Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA (FA 2231)

Emulsifikasi

Hari, Tanggal Praktikum : Senin, 6 Februari 2023


Kelompok : 4B
Nama Asisten : 10720056 - Jellyn Novia
Nama Anggota Kelompok : 10721061 - Tyrone Theodore Lukman
10721063 - Velika Freesia Ulinaro
10721065 - Sherli Novika
10721077 - Haifa Novianda Rachman

SEKOLAH FARMASI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2023
I. Tujuan
1.1 Menentukan HLB butuh VCO dengan tween 60 dan span 60
1.2 Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan di dalam pembuatan
emulsi
1.3 Membuat emulsi dengan menggunakan emulgator golongan surfaktan
1.4 Mengevaluasi dan menganalisis kestabilan emulsi

II. Teori Dasar


Emulsi merupakan sistem dispersi yang tidak stabil secara termodinamika dan
merupakan campuran dua fasa cair yang saling tidak bercampur , biasanya terdiri atas dua
fasa yaitu fasa air dan fasa minyak. Dalam farmasetika, emulsi memerlukan emulgator supaya
sediaan lebih stabil dan meningkatkan kualitas sediaan. Fasa terdispersi menjadi bentuk
globul-globul di dalam fasa pendispersi. Adanya ketidakstabilan emulsi secara termodinamika
disebabkan oleh besarnya energi bebas permukaan yang dikarenakan pada proses
pembuatannya, terbentuknya globul kecil akan membuat luas permukaan meningkat.
Sementara, pada umumnya sistem akan cenderung kembali kepada saat yang stabil, yaitu
ketika energi bebasnya rendah dimana itu terjadi saat globul-globul kecil yang terbentuk
bergabung kembali. Berdasarkan termodinamika, sistem akan cenderung bergerak ke tingkat
energi yang rendah
Jenis emulgator terdapat 3 jenis yaitu surfaktan, hidrofilik koloid, dan fine divided
particle. Surfaktan berfungsi untuk menurunkan tegangan permukaan antara fasa air dan
fasa minyak, menurunkan energi bebas senyawa sehingga terbentuk lapisan monolayer,
surfaktan terdiri dari molekul polar (menempel pada fasa air), dan non polar (menempel
pada fasa minyak). Selain surfaktan, hidrofilik koloid seperti polisakarida alam, senyawa
mengandung sterol, semisintetik polisakarida menghasilkan lapisan multilayer antar fasa.
Padatan halus terbagi atau fine divided particle seperti bentonit, silica memiliki sifat amfifilik
yaitu senyawa yang memiliki bagian polar dan nonpolar.
Pemilihan emulgator menjadi salah satu faktor pentung karena berpengaruh
terhadap kestabilan suatu emulsi yang akan dibuat. Emulgator merupakan faktor penunjang
yang menjadi titik kritis juga di dalam pembuatan suatu emulsi. Pada umumnya, surfaktan
yang digunakan adalah surfaktan, surfaktan terdiri atas gugus polar dan nonpolar, bagian
gugus yang polar akan berhadapan ke fase air dan gugus nonpolar akan berhadapan ke fase
minyak. Pada surfaktan yang memiliki bagian atau gugus polar akan cenderung membentuk
suatu emulsi minyak dalam air, begitupun sebaliknya surfaktan yang lebih didominasi atau
memiliki bagian atau gugus nonpolar akan cenderung untuk membentuk emulsi air dalam
minyak. Maka dari itu, adanya data atau pengetahuan mengenai pengetahuan tentang
kekuatan gugus polar dan nonpolar suatu surfaktan sangatlah dibutuhkan dan penting.
Dalam pemilihan surfaktan, terdapat beberapa metode yang digunakan untuk
menilai efisiensi dari suatu surfaktan yang akan digunakan sebagai emulgator. Pada sediaan
emulsi, terdapat HLB yaitu hidrofilik lipofilik balance yaitu efisiensi surfaktan sebagai
emulgator. apabila semakin tinggi nilai HLB berarti memiliki sifat kepolaran yang tinggi.
Rentang HLB tergantung fasa pendispersi emulsi tersebut, jika emulsi memiliki fasa
pendispersi air maka HLB akan lebih tinggi dibandingkan dengan emulsi dengan fasa
pendispersi minyak. Surfaktan yang digunakan biasanya merupakan kombinasi dari dua
emulgator yang memiliki HLB masing-masing berbeda karena dapat mencapai HLB butuh
secara tepat sehingga menghasilkan emulsi yang stabil dengan lapisan monolayer pada
globulnya sehingga posisi senyawa lebih rapat.
Sistem emulsi cenderung akan kembali ke keadaan paling stabil atau energi bebas
paling kecil sehingga globul-globul akan menyatu hingga sistem emulsi pecah. Fenomena
tersebut terbagi menjadi lima yaitu flokulasi (formasi globul yang menyatu dengan posisi
acak dalam emulsi), creaming (formasi lapisan dengan konsentrasi berbeda dan terjadi
karena gaya gravitasi), kedua fenomena ini merupakan ketidakstabilan emulsi ringan
sehingga bila sediaan dikocok kembali, emulsi dapat kembali dihomogenisasi dan tidak rusak.
Fenomena berikutnya adalah coalescence dan demulsifikasi, coalescence merupakan formasi
unit globul menjadi lebih besar dengan lanjutannya demulsifikasi. Ketika terjadi demulsifikasi
maka emulsi sudah rusak dan tidak dapat kembali dihomogenisasi. Ketidakstabilan emulsi
terakhir adalah fase inversi yang terjadi akibat suhu yang tinggi, atau komposisi terdispersi
lebih banyak daripada pendispersi sehingga komposisi emulsi berubah dari water in oil
menjadi oil in water dan sebaliknya.

Gambar 2.1 Ketidakstabilan emulsi


(Sumber : Emulsion Stability: Strong and Stable or Weak and Feeble (rheologylab.com))

Selain itu, ada beberapa cara untuk menentukan jensi emulsi termasuk ke dalam
emulsi w/o atau o/w
1. Pengenceran fasa
Adanya fasa eksternal dari suatu emlusi yang dapat diencerkan dapat ditentukan
emulsi tersebut termasuk ke dalam jenis yang mana. Bila emulsi tersebut o/w dapat
diencerkan dengan air begitupun sebaliknya bila emulsi tersebut w/o dapat
diencerkan dengan minyak
2. Tes warna
Dengan adanya pemberian warna, zat warna tersebut akan menyebar [ada fasa
eksternal suatu emulsi. Dengan tes warna dapat dilakukan dengan cara bilmana
penambahan dengan setetes larutan Sudan II menghasilkan warna merah maka tipe
emulsi tersebut adalah w/o. Hal tersebut dikarenakan pewarna Sudan III memiliki
sifat larut dalam minyak. Kemudian, bilaman dengan penambahan setetes larutan
metilen blue diperoleh warna biru maka emulsi tersebut adalah o/w. Hal tersebut
dikarenakan sifat metilen blue yang larut di dalam air.
3. Konduktivitas listrik
Pada penentuan emulsi dengan cara ini dilakukan dengan bantuan alat yaitu kawat
dan juga sumber listrik, serta lampu yang dihubungkan dengan rangkaian seri.
Setelah itu dimasukkan kedalam emulsi yang telah dibuat, bila lampu menyala maka
emulsi tersebut o/w, tetapi bila lampu tersebut mati maka emulsi tersebut w/o.
4. Kertas saring
Tes ini dilakukan dengan cara emulsi diteteskan pada kertas saring.Bila hasil yang
diperoleh kertas saring menjadi basah maka tipe emulsi tersebut adalah o/w dan bila
hasil yang diperoleh kertas saring timbul noda-noda minyak maka emulsi tersebut
adalah w/o

III. Prosedur
3.1 Alat dan Bahan

Alat Bahan

Timbangan digital 2 Buah

Cawan porselen 20 Buah

Gelas kimia 8 Buah

Kaca arloji 2 Buah

Pipet tetes 4 Buah

Spatel 2 Buah

Penangas air 1 Buah

Termometer 1 Buah

Ultra turrax 1 set

Tabung sedimentasi 9 Buah


Bahan Jumlah

Minyak Kelapa (VCO) 20 g

Air Ad hingga 100 g

Span 60 sesuai pada perhitungan

Tween 60 sesuai pada perhitungan

Tisu atau lap kain Seperlunya

3.2 Prosedur
IV. Data dan Perhitungan
4.1 Resep yang digunakan dalam pembuatan emulsi
Rx yang digunakan pada praktikum :
Rx Minyak Kelapa 20
Span 60
Tween 60
Air ad 100

4.2 Penentuan HLB Butuh Minyak Zaitun dengan Span 60 dan Tween 60
Berdasarkan Rx pada poin 4.1 ditentukan jumlah Span 60 dan Tween 60 untuk berbagai HLB :
Tabel 4.2.1 Jumlah Span 60 dan Tween 60
HLB Butuh Span 60 (gram) Tween 60 (gram)

5 2.912 0.088

6 2.618 0.382

7 2.324 0.676

8 2.029 0.971

9 1.735 1.265

10 1.441 1.55

11 1.147 1.852

12 0.852 2.147

13 0.558 2.441

4.3 Hasil Pengamatan Kestabilan Emulsi


Tabel 4.3.1 Hasil Pengamatan pada Emulsi Hari Ke-2
Nilai HLB Butuh Minyak Creaming (hv) (cm) Tinggi Total Emulsi Creaming (hv) (cm)/
Kelapa (VCO) (ho) (cm) Tinggi Total emulsi (h0)
(cm)

5 3.7 19.2 0.193

6 19.5

7 4 20 0.2000

8 4.1 20.3 0.202

9 6.4 22.2 0.288

10 5.6 22.2 0.252

11 5.2 22.4 0.232

12 18.3 18.5 0.989

13 9.3 17 0.547

Tabel 4.3.1 Hasil Pengamatan pada Emulsi Hari ke-4


Nilai HLB Butuh Minyak Creaming (hv) (cm) Tinggi Total Emulsi Creaming (hv) (cm)/
Kelapa (VCO) (ho) (cm) Tinggi Total emulsi (h0)
(cm)

5 3.5 18.5 0.189

6 18.6

7 4.5 20 0.225

8 4.2 20.2 0.208

9 4.9 20.5 0.239

10 5.7 22.2 0.257

11 5.3 22.5 0.235

12 3.6 18.3 0.197

13 3.8 20.5 0.185


V. Hasil dan Diskusi

Gambar 5.1 : Dokumentasi emulsi pada tabung sedimentasi (hari ke-2 pengamatan)

Gambar 5.1 : Dokumentasi emulsi pada tabung sedimentasi (hari ke-4 pengamatan)

Emulsi adalah suatu sistem yang terdispersi dan tidak stabil secara termodinamika
yang terdiri paling sedikit dari dua cairan yang tidak bercampur satu sama lain, salah satunya
terdispersi dalam bentuk globul-globul dalam fasa pendispersi. Pada umumnya, dalam
bentuk sediaan adalah minyak dalam air (o/w) dan emulsi air dalam minyak (w/o). Tak hanya
itu, bentuk emulsi pun ada yang ganda, salah satunya adalah yaitu water in oil in water
(w/o/w) ataupun oil in water in oil (o/w/o). Sediaan dibentuk atau dibuat dalam bentuk
emulsi dengan tujuan untuk menghilangkan rasa yang kurang enak, pelepasan obat yang
terkontrol, targeted delivery, dan untuk meningkatkan kestabilan obat.
Sediaan farmasi dalam bentuk emulsi memiliki beberapa keuntungan, diantaranya
proses penghantaran obat akan menjadi lebih mudah diserap dikarenakan adanya bahan
aktif lipofilik, memperbaiki rasa yang kurang enak untuk sediaan oral, dan memudahkan
dalam penghantaran obat secara oral. Namun, tentu dengan adanya keuntungan ada pula
kekurangan yang dimiliki oleh sediaan farmasi dalam bentuk emulsi adalah kecenderungan
adanya ketidakstabilan yang berakibat merusak emulsi dan menjadi berubah fasa.
Terdapat beberapa ketidakstabilan yang terjadi di dalam pembuatan suatu emulsi
antara lain flokulasi, creaming, koalesen, dan inversi fasa. Adanya ketidakstabilan itu dapat
dikategorikan menjadi reversible dan irreversible. Keduanya dibedakan berdasarkan
kemampuan untuk terdispersi kembali setelah diberikan pengocokan. Apabila suatu emulsi
memiliki salah satu dari ketiga masalah tersebut, maka dapat dikatakan emulsi tidak stabil
dan harus dilengkapi dengan suatu emulgator berupa surfaktan atau peningkat viskositas.
Flokulasi
Flokulasi adalah formasi globul yang menyatu dengan posisi acak dalam emulsi dan
merupakan penggabungan droplet emulsi yang membentuk agregat besar. Ketidakstabilan
jenis ini dapat dengan mudah untuk didispersikan kembali salah satunya dengan
pengocokan. Pada saat terjadinya flokulasi, globul-globul di dalam suatu emulsi mengalami
gaya Van der Waals dan bilamana diberikan suatu tekanan geser berupa pengocokan
globul-globul akan terdispersi dan menata kembali posisi menjadi homogen
A. Koalesens dan Breaking
Koalesens adalah formasi unit globul menjadi lebih besar dengan lanjutannya
demulsifikasi. Ketika terjadi demulsifikasi maka emulsi sudah rusak dan tidak dapat kembali
dihomogenisasi. Breaking adalah koalesens pada fase internal sehingga terjadinya pemisahan
fasa akibat adanya kerusakan pada film monolayer atau multilayer. Hal ini dapat terjadi
dikarenakan
1. Surfaktan tidak menutupi dengan rapat
2. Pemilihan emulgator yang salah sehingga tidak terbentuk film antarmuka
yang dapat membuat emulsi menjadi lebih stabil
3. Sistem emulsifying yang rusak
4. Penambahan emulgator yang berlawanan
5. Dekomposisi atau pengendapan emulgator
6. Eksipien yang inkompatibel
7. Kontaminasi mikroba
8. Penambahan fase terdispersi yang berlebih
9. Suhu yang ekstrim
Pencegahan untuk terjadinya koalesen dan breaking adalah menghindari
inkompatibilitas anion-kation dan penambahan pengawet
B. Creaming
Terjadinya penggabungan globul terdispersi dan terakumulasi pada bagian atas.
Terjadinya creaming dipengaruhi oleh bobot jenis. Pada emulsi o/w, terjadi creaming di
bagian atas karena fasa minyak memiliki bobot jenis yang lebih ringan. Sementara bila emulsi
w/o mengalami creaming pada bagian bawah karena globul yang terdispersi memiliki massa
jenis yang lebih berat dibandingkan fasa pendispersinya. Hal in dapat terjadi karena
beberapa faktor diantaranya :
1. Ukuran globul yang terdispersi terlalu besar
2. Viskositas fase kontinyu yang rendah
3. Densitas kedua fasa cukup berbeda jauh
Hal ini dapat dicegah dengan memperkecil ukuran partikel fasa terdispersi,
meningkatkan viskositas fase kontinu, dan simpan di tempat sejuk
C. Inversi Fasa
Perubahan fasa dari emulsi o/w menjadi w/o ataupun sebaliknya. Hal ini dapat
terjadi karena beberapa faktor diantaranya
1. Perubahan rasio volume fase terdispersi : fase pendispersi
2. Konsentrasi fasa terdispersi > 74% dari total volume
3. Perubahan suhu yang ekstrim
4. Penambahan zat yang mempengaruhi kelarutan emulgator
Hal ini dapat dicegah dengan membuat rasio fasa terdispersi dan fasa pendispersi
yang optimum
Dalam praktikum ditentukan nilai HLB butuh dari VCO, penentuan HLB butuh
memiliki tujuan agar penggunaan emulgator dalam tipe surfaktan sesuai dengan emulsi yang
akan dibuat sehingga hasil emulsi yang diperoleh akan menjadi lebih stabil. Adanya
kombinasi antara dua surfaktan yang digunakan membuat emulsi menjadi lebih stabil
dikarenakan pada prinsipnya surfaktan bekerja sebagai emulgator dengan prinsip
monomolekuler akan menjadi lebih rapat dalam melingkupi, pada bagian surfaktan ada
bagian yang polar dan nonpolar. Bagian yang polar akan berikatan dengan air dan bagian
yang nonpolar akan berikatan dengan obat. Pada prinsipnya, secara teoritis dapat dengan
mudah untuk diperoleh nilai HLB butuh suatu minyak, tetapi kenyataannya sulit untuk
menemukan surfaktan dengan nilai HLB butuh yang persis dengan minyak tersebut. Maka
diperlukan kombinasi dari dua surfaktan yang memiliki nilai HLB bernilai tinggi dan rendah
untuk mendapatkan nilai atau hasil yang mendekati dengan HLB butuh dari suatu minyak
tersebut.
Ketidakstabilan dari emulsi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama adalah
penggunaan emulgator yang tidak sesuai, sehingga mekanisme pelapisan zat terdispersi tidak
dapat dilakukan dengan baik. Kedua, apabila menggunakan surfaktan sebagai emulgator, ada
kemungkinan bahwa surfaktan yang dipakai tidak menyerupai HLB butuh dari minyak. Ketiga,
terdapat faktor eksternal seperti temperatur dalam tempat penyimpanan (emulsi akan
cenderung lebih mudah rusak ketika disimpan di suhu tinggi) dan juga pertahanan ketika
disentrifugasi. Emulsi juga akan rusak dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Hanya
saja untuk emulsi yang lebih stabil, emulsi akan membutuhkan waktu yang lebih lama hingga
rusak.
Berdasarkan data yang diperoleh dari pengamatan pada hari kedua dan keempat,
diperoleh hasil seperti yang tertera pada tabel 4.3. Dari data ini dapat dilihat bahwa nilai HLB
butuh dengan persentase creaming terendah adalah 5 dan creaming tertinggi adalah 10.
Pada data yang didapatkan, cenderung ketika bertambah nilai HLB butuh, maka persentase
creaming menjadi lebih besar. Pada HLB butuh 6, kami sulit menemukan batas antara
creaming dan bagian yang masih berbentuk emulsi. Hal ini mungkin karena kurang
penerangan cahaya atau warna minyak VCO yang cenderung lebih pucat dari minyak
biasanya, sehingga perbedaannya kurang bisa terlihat. Terjadinya creaming dapat diakibatkan
dari waktu lama tidak dikocok, persentase tween dan span yang tidak sesuai, dan juga suhu
temperatur ruang. Hal ini merujuk kepada stabilitas pada setiap emulsi, dan semakin tinggi
persentase creaming maka semakin tidak stabil emulsi tersebut. Dari sini juga dapat
disimpulkan bahwa emulsi lebih cocok dalam kondisi hidrofobik karena angka HLB yang
relatif rendah, sehingga lebih cocok untuk dijadikan emulsi water in oil.
Ketidakstabilan emulsi mungkin saja terjadi akibat dari aspek penimbangan yang
kurang tepat sehingga persentase Span dan Tween yang digunakan tidak sesuai dengan
perhitungan. Berdasarkan penelitian dari Baskara et al (2020), suhu ketika dipanaskan dalam
tangas dan kecepatan pengadukan akan memengaruhi stabilitas dari emulsi yang dibuat.
Lama pengadukan sediaan tidak boleh terlalu cepat karena bisa saja proses emulsifikasi
belum berjalan dengan sempurna, dan jangan juga terlalu lama karena akan mengakibatkan
tumbukan antar globul minyak. Pada penelitian Baskara, ditemukan bahwa suhu
pencampuran 80±2 C dalam waktu 20 menit akan mendapatkan hasil emulsi yang terbaik.
Karena keterbatasan waktu, kami hanya bisa melakukan pencampuran hingga suhu 65 C
dalam waktu 5 menit.

VI. Kesimpulan
6.1 Berdasarkan percobaan yang sudah dilakukan, dapat ditentukan bahwa emulsi dengan
nilai HLB butuh 5 merupakan emulsi yang paling stabil
6.2 Jumlah emulgator jenis surfaktan yang dibutuhkan dalam pembuatan emulsi pada
percobaan kali ini span 60 sebanyak 2.912 gram dan Tween 60 sebanyak 0.088 gram
6.3 Untuk mencapai emulsi yang stabil untuk minyak VCO, dapat menggunakan
perbandingan span 60 97% dan tween 60 3%. Emulsi dibuat dengan mencampurkan minyak
dengan span dan air dengan tween. Kemudian masing-masing dipanaskan dan dicampurkan
untuk membuat emulsi
6.4 Kestabilan emulsi dapat ditentukan melalui persentase yang mengalami creaming.
Semakin tinggi persentase tersebut, semakin tidak stabil dan dikelompokkan menjadi dua
kategori yaitu adanya energi bebas permukaan (floakulasi dan creaming) dan adanya
ketidaksempurnaan pada pelapisan globul (koalesen dan demulsifikasi)

VII. Daftar Pustaka

Baskara, Ida Bagus Bas, dkk. 2020. Pengaruh Suhu Pencampuran dan Lama Pengadukan terhadap
Karakteristik Sediaan Krim. Bali: Universitas Udayana.
Hairunnisa, Nilai HLB Emulgator Penting Untuk Kestabilan Sediaan Emulsi, 2018, diakses dari:
https://gudangilmu.farmasetika.com/nilai-hlb-emulgator-penting-untuk-kestabilan
-sediaan-emulsi/ pada 10 Februari 2023.
Prof. Dr. Sjuib,Fauzi,dkk. 2023.Laboratory Manual Farmasi Fisika (FA2231). Bandung: Sekolah Farmasi
Institut Teknologi Bandung.
Sinko, P.J., Martin's Physical Pharmacy and Pharmaceuticals Sciences, 5th ed, Lippincott
Williams & Wilkins, Baltimore, 2006
Lampiran Perhitungan
Penentuan HLB butuh VCO dengan Span 60 dan Tween 60

Rx VCO 20%
Emulgator 3%
Air 100%

Emulsi yang akan dibuat adalah 100 gram

Minyak kelapa = 20 gram

Total emulgator yang dibutuhkan adalah sebesar 3%, maka total emulgator yang diperlukan adalah
3% x 100 gram = 3 gram

HLB span 60 = 4.7


HLB Tween 60 = 14.9

Jika dimisalkan jumlah Span 60 yang diperlukan adalah a gram dann jumlah Tween 60 yang
diperlukan adalah (3-a) gram, maka diperoleh persamaan :

( a x 4.7 ) + [(3-a) x 14.9] = 3 x HLB butuh minyak kelapa

● Jika HLB butuh minyak = 5


( a x 4.7 ) + [(3-a) x 14.9] = 3 x HLB butuh minyak kelapa
4.7 a + 44.7 - 14.9a =3 x 5
10.2 a = 29.7
a = 2.912 gram
Span 60 = a = 2.912 gram
Tween 60 = 3 - 2.912 gram = 0.088 gram

● Jika HLB butuh minyak = 6


( a x 4.7 ) + [(3-a) x 14.9] = 3 x HLB butuh minyak kelapa
4.7 a + 44.7 - 14.9a =3 x 6
10.2 a = 26.7
a = 2.618 gram
Span 60 = 2.618 gram
Tween 60 = 3 - 2.618 gram = 0.382 gram

● Jika HLB butuh minyak = 7


( a x 4.7 ) + [(3-a) x 14.9] = 3 x HLB butuh minyak kelapa
4.7 a + 44.7 - 14.9a =3 x 7
10.2 a = 23.7
a= 2.324 gram
Span 60 = 2.324 gram
Tween 60 = 3 gram - 2.324 gram = 0.676 gram

● Jika HLB butuh minyak = 8


( a x 4.7 ) + [(3-a) x 14.9] = 3 x HLB butuh minyak kelapa
4.7 a + 44.7 - 14.9a =3 x 8
10.2 a = 20.7
a = 2.029 gram
Span 60 = 2.029 gram
Tween 60 = 3 gram - 2.029 gram = 0.971 gram

● Jika HLB butuh minyak = 9


( a x 4.7 ) + [(3-a) x 14.9] = 3 x HLB butuh minyak kelapa
4.7 a + 44.7 - 14.9a =3 x 9
10.2 a = 17.7
a = 1.735 gram
Span 60 = 1.735 gram
Tween 60 = 3 gram - 1.735 gram = 1.265 gram

● Jika HLB butuh minyak = 10


( a x 4.7 ) + [(3-a) x 14.9] = 3 x HLB butuh minyak kelapa
4.7 a + 44.7 - 14.9a =3 x 10
10.2 a = 14.7
a = 1.441
Span 60 = 1.441 gram
Tween 60 = 3 gram - 1.441 gram = 1.559 gram

● Jika HLB butuh minyak = 11


( a x 4.7 ) + [(3-a) x 14.9] = 3 x HLB butuh minyak kelapa
4.7 a + 44.7 - 14.9a =3 x 11
10.2 a = 11.7 gram
a = 1.147 gram
Span 60 = 1.147 gram
Tween 60 = 3 gram - 1.147 gram = 1.852 gram

● Jika HLB butuh minyak = 12


( a x 4.7 ) + [(3-a) x 14.9] = 3 x HLB butuh minyak kelapa
4.7 a + 44.7 - 14.9a =3 x 12
10.2 a = 8.7 gram
a = 0.852 gram
Span 60 = 0.852 gram
Tween 60 = 3 gram - 0.852 gram = 2.147 gram
● Jika HLB butuh minyak = 13
( a x 4.7 ) + [(3-a) x 14.9] = 3 x HLB butuh minyak kelapa
4.7 a + 44.7 - 14.9a =3 x 13
10.2 a = 0.558 gram
a = 0.558 gram
Span 60 = 0.558 gram
Tween 60 = 3 gram - 0.558 gram = 2.441 gram

Air = total - (jumlah minyak kelapa + total emulgator)


= 100 gram - (20 gram + 3 gram )
= 77 gram

Anda mungkin juga menyukai