Initial assessment merupakan suatu siklus penilaian yang dilakukan dengan cepat untuk
menangani pasien gawat dan kritis yang diikuti dengan tindakan resusitasi. Tindakan initial
assessment dimulai dengan mengidentifikasi identitas pasien, melakukan triase dan setelah itu
dilanjutkan dengan tindakan survey primer yaitu penilaian pada A (airway) B (breathing) C
(circulation) D (disability) E (exposure)
Yang utama dinilai atau kelancaran jalan nafas, meliputi adanya obstruksi jalan nafas, fraktur tulang
(wajah,mandibula/maksila,laring/trakea)
1. Trauma kepala dengan penurunan kesadaran (nilai GCS 3-8 mendandakan cidera otak parah,
9-12 menandakan cidera otak sedang, dan 13-15 menandakan cidera otak minor),
2. Luka /jejas trauma tumpul di atas klavikula,
3. Multiple trauma (2 regio trauma/lebih),
4. Biomekanik trauma yang mendukung (proses/mekanisme terjadinya kecelakaan,saat,
sebelum, dan sesudah kejadian)
Pertukaran gas/oksigen yang terjadi saat bernafas mutlak diperlukan untuk proses metabolisme
tubuh. Penilaian yang perlu dilakukan dalam tahap penilaian pernapasan : Frekuensi pernafasan,
Adanya retraksi dinding dada, Perkusi dada, Auskultasi paru serta Oksimetri (97%-100%). Perhatikan
keadaan/cidera yang dapat mengancam nyawa seperti : Tension pneumothorax, Flail chest, Open
pneumothorax, Hemothoraks massif, dan Tamponade jantung
Pada penilaian sikulasi ini menitikberatkan pada penilaian tentang sirkulasi darah yang dapat
dilihat dengan penilaian sebagai berikut :
kenali keadaan syok : nadi teraba lemah dan cepat, akral dingin, nafas cepat, penurunan kesadaran,
dan tekanan daran turun
D (disability) evaluasi neurology
Penilaian untuk disability adalah untuk menilai bagaimana tingkat kesadaran, salah satunya
dengan GCS
"Glasgow coma scale (GCS) adalah alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran
seseorang. Pengukurannya berdasarkan tiga aspek, yaitu respons pembukaan mata, verbal, dan
motorik.”
a. Membuka mata secara spontan, pembukaan mata secara spontan dicatat ketika pasien
diamati terjaga dengan mata terbuka. Pengamatan ini dilakukan tanpa ucapan atau
sentuhan. Pembukaan mata spontan diberi skor 4.
b. Membuka mata terhadap kata-kata, pembukaan mata dengan kata-kata bisa terjadi ketika
pasien membuka matanya, setelah mendengar perintah yang keras dan jelas. Respons
pembukaan mata ini diberi skor 3.
c. Membuka mata terhadap rasa sakit, pembukaan mata terhadap rasa sakit bisa dicatat. Hal
ini terjadi ketika pasien membuka matanya ketika diberi rangsangan yang menyakitkan.
Contohnya seperti tekanan pada ujung jari atau tekanan pada punggungan supraorbital.
Respons pembukaan mata ini diberi skor 2.
d. Tidak membuka mata, Bila pasien tidak membuka mata setelah diberi stimulus menyakitkan,
maka respons pembukaan mata diberikan skor 1.
a. Mematuhi perintah. Kemampuan pasien untuk mematuhi perintah dinilai ketika pasien bisa
melakukan apa yang diminta petugas kesehatan. Misalnya seperti menggenggam dan
melepaskan jari petugas. Pasien yang menunjukkan respon ini mendapat skor 6.
b. Lokalisasi rasa sakit. Bila pasien tidak merespon terhadap perintah verbal, ia harus diberi
rangsangan nyeri. Lokalisasi adalah respon yang mengindikasi fungsi otak yang lebih baik.
Tekanan punggungan supraorbital dianggap sebagai teknik yang paling baik untuk menilai
lokalisasi. Namun, pada pasien yang mengalami fraktur wajah atau pembengkakan mata
yang parah, mencubit daun telinga lebih baik daripada menerapkan tekanan punggungan
supraorbital. Untuk diklasifikasikan sebagai lokalisasi rasa sakit, pasien harus menggerakkan
tangannya ke titik rangsangan, mengangkat tangan ke atas dagu dan melintasi garis tengah
tubuh. Seorang pasien yang menunjukkan respon motorik ini diberi skor 5.
c. Respons fleksi normal. Bila tidak terlihat adanya lokalisasi nyeri, pasien bisa diuji untuk
respons fleksi normal. Respons ini dicatat ketika pasien menekuk lengannya ke siku sebagai
respons terhadap stimulus yang menyakitkan. Ini adalah respons yang cepat, sama seperti
ketika menyentuh sesuatu yang panas. Seorang pasien yang memiliki respon fleksi terhadap
nyeri diberikan skor 4.
d. Fleksi Abnormal. Ketika pasien menekuk siku sebagai respons terhadap stimulus yang
menyakitkan. Namun, respons ini jauh lebih lambat daripada fleksi normal, dan bisa disertai
dengan fleksi pergelangan tangan kejang. Seorang pasien yang menunjukkan respon motorik
ini terhadap rasa sakit diberi skor 3.
e. Ekstensi Rasa Sakit. Ketika tidak ada fleksi abnormal terhadap stimulus nyeri. Pasien akan
menunjukkan pelurusan sendi siku, gerakan anggota badan atau bagian lain ke arah garis
tengah tubuh atau ke arah bagian lain, serta rotasi internal bahu dan rotasi ke dalam dan
fleksi kejang pergelangan tangan. Pasien yang memiliki ekstensi rasa sakit diberikan skor 2.
f. Tidak Ada Respons Motorik. Bila pasien tidak memberi respons apa pun terhadap stimulus
nyeri, ia diberikan skor 1.
• Hati Hati hati saat membuka membuka pakaian jangan banyak menggerakkan pasien
Evaluasi ulang ABCDE untuk melihat keberhasilan resusitasi, jika pasien stabil, rujuk pasien ke
fanyankes sesuai kebutuhan pasien.