Anda di halaman 1dari 4

Kajian Literatur terhadap artikel yang terpublikasi di jurnal dengan focus permasalahan Pendidikan

bagi ASD

Autisme berasal dari bahasa Yunani yakni kata “Auto” yang berarti berdiri sendiri. Arti kata ini
ditujukan pada seseorang penyandang autisme yang seakan-akan hidup didunianya sendiri. Safaria
(2005: 1), memaparkan bahwa Kenner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan
berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang
tertunda, ecolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktifitas bermain yang repetitif dan stereotif,
ingatan yang sangat kuat. (Suteja, J., 2014)

Autis bisa mengenai siapa saja, baik yang sosio-ekonomi mapan maupun kurang, anak atau
dewasa, dan semua etnis. Sekalipun demikian anakanak di negara maju pada umumnya memiliki
kesempatan terdiagnosis lebih awal sehingga memungkinkan tatalaksana yang lebih dini dengan hasil
yang lebih baik. Jumlah anak yang terkena autisma makin banyak. Jumlah kasus autis di Kanada dan
Jepang pertambahannya mencapai 40% sejak 1980. Sementara itu di California pada tahun 2002
disimpulkan terdapat 9 kasus autisme per-harinya. Sedangkan di Amerika Serikat disebutkan autisme
terjadi pada 6.000-15.000 anak dibawah 15 tahun. Gejala autisme biasanya sudah tampak sebelum anak
berusia 3 tahun, yaitu antara lain dengan tidak adanya kontak mata dan tidak menunjukkan respons
terhadap lingkungan. Jika tidak segera dilakukan terapi, setelah usia 3 tahun perkembangan anak
terhenti bahkan cenderung mundur, seperti tidak mengenal orang tuanya dan tidak mengenal namanya
(Saharso, 2004).

Pendidikan vokasi adalah pendidikan yang menunjang pada penguasaan keahlian terapan
tertentu. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji implementasi pendidikan vokasi bagi Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) di sekolah regular guna menghadapi tantangan jaman. Dalam pembelajaran, anak
berkebutuhan khusus memiliki karakter dan modalitas berbeda dengan peserta didik normal. Untuk itu,
pendekatan, metode, teknik, dan taktik pembelajaran perlu disesuaikan dengan kebutuhan belajar agar
bermakna sesuai dengan anak berkebutuhan khusus. Permendiknas Nomor 70 tahun 2009. Pendidikan
karakter dapat diwujudkan dengan mengaktualisasikan nilai-nilai yang ada pada diri anak didik yang
ditandai dengan pembelajaran ramah anak. Implementasi pendidikan karakter pada sekolah reguler
ditandai dengan pembelajaran ramah anak, berempati, pembelajaran berpusat pada peserta didik, dan
pembelajaran sesuai dengan kebutuhan belajar peserta didik. Sekolah perlu melakukan asesmen
identifikasi kebutuhan peserta didik, melengkapi sarana prasarana berbasis Anak Berkebutuhan Khusus
dan aksesabilitas sekolah ramah anak. Dengan demikian kurikulum, pembelajaran, interaksi, serta
penilaian pembelajaran akan disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus. Inilah
nilai karakter yang sebenarnya, yaitu pembelajaran yang menghargai peserta didik. Pembelajaran
Keterampilan dan Kecakapan Hidup Bagi Anak berkebutuhan khusus diperlukan oleh setiap individu
dalam upaya kelangsungan hidupnya. (Wahyuni N., 2009)

Pusat Layanan Autis (PLA) Kota Malang merupakan PLA yang pertama kali didirikan di Indonesia.
PLA Kota Malang merupakan Unit Pelayanan Terpadu yang dibangun oleh pemerintah sejak tahun 2011
melalui bantuan Direktorat PK-LK melalui APBN dan APBD II. Sejak tahun 2012 PLA Kota Malang mulai
beroperasi dan menerima anak spektrum autis. PLA dibangun oleh pemerintah sebagai sarana untuk
membantu proses penyembuhan anak autis yang jumlahnya semakin bertambah. Pemerintah
menyediakan layanan terpadu dengan biaya yang terjangkau agar dapat tersentuh oleh seluruh lapisan
masyarakat.

Metode pembelajaran yang diterapkan PLA Kota Malang adalah Metode Structures Teaching
dengan pendekatan TEACCH. Secara Bahasa Strutured Teaching berarti pembelajaran terstruktur.
Sedangkan TEACCH (Treatment and Education of Autistic and related Communication handicapped
Children) adalah suatu program pembelajaran untuk anak autis yang mengacu pada kebutuhan setiap
individu (Nurina, 2015). Hal terpenting dalam program TEACCH adalah structured teaching. Terdapat
empat komponen penting yaitu, struktur fisik, jadwal, system kerja, dan struktur visual. Keempat
komponen tersebut saling berhubungan dan terkait satu sama lain agar tujuan dalam membantu
perkembangan anak autis dapat tercapai. (Pramesti, R.N.H., 2019)

Dari pendapat jurnal oleh Kamid tahun 2011 yang berjudul “Pemerolehan Pengetahuan
Matematika Bagi Siswa Autis Pada Permulaan Bangku Sekolah”. Ia mengatakan ada 3 kriteria
pemahaman pembelajaran pada anak autis sebagai berikut :

1. Kriteria ini, pada operasi penjumlahan, masalah pertama muncul ketikanak autis tidak dapat
memanggil sebagian dari urutan bilangan yang telah tersimpan dalam memori, anak autis hanya
tahu tentang urutan bilangan. Masalah kedua, sulit menggunakan lambang bilangan untuk
operasi bilangan akan tetapi dapat menjumlahkan objek-objek dalam suatu kumpulan. Pada
kasus pertama ini dapat disimpulkan bahwa anak autis dapat memperoleh pengetahuan
matematikanya (berhitung) hanya melalui bantuan objek-objek atau benda-benda yang secara
nyata dapat dihitung.
2. Kedua, pada kriteria ini juga diketahui bahwa seorang anak mempunyai kemampuan spatial
yang sangat baik. Anak autis mempunyai kemampuan keruangan yang baik akan tetapi
kemampuan imajinasi terhadap suatu objek sangat kurang. Pada kriteria ini dapat dikatakan
bahwa anak autis juga mempunyai pengetahuan keruangan meskipun daya imajinasinya sangat
terbatas. Keterbatasan daya imajinasi ternyata dapat muncul jika pembelajaran terhadap suatu
materi dilakukan berulang-ulang.
3. Pada kriteria ini diketahui bahwa anak sangat sedikit mengeluarkan kata untuk
berkomunikasi, akan tetapi mempunyai kemampuan yang sangat baik dalam berhitung dan
mendeskripsikan suatu kejadian dengan coretan. Menurut Van Tiel (2007) anak seperti ini
disebut gifted atau berbakat. Hambatannya hanya pada komunikasi lisan atau wicara akan tetapi
kemampuan yang lain seperti kemampuan aritmatik, pengukuran dan keruangan dapat
dikatakan sangat baik. Anak tipe ini dalam memperoleh pengetahuan matematikanya meskipun
masih memerlukan bantuan benda konkrit, akan tetapi kemampuan imajinasinya sangat baik,
siswa autis dapat menghitung obyek secara berurutan. Akan tetapi ketika berhenti menghitung
dan ditanyakan berapa banyaknya obyek yang telah dihitungnya, tidak dapat menyatakan
banyaknya obyek yang telah dihitungnya. Kardinalitas dari suatu himpunan obyek, ternyata
harus dilakukan beulang-ulang dan dengan banyak anggota yang berbeda. Shadow atau guru
harus menyatakan dulu dan diikuti oleh subyek dengan melafalkan. Ternyata cara demikian
dapat menumbuhkan pengetahuan kardinalitas himpunan bagi siswa autis. Penumbuhan skema
pada anak autis berjalan sangat lambat dan harus dilakukan pengulangan yang kontinu hingga
terbentuk skema pengetahuan dimaksud. ( Ulva, M. and Amalia, R., 2020)
Pola pelaksanaan bimbingan dan konseling dalam mengoptimalkan kemampuan anak
autis ini terbagi menjadi tiga tahapan yaitu melakukan identifikasi anak dan keluarga sebagai
dasar melakukan pemetaan kemampuan dan hambatan, selanjutnya berdasarkan hal tersebut
dirancang sebuah program bimbingan dan konseling yang memberikan solusi terhadap
permasalahan yang ada. Pada akhirnya dalam melaksanakan eksekusi untuk mengoptimalkan
kemampuan anak autis ini terdapat tiga aspek yang memegang peranan penting, yaitu anak
yang menjadi subjek utama, orangtua atau keluarga yang membantu anak dalam
mengoptimalkan kemampuannya, dan konselor atau pembimbing yang secara langsung ataupun
tidak langsung membimbing dan mengawasi orangtua, anak autis serta hubungan diantaranya
selama pelaksanaan di lapangan. (Sari, N., 2016)
DAFTAR PUSTAKA

Ulva, M. and Amalia, R., 2020. Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan
Khusus (Autisme) di Sekolah Inklusif. Journal on Teacher Education, 1(2), pp.9-19.

Pramesti, R.N.H., 2019. Ruang Gerak Anak Autis di Pusat Layanan Autis Kota Malang dengan
Pendekatan TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped
Children) (Doctoral dissertation, Universitas Brawijaya).

Saharso, D. (2004). Peran Neurologi Pediatri dalam Usaha Melawan Autisme. Anima Indonesian
Psychological Journal. Vol 20. No: 2. 116-127.
Sari, N., 2016. Pola Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling untuk Mengoptimalkan Kemampuan
Anak Autis di Sekolah Dasar. JBKI (Jurnal Bimbingan Konseling Indonesia), 1(2), pp.31-35.

Suteja, J., 2014. Bentuk dan metode terapi terhadap anak autisme akibat bentukan perilaku
sosial. Edueksos: Jurnal Pendidikan Sosial & Ekonomi, 3(1).

Wahyuni, N., 2019. Peran pendidikan vokasi bagi anak berkebutuhan khusus dalam menghadapi
tantangan zaman. KELUARGA: Jurnal Ilmiah Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, 4(2), pp.137-147.

Anda mungkin juga menyukai