Anda di halaman 1dari 16

PERCOBAAN IV

EMULSIFIKASI

A. Tujuan Percobaan
1. Menghitung jumlah emulgator golongan surfaktan yang digunakan
dalam pembuatan emulsi
2. Membuat emulsi dengan menggunakan emulgator golongan surfaktan
3. Mengevaluasi keridakstabilan suatu emulsi
4. Menentukan HLB butuh minyak yang digunakan dalam pembuatan
emulsi

B. Dasar Teori
Sistem dispersi adalah suatu sistem dimana suatu substansi (fase dispersi)
terbagi dalam unit yang berlainan (tersendiri) terdispersi dalam substansi
lain (fase kontinyu atau pembawa).
Emulsi adalah sediaan yang mengandung bahan obat cair atau bahan obat,
terdispersi dalam cairan pembawa, distabilkan dengan zat pengemulsi atau
surfaktan yang cocok.
(Anief, 1992)
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, Emulsi adalah system dua fase
yang salah satu cairannya terdispersi dalam cairan lain dalam bentuk tetesan
kecil (Syamsuni, 2006).
Emulsi adalah sistem dispersi kasar yang secara termodinamika tidak
stabil, terdiri dari minimal dua atau lebih cairan yang tidak bercampur satu
sama lain, dimana cairan yang satu terdispersi didalam cairan yang lain dan
untuk memantapkannya diperlukan penambahan emulgator. Identitas emulsi
berasal dari bahasa latin (emulgere = memerah, yang mengacu kepada susu
sebagai jenis emulsi alam) (Voight, 1994).
Suatu emulsi adalah suatu sistem yang tidak stabil secara termodinamika
yang mengandung paling sedikit dua fase cair yang tidak bercampur, dimana
satu diantaranya didispersikan sebagai bola-bola dalam dalam fase cair lain,
System dibuat stabil dengan adanya suatu zat pengemulsi. Bebagai tipe zat
pengemulsi akan dibicarakan kemudian dalam bagian ini, baik fase
terdispersi atau fase kontinu bisa berkisar dalam konsistensi dari suatu cairan
mobil sampai suatu massa setengah padat (semisolid). Jadi sistem emulsi
berkisar dari cairan yang mempunyai viskositas relatif rendah sampai salep
atau krim, yang merpakan semisolid. Diameter partikel dari fase terdispersi
umumnya berkisar dari 0,1–10 µm, walaupun partikel sekecil 0,01 µm dan
sebesar 100 µm bukan tidak biasa dalam beberapa sediaan (Martin, 2008).
Emulsi terdiri dari dua fase yang tidak dapat bercampur satu sama lainnya,
dimana yang satu menunjukkan karakter hidrofil, yang lain lipofil. Fase
hirofil (lipofob) umunya adalah air atau suatu cairan yang dapat bercampur
dengan air, sedangkan sebagai fase lipofil (hidrofob) adalah minyak mineral
atau minyak tumbuhan atau lemak (minyak lemak, parafin, vaselin, lemak
coklat, malam bulu domba) atau juga bahan pelarut lipofil seperti kloroform,
benzene dan sebagainya. Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, apakah
fase hidrofil yang terdispersi kedalam fase hidrofob, ataukah fase hidrofob
kedalam fase hidrofil. Dengan demikian dapat dihasilkan dua sistem emulsi
yang berbeda, yang dinyatakan sebagai emulsi air dalam minyak (emulsi
A/M) atau emulsi minyak dalam air (M/A). pada dasarnya dalam memberi
identitas jenis ini A digunakan untuk fase hidrofil dan M untuk fase lipofil.
Oleh karena fase lipofil tidak selalu harus M= minyak, tetapi juga bisa
beridentitas L = lipida, maka biasa juga dugunakan emulsi L/A (Voight,
1971).
Istilah HLB (Hydrophil–lypophil–Balance) diciptakan GRIFFIN untuk
tensid bukan ionik. Griffin menyusun setiap tensid kedalam harga bilangan
tanpa dimensi, yang dihitung dari perbandingan stokiosmetris bagian lipofil
dan bagian hidrofil dan tensid. Dengan demikian harga HLB memberi
informasi tentang keseimbangan hidrofil–lipofil, yang dihasilkan dari
ukuran atau kekuatan gugus lipofil- hidrofil. Suatu zat lipofil disusun dalam
harga HLB yang lebih rendah, zat hidrofil dalam harga yang lebih tinggi.
Dari situ diketahui bahwa perbandingan bagian lipofil terhadap bagian
hydrophil menjadi lebih menguntungkan dengan memasukkan gugus
hydrophil kedalam tensid bukan ionik sehingga dihasilkan tensid dengan
HLB yang lebih tinggi. Dengan cara ini emulgator A/M dengan harga HLB
tertentu (Voight, 1994).
Penerapan dibidang farmasi, suatu emulsi O/W merupakan suatu
cara pemberian oral yang baik untuk cairan–cairan yang tidak larut dalam
air, terutama jika fase terdispersi mempunyai fase yang tidak enak. Yang
lebih bermakna dalam farmasi masa kini adalah pengamatan tentang
beberapa senyawa yang larut dalam lemak, seperti vitamin, diabsorbsi lebih
sempura jika diemulsikan daripada jika diberikan per oral dalam sutau
larutan berminyak. Penggunaan emulsi intravena telah diteliti sebagai suatu
cara untuk merawat pasien lemah yang tidak menerima obat–obat yang
diberikan secara oral. Emulsi radiopeque telah ditemukan untuk penggunaan
sebagai zat diasnogtik dalam pengujian sianar X. Emulsifikasi secara luas
digunakan dalam produk farmasi dan kosmetik untuk pemakaian luar.
Terutama untuk lotion dermatologik dan lotion kosmetik serta krim karena
dikehendakinya suatu produk yang menyebar dengan mudah dan sempurna
pada areal dimana ia digunakan. Sekarang produk semacam ini dapat
diformulasi menjadi dapat tercuci air dan tidak berkarat. Produk seperti itu
jelas lebih dapat diterima bagi pasien dan dokter dari pada produk berlemak
yang digunakan satu atau beberapa abad yang lalu. Emulsifikasi digunakan
dalam produk aerosol untuk menghasilkan busa. Propelan yang membentuk
fase cair terdispersi dalam wadah menguap bila emulsi tersebut dikeluarkan
dari wadahnya. Ini menghasilkan pembentukann busa (Martin, 2008).
Emulsi dikatakan tidak stabil jika mengalami hal–hal seperti dibawah ini:
1. Creaming yaitu terpisahnya emulsi menjadi dua lapisan yaitu satu
bagian mengandung fase dispersi lebih banyak dari pada lapisan yang
lain. Creaming bersifat reversible, artinya jika dikocok berlahan–lahan
akan terdispersi kembali.
2. Koalesensi dan cracking (breaking) adalah pecahnya emulsi karena film
yamg meliputi partikel rusak dan butir minyak berkoalesensi atau
menyatu menjadi fase tunggal yang memisah. Emulsi ini bersifat
irrevelsibel (tidak dapat diperbaiki kembali). Hal ini terjadi karena :
a. Peristiwa kimia : seperti penambahan alkohol, perubahan pH,
penambahan elektrolit Ca Oksalat/ CaCl2 eksikatus.
b. Peristiwa fisika : seperti pemanasan, penyaringan, pendinginan,
dan pengadukan.
c. Peristiwa biologis : seperti fermentasi bakteri, jamur, atau ragi.
3. Infers fase adalah peristiwa berubahnya tipe emulsi O/W mejadi W/O
secara tiba-tiba atau sebaliknya, sifatnya irreversie (Syamsuni, 2006).
Untuk membuat suatu emulsi dibutuhkan suatu emulgator, untuk
itu adapun pembagian emulgator :
Emulgator anion aktif, yaitu emulgator yang terdisosiasi dalam larutan air,
Yang berfungsi untuk kerja emulgatornya adalah anion.
1. Emulgator kation aktif, yaitu emulgator yang terdisosiasi dalam larutan
air, Yang berfungsi untuk kerja emulgator adalah kebalikan dari sabun
kationnya.
2. Emulgaor bukan ionic, emulgator ini bereaksi netral, dapat sedikit
dipengaruhi oleh elektrolit dan selanjutnya netral terhadap pengaruh
kimia dan aktivitasnya tidak dipengaruhi oleh suhu.
3. Emulgator amfoter (tensedamfolitik, amfotensid) adalah senyawa
kimia, yang memiliki gugus kationik dan anionic didalam molekulnya.
4. Emulgator kompleks, yaitu dua emulgator berlainan jenis membentuk
lapisan tipis dimana masing-masing gugus lipofil dan hidrofil
mengarah ke fase minyak dan fase air.
Adapun cara pembuatan emulsi yaitu sebagai berikut :
1. Metode gom basah
Cara ini dilakukan bila zat pengemulsi yang akan dipakai
berupa cairan atau harus dilarutkan terlebih dahulu dalam air
seperti kuning telur dan metilselulosa. Metode ini dibuat dengan
terlebih dahulu dibuat mucilago yang kental dengan sedikit air lalu
ditambah minyak sedikit demi sedikit dengan pengadukan yang
kuat, kemudian ditambahkan sisa air dan minyak secara bergantian
sambil diaduk sampai volume yang diinginkan.
2. Metode gom kering
Teknik ini merupakan suatu metode kontinental pada
pemakaian zat pengemulsi berupa gom kering. Cara ini diawali
dengan membuat korpus emulsi dengan mencampur 4 bagian
minyak, 2 bagian air dan 1 bagian gom, lalu digerus sampai
terbentuk suatu korpus emulsi, kemudian ditambahkan sisa bahan
yang lain sedikit demi sedikit sambil diaduk sampai terbentuknya
suatu emulsi yang baik.
3. Metode botol atau metode botol forbes
Digunakan untuk minyak menguap dan zat-zat yang
bersifat minyak dan mempunyai viskositas rendah (kurang kental).
Serbuk gom dimasukkan kedalam botol kering, ditambahkan 2
bagian air, botol ditutup, kemudian campuran tersebut dikocok
dengan kuat. Tambahkan sedikit demi sedikit sambil dikocok.
(Voight, 1994)
C. Alat dan Bahan

1. Alat
a) Gelas ukur
b) Gelas kimia
c) Cawan porselen
d) Batang pengaduk
e) Timbangan analitik
f) Hotplate
g) Batang pengaduk
h) Kaca arloji
i) Pipet tetes
j) Penggaris

2. Bahan
a) Parafin cair
b) Tween 60
c) Span 80
d) Aquades
e) Plastik warp
D. Prosedur Kerja
Penentuan HLB butuh minyak dengan jarak HLB sempit
1. Hitung jumlah Tween dan Span yang diperlukan untuk setiap nilai HLB
butuh
2. Timbang masing-masing minyak, air, Tween dan Span sejumlah yang
diperlukan
3. Campurkan minyak dengan Span dan Tween dengan air, panaskan
keduanya di atas tangas air sambil diaduk
4. Tambahkan campuran minyak ke dalam campuran air dan segera
diaduk menggunakan batang pengaduk selama lima menit
5. Masukkan emulsi ke dalam tabung sedimentasi dan beri etiket sesuai
dengan nilai HLB masing-masing
6. Tinggi emulsi dalam tabung diusahakan sama dan catat waktu mulai
memasukkan emulsi ke dalam tabung
7. Amati jenis ketidakstabilan emulsi yang terjadi selama 3 (tiga) hari.
Bila terjadi creaming, ukur tinggi emulsi yang membentuk cream
8. Tentukan pada nilai HLB berapa emulsi tampak relative paling stabil
E. Hasil Pengamatan
1. Penentuan HLB butuh minyak dengan jarak HLB sempit
Parafin
Konsentrasi (%
Cair Hv/Ho hari Ke-
b/b) HLB
(%b/b)
Butuh
Tween Span
1 2 3
60 60
0,52 0,73
5 gram 9 0,97 0,55 0,56
gram gram
0,64 0,61
5 gram 10 1 1 1
gram gram
0,77 0,48
5 gram 11 0,36 0,3 0,3
gram gram
0,9 0,35
5 gram 12 0,89 0,8 0,8
gram gram
1,017 0,23
5 gram 13 0,33 0,32 0,31
gram gram

2. Perhitungan
a. HLB butuh 9
Paraffin cair 20%, emulgator 5% dalam 25 mL
20 gram
Paraffin cair = x 25 mL = 5 gram
100 mL
5 gram
Elmugator = x 25 mL = 1,25 gram
100 mL

HLB butuh 9
Tween 60 (14,9) 9 – 4,7 = 4,3

(9)

Span 60 (4,7) 14,9 – 9 = 5,9


= 10,2
Tween 60
4,3
= 10,2 x 1,25 g = 0,52 gram

Span 60
5,9
= 10,2 x 1,25 g = 0,73 gram

b. HLB butuh 10
Paraffin cair 20%, emulgator 5% dalam 25 mL
20 gram
Paraffin cair = x 25 mL = 5 gram
100 mL
5 gram
Elmugator = x 25 mL = 1,25 gram
100 mL

HLB butuh 10
Tween 60 (14,9) 10 – 4,7 = 5,3

(10)

Span 60 (4,7) 14,9 – 10 = 4,9


= 10,2
Tween 60
5,3
= 10,2 x 1,25 g = 0,64 gram

Span 60
4,9
= 10,2 x 1,25 g = 0,61 gram

c. HLB butuh 11
Paraffin cair 20%, emulgator 5% dalam 25 mL
20 gram
Paraffin cair = x 25 mL = 5 gram
100 mL
5 gram
Elmugator = x 25 mL = 1,25 gram
100 mL
HLB butuh 11
Tween 60 (14,9) 11 – 4,7 = 6,3

(11)

Span 60 (4,7) 14,9 – 11 = 3,9


= 10,2
Tween 60
6,3
= 10,2 x 1,25 g = 0,77 gram

Span 60
3,9
= 10,2 x 1,25 g = 0,48 gram

d. HLB butuh 12
Paraffin cair 20%, emulgator 5% dalam 25 mL
20 gram
Paraffin cair = x 25 mL = 5 gram
100 mL
5 gram
Elmugator = x 25 mL = 1,25 gram
100 mL

HLB butuh 12
Tween 60 (14,9) 12 – 4,7 = 7,3

(12)

Span 60 (4,7) 14,9 – 12 = 2,9


= 10,2
Tween 60
7,3
= 10,2 x 1,25 g = 0,9 gram

Span 60
2,9
= 10,2 x 1,25 g = 0,35 gram
e. HLB butuh 13
Paraffin cair 20%, emulgator 5% dalam 25 mL
20 gram
Paraffin cair = x 25 mL = 5 gram
100 mL
5 gram
Elmugator = x 25 mL = 1,25 gram
100 mL

HLB butuh 13
Tween 60 (14,9) 13 – 4,7 = 8,3

(13)

Span 60 (4,7) 14,9 – 13 = 1,9


= 10,2
Tween 60
8,3
= 10,2 x 1,25 g = 1,017 gram

Span 60
1,9
= x 1,25 g = 0,23 gram
10,2

f. Hari ke-0
1) HLB butuh 9
Ho 9,7 cm
= = 0, 97
Hv 10 cm

2) HLB butuh 10
Ho 10,4 cm
= =1
Hv 10,4 cm

3) HLB butuh 11
Ho 3,9 cm
= = 0,36
Hv 10,7 cm

4) HLB butuh 12
Ho 8,5 cm
= = 0,89
Hv 9,5 cm

5) HLB butuh 13
Ho 3,5 cm
= = 0,33
Hv 10,6 cm
g. Hari Ke-2
1) HLB butuh 9
Ho 5,5 cm
= = 0, 55
Hv 10 cm

2) HLB butuh 10
Ho 10,4 cm
= =0
Hv 10,4 cm

3) HLB butuh 11
Ho 3,3 cm
= = 0,33
Hv 10,7 cm

4) HLB butuh 12
Ho 8,2 cm
= = 0,8
Hv 9,5 cm

5) HLB butuh 13
Ho 3,4 cm
= = 0,32
Hv 10,6 cm

h. Hari Ke-3
1) HLB butuh 9
Ho 5,6 cm
= = 0, 56
Hv 10 cm

2) HLB butuh 10
Ho 10,4 cm
= =1
Hv 10,4 cm

3) HLB butuh 11
Ho 3,7 cm
= = 0,3
Hv 10,7 cm

4) HLB butuh 12
Ho 8,4 cm
= = 0,88
Hv 9,5 cm

5) HLB butuh 13
Ho 3,3 cm
= = 0,31
Hv 10,6 cm
F. Pembahasan
Emulsi adalah suatu sistem yang secara termodinamik tidak stabil, terdiri
dari paling sedikit 2 cairan yang tidak bercampur, dimana salah satunya
sebagai fase dalam fase terdispersi (fase internal) terdispersi secara seragam
dalam bentuk globul-globul kecil pada medium pendispersi (fase eksternal)
yang distabilkan dengan emulgator yang sesuai.
Dalam pembuatan suatu emulsi, pemilihan suatu emulgator merupakan
faktor yang penting karena mutu dan kestabilan suatu emulsi banyak
dipengaruhi oleh emulgator yang digunakan. Salah satu emulgator yang
banyak digunakan adalah surfaktan. Mekanisme kerja emulgator ini adalah
menurunkan tegangan antar permukaan air dan minyak serta membentuk
lapisan film pada permukaan globul-globul fase terdispersinya. Tipe emulsi
dapat ditentukan dari jenis surfaktan digunakan. Secara kimia, molekul
surfaktan terdiri atas gugus polar dan non polar. Apabila surfaktan
dimasukkan kedalam sistem air dan minyak, maka gugus polar akan terarah
ke fase air sedangkan gugus non polar terarah ke fase minyak. Surfaktan yang
mempunyai gugus polar lebih kuat akan cenderung membentuk emulsi
minyak dalam air, sedangkan bila gugus non polar yang lebih kuat maka akan
cenderung membentuk emulsi air dalam minyak.
Percobaan ini membahas tentang emulsifikasi dengan metode yang dapat
digunakan untuk menilai efisiensi surfaktan sebagai mulgator yaitu metode
HLB (hydrophilic-lipophilic balance). Prinsip dasar percobaan ini ialah nilai
HLB butuh suatu minyak adalah tetap untuk suatu emulsi tertentu dan nilai
ini ditentukan berdasakan percobaan, nilai HLB butuh setara dengan nilai
HLB surfaktan yang digunakan untuk mengemulsikan minyak dengan air.
Sehingga nilai HLB butuh setara dengan nilai HLB surfaktan yang digunakan
membentuk suatu mulsi yang stabil. Emulsi dapat dikatakan stabil apabila
tidak ada perubahan ukuran globul dan tidak terjadi perubahan warna, bau,
bentuk, dan semua terdispersi merata. Pada percobaan ini surfaktan yang
digunakan ialah golongan surfaktan nonionik yaitu Tween 60 dan Span 60.
Span 60 adalah emulgator nonionik yang larut dalam minyak yang
menunjang terbentuknya emulsi A/M, karena memiliki nilai HLB yang
rendah (HLB = 4,3). Tween 60 merupakan emulgator larut dalam air
membantu terbentuknya emulsi M/A karena memiliki nilai HLB yang tinggi
(HLB=15). Tween 60 dan Span 60 dapat membentuk lapisan tipis yang kuat
yang dapat mencegah penggabungan fase terdispersi sehingga tidak terjadi
pengendapan.
Pada percobaan ini tipe emulsi yang digunakan ialah tipe emulsi (M/A)
dikarenakan fase minyak terdispersi dalam fase air. Percobaan pertama yang
dilakukan yaitu percobaan menghitung HLB sempit, mula-mula dilakukan
adalah menentukan jumlah Span 60 dan Tween 60 yang akan digunakan dan
bahan yang lainnya dengan HLB yang berbeda-beda mulai dari HLB
9;10;11;12 dan13. Untuk fase air yaitu Tween 60 dicampur dengan air,
sedangkan untuk fase minyak yaitu Span 60 dicampur dengan paraffin cair,
masing–masing fase lalu dipanaskan hingga suhu 60°C. Fungsi pemanasan
dilakukan karena kedua fase tersebut memiliki suhu lebur dibawah suhu
60oC. Adapun titik lebur paraffin cair sebesar 47°C, sehingga dapat diperoleh
emulsi yang baik dan tidak pecah. Setelah itu dimasukkan fase air kedalam
mortir lalu ditambahkan fase minyak dan diaduk menggunakan stamper.
Kemudian dimasukkan kedalam gelas ukur. Pengamatan dilakukan setiap hari
selama 5 hari tujuannya untuk melihat apakah terjadi ketidakstabilan emulsi
seperti pemisahan antara fase air dan fase minyak atau creaming.
Pengamatan menunjukkan bahwa semua emulsi mengalami creaming.
Tinggi creaming yang terjadi pada masing-masing emulsi berbeda setiap
harinya. Adapun creaming yang terbentuk pada emulsi mengarah ke atas
yang ditandai dengan menurunnya tinggi emulsi dalam gelas ukur dan
disebabkan oleh kerapatan fase terdispersi (dalam hal ini minyak) yang lebih
besar daripada kerapatan air sehingga endapan cenderung bergerak ke atas,
karena berat jenis minyak lebih kecil daripada air. Berdasarkan percobaan
yang telah dilakukan dapat terlihat emulsi dengan nilai HLB sempit paling
stabil adalah dengan HLB butuh 10 karena memiliki laju creaming yang
sangat kecil sehingga tinggi creaming lebih rendah dari pada HLB lain.
Bedasarkan literatur RHLB Parafin untuk emulsi M/A adalah 10 dan RHLB
Parafin untuk emulsi A/M adalah 4. Sedangkan untuk emulsi dengan nilai
HLB 9;11;12dan13 merupakan emulsi yang kurang stabil karena memiliki
laju creaming yang sangat besar dan nilai perbandingan antara tinggi emulsi
pada saat pengamatan (hv) dengan tinggi emulsi pada hari pertama (ho) tidak
mendekati 1. Karena semakin hv/ho mendekati nilai 1 menunjukkan semakin
stabil sediaan emulsi tersebut.

G. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa emulsi
yang stabil adalah pada HLB butuh 10.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 1992 . Farmasetika. Yogyakarta : Gadjah Mada University Prees

Dirgen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Depkes RI.

Martin, Alfred dkk. 2008. Farmasi Fisik Jilid 2. Jakarta : UI Press.

Syamsuni, H.A. 2006. Ilmu resep. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Voight, R. 1971. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : Gadjah Mada


University Press.

Anda mungkin juga menyukai