Anda di halaman 1dari 32

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DESKRIPSI TEORI

1. PERAN
a. Pengertian Peran
Istilah "peran" kerap diucapkan banyak orang. Sering kita

mendengar kata peran dikaitkan dengan posisi atau kedudukan seseorang.

Kata "peran" dikaitkan dengan "apa yang dimainkan" oleh seorang aktor

dalam suatu drama. Kamus Bahasa Indonesia menyebutkan pengertian

peran adalah :

a. Peran adalah pemain yang diandaikan dalam sandiwara maka ia adalah

pemain sandiwara atau pemain utama;

b. Peran adalah bagian yang dimainkan oleh seorang pemain dalam

sandiwara, ia berusaha bermain dengan baik dalam semua peran yang

diberikan;

c. Peran adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan.

Pengertian peran menurut Soerjono Soekanto (2002: 243), yaitu

peran merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang

melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia

menjalankan suatu peranan. Dari hal diatas lebih lanjut kita lihat pendapat

lain tentang peran yang telah ditetapkan sebelumnya disebut sebagai

peranan normatif. Sebagai peran normatif dalam hubungannya dengan tugas

dan kewajiban dinas perhubungan dalam penegakan hukum mempunyai arti

8
9

penegakan hukum secara total yaitu penegakan hukum secara penuh,

(Soerjono Soekanto, 1987: 220).

Peran menurut Soekanto (2009:212-213) adalah proses dinamis

kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya

sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan

antara kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu

pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu

tergantung pada yang lain dan sebaliknya.

Sedangkan menurut Merton (dalam Raho 2007 : 67) mengatakan

bahwa peranan didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang diharapkan

masyarakat dari orang yang menduduki status tertentu. Sejumlah peran

disebut sebagai perangkat peran (role-set). Dengan demikian perangkat

peran adalah kelengkapan dari hubungan-hubungan berdasarkan peran yang

dimiliki oleh orang karena menduduki status-status social khusus.

Selanjutnya Menurut Dougherty & Pritchard tahun 1985 (dalam

Bauer 2003: 55) teori peran ini memberikan suatu kerangka konseptual

dalam studi perilaku di dalam organisasi. Mereka menyatakan bahwa peran

itu “melibatkan pola penciptaan produk sebagai lawan dari perilaku atau

tindakan” (h. 143)

Peran merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status) yang

dimiliki oleh seseorang, sedangkan status merupakan sekumpulan hak dan

kewajiban yang dimiliki seseorang apabila seseorang melakukan hak-hak

dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu


10

fungsi.

Hakekatnya peran juga dapat dirumuskan sebagai suatu rangkaian

perilaku tertentu yang ditimbulkan oleh suatu jabatan tertentu. Kepribadian

seseorang juga mempengaruhi bagaimana peran itu harus dijalankan. Peran

yang dimainkan pada hakekatnya tidak ada perbedaan, baik yang

dimainkan/diperankan pimpinan tingkat atas, menengah maupun bawah

akan mempunyai peran yang sama.

b. Syarat-syarat peran

Peran merupakan tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh

seseorang yang menempati suatu posisi di dalam status sosial, syarat-syarat

peran mencangkup 3 (tiga) hal, yaitu :

1. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau

tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini

merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing

seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.

2. Peran adalah suatu konsep perilaku apa yang dapat dilaksanakan

oleh individu-individu dalam masyarakat sebagai organisasi. Peran

juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu, yang penting bagi

struktur sosial masyarakat.

3. Peran adalah suatu rangkaian yang teratur yang ditimbulkan karena

suatu jabatan. Manusia sebagai makhluk sosial memiliki

kecenderungan untuk Para ahli menyatakan bahwa secara

umum pengertian Peran adalah aspek dinamis dari kedudukan atau


11

status.

Menurut Kozier Barbara peran adalah seperangkat tingkah laku

yang diharapkan oleh orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya

dalam, suatu system. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam

maupun dari luar dan bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang

diharapkan dari seesorang pada situasi sosial tertentu. Peran adalah

deskripsi sosial tentang siapa kita dan kita siapa. Peran menjadi bermakna

ketika dikaitkan dengan orang lain, komunitas sosial atau politik.

Peran adalah kombinasi adalah posisi dan pengaruh.Seseorang

melaksanakan hak dan kewajiban, berarti telah menjalankan suatu peran.

kita selalu menulis kata peran tetapi kadang kita sulit mengartikan dan

definisi peran tersebut. peran biasa juga disandingk an dengan fungsi. Peran

dan status tidak dapat dipisahkan. Tidak ada peran tanpa kedudukan atau

status, begitu pula tidak ada status tanpa peran. Setiap orang mempunyai

bermacam-macam peran yang dijalankan dalam pergaulan hidupnya di

masyarakat. Peran menentukan apa yang diperbuat seseorang bagi

masyarakat. Peran juga menentukan kesempatan-kesempatan yang diberikan

oleh masyarakat kepadanya. Peran diatur oleh norma-norma yang berlaku.

c. Struktur Peran

Struktur peran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

 Peran Formal (Peran yang Nampak Jelas) Yaitu sejumlah perilaku yang

bersifat homogen. Peran formal yang standar terdapat dalam keluarga.

Peran dasar yang membentuk posisi sosial sebagai suami-ayah dan istri-
12

ibu adalah peran sebagai provider ( penyedia ); pengatur rumah tangga;

memberikan perawatan; sosialisasi anak; rekreasi; persaudaraan (

memelihara hubungan keluarga paternal dan maternal ); terapeutik;

seksual.

b.) Peran Informal (Peran Tertutup) Yaitu suatu peran yang bersifat

implisit ( emosional ) biasanya tidak tampak ke permukaan dan dimainkan

hanya untuk memenuhi kebutuhan emosional individu dan untuk menjaga

keseimbangan dalam keluarga, peran-peran informal mempunyai tuntutan

yang berbeda, tidak terlalu dan didasarkan pada atribut-atibut kepribadian

anggota keluarga individual. Pelaksanaan peran-peran informal yang

efektif dapat mempermudah pelaksanaan peran-peran formal.

2. HUMAS
a. Pengertian HUMAS (Hubungan Masyarakat)
Menurut Haris Munandar (1992: 9) menerjemahkan definisi humas dari

Frank Jefkins yaitu “humas adalah sesuatu yang merangkum keseluruhan

komunikasi yang terencana, baik itu ke dalam maupun ke luar, antara suatu

organisasi dengan semua khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan

spesifik yang berlandaskan pada saling pengertian”.

Sedangkan R. Sudiro Muntahar (1985: 5) mengartikan “humas

sebagai suatu kegiatan usaha yang berencana yang menyangkut itikad baik, rasa

simpati, saling mengerti, untuk memperoleh pengakuan, penerimaan dan

dukungan masyarakat melalui komunikasi dan sarana lain (media massa)

untuk mencapai manfaat dan kesepakatan bersama”.


13

Menurut Jeffkins Dan Daniel Yadin Pengertian humas menurut Jeffkins

dan Daniel Yadin adalah sebuah sistem komunikasi untuk menciptakan niat baik.

Frank Jeffkins (1986) Pengertian humas menurut Frank Jeffkins adalah

sesuatu yang terdiri dari semua bentuk komunikasi berencana baik ke dalam

maupun ke luar antara organisasi dengan publiknya untuk mencapai tujuan

khusus, yakni pengertian bersama

Cutlip, Center dan Broom Pengertian humas menurut Cutlip, Center dan

Broom adalah fungsi manajemen yang membangun dan mempertahankan

hubungan yang baik dan bermanfaat antara organiasai dengan publik yang

memengaruhi kesuksesan dan kegagalan organisasi tersebut.

W. Emerson Reck Pengertian humas menurut W. Emerson Reck adalah

kelanjutan dari proses penetapan kebijaksanaan, penentuan pelayanan dan sikap

yang disesuaikan dengan kepentingan orang-orang atau golongan agar orang atau

lembaga itu memperoleh kepercayaan dan itikad baik dari mereka. Kedua,

pelaksanaan pebijaksanaan, pelayanan dan sikap adalah untuk menjamin adanya

pengertian dan penghargaan yang sebaik-baiknya.

J.C Seidel Pengertian humas menurut J.C Seidel adalah proses yang

berkelanjutan dari usaha manajemen untuk memperoleh itikad baik dan

pengeritan dari langganannya, pegawai, dan publik umumnya; ke dalam dengan

mengadakan analisis dan perbaikan terhadap diri sendiri, keluar dengan

mengadakan pernyataan-pernyataan.

Scott M. Cutlik dan Allen H. Center Pengertian humas menurut Scott M.

Cutlik dan Allen H. Center adalah fungsi manajemen yang menilai sikap publik,
14

mengidentifikasi kebijakan dan tata cara seseorang atau organisasi demi

kepentingan publik, serta merencanakan dan melakukan suatu program kegiatan

untuk memperoleh pengertian, pemahaman dan dukungan dari publiknya.

IPRA (International Public Relation Association) Pengertian humas

menurut IPRA adalah fungsi manajemen dari ciri yang terencana dan

berkelanjutan melalui organisasi dan lembaga swasta atau publik untuk

mendapatkan pengertian, simpati dan dukungan dari mereka yang terkait atau

mungkin ada hubungannya dengan penelitian opini publik diantara mereka.

Edward L. Bernays Pengertian humas menurut Edward L. Bernays adalah

memberi penerangan kepada masyarakat, pembujukan langsung terhadap

masyarakat guna mengubah sikap dan tindakan, usaha-usaha mengintegrasikan

sikap dan tindakan dari permasalahan dengan masyarakat dan dari masyarakat

terhadap permasalahannya.

Webster’s New World Dictionary Pengertian humas menurut Webster’s

New World Dictionary adalah suatu hubungan yang dibentuk untuk masyarakat

dengan organisasi yang terkait dengan penciptaaan opini masyarakat atau

pembentukan suatu citra diri organisasi.

The Public Relations Society of America Pengertian humas menurut The

Public Relations Society of America adalah usaha yang dilakukan oleh organisasi

untuk bisa mendapatkan kerjasama dengan sekelompok orang, membantu

organisasi melaksanakan interaksi yang efektif, serta melakukan aktivitas

komunikasi dengan publik utama.


15

Public Relations News Pengertian humas menurut Public Relations News

adalah salah satu fungsi manajeman yang mengevaluasi sikap publik,

mengidentifikasi kebijakan dan prosedural individual/organisasi yang memiliki

kepentingan publik, serta membuat perencanaan dan melaksanakan program aksi

dalam rangka mendapatkan pemahaman dan penerimaan publik.

Onong Uchjana (211) Pengertian humas menurut Onong Uchjana adalah

fungsi manajemen dari sikap budi yang berencana dan berkesinambungan yang

dengan itu organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga yang bersifat umum dan

pribadinya berupaya membina pengertian, simpati, dan dukungan dari mereka

yang ada kaitannya atau yang mungkin ada hubungan dengan jalan menilai

pendapat umum diantara mereka untuk mengkorelasikan, sedapat mungkin

kebijaksanaan dan tata cara mereka, yang dengan informasi yang berencana dan

tersebar luas, mencapai kerjasama yang lebih produktif dan pemenuhan

kepentingan bersma yang lebih efisien.

Howard Bohham Pengertian humas atau public relations menurut

Howard Bohham adalah suatu seni untuk menciptakan pengertian publik yang

lebih baik yang dapat memperdalam kepercayaan publik yang lebih baik atau

pemberdayaan lebih tinggi terhadap suatu lembaga atau organisasi.

Ruslan (1995:8-9) Pengertian humas atau public relations menurut

Ruslan adalah suatu proses yang kontinyu dari usaha manajemen untuk

memperoleh kemauan baik dan pengertian dari para pelanggannya, konsumen,

pegawainya, dan publik umumnya. Kedalam mengadakan perbaikan dan

pembenahan melalu membangun budaya perusahaan berbentuk disiplin,


16

memotivasi, meningkatkan pelayanan, dan produktivitas kerja. Sedangkan

keluar, berupaya menciptakan kepercayaan dan citra perusahaan yang sekaligus

memayungi serta mempertahankan citra produknya.

Berdasarkan pengertian Humas menurut beberapa ahli diatas, pada

dasarnya mempunyai pengertian yang sama mengenai humas, yaitu humas

merupakan komunikasi yang terencana dengan menggunakan media kepada

khalayaknya dan digunakan untuk mencapai tujuan bersama dalam sebuah

organisasi.

b. Peran dan Tujuan HUMAS (Hubungan Masyarakat)

1) Peran Hubungan Masyarakat

Berbicara mengenai peran hubungan masyarakat, sangat erat

hubungannya dengan fungsi humas. Menurut F. Rachmadi (1992: 21). “Fungsi

utama public relations adalah menumbuhkan dan mengembangkan hubungan

baik antara lembaga/organisasi dengan publiknya, intern maupun ekstern,

dalam rangka menanamkan pengertian, menumbuhkan motivasi dan partisipasi

publik dalam upaya menciptakan iklim pendapat (opini publik) yang

menguntungkan lembaga/organisasi,”

Selanjutnya Rosady Ruslan (2005: 10) menjelaskan secara rinci

empat peran utama hubungan masyarakat adalah sebagai berikut :

a) Sebagai communicator atau penghubung antara organisasi atau lembaga

yang diwakili dengan publiknya.

b) Membina relationship, yaitu berupaya membina hubungan yang postif

dan saling menguntungkan dengan pihak publiknya.


17

c) Peranan back up management, yakni sebagai pendukung dalam fungsi

manajemen organisasi atau perusahaan.

d) Membentuk corporate image, artinya peranan public relations

berupaya menciptakan citra bagi organisasi atau lembaganya.

Berdasarkan pendapat di atas, fungsi utama dari

hubunganmasyarakat adalah menumbuhkan hubungan baik dengan publiknya

baik intern maupun ekstern sehingga tercipta opini publik yang

menguntungkan lembaga/organisasi terkait.

Peran hubungan masyarakat terbagi menjadi peran humas sebagai

komunikator yaitu melakukan fungsi komunikasi sebagai penyebar berita disisi

lain komunikasi berlangsung dalam bentuk penyampaian pesan dan menciptakn

opini publik. Peran humas sebagai perantara (mediator), peran humas sebagai

pembina relationship khususnya dalam menciptakan saling mempercayai dan

saling memperoleh manfaat antara lembaga/organisasi dengan publiknya sebagai

target sasaran.

Peran humas sebagai back up management yaitu fungsi public relations

melekat pada fungsi manajemen, dalam aktivitas atau operasionalnya dikenal

dengan proses public relations yaitu penemuan fakta (fact finding),

perencanaan (planning), pengkomunikasian (communicating), dan

pengevaluasian atau pemantauan (evaluating). Yang terakhir peran humas

sebagai pembentuk citra lembaga/organisasi (corporate image) yang

merupakan tujuan akhir dari aktivitas program kerja public relations.


18

2) Tujuan Hubungan Masyarakat

Pada tahap perencanaan program humas, hal yang pertama yang

harus dilaksanakan adalah penetapan tujuan. Frida Kusumastuti (2002: 20)

merumuskan tujujan humas sebagai berikut :

a) Terpeliharanya saling pengertian.

b) Menjaga dan membentuk saling percaya.

c) Memelihara dan menciptakan kerjasama.

Berdasarkan pendapat tersebut tujuan humas pada intinya adalah

menciptakan dan memelihara hubungan saling percaya dengan publik dalam

rangka menjalin kerjasama yang baik.

c. Tugas HUMAS (Hubungan Masyarakat)

Menurut F. Rachmadi (1992: 23) dijelaskan beberapa tugas pokok

humas adalah :

1) Menyelenggarakan dan bertanggung jawab atas penyampaian informasi/pesan

secara lisan, tertulis atau melalui gambar (visual) kepada publik, sehingga publik

mempunyai pengertian yang hal ikhwal perusahaan atau lembaga, segenap

tujuan serta kegiatan yang dilakukan.

2) Memonitor, merekam, dan mengevaluasi tanggapan serta pendapat

umum/masyarakat.

3) Mempelajari dan melakukan analisis reaksi publik terhadap

kebijakan perusahaan/lembaga, maupun segala macam pendapat (public

acceptance dan non-accaptance).


19

4) Penyelenggaraan hubungan baik dengan masyarakat dan media massa untuk

memperoleh penerimaan publik (public favour), pendapat umum (public opinion)

dan perubahan sikap.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa tugas pokok dari

humasadalah bertanggung jawab atas segala informasi yang diberikan kepada

publiknya kemudian menganalisis reaksi publik terhadap suatu lembaga atau

organisasi.

2. KAMTIBMAS
a. Pengertian KAMTIBMAS
Keamanan yang asal katanya aman adalah suatu kondisi yang bebas

dari segala macam bentuk gangguan dan hambatan. Sedangkan pengertian

Ketertiban adalah suatu keadaan dimana segala kegiatan dapat berfungsi dan

berperan sesuai ketentuan yang ada.

Pengertian Kamtibmas menurut Pasal 1 Undang-undang Kepolisian

Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa pengertian

Kamtibmas adalah: Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi

dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses

pembangunan nasional dalam rangka tercapainnya tujuan nasional yang ditandai

oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya

ketentraman yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan

potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan

menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan

lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.


20

Perkataan aman dalam pemahaman tersebut mengandung 4 (empat) pengertian

dasar, yaitu:

1. Security yaitu perasaan bebas dari gangguan fisik dan psikis;

2. Surety yaitu perasaan bebas dari kekhawatiran;

3. Safety yaitu perasaan terlindung dari segala bahaya; dan

4. Peace yaitu perasaan damai lahiriah dan batiniah.

b. Tujuan KAMTIBMAS

Pelaksanaan tugas memelihara ketertiban masyarakat merupakan

rangkaian kegiatan yang mengutamakan pencegahan daripada penindakan. Untuk

itu perlu hadirnya Polri pada saat yang tepat di tempat itu.

Kehadiran fisik Polri tersebut pada umumnya dapat dikatakan sebagai

tugas awal daripada tugas pencegahan yang penampilannya melalui suatu kegiatan

yang disebut dengan tugas jaga atau penjagaan dalam rangka mewujudkan

kesamaptaan Polri yang setiap saat harus selalu ada dan siap siaga.

Namun, kita perlu memahami bersama tentang pengertian dari penjagaan.

Penjagaan merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan oleh anggota Polri untuk

memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan dalam rangka memelihara

keselamatan jiwa dan keamanan harta benda. Penjagaan dapat dilakukan di

berbagai lokasi, seperti di Markas, perkantoran, ditempat tahanan, dan obyek

tertentu lainnya.

Adapun tujuan dari penjagaan, yaitu:


21

- menciptakan, memelihara, dan menjaga situasi yang mantap, terkendali dan

dinamis dalam rangka memelihara kamtibmas;

- memelihara, menjaga, dan mengamankan keselamatan orang/jiwa raga dan harta

benda;

- terpelihara dan terciptanya ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap

peraturan yang berlaku dalam rangka mewujudkan tegak dan tertib hukum dalam

masyarakat.

c. Binkamtibmas Dimasa Lalu

Pada dasarnya setiap masyarakat memiliki potensi dinamis dan konstruktif

untuk mempertahankan eksistensinya dan memelihara keamanan lingkungannya.

Potensi yang merupakan proses sosial yang assosiatif ini seyogvanya

dibangkitkan dan dimanfaatkan untuk menekan dan mengeliminir proses-proses

sosial yang dissosiatif demi terpeliharanya stabilitas kamtibmas, sebagai ujung

terdepan stabilitas nasional. Karena itu, Binkamtibmas merupakan bagian tak

terpisahkan dari keamanan nasional (national security] yang merupakan conditio

sine quanon pembangunan nasional. Binkamtibmas lebih mengupayakan hidup

dan berkembangnya peranan dan tanggung jawab masyarakat guna membangun

dan meningkatkan daya tangkal, daya tanggap dan penyesuaian terhadap

perubahan-perubahan serta dinamika sosial terutama yang berpengaruh terhadap

Kamtibmas.

Pemahaman Kamtibmas lalu disepakati sebagai suatu situasi dan kondisi

yang mengandung adanya perasaan bebas dari gangguan fisik dan psikis

(security), perasaan bebas dari kekhawatiran (surety), perasaan terlindungi dari


22

bahaya dan gangguan (safely), dan perasaan damai lahiriah maupun batiniah

(peace) dalam suasana tertib (order), dimana segala sesuatu berjalan secara

teratur, yang merangsang gairah kerja dan kesibukan dalam rangka mencapai

kesejahteraan masyarakat.

Secara sederhana, Binkamtibmas dipersepsikan sebagai rangkaian kegiatan

manajerial dalam rangka mewujudkan Kamtibmas yang favourable bagi lancarnya

pembangunan nasional. Dengan perkataan lain, “how to manage the society” dari

kacamata social security approach. Dengan persepsi ini. maka permasalahan

Kamtibmas dianggap sebagai bahagian dari permasalahan besar dalam arti realita

keanekaragaman masyarakat dan karakteristik serta potensinya yang berbeda-beda

didalam melangkahkan pembangunan nasional; sehingga sesungguhnya sarat

dengan endapan-endapan akar-akar dan potensi ancaman terhadap stabilitas

kamtibmas.

Berangkat dari pemahaman ini, maka ancaman dan gangguan terhadap

stabilitas Kamtibmas, dipersepsikan sebagai suatu spektrum yang membentang

mulai dari bentuknya yang laten (tersembunyi) sampai pada bentuknya yang

manifest (nyata). Bentuk-bentuk ancaman yang laten mengendap pada aspek-

aspek astagatra, geografi, demografi, sumber daya alam, ideologi, politik,

ekonomi, sosial budaya dan hankam. Bentuk ini dinamai faktor-faktor sosio

struktural dan faktor korelatif kriminogen (FKK), yang bila berinteraksi dengan

faktor lain akan berkembang menjadi Police Hazard (PH). PH ini dapat muncul

menjadi peristiwa gangguan kamtibmas bila bertemu dengan faktor pencetus yang

menyulutnya. Dengan demikian, Binkamtibmas dikonsepsikan sejak dini, mulai


23

dari upaya-upaya yang berskala pre-emptif, preventif, hingga upaya-upaya yang

berskala repressif. Upaya-upaya pre-emptif ditujukan untuk menanggulangi akar-

akar dan potensi kejahatan dan ketidaktertiban (FKK), upaya-upaya preventif

ditujukan untuk mencegah PH berkembang menjadi peristiwa (AF), sementara

upaya-upaya repressif ditujukan untuk menindak pelaku sesuai dengan ketentuan

hukum yang berlaku.

Dengan konsepsi Binkamtibmas seperti ini, kebijaksanaan dan strategi

penangkalan dan pencegahan sudah barang tentu akan lebih mengutamakan

upaya-upaya yang berskala pre-emtif dan preventif, dengan melibatkan segenap

warga masyarakat dan komponen bangsa, untuk bersama-sama memelihara

dinamika sosial yang kondusif bagi ketertiban dan keamanan bersama. Adapun

upaya-upaya berskala repressif, akan dilakukan sebagai alternatif terakhir (in the

last resort) oleh aparat keamanan, khususnya Kepolisian yang menurut undang-

undang memang diberi kewenangan untuk melakukannya.

Di dalam tulisan-tulisan resmi, kebijaksanaan umum di dalam

Binkamtibmas diarahkan untuk mampu membangun dan membina daya serta

kekuatan tangkal masyarakat sehingga mampu menanggulangi setiap kerawanan

dalam bentuk dan wujud apapun. Sedangkan sirategi yang dikembangkan adalah :

pertama : mengutamakan upaya-upaya penangkalan dan pencegahan tanpa

mengesampingkan upaya-upaya penindakan dan penegakan hukum di dalam

menghadapi dan menanggulangi setiap ancaman gangguan Kamtibmas; kedua :

meningkatkan kesadaran warga masyarakat secara terpadu untuk

menumbuhkembangkan kepekaan dan daya tanggap terhadap masalah-masalah


24

Kamtibmas dilingkungan masing-masing dalam suatu sistem Kamtibmas

swakarsa.

Dengan demikian, Binkamtibmas oleh Polri meliputi upaya-upaya untuk

mewujudkan situasi dan kondisi kamtibmas yang favourable bagi pembangunan

nasional melalui, Pertama : Penegakan hukum. Kegiatan-kegiatan yang bertujuan

memelihara tetap tegaknya norma-norma hukum berdasarkan Pancasila dan

UUD’45, baik melalui upaya-upaya penindakan maupun pencegahan. Kedua :

Perlindungun. Kegiatan dan upaya yang bertujuan memperkecil dan meniadakan

bahaya yang mengancam keselamatan jiwa, harta benda, kehormatan setiap

individu warga masyarakat. Ketiga : Pengayoman. Kegiatan pemberian jaminan

akan adanya kepastian hukum, bebas dari kekhawatiran, adanya rasa aman damai

lahir batin didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat : Bimbingan.

Kegiatan dan upaya untuk mengajak, mendorong, mengarahkan, merencanakan

dan menata setiap prilaku warga masyarakat dalam berbagai segi kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, agar dapat dihindarkan kecenderungan

yang merugikan derajat kualitas kamtibmas.

Sebagai suatu kebijaksanaan dan strategi, nampaknya konsep ini cukup

komprehensif dan integralistik, namun ternyata kita dihadapkan kepada realita

yang tak terbantahkan bahwa konsep ini tidak mampu menghadapi perubahan dan

persoalan bangsa, ketika tuntutan reformasi total mulai bergulir kencang.

Stabilitas kamtibmas, bahkan juga stabilitas nasional yang kita banggakan selama

3 (tiga) dekade ternyata cukup rentan (fragile), ketika rakyat sudah mulai jenuh

dimobilisasi dan “dipasung” hak-hak sipilnya.


25

Kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul dan berserikat serta lain-lajn

kebebasan yang telah dibuka oleh Presiden BJ Habibie pada tahun 1998, ternyata

justru lebih menambah rumit dan bahkan memperburuk kualitas Kamtibmas. Atas

nama kebebasan (liberty) dan persamaan (egalitarian), otonomi massa menggeser

otonomi negara; dengan berbagai perilaku yang sangat mengganggu ketertiban

umum. Intervensi politik demikian keras dan luas merambah sektor-sektor hukum

dan Perpolisian. Dan celakanya, setiap upaya penindakan (law enforcement) yang

dilakukan oleh aparat keamanan dan membawa korban senantiasa dituding

sebagai Pelanggar HAM. Karena itu, pekerjaan utama Kepolisian didalam

membasmi kejahatan (fighting crime), memelihara ketertiban (maintaining order),

dan perlindungan warga dari kejahatan dan bahaya (protecting people) menjadi

tumpul, tidak berdaya menghadapi perubahan-perubahan drastis di segenap

kehidupan masyarakat ini.

Lantas, apa yang keliru terhadap konsepsi Binkamtibmas ini ? Apa yang

keliru terhadap bangsa ini ? Bangsa Indonesia yang kita cintai bersama ini.

d. Permasalahan Kamtibmas Pada Masa Transisi.

Masa transisi dari kekuasaan otoritarian ke kekuasaan yang lebih

demokratis, membawa pengaruh yang tidak kecil terhadap situasi kamtibmas di

Indonesia. Lengsernya Presiden Suharto, 21 Mei 1998, ternyata telah membawa

perubahan-perubahan besar bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Beberapa fenomena yang dicatat oleh Eep Saifulloh Fatah antara lain :

Semakin bertambah panjangnya daftar hak-hak Politik rakyat, semakin

meledaknya partisipasi Politik rakyat, percaya diri publik menjadi surplus,


26

melunturnya kredibilitas dan legitimasi kekuasaan; dan bergesernya otonomi

negara ke otonomi massa. Fenomena inilah yang secara awarn sering kita sebut

sebagai euphoria politik maupun euphoria kebebasan, atas nama demokrasi.

Pada era orde baru hak-hak politik rakyat sangat terbatas, pendek, dan hanya

sebatas formalitas belaka. Hak-hak ini hanya muncul menjelang Pemilu, melalui

Parpol yang sudah dibatasi. Hak-hak bersuara, berbeda pendapat dengan

kekuasaan ditabukan. Hak-hak berserikat digiring pada organisasi yang telah

ditunjuk dan direstui oleh kekuasaan. Ketika kebebasan pers terbuka, maka hak-

hak politik rakyat semakin bertambah panjang. Hak berdemonstrasi, hak

mengajukan protes terhadap kebijakan umum, menjadi lazim, dan seringkali

mengganggu Kamtibmas.

Terjadi ledakan partisipasi Politik rakyat, yang semula harus dilakukan

hanya pada 3 parpol (PPP, PDI dan GOLKAR), kini menjadi semakin banyak.

Lebih seratus Partai Politik di daftarkan menjelang Pemilu 1999, namun yang

memenuhi syarat hanya 48 Partai, yang kemudian layak mengikuti PEMILU.

Berbagai forum dan gerakan massa secara periodik turun kejalan dengan berbagai

atribut seperti Forkot, Fordem, GPI, dll, mengklaim diri mewakili aspirasi rakyat;

masih terus berlanjut hingga sekarang ini. Partisipasi seperti ini di suatu sisi

memang menjadi ciri masyarkat demokratis. akan tetapi di sisi lain membawa

pengaruh terhadap gangguan ketertiban umum, bahkan sering memicu bentrokan

& kerusuhan. Setiap partai merasa berhak melakukan arak-arakan keliling kota di

atas bus, sepeda motor sambil melambai-lambaikan bendera. mengganggu bahkan

mengancam ketentraman warga lain.


27

Bersamaan dengan itu, percaya diri publik semakin surplus. Kelompok

masyarakat atas nama publik ataupun massa cenderung menentang otoritas

kekuasaan, yang didalam kehidupan sehari-hari dijalankan oleh Polisi, atau aparat

Pemda. Terjadi penjarahan dan penyerobotan tanah pemerintah, pembakaran dan

pengrusakan fasilitas umum, gejala penghakiman oleh massa, merupakan bukti

dari gejala ini. Sering terjadi bentrokan antara massa dengan petugas Polisi,

kantor-kantor Polisi dibakar hanya karena alasan sepele yang tentunya lebih

mempersulit pemeliharaan Kamtibmas.

Fenomena lain adalah melunturnya kredibilitas dan legitimasi kekuasaan.

Berbagai tindakan dan perilaku anarkhi didalam masyarakat, konflik horizontal

antar penduduk, di Jakarta, Maluku, Kalimantan dan berbagai daerah lainnya

semakin marak, memberi bukti tentang adanya fenomena ini. Kredibilitas

kekuasaan meluntur, hukum tidak lagi pada otoritas mengatur pergaulan hidup.

Hukum tidak berdaya, dan penegakannya semakin carut marut.

Sementara itu otonomi negara telah tergeser oleh otonomi massa. Semua tindakan

yang dilakukan atas nama massa sepertinya harus benar dan legal. Euphoria

kebebasan massa semakin menjadi-jadi. Kumpulan orang-orang diluar kota

dengan gampangnya memasang barikade di jalan raya dan meminta-minta

sumbangan infak untuk pembangunan rnesjid. tanpa merasa risih telah

mengganggu dan menghambat perjalanan orang lain. Kelompok orang-orang,

bahkan juga anak-anak kecil di kota-kota besar berkumpul ditraffic-light, sekedar

ngamen sambil mengharapkan uang dari pemakai jalan. Sebahagian dari mereka

malahan melakukan pemerasan dan perampokan secara terang-terangan.


28

Inilah potret situasi Kamtibmas pasca lengsernya Pak Harto. Bahkan hingga

sekarang inipun, ketika Presiden KH. Abdurachman Wahid dan Megawati

Sukarno Putri tampil sebagai Presiden yang terpilih secara demokratis, gejala ini

belum sepenuhnya mereda. Pertikaian elite Politik, justru mengipas semakin

suburnya konflik horizontal, dan rakyat yang tidak berdosa selalu menjadi korban.

Permasalahan Kamtibmas menjadi semakin rumit dan komplek. Karena berbagai

limbah kegiatan dan proses reformasi politik, ekonomi dan hukum bermuara pada

situasi ini.

Permasalahan Kamtibmas bukan lagi sekedar upaya-upaya repressif,

preventif belaka, namun menuntut upaya-upaya pre-emptif agar berbagai pihak

menyadari dan mau memperkecil akar-akar dan potensi gangguan Kamtibmas;

dan tidak malahan menjadikannya sebagai komoditas Politik, atau bargaining

power untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu.

Sementara itu, Polri telah berupaya berbenah diri untuk mewujudkan jati

diri Polisi Sipil, semenjak 1 April 1999, setelah dipisahkannya dengan TNI. Akan

tetapi upaya ini tidak serta merta akan terwujud, karena berbagai kegiatan

dibidang penyidikan terhambat oleh intervensi politik. Berbagai kegiatan dibidang

penertiban senantiasa berhadapan dengan otonomi massa. serta kegiatan-kegiatan

penindakan yang dilakukannya senantiasa dituding sebagai melanggar HAM.

Anggota Polri yang berhadapan dengan kerusuhan mengalami trauma, sama

halnya juga pada prajurit TNI. Akibatnya, seringkali terjadi penerapan kekerasan

berlebihan, atau bahkan diantara prajurit TNI dan Polri yang saling berhadapan

berkelahi untuk hal-hal yang tidak berdasar. Inilah kondisi buruk yang harus
29

ditanggung bersama oleh bangsa ini. Inilah sebahagian ongkos yang harus dipikul

akibat penerapan kekuasaan sentralistik otoriter yang mendominasi rakyat dalam

waktu yang cukup lama.

Lantas, bagaimana mengatasinya? Bagaimana kita keluar dari kemelut

ini ? Untuk itu pada bagian berikut akan kita diskusikan format pemeliharaan

Kamtibmas pada masyarakat demokratis.

e. Pemeliharaan Situasi Kamtibmas Pada Masyarakat Demokratis

Secara ideal konsepsi binkamtibmas masa lalu. sebenarnya masih relevan

dengan tuntutan masyarakat demokrasi. Sumber kekeliruan konsepsi ini dimasa

lampau adalah penerapannya yang gemar menggalang kekuatan seraya

mengabaikan jaringan (net work). Memobilisasi rakyat laksana massa dan bukan

sebagai warga negara. Semua program kamtibmas Swakarsa, Siskamling dan

sejenisnya sekedar kerumunan yang sebentar-sebentar bubar, menghilang, dan

bukannya barisan yang ajeg. kokoh, berlandaskan preferensi. keinginan dari

warga sendiri.

Dalam waktu yang cukup panjang, rakyat dilibatkan dalam simbol-simbol

ritual dan upacara yang tidak memiliki kekuatan yang orisinil. Rakyat senantiasa

dianggap tidak terdidik, tidak memiliki keinginan-keinginannya sendiri, sehingga

semua yang dianggap baik harus digulirkan dari atas oleh sistem pemerintahan

yang sentralistik dan otoriter. Terjadilah penyeragaman disemua bidang

kehidupan, yang tanpa disadari mencerabut rakyat dari akar-akar budayanya,

sehingga program-program tersebut diterima sebagai sesuatu yang asing, tidak

berakar dan tidak dirasakan manfaatnya pada kehidupan masyarakat lokalitas.


30

Karena itu, didalam semangat reformasi yang kini terus bergulir,

pemeliharaan Kamtibmas menuntut pula penyesuaian-penyesuaian. Penyesuaian

mendasar yang harus dilakukan adalah penyesuaian paradigma perpolisian yakni

kedekatan antara Polisi dan warga didalam upaya mencegah, mengurangi akar-

akar potensial kejahatan dan ketidaktertiban didalam suatu kampanye program

crime prevention secara terpadu. Ini berarti Polisi mengabdi kepada rakyat dan

bukan kepada penguasa. Polisi tidak lagi mengandalkan upaya-upaya repressif

tetapi lebih persuasif.

Tindakan repressif keras hanya dioperasionalkan sebagai alternatif

terakhir; jika cara-cara lain tidak lagi mampu memberi solusi.

Dengan paradigma seperti itu, maka pengoperasionalan konsepsi Binkamtibmas

masa lampau perlu pula penyesuaian-penyesuaian. Antara lain tentang institusi

dan kelembagaannya, sumber daya yang rnendukungnya serta sistein kerja yang

memadukannya. terutama pada tataran-tataran taktis. Konsep yang perlu diadopsi

adalah Community Policing yaitu gaya perpolisian yang mendekatkan polisi

kepada masyarakat yang dilayaninya. Ini berarti meningkatkan resiprositas antara

polisi dan masyarakatnya.

Dengan demikian, prioritas-prioritas perpolisian tidak lagi ditentukan dari

atas, dari pusat. Tetapi didesentralisasikan pada satuan-satuan kehidupan seperti

pemukiman, perkantoran, dan lain-lain sebagainya. Karenanya nantinya akan

terjadi tuntutan-tuntutan spesifik terhadap pelayanan perpolisian yang berbeda

disuatu komunitas dengan komunitas yang lain. Selanjutnya, civilianisasi

menjadikan perpolisian sebagai suatu yang bersifat personal. Melalui community


31

policing, diusahakan agar warga masyarakat dapat merasakan adanya sentuhan-

sentuhan yang bersifat personal, yang tidak terpenuhi melalui patroli bermotor

yang selama ini lazim dilakukan.

Sebenarnya dalam tataran konsepsi community policing telah

dioperasionalkan cukup lama di Indonesia, melalui Bintara Pembina Kamtibdesa,

Siskamling, serta program-program lainnya seperti polisi sahabat anak. Namun

suatu hal yang mungkin berbeda adalah prioritas yang dikendalikan dari atas,

inisiatif warga dikaburkan, dengan dalih masyarakat masih kurang terdidik dan

seterusnya. Kata “Pembinaan”, atau “Pembina” membawa konotasi adanya

seseorang atau kelompok orang yang lebih tinggi atau lebih kuasa berhadapan

dengan warga yang imferior dan tidak berdaya. Ketika sebahagian besar warga

telah terididik, dan banyak yang keluaran perguruan tinggi, maka ia tidak dengan

sendirinya menemna konsep ini. Mereka ingin dihargai kebebasannya, ingin

diperlakukan setara dalam suatu komunitas yang demokratis. Akhirnya. konsep

ini bertepuk sebelah tangan.

Konsep pemeliharaan situasi Kamtibmas pada masyarakat demokratis,

yang berbasis community policing masih perlu didukung (support) oleh satuan-

satuan Polisi yang responsif, terbuka dan akuntabel. Seirama dengan konsep

otonomi daerah, maka community policing, mengembangkan aspirasi masyarakat

lokalitas tentang prioritas perpolisian yang bertujuan melenyapkan sumber-

sumber kejahatan dan ketidaklertiban (FKK) yang mengendap disegenap sisi

kehidupan mereka. Pranata sosial yang ada difungsikan bersama, dipatuhi

bersama dalam iklim persamaan dan kebebasan. Petugas-petugas Polisi penertib


32

melakukan kontak personal secara langsung sehingga diperoleh kedekatan dalam

suatu dinamika sosial yang wajar. Lembaga-lembaga NGO’S (Non Government

Organizations) dan GRO’S (Grassroot Organizations) dibangkitkan, (bukan

dimobilisasi) untuk ikut memikul tanggung jawab pencegahan kejahatan dan

ketidak tertiban ini. Kegiatan-kegiatan mereka dimonitor dan dikoordinasi oleh

satuan-satuan Polisi terdekat; guna evaluasi dan peningkatan situasi Kamtibmas

secara keseluruhan ditingkat Polres, karena kampanye program ini memang

ditingkat masyarakat lokalitas.

Tentu saja upaya-upaya ini tidak akan dapat menghilangkan semua bentuk

kejahatan dan ketidak tertiban. Karena itu, disiapkan setuan-satuan detektif bagi

kejahatan-kejaha’tan konvensional di Polres, sementara untuk kejahatan dimensi

baru ditangani oleh detektif-detektif ditingkat Polda. Khusus untuk kejahatan yang

berkaitan dengan politik dan luar negeri ditangani oleh Mabes. Sementara itu

satuan-satuan penindak seperti PHH, Jihandak, Gegana merupakan satuan-satuan

khusus di BKO pada tingkat Polda; yang hanya digunakan untuk upaya-upaya

repressif.

Adapun unit-unit penertiban seperti Perintis Sabhara dan Polantas, tetap

diposisikan pada satuan-satuan terdekat dengan masyarakat lokalitas, yang

bertugas mencegah agar PH tidak berkembang menjadi peristiwa, ditempat-tempat

umum dan rawan gangguan Kamtibmas.

Format ini tidak mungkin terlaksana, apalagi berhasil tanpa dukungan dan

partisipasi warga masyarakat. Karena kejahatan dan ketidak tertiban serta bencana

pada hakekatnya merupakan bayang-bayang peradaban (“crime is the shadow of


33

civilization”). Kemajuan teknologi pada millenium ke-3 ini menjadikan

masyarakat kita sebagai masyarakat yang penuh risiko (the risk society); yang

memerlukan pengamanan dan penertiban. Kita menghadapi risiko dibidang

komunikasi ponsel, risiko penggunaan komputer, risiko dalam mengembangkan

professi, karier, dan berbagai kehidupan modern.

Karena itu pemeliharaan situasi Kamtibmas tidak mungkin dipikul oleh

institusi Kepolisian sendiri. Lagi pula, pada masyarakat demokratis, perpolisian

perlu memperoleh persetujuan warga, tentunya warga yang law abiding citizen.

Pemeliharaan Kamtibmas seperti ini di Inggris dinamakan “Policing bv Consent”.

f. Tantangan Dan Kendala.

Reformasi Polri telah dimulai sejak April 1999 dengan merumuskan

perubahan-perubahan Polri pada aspek struktural yang meliputi institusi,

organisasi, susunan dan kedudukan; perubahan pada aspek instrumental yang

meliputi filosifi, doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan, fungsi dan Iptek;

serta perubhan-perubahan aspek kultural yang meliputi manajemen sumber daya,

manajemen operasional dan system pengawasan oleh masyarakat. Perubahan-

perubahan ini akan bermuara pada tata laku, etika dan budaya Polri sebagai

pelindung dan pelayan masyarakat madani. Pengguliran pemikiran-pemikiran

tersebut ternyata tidak semulus harapan semula, Polri menghadapi tantangan dan

kendala yang satu persatu secara bertahap harus ditangani secara tepat dan

berwawasan kedepan. Tantangan dan kendala yang dihadapi polisi pada era

reformasi khususnya dalam membangun kepolisian sipil dapat dilihat dalam tiga

aspek : Yuridis, Institusional dan Sosiokultural.


34

Pada aspek yuridis misalnya, upaya Polri untuk menuangkan di dalam

produk-produk undang-undang menghadapi jalur berliku-liku, dan alot, seperti

halnya revisi Undang-Undang Nomor : 28 tahun 1997 dan telah melahirkan

Undang-undang No. 2 tahun 2002. Demikian pula penegakan hukum yang harus

diterapkan pada masyarakat lokal dengan menggunakan Undang-Undang yang

bersifat nasional juga tidak semulus yang diharapkan. Belum lagi masih

banyaknya Undang-undang produk kolonial yang belum tuntas disesuaikan

dengan tuntutan masyarakat sekarang ini. Tumpang tindih hukum formal juga

masih ditemukan dalam upaya mewujudkan sistem peradilan pidana yang terpadu.

Masih banyak lagi undang-undang yang diperlukan untuk mendukung

terwujudnya reformasi Polri yang sampai sekarang belum terwujud antara lain :

Undang-undang status kepegawaian dan penggajiannya, Undang-undang tentang

tataran dan kewenangan dibidang keamanan dalam negeri dan sebagai nya.

Pada aspek institusional, reposisi Polri menyongsong otonomi daerah

dalam bentuk validasi organisasi Polri tingkat pusat maupun daerah, pengaturan

logistik dan anggaran sejak pemisahan dari TNI, pembinaan personil dan

pengendalian kariernya, pendelegasian kewenangan bidang operasional dan

pembinaan pada tingkat Polda maupun Polres dan sebagainya masih memerlukan

waktu dan pentahapan yang cermat serta sosialisasinya.

Pada aspek sosiokultural, misalnya upaya untuk mengoreksi perilaku-

perilaku dan kebijakan-kebijakan yang dinilai oleh banyak pihak masih cenderung

militeristik, Polri menghadapi kendala yang tidak kecil. Upaya kepolisian yang

berintikan pekerjaan penyidikan dalam rangka fighting crimes, seringkali


35

dihadapkan pada kentalnya intervensi politik. Begitu pula pekerjaan penerliban

dalam rangka maintaining law and order senantiasa berhadapan dengan otonomi

massa yang telah menggeser otonomi negara.

Dan akhirnya, pekerjaan penindakan (enforcement) amat sering dituding

sebagai pelanggar hak azasi manusia. Kendala internal Polri memang tidak dapat

terlepas dari sosiokultural pada akselerasi reformasi, sehingga rasa ketidak adilan,

rasa ketidak puasan dan rasa ketidak percayaan masyarakat sering kali

diekspresikan dalam bentuk perlawanan verbal maupun dengan menggunakan alat

kekerasan. penghujatan, penjarahan dan bentuk-bentuk pengrusakan lainnya.

Karena itu, membangun Polri sesuai harapan masyarakat tidaklah

segampang membalikan tapak tangan. Pembangunan yang memprioritaskan

perubahan kultural menuntut perubahan-perubahan pula pada paradigma birokrasi

kekuasaan negara; dan mentalitas masyarakat khususnya aspek kultural polisi,

senantiasa berkaitan dengan watak sosial masyarakat warga (civics dispositions).

3. Kepolisian Resort (POLRES)

a. Pengertian Polres

Menurut Wikipedia Kepolisian Resor (disingkat Polres) adalah

struktur komando Kepolisian Republik Indonesia di daerah kabupaten/kota. Polres

memiliki satuan tugas kepolisian yang lengkap, layaknya Polda, dan dipimpin

oleh seorang Komisaris Besar Polisi (Kombes) (untuk Polrestabes/Polresta)

atau Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) (untuk Polres).

Dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23

Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan
36

Polsek, terdapat penjelasan mengenai pengertian Kepolisian Resort (Polres).

Dalam pasal tersebut mengatakan: “Kepolisian Resort yang selanjutnya disingkat

Polres adalah pelaksana tugas dan wewenang Polri di wilayah kabupaten/kota

yang berada di bawah Kapolda” (Perkap No.23 Tahun 2010 tentang Susunan

Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan Polsek).

Dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian R.I. Nomor 23

Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Polres dan

Polsek, pada bagian kesatu bab tersebut menjelaskan perihal kedudukan, tugas

dan fungsi Polres. Dalam pasal tersebut mengatakan: “Kepolisian Resort (Polres)

merupakan satuan organisasi Polri yang berkedudukan di ibukota kabupaten/kota.

b. Profil, Pembagian Wilayah, jumlah penduduk Kabupaten


Bulukumba

Menurut Wikipedia Kabupaten Bulukumba adalah salah satu Daerah

Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak

di Kota Bulukumba. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.154,67 km² dan

berpenduduk sebanyak 394.757 jiwa (berdasarkan sensus penduduk 2010).

Kabupaten Bulukumba mempunyai 10 kecamatan, 27 kelurahan, serta 109 desa.

Kabupaten Bulukumba terletak di ujung bagian selatan ibu kota Provinsi

Sulawesi Selatan, terkenal dengan industri perahu pinisi yang banyak memberikan

nilai tambah ekonomi bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah. Luas wilayah

Kabupaten Bulukumba 1.154,67 Km2 dengan jarak tempuh dari

Kota Makassar sekitar 153 Km.


37

Awal terbentuknya, Kabupaten Bulukumba hanya terdiri atas tujuh

kecamatan (Ujungbulu, Gangking, Bulukumpa, Bontobahari, Bontotiro, Kajang,

Hero Lange-Lange), tetapi beberapa kecamatan kemudian dimekarkan dan kini

“butta panrita lopi” sudah terdiri atas 10 kecamatan.

Ke-10 kecamatan tersebut adalah:

1. Kecamatan Ujungbulu (Ibukota Kabupaten)

2. Kecamatan Gantarang

3. Kecamatan Kindang

4. Kecamatan Rilau Ale'

5. Kecamatan Bulukumpa

6. Kecamatan Ujungloe

7. Kecamatan Bontobahari

8. Kecamatan Bontotiro

9. Kecamatan Kajang

10. Kecamatan Herlang

B. Kerangka Pikir

Di era reformasi sekarang ini masyarakat semakin kritis terhadap

kebijakan–kebijkan pemerintah selain itu masyarakat juga menuntut informasi

yang transparan dari pemerintah. Dalam dunia Public Relations, memberikan

penerangan dan informasi kepada masyarakat tentang kebijakan serta tujuan yang

akan dicapai oleh pemerintah, merupakan salah satu upaya humas untuk

menciptakan opini publik yang positif demi tercapainya citra yang positif. Kunci
38

utama keberhasilan humas adalah adanya kepercayaan dari publik, kepercayaan

tersebut akan dapat diraih jika lembaga yang bersangkutan memiliki citra yang

baik dimata masyarakat. Untuk memperoleh citra yang baik, maka seorang

praktisi humas harus mampu menciptakan citra baik lembaganya dengan

menciptakan citra baik lembaganya dengan melakukan kegiatan – kegiatan yang

bertujuan untuk memperoleh kepercayaan, good will dan saling pengertian.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran humas pemerintah dalam

meningkatkan citra. Penelitian ini mengenai peran PR berdasarkan dimensi

penasehat asli (expert prescriber), fasilitator komunikasi (communication

facilitator), fasilitator proses pemecahan masalah (problem solving process

facilitator ), dan teknisi komunikasi (communication technician). Teori yang

digunakan dalam membahas peran ini adalah menggunakan konsep dari Dozeir

dan Broom tentang empat peran dari praktisi PR.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode

penelitian deskriptif teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam,

penulis telah mewawancarai 3 nara sumber yang berkaitan dengan penelitian.

Hasil penelitian secara keseluruhan adalah diketahui bahwa humas polri

menjalankan paran sebagai penasehat ahli dan fasilitator pemecah masalah apabila

berkaitan dengan tugas humas saja. Sedangkan peran sebagai fasilitator

komunikasi dan teknisi komunikasi merupakan peran yang utama dijalankan oleh

humas POLRES.
39

Anggota
Kepolisia
n

Polres Citra
KAMTIBMAS
Bulukumba Kepolisian HUMA
S

Masyaraka
t

Gambar 1: kerangka pikir peneliti

Anda mungkin juga menyukai