentingan pribadi. Akibatnya, masyarakat dapat mengalami kemiskinan, kekurangan
akses ke layanan dasar, dan penurunan kualitas hidup secara keseluruhan. Dalam
keseluruhan dampaknya, korupsi sangat merusak bagi sistem politik dan demokrasi suatu
negara, serta dapat menimbulkan masalah sosial dan ekonomi yang besar. Oleh karena itu,
pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas utama bagi pemerintah dan masyarakat yang
ingin mencapai kemajuan pada segala aspek kehidupan. Korupsi harus ditindak tegas dan
dihilangkan dari semua institusi pemerintahan dan seluruh lapisan masyarakat, serta
dilakukan upaya-upaya untuk memerangi korupsi secara konsisten dan terus-menerus.
Salah satu contoh tindak pidana korupsi yang pernah terjadi di Kementerian PUPR
adalah kasus korupsi Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).
27
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu memeriksa pegawai Kementerian PUPR.
sebagai saksi untuk tersangka Direktur PT. WKE. Pemeriksaan ini salah satunya sebagai upaya
KPK menelusuri pengawasan Kementerian PUPR dalam pelaksanaan proyek pembangunan
SPAM di lingkungan Ditjen Cipta Karya. KPK berfokus pada upaya pemeriksaan internal
karena penyidik menemukan masalah serius dalam pelaksanaan pengawasan. Ia menyebut,
4 tersangka kasus SPAM merupakan pejabat pembuat komitmen pada 4 proyek. Setelah
dilakukan pendalaman, KPK menemukan dugaan aliran dana lain di 12 proyek yang berbeda.
Oleh karena itu, KPK mengonfirmasi lebih lanjut fungsi pengawasan di Kementerian PUPR.
Jika terdapat dugaan suap, semestinya ada proses pengawasan internal yang juga berjalan
dan sudah teridentifikasi berdasarkan temuan-temuan awal. Dalam perkara ini, KPK
menetapkan 8 orang tersangka. Dari kedelapan orang tersebut, 4 tersangka merupakan
penerima suap dan 4 orang sebagai pemberi suap. Keempat tersangka pemberi suap telah
28
menyuap pejabat di Kementerian PUPR untuk mengatur proyek pembangunan SPAM
yang dimenangkan oleh PT TSP dan PT WKE. Proyek yang diatur adalah proyek pembangunan
SPAM tahun anggaran 2017/2018 di Umbulan-3 Pasuruan, Lampung, Toba-1 dan Katulampa.
Kasus korupsi SPAM tersebut memiliki dampak yang sangat merugikan bagi negara dan
masyarakat. Korupsi dalam proyek-proyek infrastruktur seperti SPAM dapat menghambat
pembangunan nasional dan merugikan kepentingan banyak pihak. Dampak dari kasus
korupsi SPAM di Kementerian PUPR antara lain:
1. Kasus korupsi SPAM menimbulkan kerugian keuangan negara yang besar. Proyek SPAM
tersebut bernilai triliunan rupiah, sehingga kerugian yang ditimbulkan akibat korupsi
pun sangat besar.
Setelah mengetahui dampak-dampak yang dapat terjadi dari suatu tindak pidana
korupsi, maka perlu diketahui juga bagaimana kondisi korupsi yang terjadi di Indonesia. Guna
mengetahui kondisi tindakan/perbuatan korupsi di Indonesia, terdapat pengukuran yang
dilakukan oleh 3 (tiga) institusi yang berbeda, yaitu oleh Transparency International (TI),
Badan Pusat Statistik (BPS), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
29
Gambar 4. Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
INDEKS
PERSEPSI
KORUPSI (IPK)
INDONESIA
Score Rank Score Rank
Menunjukkan penilaian responden terhadap 34/100 110/180 -4 since 2021
risiko korupsi dan efektivitas pemberantasan
korupsi yang dilakukan Transparency GLOBAL AVERAGE 43
International Indonesia
Skor IPK tinggi menunjukkan bahwa negara tersebut
memiliki risiko kejadian korupsi yang rendah, sebaliknya
skor IPK rendah menunjukkan bahwa negara tersebut
memiliki risiko kejadian korupsi yang tinggi.
6 Negara dengan Nilai IPK Tertinggi Beberapa Nilai IPK Negara ASEAN
90 87 87 84 83 83 47 83 36 33 42
Data IPK sendiri menunjukkan penilaian responden terhadap risiko korupsi dan efektivitas
pemberantasan korupsi yang telah dilakukan. Skor IPK tinggi menunjukkan bahwa suatu
negara memiliki risiko korupsi yang rendah. Sebagai contoh ialah beberapa negara seperti
Denmark, Finlandia, Selandia Baru, Norwegia, Singapura, dan Swedia. Di sisi lain, Indonesia
saat ini berada pada peringkat 96 dengan skor 38. jika di bandingkan dengan negara-negara
di ASEAN, Indonesia masih tergolong negara dengan risiko kejadian korupsi tinggi.
30
Selain Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari Transparency International (TI), kondisi
tindakan/perbuatan korupsi di Indonesia dapat diukur juga menggunakan Survei Penilaian
Integritas (SPI) yang dikeluarkan oleh KPK.
Survei SPI ini digunakan untuk mengukur integritas individu atau organisasi dalam
berbagai aspek, seperti kejujuran, transparansi, akuntabilitas, dan lain sebagainya. Mengukur
tingkat risiko korupsi dan mengukur capaian keberhasilan pemberantasan dan pencegahan
korupsi di masing-masing K/L/PD di Indonesia, serta memberikan rekomendasi perbaikan
sistem anti korupsi. Adapun yang menjadi dimensi pengukuran survei penilaian integritas
yaitu transparansi, integritas tugas, trading in influence, pengelolaan anggaran, pengelolaan
SDM, pengelolaan PBJ, dan sosialisasi anti korupsi. Dalam konteks ini, berdasarkan hasil
Survei Penilaian Integritas (SPI), Kementerian PUPR memperoleh skor 73,59 dengan Indeks
Integritas Nasional tahun 2022 yaitu 71,94. Hal ini menunjukkan Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat masih menjadi instansi yang akuntabel dan dapat dipercaya.
31
Temuan Survei Penilaian integritas (SPI) mengenai tingkat keyakinan risiko kejadian suap
dan gratifikasi di lingkungan Kementerian PUPR tahun 2022 adalah berdasarkan pengalaman
sejumlah responden melihat penerimaan gratifikasi/suap dengan pembagian responden
sebagai berikut:
2. 4% responden eksternal
32
C. STRATEGI PEMBERANTASAN KORUPSI
Merupakan strategi yang bertujuan untuk menumbuhkan peran serta masyarakat dalam
memerangi korupsi sesuai dengan kapasitasnya masing-masing sehingga masyarakat
mengetahui, memahami, dan peduli terhadap tindakan penyimpangan yang mengarah
pada perbuatan korupsi. Beberapa program yang dilakukan untuk menjalankan strategi
ini meliputi:
2. Strategi Preventif
33
▪ Penilaian Risiko Kecurangan dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi
dan mengatasi kerentanan organisasi atas kecurangan yang dilakukan pihak
internal ataupun pihak eksternal
1) FRA menghasilkan peta risiko kecurangan yang dapat menjadi dasar untuk
merencanakan mitigasi risiko secara terukur dan komprehensif.
34
▪ Ruang lingkup konsultansi pengendalian kecurangan mencakup kegiatan sbb:
1) Kebijakan antikorupsi
35
2) Seperangkat sistem antikorupsi
5) Pembelajaran antikorupsi
8) Kepemimpinan etis
9) Integritas organisasional
11) Investigasi
36
▪ Pelaporan keuangan atau pelaporan manajemen yang diindikasikan
mengandung asersi yang tidak benar diduga karena terjadi penyimpangan.
e. Audit Klaim
Terdapat hal-hal penting yang harus diperhatikan terkait dengan audit klaim sbb:
▪ Audit Klaim dilakukan terkait dengan pengajuan klaim/tuntutan dari salah satu
pihak pada suatu kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh simpulan sebagai
bahan pertimbangan bagi Unit Penanggung Jawab/pelaksana program/kegiatan
dan pihak terkait untuk mengambil keputusan penyelesaian klaim.
▪ Klaim terjadi karena adanya kerugian dari salah satu pihak dalam melaksanakan
suatu perjanjian atau kontrak yang disebabkan, adanya perbedaan antara
kondisi nyata yang ada dalam pelaksanaan pekerjaan dengan kondisi yang
ditetapkan dalam dokumen pengadaan dan/atau kontrak, atau adanya
perintah/permintaan dari pengguna barang/jasa, atau karena terjadinya
sesuatu hal yang tidak diperkirakan sebelumnya yang mengakibatkan timbulnya
kewajiban/kerugian salah satu pihak.
▪ Pihak-pihak yang terkait adalah penyedia barang/jasa dan pihak-pihak lain yang
mengajukan permintaan klaim kepada Unit penanggung jawab/pelaksana
program/kegiatan.
37
f. Audit Penyesuaian Harga
▪ Penyesuaian harga hanya dapat diberikan untuk kontrak tahun jamak yang masa
pelaksanaannya lebih dari 12 bulan berbentuk kontrak harga satuan
berdasarkan ketentuan dan persyaratan yang telah tercantum dengan tegas di
dalam dokumen pengadaan dan/atau perubahan dokumen pengadaan.
Pada evaluasi hambatan ini, beberapa hal yang perlu disampaikan ialah sbb:
38
mendapatkan alternatif penyelesaian sesuai ketentuan yang berlaku melalui
proses mediasi.
3. Strategi Investigatif
Strategi ini merupakan strategi yang dilakukan untuk mendeteksi kejadian korupsi atau
dilakukan setelah suatu tindakan korupsi terjadi. Program-program untuk mewujudkan
strategi ini meliputi:
39
▪ Audit investigatif dilaksanakan berdasarkan sumber informasi sebagai berikut:
2) Pengaduan masyarakat.
Meliputi antara lain kejaksaan, kepolisian, KPK, dan pimpinan obyek penugasan.
▪ Nilai kerugian keuangan negara yang dinyatakan pada Laporan Hasil Audit PKKN
merupakan pendapat auditor yang didasarkan pada bukti-bukti yang relevan,
kompeten, dan cukup dengan pengungkapan penyimpangan yang terjadi.
40
c. Pemberian Keterangan Ahli (PKA)
D. LATIHAN
Setelah mempelajari banyak hal mengenai Korupsi pada Bab ini, lakukanlah analisis satu
contoh kasus korupsi yang pernah terjadi dalam lingkungan Kementerian PUPR. Analisis
kasus tersebut dengan menjawab pertanyaan ini.
• Jelaskan secara singkat tentang kasus korupsi yang Anda pilih. Siapa pelakunya dan
bagaimana modus operandinya?
• Apa faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya korupsi dalam kasus ini?
41
• Apa dampak sosial dan ekonomi dari kasus korupsi ini terhadap masyarakat dan
Organisasi KemenPUPR?
• Bagaimana upaya penegakan hukum telah dilakukan untuk menangani kasus ini?
Apakah ada hukuman yang diberikan kepada pelaku korupsi?
• Apa langkah-langkah preventif yang dapat diambil untuk mencegah kasus korupsi
serupa terjadi di masa depan?
Selamat mengerjakan latihan! Pastikan untuk menyertakan analisis mendalam dan
menjawab pertanyaan dengan baik berdasarkan informasi yang tersedia.
E. RANGKUMAN
Korupsi memberikan dampak yang sangat buruk terhadap kemajuan suatu negara,
misalnya, mengurangi akses masyarakat terhadap layanan publik seperti pendidikan,
kesehatan, transportasi, dan infrastruktur yang berkualitas, sehingga menghambat kemajuan
dan kesejahteraan masyarakat, Menyebabkan perlambatan dalam proses pembaruan
teknologi dan menghambat pengembangan teknologi di sektor pertahanan dan keamanan
karena adanya pihak-pihak yang ingin mempertahankan status quo dan menolak perubahan.
Oleh karena itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi merupakan hal yang sangat
penting untuk menjaga kinerja birokrasi pemerintah agar tetap efisien dan dapat
memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Untuk mencegah korupsi, diperlukan
tindakan seperti penguatan sistem hukum, transparansi dalam pengelolaan keuangan publik,
penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi, pendidikan anti-korupsi, dan
partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan pemerintah.
42
F. EVALUASI
43
BAB III
GRATIFIKASI
I. PENGERTIAN
44
penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya.
Walaupun terdengar menyeramkan, tidak seluruh gratifikasi yang diterima wajib untuk
dilaporkan atau dilarang secara peraturan perundang-undangan. Apabila merujuk Peraturan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi.
Berdasarkan aturan KPK terdapat 2 jenis gratifikasi, yaitu:
Gratifikasi dalam kategori ini merupakan penerimaan dalam bentuk apapun yang
diperoleh pegawai negeri/penyelenggara negara dari pihak-pihak yang diduga memiliki
keterkaitan dengan jabatan penerima. Gratifikasi tersebut haruslah merupakan
penerimaan yang dilarang atau tidak sah secara hukum. Dengan kata lain, sesuai dengan
rumusan Pasal 12B, hal itu disebut juga gratifikasi yang bertentangan dengan kewajiban
atau tugas pegawai negeri/penyelenggara negara. Dalam praktik, seringkali terdapat
gratifikasi yang terkait dengan jabatan penerima akan tetapi, penerimaan tersebut sah
secara hukum. Misalnya seorang bendahara penerimaan yang menerima uang dari
pihak lain sebagai bagian dari pelaksanaan tugasnya yang sah. Jika dilihat dari dari sudut
pandang gratifikasi yang terkait dengan jabatan, maka penerimaan tersebut telah
memenuhi unsur “berhubungan dengan jabatan”. Akan tetapi, penerimaan tersebut
bukanlah hal yang dilarang dalam konteks Pasal 12B, karena si bendahara memang
mempunyai kewenangan untuk menerima uang tersebut.
Dengan kata lain, penerimaan tersebut sah secara hukum sehingga tidak
berlawanan dengan tugas dan kewajibannya. Contoh lain yang dapat dibandingkan
dengan hal di atas adalah penerimaan oleh petugas yang memang berwenang untuk
menerima pungutan dari masyarakat. Misal: dalam pengurusan SIM, STNK, pernikahan,
atau surat lain yang berdasarkan peraturan yang ada dibebankan kepada masyarakat
45
sebagai PNBP. Logika yang sama dengan bendahara penerima tadi dapat
diterapkan di sini. Pegawai negeri/penyelenggara negara tidak dapat dikatakan
melanggar Pasal 12B hanya karena ia menerima sesuatu yang terkait dengan
jabatannya. Jika penerimaan itu dibenarkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang ada, maka hal tidak dapat dikategorikan sebagai gratifikasi yang
dianggap suap. Di bawah ini adalah contoh-contoh gratifikasi yang berkembang dalam
praktik yang wajib dilaporkan oleh penerima gratifikasi pada KPK, antara lain gratifikasi
yang diterima:
c. Terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring dan evaluasi.
f. Dalam proses komunikasi, negosiasi dan pelaksanaan kegiatan dengan pihak lain
terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya.
h. Sebagai ungkapan terima kasih sebelum, selama atau setelah proses pengadaan
barang dan jasa.
46
Selain bentuk-bentuk gratifikasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas pegawai
negeri/penyelenggara negara yang wajib dilaporkan seperti disebut di atas, terdapat
penerimaan lain yang berada dalam ranah adat istiadat, kebiasaan, dan norma yang
hidup di masyarakat yang perlu dicermati. Penerimaan terkait dengan adat dan
kebiasaan tersebut meliputi:
c. pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami oleh penerima,
bapak/ibu/mertua, suami/istri, atau anak penerima gratifikasi yang melebihi
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per pemberian per orang.
d. pemberian sesama pegawai dalam rangka pisah sambut, pensiun, promosi jabatan,
dan ulang tahun yang tidak dalam bentuk uang atau tidak berbentuk setara uang
(cek, bilyet gori, saham, deposito, voucher, pulsa, dan lain-lain) yang melebihi nilai
yang setara dengan Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per pemberian per orang
dengan total pemberian Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari
pemberi yang sama.
47
e. pemberian sesama rekan kerja tidak dalam bentuk uang atau tidak berbentuk
setara uang (cek, bilyet gori, saham, deposito, voucher, pulsa, dan lain-lain) yang
melebihi Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per pemberian per orang dengan
total pemberian maksimal Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun
dari pemberi yang sama.
Gratifikasi seperti yang disebut pada huruf a ditekankan pada aspek ada atau tidak
konflik kepentingan dalam pemberian tersebut. Hal ini berangkat dari pemahaman
bahwa pemberian dari keluarga sedarah atau semenda dapat saja menjadi gratifikasi
yang dianggap suap jika ternyata ada hubungan pekerjaan antara pemberi dan penerima
dilihat dari jabatan, tugas dan wewenang pegawai negeri/penyelenggara negara.
Contoh kasus ialah seorang ayah yang bekerja sebagai Penyelenggara Negara menerima
hadiah dari anaknya yang berprofesi sebagai pengusaha yang lingkup pekerjaannya
terkait dengan kewenangan ayahnya. Jika dilihat dari aspek hubungan keluarga sedarah
antara ayah dan anak, maka pemberian tersebut merupakan hal yang wajar. Akan tetapi,
pemberian tersebut memiliki potensi konflik kepentingan dengan sang ayah dalam
pelaksanaan tugasnya, sehingga penerimaan itu haruslah dilaporkan.
Dalam momen lain seperti kematian keluarga, praktik penerimaan gratifikasi juga
patut diperhatikan. Pegawai negeri/penyelenggara negara tetap perlu hati-hati karena
adanya potensi penyalahgunaan situasi oleh pihak pemberi. Putusan Mahkamah Agung
No. 77 K/Kr/1973 tanggal 19 November 1974 memberikan contoh kasus yang konkret,
ketika terdakwa dinyatakan bersalah melakukan korupsi menerima hadiah walaupun
menurut anggapannya uang yang ia terima tersebut dalam hubungan dengan kematian
keluarganya. Bahkan uang tersebut tidak diterima langsung oleh terdakwa, melainkan
diterima oleh istri dan anak-anak terdakwa. Oleh karena itu perlu disampaikan adanya
kewajiban pelaporan gratifikasi dengan batasan jumlah tertentu yang jika ditinjau dari
segala keadaan (circumstances) dapat dianggap sebagai jumlah yang wajar dan tidak
48
akan mempengaruhi pihak penerima gratifikasi seperti terdapat pada huruf c dalam
hal gratifikasi diterima terkait musibah.
Gratifikasi seperti yang disebut pada huruf b sampai dengan huruf e berada di ranah
adat istiadat dan kebiasaan. Pembatasan nilai perlu diatur untuk mencegah praktik
pemberian hadiah yang semula merupakan ekspresi dari nilai-nilai luhur adat-istiadat
dan kebiasaan menjadi disalahgunakan untuk mempengaruhi jabatan pegawai
negeri/penyelenggara negara baik secara langsung atau tidak langsung. Sehingga, setiap
pemberian dalam konteks kultural, adat-istiadat dan kebiasaan yang melebihi batasan
nilai seperti terdapat di huruf b sampai dengan huruf e dapat dianggap terkait dengan
jabatan penerima.
d. Seminar kit berbentuk seperangkat modul, alat tulis, sertifikat yang diperoleh dari
kegiatan kedinasaan seperti pelatihan, dsb yang berlaku umum.
e. Hadiah tidak dalam bentuk uang/alat tukar lainnya yang dimaksudkan sebagai alat
promosi/sosialisasi, sepanjang tidak ada konflik kepentingan.
f. Penghargaan atas prestasi yang diikuti dengan biaya sendiri dan tidak terkait
kedinasan.
49
g. Hadiah, tunjangan, beasiswa dsb baik berupa uang/barang yang ada kaitannya
dengan peningkatan prestasi kerja yang diberikan pemerintah sesuai peraturan
yang berlaku.
h. Hadiah langsung/undian, diskon, voucher, point rewards, yang berlaku umum dan
tidak terkait kedinasan.
k. Karangan bunga sebagai ucapan pada acara pernikahan, kematian, dan sebagainya
l. Pemberian dalam acara pernikahan, kelahiran, akikah, baptis, khitan atau upacara
adat/agama lainnya dengan Batasan 1 (satu) juta rupiah per pemberi.
m. Terkait musibah sepanjang tidak ada konflik kepentingan dan memenuhi kewajaran
atau kepatutan.
n. Sesama rekan kerja pada pisah sambut, pensiun, promosi, ultah (tidak dalam
bentuk uang) dengan batasan Rp 300.000 (tiga ratus ribu rupiah)/pemberian,
dengan total 1 (satu) juta rupiah dalam 1 tahun dari pemberi yang sama.
o. Sesama rekankerja (tidak dalam bentuk uang) paling banyak Rp 200.000 (dua ratus
ribu rupiah)/pemberian dengan total 1 (satu) juta rupiah dalam 1 tahun dari
pemberi yang sama Karangan bunga sebagai ucapan pada acara pernikahan,
kematian, dan sebagainya.
50
q. Pemberian cindera mata/plakat kepada instansi dalam hubungan kedinasan dan
kenegaraan Pemberian cindera mata/plakat kepada instansi dalam hubungan
kedinasan dan kenegaraan.
Perlakuan terhadap gratifikasi sangat penting untuk dijaga agar tidak menyebabkan
tindakan korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan. Gratifikasi dapat berupa hadiah, uang,
atau bentuk lain dari pemberian yang diberikan kepada seseorang sebagai imbalan atas jasa
atau pekerjaan yang telah dilakukan. Dalam hal ini, penerima gratifikasi harus memastikan
bahwa penerimaan tersebut dilakukan dengan cara yang benar dan tidak melanggar aturan
hukum atau etika. Penerima gratifikasi sebaiknya menghindari situasi di mana mereka
menerima hadiah atau pemberian dalam bentuk apa pun, terutama jika ada konflik
kepentingan atau kemungkinan adanya pengaruh yang merugikan.
Selain itu, pihak yang memberikan gratifikasi juga perlu memperhatikan aturan hukum
dan etika. Mereka harus memastikan bahwa pemberian tersebut sah dan tidak melanggar
hukum atau etika. Jika terdapat indikasi bahwa pemberian tersebut dilakukan sebagai upaya
untuk mempengaruhi keputusan atau tindakan tertentu, maka pemberian tersebut dapat
dianggap sebagai suap atau korupsi.
Oleh karena itu, pihak-pihak yang terkait harus selalu memastikan bahwa perlakuan
terhadap gratifikasi dilakukan dengan transparan dan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip integritas dan kejujuran dapat merusak
reputasi dan mengancam stabilitas organisasi atau institusi yang terlibat.
51
Gambar 6. Perlakuan Terhadap Gratifikasi
Berdasarkan deskripsi gambar tersebut, terdapat 2 (dua) sikap penting saat seseorang
menerima gratifikasi, yaitu menolak atau menerima. Penjelasanya adalah sbb:
Gratifikasi yang dianggap suap, yaitu gratifikasi yang diberikan dari pihak yang
memiliki potensi benturan kepentingan dengan pegawai negeri/penyelenggara negara,
dan pemberian tersebut dilarang oleh aturan yang berlaku, merupakan jenis gratifikasi
yang harus ditolak oleh setiap pegawai negeri/penyelenggara negara.
52
maka keberadaan pencatatan atas penolakan penerimaan menjadi penting untuk
memperlihatkan adanya itikad baik dari pegawai negeri/penyelenggara negara dalam
menangkal upaya suap kepada dirinya. Dari aspek pemberi, pihak pemberi tetap dapat
dijerat meskipun pegawai negeri menolak atau tidak menerima.
Kewajiban penolakan gratifikasi yang dianggap suap ini dapat diatur lebih lanjut
pada peraturan internal di kementerian atau institusi negara/daerah dengan kondisi
pengecualian sebagai berikut:
d. Adanya kondisi tertentu yang tidak mungkin ditolak, seperti dapat mengakibatkan
rusaknya hubungan baik institusi, membahayakan diri sendiri/karier penerima/ada
ancaman lain.
Dalam hal gratifikasi yang memenuhi empat kondisi pengecualian di atas, maka
gratifikasi tersebut wajib dilaporkan pada KPK atau kepada KPK melalui masing-masing
Unit Pengendali Gratifikasi.
53
dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Bentuk-bentuk
gratifikasi tersebut diuraikan pada bagian selanjutnya.
Jika dikaitkan dengan aspek penindakan, risiko yang akan didapatkan penerima
gratifikasi adalah penerimaan tersebut dianggap suap. Hal ini menjadi pendirian hakim
dalam kasus korupsi dengan terdakwa Gayus HP Tambunan dan Dhana Widyatmika.
Dalam hal penerima tidak melaporkan pada jangka waktu tertentu, maka penerimaan
tersebut dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya di pengadilan.
Gratifikasi merupakan salah satu jenis tindak pidana korupsi baru yang diatur dalam
Pasal 12B dan 12C UU Tipikor sejak tahun 2001. Namun, jika penerima gratifikasi
melaporkan pada KPK paling lambat 30 hari kerja, maka Pn/PN dibebaskan dari ancaman
pidana gratifikasi. Berikut adalah pasal yang mengatur tentang gratifikasi: Pasal 12B (1)
Setiap gratifikasi kepada Pn/PN dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
54
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. (2) Pidana bagi
Pn/PN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 12C (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak
berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (2) Penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga
puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Selain itu, Pasal 16
UU No. 30/2002 tentang KPK juga mengatur bahwa setiap Pn/PN yang menerima
gratifikasi wajib melaporkan kepada KPK paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak
tanggal penerimaan. KPK menerbitkan Peraturan KPK (Perkom) Nomor: 02 Tahun 2014
dan Perkom Nomor: 06 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaporan dan Penetapan Status
Gratifikasi. Untuk menjelaskan lebih jauh, KPK juga menerbitkan Pedoman Pengendalian
Gratifikasi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 16 Perkom tersebut.
Konsekuensi hukum dari tidak melaporkan gratifikasi yang diterima ini cukup berat,
yaitu pidana penjara minimum 4 tahun dan maksimum 20 tahun atau pidana penjara
seumur hidup, dan pidana denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah),
maksimum Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
C. PENGENDALIAN GRATIFIKASI
55
Pencegahan Korupsi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 huruf d, yang kemudian
diuraikan lebih jauh pada Pasal 13 huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), yang mengatur tentang kewenangan menerima
dan menetapkan status gratifikasi.
negeri/penyelenggara negara maupun pejabat publik dalam menerapkan Pasal 12B dan
12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 16 dan 17 UU KPK.
1. Transparansi
Prinsip keterbukaan ini tercermin dari adanya mekanisme pelaporan atas penerimaan
gratifikasi kepada KPK. Mekanisme pelaporan tersebut merupakan sarana bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara untuk menguji dan menjamin keabsahan penerimaan-
penerimaan yang diperoleh dalam kaitan dengan jabatannya selaku pegawai
negeri/penyelenggara negara. Akan tetapi, prinsip ini tidak serta merta melekat pada
setiap tahapan pelaporan penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri/penyelenggara
negara. Ketika pelaporan tersebut masuk ke dalam proses penanganan penetapan
56
statusnya oleh KPK, maka prinsip keterbukaan dapat dikesampingkan dengan
memandang kepentingan yang lebih besar, yaitu perlindungan bagi pelapor gratifikasi.
2. Akuntabilitas
Prinsip akuntabilitas mengacu pada pelapor gratifikasi dan KPK sebagai lembaga Negara
yang diberikan tugas dan wewenang oleh undang-undang untuk menerima laporan
3. Kepastian Hukum
Prinsip ini berarti, sesuai dengan konsepsi Indonesia sebagai Negara hukum maka KPK
dalam menjalankan tugasnya mengutamakan landasan peraturan perundangundangan,
kepatutan dan aspek keadilan. Proses penerimaan laporan, pencarian informasi,
telaah/analisis dan penetapan status kepemilikan gratifikasi dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepada pihak pelapor gratifikasi,
penetapan status kepemilikan gratifikasi yang disampaikan oleh KPK memberikan
kepastian hukum terkait hak dan kewajiban pelapor terhadap gratifikasi yang diterima.
4. Kemanfaatan
57
Prinsip ini mengacu pada aspek pemanfaatan barang gratifikasi yang telah ditetapkan
menjadi milik Negara untuk sebesar-besarnya kepentingan Negara. Sedangkan
gratifikasi lain yang tidak dianggap suap namun terkait dengan kedinasan, kemanfaatan
patut diarahkan pada kemanfaatan oleh institusi dan kemanfaatan bagi masyarakat
tidak mampu, sehingga dalam kondisi tertentu gratifikasi yang tidak dianggap suap
namun terkait dengan kedinasan dapat disumbangkan pada panti asuhan atau lembaga
sosial lainnya yang membutuhkan.
5. Kepentingan Umum
6. Independensi
Bagi pelapor gratifikasi, prinsip independensi ini ditunjukkan dengan sikap menolak
setiap pemberian dalam bentuk apapun yang terkait dengan jabatannya atau
melaporkan penerimaan gratifikasi yang dianggap suap kepada KPK. Pelaporan tersebut
58
akan memutus potensi pengaruh pada independensi penerimaan gratifikasi dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya.
Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu, instansi atau lembaga tempat pelapor
gratifikasi bekerja juga wajib memberikan perlindungan dan memastikan tidak terdapat
intimidasi dan diskriminasi dalam aspek kepegawaian terhadap diri pelapor
Praktik Gratifikasi adalah sebuah tindakan ilegal dan dapat terjadi di mana saja,
termasuk di lingkungan pemerintahan seperti Kementerian PUPR. Oleh karena itu,
pemerintah Indonesia telah berupaya untuk memberantas praktik korupsi dan suap melalui
lembaga antikorupsi seperti KPK dan juga dengan menerapkan berbagai kebijakan dan aturan
yang lebih ketat dalam pengelolaan keuangan negara. Namun demikian, upaya pencegahan
dan penindakan korupsi dan suap tetap membutuhkan partisipasi dari seluruh lapisan
masyarakat dan stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan keuangan negara.
Upaya pencegahan praktik korupsi lainnya juga terdapat dalam Perpres nomor 55 tahun
2012 yaitu Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang 2012–
2025 dan Jangka Menengah 2012 – 2014 dan juga melalui Perpres nomor 54 tahun 2018. Dua
peraturan presiden yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi di
Indonesia, meskipun keduanya memiliki fokus yang berbeda. Perpres Nomor 55 Tahun 2012
lebih spesifik dalam mengatur tentang KPK sebagai lembaga penegak hukum yang
independen, sedangkan Perpres Nomor 54 Tahun 2018 membahas strategi secara umum
untuk mencegah korupsi di Indonesia. Keduanya memiliki peran penting dalam
memberantas korupsi, dengan Perpres Nomor 55 Tahun 2012 memastikan keberadaan dan
mandat KPK, dan Perpres Nomor 54 Tahun 2018 mengarahkan upaya pencegahan korupsi
yang lebih luas di tingkat nasional.
59
Praktik gratifikasi menjadi momok yang paling sering digaungkan di dalam lingkungan
kepemerintahan. Contohnya ialah di lingkungan Kementerian PUPR, dimana terjadi kasus
suap proyek pembangunan jalan di Maluku yang merupakan program aspirasi anggota Komisi
V DPR RI. Dalam kasus ini diduga terdapat aliran suap yang mengarah pada tindak pidana
pencucian uang, khusunya yang dilakukan oleh pejabat pemerintah yang saat itu merupakan
tersangka kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) pada proyek di Kementerian PUPR
tahun 2016.
melalui Kementerian PUPR. Direktur PT. WTU diperintahkan oleh pejabat Kementerian
PUPR membayarkan sejumlah uang untuk proyek pembangunan jalan di Tehoru – Laimu yang
sudah ada judul dan kode kepemilikan masing-masing. Pejabat tersebut diduga memberikan
uang kepada sejumlah pejabat di Kementerian PUPR, dimana uang tersebut diberikan agar
program aspirasi anggota Komisi V DPR berupa anggaran untuk proyek pembangunan jalan
disetujui oleh Kementerian PUPR. (Sumber artikel: Suparji, Fauzy Ridha. 2018).
Adanya kasus suap seperti ini dapat memperburuk persepsi masyarakat terhadap
kinerja pemerintah dan meningkatkan tingkat ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga
publik. Oleh karena itu, transparansi dan akuntabilitas dalam menjalankan tugas adalah hal
60
yang penting bagi instansi-instansi pemerintah, termasuk Kementerian PUPR, untuk
membangun kepercayaan masyarakat dan menjaga instansinya.
lain yang dapat mempengaruhi pelaksanaan tugasnya dan tidak sesuai dengan
kewajibannya untuk dilaporkan kepada atasan atau pihak yang berwenang. Selain itu, KPK
selaku lembaga anti korupsi juga memiliki aturan terkait pelaporan gratifikasi. Setiap pegawai
negeri atau
Bagi masyarakat umum, pelaporan gratifikasi dapat dilakukan melalui hotline KPK di
nomor 198 atau melalui laman resmi KPK di www.kpk.go.id. Pelaporan gratifikasi tersebut
akan dijaga kerahasiaannya dan pelapor akan mendapatkan perlindungan dari segala bentuk
ancaman dan tekanan.
Sama halnya dengan KPK, Kementerian PUPR melalui Permen PUPR No. 2 Tahun 2022
tentang pengendalian gratifikasi, mengatur bahwa penerimaan/ Penolakan gratifikasi dapat
dilaporkan kepada Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) di Unit Organisasi. Laporan diterima
paling lambat 10 hari kerja sejak gratifikasi tersebut diterima/ditolak melalui website
https://gol.itjen.pu.go.id. Adapun mekanisme pelaporannya adalah sbb:
61
Gambar 7. Mekanisme Pelaporan Gratifikasi
Substansi atau informasi yang terdapat di dalam laporan melalui saluran pelaporan gratifikasi
sekurang-kurangnya memuat:
1. Pelaporan Identitas penerima berupa Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, alamat
lengkap, nomor telepon.
62
7. Kronologis peristiwa penerimaan gratifikasi.
E. LATIHAN
• Apa saja kebijakan atau peraturan yang telah diterapkan untuk mengatur praktik
gratifikasi di lingkungan Kementerian PUPR?
• Apakah kebijakan tersebut cukup efektif dalam mencegah dan menangani kasus
gratifikasi? Jelaskan alasannya.
• Bagaimana tingkat kesadaran dan pemahaman para pegawai atau aparatur negara
terkait kebijakan gratifikasi?
• Apa saja hambatan yang dihadapi dalam penerapan kebijakan antikorupsi terkait
gratifikasi?
• Apa rekomendasi Anda untuk memperkuat kebijakan antikorupsi terkait gratifikasi
agar lebih efektif?
F. RANGKUMAN
63
Tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip integritas dan kejujuran dapat merusak
reputasi dan mengancam stabilitas organisasi atau institusi yang terlibat. Dalam konteks
pengendalian gratifikasi, prinsip kepentingan umum terwujud dari tidak meminta dan
menerima pemberian-pemberian dari masyarakat terkait dengan pelayanan atau pekerjaan
yang dilakukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan efektivitas dalam pengelolaan
BMN di Kementerian PUPR agar dapat dimanfaatkan secara optimal.
G. EVALUASI
64
BAB IV
INTEGRITAS DAN BUDAYA ANTI KORUPSI
A. INTEGRITAS
Ketika berbicara mengenai integritas, cukup banyak aturan hukum di Indonesia yang
menyinggung tentangnya. Beberapa peraturan tersebut antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor
7/PRT/M/2017 tentang Kode etik dan Kode Perilaku Pegawai Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat.
5. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor
10/PRT/M/2017 tentang Tata Cara Penanganan Pelaporan Dugaan Pelanggaran melalui
Whistleblowing System di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
6. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor.
26/PRT/M/2017 tentang Panduan Pembangunan Budaya Integritas di Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
65
9. Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor
20 Tahun 2021 tentang Implementasi Core Values dan Employer Branding Aparatur Sipil
Negara.
Integritas berasal dari bahasa latin integer yang berarti keseluruhan dan lengkap. Dalam
hal ini, integritas memerlukan perasaan batin yang menunjukkan keutuhan dan konsistensi
karakter. Pada bahasa Inggris, integritas diterjemahkan sebagai yakni integrity, yang berarti
menyeluruh, lengkap atau segalanya. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), integritas dapat diartikan mutu, sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang
utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan serta
kejujuran.
Integritas memiliki banyak pengertian dari berbagai pakar. Menurut Menurut Henry
Cloud, ketika berbicara mengenai integritas, maka tidak akan terlepas dari upaya untuk
menjadi orang yang utuh dan terpadu di setiap bagian diri yang berlainan, yang bekerja
dengan baik dan menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang telah dirancang
sebelumnya. Sedangkan Ippho Santosa, seorang pengusaha dan motivator, menyampaikan
bahwa integritas sering diartikan sebagai menyatunya pikiran, perkataan dan perbuatan
untuk melahirkan reputasi dan kepercayaan. Menurut Low, integrity is a concept of
consistency of actions, values, methods, measures, principles, expectations, and outcomes. In
ethics, integrity is considered as the honesty and truthfulness or accuracy of one’s actions.
Dari berbagai definisi di atas, dapat ditarik suatu benang merah bahwa Integritas dapat
diartikan sebagai keselarasan antara pikiran, perkataan, perbuatan dengan nilai-nilai/
hukum/norma/aturan yang berlaku. Integritas diartikan juga sebagai kejujuran dan
kebenaran dari tindakan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti integritas
pada diri seorang manusia memegang peranan penting pada kemuliaannya sebagai seorang
manusia. Kemudian bagi kehidupan bermasyarakat, adanya integritas pada orang-orangnya
66
akan menjamin adanya tatanan masyarakat yang baik. Pada akhirnya dapat disimpulkan
bahwa integritas adalah salah satu penentu keberadaban dan kehebatan suatu bangsa.
1. Jujur
Jujur adalah sikap lurus hati, tidak berbohong, tidak curang dan tulus-ikhlas. Orang
dengan nilai kejujuran di hatinya tidak akan pernah korupsi, sebaliknya ia akan menolak
ketidakjujuran. Orang tersebut berani menegur atau melaporkan tindak ketidakjujuran
seperti korupsi atau yang lainnya.
2. Tanggung jawab
Seseorang yang bertanggung jawab berani mengakui kesalahan yang dilakukan, mereka
juga amanah dan dapat diandalkan. Tanggung jawab tidak muncul begitu saja, namun
67
terjadi melalui sebuah proses. Dimulai dari hal-hal kecil, seperti jika mengambil sesuatu
harus mengembalikan pada tempatnya. Jika berjanji, janji tersebut harus ditepati. Hal
ini dilakukan secara menerus sehingga menjadi kebiasaan. Seseorang bertanggung
jawab karena telah terbiasa dengan hal-hal yang memerlukan tanggung jawab.
3. Disiplin
Disiplin adalah sikap mental untuk melakukan hal-hal yang seharusnya pada saat dan
situasi yang tepat. Komitmen ialah salah satu kunci terbentuknya disiplin. Komitmen
disini merupakan sikap mental untuk melakukan segala sesuatu yang telah ditetapkan.
Hal ini terbentuk melalui pembiasaan. Seseorang dengan komitmen tinggi akan selalu
melakukan segala sesuatu sesuai dengan yang telah ditetapkan.
4. Mandiri
Mandiri dimaknai dalam keadaan dapat berdiri sendiri dan tidak bergantung pada orang
lain. Pribadi yang mandiri akan berani menata diri dan menjaga diri. Ia berani
mengarahkan kegiatan hidupnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Ia memiliki langkah-langkah, kegiatan atau tingkah laku yang efektif untuk
mencapai tujuan dimaksud.
5. Kerja keras
Kerja keras adalah kegiatan yang dikerjakan secara sungguh-sungguh tanpa mengenal
lelah atau berhenti sebelum target kerja tercapai dan selalu mengutamakan atau
memperhatikan kepuasan hasil pada setiap kegiatan yang dilakukan. Seseorang yang
bekerja keras tidak bersifat malas dan mengeluh terhadap suatu pekerjaan karena akan
mempengaruhi etos kerja yang sudah dibangun.
6. Sederhana
Menurut KBBI, sederhana memiliki pengertian bersahaja dan tidak berlebih-lebihan.
Berbeda dengan kemiskinan, kesederhanaan adalah sebuah pilihan, keputusan untuk
menjalani hidup yang berfokus pada apa yang benar-benar berarti. Sederhana juga
68
berarti hidup secara wajar. Artinya, seseorang mampu menggunakan hartanya sesuai
kebutuhan yang ada, tidak menghamburkan uang untuk sesuatu yang tidak penting.
7. Berani
Berani adalah tidak takut menghadapi bahaya atau kesulitan. Orang yang berani
memiliki rasa percaya diri yang besar, pantang mundur, dan tidak gentar. Keberanian
tentu saja harus dilandasi dengan kebenaran. Seseorang yang berani melaporkan tindak
pidana korupsi karena dia yakin bahwa itu adalah tindakan yang benar dan korupsi
adalah kejahatan.
8. Peduli
Makna peduli ialah mengindahkan, memperhatikan, dan menghiraukan. Kepedulian
merupakan sikap memperhatikan kondisi sekitar dan orang lain. Pendapat lain
menyebut, peduli adalah sikap keberpihakan kita untuk melibatkan diri dalam
persoalan, keadaan, atau kondisi di sekitar kita. Orang yang peduli adalah mereka yang
terpanggil melakukan sesuatu dalam rangka memberi inspirasi, perubahan, dan
kebaikan.
9. Adil
Adil berasal dari bahasa Arab yang berarti berada di tengah-tengah, jujur, lurus, dan
tulus. Secara terminologis adil bermakna suatu sikap yang bebas dari diskriminasi dan
ketidakjujuran. Seseorang yang adil akan selalu bersikap imparsial dan tidak memihak
kecuali kepada kebenaran.
Setelah memahami lebih dalam mengenai pengertian integritas dan perilaku yang
terkait dengannya, selanjutnya perlu juga memahami cara membentuk dan meningkatkan
integritas khususnya bagi para aparatur sipil negara. Cara-cara tersebut antara lain:
69
seluruh pegawai akan memiliki pemahaman yang sama mengenai integritas, dan dapat
mengimplementasikannya secara kolektif dengan baik.
2. Menciptakan lingkungan kerja yang terbuka dan transparan dimana seluruh pegawai
dapat mengerjakan dan mendiskusikan pekerjaanya dengan nyaman, didukung oleh
sarana prasarana yang memadai, aturan main yang jelas dan terukur, serta sistem
manajemen pekerjaan yang efektif dan efisien.
3. Menunjukan keteladanan (khususnya dari pimpinan) pada setiap aspek kehidupan, baik
profesionalitas pada pekerjaan, maupun keteladanan pada kehidupan pribadi.
Ia harus bisa memimpin dengan memberi contoh yang baik dan sesuai dengan peraturan
yang ada, serta apa yang diharapkan oleh organisasi. Sikap ini yang nantinya akan dilihat
dan dicontoh oleh pegawai lain, sehingga turut mendorong terbentuknya integritas
organisasi.
4. Mampu bersikap tegas pada pegawai perihal integritas di tempat kerja, dengan
memberikan apresiasi atau penghargaan bagi yang secara konsisten mematuhi dan
bertindak sesuai dengan etika kerja yang diharapkan. Dan sebaliknya, kita juga perlu
bertindak untuk meluruskan pelanggaran yang dilakukan, misalnya dengan memberi
peringatan atau sanksi tegas.
Peran infrastruktur sangat penting dalam mewujudkan pemenuhan hak dasar rakyat
seperti pangan, sandang, papan, rasa aman, pendidikan, dan kesehatan. Selain itu,
infrastruktur juga memegang peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi
nasional dan daya saing global. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR) yang menangani infrastruktur pekerjaan umum dan perumahan rakyat, sebagai
bagian dari bidang infrastruktur, berkewajiban untuk mendukung hal tersebut melalui
pelaksanaan pembangunan yang terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan
70
pengarusutamaan pembangunan yang berkelanjutan, aspek gender, serta berlandaskan
tata kelola pemerintahan yang baik dalam proses pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Penerapan tata kelola pemerintahan yang baik akan mewujudkan pemerintahan yang
bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), pelayanan publik yang berkualitas,
serta kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi yang tinggi. Makna dari tata kelola
pemerintahan yang baik ialah tatanan pengelolaan manajemen yang ditandai dengan
penerapan prinsip-prinsip tertentu, antara lain keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas dan
efisiensi, supremasi hukum, keadilan, dan partisipasi. Penerapan prinsip-prinsip ini ternyata
inline dengan nilai integritas yang telah dijabarkan di atas. Seorang pegawai Kementerian
PUPR apabila ingin mewujudkan infrastruktur PUPR yang dapat mendukung pertumbuhan
ekonomi nasional dan daya saing global, maka harus membangunnya dengan tata kelola
pemerintahan yang baik, yang berarti ia harus memiliki integritas yang tinggi di dalam dirinya.
Nilai integritas yang harus tertanam dalam diri insan PUPR sesungguhnya telah
dicantumkan dalam Permen PUPR No. 26/PRT/M/2017 tentang Panduan Pembangunan
Budaya Integritas di Kementerian PUPR. Peraturan ini menjelaskan bahwa seluruh pegawai
Kementerian PUPR harus menunjukan jati diri sebagai orang PUPR yang mempunyai nilai-
nilai iProVe. Penjabaran nilai-nilai dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Integritas
Insan Kementerian PUPR melaksanakan tugas dengan jujur, bersikap dan berperilaku
sesuai antara perbuatan dan u capan, konsisten, disiplin, berani dan tegas dalam
mengambil keputusan, tidak menyalahgunakan wewenang serta pro aktif dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme serta tidak melibatkan
diri dalam perbuatan tercela.
71
2. Profesional
3. Mission Oriented
Insan Kementerian PUPR senantiasa berpijak pada visi dari Kementerian PUPR yang
merupakan acuan dalam melaksanakan tugas melalui organisasi unit kerjanya sebagai
arah dalam mencapai sasaran dan kesuksesan dalam mencapai misi pelaksanaan tugas
dan fungsi organisasi tersebut.
4. Visioner
Insan Kementerian PUPR melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan yang lebih besar,
melihat jauh ke depan, berbuat untuk kemajuan masyarakat, bangsa dan negara, serta
memberikan makna dalam setiap kegiatan.
Insan Kementerian PUPR memiliki budi pekerti, akhlak dan tingkah laku (tabiat) yang
terpuji, baik dan yan g mulia sesuai dengan ajaran agama yang harus dimiliki oleh semua
manusia yang hidup di dunia. Dengan demikian keberadaan setiap karyawan
Kementerian PUPR dapat bermanfaat dan memberikan kenyamanan bagi lingkungan ,
masyarakat, bangsa dan negara.
Nilai iProVe (dan kandungan nilai integritas di dalamnya) ini sejalan dengan core values
ASN yang telah diluncurkan oleh Bapak Presiden di tahun 2021, yaitu BerAKHLAK. BerAKHLAK
sendiri merupakan sebuah akronim dengan penjabaran sebagai berikut:
72
1. Berorientasi Pelayanan
2. Akuntabel
Bertanggung jawab atas kepercayaan yang diberikan merupakan pengertian dari nilai
Akuntabel. Panduan perilaku pada Akuntabel mencakup melaksanakan tugas dengan
3. Kompeten
Aparatur sipil negara yang kompeten berarti ia mau terus belajar dan mengembangkan
kapabilitas. Panduan perilaku yang ditunjukan oleh ASN tersebut ialah meningkatkan
kompetensi diri untuk menjawab tantangan yang selalu berubah, membantu orang lain
belajar, serta melaksanakan tugas dengan kualitas terbaik.
4. Harmonis
Harmonis merupakan sikap saling peduli dan menghargai perbedaan, yang dapat dilihat
dalam perilakunya yang meliputi menghargai setiap orang apapun latar belakangnya,
suka menolong orang lain, serta membangun lingkungan kerja yang kondusif.
5. Loyal
73
6. Adaptif
Pengertian nilai Adaptif adalah sikap terus berinovasi dan antusias dalam menggerakkan
serta menghadapi perubahan. Perilaku ASN yang adaptif selalu dipandu oleh 3 (tiga) hal,
yaitu cepat menyesuaikan diri menghadapi perubahan, terus berinovasi dan
mengembangkan kreativitas, serta bertindak proaktif.
7. Kolaboratif
Secara sederhana nilai Kolaboratif diartikan sebagai membangun kerja sama yang
sinergis, dan dilandasi oleh 3 (tiga) panduan perilaku yang meliputi memberi
kesempatan kepada berbagai pihak untuk berkontribusi, terbuka dalam bekerja sama
untuk menghasilkan nilai tambah, serta menggerakkan pemanfaatan berbagai sumber
daya untuk tujuan bersama.
Dari pendeskripsian dua set nilai di atas, iProVe dan BerAKHLAK, maka nilai integritas
selalu dikedepankan dalam penjabarannya. Pada iProVe, integritas menjadi nilai pertama
yang harus dimiliki oleh insan PUPR. Insan PUPR yang memiliki integritas maka akan
mengemban tanggung jawabnya dengan baik, yang pada gilirannya nanti, sikap profesional
yang ditunjukan tersebut akan mensukseskan misi organisasi yang hendak dicapai. Demikian
pula pada nilai BerAKHLAK. Jika pengertian dan panduan perilaku seluruh nilai BerAKHLAK
diurai menggunakan acuan 9 (Sembilan) nilai integritas yang dikeluarkan KPK, maka dapat
dipastikan bahwa kesemua nilai BerAKHLAK mengandung nilai integritas yang harus dimiliki
dan diterapkan oleh seorang ASN. Sebagai contoh yaitu nilai Kompeten. Salah satu panduan
perilakunya menyebutkan bahwa ASN harus melaksanakan tugas dengan kualitas terbaik.
Perilaku ini hanya dapat diwujudkan bila ASN tersebut melaksanakan tugasnya dengan penuh
tanggung jawab dan kerja keras. Tanggung jawab dan kerja keras sendiri merupakan 2 (dua)
nilai integritas yang telah dijelaskan sebelumnya.
74
Kedua set nilai di atas yang harus dimiliki oleh insan PUPR sesungguhnya ditujukan agar
seluruh pegawai Kementerian PUPR dapat mengamalkan core values BerAKHLAK untuk
mencapai tujuan dan sasaran Kementerian PUPR dengan spirit atau semangat budaya kerja
PUPR, yaitu iProVe. Elaborasi BerAkhlak sebagai nilai dasar yang terpatri dalam jiwa ASN
seluruh Indonesia selanjutnya dituangkan dalam budaya kerja (corporate culture) di
Kementerian PUPR melalui iProve. Sehingga setiap ASN di Kementerian PUPR mampu
menjalankan nilai dasar ASN dalam setiap perilakunya pada iProve yang tertuang dalam aksi
bekerja keras, bergerak cepat, dan bertindak tepat.
Pada bagian sebelumnya sudah dijelaskan tentang BerAKHLAK yang menjadi core values
dari setiap ASN PUPR, ditambah dengan nilai iProVe yang menjadi corporate culture atau
budaya kerja Kementerian PUPR.
Budaya sendiri berdasarkan KBBI diartikan sebagai pikiran atau akal budi, adat istiadat,
dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Sedangkan menurut
E.B. Taylor, budaya adalah sistem kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,
kesenian, moral, keilmuan, adat istiadat, dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat
oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dari pengertian budaya di atas, budaya korupsi
bisa dipahami sebagai perbuatan penyelewengan atau penyalahgunaan uang (dan bentuk
lainnya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain yang telah membudaya. Artinya perbuatan
korupsi tersebut telah menjadi kebiasaan dan susah untuk diubah. Mengingat sifat korupsi
yang sangat merusak, maka sudah sepatutnya budaya tersebut dibatasi, diminimalkan, dan
dilawan dengan cara membangun budaya anti korupsi.
75
yang berlaku. Antitesis dari perbuatan korupsi adalah anti korupsi. Anti korupsi
didefinisikan oleh KPK sebagai semua tindakan, perkataan, atau perbuatan yang menentang
korupsi dan segala macam bentuknya. Untuk melawan budaya korupsi, maka bagi seluruh
komponen bangsa harus ditanamkan budaya anti korupsi. Berdasarkan penjelasan
sebelumnya, budaya anti korupsi merupakan suatu perbuatan dan kebiasaan sebagai hasil
dari pikiran atau akal budi yang menentang segala macam bentuk korupsi.
Budaya anti korupsi dapat ditumbuhkan dengan berbagai cara. Bagi instansi
pemerintah, salah satunya ialah dengan membangun Zona Integritas. Pembangunan zona ini
mengacu pada Permen PANRB No. 90 Tahun 2021 tentang Pembangunan dan Evaluasi Zona
Integritas Menuju Wilayah Bebas Dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Bersih dan
Melayani di Instansi Pemerintah. Zona integritas (ZI) adalah instansi pemerintah yang
pimpinan dan jajarannya telah berkomitmen untuk mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi
(WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM) melalui reformasi birokrasi,
khususnya dalam hal mewujudkan pemerintahan yang bersih dan akuntabel serta pelayanan
publik yang prima.
Zona integritas seperti penjelasan di atas menjadi sarana untuk pembentukan budaya
integritas di Kementerian PUPR berdasarkan penjelasan Permen PUPR No. 26 Tahun 2017
tentang Panduan Pembangunan Budaya Integritas Di Kementerian Pekerjaan Umum Dan
Perumahan Rakyat. Budaya integritas sendiri didefinisikan sebagai hasil internalisasi perilaku,
pola kepemimpinan yang berintegritas pada semua tataran komponen, dalam rangka
mewujudkan visi dan misi dalam pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme.
76
budaya anti korupsi dapat dilakukan dengan internalisasi nilai, membangun sistem
integritas dan kepemimpinan yang berintegritas pada semua tatanan komponen.
Di Kementerian PUPR, budaya integritas atau budaya anti korupsi dibangun oleh suatu
Komite Integritas yang dibentuk oleh Menteri PUPR. Komite ini merupakan tim yang
bertanggung jawab untuk mengelola pembangunan sistem integritas organisasi, dimana
dalam menjalankan perannya diharapkan dapat membangun inisiatif strategis yang terdiri
dari 7 (tujuh) komponen komite yang meliputi:
Penentuan posisi kunci terkait pencapaian tujuan organisasi yang dilengkapi dengan
jaminan bahwa pemilihan dan pergantiannya melalui sistem dan penggantinya
dipastikan memiliki kompetensi lebih baik atau minimal sebanding.
2. Talent Management
Pemastian untuk mendapatkan sumber daya manusia terbaik yang dikelola secara
khusus agar berkelanjutan memberikan kinerja luar biasa bagi organisasi.
Organisasi ada dalam lingkungan yang berinteraksi antara sistem birokrasi, swasta dan
politik yang tidak menyebabkan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
77
6. Combined Assurance Plus (Pemastian Terintegrasi)
Pimpinan puncak dan seluruh elemen organisasi mendukung penuh para tunas
integritas dengan kebijakan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk pembangunan
budaya integritas.
Ketujuh komponen tersebut di atas tidak dapat dibangun sendiri-sendiri oleh masing-masing
organisasi, namun hanya bisa dibangun dengan sinergi atau lintas organisasi dan lintas
sektor, dimana implementasinya diharapkan tidak hanya sebatas “ada” namun dapat
mencapai kematangan implementasi “efektif” dan lebih jauh lagi “berdampak”.
Seleksi pimpinan yang menjadikan keteladan sebagai faktor kunci yang diikuti dengan
pengembangan untuk menjaga dan meningkatkan keteladanan pimpinan.
78
3. Analisis Risiko (Manajemen Risiko)
Manajemen risiko yang dilakukan oleh seluruh unit atau bagian dari organisasi hingga
masing-masing mempunyai risk register.
Program khusus dari KPK yang melibatkan stakeholder untuk memiliki peraturan khusus
dan unit pengendali gratifikasi.
Pelaporan harta yang tidak hanya pemenuhan laporan namun dijadikan instrumen
pengawasan, pengendalian dan manajemen sumber daya manusia.
9. Post Employment
Program khusus untuk memastikan keamanan informasi dan tidak terjadinya conflict of
interest (COI) diakhir masa kerja (bukan masa persiapan pensiun) sebagai akibat dari:
a. terbukanya lintas posisi strategis antara public dan private sector.
b. berkembangnya talent management yang memungkinkan seseorang ada di puncak
kepemimpinan organisasi dalam usia muda.
10. Pengungkapan Isu dan Uji Integritas
Program untuk mengumumkan akan adanya uji integritas melalui pihak ke tiga dengan
cara menjebak (digoda) namun sebelumnya telah dilakukan pengumuman dan
pemberitahuan kepada seluruh pegawai atau anggota dari organisasi, dengan harapan
mereka akan selalu waspada kana adanya godaan.
79
11. Manajemen SDM
Semacam LAKIP, SAKIP, WTP dan model lainnya sesuai dengan ruang lingkupnya masing-
masing.
PBJ yang dijalankan secara berintegritas dan dengan dukungan teknologi informasi
sehingga menghasilkan “value of money” (uang yang dikeluarkan untuk PBJ mempunyai
nilai/manfaat).
SOP mendetail dan mudah untuk digunakan (user friendly) serta dapat cepat
menyelaraskan dengan perubahan lingkungan strategis.
Disamping pembentukan Komite Integritas, melalui Memo Dinas Menteri PUPR No. 1
Tahun 2020 tanggal 29 Juni 2020, serta Memo Dinas Menteri PUPR No. 1 Tahun 2021 tanggal
8 Februari 2021, Kementerian PUPR telah merumuskan 9 (sembilan) Strategi Pencegahan
Penyimpangan (Fraud) Dalam Proses Pengadaan Barang dan Jasa yang terdiri dari:
80
3. Perbaikan mekanisme penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS).
6. Risk management atau manajemen risiko di unit organisasi, balai, dan satuan kerja.
7. Pembentukan Unit Kepatuhan Internal (UKI) pada unit organisasi dan balai (sebagai
second line of defense).
Terdapat beberapa kegiatan yang telah dilakukan sesuai dengan program dalam 9
(sembilan) strategi tahap 1 di atas, yang meliputi:
3. Modernisasi pelaksanaan PBJ dengan beberapa sistem informasi atau aplikasi seperti
SIPASTI (HPS), E-Simpan, SIPBJ, E-Katalog, dan E-Purchasing.
81
4. Penerapan manajemen risiko di Kementerian PUPR, sekaligus penetapan indeks
manajemen risiko di PUPR lebih dari 3.
5. Pembentukan Unit Kepatuhan Internal (UKI) setingkat eselon 2 dan eselon 3 di setiap
unit organisasi, termasuk penyiapan SOP yang dibutuhkan. Tugas utama UKI adalah
melakukan pembinaan dan pengendalian agar tidak terjadi penyimpangan (fraud) dalam
proses pelaksanaan pekerjaan konstruksi sejak proses perencanaan, pengadaan, hingga
pelaksanaan pekerjaan.
7. Nilai IACM (Internal Audit Capability Model) atau Penilaian Mandiri Kapabilitas APIP
Inspektorat Jenderal mencapai level 3. Hal ini berarti APIP telah menjadi mitra strategis
organisasi dan hasil pengawasan APIP terkait tata kelola, manajemen risiko dan
pengendalian (Governance Risk and Compliance) yang berkelanjutan mendukung
pencapaian tujuan organisasi dapat tercapai.
8. Penerapan SMAP (Sistem Manajemen Anti Penyuapan) sesuai ISO 37000: 2016 pada
Balai Pelaksana Pemilihan Jasa Konstruksi (BP2JK) Wilayah. Hingga pertengahan tahun
2023 ini, telah terdapat 22 balai dilingkungan Ditjen Bina Konstruksi yang memperoleh
sertifikasi ISO SMAP, dan terdapat 6 balai lagi yang sedang dalam proses pengurusan
sertifikat ISO SMAP.
82
instruksi menteri tersebut, strategi yang harus dilaksanakan oleh Kementerian PUPR
meliputi:
4. Peningkatan pembinaan penyedia jasa konstruksi. Penyedia jasa merupakan mitra kerja
Kementerian PUPR dalam pelaksanaan proyek konstruksi. Oleh karena itu, perlu
dilakukan pembinaan agar para penyedia jasa konstruksi dapat memenuhi persyaratan
dan standar yang telah ditetapkan berdasarkan aturan.
6. Implementasi budaya sadar risiko. Peningkatan kesadaran akan risiko pada suatu
organisasi dapat membantu mencegah terjadinya penyimpangan dan memperkuat
pengelolaan keuangan dan aset negara di organisasi tersebut.
7. Penguatan Unit Kepatuhan Intern (UKI). Sebagai unit yang bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa seluruh kegiatan di Kementerian PUPR dilakukan sesuai dengan
aturan dan regulasi yang berlaku, maka penguatan pada UKI perlu dilakukan agar UKI
lebih efektif dalam menjalankan tugasnya.
Berdasarkan instruksi menteri di atas, contoh langkah strategi yang harus dilakukan untuk
meningkatkan budaya anti korupsi diantaranya adalah sebagai berikut:
83
▪ Langkah strategis
▪ Indikator keberhasilan
c. Jumlah gap untuk kompetensi manajerial dan kompetensi teknis masing-masing <
30% untuk pokja PBJ.
84
▪ Target/Ukuran Keberhasilan
a. Terselenggaranya pelatihan anti korupsi (bagi PISK) dan uji integritas untuk
sebanyak 10% pegawai yang wajib lapor LHKPN.
f. Terlaksananya penerapan SMAP dan audit internal SMAP pada unit kerja layanan
publik strategis.
2. Mewajibkan para pegawai di Unit Kepatuhan Internal, termasuk para pejabat eselon 3,
Kepala Satuan Kerja, dan Pejabat Pembuat Komitmen untuk mengikuti pelatihan anti
korupsi di KPK.
85
korupsi di Indonesia, sehingga dapat mendorong insan PUPR untuk mengembangkan
budaya anti korupsi.
6. Memperbaharui Permen PUPR No. 7 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Kode Perilaku
Pegawai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat agar sesuai dengan
perkembangan saat ini, termasuk kebutuhan pembangunan budaya anti korupsi.
Pembangunan budaya anti korupsi sendiri tidak bisa hanya dilakukan oleh organisasi
saja, namun juga harus diupayakan oleh individu-induvidu pegawai di Kementerian PUPR.
Pegawai yang berintegritas, sadar akan bahaya korupsi, dan menghindari korupsi akan
membentuk lingkungan yang antikorupsi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Paling
tidak terdapat 5 (lima) hal dimana insan PUPR bisa mengambil perannya, yaitu:
"Mulai dari diri sendiri" adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan poin ini,
dimana semua berpegang teguh pada nilai kejujuran. Walaupun para pegawai di unit
kerja tidak mendukung upaya pencegahan korupsi, kita harus bisa menunjukan bahwa
kita “anti mainstream” dan berani mengambil sikap untuk tidak terlibat.
Seseorang yang antikorupsi haruslah memiliki integritas yang kokoh. Jika seseorang
mengakui bahwa dia orang yang jujur, maka pengakuannya akan tercermin dari
tindakan, perasaan, dan perilakunya. Integritas akan menjaga orang itu tetap jujur,
walau tidak ada orang lain di sekitar yang melihat kejujurannya.
86
3. Melaporkan tindak pidana korupsi
"Lihat, Lawan, Laporkan" merupakan salah satu jargon dalam perang melawan korupsi.
Pegawai yang anti korupsi tidak akan diam saja jika melihat korupsi di depan matanya.
barang dan jasa atau rekrutmen serta promosi pegawai. Hal lain yang bisa dilakukan
sebagai individu misalnya memantau layanan publik, melakukan kajian terkait layanan
publik, menyampaikan rekomendasi perbaikan sistem kepada pemerintah, atau
membangun manajemen antikorupsi di lingkungan masing-masing.
Nilai-nilai anti korupsi dan integritas harus disebarluaskan. Seorang yang memegang
teguh integritas harus menularkan nilai-nilai luhur tersebut ke sekitarnya, mulai dari
keluarga, teman, kampus, atau rekan kerja. Penyebarluasan nilai tersebut tidak selalu
harus dengan sosialisasi yang serius, bisa juga melalui aksi kreatif sebagai pemantik
kesadaran antikorupsi, seperti puisi, lagu, atau pembuatan poster. Atau bisa juga terlibat
aktif dalam kampanye anti korupsi dengan menjadi Penyuluh Antikorupsi (Paksi) atau
Ahli Pembangun Integritas (API).
Sejatinya, setiap masyarakat Indonesia berpotensi menjadi agen perubahan anti korupsi.
Hanya perlu memunculkan kesadaran bahwa Indonesia yang lebih baik bisa diwujudkan
dengan bantuan kita. Dengan peran serta masyarakat, bukan tidak mungkin korupsi akan jadi
barang langka lalu punah di negeri ini.
87
D. LATIHAN
Berdasarkan materi yang sudah disampaikan, untuk membentuk budaya anti korupsi
atau budaya integritas di Kementerian PUPR, dibutuhkan banyak program/kegiatan/langkah-
langkah strategis yang dilakukan. Jelaskan langkah-langkah apa yang dilakukan untuk
membangun budaya anti korupsi di Kementerian PUPR!
E. RANGKUMAN
Bagi aparatur sipil negara, aturan yang menjadi acuan penerapan integritas dalam
pelaksanaan tugas sangatlah banyak. Integritas diartikan sebagai keselarasan antara pikiran,
perkataan, dan perbuatan dengan nilai-nilai/aturan yang berlaku. Integritas merupakan sikap
atau karakter yang melandasi seseorang untuk anti terhadap perbuatan korupsi dan berbagai
kejahatan yang terkait dengannya. Penanaman nilai integritas di Kementerian PUPR
tercermin pada 2 (dua) nilai dasar yang dimilikinya, yaitu core values BerAKHLAK dan
corporate culture iProVe. Dalam implementasinya, pembangunan budaya integritas atau
budaya anti korupsi kemudian turut diperkuat dengan adanya 9 (Sembilan) Strategi
Pencegahan Penyimpangan (Fraud) Dalam Proses Pengadaan Barang dan Jasa.
F. EVALUASI
1. Sebutkan dan jelaskan 3 (tiga) dimensi integritas menurut Executive Brain Assessment
(EBA)!
2. Sebutkan 9 (sembilan) nilai integritas yang dapat mencegah seseorang dari perbuatan
korupsi!
3. Apa yang dimaksud dengan nilai integritas pada corporate culture PUPR iProVe?
88
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Aparatur sipil negara Kementerian PUPR yang berintegritas adalah ASN yang jujur,
peduli, mandiri, disiplin, bertanggung jawab, bekerja keras, sederhana, berani, dan adil, serta
memiliki sikap anti terhadap korupsi dan anti gratifikasi.
89
B. TINDAK LANJUT
Sebagai tindak lanjut, guna mendukung pembangunan budaya anti korupsi, maka setiap
peserta pelatihan dapat menunjukan perilaku anti korupsi dalam kesehariannya, serta
mendukung langkah-langkah strategis anti korupsi organisasi untuk mewujudkan
Kementerian PUPR sebagai organisasi yang kredibel dan dipercaya dengan orang-orang yang
berintegritas dan kompeten.
90
GLOSARIUM
1. Budaya Integritas
adalah hasil internalisasi prilaku, pola kepemimpinan, yang berintegritas pada semua
tataran komponen dalam rangka mewujudkan visi dan misi dalam pencegahan korupsi,
kolusi dan nepotisme.
2. Gratifikasi
adalah pemberian dalam bentuk apapun untuk kepentingan pribadi atau orang lain dengan
tujuan mempengaruhi pelaksanaan tugas dan wewenang yang berhubungan dengan
jabatan atau pekerjaan di sektor publik maupun swasta.
3. Komite Integritas
adalah tim yang bertanggung jawab untuk mengelola pembangunan sistem integritas
Organisasi yang terdiri atas Tunas dan Penggerak Integritas yang ditunjuk.
4. Korupsi
adalah perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
5. Kode Etik
adalah norma atau pedoman sikap, tingkah laku, perbuatan, dan ucapan yang harus
dipatuhi oleh pegawai, baik dalam melaksanakan tugas dan fungsi organisasi maupun
menjalani kehidupan pribadi.
6. Kode Perilaku
adalah panduan tindakan atau perbuatan yang didasarkan pada nilai, etika, dan budaya
kerja Kementerian PUPR yang harus dipatuhi oleh pegawai, baik dalam melaksanakan tugas
dan fungsi organisasi maupun menjalani kehidupan pribadi.
7. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
adalah laporan yang wajib disampaikan oleh penyelenggara negara mengenai harta
kekayaan yang dimilikinya saat pertama kali menjabat, mutasi, promosi, dan pensiun.
Ketentuan penyelenggara negara sesuai aturan yang ada.
8. Tunas Integritas
adalah individu yang dipilih, dan atau individu yang berkehendak kuat, dan dibentuk untuk
membangun sistem integritas, baik ruang lingkup organisasi, pilar maupun nasional.
91
9. Whistleblower
adalah masyarakat dan/atau Pegawai Aparatur Sipil Negara di Kementerian PUPR yang
memiliki informasi dan/atau akses informasi disertai dengan barang bukti atas dugaan
terjadinya pelanggaran.
10. Whistleblowing System (WBS)
adalah sistem pelaporan yang menggunakan aplikasi berbasis web yang dapat
dimanfaatkan oleh Whistleblower untuk melaporkan dugaan pelanggaran.
11. Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK)
adalah predikat yang diberikan kepada suatu unit kerja/satuan kerja yang telah berhasil
melaksanakan reformasi birokrasi dengan baik, yang telah memenuhi sebagian besar
kriteria proses perbaikan pada komponen pengungkit serta mewujudkan pemerintahan
yang bersih dan akuntabel serta pelayanan publik yang prima.
12. Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM)
adalah predikat yang diberikan kepada suatu unit kerja/satuan kerja yang telah berhasil
melaksanakan reformasi birokrasi dengan sangat baik, dengan telah memenuhi sebagian
besar kriteria proses perbaikan pada komponen pengungkit untuk mewujudkan
pemerintahan yang bersih dan akuntabel serta pelayanan publik yang prima.
13. Zona Integritas
adalah instansi pemerintah yang pimpinan dan jajarannya telah berkomitmen untuk
mewujudkan Wilayah Bebas dari Korupsi/Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani melalui
reformasi birokrasi, khususnya dalam hal mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
akuntabel serta pelayanan publik yang prima.
92
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor.
26/PRT/M/2017 tentang Panduan Pembangunan Budaya Integritas di
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor
10/PRT/M/2017 tentang Tata Cara Penanganan Pelaporan Dugaan Pelanggaran
melalui Whistleblowing System di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat.
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2022 tentang Pengendalian Gratifikasi.
93
Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor
20 Tahun 2021 tentang Implementasi Core Values dan Employer Branding
Aparatur Sipil Negara.
Instruksi Menteri PUPR No. 4 Tahun 2022 tentang Strategi Pencegahan Risiko
Penyimpangan Dalam Proses Pengadaan Barang/Jasa Kementerian Pekerjaan
Umum Dan Perumahan Rakyat Tahun 2022 – 2024.
Analisis Tindak Pidana Pencucian Uang Pada Kasus Suap Proyek Jalan di Maluku yang
Dilakukan Oleh Pejabat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat,
Suparji, Fauzy Ridha, 2018, Jurnal magister ilmu hukum, 3(1), 1-10.
Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi
Bersih dan Melayani (WBK-WBBM) sebagai Wujud Good Governance, Kukuh
Galang Waluyo, https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/manokwari/id/data-
publikasi/artikel/3006-pembangunan-zona-integritas-menuju-wilayah-bebas-
94
dari-korupsi-dan-wilayah-birokrasi-bersih-dan-melayani-wbk-wbbm-sebagai-
wujud-good-
governance.html#:~:text=Membangun%20integritas%20berarti%20membangu
n%20sistem,pidana%20korupsi%2Fperbuatan%20tercela%20lainnya.
95