Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Peranan

2.1.1. Pengertian Peran

Peran adalah sikap dan tindakan seseorang menurut kedudukan dalam

masyarakat atau golongannya1. Peran sosial adalah suatu perbuatan seseorang

dengan cara tertentu dalam menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan

status sosial yang dimilikinya. Seseorang dapat dikatakan berperan jika

melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan status sosialnya di

massyarakat. Jika seseorang mempunyai status tertentu dalam kehidupan

masyarakat, maka selanjutnya ada kecenderungan timbulnya suatu harapan-

harapan baru2.

Dalam banyak literature, peran selalu dihubungkan dengan kata fungsi.

Sebab fungsi dan peranan mempunyai makna yang saling berkaitan. Talcott

Parsons3 mendefinisikan fungsi sebagai kumpulan kegiatan yang mengarah kepada

pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Dari pengertian fungsi

tersebut dapat diketahui bahwa fungsi merupakan tempat seseorang dalam suatu

pola tertentu. Dengan demikian seseorang dapat dikatakan mempunyai fungsi

karena seseorang tersebut ikut serta dalam berbagai pola kehidupan. Pengertian

tersebut menunjukan fungsi sesuai dengan tempatnya sehubungan dengan

organisasi yang mempunyai fungsi dalam suatu masyarakat dan lingkungannya.

1
Hasan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia. (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h.
285
2
Abdul, Syani, Sosiologi Skematika Teori dan Terapan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h.
94
3
Dalam George Retzer & Douglas L. Goodman, Teori sosiologi modern, edisi ke enam.
(Jakarta: Pranada media group, 2011), h.121
Maka organisasi mempunyai peranan dalam melaksanakan fungsinya baik

sebagai organisasi sosial maupun organisasi keagamaan. Sedangkan peranan

merupakan bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan oleh seseorang atau

organisasi berdasarkan program yang telah ditentukan atas masa bakti yang

sudah ditentukan pula dan dapat menimbulkan dampak tertentu pada

anggotannya. Dengan demikian maka peranan mencakup suatu usaha dalam

organisasi atau lembaga yang bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan

kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang tertentu yang secara spesifik

menjadi tujuan dasar terbentuknya organisasi atau lembaga tersebut.

Gross, Masson dan MC Eachem mendefinisikan peranan seperti yang yang

dikutip oleh David Berry dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Pikiran

dalam Sosiologi, peranan diartikan sebagai seperangkat harapan- harapan yang

dikenakan pada individu yang menempati kedudukan social tertentu atau lembaga

yang mempunyai arti penting bagi struktur sosial4. Sedangkan Soerjono

Soekanto5, mengemukakan peran mencakup tiga hal diantaranya adalah sebagai

berikut:

1. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat


seseorang dalam masyarakat. Peran dalam pengertian ini merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam
kehidupan masyarakat.
2. Peran adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh indidvidu
di masyarakat.
3. Peran juga dapat dikatakan sebagai perlakuan individu yang penting bagi
struktur sosial masyarakat.

4
David Berry, The Principle Of Sosiologi, terjemahan oleh Paulus Wirutomo, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo, 2003), h. 106.
5
Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: PT. Rajawali Press, 2004), h. 243
Lebih lanjut, Abdul Syani6 menjelaskan bahwa struktur sosial dapat

diartikan sebagai hubungan timbal balik antara posisi-posisi sosial dengan peran-

peran sosial. Dalam struktur sosial pedesaan, penguasa termasuk perangkat utama

selain dari pada status sosial, sedangkan fungsi struktur adalah peran individu-

individu yang tergabung dalam kehidupan masyarakat yang mampu memlihara

kontinuitas apa-apa yang bersifat struktur.

Dalam hal ini dapat dilihat gejala yang disebut role distance dimana

seseorang dalam memerankan peranannya merasa tertekan dan merasa tidak

mampu untuk melaksanakan kewajibannya dengan demikian seseorang tersebut

tidak melaksanakan tugasnya dengan sempurna, dimungkinkan orang tersebut

berada dilingkungan sosial yang berbeda. Lingkungan sosial ini adalah kelompok

sosial dimana seseorang mendapat tempat serta kesempatan untuk dapat

melaksanakan peranannya. Sehubungan dengan adanya peran yang dilakukan

setiap individu di masyarakat, maka seseorang akan senantiasa berhubungan

dengan pihak lain.

2.1.2. Fungsi Peran

Peranan seseorang lebih banyak menunjukkan suatu proses dari fungsi dan

kemampuan mengadaptasi diri dalam lingkungan sosialnya. Abdul Syani7

mengatakan bahwa ada beberapa pertimbangan sehubungan dengan fungsinya,

yaitu sebagai berikut:

1. Bahwa peranan-peranan tertentu harus dilaksanakan apabila struktur


masyarakat hendak dipertahankan kelangsungannya.
2. Peranan tersebut seyogianya diletakan pada individu yang oleh masyarakat
dianggap mampu untuk melaksanakannya. Mereka harus terlebih dahulu
terlatih dan mempunyai pendorong untuk melaksanakannya.

6
Abdul Syani, Op.Cit., h. 68
7
Ibid., h. 94
3. Dalam masyarakat kadang-kadang dijumpai individu-individu yang tak
mampu melaksanakan peranannya sebagaimana diharapkan oleh
masyarakat, oleh karena mungkin pelaksanaannya memerlukan
pengorbanan yang terlalu banyak dari kepentingan-kepentingan pribadinya.
4. Apabila semua orang sanggup dan mampu melaksanakan peranannya,
belum tentu masyarakat akan dapat memberikan peluang-peluang yang
seimbang. Bahkan seringkali terlihat betapa masyarakat terpaksa
membatasi peluang-peluang tersebut.

Peranan memiliki beberapa fungsi bagi individu maupun orang lain,

diantaranya:

1. Peranan yang dimainkan seseorang dapat mempertahankan kelangsungan

struktur masyarakat, seperti peran sebagai ayah atau ibu.

2. Peranan yang dimainkan seseorang dapat pula digunakan untuk membantu

mereka yang tidak mampu dalam masyarakat. Tindakan individu tersebut

memerlukan pengorbanan, seperti peran dokter, perawat, pekerja sosial, dan

lainnya.

3. Peranan yang dimainkan seseorang juga merupakan sarana aktualisasi diri,

seperti seorang lelaki sebagai suami/bapak, seorang wanita sebagai isteri/ibu,

seorang seniman dengan karyanya, dan lainnya.

2.1.3. Macam-Macam Peranan

Setiap pihak akan memiliki perangkat peran tertentu (set of roles), sehingga

peran seseorang yang ada dalam masyarakat dapat diklasifikasikan menurut

bermacam-macam cara sesuai dengan sudut pandang yang diambil. Peran tersebut

berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya dan hal itu sekaligus berarti bahwa peran

tersebut menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-

kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Diantara peran-peran

tersebut adalah:
1. Peran yang diharapkan

Maysarakat menghendaki peran yang diharapkan dilaksanakan secermat-

cermatnya , sesuai dengan peraturan. Peran ini antara lain peran hakim, peran pilot

pesawat, dan sebagainya. Peran-peran ini merupakan peran yang tidak dapat

ditawar, harus dilaksanakan seperti yang ditentukan.

2. Peran yang disesuaikan

Dalam melaksanakannya harus lebih luwes dari peran yang diharapkan,

bahkan kadang-kadang harus disesuaikan. Peran yang disesuaikan mungkin tidak

cocok dengan situasi setempat, tetapi kekurangan yang muncul dianggap wajar

oleh masyarakat. Suatu peran disesuaikan bukan karena manusia pelakunya, tetapi

karena faktor-faktor diluar manusia yaitu situasi dan kondisi yang selalu baru dan

sering sulit diramalkan sebelumnya.

3. Peran bawaan dan peran pilihan

Peran bawaan adalah peran yang diperoleh secara otomatis, bukan karena

usaha misalnya peran sebagai anak, peran sebagai kakak, peran sebagai nenek atau

kakekdan sebagainya. Kadang-kadang secara tidak langsung terdapat unsur pilihan

untuk memperoleh peran bawaan, misalnya peran bapak dan ibu. Pada saat

seorang calon bapak dan calon ibu hendak memasuki hidup perkawinan,

keduannya memiliki keputusan bebas tentang peranannya. Setelah mereka

mempunyai anak, secara otomatis mereka memiliki peranan bapak dan ibu.

4. Peran kunci (key roles) dan peran tambahan (supplementary roles)

Dari pengamatan kasar mengenai jenis-jenis peran yang ada dalam

masyarakat, kita dapat mengetahui bahwa setiap orang memegang lebih dari satu

peran. Tidak hanya peran bawaan, tetapi juga sejumlah peran yang diperoleh
melalui usaha sendiri, serta peran yang ditunjuk oleh pihak-pihak lain. Misalnya si

b tidak saja memegang peranannya sebagai seorang bapak, mertua, menantu, tetapi

juga sebagai guru SMA, ketua RW, anggota koprasi dan beberapa peran lainnya.

Diantara peran-peran itu ada yang disebut peran kunci, sedangkan peranan lainnya

disebut peran tambahan.

2.2. Industri

2.2.1. Pengertian Industri dan Perusahaan

Industri mempunyai dua pengertian yaitu pengertian secara luas dan

pengertian secara sempit. Dalam pengertian secara luas, industri mencakup semua

usaha dan kegiatan dibidang ekonomi yang bersifat produktif. Sedangkan

pengertian secara sempit, industri atau industri pengolahan adalah suatu kegiatan

yang mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan

sehingga menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Dalam hal ini termasuk

kegiatan jasa industri dan pekerja perakitan (assembling). Sebagaimana Dumairy8

menjelaskan bahwa industri mempunyai dua pengertian, yaitu:

1. Pertama, industri merupakan himpunan perusahaan-perusahaan sejenis,


contoh industri kertas berarti himpunan perusahaan-perusahaan penghasil
kertas.
2. Kedua, industri adalah sektor ekonomi yang didalamnya terdapat kegiatan
produktif yang mengolah barang mentah menjadi barang setengah jadi atau
barang jadi.

Dalam pengertian kedua, kata industri sering disebut sektor industri

pengolahan atau manufaktur yaitu salah satu faktor produksi atau lapangan usaha

dalam perhitungan pendapatan nasional menurut pendekatan produksi.

8
Dumairy, Perekonomian di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1996), h. 207
Ketika satu negara telah mencapai tahapan dimana sektor industri sebagai

leading sektor maka dapat dikatakan negara tersebut sudah mengalami

industrialisasi9. Dapat pula dikatakan bahwa industrialisasi sebagai transformasi

struktural dalam suatu negara. Oleh sebab itu, proses industrialisasi dapat

didefenisikan sebagai proses perubahan struktur ekonomi dimana terdapat

kenaikan kontribusi sektor industri dalam permintaan konsumen, PDB, ekspor dan

kesempatan kerja. Industrialisasi dalam pengertian lain adalah proses modernisasi

ekonomi yang mencakup seluruk sektor ekonomi yang mempunyai kaitan satu

sama lain dengan industri pengolahan. Artinya industrialisasi bertujuan

meningkatkan nilai tambah seluruh sektor ekonomi dengan sektor industri

pengolahan sebagai leading sektor.

Strategi industrialisasi merupakan pandangan yang dianggap sebagai

sebuah keniscayaan untuk memajukan proses pembangunan di sebuah negara.

Industrialisasi dianggap sebagai satu-satunya jalan pintas untuk meretas nasib

kemakmuran suatu Negara secara lebih cepat di bandingkan apabila tanpa melalui

proses tersebut. Dengan pegangan itulah, maka hampir semua negara di dunia ini

telah dan sedang menempuh strategi industrialisasi tersebut, tentunya dengan

beberapa karakteristik yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.

Karena pararelisme antara jalannya pembangunan dan strategi industrialisasi

itulah, maka dalam perjalanannya bisa dikatakan pemaknaan pembangunan hampir

identik dengan industrialisasi sehingga di antara keduanya tidak terpisahkan.

9
Ahmad Erani Yustika, Industrialisasi Pinggiran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h.
45
Akar intelektual kebijakan industrialisasi yang dikendalikan negara

sesungguhnya terletak pada abad ke-19, dalam pendekatan ekonomi politik

mazhab merkantilis dan historis. Antusiasme terhadap usulan-usulan untuk

industrialisasi selanjutnya melanda seantero Jepang dan dunia Barat, yang

mendorongapa yang semula tak lebih dari tujuan kebijakan telah berubah menjadi

ideologi independensi ekonomi, yang menghendaki peningkatan posisi negara

serta titik berat pada industrialisasi sebagai wahana bagi integrasi nasional. Pasca

Perang Dunia II, retorika nasionalisme dunia ketiga dalam waktu singkat dikaitkan

pada tujuan pembangunan industri. Industrialisme menjadi unsur utama dalam

ideologi pembangunan nasional yang tersebar luas di negeri-negeri sedang

berkembang.

Indonesia sebagai negara berkembang juga tidak luput dari virus

industrialisasi tersebut. Semenjak pembangunan ekonomi dimulai secara terencana

sejak tahun 1969, sesungguhnya pendekatan yang digunakan Indonesia adalah

strategi industrialisasi. Terdapat dua pertimbangan penting yang melandasi peng

gunaan strategi industrialisasi tersebut. Pertama, pada tahun-tahun tersebut

negara-negara di seluruh dunia juga mengerjakan proyek industrialisasi di

negaranya masing-masing dengan dukungan teori-teori pembangunan ekonomi

yang memadai. Kedua, sejarah negara-negara yang telah berhasil memajukan

ekonominya selalu melewati tahapan industrialisasi pada proses pembangunannya.

Strategi ini dianggap berhasil karena secara perlahan-lahan menggeser kegiatan

ekonomi dari semula terkonsentrasi pada sektor primer (pertanian) menuju sektor

sekunder (industri/jasa).
Dengan pertimbangan itulah maka proyek industrialisasi juga dikerjakan di

Indonesia dengan konsistensi yang cukup terjaga. Sejarah telah mencatat bahwa

industrialisasi di Indonesia pada akhirnya juga menggeser aktivitas ekonomi

masyarakat, dari semula bertumpu pada sektor pertanian untuk kemudian

bersandar pada sector industri. Karena adanya kesadaran bahwa sebagian besar

masyarakat Indonesia bergulat di sektor agraris dan sumberdaya ekonomi yang

melimpah di sektor pertanian, makaindustrialisasi yang dilaksanakan di Indonesia

harus melibatkan sektor pertanian dalamprosesnya. Dalam bahasa yang tegas,

bahwa industrialisasi yang dijalankan tersebut harus bertumpu dan berkaitan

dengan sektor pertanian; sehingga jika sektor industri sudah tumbuh pesat tidak

lantas mematikan sektor pertanian yang menjadi tumpuan hidup masyarakat

banyak.

Salah satu aspek penting transformasi struktur perekonomian Indonesia

sepanjang era Orde Baru adalah peningkatan peranan sektor industri yang

tergolong sangat pesat. Meskipun sektor-sektor lain juga mengalami pertumbuhan,

namun pertumbuhannya cenderung lebih lamban daripada sektor industri.

Sedangkan perusahaan, pertama kali istilah tersebut dalam perundang-

undangan terdapat di dalam Pasal 6, 16, dan 36 Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang (KUHD), tetapi pengertian secara jelas dari perusahaan itu sendiri tidak

termuat dalam KUHD. Sebelumnya terjadi perubahan terhadap KUHD yaitu

Menurut L.N. 1938-276 yang mulai berlaku pada tanggal 17 Juli 1938, bab kesatu

yang berkepala: “Tentang pedagang-pedagang dan tentang perbuatan dagang” dan

meliputi Pasal 2, 3, 4, dan 5 telah dihapuskan. Menurut Chidir Ali, dengan

perubahan tersebut dicantumkan istilah baru yaitu perusahaan (bedrijf; ondenting),


yang di mana pengertian perusahaan jauh lebih luas dari pengertian pedagang

berdasar undang-undang yang lama10.

Dalam penjelasan pembentuk undang-undang (Memorie van Teoligting,

MvT) mengemukakan sebagai berikut: “Perusahaan adalah keseluruhan perbuatan

yang dilakukan, secara tidak terputus-putus, terang-terangan, dalam kedudukan

tertentu untuk mencari laba”11. Sedangkan menurut Molengraaff mengenai

defenisi perusahaan adalah sebagai berikut : Perusahaan adalah keseluruhan

perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk

memperoleh penghasilan, dengan cara memperdagangkan atau menyerahkan

barang atau mengadakan perjanjian perdagangan12.

Pengertian perusahaan menurut Molengraaff tidak menekankan

perusahaan sebagai sebuah badan usaha, melainkan hanya menyebutkan

perusahaan sebagai sebuah kegiatan atau hanya terkhusus pada jenis usaha saja.

Walaupun dalam pengertian tersebut telah memiliki aspek hukum perusahaan yaitu

berupa perjanjian dengan pihak lain. Pandangan Polak dalam buku Abdul Kadir

Muhammad, memandang perusahaan dari sisi komersil yang artinya perusahaan

ada apabila diperlukan perhitungan laba rugi berupa perkiraan dan pencatatan

dalam pembukuan13.

Unsur pembukuan dalam pandangan perusahaan menurut Polak merupakan

unsur yang wajib adanya dalam sebuah perusahaan, hal ini sesuai dengan Pasal 6

KUHD yang sekarang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997

10
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: P.T. Alumni, 2011), h. 102.
11
Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008), h. 14.
12
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2010), h. 7.
13
Ibid., h. 8
tentang Dokumen Perusahaan. Polak dalam pandangannya mengenai perusahaan

juga tidak membahas perusahaan sebagai badan usaha.

R. Soekardono mengemukakan bahwa untuk menafsirkan defenisi

perusahaan dapat menggunakan jawaban dari Minister van Justitie di depan

parlemen pada waktu itu yang berkaitan dengan perubahan Pasal 2-5 KUHD, yakni

barulah dapat dikatakan ada perusahaan apabila pihak yang berkepentingan

bertindak secara tidak terputus-putus dan terang-terangan di dalam kedudukan

tertentu untuk mendapatkan laba bagi dirinya sendiri14.

Defenisi mengenai perusahaan secara jelas menurut hukum untuk pertama

kali dirumuskan di dalam Pasal 1 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982

tentang Wajib Daftar Perusahaan yang ditentukan sebagai berikut: Perusahaan

adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap

dan terus-menerus dan didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah

negara Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.

Selain itu, terdapat juga defenisi perusahaan menurut Pasal 1 butir 1

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan yang

berbunyi: Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara

tetap dan terus menerus dengan memperoleh keuntungan dan atau laba, baik yang

diselenggarakan oleh orang perorangan maupun badan usaha yang berbentuk

badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam

wilayah negara Republik Indonesia.

Kedua defenisi perusahaan menurut undang-undang tersebut mengatur

tidak hanya jenis usaha yang berupa kegiatan ekonomi, tetapi juga telah mengatur

14
Sentosa, Op.Cit., h. 14
mengenai bentuk usaha yang berwujud badan usaha yang didirikan, bekerja, serta

berkedudukan dalam wilayah Negara Indonesia.

Menurut undang-undang yang berlaku, perusahaan dianggap ada jika

kegiatan dalam bidang ekonomi yang dilakukan terus-menerus dan terang-

terangan, terhadap pihak ketiga, dengan maksud untuk mendapat keuntungan di

dalam wujud sebuah badan usaha atau wajib untuk memiliki suatu bentuk usaha.

Berdasarkan defenisi perusahaan yang dikemukakan oleh Molengraaf, Polak, dan

pembentuk undang-undang, Abdulkadir Muhammad merumuskan defenisi

perusahaan sebagai berikut: Perusahaan adalah setiap badan usaha yang

menjalankan kegiatan dalam bidang perekonomian secara terus-menerus, bersifat

tetap, dan terang-terangan dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba

yang dibuktikan dengan catatan (pembukuan)15.

2.2.2. Industrialisasi: Sebagai Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi dimaknai sebagai pertumbuhan ekonomi yang

berlangsung secara berkesinambungan sehingga menghasilkan transformasi

structural dalam perekonomian. Sedangkan John W. Mellor mendefinisikan

pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang dengannya perekonomian

diubah dari apa yang sebagian besarnya pedesaan dan pertanian menjadi sebagian

besar perkotaan, industry dan jasa-jasa dalam komposisinya. Dalam makna yang

hampir sama, pembangunan ekonomi merujuk pada pertumbuhan ekonomi yang

disertai peralihan distribusi output dan struktur ekonomi. Dari perspektif tersebut

dapat diambil kesimpulan bahwa inti dari pembangunan ekonomi adalah adanya

pertumbuhan ekonomi.

15
Abdul Kadir, Op.Cit., h. 13
Sedangkan transformasi struktural adalah pergeseran pertumbuhan sector

produksi dari mengandalkan sektor primer (pertanian) menuju sektor sekunder

(industri) dan kemudian ke sektor jasa. Pandangan tersebut dipelopori oleh Colin

Clark dan Simon Kuznets. Clark menggambarkan proses pertumbuhan ekonomi

dalam kerangka perubahan proporsional yang besar menuju produksi sekunder

serta peningkatan yang layak dalam produksi tersier, dengan sebutan khas

modernisasi ekonomi. Jika sebuah negara telah mencapai tahapan sektor Indus tri

inilah, maka negara tersebut dianggap telah mengalami tahap industrialisasi.

Dalam hal ini transformasi struktural diharuskan, karena dipandang sektor primer

tidak memiliki nilai tambah (value added) yang tinggi serta nilai tukar (term of

trade) yang rendah.

Menurut pendekatan ini, industrialisasi dianggap sebagai proses

pertumbuhan ekonomi dalam wujud akselerasi investasi dan tabungan. Jika tingkat

tabungan cukup tinggi, maka kemampuan sebuah negara untuk mengadakan

investasi juga meningkat sehingga target pertumbuhan ekonomi dan penciptaan

lapangan kerja lebih mungkin digapai secara cepat. Sebaliknya, jika tingkat

tabungan yang dihimpun tidak memadai untuk mengejar target investasi yang

dibutuhkan, maka sudah barang tentu pertumbuhan ekonomi tidak tercapai

sekaligus meniadakan penyerapan tenaga kerja.

Dalam menjelaskan proses industrialisasi, model neoklasik agak

berpendapat lain. Tokoh-tokohnya seperti W. Arthur Lewis dan Hollis Chenery,

lebih menekankan perhatiannya kepada mekanisme yang memungkinkan

perekonomian negara terbelakang mentransformasikan struktur perekonomian

dalam negeri mereka dari sesuatu yang berat ke pertanian tradisional, untuk
mencukupi kebutuhan sendiri, kepada sesuatu perekonomian yang lebih modern,

lebih mengarah ke kota dan lebih beraneka di bidang industri dan jasa. Jadi model

neoklasik lebih memusatkan bagaimana ”mekanisme” perubahan struktural

tersebut terjadi. Untuk itu, piranti analisa yang dipakai banyak menggunakan teori

neoklasik tentang harga dan alokasi sumberdaya, serta model-model ekonometrik.

Dalam sudut pandang ini, yang terpenting dari sebuah industrialisasi

bukannya pergeseran aktivitas ekonomi maupun jumlah investasi yang berhasil

diakumulasi, melainkan yang lebih ditekankan adalah apakah pada saat yang

bersamaan faktor-faktor lain yang terlibat dalam proses tersebut juga ikut bergeser.

Faktor-faktor tersebut meliputi tenaga kerja, modal dan kontribusinya terhadap

pendapatan nasional.

Pada dekade 1980-an, pandangan mengenai pemaknaan industrialisasi di

atas mendapat kritik dari Joan Robinson (ekonom dari Cambridge University),

Cohen danZysman (ekonom dari California University). Ketiganya

mengemukakan argumentasi bahwa transformasi ekonomi hendaklah dipahami

dan diinterpretasikan bukan hanya dalam konteks pergeseran struktural dari sektor

pertanian ke sektor manufaktur dan kemudian ke sektor jasa. Tahap-tahap

transformasi hendaklah dipahami dalam pergeseran proses dinamika yang terjadi

dalam sektor pertanian dan sector-sektor pendukungnya. Dan kegiatan-kegiatan

pendukung ini hendaklah dilihat apakah mempunyai kaitan dengan sektor

pertanian. Secara spesifik, ekonom Cambridge tersebuttelah meletakkan sektor

pertanian sebagai pondasi pembangunan dan sektor industry sebagai motor

pembangunan dengan saling keterkaitan yang kukuh. Sebagai motor

pembangunan, sektor industri merupakan off shoot dari sektor pertanian.


Pandangan terakhir ini sesungguhnya sangat cocok dan memadai untuk

melihat kasus Indonesia mengingat karakteristik potensi sektor basis yang dimiliki,

yakni sekt orpertanian. Dengan economic endowment di sektor pertanian, maka

seharusnyalah industrialisasi yang dijalankan distimulus dan didasarkan pada

sektor tersebut sehingga tidak akan mengganggu kondisi ketenagakerjaan. Jika

model industrialisasi ini yang ditempuh, maka dua hal penting segera akan dicapai;

di satu sisi akan diperoleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai dan di sisi

lainnya jumlah tenaga kerja yang dapat terlibat dalam proses industrialisasi sangat

banyak. Dengan begitu adanya proses

Industry alisasi yang diakselerasi di Indonesia tidak akan menimbulkan banyak

masalah seperti yang terjadi di banyak negara, misalnya pengangguran dan

ketimpangan pendapatan.

Berdasarkan pandangan semacam itu, maka paling tidak transformasi

ekonomi bisa dikarakteristikkan dalam dua hal. Pertama , sektor pertanian harus

terus mengalami dinamika internal (berupa produktivitas yang terus meningkat)

dan menjadi basis bagi sektor industri yang akan dikembangkan. Kedua , sektor

industri yang dikembangkan mempunyai saling ke terkaitan dengan sektor

pertanian, di mana keterkaitan sector industri dan pertanian yang didinamisasikan

secara luar biasa merupakan kunci bagi pertumbuhan sektor manufaktur. Di

samping konsep-konsep di atas, para ekonom sendiri memiliki kesepakatan-

kesepakatan mendasar guna mengetahui kecenderungan telah terjadinya proses

industrialisasi di suatu negara. Dalam model konvensional tersebut, karakterisrik

industrialisasi biasanya diukur dengan lima indikator. Pertama, pertumbuhan

ekonomi meningkat melebihi pertumbuhan penduduk. Kedua, share sektor primer


menurun. Ketiga, share sektor sekunder meningkat. Keempat, share sektor jasa

lebih kurang konstan sehingga sebuah negara menjadi negara industri baru. Kelima

, konsumsi pangan menurun. Implikasinya, di sisi produksi peran sektor primer

berkurang dan di sudut permintaan peran faktor konsumsi berkurang.

2.2.3. Industrialisasi di Indonesia

Pembangunan industri merupakan bagian dari pelaksanaan Garis-garis

Besar Haluan Negara (GBHN) dalam mencapai sasaran Pembangunan Jangka

Panjang yang bertujuan membangun industri, sehingga bangsa Indonesia mampu

tumbuh dan berkembang atas kekuatan sendiri berdasarkan Pancasila dan UUD

1945. Menurut departemen perindustrian, industri nasional Indonesia

dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar, yaitu:

1. Industri Dasar yang meliputi kelompok industri mesin dan logam dasar

(IMLD) dan kelompok kimia dasar (IKD). Yang termasuk dalam IMLD

antara lain: industri mesin pertanian, elektronika kereta api, pesawat terbang,

kendaraan bermotor, besi baja, aluminium, tembaga dan sebagainya.

Sedangkan yang termasuk dalam IKD antara lain: industri pengolahan kayu

dan karet alam, industri pestisida, industri pupuk, industri semen, industri

batubara dan sebagainya. Industri dasar mempunyai misi untuk

meningkatkan pertumbuhan ekonomi, membantu penjualan struktur industri

dan bersifat padat modal. Teknologi tepat guna yang digunakan adalah

teknologi maju, teruji dan tidak padat karya, namun dapat mendorong
terciptanya lapangan kerja baru secara besar sejajar dengan tumbuhnya

industri hilir dan kegiatan ekonomi lainnya.

2. Industri Kecil yang meliputi antara lain industri pangan, industri sandang dan

kulit, industri kimia dan bahan bangunan, industri galian bukan logam dan

industri logam. Kelompok industri kecil ini mempunyai misi melaksanrakan

pemerataan. Teknologi yang digunakan teknologi menengah atau sederhana

dan padat karya. Pengembangan industri kecil ini diharapkan dapat

menambah kesempatan kerja dan meningkatkan nilai tambah dengan

memanfaatkan pasar dalam negeri dan pasar luar negeri (ekspor).

3. Industri Hilir yaitu kelompok Aneka Industri (AI) yang meliputi antara lain:

industri yang mengolah sumberdaya hutan, industri yang mengolah hasil

pertambangan, industri yang mengolah sumberdaya pertanian secara luas

dan lain-lain. Kelompok AI ini mempunyai misi meningkatkan pertumbuhan

ekonomi dan atau pemerataan, memperluas kesempatan kerja, tidak padat

modal dan teknologi yang digunakan adalah teknologi menengah dan atau

teknologi maju. Sedangkan menurut Biro Pusat Statistik (BPS), berdasarkan

jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan, industri dibedakan menjadi 4 yaitu:

a. Perusahaan/industri besar jika mempekerjakan 100 orang atau lebih;

b. Perusahaan/industri sedang jika mempekerjakan 20-99 orang;

c. Perusahaan/industri kecil jika mempekerjakan 5-19 orang;

d. Industri kerajinan rumah tangga jika mempekerjakan kurang dari 3

orang (termasuk tenaga kerja yang tidak dibayar).

Dari segi kesempatan kerja yang diciptakan, maka industri kerajinan rumah

tangga adalah yang paling penting. Sedangkan dari segi nilai tambah yang
dihasilkan maka perusahaan-perusahaan industri besar atau sedang yang paling

menonjol. Keragaman sektor industri di Indonesia telah menghadapkan para

perencanaekonomi Indonesia pada suatu dilema. Bila tujuan yang diutamakan

adalah penciptaan lapangan kerja dan penghapusan kemiskinan, maka sumber -

sumber ekonomi yang tersedia harus disalurkan pada usaha-usaha yang membantu

sektor kerajinan rumah tangga yang tidak produktif dan tidak banyak diketahui ini.

Bila tujuan yang diutamakan adalah pertumbuhan ekonomi maka sumber-sumber

tersebut haruslah diarahkan kepada usaha-usaha pengembangan perusahaan-

perusahaan industri besar.

Dalam operasionalisasi yang paling tampak, setidaknya selama ini terdapat

tiga pemikiran strategi industrialisasi yang berkembang di Indonesia, di mana

ketiganya pernah diaplikasikan secara tersendiri maupun bersama-sama.

Pertama, strategi industrialisasi yang mengembangkan industri-industri yang

berspektrum luas (broad-based industry). Pada kenyataannya, strategi ini lebih

menekankan pengembangan industri-industri berbasis impor (footlose industry)

industri negara lain. Misalnya industri elektronik, tekstil, otomotif dan lain-lain.

Kedua, strategi industrialisasi yang mengutamakan industri-industri berteknologi

canggih berbasis impor (hi-tech industry), seperti industri pesawatterbang, industri

peralatan dan senjata militer, industri kapal dan lain-lain.Ketiga, industri

hasil pertanian (agroindustry)berbasis dalam negeri dan merupakan kelanjutan

pembangunan pertanian. Ketiga pemikiran tersebut mendapatkan legitimasi yang

sama-sama kuat mengingat terdapat argumentasi-argumentasi rasionalitasnya.

2.3. CSR (Corporate Sosial Responsibility)

2.3.1. Pengertian CSR (Corporate Sosial Responsibility)


Menurut bahasa, Corporate Sosial Responsibility diartikan Tanggung

Jawab Sosial Perusahaan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas memilih menggunakan istilah Tanggung Jawab Sosial dan

Lingkungan untuk penjabaran dalam pengaturan tersebut. Pada saat ini belum

adanya kesatuan bahasa terhadap istilah CSR namun secara konseptual semuanya

memiliki kesamaan makna. Beragam istilah yang sepadan dengan CSR misalnya

Corporate Responsibility, Corporate Citizenship, Responsible Business,

Sustainable Responsible Business, dan Corporate Social Performance16.

Banyak istilah untuk mengartikan tanggung jawab sosial perusahaan

(Coorporate Social Responsibility/ CSR) dan juga beragam definisinya karena

sampai sekarang belum ada definisi tunggal yang disepakati secara global. Pasal 1

butir 3 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

menyebutkan defenisi tanggung jawab sosial perusahaan/CSR sebagai berikut:

Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk

berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan

kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri,

komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

Terlihat dari definisi di atas mengenai tanggung jawab sosial perusahaan/

CSR menekankan pada penciptaan pembangunan ekonomi berkelanjutan yang

bermanfaat bagi perseroan itu sendiri maupun bagi masyarakat. Definisi tanggung

jawab sosial perusahaan/ CSR yang juga sama menekankan kontribusi dalam

pembangunan ekonomi berkelanjutan terdapat pada definisi menurut The World

Business Council for Sustainable Development (WBCSD) dan World Bank. The

16
Tri Budiyono, Hukum Perusahaan, (Salatiga: Griya Media, 2011), h. 12.
World Business Council for Sustainable Development (belakangan berganti nama

menjadi Business Action for Sustainable Development) endefinisikan tanggung

jawab sosial perusahaan/CSR sebagai berikut:

Corporate social responsibility is the commitment of business to contribute


to sustainable economic development, working with employees, their families, the
local community and society at large to improve their quality of life17.

Inti sari dari defenisi di atas bahwa tanggung jawab sosial perusahaan/ CSR

yaitu komitmen untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi yang

berkelanjutan bersama dengan stakeholders untuk peningkatan kualitas hidup

mereka. Definisi tanggung jawab sosial perusahaan/ CSR menurut lembaga

keuangan global World Bank yang memiliki penekanan yang sama pada kontribusi

untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dalam rumusannya

menambahkan penekanan pada kemanfaatan aktivitas CSR bagi usaha dan

pembangunan seperti yang disebut sebagai berikut:

The commitment of business to contribute to sustainable economic


development working with employees and their representatives, the local
community and society at large to improve quality of life, in ways that are
both good for business and good for development18.

Sulit untuk dipungkiri bahwa tanggung jawab sosial perusahaan/ CSR masih

diartikan sebagai tindakan yang berdasar pada kesukarelaan atau voluntary

walaupun perkembangannya sekarang hal tersebut berubah menjadi keharusan atau

mandatory. Seperti halnya Europen Union atau Uni Eropa merumuskan pengertian

tanggung jawab sosial perusahaan/CSR dalam EU Green Paper on CSR

yaitu:”.....is a concept whereby companies integrate social environmental concerns

17
Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan
Tanpa CSR, (Jakarta: Forum Sahabat, 2008), h. 8.
18
Busyra Azheri, Op.Cit., h. 20.
is their business operations and in their interaction with their stakeholders on a

voluntary basic19. Dari pengertian tersebut tanggung jawab sosial perusahaan/CSR

dimaksudkan sebagai usaha perusahaan untuk mengintegrasikan aspek sosial dan

lingkungan serta stakeholders atas dasar voluntary.

Wineberg dan Rudolph memberi definisi tentang Corporate Sosial

Responsibility (CSR) sebagai berikut20 :

“The contribution that a company makes in society through its core


business activities, its sosial investment and philanthropy programs, and
its engagement in public policy”. (kontribusi yang diberikan sebuah
perusahaan kepada masyarakat melalui aktifitas inti bisnisnya, hal ini
merupakan investasi kepada masyarakat dan sebuah program
kedermawanan dan hal ini terkait halnya dengan perjanjian kebijakan
publik).

Sedangkan menurut World Business Council for Sustainable

Development21, CSR adalah :

Komitmen berkesinambungan dari kalangan bisnis untuk berperilaku etis


dan memberi kontribusi bagi pembangunan ekonomi, seraya meningkat-
kan kualitas kehidupan karyawan dan keluarganya serta komunitas lokal
dan masyarakat luas pada umumnya.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkam bahwa CSR adalah sebuah

pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi

bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan cara mereka sendiri dalam

melayani kepentingan organisasi dan kepentingan publik eksternal berdasarkan

prinsip kesukarelaan dan kemitraan. Dengan demikian, diharapkan kontribusi

dunia usaha dalam meningkatan kesejahteraan masyarakat dapat terukur dan

sistematis.

19
Busyra Azheri, Ibid., h. 20-21.
20
Schermerhorn, John R, Management for Productivity (New York: John Wiley & Sons.,
1993, h.86
21
Edi Suharto, Op.Cit, h. 101
Ada empat model atau pola CSR yang umumnya diterapkan oleh

perusahaan di Indonesia,22 yaitu:

1. Keterlibatan langsung.
Perusahaan menjalankan program CSR secara langsung dengan
menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan ke
masyarakat tanpa perantara. Untuk menjalankan tugas ini, sebuah
perusahaan biasanya menugaskan salah satu pejabat seniornya, seperti
corporate secretary atau public affair.
2. Melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan.
Perusahaan mendirikan yayasan sendiri dibawah perusahaan atau grupnya,
model ini merupakan adopsi dari model yang lazim diterapkan di
perusahaan-perusahaan di negara maju. Biasanya, perusahaan
menyediakan dana awal, dana rutin atau dana abadi yang dapat digunakan
secara teratur bagi kegiatan yayasan.
3. Bermitra dengan pihak lain.
Perusahaan menyelenggarakan CSR melalui kerjasama dengan lembaga
sosial non-pemerintah, instansi pemerintah, universitas atau media massa,
baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan
sosialnya.
4. Mendukung atau bergabung dalam suatu konsorsium.
Perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu
lembaga sosial yang didirikan untuk tujuan sosial tertentu. Dibandingkan
dengan model lainnya, pola ini lebih berorientasi pada pemberian hibah
perusahaan yang bersifat “hibah pembangunan”. Pihak konsorsium atau
lembaga semacam itu yang dipercayai oleh perusahaan-perusahaan yang
mendukungnya secara pro aktif mencari mitra kerjasama dari kalangan
lembaga operasional kemudian mengembangkan program yang disepakati
bersama.

2.3.2. Sejarah CSR (Corporate Sosial Responsibilty)

Asal muasal CSR dapat dikatakan berawal pada tahun 1890-an di Eropa

terutama Inggris dan negara-negara Skandinavia, walaupun itu hanya menekankan

sebatas pada kesejahteraan pegawai perusahaan. Sedangkan di Indonesia, CSR

baru menjadi kesadaran sejumlah perusahaan pada akhir tahun 1990-an. Banyak

pelajaran yang dapat dipetik pada waktu itu, antara lain pengembangan rumah bagi

22
Saidi Zaim dan Hamid Abidin, Op.Cit., h. 110
pegawai, mencanangkan zero loss of life dari kecelakaan di tempat kerja, dan

menawarkan suatu skema kesejahteraan keluarga pegawai23 .

Banyaknya perusahaan modern yang berfikiran global, mulai menunjukkan

titik balik dimana Corporate Sosial Responsibility dipandang memiliki peranan

sosial dalam perusahaan. Berawal dari dibutuhkannya Pekerja Sosial Industri

(selanjutnya disingkat PSI) pada tahun 1890 di berbagai perusahaan Inggris,

Jerman, dan Amerika Serikat, dimana perusahaan menyewa apa yang disebut

sekretaris kesejahteraan, pekerja kesejahteraan industri atau sekretaris sosial.

Sedangkan di Jerman, PSI disebut sosiater industri atau dikenal dengan nama

arbeiter sosial. Pekerja sosial memiliki pearanan penting dalam pemberian

pelayanan sosial, baik yang bersifat pencegahan, penyembuhan, maupun

pengembangan dalam sebuah perusahaan. Tugas utamanya adalah menangani

masalah kesejateraan, kesehatan dan keselamatan kerja, relasi buruh dan majikan,

serta perencanaan dan pengorganisasian program-program pengembangan

masyarakat bagi komunitas yang ada di sekitar perusahaan24.

2.3.3. Kesejateraan Sosial

Kehidupan masyarakat yang sejahtera merupakan kondisi yang ideal dan

menjadi dambaan setiap warga masyarakat. Oleh sebab itu, wajar apabila berbagai

upaya dilakukan untuk mewujudkan kondisi tersebut. Di samping itu berbagai

upaya juga dilakukan untuk menghilangkan atau minimal mengantisipasi dan

mengeliminasi faktor-faktor yang menghalangi pencapaian tersebut seperti

masalah-masalah internal dan eksternal yang dapat mengakibatkan konflik. Hal itu

23
Mu’man Nuryana, Sumber Dana Sosial dari Corporate Social Responsibility
Perusahaan. (Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial Departemen Sosial RI, 2007), h.
42
24
Edi Suharto, Op.Cit., h. 8
disebabkan karena dalam kehidupan masyarakat tidak pernah dijumpai kondisi

sejahtera yang absolut dimana setiap kebutuhan masyarakat terpenuhi, setiap

masyarakat berperilaku sesuai nilai dan norma yang telah disepakati, dan setiap

bagian dari sistem sosial menjalankan peran sebagaimana diharapkan. Pendek kata

selalu dijumpai kesenjangan antara dassein dan dassollen.

Oleh karena itu, sangat sulit menentukan ukuran kesejahteraan setiap orang,

karena setiap individu mempunyai ukuran yang berbeda-beda. Dalam kamus besar

bahasa indonesia kesejahteraan berasal dari kata sejahtera yang berarti aman,

sentosa, selamat.

Sedangkan menurut UU No. 6 tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan

pokok kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial

materil dan spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan

ketentraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk

mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan

sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan

menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan

pancasila25.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan kesejahteraan karyawan adalah

suatu keadaan kehidupan masyarakat yang terlepas dari kemiskinan dengan

terciptanya rasa aman, sentosa dan makmur serta terhindar dari kesukaran dan

terpenuhi kebutuhan jasmaniah dalam peningkatan pendapatan dan kekayaannya.

25
Santika Sari, Peranan Kredit Koperasi Karyawan Bank Rakyat Indonesia Bagi
Kesejahteraan Anggota, (Malang: Universitas Brawijaya Malang, 2003), h. 43
Adapun kondisi kesejahteraan sosial diciptakan atas kompromi tiga

elemen26.

1. Sejauh mana masalah-masalah sosial ini diatur. Secara umum, masyarakat


yang dapat mengatur dan mengatasi masalah sosial memiliki kesejahteraan
yang tinggi dibandingkan dengan yang lain. Ketidakmampuan untuk
mengatur masalah-masalah sosial melahirkan kondisi yang disebut oleh
Kartini Kartono sebagai “Patologi Sosial” atau penyakit sosial.
2. Sejauh mana kebutuhan-kebutuhan dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan ini
harus dicukupi agar tercapai kebahagiaan sosial. Ada beberapa kebutuhan
manusia yang harus dipenuhi, yaitu kebutuhan biologis, makanan,
minuman, tempat berteduh keamanan dan lain sebagainya. Akan tetapi
kebutuhan-kebutuhan ini juga harus ada pada level kominutas dan
masyarakat. Contohnya, masyarakat pada umumnya menyetujui
pentingnya ekonomi untuk memenuhi taraf pendidikan yang baik,
kesehatan yang layak, interaksi sosial yang harmonis dan keamanan sosial.
Masyarakat yang dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhannya mengalami
apa yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial.
3. Sejauh mana kesempatan untuk meningkatkan tarap hidup disediakan.
Kesejahteraan sosial akan terjadi pada komunitas yang dapat menciptakan
kesempatan sosial bagi penduduknya untuk meningkatkan dan
merealisasikan potensi yang ada. Masyarakat dengan rintangan sosial yang
kaku terkadang dapat mengahalangi perbaikan dalam masyarakat, ini
seringkali ditandai dengan adanya ketidakpuasan dari warga. Dampak dari
tidak adanya kesempatan bisa menimbulkan konflik dimasyarakat.
Contohnya, ketika masyarakat tidak mampu mengatasi permasalahn-
permasalahan kebutuhanya, kemungkinan besar akan banyak tindakan
kriminalitas yang terjadi dan akan masuk kedalam kondisi masyarakat yang
sakit.

Ketiga dimensi ini menggabungkan berbagai cara untuk

mengkompromikan dalam mencapai kesejahteraan sosial. Ketika sarat ini bisa

tercapai dalam suatu masyarakat, maka masyarkat tersebut akan menikmati

kesejahteraan sosial yang memuaskan. Akan tetapi ketika ketiga syarat ini tidak

dapat dipenuhi, maka masyarkat tersebut akan gagal dalam mencapai tingkat

kesejahteraan yang diinginkan.

2.4. Pemberdayaan Masyarakat

26
James Midgley, Pembangunan Sosial Perspektif Pembangunan Dalam Kesejahteraan
Sosial. (Jakarta: Ditperta Islam Depag., 2005), h. 21
2.4.1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan menurut bahasa berasal dari kata daya yang mempunyai arti

tenaga atau kekuatan, pemberdayaan adalah upaya membangun sumber daya

dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang

dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya27.

Pemberdayaan merupakan pengembangan sumber daya manusia atau

masyarakat yang berdaya, masyarakat sendiri dapat memilih berbagai kesempatan

untuk mengadakan pilihan-pilihan yang terbaik bagi dirinya secara sempit atau

masyarakat secara luas untuk meningkatkan potensi sumber daya kemampuan

yang ada padanya. Sehingga pada hakikatnya pemberdayaan masyarakat

merupakan suatu instrumen perubahan sosial yang berfungsi dan bertanggung

jawab untuk mengatasi masalah-masalah kemiskinan dan implikasinya serta

meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Ada beberapa definisi pendapat para ahli yang mengemukakan pengertian

pemberdayaan, meskipun antara pendapat satu dengan pendapat yang lainnya

berbeda tetapi mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk meningkatkan potensi

sumber daya yang berada dalam diri setiap manusia sendiri.

Pemberdayaan berasal dari bahasa asing "Empowerment". Secara bahasa

pemberdayaan berarti penguatan dan secara istilah pemberdayaan dapat disamakan

dengan istilah pengembangan. Bahkan dua istilah ini dalam batas-batas tertentu

bersifat interchangeable atau dapat dipertukarkan28.

27
Mubyarto, Ekonomi Rakyat dan Program IDT, (Yogyakarta: Aditya Media, 1996), h. 36.
28
Agus Ahmad Safe’i dan Nanih Machendrawaty, Pengembangan Masyarakat Islam dari
Ideologi, Strategi Sampai Tradisi, (Bandung, Rosda Karya, 2001), h. 41-42.
Pemberdayaan masyarakat adalah segala upaya fasilitas yang bersifat

persuasif dan tidak memerintah yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan,

sikap, perilaku dan kemampuan masyarakat dalam menemukan, merencanakan dan

memecahkan masalah, menggunakan sumber daya atau potensi yang dimiliki

termasuk partisipasi dan dukungan tokoh masyarakat serta LSM yang ada dan

hidup di masyarakat.

Konsep pemberdayaan (masyarakat desa) dapat dipahami juga dengan dua

cara pandang29.

1. Pertama, pemberdayaan dimaknai dalam konteks menempatkan posisi


berdiri masyarakat. Posisi masyarakat bukanlah obyek penerima manfaat
(beneficiaries) yang tergantung pada pemberian dari pihak luar seperti
pemerintah, melainkan dalam posisi sebagai subyek (agen atau partisipan
yang bertindak) yang berbuat secara mandiri. Berbuat secara mandiri
bukan berarti lepas dari tanggungjawab negara. Pemberian layanan publik
(kesehatan, pendidikan, perumahan, transportasi dan seterusnya) kepada
masyarakat tentu merupakan tugas (kewajiban) negara secara given.
2. Kedua, Masyarakat yang mandiri sebagai partisipan berarti terbukanya
ruang dan kapasitas mengembangkan potensi-kreasi, mengontrol
lingkungan dan sumberdayanya sendiri, menyelesaikan masalah secara
mandiri, dan ikut menentukan proses politik di ranah negara. Masyarakat
ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pemerintahan.

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang disengaja untuk

memfasilitasi masyarakat lokal dalam merencanakan, memutuskan dan mengelola

sumberdaya lokal yang dimiliki melalui collective action dan networking sehingga

pada akhirnya mereka memiliki kemampuan dan kemandirian secara ekonomi,

ekologi, dan sosial. Prinsip pemberdayaan masyarakat yang meliputi bagaimana

menumbuh kembangkan kemampuan masyarakat, menumbuhkan dan atau

mengembangkan peran serta masyarakat, mengembangkan semangat gotong

29
Sutoro Eko, Pemberdayaan Masyarakat Desa, Materi Diklat Pemberdayaan Masyarakat
Desa, yang diselenggarakan Badan Diklat Provinsi Kaltim, Samarinda, Desember 2002, h. 15
royong, bekerja bersama di masyarakat, menggalang kemitraan dengan Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi kemasyarakatan lainnya yang ada di

Desa/Kelurahan serta penyerahan pengambilan keputusan sepenuhnya diserahkan

kepada masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat adalah merupakan konsep yang berkaitan

dengan upaya peningkatan atau pengembangan. Ini merupakan tipe tertentu

tentang perubahan menuju kearah yang positif. Singkatnya merupakan suatu tipe

tertentu sebagai upaya yang disengaja untuk memacu peningkatan atau

pengembangan masyarakat. Sedangkan menurut Giarci (2001) memandang

community development sebagai suatu hal yang memiliki pusat perhatian dalam

membantu masyarakat pada berbagai tingkatan umur untuk tumbuh dan

berkembang melalui berbagai fasilitasi dan dukungan agar mereka mampu

memutuskan, merencanakan dan mengambil tindakan untuk mengelola dan

mengembangkan lingkungan fisiknya serta kesejahteraan sosialnya.

Proses ini memfasilitasi penguatan ekonomi lokal dan memungkinkan

masyarakat untuk melakukan collective action dan melakukan political pressure

serta membawa usaha-usaha bersama untuk memulai perubahan-perubahan di

tingkat local dimana networking menjadi salah satu kata kuncinya. Menurut Bartle

(2003) mendefinisikan community development sebagai alat untuk menjadikan

masyarakat semakin komplek dan kuat. Ini merupakan suatu perubahan social

dimana masyarakat menjadi lebih komplek, institusi lokal tumbuh, collective

power-nya meningkat serta terjadi perubahan secara kualitatif pada organisasinya.

Strategi pemberdayaan masyarakat yaitu meningkatkan kesadaran

masyarakat tentang pentingnya PNPM Mandiri dan memanfaatkan potensi yang


ada, mengembangkan berbagai cara untuk menggali dan memanfaatkan sumber

daya yang dimiliki untuk kepentingan masyarakat yang sesuai dengan kultur

budaya masyarakat setempat serta mengembangkan manajemen sumber daya yang

dimiliki secara terbuka dan transparan.

Secara substansi bahwa pemberdayaan masyarakat berarti proses

memajukan, mengembangkan, dan memperbesar kemampuan masyarakat. Dalam

kaitan ini, masyarakat yang ada bukan saja diarahkan pada kemajuan fisik (materi)

namun juga pada kemajuan nilai-nilai non materi. Dengan begitu pemberdayaan

masyarakat bukan saja membutuhkan SDM (masyarakat atau fasilitator), modal

dan sarana, tapi juga membutuhkan nilai-nilai yang jelas, yang akan memandu

serta mengorientasikan kearah mana perubahan akan dilakukan30.

Masyarakat dalam konteks pemberdayaan berfungsi bukan menjadi obyek

tapi menjadi subyek. Merekalah yang secara bersama-sama akan menentukan ke

arah mana mereka akan berkembang. Konsekuensi hal ini, jelas fasilitator

pemberdayaan (atau pihak yang akan mengajak pada perubahan) harus mampu

“berdekatan secara sehat” dengan masyarakat. Maksudnya, fasilitator bukan

menjadikan dirinya menjadi Superman. Tokoh hebat yang mampu membantu

setiap orang melakukan segalanya tanpa kesulitan yang berarti. Fasilitator juga

bukan bos, yang tanpa diminta membagi-bagikan uang kepada siapapun. Fasilitator

adalah bagian lain dari masyarakat yang berupaya menjadi jembatan bagi

peningkatan, pengembangan dan perubahan masyarakat menjadi lebih baik.

Selama ini, pihak-pihak pengembang masyarakat, terutama pemerintah,

seringkali berfungsi menjadi bos bagi masyarakat. Masyarakat diperlakukan

30
Agus Ahmad Syafi’i, Op.Cit, h. 45
menjadi obyek dari berbagai kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Perlakuan

inilah yang “membunuh” potensi kemandirian masyarakat secara perlahan.

Masyarakat akhirnya hanya mampu menggantungkan proses peningkatan dan

pengembangannya pada pemerintah. Dalam lingkup seperti inilah proses

pembangunan masyarakat berjalan sekarang. Makanya tidak mengherankan,

begitu bantuan dari pemerintah berkurang maka masyarakat langsung menjadi

panik. Ini barangkali yang menyebabkan pemerintah mengalami kesulitan ketika

akan kembali lagi “mendekati” masyarakat dengan maksud mengembangkannya.

Proses yang berjalan selama ini, persoalan perencanaan dan pengambilan

keputusan dalam program pembangunan kerapkali dilakukan oleh pemerintah

dengan model keputusan dari atas ke bawah (top-down).

Rencana program pengembangan masyarakat biasanya dibuat di tingkat

pusat (atas) dan dilaksanakan oleh Instansi Propinsi dan Kabupaten. Masyarakat

sering kali diikutkan tanpa diberikan pilihan dan kesempatan untuk memberi

masukan. Hal ini biasanya disebabkan adanya anggapan untuk mencapai efisiensi

dalam pembangunan bagi masyarakat, masyarakat tidak mempunyai kemampuan

untuk menganalisa kondisi dan merumuskan persoalan serta kebutuhan-

kebutuhannya. Dalam visi ini masyarakat ditempatkan pada posisi yang

membutuhkan bantuan dari luar. Program yang dilakukan dengan pendekatan dari

atas ke bawah sering tidak berhasil dan kurang memberi manfaat kepada

masyarakat, karena masyarakat kurang terlibat sehingga mereka merasa kurang

bertanggung jawab terhadap program dan keberhasilannya.

Konsep perubahan masyarakat sekarang mengalami pergeseran. Dari yang

tadinya masyarakat sebagai obyek menjadi masyarakat sebagai subyek.


Pendekatan yang dilakukan kemudian dikembangkan dengan menempatkan

masyarakat sebagai pihak utama atau pusat pengembangan. Pendekatan tersebut

lebih bersifat memberdayakan masyarakat, atau dikenal dengan model

“Pemberdayaan Masyarakat” (Community Development)31.

Proses pemberdayaan masyarakat ini sendiri adalah adanya penggabungan

dari dua unsur yang ada dalam masyarakat, yakni pengalaman dan pengetahuan

masyarakat tentang keberadaannya yang sangat luas dan berguna serta kemauan

mereka untuk menjadi lebih baik. Proses ini bertitik tolak untuk memandirikan

masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, menggunakan dan

mengakses sumber daya setempat sebaik mungkin, baik sumber daya alam maupun

sumber daya manusia. Dengan begitu, pemberdayaan masyarakat diharapkan akan

berjalan secara terus menerus dengan partisipasi masyarakat yang juga utuh. Ini

semua tidak lain dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian

masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya. Dalam proses panjang tersebut,

masyarakat diupayakan secara bersama-sama.

Pemberdayaaan masyarakat kerapkali dilakukan melalui pendekatan

kelompok di mana anggota bekerjasama dan berbagi pengalaman dan

pengetahuannya. Untuk pengembangan kelompok ada kegiatan-kegiatan khusus

yang sedang dilaksanakan dan juga ada kegiatan lainnya. Termasuk dalam hal ini

program PNPM Mandiri dimana sangat diharapkan melahirkan kader desa yang

31
Development dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan menjadi pengembangan atau
pembangunan. Development mengandung unsur perbaikan, pertumbuhan, dan perubahan.
Development sebagai perbaikan adalah terjadinya transformasi sosial ke arah distribusi sumberdaya
dan social goods yang lebih egalitarian, lihat dalam Zaenal Abidin Dkk, Ngaji dan Ngejo,
(Bandung: Setda Jabar, 2006), h. 117.
mampu mengelola dan mengembangkan sumber pendapatan desa dan lain

sebagainya.

2.4.2. Jenis-Jenis Pemberdayaan Masyarakat

Jenis-jenis pemberdayaan merupakan macam-macam strategi untuk

melakukan pemberdayaan masyarakat untuk menumbuhkan kemandirian

masyarakat menuju perubahan yang lebih baik sehingga mampu meningkatkan

taraf hidup masyarakat yang lebih baik. Strategi-strategi pemberdayaan yang

dilakukan diantarnya:

1. Strategi tradisional menyarankan agar mengetahui dan memilih

kepentingan terbaik secara bebas dalam berbagai kehidupan.

2. Strategi direct-action membutuhkan dominasi kepentingan yang di

hormati oleh semua pihak yang terlibat, dipandang dari sudut perubahan

yang mungkin terjadi.

3. Strategi transformatif menunjukkan bahwa pendidikan massa dalam

jangka panjang dibutuhkan sebelum pengidentifikasian kepentingan itu

sendiri.

Menurut Machendrawati32 jenis-jenis pemberdayaan terdiri dari :

1. Pemberdayaan pada mata ruhaniyah, kepribadian kaum muslim terutama

mayoritas generasi mudanya begitu telanjang terkooptasi oleh budaya

negatif barat yang merupakan antitesa dari nilai-nilai Islam.

2. Pemberdayaan intelektual, dengan sangat terbuka dapat disaksikan betapa

Umat Islam sangat sudah terlalu jauh tertinggal dalam kemajuan serta

32
Agus Ahmad dan Nanih, Op.Cit. h. 12
penguasaan teknologi. Untuk itu diperlukan berbagai upaya

pemberdayaan intelektual sebagai perjuangan yang sangat besar.

3. Pemberdayaan Ekonomi, karena masalah kemiskinan sudah menjadi

identik dengan masyarakat Islam, pemecahannya adalah tanggung jawab

Islam sendiri yang selama ini selalu terus terpinggirkan.

Melihat dari penjelasan diatas, mengenai jenis-jenis pemberdayaan dapat

dikatakan bahwa pemberdayaan harus dilakukan secara seimbang, baik dalam

pemberdayaan kepribadian, pemberdayaan intelektual, dan pemberdayaan

ekonomi. Karena itu merupakan kunci demi terciptanya tatanan masyarakat yang

makmur, adil dan sejahtera.

2.4.3. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat

Ada beberapa tujuan dari gerakan pemberdayaan masyarakat33,

diantaranya:

1. Membantu percepatan pelaksanaan proyek-peroyek pengembangan


masyarakat pedesaan yang berkaitan langsung dengan pengentasan
kemiskinan, serta pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat desa seperti air
bersih, listrik, perumahan, jalan dan usaha ekonomi produktif.
2. Mendorong dan meningkatkan kesadaran sosial serta kepedulian partisipasi
sosial warga masyarakat desa dalam pelaksanaan pembangunan masyarakat
pedesaan.
3. Mendorong dan meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga masyarakat
lokal seperti DPD, PKK, KUD, Karang Taruna, untuk berkifrah secara
fungsional dalam proses pembangunan masyarakat desa.
4. Mengembangkan kelembagaan dan pelembagaan gerakan pemberdayaan
masyarakat dalam pembangunan, sebagai alternatif dalam mempercepat
pemerataan pembangunan, menumbuhkembangkan ekonomi masyarakat
dan menjaga stabilitas pembangunan.
5. Mengembangkan jaringan kerja diantara lembaga-lembaga pemberdayaan
masyarakat agara terjalin kerjasama dan keterpaduan antar program
pemenuhan kebutuhan dasar, program pengembangan kualitas sumber daya
manusia dan program peningkatan kulaitas hidup masyarakat.
6. Mengembangkan pusat dokumentasi dan informasi tentang gerakan-gerakan
pemberdayaan masyarakat.

33
Zaenal Abidin, Op.Cit, h. 130-131
Kemudian tujuan lain dari pemberdayaan terhadap masyarakat adalah:

a. Tujuan Umum

Meningkatnya kemandirian masyarakat dan keluarga dalam bidang

ekonomi sehingga masyarakat dapat memberikan andil dalam meningkatkan

derajat kehidupannya melalui perekonomian.

b. Tujuan Khusus

a. Meningkatnya pengetahuan masyarakat dalam bidang perekonomian.

b. Meningkatnya kemampuan masyarakat dalam pemeliharaan dan

peningkatan derajat kehidupan melalui ekonominya sendiri.

c. Meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan perekonomian oleh

masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai