Anda di halaman 1dari 2

Sekolah tempat aku mengajar berada di pesisir pantai, tepatnya pantai Carita.

Lingkungan pantai
tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagiku. Datang ke sekolah dengan setumpuk idealisme,
membuatku ingin menciptakan pengalaman belajar yang berbeda bagi muridku. Pertama kali masuk
kelas, aku mencoba memetakan apa yang menjadi harapan murid-muridku. Kusuruh mereka
menyobek satu lembar kertas, kemudian aku perintahkan mereka untuk bercerita tentang diri
mereka dan harapan pembelajaran yang harus aku lakukan di kelas. Aku ingin tahu apa yang mereka
harapkan selama belajar Pendidikan Kewarganegaraan denganku. Ya, selama ini sebagian orang
menganggap mata pelajaran kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang membosankan, tidak
seksi, dan dianggap sebagai mata pelajaran pelengkap saja. Bahkan, di banyak sekolah, saat akan
menghadapi Ujian Nasional, jam mata pelajaran kewarganegaraan diganti dengan mata pelajaran
yang diujikan dalam UN.

Alangkah terkejutnya aku ketika membaca cerita murid-muridku. Banyak yang mengalami masalah
di rumahnya. Ada yang sejak kecil ditinggalkan oleh ayahnya, bahkan ada juga yang sampai saat ini
tidak mengetahui keberadaan ayahnya. Ada beberapa murid yang menghabiskan waktunya selepas
sekolah dengan berjualan di pinggir pantai, menyewakan papan luncur (boogie), dan menawarkan
jasa membuat tato temporer yang bisa dihapus dalam waktu dua minggu.

Dari tulisan mereka, aku menjadi tahu bahwa mereka mengharapkan pembelajaran
kewarganegaraan yang mengasyikkan. Pembelajaran tidak dilakukan dengan serius. mereka
menginginkan pembelajaran diselingi candaan. Ini tantangan bagiku, karena aku orangnya serius,
sulit sekali untuk bercanda, apalagi dengan murid di kelas yang sangat formal seperti ini. Mungkin
strategi yang aku pilih akan lebih banyak menonton standup comedy di saluran youtube, untuk
menambah referensiku tentang lawakan. Ya, ini tantangan bagiku. Murid- murid penuh harap, dan
itu harus aku penuhi.

Ada juga murid yang meminta untuk tidak banyak mencatat selama pembelajaran. Aku sempat
berpikir, kok kenapa sampai muncul permintaan seperti itu? Jangan-jangan ini yang sering terjadi di
kelas, guru memberikan tulisan untuk didikte dan ditulis ulang oleh murid.

Rabu pagi aku datang kesekolah. Ketika aku sedang susah payah menstandardkan motor vespa
kuning kesayanganku, tiba- tiba ada suara menyapa di belakangku.

"Selamat pagi, Pak, jangan lupa masuk di kelas kami nanti habis istirahat ya," sapa Aksan murid kelas
XI IPS 1. "Pasti," jawabku singkat.

Aku merasa nyaman mengajar di kelas IPS, walau menurut sebagian guru mengajar di kelas IPS
adalah kelas "neraka". Ada stigma bahwa kelas IPS adalah kelas buangan, guru sering berbanyol
bahwa anak IPS adalah anak-anak madesu atau masa depan suram. Sehingga ada sebagian guru yang
ketika masuk kelas IPS sangat malas sekali. Betapa tidak, kelas kotor tidak tertata, banyak siswa yang
membolos, dan selalu ribut mengobrol selama proses pembelajaran. Ini menjadi tantangan bagiku,
aku sudah menyusun rencana mengasyikkan. pembelajaran agar belajar nanti lebih

Bel berbunyi. Aku bergegas menuju kelas. Sampai di kelas seperti biasa aku membuka pelajaran
dengan menyapa muridku. Hari itu cuaca terasa panas sekali. Maklum saja, sekolahku berada tak
jauh dari pantai, dan belum memiliki fasilitas pendingin ruangan.

Aku mulai dengan melontarkan pertanyaan mengenai kewajiban dan hak sebagai siswa.

"Apa sajakah yang menjadi hakmu sebagai siswa?" ujarku. "Belajar. Pak." celetuk Banu.
"Banu, apakah belajar itu hak atau kewajiban kamu sebagai siswa?" tanyaku. "Belajar adalah hak
kita, Pak. Guru berkewajiban mengajar karena kami telah membayar uang SPP setiap bulannya,"
Banu menimpali. Kelas menjadi ramai. Murid-murid banyak mengemukakan apa saja yang menjadi
hak siswa. Ada yang menjawab, siswa berhak mendapatkan ruang kelas yang nyaman untuk belajar.
Aku akui, ruang tempat kami belajar kurang nyaman. Apalagi kalau musim panas seperti sekarang
ini. Suhu di kelas sangat panas sekali karena sekolah kami berada tidak jauh di tepi pantai. Jangankan
pendingin ruangan, kipas angin saja tidak ada. Jumlah kelas yang gemuk membuat suhu semakin
panas. Namun ada siswa yang mendebat bahwa belajar itu bukan hak tetapi merupakan kewajiban.

Selanjutnya aku membahas kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh siswa. Ada siswa yang
berpendapat bahwa salah satu kewajiban siswa adalah membayar iuran SPP setiap bulannya. Wah
menarik ini, lalu aku coba memberikan pemahaman kepada mereka. Aku ajak mereka berhitung
matematis. Saat itu murid di sekolahku sekitar sembilan ratus orang. Masing-masing dari mereka
membayar iuran SPP enam puluh ribu per bulan.

"Nah, coba kalian hitung berapa jumlah enam puluh ribu dikali sembilan ratus orang dan dikali dua
belas. Bukankah jumlah yang sangat besar?" tanyaku.

"Kemudian coba kalian tambalıkan dengan sumbangan awal tahun yang harus kalian bayar sebesar
dua juta lima ratus ribu rupiah. Jumlahnya sangat besar sekali bukan?" lanjutku bertanya pada
mereka.

Belum selesai aku menjelaskan tiba-tiba Aksan berseloroh. "Wah duit banyak kayak begitu kenapa
kelas kita tidak ada AC. Kan belajar bisa enak kalau pake AC. gak usah ngiplik kaya gini, kita bisa
konsentrasi belajar". Ngiplik dalam istilah bahasa Sunda berarti mengipas-ngipas.

"Mendapatkan fasilitas pembelajaran yang layak adalah hak teman-teman" kataku. Aku sering
memanggil muridku dengan sebutan teman-teman untuk lebih mendekatkan diri kepada mereka.

Kelas menjadi ramai, banyak siswa yang berpendapat bahwa hak-hak mereka sebagai siswa belum
terpenuhi, misalkan tingkat kehadiran guru yang jarang masuk ke kelas, fasilitas lab komputer yang
tidak layak menjadi tema pengantar proses pembelajaran.

Lalu aku susul dengan pertanyaan "Bagaimana kalau di sekolah terjadi korupsi? Apa yang akan kalian
lakukan dan perbuat jika di sekolah kita terjadi kasus korupsi?".

Kelas menjadi hening sejenak. "Tidak mungkin terjadi korupsi di sekolah Pak," seloroh Putri.

"Bisa saja terjadi, toh guru juga manusia biasa, apalagi tadi kita bahas di awal bahwa anggaran
sekolah setiap tahunnya sangat besar sekali," kataku.

Anda mungkin juga menyukai