Anda di halaman 1dari 14

STUDI KASUS PADA ABK di SLB MADINA

STRATEGI PEMBELAJARAN KHUSUS UNTUK MENINGKATKAN


PEMAHAMAN MATEMATIKA PADA ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS (ABK) DENGAN GANGGUAN PEMBELAJARAN
KELOMPOK 4, 3A-PBK

Eti Fatmawati (13082200006), Nabil Alif Hisyam (13082200008),

Sayyidati Rizqiani (13082200024)

Bimbingan dan Konseling, Universitas Bina Bangsa

Email: etifatmawati69@gmail.com, nabilalifhisam@gmail.com

sayyidatirizqiani2@gmail.com,

ABSTRAK

Penelitian ini membahas kesulitan belajar matematika pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
di SLB Madina. Pendahuluan menggambarkan ABK sebagai kelompok anak dengan
pertumbuhan/ perkembangan tidak sesuai standar, khususnya dalam matematika. Tujuan
penelitian adalah mengetahui kesulitan belajar matematika siswa tunarungu dan tunagrahita.
Metode kualitatif digunakan dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, dokumentasi,
dan wawancara. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pada anak tunarungu, matematika
menjadi mata pelajaran yang relatif mudah diajarkan karena sifat angka yang dapat dilihat dan
dipraktikkan. Sementara pada anak tunagrahita, kesulitan lebih terlihat dengan kesulitan fokus,
tantrum, dan kurangnya minat.

Kata Kunci: Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Tunarungu, Tunagrahita, Matematika,


Kendala dalam pembelajaran, Strategi pembelajaran

ABSTRACT

This research discusses the difficulties in learning mathematics among Children with Special
Needs (ABK) at SLB Madina. The introduction describes ABK as a group of children whose
growth/development does not meet standards, especially in mathematics. The aim of the
research is to determine the mathematics learning difficulties of deaf and mentally retarded
students. Qualitative methods are used with data collection techniques through observation,
documentation and interviews. Interview results show that for deaf children, mathematics is a
subject that is relatively easy to teach because of the nature of numbers that can be seen and
practiced. Teachers use special methods, such as sign language, visual aids, and practice
questions to help understanding. Meanwhile, in mentally retarded children, difficulties are more
visible with difficulty focusing, tantrums and lack of interest. Teachers need to face this
challenge with appropriate learning methods, motivation, and understanding of student
characteristics.

Keywords: Children with Special Needs (ABK), Deaf, Mentally Impaired, Mathematics,
Obstacles in learning, Learning strategies

1. PENDAHULUAN
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang dalam proses pertumbuhan/
perkembangannya tidak sesuai dengan tumbuh kembang anak pada umumnya baik itu
fisik, mental, intelektual, sosial, dan emosional. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) juga
dapat diartikan sebagai anak yang memerlukan pendidikan yang disesuaikan dengan
hambatan belajar dan kemampuan masing-masing secara individu (Abidin, Marzal , &
Rohati, 2014). Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mempunyai penyimpangan
dari kondisi rata-rata anak normal umumnya dalam hal fisik, mental maupun karakteristik
perilaku sosialnya. Anak berkebutuhan khusus tentu akan menghadapi berbagai masalah
yang berhubungan dengan kekhususannya (Abdullah dan andiyah, 2013).
Berdasarkan penjabaran diatas dapat disimpulkan bahwa Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) merupakan kelompok anak yang mengalami ketidaksesuaian dalam
pertumbuhan dan perkembangannya, baik dari segi fisik, mental, intelektual, sosial,
maupun emosional. ABK memerlukan pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan
belajar dan kemampuan masing-masing secara individu. Selain itu, ABK juga
diidentifikasi sebagai anak yang memiliki penyimpangan dari kondisi rata-rata anak
normal, yang dapat menghadapi berbagai masalah terkait dengan kekhususannya.
Menurut Pemerintah Republik Indonesia, setiap anak dengan kondisi apapun,
khususnya para siswa dimana mempunyai kebutuhan khusus berhak atas kesempatan
pembelajaran yang sama. Pasal 5 ayat 1 dan pasal 3 dalam UndangUndang Nomor 20
Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional memberikan pernyataan dimana para
individu berhak dalam mendapatkan pengetahuan yang memiliki kualitas. Para
penyandang kelainan pada jiwa, fisik, intelektual, sosial, dan emosional berhak
memperoleh pendidikan yang sesuai pada kondisi dan keadaannya (RI, 2003). Melalui
peraturan perundang-undangan terlihat bahwa anak lamban belajar, diberi kesempatan
untuk melakukan sebuah penyesuaian dengan siswa lain (Setyowati, 2014).
Bagi anak sekolah, matematika memegang peranan penting di dalam kehidupan
(Hidayat, 2017). Matematika melatih siswa untuk berpikir secara kolektif, rasional,
kreatif, analitik, kritis, dan metodis, sehingga hal-hal seperti ini membantu siswa
memahami matematika (Astuti, 2016). Matematika menjadi bagian pengetahuan yang
memiliki sebuah manfaat pada pemahaman mengenai perteknologian dan juga ilmu
pengetahuan (Hikmah, 2017).
Matematika merupakan ilmu yang nyata dan memiliki suatu kepastian yang dapat
dimana diterapkan dalam kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu harus dipahami oleh
berbagai individu, meskipun tidak semua orang dapat melakukannya dengan mudah.
Salah satu contohnya adalah anak berkebutuhan khusus yang merupakan anak lamban
belajar yang sulit belajar ilmu matematika.
Menurut Depdiknas (BSNP, 2006) mengungkapkan bahwa matematika
merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai
peran penting dalam berbagai disiplin ilmu dan mengembangkan daya pikir manusia.
Penguasaan matematika yang kuat sejak dini diperlukan untuk menguasai dan
menciptakan teknologi di masa depan.
Tiap siswa memiliki keunikannya saat menerima penjelasan dari guru selama
pembelajaran, terutama bagi anak tunanetra. Meskipun memiliki kekhususan, anak
tunanetra berupaya menggunakan kemampuannya untuk memahami pengetahuan dari
guru. Beberapa pendidik menggunakan pendekatan yang berbeda dalam mengajarkan
mata pelajaran ini kepada peserta didik mereka.

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui kesulita belajar matematika yang
dialami siswa tunarungu dan tunagrahita di SLB madia
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Karakteristik Anak Kesulitan Matematika


Lerner (1984) menyebutkan bahwa beberapa karakteristik siswa berkesulitan dalam
belajar matematika adalah sebagai berikut; 1) Gangguan Hubungan Keruangan, konsep
hubungan keruangan seperti atas bawah, puncak dasar, jauh dekat, tinggi rendah, depan
belakang, awal akhir umumnya telah dikuasai oleh anak sebelum masuk SD, namun bagi
anak berkesulitan belajar matematika memahami konsep-konsep tersebut mengalami
kesulitan; 2) Abnormalitas Persepsi Visual, siswa berkesulitan belajar matematika sering
mengalami kesulitan untuk melihat berbagai obyek dalam hubungannya dengan
kelompok; 3) Asosiasi Visual-Motor, siswa berkesulitan belajar matematika sering tidak
dapat berhitung benda-benda secara berurutan, anak mungkin baru memegang benda
yang kedua tetapi mengucapkan empat. Anak-anak semacam ini dapat memberikan kesan
mereka hanya menghafal bilangan tanpa memahami maknanya; 4) Perseverasi, gangguan
pada anak yang dimana perhatiannya melekat pada satu obyek dalam jangka waktu relatif
lama dan hanya terkesan pada objek itu saja; 5) Kesulitan Mengenal dan Memahami
Simbol, anak berkesulitan belajar matematika sering mengalami kesulitan dalam
mengenal dan menggunakan simbol-simbol matematika seperti (+), (-), (X), (:), (=), ()
dan sebagainya. Kesulitan semacam ini dapat disebabkan oleh adanya gangguan memori
tetapi juga dapat disebabkan oleh adanya gangguan persepsi visual; 6) Gangguan
Penghayatan Tubuh, anak berkesulitan belajar matematika juga sering menunjukkan
adanya gangguan penghayatan tubuh (body image), misalnya jika disuruh menggambar
tubuh secara keseluruhan, maka tidak ada yang tergambar secara utuh; 7) Kesulitan
dalam Membaca dan Bahasa, anak berkesulitan belajar matematika akan mengalami
kesulitan dalam memecahkan soal-soal yang berbentuk cerita (Mulyono, 2008).
B. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

1. Tunanetra

Menurut somantri 2006, tunanetra adalah individu yang mengalami


hambatan penglihatan atau kehilangan penglihatan sebagai aluran penerima
informasi dalam kegiatan sehari-hari. Anak tunanetra memiliki keterbatasan atau
ketidak mampuan dalam menerima rangsang atau informasi melalui indera
penglihatan. (Purba Bagus Sunarya, Irvan, and Dewi 2018) Ciri-ciri anak
mengalami Tunanetra :

1. Sering meraba-raba
2. Kerusakan nyata pada kedua bola mata
3. Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf mata, sehingga sering mata sering
bergerak atau bergoyang
4. Bagian tengah mata yang hitam berwarna keruh
5. Kesulitan dalam mengambil hal-hal kecil yang ada disekitarnya. (Hidayat
2021)
2. Tunarungu

Menurut Somad dan Hermawati (1996), tunarungu adalah seseorang yang


mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik sebagian
atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak berfungsinya sebagian atau seluruh
alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat pendengaran nya
dalam kehidupan sehari-hari yang membawa dampak terhadap kehidupannya
secara kompleks. (Purba Bagus Sunarya, Irvan, and Dewi 2018) Ciri-ciri anak
mengalami Tunarungu :

1.Terlambat dalam perkembangan bahasa

2. Kurang/tidak tanggap bila diajak berbicara

3. Kualitas suara aneh/monoton

4. Ucapan kata tidak jelas

5. Menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi

6. Terdapat kelainan organis dalam telinga


7. Sering memiringkan kepala dalam mencerna komunikasi (Hidayat 2021)
3. Tunagrahita

Menurut AAMD (American Association of Mental Deficiency)


keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelektual dibawah rata-rata dengan
jelas dan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada
masa perkembangan. (Purba Bagus Sunarya, Irvan, and Dewi 2018). Ciri-ciri
anak mengalami Tunagrahita :

1. Penampilan fisik tidak seimbang, seperti kepala terlalu kecil/besar


2. Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia
3. Perkembangan bicara bahasa terlambat
4. Tidak ada perhatian atas sekitar/pandangan kosong
5. Kurangnya koordinasi gerakan badan
6. Sering keluar ludah dari mulut (ngiler ) (Hidayat 2021)
4. Tunadaksa
Tuna daksa adalah seseorang yang memiliki cacat fisik, tubuh, atau
seseorang yang memiliki keterbatasan pada sistem geraknya. Ciri-ciri anak
mengalami tunadaksa :
1. Terjadi kekakuan pada anggota gerak/lemah/lumpuh.
2. Mengalami hambatan dalam gerak ( tidak sempurna, tidak lentur/ tidak
terkendali)
3. Anggota bagian tubuh ada yang kuran atau tidak lengkap/ tidak sempurna.
4. Terdapat cacat pada alat gerak
5. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam
6. Kesulitan pada saat bediri/berjalan/duduk/dan menunjukkan sikap tubuh tidak
normal.

5. Tunalaras
Tunalaras adalah anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku
yang buruk sehingga kurang dapat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan
(Travelancya and Ula 2022) Ciri-ciri anak mengalami tunalaras: Menurut
hallaham dan kauffan ( 2016 ) ada 3 ciri khas kondisi emosi dan perilaku:
1. Tingkah laku yang sangat ekstrem dan bukan hanya berbeda dengan tingkah
laku anak lainnya.
2. Suatu problem emosi dan perilaku yang kronis, yang tidak muncul secara
langsung.
3. Tingkah laku yang dapat diharapkan oleh lingkungan karena bertentangan
dengan harapan emosi dan cultural.
6. ADHD atau attention deficit hyperactivity.
ADHD atau attention deficit hyperactivity disorder adalah gangguan
mental yang menyebabkan anak sulit memusatkan perhatian, serta memiliki
perilaku impulsif dan hiperaktif, Kondisi ini dapat berdampak pada prestasi anak
di sekolah. Ciri-ciri anak mengalami ADHD:
1. Berprilaku agresif
2. Perilaku impulsive
3. Terlalu bersemangat
4. Kehilangan pengendalian atau pengulangan kata Tindakan secara terus
menerus
7. Autis Autisme

adalah gangguan perilaku dan interaksi sosial akibat kelainan


perkembangan saraf otak. Kondisi ini menyebabkan penderitanya sulit
berkomunikasi, berhubungan sosial, dan belajar. Ciri-ciri anak mengalami autis :

1. Interaksi sosial yang buruk.

2. Tidak bisa kontak mata secara langsung

3. Sering menyakiti diri sendiri atau orag lain

4. Pengulangan kata atau Tindakan yang secara terus menerus.

8. Lamban belajar
Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
anak lambat belajar adalah anak yang di sekolah mempunyai rata-rata di bawah
enam sehingga mempunyai resiko cukup tinggi untuk tinggal kelas, dikarenakan
mempunyai tingkat inteligensi yang rendah yaitu di bawah rata-rata sekitar 75–90
(Mahastuti 2011) Menurut Erikson ( 1982 ) ciri-ciri anak lamban belajar antara
lain:
1. Anak lambat belajar umumnya mengalami kegagalan dalam emamhami
pelajaran dan konsep-konsep dasar bidang akademik, misalnya membaca,
menulis, matematika.
2. Mempunyai daya ingat yang rendah, anak dengan lambat belajar umumnya
sangat cepat lupa.
3. Anak lambat belajar sulit bersosialisasi dengan lingkungan.
9. CIBI ( cerdas, berbakat istimewa )
Anak berbakat merupakan keistimewaan yang adapada diri anak yang memiliki
kelebihan sehingga jangan pernah bahwa anak dengan cerdas istimewa dapat
mengatasi masalah yang dihadapinya dengan kemauan yang dimilikinya.

C. Faktor yang mempengaruhi Kesulitan Matematika pada ABK

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesulitan matematika pada Anak


Berkebutuhan Khusus (ABK) melibatkan variasi tingkat kesulitan yang mungkin
dihadapi oleh individu tersebut. Beberapa faktor tersebut termasuk:

1. Tipe Keberkebutuhan Khusus: Berbagai jenis ABK memiliki kebutuhan khusus yang
berbeda, seperti autisme, disleksia, atau gangguan perkembangan lainnya, yang dapat
memengaruhi cara mereka belajar matematika
2. Kemampuan Kognitif: Tingkat kemampuan kognitif ABK dapat bervariasi, yang dapat
mempengaruhi pemahaman mereka terhadap konsep matematika.
3. Pengalaman dan Pendidikan Sebelumnya: Pengalaman dan tingkat pendidikan
sebelumnya juga berperan. ABK yang memiliki pengalaman pendidikan yang kurang
atau tidak konsisten mungkin menghadapi kesulitan dalam memahami materi
matematika.
4. Pendekatan Pengajaran: Metode pengajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan ABK
dapat menyebabkan kesulitan. Pendekatan yang kurang fleksibel atau tidak disesuaikan
dengan gaya belajar mereka dapat menjadi hambatan.
5. Dukungan Individu: Tingkat dukungan dari guru, teman sebaya, dan lingkungan sekolah
dapat memengaruhi kesulitan matematika ABK. Dukungan yang kurang dapat menambah
kesulitan mereka dalam belajar.
6. Persepsi dan Motivasi: Persepsi diri dan motivasi individu juga berperan. ABK yang
memiliki persepsi diri negatif atau rendah motivasi mungkin cenderung mengalami
kesulitan matematika.

D. Upaya yang Guru/strategi guru untuk mengatasi Kesulitan Matematika pada ABK

Strategi pengembangan pembelajaran matematika pada ABK adalah proses yang


melibatkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran yang di sesuaikan
dengan kebutuhan setiap anak. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan
oleh penulis, ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam pengembangan
pembelajaran matematika pada anak berkebutuhan khusus (ABK), yaitu:

1. Perlu adanya strategi belajar bagi semua kelas ABK, maksudnya adalah merancang
prosedural yang memuat tindakan yang harus dilakukan oleh guru dalam proses
pembelajaran untuk mencapai sebuah tujuan. Guru harus memperhatikan kebutuhan setiap
anak dan menggunakan strategi yang sesuai untuk setiap kelas anak ABK yang di
sesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan anak tersebut.

2. Substansi materi matematika, maksudnya yaitu setiap guru harus memerhatikan maateri
matematika yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.
Tentunya, materi pun harus di sesuai kan dengan kelas nya masing-masing dan kebutuhan
anaknya masing-masing.

3. Memberikan bimbingan secara khusus, disini guru harus memberikan bimbingan yang
intens dan jelas untuk anak berkebutuhan khusus. Karena jikalau tidak, mungkin akan
menimbulkan yang namanya keterlambatan dalam menghitung. Bimbingan harus di
disesuaikan dengan kebutuhan anak dan harus dapat dijelaskan dengan cara yang mudah
dan menarik untuk anak tersebut.

4. Adanya evaluasi pembelajaran, setiap guru harus mengevaluasi setiap pembelajaran


untuk mengetahui apakah anak berkebutuhan khusus memahami materi matematika yang
sudah dijelaskan sebelumnya.

III. METODE
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah menggunakan metode kualitatif.
Menurut Effendy, A. A. (2018), “Penelitian kualitatif ditujukan untuk memperoleh
pemahaman yang mendalam tentang situasi yang dihadapi. Teknik pengumpulan data
melalui observasi, dokumentasi, dan wawancara.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Wawancara:

Berdasarkan hasil dari wawancara yang telah penulis lakukan pada Kamis, 25
Januari 2024, kami meneliti strategi belajar matematika pada anak berkebutuhan khusus,
namun hanya pada dua klasfikasi ABK saja yaitu Tunarungu dan juga Tunagrahita.
Dimana kami hanya meneliti proses pembelajaran matematika hanya pada anak
tunarungu dan tunagrahita.

1. Tunarungu : pada anak tunarungu, di sekolah SLB Madina, tidak terdapat masalah
dalam proses belajar matematika. Karena menurut Ibu Ima selaku guru di kelas
Tunarungu pada SLB Madina mengatakan “Selama saya mengajar di sini, bahkan
hanya mata pelajaran matematika saja yang paling mudah untuk diajarkan. Karena
mengapa? karena matematika berupa angka yang dapat dilihat dan di praktikkan
langsung walau ada nya keterbatan dalam mendengar. Dan anak-anak pun lebih
semangat dalam belajar matematika ini. Yang paling sulit di ajarkan yaitu pelajaran
bahasa seperti bahasa Inggris, bahasa Indonesia, itu sulit banget pada mengajarkan
pada anak yang memiliki keterbatasan dalam mendengar, apalagi tunarungu ini ia di
barengi dengan ketidakmampuan juga dalam berbicara.
Jadi menurut saya tidak ada hambatan dari guru dalam mengajarkan mata
pelajaran matematika pada anak tunarungu,” ucap Ibu Ima. Memang pada anak
tunarungu dari hasil pengamatan kami pun tidak terlihat kesusahan dalam belajar
matematika ini. Hanya saja, ada beberapa anak yang memang masih sulit dalam
mendengar dan berbicara menggunakan bahasa isyarat sehingga guru perlu
menerapkan berbagai cara untuk membantu anak memahami materi matematika
ini.Dan juga ada beberapa anak yang memang kesulitan dalam memecahkan masalah
pada matematika, dari kesulitan anak ini guru pun mempunyai cara tersendiri untuk
melatih anak dengan memberikan latihan soal yang berupa gambar, menggunakan
alat peraga matematika, dan guru pun terus memotivasi anak untuk mengatasi
kesulitan tersebut.
2. Tunagrahita: pada anak tunagrahita sendiri, memang lebih sulit mengajarkan
matematika. Karena pada anak kelas tunagrahita sendiri di SLB Madina tersebut lebih
banyak kelas tunagrahita kelas berat dibandingkan kelas ringan nya. Jadi beberapa
guru pengajar di kelas tunagrahita pun memiliki kesulitan dalam memberikan
pengajaran matematika pada anak tunagrahita seperti:
a. kesulitan dalam menggali bahan ajar yang sesuai, karena jika tidak sesuai minat
dan perhatian siswa akan menurun dan tidak dapat meningkatkan aktivitas dan
keberhasilan pembelajaran mereka.
b. kesulitan dalam proses pemberian materi, pada anak tunagrahita apa yang di
ucapkan oleh Ibu Emi selaku guru di kelas tersebut bahwa “sulit sekali
mengajarkan matematika pada anak tunagrahita ini. karena memang mereka
tergolong ke dalam kelas berat. seperti kurangnya fokus dalam pembelajaran,
tantrum ketika diberikan materi, dan lain sebagainya yang memang kelas
tunagrahita ini hampir mrip dengan anak autisme,”

Dari kesulitan tersebut, guru perlu menggunakan metode pembelajaran yang


sesuai, memberikan motivasi, serta memahami karakteristik dan keterbatasan
anak tunarungu dan juga anak tunagrahita untuk mendukung dan meningkatkan
semangat pembelajaran matematika mereka.

❖ Strategi apa sih yang di gunakan oleh guru kelas Tunarungu dan Tunagrahita dalam
meningkatkan pembelajaran matematika ini?

Dari hasil wawancara kami, bahwa strategi pembelajaran anak tunarungu ini tidak
jauh berbeda dengan anak normal lainnya. Karena memang pada dasarnya, anak
tunarungu hanya memiliki keterbatasan dalam mendengar dan berbicara saja, namun
secara keseluruhan otak mereka sama dengan anak yang normal pada umumnya. Namun
disini, dari guru kelas tunarungu ini memiliki strategi tersendiri dalam pembelajaran
matematika, ia tak hanya memberikan materi mengenai matematikanya saja, namun ia
juga memberikan praktik langsung seperti anak-anak diajari cara mengurangi mata uang
ketika mereka jajan. Dan hal itu, membuar anak-anak semakin bersemangat dalam
mengikuti pembelajaran.

Sedangkan pada anak tunagrahita, seperti yang di katakan oleh Ibu Emi,
bahwasannya ia memberikan beberapa penguatan sebelum pembelajaran dimulai, seperti
penguatan positif dengan memberikan pujian, ataupun hadiah agar dapat meningkatkan
motivasi dan keterlibatan siswa dalam belajar matematika. Yang kedua, ia menggunakan
berbagai media yang konkrit yang nyata, seperti alat peraga matematika untuk membantu
anak tunagrahita memahami konsep nya secara nyata.

Dokumentasi:

V. KESIMPULAN

Kesimpulan dari artikel ini menggambarkan variasi kondisi dan tantangan yang
dihadapi oleh anak-anak berkebutuhan khusus, seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, ADHD, autis, lamban belajar, dan CIBI. Setiap klasifikasi memiliki
ciri-ciri dan karakteristik unik, memerlukan pendekatan pembelajaran yang berbeda.

Dari hasil wawancara, terlihat bahwa anak tunarungu menunjukkan minat dan
kemudahan dalam pembelajaran matematika, sementara anak tunagrahita menghadapi
kesulitan yang lebih besar. Guru-guru menghadapi tantangan khusus dalam mengajar anak
tunagrahita, termasuk dalam hal mendapatkan bahan ajar yang sesuai dan memahami
karakteristik siswa.
Namun, strategi pembelajaran yang diterapkan oleh guru-guru pada kedua
klasifikasi tersebut menunjukkan keberhasilan. Guru anak tunarungu memberikan praktik
langsung dan aktivitas yang mendukung pembelajaran matematika, sedangkan guru anak
tunagrahita menggunakan penguatan positif dan media konkrit untuk membantu pemahaman
konsep matematika. Kesimpulannya, pendekatan dan strategi yang tepat dapat meningkatkan
pembelajaran anak-anak berkebutuhan khusus dalam konteks mata pelajaran matematika.

VI. SARAN

Saran dari hasil wawancara ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi tantangan
pembelajaran matematika pada anak berkebutuhan khusus, terutama Tunarungu dan
Tunagrahita, diperlukan pendekatan yang spesifik. Bagi anak Tunarungu, fokus pada visual
dan praktik langsung dapat menjadi kunci keberhasilan, seperti yang dilakukan guru di SLB
Madina dengan menggunakan gambar dan alat peraga matematika.

Sementara itu, untuk anak Tunagrahita, diperlukan strategi yang memahami


karakteristik kelas berat mereka, termasuk kesulitan dalam fokus dan respons terhadap
materi. Guru perlu menggali bahan ajar yang sesuai dengan minat mereka, memberikan
penguatan positif sebelum pembelajaran, dan menggunakan media konkrit untuk
memahamkan konsep. Selain itu, perlu adanya kerja sama antar guru untuk berbagi strategi
dan pengalaman guna meningkatkan efektivitas pembelajaran matematika pada kedua
klasifikasi ABK tersebut.

VII. DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Marzal , J., & Rohati. (2014). Pengembangan Media Pembelajaran Matematika
Interaktif Berbasis Android untuk Menumbuhkan Motivasi Belajar Anak Dislekta pada
Materi Eksponensial. Edumatica, 4(2), 66-76.

Abdullah, dan Nandiyah. 2013. “Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus.” Magistra 25 (86): 1–
10.

Astuti. (2016). Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stay (TSTS)
Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII SMP Negeri 2 Bangkinang Kota.
Cendikia, 11–28.
Efendi,M. (2006). Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: PT.Bumi Aksara.

Hidayat. 2021. “ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS Kelompok Bermain,” 1–51.

Hidayat, A. (2017). Penggunaan strategi mencari jawaban untuk meningkatkan hasil belajar
matematika siswa kelas v sdn 030 pulau permai kecamatan tambang kabupaten kampar.
Journal Cendekia: Jurnal Pendidikan Matematika, 1(1), 88–99.

Hikmah, H. (2017). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Realistik pada Siswa


Kelas V SD. Jurnal Saintefik, 3(1), 24–30.

Mahastuti, Dewi. 2011. “Mengenal Lebih Dekat Anak Lambat Belajar.” Personifikasi: Jurnal
Ilmu Psikologi 2 (1): 42–48. https://journal.trunojoyo.ac.id/personifikasi/article/view/702.

Purba Bagus Sunarya, Muchamad Irvan, and Dian Puspa Dewi. 2018. “Kajian Penanganan
Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus.” Jurnal Abadimas Adi Buana 2 (1): 11–19.
https://doi.org/10.36456/abadimas.v2.i1.a1617.

RI, U. (2003). Undang - Undang Republik Indonesia no 20 tahun 2003.

Setyowati, L. K. (2014). Analisis Kesulitan Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Belajar


Matematka Di Kelas Inklusi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Travelancya, Terza, and Intan Sa’adatul Ula. 2022. “Pendidikan Inklusi Untuk Anak Dengan
Gangguan Emosi Dan Perilaku (Tunalaras).” Absorbent Mind.
https://doi.org/10.37680/absorbent_mind.v2i01.1436.

Anda mungkin juga menyukai