Anda di halaman 1dari 44

KONSEP MODERASI GERAKAN DAKWAH KIAI NAHDLATUL ULAMA

DI KOTA SAMARINDA
THE CONCEPT OF MODERATION OF THE DA’WAH MOVEMENT KIAI
NAHDLATUL ULAMA IN THE CITY OF SAMARINDA

Muhaemin
Pascasarjana Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Indonesia
muhaeminalmumin96@gmail.com

Abstract
The abstract ranges about 250-300 words, which discusses research problems, research methods used, research
findings, analysis and research conclusions (discussion). Abstract does not need to include pictures, tables,
formulas, or library citations. Writing with Microsoft Word 6.0 software, font PALATINO LINOTYPE, 10pt, space 1.
Keywords: Consists of 3-5 phrases.

Abstrak
Abstrak berkisar 250-300 kata, yang membahas tentang Pemasalahan penelitian, Metode penelitian yang
digunakan, Temuan penelitian, Analisis dan kesimpulan penelitian (pembahasan). Abstrak tidak perlu
mencantumkan gambar, tabel, rumus, atau kutipan pustaka. Penulisan dengan software Microsoft Word 6.0,
font PALATINO LINOTYPE , 10pt, spasi 1.
Kata kunci: Terdiri atas 3-5 kata.

PENDAHULUAN

Rasulullah Saw adalah role model dalam menyiarkan pesan-pesan Islam

menyejukkan. Ini dapat dilihat dari pesan dakwahnya yang lemah lembut, penuh

simpatik, selalu mempertimbangkan ucapan dengan melihat mudharat dan manfaat, serta

tidak berkata dan bertindak kasar apalagi sampai mendzolimi (As-Salim, 2001). Khalifah

Umar bin Al-Khatab dan sahabat lain juga ikut mempraktikkannya, sebagaimana

dikatakan Karen Armstrong, “sebelum tentara salib tiba di kota Yarussalem tahun 1099

dan membunuh 40.000 umat Islam, Yahudi, Nasrani, umat Islam sudah mengedepankan

dan mempraktikkan akhlak mulia. Buktinya, selama 460 tahun atau hampir separuh

millennium, Islam dapat hidup berdampingan secara damai dengan agama-agama lain”

(Departemen Agama, 2008). Sifat dan karakter di atas terus dilakukan yang kemudian
mendasari praktik setiap gerakan dakwah tabi’in, tabi’ut-tabi’in, hingga ulama-ulama

sampai saat ini.

Di Nusantara, gerakan dakwah pertama kali dipelopori para wali dan ulama,

seperti wali songo pada abad ke-7 M/1 H. Menurut Burger sebagaimana dinukil Ahmad

Mansyur Suryanegara dalam Api Sejarah, dan Prajudi dalam Sejarah Ekonomis Sosiologis

Indonesia, ketika melaksanakan dakwahnya di masyarakat para wali melakukan cara-cara

bijak dan mengubah tradisi atau kebiasan yang tidak sesuai dengan Islam melalui

pendekatan budaya (Suryanegara, 2018). Hal inilah yang menyebabkan Islam berkembang

pesat di bumi Nusantara (Indonesia), dan menjadikan Islam sebagai agama paling banyak

dianut hingga saat ini (Abdullah, 1975).

Gerakan dakwah di Indonesia memiliki beragam karakteristik seperti gerakan

Islam pemurni atau yang dikenal dengan Inkarus Sunnah. Gerakan Inkarus Sunnah

direpresentasikan oleh organisasi keagamaan seperti Persatuan Islam (Persis). Dikatakan

gerakan Ingkarus Sunnah atau Pemurni, karena berupaya mencari keaslian dari agama

yang dianutnya sembari meleburkan segala perbuatan berkaitan dengan ajaran dan

amalan yang tidak asli dari sebuah agama. Lebih dari itu, mereka disclaimer terhadap

hadis dan mengklaim bahwa hanya al-Qur’an saja sumber ajaran Islam yang otentik, dan

hanya al-Qur’an pula sebagai sumber asli dan sumber hukum yang harus diikuti (Khon,

2012). Selanjutnya Gerakan Islam Darul Hadis, dikatakan demikian karena pengamalan

mereka hanya tertuju kepada hadis-hadis shahih dan hadis-hadis terpilih. Gerakan ini

merupakan respon dari gerakan Pemurni yang tidak meyakini hadis sebagai sumber

hukum kedua setelah al-Qur’an. Gerakan ini dipraktikkan oleh organisasi Islam Jama’ah,

yang mempunyai organisasi internal dengan sebuah pola kepemimpinan militer yang

bersifat otoriter dan sentralis. Gerakan ini tidak memiliki cita-cita politik atau sosial

tertentu, juga tidak terlihat unsur protes dan terbilang eksklusif yakni menghindar

berhubungan dengan orang yang ada disekitarnya (Tohri, 2020).

Gerakan dakwah lainnya adalah gerakan Islam Simbolik yang direpresentasikan

oleh organisasi massa seperti FPI. Machfud Syaefudin dalam risetnya mengategorikan FPI

sebagai gerakan Islam simbolik karena merupakan cermin dari adanya proses
komodifikasi dan politisasi agama dalam proses sosial. Selain itu FPI dikenal sebagai

gerakan dakwah berbasis kultural yakni gerakan memberantas berbagai kemaksiatan

melalui cara keras dengan dalih menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (Syaefudin, 2014).

Selain gerakan Islam Simbolik, muncul juga gerakan dakwah Salafi. Gerakan ini

mengusung ide yang disandarkan pada diskursus salaf dengan upaya untuk memurnikan

kembali ajaran Islam yang telah terkontaminasi dengan berbagai macam kultur yang

mengarah kepada kesyirikan. Gerakan ini dikatakan sebagai gerakan sosial yang memiliki

framing dalam pengemasan ideologinya yang mengatakan bahwa, umat Islam saat ini

tengah mengalami kemunduran setalah masa kejayaan di zaman Nabi dan Sahabat,

sehingga orang-orang kafir selalu berkumpul dan mengajak untuk senantiasa membuat

konspirasi jahat terhadap Islam. Akibatnya, untuk mengartikulasikan kondisi-kondisi

kekinian yang dialami umat Islam, gerakan dakwah salafi merumuskan solusi untuk

mengembalikan kejayaan umat dengan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah sesuai

pemahaman para Sahabat. Dalam praktik dakwahnya gerakan ini memiliki misi yang

sama dengan gerakan Neo-Fundamentalisme Islam, hanya saja yang membedakannya

adalah gerakan ini direpresentasikan oleh kolompok Salafi Radikal (Fealy, 2005).

Dikatakan demikian karena kelompok ini bergerak dengan sebuah faham keagamaan

yang ekstrim, keras, bahkan dalam memahami konsep dakwah yang universal secara

pertikular. Dakwah yang bermula dari makna “menyampaikan” serta melakukan upaya

sungguh-sungguh dalam mengerahkan segala tenaga, pikiran dan harta untuk

kebangkitan, ternyata berubah menjadi artifisial dan fisikal (Qodir, 2008).

Gerakan lain yang sering muncul dan seperti menjadi paket terusan untuk ditonton

adalah fenomena gerakan dakwah oleh kelompok yang merasa paling benar sendiri,

sehingga dengan mudahnya mengkafirkan (takfiri), serta membid‘ahkan orang yang tidak

sepemahaman, dan lebih ekstrim lagi adanya kelompok yang memiliki paham jihad keliru

atau dikenal dengan terorisme (Ma’arif, 2009). Diantara persoalan yang sering dilontarkan

adalah al-Hakimiyyah dan faham takfiri yang menjadi pijakan seluruh kelompok radikal

saat ini dari ISIS (Islamic State of Iraq and Syiria), berkembang pada gerakan-gerakan dan

organisasi-organisasi cabang serta seluruh sempalanya (Dawood, 2017). Akibatnya,


dakwah yang harusnya menuntut umat Islam mengedepankan perilaku terpuji, lembut

dalam melaksanakan setiap aktivitas dakwah, sebagaimana firman Allah Swt dalam al-

Qur’an surah an-Nahl ayat 125: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan

pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah

yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih

mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk, justru terkesan radikal dan ekstrim

sehingga terjadi pergeseran dari model dakwah yang ramah, menjadi dakwah yang marah

serta mengakibatkan pertikaian dan permusuhan.

Fenomena dakwah yang ramai menjadi perbincangan juga terlihat di media sosial.

Dakwah ini terinfiltrasi gerakan politik sehingga menjadi ajang untuk menggait kuantitas

jama’ah. Akibatnya sesama ustadz saling mencaci dan melontar perkataan buruk.

Terdengar juga pemberitaan viral mengenai pernyataan ustadz di media sosial bahwa

“jika imam masjid, khatib dan Menteri Agama bukan dari nahdliyyin, maka akan salah

semua” (DetikNews, 2019).

Dalam merespon berbagai model gerakan dakwah tersebut, NU sebagai organisasi

keagamaan mengangkat kembali sebuah konsep yang dinamakan al-Wasathiyyah al-

Islamiyyah (moderasi Islam). Konsep al-Wasathiyah didasarkan pada Qur’an Surah al-

Baqarah ayat 143:


‫ۡل َٰن ُك ۡم ُأَّم ٗة طٗا ِّل ُك وُنوْا ٓا َلى ٱلَّناِس ُك وَن ٱلَّر وُل َلۡي ُك ۡم ِه يدٗۗا‬ ‫َٰذ ِل‬
‫َش‬ ‫ُس َع‬ ‫َو َي‬ ‫ُش َه َد َء َع‬ ‫َو َس َت‬ ‫َو َك َك َجَع‬
Terjemah: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu”… (QS. Al-Baqarah: 143)

Moderasi Islam inilah yang senantiasa digalakkan dan dipraktikkan oleh NU dalam

menghadapi gejolak pemikiran radikal dalam dakwah saat ini. Ini tergambarkan sesuai

dengan Khittah al-Nahdliyah 1926, yang memiliki worldview (cara pandang, cara berpikir,

sikap batin, cara bertindak, sikap personal, sikap sosial) dan paham keagamaan yang

wasathiyyah (moderat), i’tidal (adil), tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang) dan amar

ma’ruf nahi munkar (Rumadi, 2015). Dengan sikap demikian, NU senantiasa berpartisipasi

serta ikut andil dalam mengembangkan dan membangun masyarakat menjadi masyarakat

yang bertakwa kepada Allah Swt, berakhlak mulia, jauh dari sikap radikal, adil, tentram
dan sejahtera. Berititik-tolak dari permasalahan di atas, penulis akan mengkaji lebih lanjut

konsep wasathiyyah (moderasi) dalam gerakan dakwah kiai NU di Samarinda.

Kajian Teoritis

A. Wasathiyyah/Moderasi

Pengertian Wasathiyyah/Moderasi

Makna etimilogis ‘al-Wasathiyyah’ terjemahan bahasa Indonesia ‘Moderat’ merujuk

pada tiga makna. Pertama kebaikan dan keadilan. Orang Arab menyebut orang baik dalam

garis keturunannya “Min Ausathi Qaumihi” (orang yang paling baik dari kaumnya dan

yang paling utama) (Makram, 2003) (Hanafi, 2013).

Kedua balance atau seimbang dalam segala hal. Al-Raghib dalam al-Mufradat

mengungkapkan al-Wasath yang merupakan akar kata ‘moderat’, adalah sikap seimbang

yang terlindungi dari sikap melebihkan (ekstrim kiri/ifrath) dan mengurangkan (ekstrim

kanan/tafrith) (Al-Asfahani, 1412). Ketiga, bermakna di tengah atau diantara dua ujung

sesuatu atau berada ditengah diantara dua hal. Keistimewaan makna yang ditunjukkan

kata al-Wasath (akar kata moderat) adalah adanya keseimbangan. Ibn Faris mengatakan

wa-sa-tha (wawu sin tha) sebuah konstruksi kata kerja baik yang menunjukkan makna

‘keadilan’, dan sesuatu yang paling adil adalah yang berada paling tengah (Faris, 1979).

Derivasi kata wasath disebutkan tiga kali dalam al-Qur’an diantaranya al-Baqarah ayat

143, 238, dan surat al-Qalam ayat 48 (Al-Asfahani, 2009).

Menurut terminologi, wasath adalah nilai-nilai Islam yang dibangun atas dasar pola

pikir lurus, pertengahan, dan tidak berlebihan dalam hal tertentu. Adapun makna

‘ummatan wasathan’ pada surat al-Baqarah ayat 143:


‫ۡل َٰن ُك ۡم ُأَّم ٗة طٗا ِّل ُك وُنوْا ٓا َلى ٱلَّناِس ُك وَن ٱلَّر وُل َلۡي ُك ۡم ِه يدٗۗا‬ ‫َٰذ ِل‬
‫َش‬ ‫ُس َع‬ ‫َو َي‬ ‫ُش َه َد َء َع‬ ‫َو َس َت‬ ‫َو َك َك َجَع‬
Terjemah: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu”. (QS. Al-Baqarah [1]: 143)

Maksudnya, umat Islam umat yang paling sempurna agamanya, paling baik

akhlaknya, paling utama amalnya. Allah Swt telah menganugerahi ilmu, kelembutan budi
pekerti, keadilan, dan kebaikan yang tidak diberikan kepada umat lain. Oleh karena itu,

mereka menjadi ummatan wasathan, umat sempurna, adil, dan menjadi saksi bagi seluruh

manusia pada hari kiamat (Asyur, 1984).

Ibnu Katsir menafsirkan ummatan wasatan ayat di atas sebagai umat terpilih,

terbaik, adil, karena kelak menjadi saksi atas perbuatan manusia atau umat lainnya bahwa

setiap Rasul sudah menyampaikan risalah kepada umatnya. Allah Swt telah menjadikan

umat Nabi Muhammad Saw sebagai umat terbaik, dan Allah telah mengkhususkannya

dengan syari’at yang paling sempurna, tuntunan yang paling lurus, serta jalan yang

paling jelas.

Para sarjanawan kontemporer juga ikut mendefinisikan al-Wasathan. Yusuf Al-

Qaradawi mengatakan wasatan adalah umat seimbang (tawazun) diantara dua aspek yang

saling bersebrangan, memberikan hak secara adil tanpa adanya diskriminasi, penindasan,

pengurangan, berlebih-lebihan, dan melampaui batas (Al-Qardhawi, 1989). Makna serupa

dinyatakan Ibnu ‘Asyur sebagai sesuatu yang ada di tengah, atau sesuatu yang memiliki

dua belah ujung yang ukurannya sebanding (Asyur, 1984). Adapun al-Jazâ’iri

mendefinisikan kata wasath sebagai umat pilihan yang adil, terbaik dan umat yang

memiliki misi meluruskan (Al-Jaza’iri, 1990).

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, makna al-Wasathiyyah dari

segi bahasa membentuk makna dalam istilah syar’i yakni keadilan dan keseimbangan

dalam setiap hal, tidak berlebihan juga tidak terlalu kekurangan. Demikian halnya dalam

Sunnah Nabi, muncul dengan makna yang sama persis sebagaimana dalam al-Qur’an

yaitu keadilan dan kebaikan.

Dengan demikian al-Wasathiyyah al-Islamiyyah (Moderasi Islam) dalam penelitian ini

adalah suatu sikap atau perbuatan, pemikiran, serta cara pandang dalam gerakan dakwah

yang karakter dan sifatnya tengah-tengah, baik, terpuji, serta senantiasa tawazun

(seimbang) dalam menyikapi keadaan perilaku di masyarakat. Lawan dari konsep

wasathiyyah adalah ‘pinggir’ (ath-tharf) yang berkonotasi negatif, radikal, ekstrem dan

berlebihan.
Bentuk-Bentuk Moderasi Dalam Islam

Ajaran Islam mulai dari akidah, ibadah, akhlak, muamalah, bercirikan wasathiyah.

Ciri ini dalam al-Qur’an disebut as-Sira>tal Mustaqi>m (jalan lurus/ kebenaran), yang

berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al-Magdu>bi ‘alaihim/Yahudi) dan sesat (ad-

da>lli>n/ Nasrani). Al-Magdu>bi ‘alaihim dipahami sebagai kelompok Yahudi karena telah

menyimpang dari jalan lurus dengan membunuh para nabi dan berlebihan dalam

mengharamkan sesuatu. Sementara kelompok Nasrani ad-d>alli>n karena berlebihan

sampai mempertuhankan nabi (Razi, 1995). Umat Islam berbeda dengan dua sikap

Yahudi-Nasrani, sehingga dalam al-Qur’an dijuluki ummatan wasatan.

Sikap berlebihan Yahudi-Nasrani menjadikan tatanan kehidupan umat terdahulu

rusak. Dalam hadis disebutkan “Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama, sesungguhnya sikap

berlebihan telah membinasakan umat sebelum kalian” (HR. Ibnu Majah). Melihat sebab wurud

hadis, ada satu pesan yang disampaikan Rasul, yaitu sikap berlebihan dalam beragama

terkadang dimulai dari hal kecil sehingga merembet menjadi lebih besar. Kenyataan yang

dihadapi saat ini, semangat keberagamaan yang tinggi telah mendorong sebagian

kalangan, terutama kalangan muda mengambil sikap berlebihan (al-guluww) dalam

memahami teks-teks keagamaan. Sikap ini menurut Yusuf al-Qaradawi (1992) biasanya

diikuti dengan:

a. Fanatisme terhadap satu pemahaman dan sulit menerima pandangan yang berbeda.

b. Pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti pandagan tertentu yang biasanya

sangat ketat dan keras.

c. Suuzan (negative thinking) terhadap orang lain karena menganggap dirinya paling be-

nar.

d. Menganggap orang lain yang tidak sepaham kafir sehingga halal darahnya.

Sikap tersebut bukan saja menjauhkan mereka dari sesama muslim dan non-

muslim, tetapi jauh dari Islam yang ajaranya toleran baik terhadap perbedaan keyakinan

maupun pandangan keagamaan. Oleh karena itu Islam mengajarkan sikap dan cara

berpikir moderat dalam berbagai aspek diantaranya:


1) Moderat dalam berperilaku. Dalam setiap tindakan dan perilaku umat Islam diperin-

tahkan tidak berlebih-lebihan (ghuluw) sebagaimana Firman Allah: “dan sederhanalah

kamu dalam berjalan dan rendahkanlah suaramu (QS. Luqman ayat 19), serta makan dan

minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan (QS. Al-A’raf ayat 31).

2) Moderat ketika bertransaksi, sebagaimana firman Allah: “dan sempurnahkanlah takaran

dan timbangan secara adil” (QS. Al-An’am ayat 152).

3) Moderat dalam rumah-tangga. Misal seorang istri ditinggal mati suami, ia diper-

bolehkan menikah lagi. Berbeda dengan tradisi China Kuno, India Kuno, Persia Kuno,

Yahudi, dan kepercayaan Arab Jahiliyyah. Dalam beberapa tradisi China Kuno dan In-

dia Kuno misalnya, terdapat kepercayaan apabila perempuan ditinggal mati suami ia

harus membakar diri sebagai bukti penghambaan kepada laki-laki yang dinikahi. Per-

buatan ini tentu menjadikan posisi wanita sangat terhina dan tidak terhormat (Ash-

Shalabi, 2001).

Ciri-Ciri Al-Wasathiyyah (Moderat)

Ciri-ciri dasar wasathiyah sebagai landasan pengambilan sikap dalam kehidupan

diantaranya tidak menerima akal apabila bersebrangan dengan nash, luwes dalam

beragama, tidak menguduskan turats (khazanah pemikiran lama) apalagi terdapat

kekurangan dan tidak meremehkan apabila terdapat keindahan hidayah, bersifat lentur

dan senantiasa adatatif dalam sarana namun tetap ajeg sepanjang menyangkut masalah

prinsip, tidak melakukan ijtihad terhadap persoalan yang telah jelas dalam agama (qat’i),

menolak taklid berlebihan sehingga menutup pintu ijtihad, tidak berlebihan

mengharamkan sesuatu dan tidak menghalalkan sesuatu yang jelas haram (Rahman,

2007).

Ciri-ciri dan karakteristik al-Wasathiyyah juga diantaranya memahami realitas,

memahami fikih prioritas, menghindari fanatisme berlebihan, mengedepankan prinsip

kemudahan dalam beragama, memahami teks-teks agama secara komprehensif,

keterbukaan dalam menghadapi perbedaan dan komitmen terhadap kebenaran dan

keadilan (Kementrian Agama, 2012).

Adapun Yusuf Qaradawi (1992) memetakkan ciri-ciri wasathiyyah sebagai berikut:


a. Memahami agama secara menyeluruh (komprehensif), seimbang (tawazun), dan men-

dalam.

b. Memahami realitas kehidupan secara baik, memahami prinsip-prinsip syariat (maqasid

asy-syari’ah) dan tidak jumud pada tataran lahir.

c. Memahami etika perbedaan pendapat dengan kelompok lain yang seagama dan luar

agama, serta mengedepankan kerjasama dalam hal-hal yang disepakati dan bersikap

toleran pada hal-hal yang diperselisihkan.

d. Menggabungkan antara yang lama (al-asalah) dan yang baru (al-mu’asirah) serta men-

jaga keseimbangan antara tawabit dan mutagayyirat.

e. Menampilkan norma-norma sosial dan politik dalam Islam, seperti prinsip kebebasan,

keadilan sosial, syura dan hak-hak asasi manusia.

B. Gerakan Dakwah

Pengertian dan Metode Dakwah

Secara etimologis dakwah berasal dari kata da’a> (fiil madzi)-yad’u> (fiil mudhari)

yang berarti memanggil, mengundang, mengajak, berdiskusi, menyeru, mendorong dan

memohon (Hasanuddin, 1982). Menurut bahasa dakwah adalah suatu kegiatan baik

tulisan, lisan, yang sifatnya medorong, menyeruh, dan mengajak mad’u kepada kebaikan,

tujuannya untuk mempengaruhi manusia dari perbuatan bathil menuju haq, dari masih

kafir menjadi muslim, dari maksiat menuju ketaatan, dan puncak tertinggi dapat

menjalankan seluruh kewajiban sebagai hamba Allah Swt (Arifin, 2004). Dalil dakwah

terdapat dalam Al-Qur’an surah al-Imran ayat 104:


‫َٰٓل‬ ‫ۡأ‬
‫ َيۡد ُعوَن ِإىَل ٱۡل َخ ۡي ِر َو َي ُمُر وَن ِبٱۡل َم ۡع ُر وِف َو َيۡن َه ۡو َن َعِن ٱۡل ُم نَك ِۚر َو ُأْو ِئَك ُه ُم ٱۡل ُم ۡف ِلُح وَن‬ٞ‫َو ۡل َتُك ن ِّم نُك ۡم ُأَّم ة‬
Terjemah: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
beruntung”. (Al-Imran: 104)

Dalam dakwah terdapat beberapa metode. Metode dakwah terkonsep dalam al-

Qur’an surat an-Nahl ayat 125:

‫ٱۡد ُع ِإٰىَل َس ِبيِل َر ِّب َك ِبٱۡل ِح ۡك َم ِة َو ٱۡل َم ۡو ِعَظ ِة ٱۡل َح َس َنِۖة َو َٰج ِد ۡل ُه م ِب ٱَّليِت ِه َي َأۡح َس ُۚن ِإَّن َر َّبَك ُه َو َأۡع َلُم َمِبن َض َّل َعن َس ِبيِلِهۦ‬
‫ۡع ِب ۡل ِد‬
‫َو ُه َو َأ َلُم ٱ ُم ۡه َت يَن‬
Terjemah: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-
orang yang mendapat petunjuk”. (An-Nahl: 123)

Dari ayat di atas terbentuklah metode dakwah sebagai berikut:

a. Metode Bi Al-Hikmah

Dalam al-Qur’an kata ‘hikmah’ disebutkan sebanyak 20 kali, baik dalam bentuk

nakiroh maupun ma’rifat. Bentuk masdarnya adalah ‘hukuman’ yang diartikan menurut

makna aslinya sebagai ‘mencegah’. Jika dikaitkan dengan dakwah maka bermakna

menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah (Munir,

2003). Dalam bahasa Indonesia kata hikmah diartikan ‘bijaksana’.

Kata al-Hikmah juga dapat diartikan sebagai tali kekang terhadap binatang yang

digunakan untuk mencegah tindakan hewan. Diartikan demikian karena tali kekang

membuat penunggang dapat mengatur dan mengendalikan pergerakan kuda. Dari

metafora tersebut seorang yang memiliki hikmah mampu mengendalikan dirinya dari hal-

hal yang dapat menjerumuskan dirinya pada nilai atau perbuatan hina (Mandzur, 1990).

M. Abduh berpendapat hikmah adalah mengetahui rahasia dan faedah dalam tiap-

tiap hal, serta meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya (Habib). Sedangkan Toha

yahya Umar berpendapat hikmah adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan

berpikir, berusaha menyusun dan mengatur dengan cara yang sesuai keadaan zaman

dengan tidak bertentangan dengan larangan Allah Swt (Hasanuddin, 1996). Menurut Ibnu

Qoyim hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya, ketepatan

dalam perkataan dan pengamalannya yakni dengan memahami al-Qur’an secara

menyeluruh serta mendalami syari’at-syari’at Islam serta hakikat iman.

Metode hikmah berperan penting terhadap sukses tidaknya dakwah. Oleh

karenanya seorang da’i harus pandai memahami kondisi mad’u dengan latar belakang

berbeda melalui pengerahan terhadap seluruh kemampuan, sehingga ajaran Islam yang

disampaikan dapat meresap tepat sempurna pada hati mad’u. Dari pengertian diatas

dapat dipahami bahwa hikmah merupakan kemampuan, kepandaian, serta ketepatan da’i

dalam memilih, memilah, dan menyelaraskan dakwah dengan kondisi objektif mad’u.
b. Metode Dakwah Bil-Mau’idhah Hasanah

Mau’izhah berasal dari wa’adza-ya’idzu-wa’dzan-‘idzatan yang berarti nasihat,

bimbingan, peringatan dan pendidikan (Saputra, 2012). Mau’izhah al-Hasanah berarti

memberikan nasihat kepada orang lain dengan cara yang paling baik, dengan bahasa dan

cara yang santun, sehingga nasihat tersebut dapat diterima oleh mad’u (Muriah, 2000).

Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi mengatakan:

“Al-Mau’izhah al-Hasanah adalah (perkataan-perkataan) yang tidak tersembunyi bagi


mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau
dengan Alqur’an” (Saputra, 2012).

Adapun abd. Hamid al-Bilali berpendapat al-Mau’izhah al-Hasanah sebagai salah

satu jalan atau manhaj dalam rutinitas dakwah yang mana tidak lain untuk mengajak

mad’u ke jalan Allah SWT dengan memberikan nashiat dan bimbingan secara lemah

lembut agar mereka mau berbuat baik (Al-Bilali, 1989).

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan dakwah metode al-Mau’izhah al-Hasanah

merupakan sebuah nasihat berupa bimbingan dan pengajaran secara lemah lembut,

penuh kasih sayang, tidak keras, dan memaksa apalagi membongkar kesalahan orang

lain, dengan begitu pesan dakwah dapat diterima mad’u secara ikhlas.

c. Metode Dakwah Bi Al-Mujadalah

Secara etimologi lafazh mujadalah diambil dari kata “jadala” yang berarti memintal,

melilit, menjalin dan mengenyam. Bentuk masdar “jadala” adalah “mujaadala” yang

bermakna perdebatan atau perbantahan (Munawwir, 1984). Secara terminologi kata al-

Mujadala diartikan upaya tukar pendapat antara da’i dan subyek dakwah yang mana tidak

ada nuansa permusuhan antara kedua bela pihak di dalamnya (Salam & Dhafir, 2001).

Sayyid Qutb mengatakan dalam diskusi tidak boleh merendahkan lawan atau

menjelek-jelekkan. Maksudnya tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan dengan

menghormati pihak lawan, karena tujuan diskusi bukan mencari kemenangan melainkan

memudahkan mereka sampai pada puncak kebenaran sesuai ajaran Allah Swt (Qutb,

1979).

Al-Mujadala merupakan cara terakhir dalam berdakwah manakala kedua metode

sebelumnya (bi al-hikmah dan bil-mau’idhah hasanah) tidak dapat diterapkan. Metode ini
dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Perdebatan secara langsung

dilakukan melalui lisan dengan mengemukakan dalil serta bukti untuk meyakinkan dan

mematahkan logika lawan (Thantawi, 2001). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan

dakwah menggunakan metode al-Mujadala yaitu berdebat mengadu argumentasi atau

mengadu pendapat dengan mengedepankan tatak rama, sehingga tidak melahirkan

permusuhan, dan lawan debat dapat menerima pesan yang disampaikan.

Tujuan Dakwah

Tujuan dakwah terdiri dari tiga, pertama tujuan dakwah dalam jangka panjang,

diantaranya:

1) Menjadikan atau mengajak semua orang beribadah dalam arti menjalankan perintah

Allah Swt dan Rasul-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya (Anshari, 1993). Seba-

gaimana telah disinggung dalam al-Qur’an surah adz-Dzariyat ayat 56:


‫ا َلۡق ٱۡل ِج َّن ٱۡل ِإن ِإاَّل ِل ۡع ُد وِن‬
‫َو َس َي ُب‬ ‫َو َم َخ ُت‬
Terjemah: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku”. (Adz-Dzariyat: 56)

Menurut Syekh Thahir bin ‘Asyur ayat tersebut konfirmasi atau penegasan

kepada manusia bahwa tujuan diciptakan supaya tidak menyimpang dari fitrahnya

yaitu menggapai kesempurnaan (Damas, 2013).

2) Menciptakan rahmat atau berkah untuk seluruh kehidupan dunia, baik untuk kehidu-

pan umat Islam maupun untuk kehidupan seluruh umat manusia, termasuk makhluk-

makhluk Allah di alam semesta. Al-Qur’an surah al-Anbiya ayat 107 berbunyi:
‫ۡل ِم‬ ‫ۡل‬
‫َو َم ٓا َأۡر َس َٰن َك ِإاَّل َر ۡح َم ٗة ِّل َٰع َل َني‬
Terjemah: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam”. (QS. Al-Anbiya’ 107)
3) Agar manusia mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

4) Menyadarkan manusia tentang arti dan hakikat hidup yang mana hidup tidak untuk

kemewahan dunia semata, tetapi kehidupan di dunia harus menjadi bekal dalam men-

empuh kehidupan akhirat.


5) Mengentaskan manusia dari lembah kesesatan dengan memperdengarkan aturan

norma-norma agama, dengan begitu ia sadar jalan hidupnya telah jauh dari nilai-nilai

kemanusian (El-Ishaq, 2016).

Kedua, tujuan dakwah dalam jangka pendek meliputi (Syukir, 1983):

1) Membina mental dan keimanan yang masih lemah dari para mualaf agar tidak murtad

dari Islam.

2) Meningkatkan keimanan dan ketakwaan umat Islam.

3) Mendidik dan mengajar anak-anak agar dapat mengembangkan potensinya sesuai

jalan Allah sebagai hamba dan khalifah di muka bumi.

4) Mengajak manusia ateis, agar meyakini dan menjalankan ajaran Islam.

Ketiga, tujuan dari segi mitra dakwah (Ilaihi, 2010):

1) Terbentuk pribadi muslim dengan iman yang kuat, berperilaku sesuai hukum-hukum

Allah Swt dan berakhlak karimah.

2) Terbentuk keluarga bahagia, penuh ketentraman dan cinta kasih antara sesama.

3) Terbentuk masyarakat sejahtera yang penuh dengan suasana keislaman.

4) Terbentuk masyarakat dunia yang penuh kedamaian dan ketenangan dengan

tegaknya kadilan, persamaan hak-kewajiban, tidak adanya diskriminasi, eksploitasi,

serta saling tolong menolong dan menghormati.

Pengertian Gerakan Dakwah

Gerakan dakwah atau dakwah harakah adalah suatu sistem dakwah yang dibangun

cenderung kepada pergerakan untuk memperjuangkan misi tertentu baik bersifat parsial

maupun universal. Pergerakan kegiatan dilakukan di lapangan, sosial politik dan lain

sebagainya (Rahim, 2011). Hasan al-Qattany mengatakan gerakan dakwah adalah dakwah

yang dilakukan dengan mereformasi dan mengembangkan total seluruh aspek kehidupan

sosial masyarakat Islam, baik terkait individu, keluarga, masyarakat sampai terhadap

Negara (Al-Qattany, 1993).

Gerakan dakwah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah melihat gerakan

dakwah Kiai NU di kota Samarinda seperti:


a. Ceramah agama di masjid, majelis ta’lim, atau pesan dakwah yang disampaikan lang-

sung keperorangan.

b. Tindakan kehidupan sehari-hari seperti berinteraksi dengan orang lain seagama

maupun berbeda agama.

c. Menanggapi perkara hukum fiqih yang sifatnya qath’i dan zhanni atau tentang perkara

sunnah dan wajib.

Gerakan Dakwah Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama merupakan organisasi keagamaan yang paham keagamaanya

berlandaskan al-Qur’an, hadis, ijmak dan qiyas. Dari sisi akidah NU mengikuti imam Abu

al-Hasan al-Asy’ari, imam Manshur al-Maturidi, fiqih mengikuti keempat imam mazhab

(Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal),

sedangkan bidang tasawuf, mengikuti imam al-Junaidi al-Baghdadi dan imam al-Ghazali.

Adapun sikap dan cara pandang NU tergambarkan sesuai Khittah Al-Nahdliyah

1926, yang memiliki worldview (cara pandang, cara berpikir, sikap batin, cara bertindak,

sikap personal, sikap sosial) dan paham keagamaan yang wasathiyyah (moderat) dan i’tidal

(adil), tasamuh (toleransi), tawazun (seimbang) dan amar ma’ruf nahi munkar (Rumadi, 2015).

Gerakan dakwah NU dapat dilihat dari beberapa jalur:

1. Jalur pendidikan formal dan non-formal dengan objek sasaranya pemuda.

2. Melalui mejelis thariqah, sasaran utamanya kelompok orang dewasa/tua.

3. Melalui ceramah agama di masjid, mushollah dan sebagainya, objek kajian meliputi

orang tua sampai anak-anak.

4. Melalui jalur politik, sasaran utama para elit politik, birokrat, dan para pelaku usaha

termasuk kaum menengah ke atas. Tujuanya agar mempengaruhi para elit politik,

berpemahaman Ahlusunnah Waljama’ah benar-benar membumi di masyarakat.

5. Melalui jalur lintas agama. Melalui jalur ini ditempuh karena realitas masyarakat In-

donesia, sangatlah plural, baik dalam masalah agama yang dianut, etnis, adat-istiadat,

budaya dan lain sebagainya. Untuk kelompok sasaran lintas agama, beberapa tokoh

NU telah membentuk organ teknis berupa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang

khusus bergerak di bidang kelintas agamaan dengan nama Forum Kerja Lintas Agama
(FKLA) sejak tahun 2004. Setelah keluarnya peraturan bersama antara Menteri Agama

dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 yang diantaranya men-

gatur tentang pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama, banyak tokoh dan

pengurus NU yang aktif di kepengurusan FKUB, baik ditingkat Provinsi maupun

Kabupaten.

Peran Nahdlatul Ulama Dalam Menangkal Paham Radikal

Gemuruh lonceng dan teriakan takbir untuk menghadapi kelompok radikal sudah

lama digaungkan oleh Organisasi Keagamaan Nahdlatul Ulama. Bahkan dalam sejarah

dijelaskan bahwa, lahirnya atau didirikannya Nahdlatul Ulama pada tahun 1926

merupakan respon dan perlawan terhadap gerakan garis keras. Untuk menangkal

pemahaman ini terus berkembang pesat Nahdlatul Ulama sebagai Organisasi Keagamaan

yang juga berkecimpung dalam dunia dakwah membuat beberapa strategi sebagai refleksi

atas berkembang luasnya paham ini. Beberapa strategi yang dilakukan diantaranya

melalui bidang struktural dan kultural.

a. Bidang Struktural

Pada upaya struktural, organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama memanfaatkan

bidang-bidang lembaga yang masing-masing bergerak sesuai dengan tugas, pokok dan

fungsinya masing-masing (Asy’ari, 1418) diantaranya:

1) Melalui Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU). Lembaga Dakwah Nahdlatul

Ulama melakukan tugasnya dalam pengembangan agama Islam yang menganut pa-

ham Ahlusunnah Wal Jama’ah (Aswaja). Ahlussunnah wal jama’ah berasal dari kata Ahl

(keluarga, golongan atau pengikut), Al-Sunnah (secara bahasa bermakna al-thariqah wa

law ghaira mardhiyah (jalan atau cara walaupun tidak diridhai) dan Al-Jama’ah

(perkumpulan). Hadlratusysyaikh KH. M. Muhammad Hasyim Asy’ari (1326 H/1871-

1947) menyebutkan dalam kitabnya Ziyadat Ta’liqat bahwa Aswaja adalah:

“Kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fikih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang
teguh dengan sunnah Nabi Muhammad SAW dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelahnya.
Mereka adalah kelompok yang selamat (al-firqah al-najiyah). Mereka mengatakan, bahwa
kelompok tersebut sekarang ini terhimpun dalam madhzab yang empat, yaitu pengikut
Madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali” (Tim Aswaja NU Center PWNU).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa Ahlussunnah wal jama’ah merupakan

ajaran yang murni yang langsung dari Rasulullah SAW dan kemudian diteruskan oleh

para Sahabatnya dan diteruskan oleh ulama dan Kiai-Kiai saat ini. Oleh karena itu,

tidak ada seorang pun yang menjadi pendiri ajaran Ahlussunnah wal jama’ah dan yang

ada hanyalah ulama yang telah merumuskan kembali ajaran Islam tersebut setelah

lahirnya beberapa faham radikal dan aliran keagamaan yang berusaha mengaburkan

ajaran Rasulullah SAW dan para Sahabatnya yang murni.

2) Melalui Lembaga Pendidikan Maarif Nahdlatul Ulama (LP Maarif NU) dengan melak-

sanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pendidikan dan pengajaran formal. Un-

tuk melawan tindakan atau kelompok garis keras, maka penanaman materi-materi

keilmuan umum dan keislaman harus sesuai dengan tuntunan yang dilakukan oleh

Rasulullah SAW sampai para ulama-ulama garis lurus. Pendekatan melalui pen-

didikan ini juga sangat penting karena untuk memberikan pemahaman agama yang

tepat, kontekstual dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama

kepada masyarakat. Beberapa strategi yang dilakukan di lingkup pendidikan adalah

melakukan review kurikulum di berbagai tingkatan pendidikan untuk mengem-

bangkan sikap, pengetahuan dan tindakan anti radikalisasi agama. Selain itu,

melakukan seleksi terhadap para pendidik agar tidak mengajarkan Islam dengan kon-

sep kaum radikalis. Mengadakan diskusi terkait fundamentalisme, radikalisme dan

multikulturalisme bagi pendidik, serta bekerjasama dengan ormas-ormas keagamaan

yang memiliki pandangan Islam moderat.

3) Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) yang bertugas melak-

sanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang kesejahteraan keluarga, sosial dan

kependudukan.

4) Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) yang bertugas melaksanakan

kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan pondok pesantren dan pen-

didikan keagamaan.
5) Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama

(LAKPESDAM NU) yang bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di

bidang pengkajian dan pengembangan sumber daya manusia.

6) Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU) yang bertu-

gas melaksanakan pendampingan, penyuluhan, konsultasi, dan kajian kebijakan

hukum.

7) Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) yang bertugas membahas

masalah-masalah maudlu’iyyah atau tematik yang mengakji satu tema kemudian

dikatikan dengan pelajaran-peralajaran lain dan waqi’iyyah (aktual) yang akan menjadi

Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

8) Lembaga Ta’mir Masjid Nahdlatul Ulama (LTMNU) yang bertugas melakukan atau

melaksanakan diskresi di bidang pengembangan dan pemberdayaan masyarakat

melalui masjid.

9) Lembaga Ta’lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) yang bertugas mengem-

bangkan penulisan, penerjemahan dan penerbitan kitab atau buku serta media infor-

masi menurut faham Ahlussunnah wal Jama’ah.

10) Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) yang bertugas mengem-

bangkan pendidikan tinggi Nahdlatul Ulama (Anggaran Rumah Tangga Pasal 16).

Lembaga-lembaga struktural di atas merupakan tameng dan senjata yang

diupayakan semaksimal mungkin untuk melawan tindakan-tindakan radikal yang

dilakukan oleh oknum atau kelompok tertentu. Untuk menangkal kelompok radikal

tersebut juga, Nahdlatul Ulama mendirikan berbagai jenis badan otonom berbasis usia

dan kelompok masyarakat yang berperan aktif dalam mencegah tersebarnya gerakan

Islam garis keras, diantaranya Muslimat Nahdlatul Ulama (Muslimat NU) untuk

perempuan Nahdlatul Ulama, Fatayat Nahdlatul Ulama (Fatayat NU) untuk anggota

perempuan muda Nahdlatul Ulama berusia maksimal 40 tahun, Gerakan Pemuda Ansor

Nahdlatul Ulama (GP Ansor NU) untuk anggota laki-laki muda Nahdlatul Ulama yang

maksimal umurnya 40 tahun, Pergerakan Mahasiwa Islam Indonesia (PMII) untuk

mahasiwa Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 30 tahun, Ikatan Pelajar Nahdlatul
Ulama (IPNU) untuk pelajar dan santri laki-laki Nahdlatul Ulama maksimal berusia 30

tahun, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) untuk pelajar dan santri laki-laki Nahdlatul

Ulama maksimal berusia 27 tahun, Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) untuk

pelajar dan santri perempuan Nahdlatul Ulama yang maksimal berusia 27 tahun

(Anggaran Rumah Tangga Pasal 18).

b. Bidang Kultural

Gerakan dakwah kultural dilakukan dengan beberapa langkah-langkah yakni

membangun membangun visi, yaitu memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa

warga negara adalah pemilik negara yang juga memiliki tanggung jawab untuk

menjaga bersama-sama keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memberikan

pendampingan atau advokasi, yang di antaranya dilakukan dengan cara mendirikan

lembaga hukum atau apa saja yang memfokuskan pada persoalan-persoalan hak

dasar politik masyarakat (Suhaidi, 2008).

Dalam gerakan kultural yang digalakan oleh organisasi keagamaan Nahdlatul

Ulama, para nahdliyin aktif diberbagai sudut, celah dan lapisan untuk meredam

berbagai upaya tersebarnya faham dan gerakan radikal ini. Beberapa contoh

kasus seperti yang terjadi di Kota Samarinda misalnya, Pergerakan Mahasiswa Islam

Indonesia (PMII) melakukan beberapa kegiatan sebagai upaya memberikan perlawanan

dan meredam tersebarnya faham radikal di lingkungan kampus, yaitu dengan

menyelenggarakan kajian rutin dengan menggelar sejumlah acara amaliyah NU seperti

istigosah, shalawatan, kultum dan melakukan infiltrasi ke sejumlah masjid atau mushalla

dilingkungan Kampus dengan menjadi takmir Masjid.

c. Menumbuhkan Gerakan Toleran Melaui Khittah Nahdlatul Ulama

Berdasarkan Khittah Nahdlatul Ulama (dalam Hasil-hasil Muktamar ke 33 NU, h.

99), dasar-dasar pendirian keagamaan Nahdlatul Ulama adalah untuk menumbuhkan

sikap kemasyarakatan yang bercirikan pada sikap tawassuth dan i’tidal. Dengan sikap ini,

Nahdlatul Ulama akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak

lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang

bersifat tatharruf (ekstrim). Selanjutnya sikap tasamuh, yaitu sikap toleran terhadap
perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat

furu’, atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan

kebudayaan. Selain itu sikap tawazun, yaitu sikap seimbang dalam berkhidmah.

Menyertakan khidmah kepada Allah Swt, khidmah kepada sesama manusia serta kepada

lingkungan hidupnya.

Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang dengan

amar ma’ruf nahi munkar, yaitu selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan

yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama serta menolak dan mencegah

semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan. Beberapa

sikap ini menjadi garis dakwah keagamaan dan kemasyarakatan NU, baik dakwah

melalui organisasi ataupun melalui para Kiai dan para nahdliyin pada umumnya merujuk

kepada Khittah 1926 Butir 8 dikatakan, bahwa sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul

Ulama merupakan bagian tak terpisahkan dari Umat Islam Indonesia yang senantiasa

berpegang teguh prinsip persaudaraan (al-Ukhuwah), toleransi (al-Tasamuh), kebersamaan,

dan hidup berdampingan, baik dengan sesama umat Islam maupun dengan sesama warga

negara. Dalam Qanun Asasi NU 1926 dikatakan, bahwa meskipun ada perbedaan,

kebhinekaan, dan keberagaman dalam berbagai aspek kehidupan, hal itu tidak berakibat

munculnya khusumah (permusuhan), ‘adawah (perlawanan), ataupun muhasadah (saling

menghasut), karena kuatnya pengikat tersebut (Mahfudh, 2012).

Berbagai macam upaya yang dilakukan oleh organisasi Nahdlatul Ulama di atas,

terlihat bahwa saat ini sedikit demi sedikit tindakan kekerasan yang dilakukan oleh

sebagian kelompok di Indonesia makin menyembunyikan dirinya. Dalam dunia

pendidikan, NU juga berhasil memberantas buku-buku yang materinya mengandung

paham-paham radikal dan berkat sosialisasi yang terus-menerus dicanamkan, NU

berhasil membuka pikiran masyarakat akan pentingnya hidup rukun dan damai.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan menggunakan

metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang lebih mengutamakan pada

masalah proses dan makna/persepsi, di mana penelitian diharapkan dapat mengungkap

berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi-analisis yang teliti dan penuh makna, yang

juga tidak menolak informasi kuantitatif dalam bentuk angka maupun jumlah (Muhadjir,

1999). Metode kualitatif pada penelitian ini akan menggambarkan, mendeskripsikan dan

menganalisis konsep moderasi gerakan dakwah Kiai NU di kota Samarinda dengan

standar ukuran moderasi Islam atau al-Wasathiyyah al-Islamiyyah.

Rujukan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti bersumber dari buku,

desertasi, tesis, skripsi, jurnal, wawancara, media online dan situs resmi sperti NU.or.id,

dan lain sebagainya. Adapun langkah-langkah untuk memperoleh hasil penelitian

dilakukan dengan pertama, observasi. Observasi yang dimaksud adalah turun,

berhadapan, dan mengamati secara langsung objek yang diteliti (Kriyantono, 2006).

Dalam observasi, peneliti terjun dan ikut langsung menyaksikan serta berkecimpung

dalam majelis-majelis keagamaan yang dilakukan oleh kiai NU di kota Samarinda.

Kedua, dokumentasi. Dokumen merupakan catatan yang menjadi alat bagi peneliti

mengumpulkan informasi baik dari tulisan, buku, gambar, atau karya-karya dari lembaga

yang akan diteliti yakni PCNU dan PWNU kota Samarinda. Dokumen tersebut antara lain

notulensi rapat NU, sejarah kehidupan (life historis), biografi, peraturan, program kerja,

kebijakan, foto dan gambar hidup.

Ketiga, wawancara. Wawancara dilakukan untuk mencari tahu dan menanyakan

seputar konsep moderasi gerakan dakwah yang dilakukan kiai Nu di Samarinda,

sehingga dapat di analisis dan disimpulkan bahwa gerakan dakwah tersebut telah

moderat (wasathiyyah) ataukah belum. Adapun wawancara dilakukan terhadap 11

informan yang terdiri dari 3 orang (PCNU) Samarinda yaitu KH. Muhammad Munzir,

KH. Khojir dan KH. Syahruddin Tarmidzi, 3 orang Kiai (PWNU) Kalimantan Timur yaitu

KH. Fakhruddin Wahab, KH. Abu Syairi, dan KH. Hamri Has, 1 orang Kiai Pondok

Pesantren Darul Ihsan Samarinda yaitu KH. Syahrul Mubarak, 1 orang Pondok Pesantren

Nabil Husen Samarinda yaitu KH. Amrillah, 1 orang pimpinan Majelis Ta’lim Al-Anwarul
Bahiyyah Samarinda yaitu KH. Ahmad Zaini, 1 orang Pimpinan Majalis Ta’lim Darus

Shofa Samarinda yaitu KH. Habib Muhammad bin Muhdar al-Attas, 1 orang Dosen UIN

Samarinda yaitu KH. Jamaluddin.

Data yang diperoleh dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mendapatkan

kelengkapan yang jelas. Selanjutnya data-data tersebut disusun dengan kerangka yang

telah ditentukan, dan yang terakhir diadakan penelitian terhadap data yang telah di

susun, agar diperoleh kesimpulan tertentu yang merupakan hasil jawaban dari masalah

yang akan diteliti.

PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Nahdlatul Ulama Kota Samarinda

Kantor Nahdlatul Ulama Kota Samarinda atau PCNU beralamat di Jl. A. Wahab

Syahrani, Samarinda Kota, Provinsi Kalimantan Timur, kode pos 75124. Kantor yang

didirikan pada tahun 2005 silam tersebut merupakan kantor baru setelah pindah dari

Kantor PCNU Kota Samarinda yang lama di Jl. Imam Bonjol, Samarinda Kota, Provinsi

Kalimantan Timur. Kode pos 75113.

Sejarah berdirinya Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Samarinda sebagai

sebuah organisasi keagamaan yang mengelola manajemen kelembagaan di tingkat cabang

di wilayah Kota Samarinda tidak terlepas dari keberadaan organisasi Nahdlatul Ulama itu

sendiri. Nahdlatul Ulama berdiri pada tahun 1926. Seiring berjalannya waktu, NU mulai

menyusun strategi untuk pengembangan sayap kepengurusan dengan tujuan agar

mampu menjangkau komunitas muslim yang berada di daerah. Pelaksanaan Kongres satu

Nahdlatul Ulama di Surabaya memberikan kontribusi mengenai pembentukan badan-

badan otonom daerah di seluruh Indonesia. Hal inilah yang mendorong lahirnya

Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) di seluruh Indonesia termasuk di Kota

Samarinda.

Proses berdirinya Nahdlatul Ulama di Kota Samarinda tidak terlepas dari

perkembangan politik Indonesia khususnya di Samarinda. Menurut Richani Sulaiman

Nahdlatul Ulama berdiri di Samarinda diperkirakan tahun 1963 dengan posisi ketua
Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama kota Samarinda dijabat oleh Abdul Sani yang juga

menjabat sebagai Ketua Partai Nahdlatul Ulama Kota Samarinda. Selanjutnya pada tahun

1968 ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama yang juga ketua Partai Nahdlatul Ulama di

jabat Ahmad Ibrahim (Wawancara Sulaiman, 08 Maret 2019).

Menurut Hasyim As’ari, Ketua MWC NU Kota Samarinda, berdirinya Pengurus

Cabang Nahdlatul Ulama Samarinda beriringan dengan berdirinya Partai Nahdlatul

Ulama Kota Samarinda. Warga Samarinda yang secara kultural menganut ajaran

Ahlusunnah wal jamaah secara otomatis tergabung sebagai anggota Nahdlatul Ulama dan

menyalurkan aspirasi politiknya ke Partai Nahdlatul Ulama pada Pemilihan Umum

legislatif tahun 1971. Hasil pemilu tersebut juga berhasil mendudukan salah satu wakil

NU sebagai anggota parlemen untuk pertama kalinya di Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) Kota Samarinda yaitu Syahrudin Tarmidzi masa periode 1971-1977

(Wawancara As’ari, 08 Maret 2019).

Penggabungan atau fusi partai politik pada 5 Januari 1973 merupakan babak baru

bagi Nahlatul Ulama Samarinda. Saat itu, sebagian Pengurus Nahdlatul Ulama tetap

memilih bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan sebagian lagi tetap

menjadi pengurus Nahdlatul Ulama. Alasannya bahwa Nahdlatul Ulama adalah

organisasi yang secara kultural mengembangkan ajaran Ahlusunnah wal jamaah di Kota

Samarinda. Oleh karena itu, para Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Samarinda

melakukan konsolidasi organisasi dengan menyusun kepengurusan di tingkat kecamatan

sampai tingkat kelurahan.

Ketua pertama Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Samarinda dijabat oleh

K.H. Abdul Gani Tamba dan Sekretaris dijabat oleh H. Syahrudin Tarmidzi pada tahun

1973-1984. Pada saat itu, fokus utama gerakan dakwah Nahdlatul Ulama adalah

menggalakkan pengajian-pengajian dan majelis ta’lim yang diikuti oleh warga Nahdlatul

Ulama. Hal itu karena sebagian besar para tokoh dan Kiai Nahdlatul Ulama mempunyai

majelis ta’lim (Wawancara Sulaiman,, 08 Maret 2019).

Pada periode berikutnya, yaitu tahun 1984-1990, ketua Pengurus Cabang Nahdlatul

Ulama Kota Samarinda dijabat oleh H. Syahrudin Tarmidzi yang sebelumnya menjabat
sebagai sekretaris. Pada periode ini fokus program kerja Pengurus Cabang Nahdlatul

Ulama Kota Samarinda adalah mendirikan pendidikan Ma’arif setingkat Sekolah

Menengah Pertama (SMP). Namun, di tengah perjalanan lembaga pendidikan tersebut

tidak berkembang dengan baik karena tidak mampu dikelola secara profesional.

Periode kepengurusan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Samarinda terus

berganti dari periode ke periode secara reguler sebagai berikut:

a. Periode 1990-1995 ketua H. Asrani Ismi

b. Periode 1995-2000 ketua H. Alpian Noor

c. Periode 2000-2005 ketua H. Richani Sulaiman

d. Periode 2005-2010 ketua H. Hatmoko

e. Periode 2009-2014 ketua Boechari Noer

f. Periode 2014-2019 ketua KH. M. Munzir (Dokumen PWNU Kalimantan Timur).

Adapun struktur Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Samarinda Periode

2014-2019 dengan Surat Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Nomor: 501/A.II.04.

d /01/2015 sebagai berikut:

Syuriah

Rais : KH. Silahuddin Abunur

Wakil Rais KH. M. Yusuf

Wakil Rais KH. Anshori

Wakil Rais KH. Faiz Khozin

Wakil Rais K. Jamhuri Hasyim

Hingga tahun 2019, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Samarinda belum

melakukan pergantian ketua tanfidziyah, sehingga jabatan masih di duduki oleh KH. M.

Munzir dan Sekretaris oleh bapak Eka Mahmud.

B. Gambaran Gerakan Dakwah Kiai NU Di Kota Samarinda


Dalam melakukan setiap aktifitas dakwah, Kiai Nahdlatul Ulama Kota Samarinda

mengedepankan prinsip al-Muhâfazhoh bil Qodîmish Shôlih wal Akhdzu bil Jadîdil Ashlah 1 dan

selalu berupaya menerapkan atau mempraktikkan sebuah sikap yang bijaksana (Al-

Hikmah). Upaya ini dilakukan sebagai strategi dalam meminimalisir terjadinya konflik

antara pendakwah dan masyaratakat atau mad’u. Sebuah praktik dakwah yang cenderung

dilakukan dengan keras seringkali sulit diterima oleh sasaran dakwah, akibatnya da’i

terlihat hanya sebagai aktifitas sia-sia yang tidak mampu mempersatukan umat serta

membawa umat kepada jalan yang lurus, tetapi justru memicu timbulnya berbagai macam

intrepretasi negatif.

Dalam melaksanakan dakwah Islam kepada masyarakat, jalan berbatu selalu

dijumpai, barbagai macam hambatan selalu ditemui, maka dari itu Kiai Nahdlatul Ulama

Kota Samarinda merancang metode dan konsep yang tepat yang sesuai dengan situasi

dan kondisi sehingga dakwah bisa berhasil. Apabila cara, pelaksanaan dan metode yang

digunakan sesuai dengan situasi masyarakat itu sendiri, maka senantiasa dakwah bisa

diterima oleh masyarakat. Oleh karena itu, untuk mewujudkan cita-cita tersebut maka

sebuah prinsip-prinsip yang berkaitan dengan perbuatan, pemikiran serta cara pandang

yang tengah-tengah (al-Wasathiyyah) dan terpuji harus melekat pada kepribadian dari

seorang da’i.

Menimbang sebuah prinsip worldview yang terpuji diatas, maka penulis melakukan

wawancara terhadap 11 Kiai, dari berbagai macam upaya yang dilakukan, peneliti

berhasil mendapatkan penjelasan mengenai konsep moderasi gerakan dakwah Kiai

Nahdlatul Ulama di Kota Samarinda. Secara umum, gerakan moderasi NU dalam bidang

dakwah dapat dilihat dari berbagai aspek:

1. Aspek Kegiatan Dakwah Kiai Nahdlatul Ulama Kota Samarinda

Program kegiatan dakwah yang dilakukan oleh Kiai terbagi menjadi dua yaitu

kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Pada kegiatan keagamaan terdapat beberapa

tempat. Seperti dalam kegiatan dakwahnya, yaitu dakwah di masjid, majelis ta’lim, rumah

1
Satu kaidah yang menjaga tradisi-tradisi lama sembari menyesuaikan dengan tradisi -tradisi modern yang
lebih baik. Upaya yang dimaksud adalah mengembangkan sejumlah khazanah-khazanah keislaman yang toleran dan ter-
buka terhadap perbedaan serta kontekstualisasi dengan zaman kekinian.
warga, perguruan tinggi, selain itu dengan menggunakan media interaktif melaui TVRI

Samarinda, Yootube, Facebook, Instagram dan Islamic Center Television.

Kemudian dalam kegiatan kemasyarakatan Kiai NU berupaya memberikan

pelayanan terhadap masyarakat dengan ikut berpartisipasi merancang atau mengarsiteki

pembangunan sumber daya manusia pada masyarakat melaui pelayanan kesehatan dan

pemberdayaan ekonomi pada masyarakat perkotaan atau pedesaan. Pada pelayanan

pemberdayaan ekonomi dengan memeberikan fasilitas melalui lembaga amil zakat infak

dan sedekah Nahdlatul Ulama (LAZISNU). Dalam pelayanan kesehatan disiapkan mobil

ambulance untuk membantu masyarakat yang tidak punya kendaraan untuk berobat.

Sebagai seorang da’i, Kiai Nahdlatul Ulama di Kota Samarinda juga semata-mata

tidak hanya menyampaikan tentang hukum halal, haram dan amar ma’ruf nahi mungkar,

tetapi membaca dan melihat kondisi finansial mad’u, sehingga yang terlihat kesulitan

maka diberikan sejumlah uang dan fasilitas yang bermanfaat untuk sasaran dakwah

(Wawancara Jamaludin, 08 Mei 2019).

2. Aspek Strategi Dakwah Kiai Nahdlatul Ulama Kota Samarinda

Dalam strategi dakwah, Kiai NU Kota Samarinda melakukan berbagai macam cara

agar dakwah yang dilakukan dapat diterima di masyarakat. Upaya-upaya ini antara lain

tidak mudah untuk menyalahkan sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat selama yang

dilakukan tidak bertentangan dengan syarah. Masyarakat Samarinda yang hidup dari

berbagai macam suku, adat dan budaya, selama yang dilakukan tetap berada dalam

lingkup yang tidak bertentangan dengan hal-hal yang prinsip maka kebiasaan yang

dilakukan tidak boleh dihalangi dan disalahkan. Oleh karena itu berbagai macam strategi

dilakukan oleh Kiai NU diantaranya, pertama menyesuaikan antara pendakwah dengan

yang didakwahi, dengan melihat situasi dan kondisi masyarakat dengan berbagai macam

kultur yang ada, yakni dengan menyesuaikan bahasa, sikap dan kondisi, sehingga Kiai

mudah menyatu dan diterima oleh masyarakat setempat. Ini dilakukan agar

mengantisipasi terjadinya keboringan dan kebosanan ketika berinteraksi dengan

masyarakat.
Kedua, menyesuaikan kompetensi kemampuan masyarakat yang didakwahi. Ini

dilakukan untuk mewaspadai masyarakat yang awam, atau baru mengenal Islam (mualaf),

dengan menyampaikan bahasa-bahasa yang mudah dipahami. Ketiga, kerena di

Kalimantan Timur khususnya di Samarinda mayoritas pengamal ahlussunnah wal jama’ah

yang sifatnya tradisionalis, untuk menggait jama’ah yang pola pikirnya masih radikal

maka cara yang dilakukan yaitu, dakwah terus dilakukan kepada masyarakat yang NU,

sehingga dengan begitu masyarakat yang pola pikirnya radikal bisa tergait dan ikut

mengenal apa itu ahlussunnah wal jama’ah.

Keempat, melalukan pendekatan tokoh baik dari masyarakat yang beragama

maupun yang tidak beragama. Hal ini dianggap efektif karena tokoh sentral dalam

kehidupan sosial, kesukuan, memiliki peran lebih dan terpercaya, juga merupakan

alternatif lebih cepat untuk memberi pemahaman kepada masyarakat bawah. Kelima,

berangkat dari hal yang disukai. Seperti dalam kasus mad’u yang suka berolahraga, maka

yang dilakukan ikut dan terjun langsung mengikuti apa yang disukai oleh sasaran

dakwah tetapi dengan didikan atau disisipkan konten-konten dakwah dalam kegiatan

tersebut (Wawancara Zaini, 07 Mei 2019).

Keenam, dakwah dengan menggunakan syair dan alat musik seperti rabbana, gitar

serta alat musik yang lainya. Ini dilakukan agar supaya jamaah yang hoby bersyair dan

bermusik walaupun sebelumnya malas mengikuti kajian atau mendengarkan cerah

agama, memiliki kecenderungan untuk berpartisipasi menjadi insan yang sadar akan

pentingnya beribadah kepada Allah SWT (Wawancara Wahab, 08 Mei 2019). Ketujuh,

dengan didirikanya partai politik yang dinamakan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),

maka Kiai NU atau anggota pengurus NU dapat menjadikan partai sebagai jembatan

untuk menduduki kursi politik, dan juga karena mayoritas yang berada di dalam partai

orang-orang NU maka ini merupakan langkah dari NU untuk menebarkan paham

Ahlussunnah wal jamaah kepada orang-orang yang berkecimpu di dalam partai

(Wawancara Tarmidzi, 08 Mei 2019).

3. Aspek Metode Dakwah Kiai Nahdlatul Ulama Kota Samarinda


Dalam menjalankan dakwahnya Kiai Nahdlatul Ulama mempraktikan sikap yang

telah diabadikan dalam Alqur’an surah an-Nahl ayat 125:

‫ٱۡد ُع ِإٰىَل َس ِبيِل َر ِّب َك ِبٱۡل ِح ۡك َم ِة َو ٱۡل َم ۡو ِعَظ ِة ٱۡل َح َس َنِۖة َو َٰج ِد ۡل ُه م ِب ٱَّليِت ِه َي َأۡح َس ُۚن ِإَّن َر َّبَك ُه َو َأۡع َلُم َمِبن َض َّل َعن َس ِبيِلِهۦ‬
‫ۡع ِب ۡل ِد‬
‫َو ُه َو َأ َلُم ٱ ُم ۡه َت يَن‬
Terjemah: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik
dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-
orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125)

Dalam ayat diatas terdapat tiga macam metode dakwah, yaitu al- Hikmah

(bijaksana) al-Mauidzah al-hasanah (suatu pelajaran yang baik) al-Mujadalah (berdiskusi/

berdebat).

a. Metode al-Hikmah

Metode ini adalah metode yang digunakan oleh Kiai NU Kota Samarinda dalam

berdakwah, karena metode ini merupakan metode yang diajarkan oleh Nabi Saw dalam

setiap gerakan dakwah. Kiai Nahdlatul Ulama menjelaskan mengenai arti al-hikmah, yaitu

wasath, tidak terlalu keras (ifrath) dan tidak terlalu lemah atau mudah (tafrith). Oleh karena

itu, seorag da’i harus mengevaluasi diri sendiri sehingga dakwah dilakukan dengan cara

yang bijaksana dan tidak kasar sehingga membuat hati mad’u senang (Syairi, Wawancara,

09/05/2019). KH. Hamri Has mengatakan bahwa dakwah al-Hikmah yaitu dakwah dengan

ilmu pengetahuan, sebab dengan ilmu tersebut seorang da’i dapat memahami keadaan

audiens. Dengan ilmu pengetahuan yang baik ketika berdakwah maka seorang da’i juga

tidak tergila-gila dengan kuantitas jama’ah atau dengan kata lain yang lebih utama yaitu

kualitas. Sebagaimana pernyataan beliau:

“Dalam dakwah harus memahami keadaan audiens iya kan. Yang dihadapi anak-
anak yang diajarkan orang tua. Ya anak-anak yah anak-anak. Haa cuman sekarang
ini ada orang yang berdakwah itu, yang datang melihat orangnya tidak melihat apa
yang disampaikan. Makanya bisa kalau sudah UAS yang datang, 50.000 orang yang
hadir. Memang tertarik cara …, sehingga ada metode sekarang ini melawak,
menggunakan seni-seni dalam penyampaian, dan bahkan kelihatan yang kalau
secara lahiriyah berhasil, orang yang pandai melawak, walaupun kadang-kadang
lawaknya itu porno yah, tapi ternyata orang ribuan datang. Tapi ada orang yang
mengajari betul-betul berdasarkan teks book yah karena dia takut salah seperti
saya, tapi nda ada yang mau dengarkan, paling-paling 10, 20 orang yang
mendengarkan.” (Wawancara Hamri Has, 08 Mei 2019).
b. Metode Mauidzah al-Hasanah

Menurut Kiai Nahdlatul Ulama Kota Samarinda, mauidzah tidak ada yang jelek atau

buruk, semua mauidzah adalah baik (hasanah). Karena pada dasarnya dakwah adalah

mengajak kepada Allah. Oleh karena itu, dalam menyampaikan pesan dakwah harus

dikemas dengan baik, tanpa ada cacian dan olokan, karena apabila kebaikan tidak

dikemas dengan baik, maka akan menjadi sesuatu yang menakutkan. Sebagaimana

penuturan Kiai yang berbunyi:

“Mauidzah al-Hasanah yakni dengan memberikan motifasi-motifasi yang diselingi


dengan humor. Hal ini sama halnya seperti apa yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW, bahwa Rasul ketika berdakwah tidak terlampau serius terus menerus, akan
tetapi menitipkan suatu humor. Hal ini dilakukan karena ada beberapa masyarakat
yang dapat menangkap pesan dakwah, jika disisipkan sedidikit candaan atau
humor dalam pesan dakwah. Tetapi dengan catatan bahwa humor dilakukan tetap
dengan hal-hal yang mendidik tidak terlepas dari tema atau materi yang
seharusnya disampaikan”. (Wawancara Zaini, 07 Mei 2019).
Tidak berhenti sampai disitu, yang lain misalnya seperti memberikan contoh-

contoh yang baik bahkan kalau bisa menjadi contoh. Lebih jelasnya KH. Muhammad

Munzir mengatakan:

“Kita seorang da’i memberikan contoh-contoh yang baik, bahkan kalau bisa harus
menjadi contoh. Kita berbicara sholat tahajud, kalau kita ngga sholat tahajud itu
bukan menjadi contoh, ia khan, hanya menceritakan. Maka yang diharapkan itu
Mauidzah al-Hasanah, dengan contoh-contoh yang baik, sejuru da’inya juga menjadi
panutan”. (Wawancara Munzir, 07 Mei 2019).
c. Metode al-Mujadalah

Al-Mujadalah merupakan metode yang juga dipakai oleh Kiai Nahdlatul Ulama

Kota Samarinda, namun dalam kondisi-kondisi yang menuntut untuk melakukannya.

Dalam beberapa kasus ada dari Kiai yang menerapkan dakwah ini ketika berdebat dengan

pendeta Kristiani, dan dari kalangan umat Islam yang terkena firus atheisme yang

mempertanyakan hal-hal yang prinsip dan sudah diyakini secara mutlak oleh agama

Islam.

Selain tiga metode yang dijelaskan diatas, beberapa metode dengan cara yang lain

juga dilakukan oleh para Kiai. Diantaranya metode dakwah dengan mengajak subjek
dakwahnya untuk berkelahi (aduh fisik), ini dilakukan apabila yang didakwahi sudah

benar-benar meresahkan warga sekitar dan ketika diperingati berulang-ulang tidak

diindahkan. Lebih jelasnya beliau mengatakan:

“Ooh, kalau metode dakwah saya ceramah, kemudian akhlak, kalau perlu yang
tidak haram bisa main kita. Main domi, main remi, begitu yah, yang menurut
ukuran orang itu haram apa segala, tapi itu kan tidak qat’i. Kelahi siap!!! (kelahi
Ustadz?) ooh kelahi…!!! kalaunya kita dakwah anu…. Memang keras orangya saya
berani kelahi. Itu nyawa taruhanya, kalau kau macam-macam saya melawan, kalau
ada yang perlu perlindungan kita, kita melindungi mereka”. (Wawancara
Jamaludin, 08 Agusutus 2019).
Hal yang hampir mirip juga dilakukan kepada para pecandu minuman keras,

dimana apabila orang yang mengosumsi minuman keras tidak mengindahkan

penyampaian dari Kiai atau ketika diberikan masukkan pemabuk tersebut justru

memperlihatkan dan menyerang sang Kiai, maka botol-botol minuman alkohol langsung

dipecahkan. Beliau mengatakan:

“Saya berapa kali berhadapan dengan orang, dengan berbagai macam kasus. Ada
yang minum haa…. itu perlu ditobatkan. Dinasihati dulu, tapi kalau memang kita
mampu ooh…. itu saya ambil gelasnya saya peacahkan didepanya, mau apa kamu.
Gitu aja… gitu aja. Sebab ini nda bisa di…, ada orang tertentu gitu, tapi nda semua
pemabuk saya bikin begitu. Ada yang kita sayangi ada yang kita kasih uang ada
yang kita ajari, bahkan ada yang pemakai narkoba yang itu. Banyak orang yang
ngga tau, karena kamu yang tanya ini. Narkoba itu kita sayangi, kita suruh kamu
bisa nyupir, kita suru nyupir ngantar ke sana ke mari. Siang malam kita dekati
mereka dengan uang, begitu”. (Wawancara Jamaludin, 08 Mei 2019).
Dakwah yang lain misalnya menaggapi persoalan equality pria dan wanita

mengenai kepemimpinan. KH. Muhammad Munzir berpendapat bahwa, dalam

kepemimpinan yang sifatnya global atau universal seperti Presiden, Gubernur, Bupati dan

Camat boleh diduduki oleh seorang perempuan. Alasanya adalah presiden atau gubernur

memiliki bawahan yang bisa membantunya dalam menyelesaikan berbagai macam

persolan pemerintahan. Namun dalam rumah tangga seorang suami berhak dan menjadi

pemimpin atas seorang istri. Beliau menguatkan atau mengkiyaskan pendapatnya dengan

memorabelia tragedi perang Jamal, yang mana saat itu pasukan perang dipimpin oleh

Syaidatina Aisyah radhiyallaahu ‘anha. Berbeda dengan KH. Amrillah. Beliau berpendapat

bahwa dalam kondisi global maupun pertikuler seorang wanita hukumnya tidak boleh

menjadi seorang pemimpin, hal ini selain bertentangan dengan kodrat seorang wanita
yang memiliki banyak kekurangan, juga bertentangan dengan dalil-dalil yang qat’i

tuturnya. Beliau mengitup ayat Alqur’an dan hadits:

‫ٱلِّر اُل َّٰو وَن َعَلى ٱلِّن ٓاِء َمِبا َفَّض ٱلَّل ۡع َض ۡم َعَلٰى ۡع ضٖ َمِبٓا َأنَفُقوْا ِم ۡن َأۡم َٰو ِهِلۚۡم‬
‫َب َو‬ ‫َل ُه َب ُه‬ ‫َس‬ ‫َج َق ُم‬
Terjemah: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa’: 34)
‫لن يفلح قوم ولوا أمرهم امر أة‬
Artinya: “Tidak akan beruntung kaum yang perkaranya dipimpin oleh seorang wanita.” (HR.
Bukhari)
Dari ayat Alqur’an dan hadits di atas jelas bahwa seorang wanita memiliki banyak

kekurangan atas laki-laki dalam masalah kepemimpinan Negara maupun kempimpinan

rumah tangga (Wawancara Amrillah, 07 Mei 2019).

Menanggapi kasus bunuh diri, KH. Muhammad Zaini berpendapat bahwa jika

membunuh diri sendiri dilakukan, tetapi dalam keadaan yang genting, seperti pernyataan

beliau yang penulis kutib secara verbatim:

“Orang yang membunuh diri sendiri jika dilakukan dalam keadaan darurat, seperti
ketika dalam situasi genting peperangan, dan jalan satu-satunya mengalahkan
musuh hanya dengan menghancurkan markas persenjataanya, maka hal yang
boleh dilakukan yakni menaiki mobil kemudian mobil tersebut ditabrakkan ke
tempat persenjataan atau amunisi lawan dengan tujuan meledakkan persenjataan
lawan tempur. Mati seperti ini boleh dilakukan tetapi dalam keadaan kasus seperti
ini. tetapi jika dalam kasus lain seperti dalam jihad atau dalam keadaan apapun
yang tidak dalam situasi dan kondisi status yang saya jelaskan di atas maka
dilarang membunuh diri sendiri dengan apapun itu”. (Wawancara Zaini, 07 Mei
2019).
Persoalan lain misalnya mengenai hukum mengucapkan selamat hari Natal kepada

umat Kristiani. KH. Khojir berpendapat yang penulis kutip secara verbatim:

“Semua agama itu punya rambu-rambu. Dalam Islam juga memiliki rambu-rambu.
Dalam Islam jelas masalah prinsip tidak boleh diganggu-gugat dan mengucapkan
selamat natal kepada umat Kristiani jelas tidak boleh. Karena ketika kita ikut-
ikutan mengucapkan selamat natal kepada mereka berarti secara tidak langsung
kita telah mengakui bahwa telah lahir pada tahun dan hari tersebut Tuhan yang
bernama Yesus. Kita sebagai umat Islam pun tidak mempermasalahkan jika mereka
saudara-suadar kita dari Nasrani yang tidak ikut-ikutan mengucapkan selamat
Hari Raya, tidak jadi masalah, dan itu biasa saja, tidak mesti harus dibuat tegang”.
(Wawancara Khozir, 08 Mei 2019).
Tentang hukum cadar KH. Syahrul Mubarak mengatakan cadar hukumnya sunah

dan bisa menjadi wajib jika dalam keadaan tertentu, seperti ada seorang wanita yang

memiliki kecantikan, yang mana kecantikan wajahnya dapat membuat lawan jenis ingin

melakukan hal-hal yang tidak baik atau dalam kata lain wajahnya dapat mendatangkan

fitnah, maka wajib untuk mengenakkan cadar. Sementara menanggapi mengenai jenggot

beliau mengatakan jenggot hukumnya Sunnah. Beliau juga menanggapi tentang seseorang

yang mengatakan semakin panjang jenggot maka semakin bodoh ini hal yang keliru

tuturnya (Wawancara Mubarak, 07 Mei 2019).

Kemudian kata-kata non-Muslim juga merupakan bagian dari metode dan strategi

dakwah, agar Islam tidak dianggap keras, serta agama yang tidak memberikan contoh

akhlak terpuji oleh agama-agama diluar Islam. Dengan adanya perubahan kata kafir

menjadi non-Muslim maka akan memberikan refleksi akan kerukunan dalam beragama

dan hidup bermasyarakat yang harmonis.

Dalam menjalankan dakwahnya terlihat Kiai NU Kota Samarinda juga berupaya

menginfiltrasikan nilai-nilai tasamuh, i’tidal, wasath, dalam setiap ruang lingkup sosial dan

keagamaan. Hal ini terlihat dari beberapa bidang diantaranya:

1) Bidang agama berupaya melaksanakan ajaran Islam menurut paham Ahli Sunnah wal-

Jama’ah dalam masyarakat dengan cara dakwah islamiah dan amar makruf nahi

mungkar serta menumbuhkan ukhuwah islamiah. Contohnya, menjelaskan kepada ja-

maah mengenai perkara khilafiyah seperti qunut subuh, tahlilan, maulid Nabi, yang

jika masih ada dalilnya, maka terbuka peluang untuk mengikuti salah satunya.

2) Pada bidang pendidikan pengajaran dan kebudayaan berupaya terwujudnya penye-

lenggaraan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan kebudayaan yang

sesuai dengan ajaran Islam untuk membina manusia muslim yang takwa, berbudi

luhur, terampil, berpengetahuan luas dan berguna bagi agama, bangsa dan negara.

3) Pada bidang sosial berupaya terwujudnya kesejahteraan rakyat dan bantuan terhadap

umat manusia yang membutuhkan seperti anak yatim, orang fakir miskin, serta

masyarakat yang berkekurangan lainnya.


4) Bidang ekonomi mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengu-

payakan pemerataan, kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil pemban-

gunan dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan. Hal

ini dilakukan sebab beberapa dari masyarakat tidak dapat melaksanakan agama disisi

lain disebabkan karena finansial ekonomi yang menipis. Maka masyarakat yang

berjualan tetapi terkendala gerobak, Kiai melalui LAZISNU mengupayakan dan men-

fasilitasi dengan dibuatkan gerobak.

5) Mengembangkan usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna ter-

wujudnya khaira ummah (Wawancara Munzir, 07 Mei 2019).

C. Respon Kiai NU Kota Samarinda Terhadap Fenomena Gerakan Dakwah

Selain berbagai macam kegiatan, strategi dan metode dakwah yang dilakuan oleh

Kiai Nahdlatul Ulama di Kota Samarinda yang telah dijelaskan diatas, Kiai juga

memberikan kontribusinya dalam melihat beberapa fenomena dakwah yang dilakukan

oleh beberapa organisasi Islam dimasyarakat diantaranya menanggapi beberapa

fenomena gerakan dakwah.

1. Dakwah Kelompok Salafi

Dakwah salafi adalah dakwah Islam yang sahih yang dibangun atas dasar alqur’an

dan sunnah dengan pemahaman salafus shalih. Kelompok ini merupakan gerakan atau

respon dari praktik keagamaan yang tidak sesuai dengan tuntunan yang dilakukan oleh

Rasulullah SAW, para sahabatnya, juga sebagai respon atas adat yang menyalahi aturan

yang dibuat oleh Allah dan Rasulnya. Menanggapi kelompok ini Kiai Nahdlatul Ulama

Kota Samarinda menjelaskan bahwa, mereka merupakan kelompok yang seringkali

menyalahkan dan membid’ahkan praktik-praktik keagamaan yang dilakukan oleh

masyarakat Nahdlatul Ulama, sehingga sebagian besar yang mereka lakukan adalah

menyalahkan, mendoktrin, dan membid’ahkan. Yang sering digaungkan adalah

membid’ahkan tahlilan dan maulid Nabi Muhammad SAW karena dianggap tidak

memiliki dalil yang kuat dan tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Selain itu

dalam masalah Tauhid mereka juga tidak sependapat dengan Imam Asy’ari dan Maturidi.

Sehingga rekomendasi sebagian Kiai Nahdlatul Ulama terhadap Kelompok ini adalah
menjauhi majelis-mejelis keagamaanya, terutama chanel Rodja TV karena jika tidak

dilakukan ideologinya dapat merusak pola pikir pengikutnya.

Sebagian Kiai juga beranggapan dan berpendapat bahwa yang dilakukan oleh

kelompok salafi merupakan kelompok yang berpegang teguh pada Alqur’an dan Sunnah,

sehingga wajar jika berbeda dalam hal-hal yang sifatnya khilafiyah. Namun kesimpulan

yang diberikan diakhirnya adalah merekomendasikan agar mengikuti dakwah mereka

diperbolehkan, tetapi dengan catatan bahwa orang tersebut telah mempuni dalam

pengetahuan keagamaan, sehingga dapat menyaring mana yang masih dalam batas yang

wajar sehingga boleh diterima dan mana yang buruk dan mesti dijauhi (Wawancara

Syairi, 09 Mei 2019).

2. Dakwah Organisasi FPI

Respon Kiai Nahdlatul Ulama terhadap organisasi Front Pembela Islam (FPI) juga

memiliki sisi dan sudut pandang yang berbeda-beda. Dalam konteks dakwah secara

umum yang dilakukan oleh FPI tergolong sivitas dakwah yang masih dalam batas-batas

yang wajar. Namun menaggapi suatu kasus seperti pengrebekan rumah makan sehingga

terjadi adu mulut dan fisik, ini terkesan keras walaupun yang dilakukan oleh FPI sudah

melalui jalur yang yang sistematis. Namun disisi lain ada juga pendapat Kiai Nahdlatul

Ulama yang mengatakan bahwa yang dilakukan oleh FPI sudah melalui berbagai jalur

sehingga tidak ada salahnya jika penggrebekan dilakukan.

Dalam kasus lain, sebagian Kiai juga menaggapi tentang dakwah yang dilakukan

oleh Habib Riziq Sihab. Respon Kiai tersebut terhadap orang yang mengatakan bahwa

Habib Riziq Sihab adalah da’i yang keras dan radikal adalah mereka tidak bisa

membedahkan mana yang tegas dan mana yang keras serta radikal. Dalam pernyataan

lain Kiai mengatakan suatu ungkapan bahwa “orang yang mengatakan Habib Riziq Sihab

keras mestinya harus dipukul atau ditampar” (Wawancara Muhammad, 08 Mei 2019).

D. Menimbang Moderasi Gerakan Dakwah Kiai NU di Kota Samarinda

Islam sebagai agama dakwah senantiasa memerintahkan umatnya untuk

mensyiarkan agama Islam kepada seluruh umat manusia, sebagai rahmat bagi seluruh

alam. Bagaimana rahmat sebagai seluruh alam tersebut dapat diterima maka tentunya
kebijaksanaan dan perilaku atau sikap wasathiyyah mesti ditanamkan dalam berbagai

macam aspek dakwah agar terwujud kebahagian dan kedamaian bagi umat manusia. Dari

sini da’i memiliki peranan yang sangat penting serta dominan dalam menentukan

keberhasilan dakwah. Maka seorang da’i dituntut harus benar-benar memiliki

kemampuan yang baik dan sikap yang moderat dalam gerakan dakwah Islam serta

memiliki keilmuan yang mempuni, sehingga dakwahnya dapat terlaksana dengan bijak,

arif, sistematis dan terencana.

Menurut analisis penulis sejumlah rangkaian gerakan dakwah yang dilakukan oleh

Kiai Nahdlatul Ulama di Kota Samarinda sebagian besar sudah mempraktikan konsep

moderasi. Namun disisi lain, masih terdapat sebuah sikap yang belum mencerminkan

perilaku atau cara pandang al-Wasathiyyah. Hal ini terlihat dari beberapa aspek atau

bidang dakwah.

Terkait strategi dakwah melalui beberapa penyesuaian antara pendakwah dengan

yang didakwahi, serta melihat situasi dan kondisi masyarakat, menyesuaikan kompetensi

kemampuan masyarakat yang didakwahi, melakukan pendekatan tokoh agama dan

kesukuan, kesemuanya merupakan pendekatan dakwah yang pernah diaplikasikah oleh

Rasulullah SAW. Rasul SAW sebelum berdakwah kepada orang lain terlebih dahulu

dakwah diterapkan kepada keluarganya, setelah itu kepada kerabat dekatnya. Di sini

terlihat bahwa Rasul bisa saja berdakwah secara terang-terangan tetapi kembali lagi

bahwa, agar dakwah mudah diterima maka jalur yang mesti ditempuh salah satunya

dengan menyesuaikan kompetensi masyarakat yang didakwahi. Sama halnya dengan

pendekatan tokoh agama dan kesukuan, beberapa kali Rasul menawarkan agama Islam

kepada raja-raja, seperti Raja Najasyi melalui sahabat Nabi yang hijrah, yang saat itu Raja

Najasyi merupakan pimpinan Negeri Habasyah, dan eskatologi dari hijrah tersebut sang

Raja dan bahawanya memeluk Islam.

Dalam Kitab Ringkasan Shahih Al-Bukhari yang disusun oleh Imam Az-Zabidi

pakar hadits Abad XV juga menjelaskan mengenai dakwah Rasulullah SAW melalui

pendekatan tokoh kepada seorang raja Heraclius penguasa Bizantium dengan

mengirimkan sebuah surat melalui Dihya kepada Gubernur Busra, yang diperlihatkan
kepada Heraclius untuk dibaca. Ini merupakan sebuah upaya-upaya strategi yang

dilakukan oleh Rasulullah SAW dalam meraih kesuksesan dan keberhasilan dakwah (Az-

Zabidi, 2013).

Secara umum metode dakwah yang diterapkan oleh Kiai Nahdlatul Ulama adalah

tabligh. Tabligh yang dimaksud, membentuk majelis-majelis ilmu atau ceramah untuk

menyampaikan petunjuk atau pesan yang akan disampaikan. Metode ini merupakan

metode yang didahulukan oleh Kiai Nahdlatul Ulama kota Samarinda dalam berdakwah

dengan disisipkan nilai-nilai al-Hikmah, Mauidzah al-Hasanah dan al-Mujadalah. Metode ini

yang juga disebut dengan dakwah bi al-Lisan yaitu menyeru serta memanggil orang lain

kejalan Allah, tentunya dengan menggunakan bahasa yang dipahami oleh mad’u. Terlihat

dari ketiga metode yang digunakan di atas jika ditinjau dari sudut pandang moderasi

gerakan dakwah, maka telah memenuhi indikator atau karakteristik yang mencerminkan

worldview al-Wasathiyyah yakni sifat adil, tengah-tengah, seimbang diantara dua aspek

yang saling bersebrangan, pilihan dan baik dalam setiap gerakan dakwah.

Selain metode tabligh, Kiai NU juga menggunakan metode bil al-Hal yakni ceramah

dengan ikut dan terjun langsung kelapangan atau mengenai sasaran dan objek dakwah.

Pada metode ini dakwah dilakukan dengan bermain domi dan remi, dan separuhnya lagi

kegiatan dakwah dilakukan dengan cara membasmi segala kemungkaran dengan

kekuatan fisik seperti berkalahi dan menghancurkan semua miuman keras yang

dikosumsi oleh mad’u. Sebagaimana pernyataan seorang Kiai yang telah dijelaskan pada

sub sebelumnya yakni:

“Ooh, kalau metode dakwah saya ceramah, kemudian akhlak, kalau perlu yang
tidak haram bisa main kita. Main domi, main remi, begitu yah, yang menurut
ukuran orang itu haram apa segala, tapi itu kan tidak qat’i. Kelahi siap!!! (kelahi
Ustadz?) ooh kelahi…!!! kalaunya kita dakwah anu…. Memang keras orangya saya
berani kelahi. Itu nyawa taruhanya, kalau kau macam-macam saya melawan, kalau
ada yang perlu perlindungan kita, kita melindungi mereka”. (Wawancara
Jamaludin, 08 Mei 2019).
Pernyataan yang sama juga beliau sampaikan:

“Saya berapa kali berhadapan dengan orang, dengan berbagai macam kasus. Ada
yang minum haa…. itu perlu ditobatkan. Dinasihati dulu, tapi kalau memang kita
mampu ooh…. itu saya ambil gelasnya saya peacahkan didepanya, mau apa kamu.
Gitu aja… gitu aja. Sebab ini nda bisa di…, ada orang tertentu gitu, tapi nda semua
pemabuk saya bikin begitu. Ada yang kita sayangi ada yang kita kasih uang ada
yang kita ajari, bahkan ada yang pemakai narkoba yang itu. Banyak orang yang
ngga tau, karena kamu yang tanya ini. Narkoba itu kita sayangi, kita suruh kamu
bisa nyupir, kita suru nyupir ngantar ke sana ke mari. Siang malam kita dekati
mereka dengan uang, begitu”. (Wawancara Jamaludin, 08 Mei 2019).
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis memahami pada metode bil al-Hal,

pendekatan dakwah yang Kiai lakukan di masyarakat tergolong moderat, seperti bermain

remi, ini merupakan strategi dakwah yang hampir mirip pernah dilakukuan oleh para

wali songo saat menyebarkan Islam di Nusantara. Pendekatan ini dilakukan dengan cara

berkecimpung dalam permainan-permainan tersebut sembari disisipkan pesan-pesan

dakwah terkait nilai-nilai Islam. Namun pada konteks dakwah meleburkan segala

kemungkaran dengan kekuatan fisik, sampai menghancurkan seluruh minuman keras

yang dikosumsi oleh mad’u, ini belum terbilang moderat atau al-Wasathiyyah al-Islamiyyah

secara utuh. Selain itu bersebrangan juga dengan makna al-Hikmah yang dijelaskan oleh

Kiai sebelumnya. Karna makna dari al-Hikmah adalah tidak berat kekanan dan juga tidak

berat kekiri, tidak radikal juga tidak liberal, tetapi berada ditengah-tengah atau seimbang

(wasath). Jika ditelusuri lebih jauh dan dihubungkan dengan dakwah yang dilakukan oleh

Rasulullah SAW, maka terlihat beberapa perbedaan yang sangat signifikan dan sangat

kontradiktif. Rasulullah setiap kali berdakwah menghindari sikap atau praktik kekerasan.

Hal ini dapat dilihat dari beberapa kisah sejarah dimana ketika Rasul berdakwah di kota

Ta’if, beliau dilempari batu oleh orang-orang kafir, bahkan satu riwayat mengatakan

bahwa gigi beliau patah serta darah bercucuran diwajah baginda Rasulullah SAW. Tetapi

tindakan yang rasul lakukan adalah dengan mendoakan mereka orang-orang kafir agar

suatu saat dari keturunan mereka lahir keturunan-keturunan yang beribah kepada Allah

Swt. Hal ini mirip dengan yang disabdakan oleh Rasulullah SAW yang berbunyi:

‫ فأن مل يستطع فبلسانه فأن مل يستطع فبقلبه وذلك أضعف األميان‬,‫من رأى منكم منكرا فليغريه بيده‬
Artinya: “Barang siapa yang melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tanganya, jika tidak
mampu maka rubahlah dengan lisanya, jika tidak mampu maka tolaklah dengan hatinya dan hal
tersebut adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Mengenai perempuan menjadi seorang pemimpin, yang disampaikan oleh KH.

Amrillah kurang lebih sama seperti yang dikatakan oleh (alm) Gus Dur, bahwa ayat

mengenai kepemimpinan yang ada dalam Alqur’an surah an-Nisa ayat 34 dapat diartikan
dua macam. Pertama, lelaki bertanggung jawab secara fisik atas keselamatan wanita.

Kedua, lelaki lebih pantas menjadi pemimpin negara, dan Gus Dur menambahkan,

ternyata para pemimpin Islam lebih memilih pendapat yang kedua. Ayat dan hadits juga

banyak menjelaskan bahwa kelemahan yang dimiliki wanita atas lelaki, sehingga jumhur

ulama berpendapat bahwa seorang pemimpin lebih berhak atas lelaki.

Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh KH. Muhammad Munzir, bahwa

wanita boleh menjadi pemimpin didasarkan atas kepemimpinan Aisyah saat memimpin

perang jamal. Aisyah yang merupakan salah satu muslimat yang meriwayatkan hadits

Nabi, serta tingkat kecerdasannya diakui oleh para sahabat yang sering meminta

pendapat beliau ketika hendak memecahkan permasalahan, membuktikan bahwa wanita

walaupun termasuk golongan lemah tetapi masih dipercaya menjadi pemimpin.

Seandainya seorang wanita mutlak tidak diperbolehkan menjadi pemimpin, maka sudah

pasti Aisyah memilih lelaki yang menjadi pemimpin perang jamal pada saat itu. Pada

hakikatnya wanita memiliki hak untuk menjadi pemimpin dalam beberapa aspek jika

mampu, apalagi dalam kondisi Negara yang demokratis. Oleh karenannya jika ditinjau

dari aspek moderasi Islam, maka pendapat ke dua Kiai diatas sama-sama menempati

posisi yang dinamakan al-Wasathiyyah al-Islamiyyah yaitu menempatkan wanita pada porsi

dan tempatnya masing-masing.

Sebagaimana yang penulis telah paparkan pada bab sebelumnya juga, bahwa

strategi gerakan dakwah yang diterapkan oleh Kiai Nahdlatul Ulama di Kota Samarinda

dapat dilakukan dengan berbagai macam cara selama cara-cara tersebut tidak

bertentangan dengan syarah. Segala adat istiadat, atau kebiasaan yang dilakukan di

masyarakat selama tidak menyentuh aqidah maka tidak mengapa dilakukan.

Berdasarkan penjelasan tersebut jika di analisis berdasarkan indikator-indikator

konsep moderasi Islam atau al-Wasathiyyah al-Islamiyyah yang bercirikan, (tengah-tengah,

seimbang, adil, terbaik, serta berperilaku yang didasari atas sikap tawazun (seimbang)

dalam menyikapi dua keadaan perilaku yang dimungkinkan untuk dianalisis dan

dibandingkan, sehingga dapat ditemukan sikap dan kondisi yang tidak bertentangan

dengan prinsip-prinsip ajaran agama dan tradisi masyarakat), maka kegiatan atau
pernyataan tersebut sesuai dengan prinsip dasar dari al-Wasathiyyah. Prinsip dasar dari al-

Wasathiyyah adalah berada ditengah, adil, seimbang, baik, dan melaksanakan segala

sesuatu dengan tidak mengedepankan sikap ifrath (berlebihan) dan tafrith (bermudah-

mudah).

Menaggapi persoalan equality, mengucapkan selamat hari Natal, cadar, jenggot dan

kata-kata non-Muslim, terlihat bahwa apa yang difatwakan oleh Kiai NU yang ada di

Kota Samarida tidak berbeda jauh dengan apa yang difatwakan oleh ulama-ulama

terdahulu. Walaupun berbeda dalam pendalilan dan terdapat beberapa jawaban yang

bentuknya khilafiyah tetapi sejalan dan searah silogisme inti dari pembicaraan dan

maksud tujuannya. Namun berbeda dengan kasus membunuh diri sendiri, jelas jumhur

ulama berpendapat bahwa hal tersebut tidak dibenarkan. Adapun jika niatnya ingin

menghancurkan lawan dan satu-satunya cara hanya dengan mengorbankan diri sendiri

maka tentu ini pula tidak dibenarkan dan bertentangan dengan dalil-dalil yang ada,

seperti firman Allah SWT:


‫ۡل ِط‬ ‫ۡأ‬ ‫ِذ‬ ‫َٰٓي‬
‫َأُّيَه ا ٱَّل يَن َءاَم ُن وْا اَل َت ُك ُلٓو ْا َأۡم َٰو َلُك م َبۡي َنُك م ِبٱ َٰب ِل ِإٓاَّل َأن َتُك وَن َٰجِت َر ًة َعن َتَر اضٖ ِّم نُك َو اَل َت ُتُلٓو ْا َأنُف َس ُك ِإَّن ٱلَّل َه‬
‫ۚۡم‬ ‫ۡق‬ ‫ۚۡم‬
‫َك اَن ِبُك ۡم َر ِح يم‬
Terjemah: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha
penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa: 29)
Imam al-Baghawi rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas beliau mengatakan

bahwa membunuh diri sendiri dan membunuh sesama umat Islam hukumnya haram.

Beliu juga mengutip satu ayat dalam Alqur’an surah al-Baqarah ayat 195 dan menegaskan

bahwa larangan menjatuhkan diri sendiri dalam kebinasaan.

Pada bidang organisasi keagamaan seperti salafi dan FPI, Kiai sangat sensitif dalam

merespon beberapa kasus. Seperti yang telah dijelaskan di atas mengenai organisasi FPI

bahwa memang pada praktiknya ada sebagian Kiai Nahdlatul Ulama Samarinda yang

tidak sependapat dengan gerakan dakwah yang dilakukan. Namun di sisi lain pula ada

juga yang berpendapat boleh, tetapi dengan berbagai prosedur yang telah dilakukan.

Selain itu respon terhadap gerakan dakwah salafi. Jika dibahas dan dikupas dengan

tajam, Sebagian Kiai Nahdlatul Ulama tidak sepakat dengan gerakan dakwah yang
dilakuan oleh kelompok ini, alasanya adalah ideologi yang disampaikan akan merusak

tatanan dan cara berpikir masyarakat terutama dari kalangan Nahdliyyin.

Menurut hasil penelitian penulis, Kiai Nahdlatul Ulama Kota Samarinda

menyadari bahwa tidak semua yang disampaikan oleh gerakan yang mengatasnamakan

salafi semuanya negatif. Menurut beberapa Kiai, erakan dakwah salafi dapat ditolak jika

bersinggungan dalam beberapa prinsip seperti aqidah, bahkan secara jelas menyatakan

bahwa aqidah dan ideologi kelompok ini mesti diwaspadai, karena dapat merusak akhlak

dan moral.

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analis tentang konsep moderasi gerakan dakwah

Kiai Nahdlatul Ulama di Kota Samarinda, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Gerakan dakwah yang dilakukan oleh Kiai Nahdlatul Ulama di Kota Samarinda,

terbagi menjadi dua yaitu dakwah offline yang dilakukan di berbagai macam tempat

seperti masjid, majelis ta’lim, rumah warga dan yang kedua dakwah online melalui me-

dia interaktif melaui TVRI Samarinda, Yootube, facebook, Instagram dan Islamic Cen-

ter Television.

2. Gerakan dakwah yang dilakukan oleh Kiai Nahdlatul Ulama di Kota Samarinda seba-

gian besar telah menerapkan atau mempraktikkan suatu sikap atau cara pandang yang

moderat atau al-Wasathiyyah dalam beberapa gerakan dakwahnya seperti dalam dak-

wah bil al-Lisan. Sikap dan praktik al-Wasathiyyah al-Islamiyyah Kiai NU Kota

Samarinda juga terlihat dari beberapa metode dakwah, diantaranya al-Hikmah,

Mauidzah al-Hasanah dan al-Mujadalah.

3. Narasi egaliter dengan bahasa yang santun dan rasa penghargaan yang tinggi ter-

hadap budaya dan adat istiadat di masyarakat, merupakan strategi bahasa yang digu-

nakan oleh Kiai Nahdlatul Ulama di Kota Samarinda dalam berdakwah. Budaya yang

tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip aqidah Islam maka dijadikan ajang atau ke-

sempatan untuk menginfiltrasikan nilai-nilai dakwah di dalamnya.


4. Meskipun konsep al-Wasathiyyah telah menjadi konsep dasar gerakan dakwah Kiai NU

di Kota Samarinda, namun dalam praktiknya sebagian masih berpegang teguh pada

praktik dakwah dengan paham tradsional Islam. Paham tardisional tersebut dapat di-

lacak dari pemikiran mereka misalnya, tentang posisi perempuan dalam konteks

kepemimpinan dan metode dakwah di masyarakat.

5. Dalam menanggapi beberapa persolan terkait dengan gerakan dakwah organisasi

keislaman seperti salafi dan FPI, Kiai NU terkesan berhati-hati dan memberikan

rekomendasi untuk tidak mengikuti dakwah organisasi tersebut, kecuali bagi orang

yang sudah memiliki keilmuan mempuni dalam keagamaan. Hal ini dilakukan karena

beberapa dakwah yang dilakukan terindikasi ideologi yang akan berdampak kepada

keburukan perilaku dan akhlak.

SARAN/REKOMENDASI (OPSIONAL)
Apabila diperlukan, saran/rekomendasi dapat dimasukkan yang dapat berisi rekomendasi
akademik, tindak lanjut nyata, atau implikasi kebijakan atas kesimpulan yang diperoleh.

UCAPAN TERIMA KASIH


Sebagai wujud penghargaan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan
naskah atau dalam penelitian dan/atau pengembangan. Disebutkan siapa yang patut
diberikan ucapan terima kasih, baik secara organisasi/institusi, pemberi donor ataupun
individu.

DAFTAR ACUAN
{BIBLIOGRAPHY}

Metode sitasi ditulis berdasarkan gaya American Psychological Association (APA) dengan
menggunakan aplikasi referensi Mendeley. Daftar pustaka berisi semua kutipan dan ru-
jukan yang digunakan dalam sebuah artikel. Referensi yang digunakan minimal 10 ru-
jukan, minimal 60% dari terbitan 5 tahun terakhir dan minimal 70% berasal dari sumber
primer.
Contoh Citation Style APA;

BUKU
Penulis tunggal;
Baxter, C. (1997). Race equality in health care and education. Philadelphia: Balliere
Tindall.

Penulis dua atau tiga;


Cone, J.D., & Foster, S.L. (1993). Dissertations and theses from start to finish:
Psychology and related fields. Washington, DC: American Psychological
Association.

Tidak ada nama penulis;


Merriam-Webster’s collegiate dictionary (10th ed.). (1993). Springfield, MA:
Merriam-Webster.

Bukan edisi pertama;


Mitchell, T.R., & Larson, J.R. (1987). People in organizations: An introduction to
organizational behavior (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Penulis berupa tim atau Lembaga;


American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual of
mental disorders (4th ed.). Washington, DC: Author.

Buku berseri/multi volume (editor sebagai penulis);


Koch, S. (Ed.). (1959-1963). Psychology: A study of science (Vols. 1-6). New York:
McGraw-Hill.

Terjemahan;
Kotler, Philip. (1997). Manajemen pemasaran : Analisis, perencanaan, implementasi (Hendra
Teguh & Ronny Antonius Rusli, Penerjemah.). Jakarta: Prenhallindo.

Artikel atau bab dalam buku yang diedit;


Eiser, S., Redpath, A., & Rogers, N. (1987). Outcomes of early parenting: Knowns and
unknowns. In A. P. Kern & L. S. Maze (Ed.). Logical thinking in children (pp. 58-87).
New York: Springer.

Artikel/istilah dalam buku referensi;


Schneider, I. (1989). Bandicoots. In Grzimek’s encyclopedia of mammals (vol.1, pp.
300 304). New York: McGraw-Hill.

Makalah seminar, konferensi, dan sejenisnya;


Crespo, C.J. (1998, March). Update on national data on asthma. Paper presented at
the meeting of the National Asthma Education and Prevention Program, Leesburg,
VA.

SERIAL
Artikel Jurnal;
Clark, L.A., Kochanska, G., & Ready, R. (2000). Mothers’ personality and its interaction
with child temperament as predictors of parenting behavior. Journal of Personality and
Social Psychology, 79, 274-285.

Artikel Majalah;
Greenberg, G. (2001, August 13). As good as dead: Is there really such a thing as
brain death? New Yorker, 36-41.

Artikel surat kabar;


Crossette, Barbara. (1990, January 23). India lodges first charges in arms Scandal. New
York Times, A4.

Artikel surat kabar, tanpa penulis;


Understanding early years as a prerequisite to development. (1986, May 4). The Wall
Street Journal, p. 8.

Resensi buku dalam jurnal;


Grabill, C. M., & Kaslow, N. J. (1999). Anounce of prevention: Improving children's
mental health for the 21st century [Review of the book Handbook of prevention
and treatment with children and adolescents]. Journal of Clinical Child Psychology, 28,
115 116.

Resensi film dalam jurnal;


Lane, A. (2000, December 11). Come fly with me [Review of the motion picture
Crouching tiger, hidden dragon]. The New Yorker, 129-131

WAWANCARA
White, Donna. (1992, December 25). Personal interview.

KARYA LAIN DAN KARYA NONCETAK


Acara Televisi;
Crystal, L. (Executive Producer). (1993, October 11). The MacNeil/Lehrer news hour.
[Television broadcast]. New York and Washington, DC: Public Broadcasting
Service.

Kaset Video/VCD;
National Geographic Society (Producer). (1987). In the shadow of Vesuvius
. [Videotape]. Washington, DC: National Geographic Society.

Kaset Audio;
McFerrin, Bobby (Vocalist). (1990). Medicine music [Audio Recording]. Hollywood,
CA: EMI-USA.

Perangkat lunak computer;


Arend, Dominic N. (1993). Choices (Version 4.0) [Computer software]. Champaign,
IL: U.S. Army Corps of Engineers Research Laboratory. (CERL Report No.CH7-
22510)

PUBLIKASI ELEKTRONIK
Karya lengkap;
McNeese, M.N. (2001). Using technology in educational settings. October 13, 2001.
University of Southern Mississippi, Educational Leadership and Research.
http://www.dept.usm.edu/~eda/

Artikel dari pangkalan data online;


Senior, B. (1997, September). Team roles and team performance: Is there really a
link? Journal of Occupational and Organizational Psychology, 70, 241-258. June
6, 2001. ABI/INFORM Global (Proquest) database.

Artikel jurnal di website;


Lodewijkx, H. F. M. (2001, May 23). Individual- group continuity in cooperation and
competition undervarying communication conditions. Current Issues in Social
Psychology, 6 (12), 166-182. September 14, 2001. http://www.uiowa.edu/~grpproc/
crisp/crisp.6.12.htm

Dokumen Lembaga;
NAACP (1999, February 25). NAACP calls for Presidential order to halt police
brutality crisis. June 3, 2001.
http://www.naacp.org/president/releases/police_brutality.htm

Dokumen lembaga, tanpa nomor halaman, tanpa informasi tahun penerbitan;


Greater Hattiesburg Civic Awareness Group, Task Force on Sheltered Programs.
(n.d.). Fund-raising efforts. November 10, 2001. http://www.hattiesburgcag.org

Penulis dan informasi waktu penerbitan tidak diketahui;


GVU's 8th WWW user survey. (n.d.). September 13, 2001.
http://www.gvu.gatech.edu/user_surveys/survey-1997-10/
Email;
Wilson, R.W. (1999, March 24). Pennsylvania reporting data. Child Maltreatment
Research. March 30, 1999. CHILD-MALTREATMENT-R-L@cornell.edu

CD-ROM;
Ziegler, H. (1992). Aldehyde. The Software Toolworks multimedia encyclopedia (CD
ROM version 1.5). Boston: Grolier. Januari 19, 1999. Software Toolworks.

Nickell, Stephen J. (August 1996). Competition and corporate performance. The


Journal of Political Economy, 104(4), 724-747. December 15, 2003. Proquest
Database (CD-ROM).

Anda mungkin juga menyukai