Anda di halaman 1dari 4

Merdeka Menulis dengan Mentimeter dan Google Earth

“Anak-anak, sekarang kita belajar menulis. Tugasnya, membuat tulisan jenis


apapun, mau karangan bebas, puisi, atau cerita pendek, selembar halaman saja!”
perintah guru saya kala itu.

Kami memandangi satu sama lain, beberapa di antaranya saya dapati dengan wajah
yang terheran-heran, ada juga yang matanya kosong seperti sedang berusaha
membayangkan sesuatu, bahkan sebagian teman saya sampai keluar selepas guru
memberikan tugas dan pergi meninggalkan kelas.

Tak banyak yang bertahan di dalam kelas untuk menuntaskan tugas yang diberikan
guru kami. Rasa kantuk, bosan, dan masih banyak perasaan kompleks yang saya
rasakan terus menghimpit diri saya. Sebab, guru menugasi tanpa petunjuk dan
arahan yang jelas. Karena sesuatu yang mudah sekalipun akan terasa sukar jika
tidak dibarengi dengan petunjuk dan arahan yang jelas pula.

****

Yah, kurang lebih begitulah sepotong pengalaman yang masih tersimpan dalam
memori saya kala masih berseragam sekolah.

Maka tak heran kalau banyak yang beranggapan bahwa menulis ialah sesuatu yang
sangat membosankan dan sukar. Betapa tidak, masih banyak lagi pengalaman yang
saya dapatkan dan sering saya dengar. Misalnya, seorang guru memberikan tugas
kepada anak-anak untuk menulis puisi dengan tema laut. Sementara siswa sendiri
berada dalam ruang kelas yang sempit.

Ruang kelas tak bisa menampung imajinasi yang luas juga tak bisa mereka indrai
untuk mendeskripsikan laut itu seperti apa. Meskipun mereka sudah tahu konsep
laut dalam benaknya. Akhirnya pembelajaran menulis menjadi stereotip yang buruk
bagi anak-anak. Sedangkan keterampilan menulis mampu mengasah anak-anak
berpikir kritis, daya ingat, motorik, memperkaya kosakata, meningkatkan
kemampuan anak menangkap pelajaran, dan masih banyak lagi.

****

Sekarang, keadaan itu berbalik ke arah saya. Apa yang saya rasakan dulu masih
dirasakan anak-anak sampai saat ini. Sebagai guru Bahasa Indonesia, saya
terkadang iri dengan guru-guru yang lain. Misalnya, guru Science dan Math. Mereka
banyak melakukan inovasi dalam pembelajaran dengan menggunakan teknologi
sebagai medium pamungkas. Apalagi di era sekarang, segalanya berkhidmat
kepada teknologi. Saya berpikir sepertinya teknologi memang diciptakan
seakan-akan hanya untuk mata pelajaran itu.
“Yah, enakan mereka, banyak hal yang cocok dieksplorasikan dengan teknologi
ketimbang pelajaran Bahasa Indonesia.” kataku saat itu.

Mungkin memang nasib menjadi guru Bahasa Indonesia sudah seperti ini. Metode
pengajarannya hanya berkutat pada itu-itu saja. Pagi hingga petang mengajar
anak-anak dengan buku teks. Pulang ke rumah menyiapkan perangkat
pembelajaran untuk besok hari serta memeriksa lembaran tugas anak-anak.

Besoknya, saya kembali dengan rutinitas yang berulang dan terus seperti itu. Ah,
benar apa yang dikatakan Arthur Schopenhauer bahwa ada yang salah dengan
kehidupan kita yang terus berulang: lahir, besar, sekolah, kerja, menikah, punya
anak, mati, dan begitu seterusnya.

“Tidak! Tidak! Kehidupan saya harus diselamatkan!” pikirku terus seperti itu.

Beruntungnya, saya selalu percaya dengan petuah-petuah pendahulu yang mulai


ditinggalkan secara perlahan di zaman ini : setetes keringat yang kita hasilkan
karena belajar keras akan menuai hasil sendiri. Sebab orang baik pasti akan selalu
dipertemukan dengan orang baik.

Saya membulatkan tekad untuk mencoba peruntungan baru. Pertemuan pertama


saya bersama Komunitas Guru Belajar mulai saya lakonkan. Bukan hanya soal
belajar dan berdiskusi bersama, bukan hanya bertemu dengan rekan-rekan seantero
Nusantara dalam berjejaring luas. Tapi, tempat belajar ini mengubah semangat saya
untuk tetap kukuh sebagai seorang guru yang sudah sejak awal ingin saya
tinggalkan.

****

Saya memulai kelas dengan tantangan yang berlipat ganda. Belum selesai satu,
sudah berdatangan pula tantangan yang sama sekali baru dan tak terduga ini :
pandemi covid-19. Pikirku, ini kesempatan besar untuk menggunakan teknologi
sebagai salah satu medium untuk melawan arus covid-19.

Di awal tahun ajaran 2020/2021, saya mulai dengan materi teks deskripsi. Tujuan
pembelajaran yang diharapkan ialah anak-anak mampu menulis dengan baik dan
menghapuskan stereotip yang selama ini membayangi prasangkanya.

Lewat jalan-jalan yang begitu banyak ditawarkan oleh teknologi, saya jadi banyak
mengenal media yang menarik untuk saya adopsi agar tercipta pembelajaran
menulis yang interaktif dalam situasi pandemi. Di antaranya platform Google Earth
dan Mentimeter.

Keduanya punya cara kerja yang berbeda. Google Earth biasa digunakan untuk
mengajak siswa berjalan-jalan secara virtual sebagai solusi pengganti field trip.
Sementara Mentimeter biasa digunakan untuk melakukan presentasi interaktif. Saya
melihat potensi dari kedua platform ini untuk diintegrasikan ke dalam materi menulis.

****

Syahdan. Saya mulai menerapkannya di kelas daring menggunakan Google Meet.


“Siapa yang suka menulis?” tanyaku kepada mereka. Sebagai langkah awal
membuka pelajaran.

Tak ada satupun yang mengaktifkan mic atau menuliskannya di kolom chat. Tak
lama, salah seorang anak menyeletuk,”Pak, kita belajar yang lain saja atau paling
tidak kita bermain games.” Semuanya pada ramai berteriak.

Saya tersenyum-senyum dan semakin tertantang. “Yah sudah kalau begitu, kita
bermain games saja!” seru saya kepada mereka.

Hal yang paling pertama saya sampaikan kepada anak-anak untuk membuka
aplikasi Mentimeter. “Pak, ini apa? Kita mau buat apa?” tanya salah seorang anak
dengan rasa heran.

“Lakukan saja! sebentar kalian akan tahu,” jawab saya.

Kemudian saya mengajak mereka untuk mengetik masing-masing satu kata yang
sedang mereka lihat dan rasakan di rumah. “Baik, sekarang kalian ketik satu kata
yang kalian lihat dan rasakan disekitar kalian!” Perintah saya kepada mereka sambil
mempresentasikan layar.

Setelah kata-kata itu terkumpul, mereka semakin penasaran. Lalu saya meminta
siswa untuk membuat satu paragraf berdasarkan kumpulan kata-kata acakan itu.
Seru juga, soalnya ada yang berteriak histeris karena merasa tertantang dan ada
yang sangat antusias.

Setelah mereka selesai menulis sebuah paragraf, saya langsung mengatakan


bahwa kalian baru saja selesai menulis dengan perasaan gembira! “Sukar dan
membosankan?” tanya saya kepada mereka.

Kedua, saya memberikan umpan balik dan penguatan bahwa mereka mampu
menulis. Akhirnya saya mengajak mereka menerima tantangan yang jauh lebih
mengasyikkan. Mereka tetap mengikuti kelas daring dengan rasa penasaran. Nah,
selanjutnya saya memperkenalkan Google Earth kepada mereka. Semuanya
bertanya-tanya. Saya mengatakan kepada mereka bahwa kita akan berjalan-jalan
hari ini.

“Kalian mau kemana?” tanyaku.

Ada yang iseng mengatakan Prancis, Arab, dan masih banyak lagi. Akhirnya saya
mengajak mereka ke Menara Eiffel. “Wahhh keren!” seru siswa.
Setelah saya memperlihatkan Menara Eiffel, saya mengajak mereka untuk
berkomentar menggambarkan objek itu secara detail lalu menuliskannya. Hasilnya,
mereka telah menyelesaikan satu teks deskripsi tanpa mereka sadari kalau mereka
sedang belajar. Bahagia bukan main. Mengajak mereka berjalan-jalan sambil
menulis tanpa harus kemana-mana.

Di akhir pelajaran saya mengajak anak-anak melakukan refleksi. Semuanya


mengatakan bahwa ternyata menulis ialah sesuatu yang mengasyikkan jika kita
ikhlas dalam mempelajarinya. Refleksi yang sangat mengharukan bagi saya.

Agar semakin bermakna, saya biasa menutup kelas dengan quote yang sejalan
dengan materi. Saya tutup dengan meminjam perkataan Pramoedya Ananta Toer,
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di
dalam masyarakat dan dari sejarahnya. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”

Anda mungkin juga menyukai