Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KELOMPOK 6

“Aspek Teknis Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Per-Undang-
Undangan

Dosen pengampu: Dr. Ismail Hasani, S.H., M.H

Disusun Oleh:

Salis Fauza Tamami 1121044000091

Izzul Muhtarom 11210440000094

Muhammad Alfian Syah 11210440000113

Siti Nurhaliza 11210440000121

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2024
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. - 2 -
BAB II ........................................................................................................................................ - 3 -
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ - 3 -
A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEBAGAI SUBSISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA ................................................................................. - 3 -
B. Konsideran atau muatan dan proses pengajuan peraturan perundang undangan ... - 4 -
C. Dasar Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ................................. - 6 -
D. Ragam Bahasa dalam Peraturan Perundang-Undangan ............................................. - 7 -
E. Naskah Akademik Pembentukan Perundang-Undangan........................................... - 14 -
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. - 17 -
BAB II
PEMBAHASAN

A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEBAGAI SUBSISTEM


KETATANEGARAAN INDONESIA

Istilah perundangan-undangan (Indonesia), wetgeving (Belanda), legislation (Inggeris),


gesetzgebung (Jerman) umumnya dimaknai sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan undang-
undang. Berkaitan dengan undang-undang cakupannya sangat luas, meliputi sistemnya,
rancangannya, proses pembuatannya, sosialisasinya, penafsirannya, pengujiannya, penegakannya,
hirarkhinya dan sebagainya. Istilah perundangan-undangan memang banyak maknanya, oleh
karena bukan saja meliputi undang- undang, namun mengandung pula pengertian sebagai berikut:

a. Merupakan proses pembentukan peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di


tingkat daerah; dan

b. Segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan- peraturan, baik
di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Istilah lainnya yaitu, peraturan perundang-undangan yang menurut Bagir Mananadalah


setiap putusan tertulis yang dikeluarkan oleh pejabat dan atau lembaga yang menjalankan atau
mempunyai fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang ditentukan. Sesuai yang dimaksud oleh
UU.No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan.1

Sistem ketatanegaraan bisa diartikan dengan sebuah susunan yang integratif dan saling
berpengaruh tentang sebuah bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, lembaga-
lembaga negara berikut wewenang, tugas, cara pengisian jabatan, dan hubungan antar - lembaga
serta hubungan negara dengan rakyatnya. Sistem ketatanegaraan dalam hal Indonesia diartikan
sebagai susunan ketatanegaraan Indonesia, atau dengan kata lain keseluruhan rangkaian
unsurorganisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik yang menyangkut susunan dan
kedudukan lembaga-lembaga negara, tugas, dan wewenang maupun hubungannya satu sama lain
menurut UUD 1945.

Berdasarkan UUD 1945 sebelum perubahan, sistem ketatanegaraan Indonesia tidak


menganut suatu sistem dari negara mana pun. Sistem ketatanegaraan Indonesia yang berdasar
UUD 1945 merupakan suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa Indonesia. Dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945 saat ini, kedaulatan rakyat ditentukan dan

1Bagir Manan, Peranan Peraturan Perundangan-undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, Bandung,
1987, hal. 13.
dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan
yang dinisbahkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling
mengendalikan (checks and balances).

Hasil perubahan UUD Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan “kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut UUD” menunjukkan bahwa kedaulatan yang dianut dalam UUD
1945adalah kedaulatan rakyat, selain itu dianut pula kedaulatan hukum yang terkandung dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Perubahan inilah yang menjadi dasar utama bahwa Indonesia
menganut paham konstitusionalisme dan menekankan pembatasan kekuasaan yang dilakukan oleh
hukum, dengan mempertahankan lembaga-lembaga negara lama seperti Presiden, DPR, BPK, dan
Mahkamah Agung.2

UU 12 Tahun 2011 BAB II Pasal 5 ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGAN menjelaskan bahwa Dalam membentuk Peraturan Perundang-
undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang baik, yang meliputi:3

a. kejelasan tujuan

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan

d. dapat dilaksanakan

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan

f. kejelasan rumusan

g. keterbukaan.

B. Konsideran atau muatan dan proses pengajuan peraturan perundang undangan


Istilah materi muatan adalah terjemahan dari het engenarding onderwerp der wet, pertama
kali dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi. Dimaksudkan oleh istilah ini adalah muatan yang
sesuai dengan bentuk peraturan perundang-undangan tertentu.

Sedangkan istilah peraturan perundang-undangan merupakan terjemahan dari istilah


belanda wettelijk regelingen. Bermakna sama dengan peraturan perundang-undangan mencakup
baik proses maupun produknya.

Pasal 7 UU. No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan


merumuskan sebagai berikut.

2 ‘Hasani - 2020 - Pengujian Konstitusionalitas Perda Respon Atas Pe.Pdf’.


3 ‘UU 12 Tahun 2011.Pdf’.
1. Jenis dan hierarki perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

d. Peraturan Pemerintah

e. Peraturan Presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

2. Kekuatan Hukum Peraturan Perundang-Undangan Sesuai Dengan Hierarki Sebagaimana


Dimaksud Di Atas.

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan


Perundang-undangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,
perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.

Sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat (2) UU No. 12 tahun 2011 di atas, bahwa proses sebuah
peraturan menjadi legal dan mempunyai daya ikat atau kekuatan hukum tetap harus melewati
beberapa tahap. Adapun yang akan di bahas dalam makalah ini hanya sebagian dari tahap-tahap di
atas, yaitu tahap persiapan, teknik penyusunan dan pengundangan.

Pertama, tahap persiapan ini menjelaskan bagaimana prosedur pengajuan sebuah peraturan
perundang-undangan. Karena terdapat berbagai jenis bentuk peraturan perundang-undangan,
dimana setiap jenisnya mempunyai spesifikasi kewenangan legislasi (pembuatan peraturan) yang
berbeda-beda, maka perlu dijelaskan satu persatu sesuatu dengan hirarki jenis/bentuk peraturan
perundang-undangan tersebut.

Kedua, tahap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. dalam tahap ini dapat
dilihat lebih rinci di lampiran UU No. 12 tahun 2011. Akan tetapi dalam lampiran tersebut hanya
menjelaskan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan secara umum, khususnya
mengenai Peraturan Daerah terdapat aturan tersendiri. Ketiga, Tahap Pengundangan sangatlah
penting bagi sebuah peraturan perundang-undangan, karena dengan adanya pengundangan ini
sebuah peraturan perundang-undangan mempunyai daya ikat atau kekuatan hukum tetap dan dapat
dilaksanakan.

Selain itu hal yang perlu diperhatikan adalah pada tahap perencanaan peraturan perundang-
undangan telah diatur mengenai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Program Legislasi
Daerah dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan secara terencana, bertahap,
terarah, dan terpadu. Oleh karena itu, untuk menunjang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, diperlukan peran tenaga perancang peraturan perundang-undangan sebagai tenaga
fungsional yang berkualitas yang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah, dan merumuskan
rancangan peraturan perundang-undangan.4

C. Dasar Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan adalah pijakan utama dalam proses pembentukan hukum di Indonesia. Dengan
adanya Undang-Undang ini, negara mempunyai landasan yang jelas dan sistematis untuk
mengatur segala proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang ini
mendasari langkah-langkah formal yang harus diikuti oleh lembaga-lembaga pemerintah dan
DPR dalam menyusun, membahas, dan menetapkan berbagai undang-undang, peraturan
pemerintah, keputusan presiden, dan peraturan daerah.5

Salah satu aspek penting dari Undang-Undang ini adalah pengaturan mengenai
tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam proses pembentukan peraturan perundang-
undangan. Mulai dari perumusan hingga penetapan, setiap tahapan dijelaskan secara rinci
dalam undang-undang tersebut. Langkah-langkah ini dirancang untuk memastikan
transparansi, partisipasi publik, dan akuntabilitas dalam proses legislasi.

Selain mengatur tahapan pembentukan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga


mengatur mengenai kewenangan lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan. Pemerintah, DPR, dan lembaga lainnya memiliki peran dan
tanggung jawab yang diatur dengan jelas dalam undang-undang ini. Hal ini bertujuan untuk
menjaga keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif serta memastikan bahwa
setiap lembaga beroperasi sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.6

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga mengatur mekanisme evaluasi terhadap


peraturan perundang-undangan yang telah dibentuk. Evaluasi dilakukan secara berkala untuk
menilai efektivitas, relevansi, dan keberlanjutan peraturan yang ada. Hasil evaluasi tersebut

4 Dasar dan Teknik Pembentukan Perundang-Undangan / Jumadi - Jakarta. - Cet. 1 - Rajawali Pers, 2017. - xii, 158
hlm., 23 cm Bibliografi: hlm. 153
5
Warsito, ‘Kedudukan MPR Sebelum Dan Sesudah Amandemen UUD 1945’, Jurnal Surya Kencana: Dinamika
Masalah Hukum Dan Keadilan, Vol. 9.2 (2022), 146
6
Andi Bau Inggit AR, ‘Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah Principles’, Jurnal Restorative Justice, 3.1 (2019), 123–43
dapat menjadi dasar untuk melakukan perubahan atau pembaruan terhadap peraturan yang
sudah ada sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Dengan adanya Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011, proses pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia diharapkan menjadi lebih terstruktur dan terjamin keberlangsungannya. Masyarakat
memiliki jaminan bahwa setiap peraturan yang dikeluarkan telah melalui proses yang
transparan dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Hal ini memperkuat fondasi
hukum negara dan mendukung terciptanya tatanan hukum yang stabil dan berkeadilan.

D. Ragam Bahasa dalam Peraturan Perundang-Undangan


Bahasa Hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk mempertahankan kepentingan umum dan
kepentingan pribadi di dalam masyarakat7
Pada pokoknya, bahasa peraturan perundang-undangan tunduk kepada kaidah-
kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik yang menyangkut pembentukan kata,
penyusunan kalimat, teknik penulisan maupun pengejaannya. Namun, bahasa peraturan
dapat dikatakan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan
penegertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan
hukum baik dalam perumusan maupun penulisan8.
Oleh karena itu, dalam merumuskan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-
undangan para perancang biasanya diharuskan menggunakan kalimat-kalimat yang
singkat, tegas, jelas dan mudah dimengerti oleh khalayak.
Ragam bahasa peraturan perundang-undangan ialah gaya bahasa yang digunakan
dalam membentuk suatu isi dalam peraturan perundang-undangan, seperti yang telah
diketahui bahwa bahasa dalam peraturan perundang-undangan tunduk pada kaidah-kaidah
bahasa Indonesia yang baik dan benar akan tetapi terkandung ciri-ciri khusus yang hanya
ada di dalam peraturan perundang-undangan, yaitu antara lain ialah sifat keresmian, sifat
kejelasan makna, dan sifat kelugasan.

7 Syarif Maroni, Pengertian dan Kegunaan bahasa Hukum, diakses dari


http://zriefmaronie.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-kegunaan-bahasa-hukum.html pada tanggal 10 April 2016
pukul 20:13 WIB
8
Republik Indonesia, “Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan”, Bab III Angka 242 hal 193
1. Sifat keresmian: sifat ini menunjukkan adanya situasi kedinasan, yang
menuntut ketaatan dalam penerapan kaidah bahasa, dan ketaatan kepada
kaidah bahasa.
2. Sifat kejelasan makna: sifat ini menuntut agar informasi yang disampaikan
dinyatakan dengan kalimat-kalimat yang memperlihatkan bagian-bagian
kalimat secara tegas, sehingga kejelasan bagian-bagian kalimat itu akan
memudahkan pihak penerima informasi dalam memahami isi atau pesan yang
disampaikan. Sifat kejelasan makna ini menuntut agar kalimat-kalimat yang
dirumuskan harus menunjukkan dengan jelas mana subyek, predikat, obyek,
pelengkap, atau keterangan yang lainnya.
3. Sifat kelugasan: sifat kelugasan ini menuntut agar setiap perumusannya
disusun secara wajar, sehingga tidak berkesan berlebihan atau berandai-andai.9

Sebagai suatu ragam bahasa, bahasa Indonesia perundang-undangan mempunyai


susunan kalimat yang menurut Jeremy Bentham sebagaimana dikutip oleh E.A Driedger
tidak mengandung ketidaksempurnaan tingkat pertama dan tidak pula ketidaksempurnaan
tingkat kedua (Ketidaksempurnaan tingkat pertama meliputi kandungan makna ganda,
kabur, dan terlalu luas). Ketidaksempurnaan tingkat kedua meliputi ketidaktetapan kata
dan ungkapan (untuk hal yang sama digunakan kata dan ungkapan berbeda), berlebihan,
bertele-tele, kacau, ketiadaan bantuan tanda baca untuk kalimat-kalimat panjang, dan
ketidakteraturan susunan.10

• Syarat-Syarat Bahasa Perundang-Undangan

Untuk menyusun atau merumuskan suatu peraturan perundang-undangan


Montesquieu mengemukakan beberapa batasan sebagaimana dikutip oleh C.K Allen
dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

9 Ahmad Saifudin. Ragam Bahasa Perundang-Undangan, diakses dari


https://www.academia.edu/9703230/RAGAM_BAHASA_PERATURAN_PERUNDANG-
UNDANGAN_1._Pengertian_dan_Sifat_Bahasa_Perundang-Undangan pada tanggal 10 April 2016 pukul 21:14
WIB
10
Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Proses dan Teknik Pembentukannya, 2007, hal 199
1. Gaya bahasa hendaknya selain ringkas juga sederhana
2. Istilah yang dipilih sedapat-dapat bersifat mutlak dan tidak relative, dengan maksud
agar meninggalkan sedikit mungkin timbulnya perbedaan pendapat secara individual
3. Hendaknya membatasi diri pada yang riil dan actual, serta menghindarkan diri dari
kiasan dan dugaan
4. Hendaknya tidak halus sehingga memerlukan ketajaman pikiran pembacanya, karena
rakyat banyak mempunyai tingkat pemahaman yang sedang-sedang saja hendaknya
tidak untuk latihan logika, melainkan untuk pikiran sederhana yang ada rata-rata
manusia
5. Hendaknya tidak merancukan yang pokok dengan yang pengecualian, pembatasan,
atau pengubahan, kecuali apabila dianggap mutlak perlu
6. Hendaknya tidak ‘memancing perdebatan/perbantahan’: adalah berbahaya
memberikan alas an-alasan yang terlalu rinci karena hal ini dapat membuka pintu
pertentangan
7. Di atas segalanya, hendaknya betul-betul dipertimbangkan apakah mengandung
manfaat praktis; hendaknya tidak menggoyahkan dasar-dasar nalar dan keadilan serta
kewajaran yang alami; karena peraturan yang lemah, tidak diperlukan, dan yang tidak
adil akan menyebabkan seluruh sistem peraturan dalam reputasi yang jelek dan karena
itu mengguncangkan kewibawaan negara 11

Selain pendapat dari Montesquieu pengalaman modern dalam penyusunan


peraturan perundang-undangan menambahkan saran-saran lagi. Mengingat bahwa
penggunaan bahasa yang teknis-yuridis pada umumnya tidak dapat dielakkan maka perlu
diusahakan hal-hal berikut:

1. Perlu ada penjelasan dan penyuluhan lebih banyak mengenai latar belakang lahirnya
peraturan perundang-undangan serta keadaan yang mempengaruhinya sehingga
penggunaan kata-kata, kalimat, dan ungkapan di dalamnya dapat dipahami lebih baik

11 Ibid, halaman 203


2. Penggunaan ragam bahasa teknis memang tidak dapat dihindarkan dimana-mana
tetapi penggunaan ragam bahasa teknis perundang-undangan dapat diatur lebih baik
daripada ragam bahasa teknis lainnya jargon atau bahasa yang tipikal dank has di
bidang hukum dapat diganti misalnya, meskipun ‘ciptaan-ciptaan’ baru hendaknya
tidak makin menyulitkan
3. Definisi yang dapat menjelaskan di sana-sini boleh digunakan untuk memberikan
ketepatan penegertian. Tetapi arti kata-kata yang sudah diketahui masyarakat tidak
perlu didefinisikan apabila definisi sulit dirumuskan maka uraian pengertian dapat
digunakan12

Selain pedoman yang telah disebutkan di atas, hal lain yang harus diperhatikan bagi
penyusun peraturan perundang-undangan ialah kemampuan dalam mengantisipasi dan
menafsirkan apa yang mungkin akan terjadi dengan perumusan dalam peraturan
perundang-undangan tersebut agar tidak terjadi kekeliruan penafsiran oleh masyarakat.

I. Penerapan Bahasa Perundang-Undangan Sesuai dengan Kaidah Bahasa Indonesia

• Pilihan Kata atau Istilah dalam Peraturan Perundang-Undangan

Dalam menyusun kalimat perumusan peraturan perundang-undangan para


perancang dituntut untuk mampu memilih atau menggunakan kata-kata yang tepat.
Pemilihan kata oleh perancang bukan dimaksudkan untuk mengaburkan pengertian atau
bahkan menimbulkan kebingungan akan tetapi dimaksudkan agar bahasa dalam peraturan
perundang-undangan tersebut terkesan tidak kaku dan tidak mempunyai rasa atau
karakteristik seperti yang seharusnya.
Para perancang dianjurkan untuk menghindari pemberian arti kepada kata atau
frase yang maknanya terlalu menyimpang dari makna yang biasa dgunakan sehari-hari.
Selain itu yang juga harus dihindarkan ialah penggunaan satu kata atau istilah yang
mempunyai arti berbeda-beda di satu tempat yang lain dalam satu undang-undang. Dalam
perumusan ketentuan undang-undang dan peraturan perundang-undangan sering kali kita

12
Ibid, halaman 204
harus menggunakan kata-kata yang menggunakan istilah asing, dalam hal demikian para
perancang yang baik harus berusaha menghindari istilah asing tersebut. Dan apabila hal itu
tepaksa dilakukan, maka penggunaan kata atau istilah-istilah asing itu hanya ditempatkan
di dalam penjelasan bukan dalam perumusan pasal-pasal (batang tubuh) peraturan.13
Agar lebih jelas mengenai pembahasan pilihan kata atau istilah yang tepat dalam
peraturan perundang-undangan berikut dibahas beberapa penggunaan / pilihan kata atau
istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan:
1. Untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan
ancaman pidana atau batasan waktu digunakan kata ‘paling’. Contoh: ….dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun, atau pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda ‘paling’ sedikit Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah)
dan ‘paling’ banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
2. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan:
a. Waktu, gunakan frase paling singkat atau paling lama
b. Jumlah uang, gunakan frase paling sedikit atau paling banyak
c. Jumlah non-uang, gunakan frase paling rendah dan paling tinggi
3. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata
kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh
kalimat
4. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata ‘selain’. Contoh: Selain
wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam pasal 7 pemohon wajib
membayar biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 14
5. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata
jika, apabila, atau frase dalam hal
a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola
karena-maka)
b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang
mengandung waktu

13
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Perihal Undang-Undang, 2014, halaman 172
c. frase dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan, keadaan
atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola
kemungkinan-maka)
6. Frase pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan
terjadi pada masa depan. Contoh: Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, pasal 45, pasal 46, dan pasal 47 kitab UU Hukum Pidana dinyatakan
tidak berlaku
7. Untuk menyatakan sifat kumulatif, digunakan kata dan. Contoh: A dan B
dapat menjadi…
8. Untuk menyatakan sifat alternative, digunakan kata atau. Contoh: A atau B
wajib memberikan
9. Untuk menyatakan kalimat alternative sekaligus kumulatif gunakan frase
dan / atau. Contoh: A dan / atau B dapat memperoleh…
10. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga
gunakan kata berwenang. Contoh: Presiden berwenang menolak atau
mengabulkan permohonan grasi
11. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga
guanakan kata berwenang
12. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang dapat
diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat. Contoh:
Menteri dapat menolak atau mengabulkan permohonan pendaftaran paten
13. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan
kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan akan
dijatuhi sanksi hukum menurut hukum yang berlaku. Contoh: Untuk
membangun rumah, seseorang wajib memiliki izin mendirikan bangunan
14. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu,
gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang
bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat
seandainya ia memenuhi kondisi atau prasyaratan tersebut
15. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang 14

14
Pipin Syarifin s.H., M.H & Dra. Dedah Jubaedah, M.Si, Ilmu Perundang-Undangan, 2012, halaman 216
II. Permasalahan dalam Penerapan Bahasa Peraturan Perundang-Undangan

Permasalahan yang akan penulis bahas dalam makalah ini lebih kepada
permasalahan teknis yang ada dalam pembentukan peraturan perundang-undangan bukan
kepada permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Contoh permasalahan
yang akan di bahas ialah “Clerical Error”

• Kekeliruan Redaksional (Clerical Erorr)


Setiap rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat pada dasarnya, secara materiil sudah dapat dikatakan bersifat final, meskipun
belum disahkan secara formal oleh presiden sesuai ketentuan pasal 20 ayat (4) atau ayat
(5) UUD 1945. Apabila UU sesudah disahkan oleh DPR sebagai tanda bahwa rancangan
undang-undang mendapatkan persetujuan bersama-sama antara DPR dan Presiden,
rancangan undang-undang dimaksud tidak boleh diubah lagi rumusan isinya.
Namun demikian, dalam praktik sering terjadi bahwa dalam pengetikan rancangan
undang-undang itu sebelum disahkan oleh presiden, ditemukan berbagai kekurangan dan
kekeliruan yang bersifat “clearical”. Kekurangan yang dimaksud misalnya terjadi karena
kesalahan dalam pengetikan ejaan atau “spelling” atau penulisan-penulisan istilah tertentu
yang berasal dari bahasa asing. Kadang-kadang jenis “clerical error” dimaksud memang
tidak prinsipil sifatnya, hanya karena salah penulisan atau pengetikan ejaan. Akan tetapi,
dalam praktik, sering juga terjadi bahwa kesalahan yang sebenarnya bersifat “clearical
error” itu ternyata berpengaruh serius terhadap isi norma yang terdapat di dalam rumusan
kata atau kalimat yang berisi “clerical error”15
Pada pasal 24 ayat (4) UUD 1945 menyatakan “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah
Agung dipilih dari dan oleh Hakim Agung”. Sedangkan pasal 24C ayat (4) UUD 1945
menyatakan “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim
Konstitusi”. Kata “Wakil Ketua: Mahkamah Agung pada pasal 24A ayat (4) UUD 1945
jelas menunjuk kepada pengertian kata benda biasa, tetapi istilah “wakil ketua” pada pasal

15
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Perihal Undang-Undang, 2014, halaman 173
24C ayat (4) UUD 1945 itu menunjuk kepada pengertian jabatan wakil ketua Mahkamah
Konstitusi, sedangkan wakil ketua pada pasal 24A ayat (4) UUD 1945 bersifat umum 16.
Artinya dalam hukum, penggunaan huruf besar dan kecil dapat berakibat sangat
prinsipil terhadap kandungan pengertian yang terdapat di dalam suatu norma hukum.
Karena itu, sekiranya dalam perumusan suatu rancangan UU ternyata ditemukan adanya
kesalahan, sekalipun sangat sepele berupa “clearical error” atau hanya menyangkut minor
staff duties”, dalam rangka kesempurnaan maksimum naskah UU, tetap perlu dipikirkan
mengenai mekanisme pengoreksian sebelum disahkan secara resmi 17.
Koreksi dan penyempurnaan yang berkaitan dengan “clerical error” atau minor
staff duties” perlu diatur secara tepat sehingga di satu pihak tidak akan disalahgunakan.
Untuk itu, hal ini perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan yang pasti bahwa
menteri yang bertanggung jawab dapat mengangkat seorang pejabat ahli bahasa yang
bertindak sebagai “final reader”
E. Naskah Akademik Pembentukan Perundang-Undangan
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan
hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam
suatu Rancangan Undang -Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan
dan kebutuhan hukum masyarakat. Pentingnya naskah akademik dalam menyertai suatu
rancangan peraturan perundang-undangan karena dalam naskah akademik itulah
paradigma kehidupan kemasyarakatan yang hendak dituju oleh peraturan perundang-
undangan yang dibentuk dirumuskan secara terperinci melalui pendekatan ilmiah.18
Naskah akademik memiliki peranan penting dalam penyusunan suatu Rancangan
Undang-Undang (RUU) dan Rancangan Peraturan Daerah (RPerda) sebagaimnaa diatur
dalam Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturaan Perundang-Undangan dinyatakan bahawa Naskah Akademik merupakan
naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu

16
Ibid, hal 174
17
Ibid, hal 174
18
Deus Levolt Sihombing, Peran Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Locus:
Jurnal Konsep Ilmu Hukum, Vol.3.1 (2023) 11-12. https://doi.org/10.56128/jkih.v3i1.38
masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan
masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan
masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. 19
Moh. Mahfud MD mengemukakan bahwa salah satu hal penting dalam
penyususnan UU adalah perlunya studi ilmiah yang dituangkan dalam naskah akademik
yang harus disusun atau disiapkan pada tahap ante legislasi atau langkah pendahuluan
sebelum pembahasan secara resmi sebuah Rancangan Undang-Undang dilakukan. Naskah
akademik ini diperlukan agar setiap UU yang akan dikeluarkan dapat memenuhi syarat
filosofis, yuridis, dan sosiologis.20
Hal penting untuk ditekankan agar naskah akademik yang dibuat tidak hanya
bertumpu kepada keilmuan tetapi juga harus ditunjang dengan kenyataan sosial. Tumpuan
keilmuan didasarkan kepada kaidah-kaidah teori dan pendapat para pakar (doktrin),
sedangkan tumpuan kenyataan didasarkan kepada kebutuhan nyata yang diinginkan
masyarakat agar kehidupannya terlindungi dan dijamin oleh kepastian, kemanfaatan, dan
keadilan hukum baik di masa kini maupun di masa yang akan datang.
Keberadaan Naskah Akademik dalam proses penyusunan peraturan perundang-
undangan di Indonesia masih bersifat fakultatif (bukan keharusan). Keputusan Presiden
No. 188 tahun 1998 pasal 3 menyebut istilah Naskah Akademik dengan istilah Rancangan
Akademik untuk penyusunan undang-undang. Di dalam ayat (1) pasal 3 Kepres tersebut
diatur bahwa: “Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa penyusunan rancangan
Undang-undang dapat pula terlebih dahulu menyusun rancangan akademik mengenai
Rancangan Undang-undang yang akan disusun”. Naskah Akademik dikenal dalam ilmu
peraturan perundang-undangan sebagai salah satu prasyarat sebelum penyusunan
rancangan peraturan perundang-undangan.21
Naskah akademik sebagai pedoman dasar pembentukan peraturan perudang-
undangan tidak hanya dilihat secara formalistik, tetapi harus dilihat dari aspek sosiologis

19
UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan’
20
Moh Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontriversi Isu (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2009)
21
Moh Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontriversi Isu (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2009)
dan filosofis. Karena memang naskah akademik merupakan naskah ilmiah. Di dalam
naskah akademik harus terdapat landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Adapun yang
sistematika naskah akademik dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
asalah sebagai berikut:
a. Judul
b. Kata Pengantar
c. Daftar isi
d. Bab I Pendahuluan
e. Bab II Kajian Teoritis dan Praktik Empiris
f. Bab III evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait.
g. Bab IV landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis.
h. Bab V jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan undang-
undang, peraturan daerah provinsi, atau peraturan daerah kabupaten/kota.
i. Bab VI penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
j. Daftar Pustaka
k. Lampiran: Rancangan Peraturan Perundang-undangan.22
Dengan demikian, bahwa fungsi naskah akademik sangat penting karena ia
merupakan dokumen awal yang digunakan dalam penyusunan RUU dan RPerda. Karena
pengaturan naskah akademik ini sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan RUU dan
RPerda Naskah akademik secara ideal merupakan petunjuk jalan mengenai akan seperti
apa dan bagaimana suatu RUU dan RPerda itu akan disusun. Urgensi dari naskah akademik
dalam proses pembuatan peraturan naskah akademik, bahwa naskah akademik
memberikan pertimbangan dalam rangka pengambilan keputusan bagi pihak eksekutif dan
legislatif mengenai pembentukan peraturan daerah tentang permasalahan yang dibahas
dalam naskah akademik. Sebuah naskah akademik juga memberikan saran-saran apakah
semua materi yang dibahas dalam naskah akademik sebaiknya diatur dalam satu bentuk
peraturan daerah atau hanya sebagian saja yang dituangkan dalam peraturan pelaksana.23

22
Lampiran I UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
23Muhsin, “Fungsi Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”. Jurnal Das Sollen,
5.1 (2021), 1–17 https://doi.org/https://doi.org/10.32520/das-sollen.v5i1.1644
DAFTAR PUSTAKA

➢ Buku :

Asshidiqie, Jimly. 2011. Perihal undang-undang. Jakarta: Rajawali pers

Maria Farida Indriati S., Ilmu Perundang-undangan 2 (proses dan Teknik Pembuatannya),
Yogyakarta: Kansius (2007)

Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah, 2012. Ilmu Perundang-Undangan. Bandung: Pustaka Setia.

Dasar dan Teknik Pembentukan Perundang-Undangan / Jumadi - Jakarta. - Cet. 1 - Rajawali Pers,
2017. - xii, 158 hlm., 23 cm Bibliografi: hlm. 153 ISBN 978-602-425-126-0

➢ Undang-Undang:

Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945

Republik Indonesia. 2011. Undang-undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan. Lembaran Negara RI Tahun 2011, No. 82. Jakarta

➢ Internet:

Syarif Maroni, Pengertian dan Kegunaan bahasa Hukum, diakses dari


http://zriefmaronie.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-kegunaan-bahasa-hukum.html pada
tanggal 10 April 2016 pukul 20:13 WIB

Ahmad Saifudin. Ragam Bahasa Perundang-Undangan, diakses dari


https://www.academia.edu/9703230/RAGAM_BAHASA_PERATURAN_PERUNDANG-
UNDANGAN_1._Pengertian_dan_Sifat_Bahasa_Perundang-Undangan pada tanggal 10 April
2016 pukul 21:14 WIB

Muhsin, “Fungsi Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”.


Jurnal Das Sollen, 5.1 (2021), 1–17 https://doi.org/https://doi.org/10.32520/das-sollen.v5i1.1644

Deus Levolt Sihombing, Peran Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum, Vol.3.1 (2023) 11-12.
https://doi.org/10.56128/jkih.v3i1.38

Anda mungkin juga menyukai