Anda di halaman 1dari 8

SOCIAL MEDIA PLAN

Kalau kita lihat di media social saat ini masih banyak contoh social media plan yang terlalu bombastis
pesannya. Misalnya, “Kami adalah perusahaan yang sangat bonafide”, “Produk kami adalah yang nomor
satu!”, “Beli sekarang karena Senin harga naik!”. Media sosial tidak berjalan seperti itu. Tidak seperti flyer
atau brosur digital yang semakin banyak pesan akan semakin baik.

Media sosial adalah tentang bersosialisasi dan berinteraksi dua arah antara brand dengan audiensnya.
Saat kita asyik sendiri, maka kita hanya akan menjangkau sedikit sekali orang. Mereka tidak mau
berpartisipasi untuk menyebarkan konten kita. Namun saat kita mengajak diskusi dua arah maka
disitulah benar-benar akan bekerja. Mendahulukan apa yang diinginkan dan dipikirkan oleh customer
kita atau kita sebut dengan customer-centric adalah hal yang harus dipertimbangkan dalam membuat
Social Media Plan.

Mari membedah satu per satu elemen dalam diagram diatas untuk membuat sebuah social media
strategy.

1. Analyze External Environment, sama seperti kita menyusun skripsi, maka yang perlu kita tulis
pertama kali adalah latar belakang. Kita mencoba melihat dan memahami apa yang terjadi
dalam industri di bidang yang kita tekuni. Contoh: Kita akan berjualan kopi kekinian, maka kita
harus tahu situasi dan pasaran kopi saat ini seperti apa. Apakah sudah banyak pemain yang
berjualan ? Seberapa tinggi demandnya ? dst. Dengan memahami situasi ini, kita bisa
menyesuaikan effort yang akan kita lakukan sesuai dengan situasi yang sedang berkembang.

2. Re-evaluate internal Situation, Kita akan melihat situasi internal kita dengan goals yang ingin
dicapai. Kita seperti menghadap cermin dan mengevaluasi diri kita sendiri. Apakah media sosial
kita sudah dikelola dengan baik dan konsisten ? Dan apakah ada cukup banyak orang yang
menggerakkan media sosial kita? Apakah perangkat yang kita miliki sudah mendukung kinerja
kita?

3. Define the Buyer Persona, selanjutnya kita akan mendefinisikan siapa lawan bicara kita. Kita
akan kategorikan menjadi 3 bagian:

1
a. Demografi, yaitu usia dan jenis kelaminnya.
b. Geografi, asal daerah dan domisili tempat tinggal audiens kita saat ini.
c. Psikografi, kesukaan dan gaya hidup mereka.

Kita perlu melihat apakah mereka terlibat aktif dalam keputusan pembelian sebagai consumer,
atau customer sebagai pembeli, dan apakah mereka memiliki audiens yang cukup banyak
sehingga bisa mempengaruhi atau kita sebut dengan influencers.

Jika sudah paham situasi eksternal, internal, dan target audience kita, maka kita akan tentukan 3 rincian
strategi.

1. Channels, kita menentukan channels apa yang akan kita pilih. Apakah semua channel media
sosial kita ? Itu pasti akan melelahkan. Lebih baik, fokus pada beberapa channel yang sesuai
dengan target audience kita. Misal, segmen kita adalah ibu-ibu di Jawa Tengah berusia 45 tahun
ke atas. Maka kita akan lebih focus ke Facebook dibanding Twitter dan LinkedIn. Sebaliknya jika
ingin menyasar segmen usia 18-25 tahun di Jakarta. Maka kita bisa memilih Instagram dan
TikTok.

2. Content, menentukan konten yang akan dibuat, konten akan menyesuaikan channel yang kita
gunakan dan segmen yang ingin kita sasar. Infografik tidak terlalu menarik di Instagram untuk
segmen muda, tapi mungkin lebih menarik untuk segmen profesional di LinkedIn. Sebaliknya,
video lucu akan memikat segmen mud akita yang ada di Twitter dan Instagram.

3. Data, mengukur aktivitas media sosial yang kita jalankan. Kita akan mengukur berapa banyak
reach dan impressions yang kita jangkau, berapa persen engagement yang kita dapatkan, dan
seberapa banyak klik yang masuk ke dalam website, pengukuran disesuaikan dengan tujuan dan
kebutuhan kita.

2
Itulah garis besar penyusunan strategi media social untuk menyampaikan pesan secara efektif.

Berikut adalah versi sederhana dari kerangka besar tadi agar mudah untuk diimplementasikan. Kira-kira
seperti gambar dibawah.

Kita mulai dengan menganalisis situasi industry dan competitor. Lalu, kita tentukan apa yang ingin kita
capai atau objective kita dalam plan ini. Selanjutnya, kita analisis seperti apa target audience kita.
Kemudian kita lanjutkan dengan memilih channel yang tepat untuk audiens kita. Cobalah lakukan
aktivitas harian seperti upload konten, berinteraksi dan berbagai aktivitas perkontenan lainnya. Lalu
dalam jangka waktu tertentu, coba evaluasi dengan pengukuran yang sudah ditentukan saat menyusun
objective. Hasil evaluasi dan pengukuran itu akan jadi pembelajaran untuk merencanakan strategi
selanjutnya.

3
Harold Lasswell pada framework Lasswell Model of Communication menyatakan, kita juga perlu
menentukan efek apa yang ingin dibangun dari komunikasi yang kita sampaikan. Tujuan akhirnya pasti
pembelian, namun sebelum kesana, kita ingin meninggalkan kesan apa untuk audiens kita. Apakah kita
ingin menyampaikan bahwa perusahaan kita adalah perusahaan yang helpful. Atau punya value untuk
membuat kehidupan masyarakat jadi lebih baik. (Lebih lanjut di pembahasan mendatang).

Untuk menyampaikan pesan di media sosial, kita cenderung berbahasa seperti corporate yang kaku dan
membosankan. Padahal konsep berkomunikasi di media sosial adalah human to human interaction. Saat
kita masuk ke media sosial, brand harus bisa menjadi manusia biasa yang berkomunikasi dengan
manusia lainnya, sehingga komunikasi akan jadi lebih cair dan lebih interaktif. Inilah yang kita sebut
dengan social media persona.

Semakin banyak brand yang mulai membangun persona seperti ini. Grab Indonesia, DItjen Pajak dan
Netflix Indonesia yang sangat dekat dan sangat bersahabat dengan para followers-nya. Brand tidak lagi di
atas dan mendikte para followers, tapi saat ini posisinya sejajar.

4
Untuk mewujudkan personalisasi ini, kita mari membangun sebuah persona. Anggap audiens kita
bernama Brandon, Berusia 25 Tahun, dengan wajah bersih, sporty dan suka main basket. Wawasannya
luas dan kadang-kadang suka bercanda. Brandon adalah perwujudan brand yang berinteraksi dengan
followers-nya di media sosial, sehingga komunikasinya akan lebih bersahabat dan menyenangkan.

Seperti halnya saat kita sedang bermain game The Sims, persona yang ingin Apakah gaya bahasanya
santai atau harus rapi sesuai kaidah Bahasa Indonesia? Apakah dia setiap hari semangatnya
meledak-ledak atau malah cenderung kalem dan mempesona? Voice and manner ini kita sesuaikan
dengan personifikasi dari value brand yang kita miliki. Bila brand kita adalah brand yang eksklusif dan
mahal, tentu kita tidak akan melucu ala stand-up comedy. Kita akan lebih tegas, pintar dan berkelas.
Persona yang dibangun secara tepat dapat merepresentasikan brand dengan baik.kita bangun harus
beriringan dengan karakter dan gaya komunikasinya. Apakah dia suka bercanda atau relative cenderung
serius?

Penjelasan karakter dapat dibagi jadi 4 bagian.

5
Kita mulai dengan seperti apa gaya konten kita. Lalu bagaimana gaya bicara kita, gaya Bahasa kita, dan
apa aktivitas yang dilakukan persona tersebut di media sosial

Setiap kanal media sosial memiliki karakteristik yang berbeda. Gaya konten Facebook cenderung Panjang
dan storytelling, di Twitter cenderung lebih pendek namun intens dan sangat personal. Instagram punya
visual khas yang artistic dan banyak fitur di Instagram Stories.

Konten yang sama untuk semua platform akan menjadi minim engagement bila di-posting secara
mirroring di semua platform karena budaya dan gaya dari setiap platform berbeda-beda. Yang terpenting
adalah, bagaimana kita bisa membuat gaya komunikasi kita semanusiawi mungkin, sehingga interaksi
dengan followers jadi lebih hidup.

Apapun platformnya, konten yang kita unggah haruslah memenuhi syarat-syarat berikut. Jika kita
menemukan konten yang mendapat respon tinggi di berbagai brand, konten itu berarti relevan dengan

6
kehidupan audiens. Dijelaskan dengan baik dan to the point, mengandung sisi emosional sehingga kita
bisa membuat user berhenti. Atau thumbs topping dan mendapatkan engagement yang tinggi.

Berikut simulasi sederhana dalam merancang social media plan.

Kita akan berlatih untuk membuat rencana social media untuk jaringan toko buku terkemuka di
Indonesia yang ingin menyasar segmen milenial. Untuk ngobrol dengan milenial, maka kita juga akan
membuat persona yang milenial juga. Kenapa ? Karena milenial lebih suka berbicara dengan
sepantarannya atau sedikit lebih tua, yang tidak terlalu jauh umurnya.

Ada 3 kanal yang akan kita manfaatkan yaitu Facebook, Twitter, dan Instagram dengan proporsi
masing-masing 40%-20%-40%. Sehingga kita bisa mengukur effort untuk setiap channel. Aktivitasnya
harus menarik bagi milenial, misalnya dengan diskon, giveaway, inspirasi, interview dengan penulis,
buku-buku rekomendasi hobi, dan lainnya. Setiap ide aktivitas ini bisa diturunkan menjadi editorial plan
(Akan dibahas lebih lanjut).

Sampai disini kita sudah paham bagaimana menyusun strategi besar hingga rencana sederhana untuk
brand di media sosial.

Anda mungkin juga menyukai