Makalah Ilmu Perundang Undangan
Makalah Ilmu Perundang Undangan
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Per-Undang-
Undangan
Disusun Oleh:
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2024
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. - 2 -
BAB II ........................................................................................................................................ - 3 -
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ - 3 -
A. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEBAGAI SUBSISTEM
KETATANEGARAAN INDONESIA ................................................................................. - 3 -
B. Konsideran atau muatan dan proses pengajuan peraturan perundang undangan ... - 4 -
C. Dasar Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ................................. - 6 -
D. Ragam Bahasa dalam Peraturan Perundang-Undangan ............................................. - 7 -
E. Naskah Akademik Pembentukan Perundang-Undangan........................................... - 14 -
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. - 17 -
BAB II
PEMBAHASAN
b. Segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan- peraturan, baik
di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
Sistem ketatanegaraan bisa diartikan dengan sebuah susunan yang integratif dan saling
berpengaruh tentang sebuah bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan, lembaga-
lembaga negara berikut wewenang, tugas, cara pengisian jabatan, dan hubungan antar - lembaga
serta hubungan negara dengan rakyatnya. Sistem ketatanegaraan dalam hal Indonesia diartikan
sebagai susunan ketatanegaraan Indonesia, atau dengan kata lain keseluruhan rangkaian
unsurorganisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik yang menyangkut susunan dan
kedudukan lembaga-lembaga negara, tugas, dan wewenang maupun hubungannya satu sama lain
menurut UUD 1945.
1Bagir Manan, Peranan Peraturan Perundangan-undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, Armico, Bandung,
1987, hal. 13.
dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan
yang dinisbahkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling
mengendalikan (checks and balances).
Hasil perubahan UUD Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan “kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut UUD” menunjukkan bahwa kedaulatan yang dianut dalam UUD
1945adalah kedaulatan rakyat, selain itu dianut pula kedaulatan hukum yang terkandung dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Perubahan inilah yang menjadi dasar utama bahwa Indonesia
menganut paham konstitusionalisme dan menekankan pembatasan kekuasaan yang dilakukan oleh
hukum, dengan mempertahankan lembaga-lembaga negara lama seperti Presiden, DPR, BPK, dan
Mahkamah Agung.2
a. kejelasan tujuan
d. dapat dilaksanakan
f. kejelasan rumusan
g. keterbukaan.
d. Peraturan Pemerintah
e. Peraturan Presiden
Sesuai dengan bunyi pasal 1 ayat (2) UU No. 12 tahun 2011 di atas, bahwa proses sebuah
peraturan menjadi legal dan mempunyai daya ikat atau kekuatan hukum tetap harus melewati
beberapa tahap. Adapun yang akan di bahas dalam makalah ini hanya sebagian dari tahap-tahap di
atas, yaitu tahap persiapan, teknik penyusunan dan pengundangan.
Pertama, tahap persiapan ini menjelaskan bagaimana prosedur pengajuan sebuah peraturan
perundang-undangan. Karena terdapat berbagai jenis bentuk peraturan perundang-undangan,
dimana setiap jenisnya mempunyai spesifikasi kewenangan legislasi (pembuatan peraturan) yang
berbeda-beda, maka perlu dijelaskan satu persatu sesuatu dengan hirarki jenis/bentuk peraturan
perundang-undangan tersebut.
Kedua, tahap teknik penyusunan peraturan perundang-undangan. dalam tahap ini dapat
dilihat lebih rinci di lampiran UU No. 12 tahun 2011. Akan tetapi dalam lampiran tersebut hanya
menjelaskan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan secara umum, khususnya
mengenai Peraturan Daerah terdapat aturan tersendiri. Ketiga, Tahap Pengundangan sangatlah
penting bagi sebuah peraturan perundang-undangan, karena dengan adanya pengundangan ini
sebuah peraturan perundang-undangan mempunyai daya ikat atau kekuatan hukum tetap dan dapat
dilaksanakan.
Selain itu hal yang perlu diperhatikan adalah pada tahap perencanaan peraturan perundang-
undangan telah diatur mengenai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Program Legislasi
Daerah dalam rangka penyusunan peraturan perundang-undangan secara terencana, bertahap,
terarah, dan terpadu. Oleh karena itu, untuk menunjang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, diperlukan peran tenaga perancang peraturan perundang-undangan sebagai tenaga
fungsional yang berkualitas yang mempunyai tugas menyiapkan, mengolah, dan merumuskan
rancangan peraturan perundang-undangan.4
Salah satu aspek penting dari Undang-Undang ini adalah pengaturan mengenai
tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam proses pembentukan peraturan perundang-
undangan. Mulai dari perumusan hingga penetapan, setiap tahapan dijelaskan secara rinci
dalam undang-undang tersebut. Langkah-langkah ini dirancang untuk memastikan
transparansi, partisipasi publik, dan akuntabilitas dalam proses legislasi.
4 Dasar dan Teknik Pembentukan Perundang-Undangan / Jumadi - Jakarta. - Cet. 1 - Rajawali Pers, 2017. - xii, 158
hlm., 23 cm Bibliografi: hlm. 153
5
Warsito, ‘Kedudukan MPR Sebelum Dan Sesudah Amandemen UUD 1945’, Jurnal Surya Kencana: Dinamika
Masalah Hukum Dan Keadilan, Vol. 9.2 (2022), 146
6
Andi Bau Inggit AR, ‘Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dalam Penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah Principles’, Jurnal Restorative Justice, 3.1 (2019), 123–43
dapat menjadi dasar untuk melakukan perubahan atau pembaruan terhadap peraturan yang
sudah ada sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Dengan adanya Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011, proses pembentukan peraturan perundang-undangan di
Indonesia diharapkan menjadi lebih terstruktur dan terjamin keberlangsungannya. Masyarakat
memiliki jaminan bahwa setiap peraturan yang dikeluarkan telah melalui proses yang
transparan dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Hal ini memperkuat fondasi
hukum negara dan mendukung terciptanya tatanan hukum yang stabil dan berkeadilan.
1. Perlu ada penjelasan dan penyuluhan lebih banyak mengenai latar belakang lahirnya
peraturan perundang-undangan serta keadaan yang mempengaruhinya sehingga
penggunaan kata-kata, kalimat, dan ungkapan di dalamnya dapat dipahami lebih baik
Selain pedoman yang telah disebutkan di atas, hal lain yang harus diperhatikan bagi
penyusun peraturan perundang-undangan ialah kemampuan dalam mengantisipasi dan
menafsirkan apa yang mungkin akan terjadi dengan perumusan dalam peraturan
perundang-undangan tersebut agar tidak terjadi kekeliruan penafsiran oleh masyarakat.
12
Ibid, halaman 204
harus menggunakan kata-kata yang menggunakan istilah asing, dalam hal demikian para
perancang yang baik harus berusaha menghindari istilah asing tersebut. Dan apabila hal itu
tepaksa dilakukan, maka penggunaan kata atau istilah-istilah asing itu hanya ditempatkan
di dalam penjelasan bukan dalam perumusan pasal-pasal (batang tubuh) peraturan.13
Agar lebih jelas mengenai pembahasan pilihan kata atau istilah yang tepat dalam
peraturan perundang-undangan berikut dibahas beberapa penggunaan / pilihan kata atau
istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan:
1. Untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan
ancaman pidana atau batasan waktu digunakan kata ‘paling’. Contoh: ….dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun, atau pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda ‘paling’ sedikit Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah)
dan ‘paling’ banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
2. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan:
a. Waktu, gunakan frase paling singkat atau paling lama
b. Jumlah uang, gunakan frase paling sedikit atau paling banyak
c. Jumlah non-uang, gunakan frase paling rendah dan paling tinggi
3. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata
kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh
kalimat
4. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata ‘selain’. Contoh: Selain
wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam pasal 7 pemohon wajib
membayar biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 14
5. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata
jika, apabila, atau frase dalam hal
a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola
karena-maka)
b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang
mengandung waktu
13
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Perihal Undang-Undang, 2014, halaman 172
c. frase dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan, keadaan
atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola
kemungkinan-maka)
6. Frase pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan
terjadi pada masa depan. Contoh: Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, pasal 45, pasal 46, dan pasal 47 kitab UU Hukum Pidana dinyatakan
tidak berlaku
7. Untuk menyatakan sifat kumulatif, digunakan kata dan. Contoh: A dan B
dapat menjadi…
8. Untuk menyatakan sifat alternative, digunakan kata atau. Contoh: A atau B
wajib memberikan
9. Untuk menyatakan kalimat alternative sekaligus kumulatif gunakan frase
dan / atau. Contoh: A dan / atau B dapat memperoleh…
10. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga
gunakan kata berwenang. Contoh: Presiden berwenang menolak atau
mengabulkan permohonan grasi
11. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga
guanakan kata berwenang
12. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang dapat
diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat. Contoh:
Menteri dapat menolak atau mengabulkan permohonan pendaftaran paten
13. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan
kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan akan
dijatuhi sanksi hukum menurut hukum yang berlaku. Contoh: Untuk
membangun rumah, seseorang wajib memiliki izin mendirikan bangunan
14. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu,
gunakan kata harus. Jika keharusan tersebut tidak dipenuhi, yang
bersangkutan tidak memperoleh sesuatu yang seharusnya akan didapat
seandainya ia memenuhi kondisi atau prasyaratan tersebut
15. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang 14
14
Pipin Syarifin s.H., M.H & Dra. Dedah Jubaedah, M.Si, Ilmu Perundang-Undangan, 2012, halaman 216
II. Permasalahan dalam Penerapan Bahasa Peraturan Perundang-Undangan
Permasalahan yang akan penulis bahas dalam makalah ini lebih kepada
permasalahan teknis yang ada dalam pembentukan peraturan perundang-undangan bukan
kepada permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Contoh permasalahan
yang akan di bahas ialah “Clerical Error”
15
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H, Perihal Undang-Undang, 2014, halaman 173
24C ayat (4) UUD 1945 itu menunjuk kepada pengertian jabatan wakil ketua Mahkamah
Konstitusi, sedangkan wakil ketua pada pasal 24A ayat (4) UUD 1945 bersifat umum 16.
Artinya dalam hukum, penggunaan huruf besar dan kecil dapat berakibat sangat
prinsipil terhadap kandungan pengertian yang terdapat di dalam suatu norma hukum.
Karena itu, sekiranya dalam perumusan suatu rancangan UU ternyata ditemukan adanya
kesalahan, sekalipun sangat sepele berupa “clearical error” atau hanya menyangkut minor
staff duties”, dalam rangka kesempurnaan maksimum naskah UU, tetap perlu dipikirkan
mengenai mekanisme pengoreksian sebelum disahkan secara resmi 17.
Koreksi dan penyempurnaan yang berkaitan dengan “clerical error” atau minor
staff duties” perlu diatur secara tepat sehingga di satu pihak tidak akan disalahgunakan.
Untuk itu, hal ini perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan yang pasti bahwa
menteri yang bertanggung jawab dapat mengangkat seorang pejabat ahli bahasa yang
bertindak sebagai “final reader”
E. Naskah Akademik Pembentukan Perundang-Undangan
Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan
hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam
suatu Rancangan Undang -Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan
dan kebutuhan hukum masyarakat. Pentingnya naskah akademik dalam menyertai suatu
rancangan peraturan perundang-undangan karena dalam naskah akademik itulah
paradigma kehidupan kemasyarakatan yang hendak dituju oleh peraturan perundang-
undangan yang dibentuk dirumuskan secara terperinci melalui pendekatan ilmiah.18
Naskah akademik memiliki peranan penting dalam penyusunan suatu Rancangan
Undang-Undang (RUU) dan Rancangan Peraturan Daerah (RPerda) sebagaimnaa diatur
dalam Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturaan Perundang-Undangan dinyatakan bahawa Naskah Akademik merupakan
naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu
16
Ibid, hal 174
17
Ibid, hal 174
18
Deus Levolt Sihombing, Peran Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Locus:
Jurnal Konsep Ilmu Hukum, Vol.3.1 (2023) 11-12. https://doi.org/10.56128/jkih.v3i1.38
masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan
masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan
masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. 19
Moh. Mahfud MD mengemukakan bahwa salah satu hal penting dalam
penyususnan UU adalah perlunya studi ilmiah yang dituangkan dalam naskah akademik
yang harus disusun atau disiapkan pada tahap ante legislasi atau langkah pendahuluan
sebelum pembahasan secara resmi sebuah Rancangan Undang-Undang dilakukan. Naskah
akademik ini diperlukan agar setiap UU yang akan dikeluarkan dapat memenuhi syarat
filosofis, yuridis, dan sosiologis.20
Hal penting untuk ditekankan agar naskah akademik yang dibuat tidak hanya
bertumpu kepada keilmuan tetapi juga harus ditunjang dengan kenyataan sosial. Tumpuan
keilmuan didasarkan kepada kaidah-kaidah teori dan pendapat para pakar (doktrin),
sedangkan tumpuan kenyataan didasarkan kepada kebutuhan nyata yang diinginkan
masyarakat agar kehidupannya terlindungi dan dijamin oleh kepastian, kemanfaatan, dan
keadilan hukum baik di masa kini maupun di masa yang akan datang.
Keberadaan Naskah Akademik dalam proses penyusunan peraturan perundang-
undangan di Indonesia masih bersifat fakultatif (bukan keharusan). Keputusan Presiden
No. 188 tahun 1998 pasal 3 menyebut istilah Naskah Akademik dengan istilah Rancangan
Akademik untuk penyusunan undang-undang. Di dalam ayat (1) pasal 3 Kepres tersebut
diatur bahwa: “Menteri atau Pimpinan Lembaga pemrakarsa penyusunan rancangan
Undang-undang dapat pula terlebih dahulu menyusun rancangan akademik mengenai
Rancangan Undang-undang yang akan disusun”. Naskah Akademik dikenal dalam ilmu
peraturan perundang-undangan sebagai salah satu prasyarat sebelum penyusunan
rancangan peraturan perundang-undangan.21
Naskah akademik sebagai pedoman dasar pembentukan peraturan perudang-
undangan tidak hanya dilihat secara formalistik, tetapi harus dilihat dari aspek sosiologis
19
UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan’
20
Moh Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontriversi Isu (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2009)
21
Moh Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontriversi Isu (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada, 2009)
dan filosofis. Karena memang naskah akademik merupakan naskah ilmiah. Di dalam
naskah akademik harus terdapat landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Adapun yang
sistematika naskah akademik dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
asalah sebagai berikut:
a. Judul
b. Kata Pengantar
c. Daftar isi
d. Bab I Pendahuluan
e. Bab II Kajian Teoritis dan Praktik Empiris
f. Bab III evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait.
g. Bab IV landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis.
h. Bab V jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan undang-
undang, peraturan daerah provinsi, atau peraturan daerah kabupaten/kota.
i. Bab VI penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
j. Daftar Pustaka
k. Lampiran: Rancangan Peraturan Perundang-undangan.22
Dengan demikian, bahwa fungsi naskah akademik sangat penting karena ia
merupakan dokumen awal yang digunakan dalam penyusunan RUU dan RPerda. Karena
pengaturan naskah akademik ini sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan RUU dan
RPerda Naskah akademik secara ideal merupakan petunjuk jalan mengenai akan seperti
apa dan bagaimana suatu RUU dan RPerda itu akan disusun. Urgensi dari naskah akademik
dalam proses pembuatan peraturan naskah akademik, bahwa naskah akademik
memberikan pertimbangan dalam rangka pengambilan keputusan bagi pihak eksekutif dan
legislatif mengenai pembentukan peraturan daerah tentang permasalahan yang dibahas
dalam naskah akademik. Sebuah naskah akademik juga memberikan saran-saran apakah
semua materi yang dibahas dalam naskah akademik sebaiknya diatur dalam satu bentuk
peraturan daerah atau hanya sebagian saja yang dituangkan dalam peraturan pelaksana.23
22
Lampiran I UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
23Muhsin, “Fungsi Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”. Jurnal Das Sollen,
5.1 (2021), 1–17 https://doi.org/https://doi.org/10.32520/das-sollen.v5i1.1644
DAFTAR PUSTAKA
➢ Buku :
Maria Farida Indriati S., Ilmu Perundang-undangan 2 (proses dan Teknik Pembuatannya),
Yogyakarta: Kansius (2007)
Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah, 2012. Ilmu Perundang-Undangan. Bandung: Pustaka Setia.
Dasar dan Teknik Pembentukan Perundang-Undangan / Jumadi - Jakarta. - Cet. 1 - Rajawali Pers,
2017. - xii, 158 hlm., 23 cm Bibliografi: hlm. 153 ISBN 978-602-425-126-0
➢ Undang-Undang:
➢ Internet:
Deus Levolt Sihombing, Peran Naskah Akademik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Locus: Jurnal Konsep Ilmu Hukum, Vol.3.1 (2023) 11-12.
https://doi.org/10.56128/jkih.v3i1.38