Anda di halaman 1dari 16

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Harmonisasi Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencurian


Ringan
Dalam mencapai cita-cita Indonesia sebagai negara yang berlandaskan
hukum, negara memiliki tanggung jawab untuk menjalankan proses pembangunan
hukum secara menyeluruh, sistematis, dan berkelanjutan. Hal ini bertujuan untuk
memastikan bahwa setiap warga negara Indonesia memperoleh jaminan yang kuat
atas perlindungan serta pemenuhan hak dan kewajibannya sesuai dengan prinsip-
prinsip yang tertera dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.72 Proses ini memerlukan perencanaan yang cermat serta koordinasi
yang erat antara berbagai aspek dalam sistem hukum nasional, demi memastikan
bahwa hak-hak fundamental dan tanggung jawab kolektif rakyat Indonesia dapat
dijaga dan dihormati secara adil dan merata.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No.12/2011) menyebutkan
bahwasanya proses pembangunan hukum nasional melibatkan serangkaian tahapan
yang menyeluruh dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Tahapan
tersebut mencakup proses perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan,
serta pengundangan suatu peraturan hukum.73 Pembentukan peraturan perundang-
undangan merupakan upaya yang sistematis dan terstruktur untuk merumuskan
ketentuan-ketentuan hukum yang relevan dengan kebutuhan, aspirasi, dan tuntutan
masyarakat, serta mempertimbangkan nilai-nilai serta prinsip yang tertuang dalam
sistem hukum yang berlaku. Proses ini mewajibkan keterlibatan berbagai pihak
terkait, pemikiran yang cermat, serta tinjauan yang menyeluruh terhadap implikasi
dan konsekuensi hukum dari setiap peraturan yang dihasilkan.

72
Huruf A bagian Menimbang Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
73
Pasal 1 angka 11 UU No.12/2011
Albert Gregorius, 2024

DISHARMONI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN


48
UPN Veteran Jakarta, Fakultas Hukum, S1-Ilmu Hukum

[www.upnvj.ac.id-www.library.upnvj.ac.id-www.repository.upnvj.ac.id]
Maksud dari Peraturan perundang-undangan merujuk pada tertulis yang
mengandung serangkaian norma hukum yang memiliki kekuatan mengikat secara
menyeluruh bagi masyarakat umum. Proses terbentuknya peraturan ini dilakukan
oleh lembaga-lembaga negara atau individu-individu yang memiliki wewenang
yang telah ditetapkan secara spesifik oleh aturan hukum yang berlaku. Mereka
melakukan prosedur yang telah diatur dengan tegas dalam kerangka peraturan
perundang-undangan yang berlaku guna menetapkan serta membentuk norma-
norma yang bersifat hukum, yang kemudian menjadi panduan utama dalam perilaku
dan interaksi masyarakat serta pemerintahan dalam konteks hukum yang berlaku.

Dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga-


lembaga negara yang telah diberi kewenangan, seringkali terdapat dampak negatif
yang muncul sebagai akibat langsung dari pelimpahan mandat yang diberikan oleh
negara. Salah satu dampak negatif yang patut diperhatikan adalah adanya potensi
terjadinya overlapping atau tumpang tindih antara berbagai peraturan yang
dihasilkan oleh lembaga-lembaga tersebut. Fenomena ini muncul ketika beberapa
peraturan yang dibuat oleh lembaga negara memiliki lingkup, tujuan, atau
ketentuan yang serupa atau saling berpotongan. Akibatnya, terciptanya
kebingungan atau ketidakjelasan dalam penerapan hukum karena adanya
ketidaksesuaian atau konflik antara berbagai peraturan yang ada. Ketidaksesuaian
ini dapat mengaburkan pandangan dan pemahaman yang jelas terhadap hak,
kewajiban, dan prosedur yang seharusnya diikuti, memunculkan hambatan dalam
implementasi yang efektif, serta menimbulkan ketidakpastian di tengah masyarakat
dan lembaga-lembaga yang harus mematuhi berbagai regulasi yang bertentangan.

Tumpang tindih di antara berbagai peraturan hukum sangat nyata


termanifestasi dalam hal menangani pelanggaran hukum, khususnya dalam ranah
kasus-kasus tindak pidana. Situasi ini menggambarkan kondisi di mana penegakan
hukum seringkali dihadapkan pada kesulitan yang signifikan akibat adanya
interpretasi yang berbeda-beda maupun prioritas yang saling bertentangan di antara
berbagai peraturan yang berlaku atau instansi penegakan hukum. Kegagalan untuk
merespon tumpang tindih ini bisa menciptakan ketidakpastian dalam proses
penyelidikan, pengadilan, dan penerapan hukum secara menyeluruh. Hal ini
memberikan tantangan serius bagi aparat penegak hukum, karena berpotensi
Albert Gregorius, 2024

DISHARMONI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN


49
UPN Veteran Jakarta, Fakultas Hukum, S1-Ilmu Hukum

[www.upnvj.ac.id-www.library.upnvj.ac.id-www.repository.upnvj.ac.id]
mengaburkan garis-garis yang seharusnya jelas dalam hukum dan memunculkan
ketidakadilan dalam menangani berbagai kasus kriminal. Perbedaan interpretasi ini
juga memperumit proses pengambilan keputusan serta mempengaruhi langkah-
langkah praktis yang diambil oleh lembaga-lembaga penegak hukum,
mengakibatkan ketidakpastian dalam penegakan aturan dan mempengaruhi
kepercayaan masyarakat terhadap keadilan sistem hukum.

Dalam penegakan hukum terkait kasus pencurian ringan, terlihat jelas


adanya fenomena tumpang tindih antara berbagai peraturan yang dibuat lembaga
penegak hukum. Setiap lembaga memiliki pendekatan yang sama dalam menangani
kategori kasus ini. Mahkamah Agung telah menerbitkan Perma No.02/2012 sebagai
panduan hakim di lingkungan Mahkamah Agung dalam menyelesaikan kasus
pencurian ringan dan SK Bapemum No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 sebagai
pedoman bagi hakim untuk menyelesaikan perkara dengan metode restorative
justice. Peraturan ini secara spesifik mengatur aspek-aspek terkait, seperti
klasifikasi tindak pidana yang termasuk dalam pencurian ringan, batasan nilai atau
kerugian yang timbul akibat tindak pidana tersebut, dan langkah-langkah yang
diperlukan dalam menangani kasus pencurian ringan.

Perjagung No.15/2020 tidak secara eksplisit mencakup ketentuan yang


spesifik terkait tindak pidana pencurian ringan sebagaimana yang telah diuraikan
secara rinci dalam Perma No.02/2012. Meskipun demikian, penyelesaian kasus
pencurian ringan dapat dipertimbangkan melalui pendekatan restorative justice
dengan memperhatikan berbagai persyaratan yang tercantum dalam Perjagung
No.15/2020. Namun, penting untuk diakui bahwa syarat-syarat yang dijelaskan
dalam Perjagung No.15/2020 memerlukan pemahaman yang mendalam dari pihak
Jaksa. Ketidaktahuan atau ketidakmampuan seorang Jaksa untuk memahami secara
tepat syarat-syarat yang ada dalam peraturan ini dapat mengakibatkan interpretasi
yang bervariasi. Hal ini bisa memengaruhi konsistensi dalam penanganan kasus,
menimbulkan ketidakpastian dalam penerapan hukum, dan pada gilirannya,
berpotensi merugikan keadilan dalam proses hukum.

PERPOL No.8/2021 menunjukkan kesamaan dengan Perjagung


No.15/2020 dalam hal tidak memberikan ketentuan yang eksplisit seperti yang

Albert Gregorius, 2024

DISHARMONI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN


50
UPN Veteran Jakarta, Fakultas Hukum, S1-Ilmu Hukum

[www.upnvj.ac.id-www.library.upnvj.ac.id-www.repository.upnvj.ac.id]
terperinci diatur dalam Perma No.02/2012. Dalam penyelesaian kasus tindak pidana
pencurian ringan, PERPOL No.8/2021 mengusulkan bahwa metode restorative
justice bisa menjadi pertimbangan dengan mempertimbangkan berbagai kriteria
yang tercantum di dalamnya. Syarat-syarat yang dipaparkan dalam PERPOL
No.8/2021 memerlukan pemahaman yang komprehensif dari pihak POLRI
khususnya penyidik. Kurangnya pengetahuan atau keterbatasan dalam memahami
syarat-syarat yang terdapat dalam peraturan ini oleh seorang anggota POLRI dapat
mengakibatkan interpretasi yang beragam, mempengaruhi konsistensi dalam
penanganan kasus, dan berpotensi menghasilkan ketidakpastian dalam penerapan
hukum. Hal ini menggarisbawahi betapa pentingnya pemahaman yang mendalam
terhadap persyaratan hukum yang tertuang dalam PERPOL No.8/2021 untuk
memastikan penegakan hukum yang konsisten dan adil dalam menyelesaikan
kasus-kasus yang berkaitan.

Hubungan antara Perjagung No.15/2020, Perma No.02/2012, dan SK


Bapemum No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 menunjukkan adanya perbedaan
pandangan klasifikasi tindak pidana yang dapat ditangani. Hal ini menandakan
terbatasnya jenis kasus yang dapat ditangani menjadi perbedaan mencolok.
Meskipun keduanya sejalan dalam penilaian atas nilai kerugian yang timbul dari
suatu tindak pidana, Khususnya, kedua peraturan tersebut sepakat bahwa kerugian
yang diakibatkan oleh tindak pidana tidak boleh melebihi nominal tertentu, yakni
tidak lebih dari Rp. 2.500.000.

Begitu juga dengan hubungan antara Perjagung No.15/2020 dan PERPOL


No.8/2021, walaupun keduanya menitikberatkan pada prinsip keadilan restoratif,
syarat-syarat yang diuraikan dalam kedua peraturan tersebut tidak memiliki
kesamaan esensial antar kedua peraturan. Keberadaan perbedaan yang mencolok
ini menandakan adanya tumpang tindih yang signifikan antara peraturan-peraturan
yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga penegak hukum. Situasi ini, di mana setiap
peraturan memiliki cakupan yang berbeda-beda, menyebabkan terjadinya
ketidakpastian dalam penerapan hukum, dan memunculkan kerancuan dalam
penanganan kasus-kasus yang seharusnya tertata dengan jelas dalam sistem hukum.

Albert Gregorius, 2024

DISHARMONI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN


51
UPN Veteran Jakarta, Fakultas Hukum, S1-Ilmu Hukum

[www.upnvj.ac.id-www.library.upnvj.ac.id-www.repository.upnvj.ac.id]
Hubungan antara Perma No.02/2012, SK Bapemum No.
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 dengan PERPOL NO.8/2021 tidak memiliki
kesamaan pandangan dalam menangani tindak pidana pencurian ringan. Dalam
Perma No.02/2012 dan SK Bapemum No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020
disebutkan klasifikasi tindak pidana apa saja yang bisa ditangani dalam produk
hukum tersebut, sedangkan dalam PERPOL NO.8/2021 tidak disebutkan secara
pasti tindak pidana apa saja yang bisa ditangani, hanya menyebutkan syarat-syarat
saja yang terasa mengambang. Perma No.02/2012 dan SK Bapemum No.
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 juga memberikan kepastian batasan nilai dari tindak
pidana/akibat tindak pidana yaitu Rp. 2.500.000 yang mana hal ini serupa dengan
Perjagung No. 15/2020, tetapi tidak dengan PERPOL No.8/2021 yang tidak
memberikan batasan nilai dari tindak pidana/akibat tindak pidana.

No Isu Hukum Peraturan


Perma Perjagung PERPOL
No.02/2012 No.15/2020 No.8/2021
1 Penggunaan Menyebutkan Mengidentifikasi Mengacu
Restorative Restorative Restorative Justice pada
Justice dalam Justice sebagai sebagai solusi Restorative
menyelesaikan jalan tengah tengah dalam Justice
tindak pidana menyelesaikan penyelesaian kasus sebagai
pencurian tindak pidana tindak pidana yang pendekatan
ringan pencurian ringan sepanjang penyelesaian
memenuhi syarat yang
dari Perjagung No. seimbang
15/2020. untuk
menangani
tindak pidana
sepanjang
memenuhi
syarat dalam

Albert Gregorius, 2024

DISHARMONI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN


52
UPN Veteran Jakarta, Fakultas Hukum, S1-Ilmu Hukum

[www.upnvj.ac.id-www.library.upnvj.ac.id-www.repository.upnvj.ac.id]
Perpol
No.8/2021.
2. Menyebutkan Perma Perjagung No. Perpol No.
klasifikasi No.02/2012 15/2020 tidak 8/2021 tidak
tindak pidana Pasal 2 ayat (1) menyebutkan menyebutkan
yang dapat menyebutkan klasifikasi tindak klasifikasi
diselesaikan secara pasti pidana yang dapat tindak pidana
dengan klasifikasi diselesaikan melalui yang dapat
Restorative tindak pidana restorative justice diselesaikan
Justice yang dapat tetapi hanya melalui
dilakukan menyebutkan syarat- restorative
melalui syarat sebagaimana justice tetapi
Restorative diatur dalam Pasal 4 hanya
Justice. dan Pasal 5 menyebutkan
Perjagung No. syarat-syarat
15/2020 sebagaimana
diatur dalam
Pasal 4
hingga Pasal
10 Perpol
No.8/2021
3 Menyebutkan Perma Perjagung No. Perpol No.
batasan nilai No.02/2012 15/2020 8/2021 tidak
atau kerugian menyebutkan menyebutkan secara menyebutkan
dari suatu secara pasti pasti batasan nilai secara pasti
tindak pidana. batasan nilai atau kerugian dari batasan nilai
atau kerugian tindak pidana atau kerugian
dari tindak sebagaimana yang dari tindak
pidana diatur di dalam Pasal pidana.
sebagaimana 5 ayat (1) huruf c
yang diatur di Perjagung No.
dalam Pasal 2

Albert Gregorius, 2024

DISHARMONI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN


53
UPN Veteran Jakarta, Fakultas Hukum, S1-Ilmu Hukum

[www.upnvj.ac.id-www.library.upnvj.ac.id-www.repository.upnvj.ac.id]
ayat (2) Perma 15/2020 yaitu senilai
No.02/2012 Rp.2.500.000.
yaitu senilai
Rp.2.500.000
Tabel 1

Berdasarkan hasil identifikasi terhadap tiga peraturan yaitu Perma


No.02/2012, SK Bapemum No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, Perjagung
No.15/2020, dan PERPOL No.8/2021 dalam menangani perkara tindak pidana
pencurian ringan terdapat gap peraturan yaitu :

I. Berdasarkan peraturan-peraturan yang diuraikan, Perma No.02/2012 dan


SK Bapemum No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 secara tegas
mengidentifikasi rentang tindak pidana yang menjadi subjek penanganan
melalui pendekatan keadilan restoratif. Di sisi lain, Perjagung No.15/2020
dan PERPOL No.8/2021, dalam konteks ini, kurang memberikan kerangka
yang jelas terkait klasifikasi tindak pidana yang harus diperlakukan
melalui pendekatan restoratif. Kurangnya keterperincian ini dapat
mempersulit proses penanganan kasus secara efektif dan efisien dengan
pendekatan keadilan restoratif. Kegagalan dalam memberikan panduan
yang kongkrit dapat mengakibatkan kebingungan dalam menentukan
tindakan yang tepat serta memperlambat atau bahkan menghambat proses
restorasi dalam sistem peradilan.
II. Perma No.02/2012, SK Bapemum No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, dan
Perjagung No.15/2020 secara spesifik menetapkan ambang nilai untuk
barang atau objek yang terlibat dalam suatu tindak pidana, dengan
batasannya tercantum sebesar Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu
rupiah). Kontrasnya, PERPOL No.8/2021 tidak mencakup informasi
terkait batasan nilai dari barang atau objek yang menjadi inti dari suatu
kasus pidana. Ketidakjelasan ini dalam PERPOL No.8/2021 mungkin
menyebabkan ketidakpastian dalam menetapkan batasan nilai yang
diperlukan untuk menentukan penanganan suatu perkara. Dengan
demikian, kurangnya pengaturan mengenai batasan nilai dalam PERPOL
No.8/2021 menimbulkan kebingungan terkait penafsiran dan penanganan
Albert Gregorius, 2024

DISHARMONI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN


54
UPN Veteran Jakarta, Fakultas Hukum, S1-Ilmu Hukum

[www.upnvj.ac.id-www.library.upnvj.ac.id-www.repository.upnvj.ac.id]
perkara tindak pidana yang melibatkan nilai barang atau objek tertentu.
Penting untuk menyempurnakan regulasi ini guna memastikan kejelasan
dan konsistensi dalam menetapkan batasan nilai, yang pada akhirnya akan
memfasilitasi proses penegakan hukum yang memberi kepastian hukum
dan adil.
Dari hasil identifikasi terhadap tiga peraturan di masing-masing lembaga,
terungkap adanya fenomena yuridis yang menunjukkan adanya ketidakselarasan
dalam peraturan-peraturan yang mengatur kasus-kasus tindak pencurian yang
berskala kecil. Ketidakselarasan ini, yang tampaknya belum tersusun secara
menyeluruh dan terkoordinasi di antara peraturan-peraturan tersebut, membawa
potensi terjadinya ketidakpastian dalam domain hukum. Implikasinya, dalam
jangka panjang, adalah dapat mengakibatkan pengaruh negatif pada pelaksanaan
hukum. Ketidakpastian ini memunculkan keraguan dalam interpretasi dan
penerapan hukum, menyulitkan proses penegakan hukum yang konsisten dan dapat
diandalkan di masa depan.

Dalam konteks ini, akan terjadi masalah dalam penanganan kasus-kasus


seperti tindak pencurian ringan akibat ketidakselarasan di antara kerangka regulasi
yang ada, yang diindikasikan oleh kurangnya koherensi di antara aturan-aturan
yang seharusnya bersinggungan dengan masalah yang sama. Fenomena ini
menyoroti kebutuhan akan harmonisasi yang lebih baik di antara regulasi yang ada
untuk memastikan keselarasan dan kesatuan dalam pendekatan hukum terhadap
kasus-kasus seperti tindak pencurian ringan.

Tumpang tindihnya peraturan dalam menangani perkara tindak pidana


pencurian ringan menandakan bahwsanya koordinasi yang tidak baik antara
institusi penegak hukum. Harmonisasi perlu dilakukan dengan melakukan upaya
untuk menciptakan koordinasi yang sinergis di antara lembaga-lembaga penegak
hukum merupakan hal yang penting dalam meraih tujuan peningkatan efektivitas
dalam sistem penegakan hukum. Ini mencakup peningkatan dalam aspek sumber
daya manusia, penyempurnaan dalam koordinasi antar lembaga penegak hukum,

Albert Gregorius, 2024

DISHARMONI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN


55
UPN Veteran Jakarta, Fakultas Hukum, S1-Ilmu Hukum

[www.upnvj.ac.id-www.library.upnvj.ac.id-www.repository.upnvj.ac.id]
serta pembentukan dan peningkatan kualitas peraturan-peraturan yang terkait
dengan proses penegakan hukum itu sendiri.74

Fenomena disharmoni hukum dalam menangani tindak pidana pencurian


ringan membutuhkan harmonisasi sistem hukum nasional yang mendasari
penyusunan sistem hukum dalam kerangka sistem nasional. Kusnu dalam
penelitiannya menyebutkan tiga komponen dalam harmonisasi sistem hukum
nasional. Yaitu :75

a) Komponen materi hukum atau legal substance merujuk pada elemen-


elemen yang membentuk struktur dasar dari kerangka hukum. Ini
mencakup tatanan hukum eksternal, yang terdiri dari peraturan perundang-
undangan, hukum yang bersifat tidak tertulis seperti hukum adat dan
yurisprudensi, serta tatanan hukum internal yang terdiri dari prinsip-
prinsip hukum yang menjadi dasar atau landasannya.
b) Komponen struktur hukum beserta lembaganya, dikenal sebagai legal
structure, merujuk pada entitas-institusi yang membentuk dan
melaksanakan kerangka kerja hukum dalam suatu sistem. Legal structure
ini terdiri dari beragam badan institusional atau entitas publik yang
memiliki peran dan fungsi tertentu dalam penyusunan, pelaksanaan, dan
penegakan hukum. Hal ini mencakup berbagai lembaga dengan para
pejabatnya yang bertanggung jawab atas penyusunan kebijakan, penerapan
hukum, interpretasi regulasi, serta penegakan hukum dalam suatu sistem
hukum yang terstruktur.
c) Komponen budaya hukum, atau yang dikenal sebagai legal culture,
merujuk pada sikap, norma, dan perilaku yang dianut oleh para pejabat
pemerintahan serta masyarakat dalam konteks aspek-aspek hukum yang
lain dalam rangka penyelenggaraan kehidupan bersama. Komponen
budaya hukum mencakup bagaimana perilaku para pejabat pemerintahan,

74
Ranu Samiaju, 2015, Harmonisasi Kewenangan Lembaga Negara Dalam
Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Fishing Di Perairan Indonesia. Tesis
Universitas Brawijaya, hlm. 12.
75
Kusnu Goesnadhie, 2006, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-
Undangan (Lex Specialis Suatu Masalah, Penerbit JP Books, Surabaya, hlm. 23.
Albert Gregorius, 2024

DISHARMONI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN


56
UPN Veteran Jakarta, Fakultas Hukum, S1-Ilmu Hukum

[www.upnvj.ac.id-www.library.upnvj.ac.id-www.repository.upnvj.ac.id]
warga masyarakat, dan berbagai entitas terkait lainnya beradaptasi dan
mempraktikkan hukum dalam kegiatan sehari-hari, termasuk cara
memahami, menerapkan, dan menghormati aspek-aspek hukum dalam
suatu masyarakat.
Dalam konteks pemikiran sistemik tersebut, diperlukan perumusan langkah-
langkah yang berperan sebagai landasan serta konsep dasar dalam menjalankan
proses harmonisasi hukum. Langkah-langkah ini bertujuan untuk membentuk
kerangka kerja yang esensial dalam upaya harmonisasi sistem hukum nasional.
Kerangka dan konsep dasar ini mengacu pada paradigma Pancasila sebagai titik
awal, bersama dengan prinsip-prinsip negara hukum dan konsep pemerintahan
konstitusional yang tertuang dalam UUD 1945. Pendekatan ini menjadi landasan
utama dalam merumuskan langkah-langkah harmonisasi hukum, yang bertujuan
untuk menciptakan keselarasan dan konsistensi dalam sistem hukum nasional, serta
mengintegrasikan nilai-nilai dasar yang memandu kerangka hukum secara
holistik.76

Sebagai langkah dalam mencapai harmonisasi dalam sistem hukum nasional


terkait penegakan hukum terhadap kasus pencurian ringan, perlu diperhatikan
komponen-komponen kunci seperti :

I. legal substance, yaitu muatan materi hukum dalam penanganan perkara


harus seragam dalam menangani perkara tindak pidana pencurian ringan.
Pada perkembangan hukum penanganan perkara tindak pidana pencurian
ringan, aparat penegak hukum harus memiliki kesaamaan pandangan
dalam penanganan perkara yaitu dengan pendekatan restorative justice.
Maka muatan materi hukum mengenai restorative justice pada tiap
peraturan yang dibuat oleh institusi POLRI, Kejaksaan Agung, dan
Mahkamah Agung harus selaras mengenai restorative justice. Hal ini
untuk mencegah terjadinya tumpang tindih dan ketidakpastian hukum
dalam menangani perkara tindak pidana pencurian ringan.

76
Sapto Buduyo, 2014, Konsep Langkah Sistemik Harmonisasi Hukum Dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal Ilmiah CIVIS, Vol.4 No.2.
https://doi.org/10.26877/civis.v4i2/Juli.613https://doi.org/10.26877/civis.v4i2/Juli
.613
Albert Gregorius, 2024

DISHARMONI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN


57
UPN Veteran Jakarta, Fakultas Hukum, S1-Ilmu Hukum

[www.upnvj.ac.id-www.library.upnvj.ac.id-www.repository.upnvj.ac.id]
II. legal structure, kebutuhan akan sinergi antara penegak hukum dalam
konteks interpretasi hukum menjadi aspek esensial dalam menangani
perkara hukum. Kolaborasi yang erat antara berbagai instansi penegak
hukum menjadi prasyarat penting guna memastikan pemahaman yang
komprehensif terhadap materi hukum tindak pidana pencurian ringan.
Keterlibatan berbagai entitas penegak hukum dalam proses interpretasi
hukum memiliki implikasi yang signifikan terhadap penegakan hukum
secara menyeluruh. Kerjasama ini tidak hanya menggambarkan upaya
untuk memastikan konsistensi interpretasi hukum di berbagai tingkatan
lembaga hukum, tetapi juga mendukung integritas dan kejelasan dalam
pelaksanaan proses hukum. Sinergi antara penegak hukum menciptakan
fondasi yang kuat untuk menjaga keadilan serta menjalankan penegakan
hukum yang sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung
dalam hukum itu sendiri. Oleh karena itu, kolaborasi yang efektif antara
instansi-instansi penegak hukum menjadi elemen krusial dalam
memastikan kesesuaian interpretasi hukum dengan praktik penegakan
hukum yang berkeadilan dan terperinci.
III. legal culture, Budaya yang perlu ditanamkan oleh aparat penegak hukum
guna mengharmonisasikan sistem hukum nasional adalah budaya kerja
sama yang erat antara beragam lembaga penegak hukum. Budaya ini harus
didukung oleh pemahaman yang dalam terhadap karakteristik yang
menekankan signifikansi dari integritas dalam setiap tahapan proses
penegakan hukum. Kolaborasi yang terjalin erat antarlembaga penegak
hukum menjadi landasan krusial dalam menegakkan hukum yang seragam
dan selaras di tingkat nasional. Kesatuan visi, kesepahaman terhadap
prinsip-prinsip hukum, serta kerja tim yang sinergis menjadi pilar utama
bagi keberhasilan sistem hukum. Pemahaman mendalam akan integritas
sebagai nilai inti dalam setiap langkah penegakan hukum memberikan
dasar yang kokoh bagi proses hukum yang adil dan sejalan dengan nilai-
nilai yang dipegang teguh oleh sistem hukum itu sendiri.
Dengan demikian langkah yang perlu dilakukan untuk harmonisasi sistem
hukum adalah dengan melakukan penyesuaian berbagai unsur yang membentuk

Albert Gregorius, 2024

DISHARMONI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN


58
UPN Veteran Jakarta, Fakultas Hukum, S1-Ilmu Hukum

[www.upnvj.ac.id-www.library.upnvj.ac.id-www.repository.upnvj.ac.id]
kerangka kerja hukum nasional (legal system). Penyesuaian ini melibatkan tiga
komponen utama dalam struktur hukum, yakni komponen materi hukum (legal
substance), struktur hukum beserta institusinya (legal structure), dan budaya hukum
(legal culture). Dengan melakukan penyesuaian yang terfokus pada ketiga
komponen ini, diharapkan tercipta keselarasan, konsistensi, dan kesatuan yang
lebih kuat dalam kerangka sistem hukum, yang selanjutnya akan mengoptimalkan
efisiensi dan efektivitas dalam penerapan serta penegakan hukum di tingkat
nasional.

B. Mengoptimalkan Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana


Pencurian Ringan
Dalam kamus Bahasa Indonesia, istilah "mengoptimalkan" berasal dari kata
dasar "optimal," yang terklasifikasi sebagai adjektiva. "Optimal" memiliki konotasi
yang merujuk pada sesuatu yang terbaik, paling tinggi, dan memberikan
keuntungan yang maksimal. Ketika kita menggunakan kata "mengoptimalkan," itu
termasuk dalam kategori kata kerja, yang menyiratkan tindakan atau proses untuk
menjadikan sesuatu menjadi yang paling baik atau yang tertinggi dalam prestasinya.
Dalam konteks ini, "mengoptimalkan" menggambarkan upaya untuk meningkatkan
atau memaksimalkan suatu hal guna mencapai performa atau hasil yang optimal.77

Berdasarkan pengertian di atas, pengoptimalan penegakan hukum tindak


pidana pencurian ringan berarti meningkatkan atau memaksimalkan penegakan
hukum tindak pidana pencuria ringan. Dalam konteks peningkatan penegakan
hukum pidana terhadap tindak pidana pencurian ringan, konsep mengoptimalkan
memiliki signifikansi yang khusus. Dalam hal ini, mengoptimalkan menunjukkan
upaya atau langkah-langkah yang diarahkan untuk meningkatkan atau
memaksimalkan efisiensi serta efektivitas dalam pelaksanaan penegakan hukum
terhadap tindak pidana pencurian ringan. Tujuan utamanya adalah untuk mencapai
hasil atau informasi yang optimal dalam menangani serta menindak tindak
kejahatan tersebut dengan cara yang paling efisien dan efektif sesuai dengan

77
https://kbbi.web.id/optimal#:~:text=Definisi%2Farti%20kata%20%27optimal%
27%20di%20Kamus%20Besar%20Bahasa%20Indonesia,menguntungkan%3A%2
0dengan%20kondisi%20fisik%20yang%20--%20kami%20yakin, diakses pada
tanggal 2 Desember 2023
Albert Gregorius, 2024

DISHARMONI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN


59
UPN Veteran Jakarta, Fakultas Hukum, S1-Ilmu Hukum

[www.upnvj.ac.id-www.library.upnvj.ac.id-www.repository.upnvj.ac.id]
kerangka hukum yang berlaku. Ini mencakup upaya untuk meningkatkan strategi,
sumber daya, serta koordinasi yang diperlukan untuk memastikan bahwa proses
penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian ringan berjalan secara optimal
dalam mencapai tujuan penindakan yang diinginkan oleh sistem hukum.

Peningkatan optimal dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana


pencurian ringan memerlukan perhatian yang serius terhadap keselarasan sistem
hukum nasional. Keselarasan ini harus mempertimbangkan tiga komponen utama,
yakni materi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Namun, dalam proses
penegakan hukum terkait kasus tindak pidana pencurian ringan, ketiga aspek
tersebut tampaknya tidak terlihat dengan jelas atau tidak terintegrasi secara optimal.
Hal ini mengindikasikan perlunya peninjauan kembali untuk meningkatkan
koherensi dan konsistensi dalam penegakan hukum, dengan memastikan bahwa
ketiga komponen utama dalam kerangka hukum nasional dapat berjalan secara
serasi dan saling mendukung.

Jika ditelaah dari sudut pandang substansi hukum, dapat diamati bahwa
peraturan atau kebijakan yang disusun oleh instansi penegak hukum terkait kasus
ini menunjukkan adanya tumpang tindih yang signifikan dan kecenderungan untuk
tidak sepenuhnya mengacu pada prinsip-prinsip hukum, hal ini akan
mengakibatkan penegakan hukum yang tidak optimal. Terdapat indikasi adanya
inkonsistensi atau kesenjangan dalam implementasi aturan hukum yang seharusnya
memberikan kejelasan dan kepastian bagi proses penegakan hukum. Hal ini
mencakup kurangnya konsistensi atau kesesuaian antara berbagai peraturan yang
diterapkan oleh lembaga penegak hukum yang seharusnya menjadi landasan bagi
kepastian hukum.

Peraturan atau kebijakan yang dirumuskan oleh lembaga penegak hukum,


pada dasarnya, memiliki orientasi yang serupa dalam mengadopsi prinsip
restorative justice dalam penyelesaian kasus. Namun, terdapat perbedaan substantif
yang signifikan di antara Perma No.2/2012, SK Bapemum No.
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, Perjagung No.15/2020, dan PERPOL No.8/2021
yang menciptakan suatu kesenjangan dalam aspek materi hukum. Kesimpangsiuran
ini tercermin dalam ketidakjelasan definisi konkret mengenai restorative justice dan

Albert Gregorius, 2024

DISHARMONI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN


60
UPN Veteran Jakarta, Fakultas Hukum, S1-Ilmu Hukum

[www.upnvj.ac.id-www.library.upnvj.ac.id-www.repository.upnvj.ac.id]
kurangnya klarifikasi mengenai klasifikasi tindak pidana yang dapat diatasi melalui
pendekatan restorative justice. Oleh karena itu, meskipun tujuan mereka seragam
dalam menerapkan pendekatan restorative justice, penyebaran penafsiran yang
tidak seragam terhadap prinsip-prinsip ini menghasilkan ketidakpastian di lapangan
dalam memahami batasan serta ruang lingkup penggunaan restorative justice.
Kekaburan ini dapat menghambat implementasi yang konsisten dari pendekatan
restorative justice dalam penegakan hukum, menyulitkan pihak-pihak yang terlibat
dalam proses hukum, dan mereduksi efektivitas dari prinsip-prinsip yang menjadi
dasar dari restorative justice dalam sistem peradilan pidana.

Dari perspektif legal structure, terdapat kecenderungan terjadinya


kesalahpahaman dalam interpretasi serta implementasi peraturan atau kebijakan
yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum dalam menangani kasus
tindak pidana pencurian ringan. Kesalahpahaman ini mengemuka akibat adanya
inkonsistensi materi hukum yang ada dalam memahami serta mengaplikasikan
konsep restorative justice. Terdapat variasi penafsiran dalam menerjemahkan serta
menerapkan prinsip-prinsip restorative justice di antara lembaga-lembaga tersebut,
yang memunculkan perbedaan pendekatan serta standar yang diterapkan dalam
menangani kasus-kasus tindak pidana ringan. Dalam konteks ini, divergensi
interpretatif ini seringkali memperumit proses koordinasi dan kolaborasi
antarlembaga, serta menimbulkan kerancuan dalam implementasi yang konsisten
dari prinsip-prinsip restorative justice dalam praktik penegakan hukum.

Dari perspektif legal culture, terlihat adanya mispersepsi serta kekurangan


dalam koordinasi di antara lembaga-lembaga penegak hukum dalam memahami
penanganan kasus tindak pidana pencurian ringan. Hal ini mencerminkan
rendahnya tingkat budaya diskusi serta komunikasi yang efektif antara lembaga-
lembaga penegak hukum dalam menangani kasus-kasus tersebut. Terdapat
interpretasi yang beragam terkait strategi, pendekatan, serta penafsiran atas prinsip-
prinsip hukum, terutama dalam konteks penerapan restorative justice, yang
menunjukkan ketidakseragaman pemahaman. Kekurangan koordinasi serta
komunikasi yang esensial di antara lembaga-lembaga penegak hukum ini
memberikan gambaran bahwa tidak ada mekanisme yang memadai untuk
mengatasi ketidaksamaan persepsi dan pendekatan dalam menangani kasus tindak
Albert Gregorius, 2024

DISHARMONI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN


61
UPN Veteran Jakarta, Fakultas Hukum, S1-Ilmu Hukum

[www.upnvj.ac.id-www.library.upnvj.ac.id-www.repository.upnvj.ac.id]
pidana ringan. Ketidakterpaduan interpretatif dan kurangnya komunikasi
antarlembaga ini dapat menyulitkan upaya koordinasi, menghambat kemampuan
penegakan hukum dalam mencapai keseragaman dan konsistensi dalam penerapan
prinsip-prinsip restorative justice, serta berpotensi mempengaruhi efektivitas
penegakan hukum secara menyeluruh terhadap kasus-kasus tindak pidana
pencurian ringan.

Dari analisis yang dilakukan, terbukti bahwa untuk mencapai efektivitas


yang maksimal dalam penegakan hukum terhadap kasus pencurian ringan,
diperlukan kesatuan pendekatan dalam menangani kasus semacam ini. Perbaikan
substansi hukum dalam penanganan kasus pencurian ringan menjadi kunci penting,
disertai dengan koordinasi serta kerjasama yang erat antara lembaga penegak
hukum utama seperti POLRI, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung. Fokus pada aspek
kolaborasi ini menekankan urgensi dari sinergi antara berbagai lembaga terkait
untuk mencapai harmonisasi dalam proses penegakan hukum terhadap tindak
pidana pencurian ringan. Adanya kerjasama yang erat di antara entitas hukum ini
akan menciptakan lingkungan kerja yang terkoordinasi secara baik, memastikan
pemahaman yang seragam terhadap prosedur penegakan hukum, dan pada
akhirnya, memberikan fondasi yang kuat bagi penanganan yang konsisten dan
efisien terhadap kasus pencurian ringan.

Dengan demikian diperlukan pengoptimalan penegakan hukum terhadap


tindak pidana pencurian ringan, hal ini guna mencapai hasil yang maksimal dari
proses penegakan hukum. Terdapat langkah strategis dalam mengoptimalkan
penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian ringan :

a. Meningkatkan serta menyempurnakan regulasi atau kebijakan yang


berkaitan dengan keadilan restoratif bertujuan untuk mencapai konsistensi
dalam pemahaman terkait aspek hukum yang berkaitan dengan keadilan
restoratif, dan juga dalam penanganan kasus yang menggunakan
pendekatan tersebut di lingkungan penegakan hukum. Hal ini
dimaksudkan untuk memastikan keseragaman dalam pandangan serta
penanganan perkara yang melibatkan prinsip keadilan restoratif di
berbagai lapisan penegakan hukum.

Albert Gregorius, 2024

DISHARMONI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN


62
UPN Veteran Jakarta, Fakultas Hukum, S1-Ilmu Hukum

[www.upnvj.ac.id-www.library.upnvj.ac.id-www.repository.upnvj.ac.id]
b. Memberikan kesempatan kepada Aparat Penegak Hukum di Polri,
Kejaksaan, dan Mahkamah Agung untuk berpartisipasi dalam program
pendidikan dan pelatihan bersama. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
kapasitas serta kemampuan APH di berbagai lembaga tersebut.
c. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan antar sesama aparat
penyidik serta studi kasus-kasus tertentu agar diperoleh informasi,
pengalaman, persamaan persepsi dalam penanganan kasus yang
mengepankan pendekatan keadilan restoratif.
d. Kolaborasi antara lembaga penegak hukum dan institusi perguruan tinggi
melalui program pendidikan formal dan pelatihan bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan aparatur penegakan hukum dalam proses
pembuatan peraturan atau kebijakan.
e. Meningkatkan forum koordinasi antar lembaga APH yang bertujuan
untuk memperoleh kesamaan pandang dalam melaksanakan tugas
sebagai penyidik hingga di Pengadilan.

Albert Gregorius, 2024

DISHARMONI PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN


63
UPN Veteran Jakarta, Fakultas Hukum, S1-Ilmu Hukum

[www.upnvj.ac.id-www.library.upnvj.ac.id-www.repository.upnvj.ac.id]

Anda mungkin juga menyukai