Anda di halaman 1dari 4

Esai

Sistem Sekolah yang Tidak Fokus, Menyulitkan Para Siswa Menggapai Cita.-cita.

Saat SMA dulu, seorang teman (sebut saja Mul), bercita-cita menjadi pegawai Kantor
Pekerjaan Umum, karena penghasilannya banyak. Untuk tujuan itu, dia kuliah di jurusan
Teknik Sipil. Pada awal semester dua, Si Mul pindah jurusan ke nutrisi dan makanan ternak.
Menurutnya, bisa aja dia tamat di salah satu dari dua jurusan itu dengan kualitas seadanya..
Mulai dia sadari, jurusan yang dipilih nggak sesuai potensi dirinya. Saat UMPTN berikutnya,
dia ikut lagi dan lulus di IESP UNRAM.

Saya pernah baca suatu tulisan, masih banyak mahasiswa yang salah memilih jurusan. Saya
pun berada di barisan itu, seandainya umur bisa diputar kembali, saya akan memilih kuliah di
fakultas hukum. Karenanya, akan lebih berguna bagi siswa, apabila sistem sekolah
menghadirkan mesin pencari bakat yang cukup canggih untuk mengetahui potensi sisa.
Selanjutnya ditunjang juga oleh mesin berkapasitas tinggi untuk mengasah potensi itu.
Sampai di era informasi ini, ditengah gonta ganti kurikulum, apa pun nama kurikulumnya,
saya belum melihat itu hadir dan berjalan maksimal.

Pada kurikulum merdeka, sama sekali belum terlihat adanya titik fokus (pesan utama), yakni
mengetahui, mengenalkan dan mengembangkan potensi tertinggi anak dan memaksimalkan
segala faktor penunjang sekolah untuk tujuan itu. Buktinya, mata pelajaran yang diajarkan
masih sangat banyak. Siswa kelas X (SMA) aja, masih harus mempelajari 14 mata pelajaran.

Memang secara konsep mengarah ke situ, tapi implementasinya sulit. Apalagi tiap wilayah
beda daya dukungnya. Yang nyata, hanya anjuran agar media dan cara mengajar disesuaikan
dengan kebutuhan siswa akibat hadirnya suatu penyakit. Covid 19 telah berandil
memunculkan istilah atau nama kurikulum itu.. Secara substansi, kurikulum merdeka dapat
disebut kurikulum 13 yang disesuaikan dengan kehendak penyakit.

Mestinya sejak SD sudah dilakukan penelusuran bakat (potensi), sehingga di level SLTP
sudah dilakukan penjurusan, agar siswa tidak dijejali mata pelajaran yang banyak,otak siswa
nggak overload oleh mata pelajaran yang nggak sesuai potensinya. Sebagai langkah
persiapan menjadikan siswa berkompeten di bidangnya. Jadinya ganti kurikulum terkesan
hanya ganti nama dan istilah, substansi pelaksanaannya mirip-mirip aja, jangan dibilang lagi
di daerah dan desa-desa.

Padahal, daripada sibuk ganti casing, mengenalkan dan menghadirkan perangkat penunjang
yang komplit untuk mengasah potensi itu jauh lebih penting, bahkan hal paling penting untuk
diseriusi oleh policy maker. Juga lebih urgen dari mengajari dan memaksa generasi
mempelajari banyak mata pelajaran.. Pengalaman banyak orang telah mengatakan dan
membenarkannya. Itu adalah tikungan maut di jurang teramat tinggi bagi siswa.

Para siswa dan para orang tuanya, dengan kondisi masing-masing, nggak ngerti akan itu.
Satu-satunya harapan tertuju ke policy maker negeri ini, mereka yang dapat memberikan
rambu-rambu jalan, atau sekalian menghadirkan jalan baru, untuk menghindari tikungan maut
yang berbahaya itu. Karena banyak diantara anak bangsa alumni suatu universitas pun,
menyadari hal itu setelah tamat kuliah.

Saya tanya ponakan saya yang kelas 1 Aliyah, ternyata mata pelajaran yang dipelajari di
sekolah sejumlah 18 mata pelajaran. Jumlah yang masih terpaut jauh dari Finlandia,
dinobatkan sebagai sistem pendidikan nomor wahid dunia, yang hanya 4-5 mata pelajaran.
Mungkin kita mau menciptakan manusia yang serba bisa, ahli di semua bidang ilmu,
walaupun sama-sama kita tahu, itu bersifat utopia.

Jika hal itu terus kita lakukan, sama dengan kita sengaja memberikan tumpukan beban di luar
kemampuan siswa, sehingga anak merasa bermain di suatu situasi asing yang nggak asyik
baginya. Akibatnya banyak anak menjadi malas atau terpaksa tetap rajin karena tujuan ijazah,
bukan peningkatan kapasitas.

Saya baca di suatu tulisan, kisah anak SMP yang malas sekolah (sebut saja Hamka) karena
nggak suka suasana sekolah. Kerap kali bertengkar sama orang tuanya gara-gara itu. Suatu
saat dia stop sama sekali ke sekolah. Orang tuanya bingung, nggak tahu harus gimana.
Akhirnya terpaksa disuruh sekolah di lembaga home schooling.

Setelah pendidiknya berkomunikasi dengan Hamka. Diketahuilah hal yang disukai dan tidak
disukainya. Hanya main musik dan menyelam yang disukai, selain itu tidak. Lalu Hamka
disuruh melakukan yang disukainya itu saja. Setelah SMA, sukanya mengerucut menjadi
satu, yaitu menyelam. Oleh pendidiknya, disarankan cari informasi via internet tentang
kampus yang ada jurusan menyelamnya.

Dia dapat informasi, jurusan itu hanya ada di dua tempat, yakni di Jerman dan Jepang. Nama
jurusannya adalah marine biologist. Baru-baru ini sudah ada di Indonesia juga, yaitu di
UGM. Dia lalu paham, harus belajar kimia, biologi, fisika dan bahasa Inggris. Spirit untuk
kuliah di Jepang, menyebabkan Si Hanka belajar sampe larut malam, ndak mampu ditahan
malaikat sekali pun.

Setelah tamat SMA, menghadap orang tuanya tuk ngasih tahu niatnya ikuti tes kuliah di
Jepang itu. Interaksi sama orang tua berjalan dengan hangat, penuh kasih sayang dan beradab
tinggi, tidak seperti waktu malas sekolah dulu. Pengumuman tesnya, Si Hamka diterima di
perguruan tinggi Jepang tersebut.

Dari kasus Si Hamka tersebut, diperlukan suatu support system di setiap sekolah, sejak
Sekolah Dasar, dalam rangka menemukan dan mengenalkan potensi (bakat) anak
mengasahnya serta mengajari bermimpi indah sesuai potensinya itu. Berjalan menuju mimpi
sesuai bakat dan minat serta suasana kelas yang dioptimalkan untuk itu, adalah obat anti
malas paling mujarab. Agar hal seperti itu, nggak lagi dirasakan oleh Hamka-Hamka lain
akibat sistem yang kita anut.

Di sisi lain, nggak akan ada lagi kebingungan dan salah pilih jurusan di level SMA, anak
SMP saat menentukan ke SMA atau SMK, yang selama ini berdasar preferensi kosong
landasan ilmu, dan saat alumni SLTA memilih fakultas dan jurusan di perguruan tinggi.
Juga, tidak ada lagi suasana yang membuat anak terpaksa rajin hanya sebagai syarat dapat
ijazah untuk dapat kerja bagus. Itu hanya bom waktu yang sangat membahayakan, yang
dilesakkan ke otak siswa, yang cukup menciptakan suasana yang menakutkan kita semua,
karena tinggi korelaainya dengan keadaan negara ke depan. Itu menjadi salah satu faktor
penyebab kegagalan bagi sebagian generasi menuju keberhasilan, seakan-akan keberhasilan
itu dilihat dari satu standar ansich.

Pada saat ketemu ipar yang ngajar di UTS, saya diskusikan masalah itu, akhirnya saya
dikasih buku yg berjudul; "Totto-Chan, Gadis Cilik di Jendela", karangan Tetsuko
Kuronayagi. Diceritakan di buku itu, Totto Chan dikeluarkan dari sekolah saat kelas satu SD,
karena dinilai mengacaukan suasana kelas.

Setelah dikeluarkan, Tottto Chan sekolah di SD yang ruang kelasnya dari kereta api bekas.
Dia sekolah itu di situ dengan riang gembira dan merasa seperti berkegiatan di rumah saja.
Bedanya, di diselipkan ilmu pengetahuan dan diajarkan untuk berpikir pada semua tahapan
kegiatan sekolah. Seperti pidato pagi kepsek, makan, menanam, bertamasya, belajar di alam
dan sebagainya.

Para pendidik di situ meneliti dan mengetahui potensi (bakat) setiap anak. Lalu, mengasahnya
menjadi para pakar sesuai masing-masing bakatnya. Totto Chan sendiri, menggapai
impiannya, yakni mendirikan teater profesional pertama di Jepang, setelah mendapat royalty
penjualan buku best seller yg berjudul; Totto-Chan. Buku itu akhirnya menjadi inspirasi
sistem pendidikan nasional di Jepang.

Kisah di atas, menggambarkan bahwa setiap anak bersifat unik, memiliki karakter dan
potensi masing-masing. Tidak mampu diseragamkan oleh sistem apa pun, sebab itu alamiah
adanya. Sehingga sangat keliru kalau dinilai dari satu standar saja. Berusaha
menyeragamkannya, sama dengan membunuh potensi dan masa depannya.

Sistem di negara maju sangat menghargai keberagaman itu, sehingga generasinya, sejak awal
masuk dunia pendidikan, akan diteliti potensinya. Kemudian diarahkan mempelajari mata
pelajaran yang hanya akan menunjang potensi tertingginya itu. Bukti untuk itu, seorang
teman saya punya ibu angkat dari Inggris, tinggal di Indonesia sebab suatu usaha, ditanya
tujuh kali tujuh aja nggak ngerti. Dia kemukakan alasan, "untuk apa saya mempelajari itu,
kan bukan bidang saya, lagi pula ada kalkulator kok". Tetapi kagum kita, kalau kita
berdiskusi dengan beliau masalah jurnalis, rasanya perlu banyak waktu untuk
mendengarkannya. Beliau terlihat expert sekali di bidang itu.

Sistem pendidikan bermata satu yang kaku, yang menilai siswa hanya berdasarkan
keunggulan nilai akademik saja, jelas tidak mampu mendidik generasi ke arah keberhasilan.
Karena terlihat sekali menyeragamkan siswa, yang seharusnya diakui apa adanya, tinggal
dikembangkan potensinya. Pada gilirannya, akan menjadi para ahli di bidang ilmunya
masing-masing. Bidang ilmu yang mata pelajarannya sudah dikelompokkan atas beragamnya
potensi anak didik, yang tentu jauh lebih sedikit jumlahnya.
Tersirat juga dari kisah di atas, bahwa main-main, malas, rajin dan keras kepala itu baik.
Tinggal bagaimana sistem sekolah bekerja untuk itu. Berikut berbagai faktor penunjangnya
untuk "berbahasa Indonesia" dengan beragam karakter dan potensi anak. Buktinya, Totto
Chan yang sulit diam (keras kepala) menjadi sangat bisa diatur dan rajin karena merasa
terakomodir oleh sistem.

Si Hamka yang malas sampe mogok sekolah, menjadi rajin karena sistem, akhirnya jadi ahli
menyelam yang dikejar-kejar duit. Menurut Mr. R Harris (tour leader guide) tetangga saya,
imbalan per minggu penyelam sebesar enam puluh juta rupiah per minggu pada tahun 1992,
menurut penyelam dari Thailand yang diwawancarainya. Jangan dibilang lagi kalau dah jadi
instruktur.

Pesan utama (fokus); Sistem yang tidak fokus mengenalkan dan mengasah potensi anak akan
menghambat siswa menuju karir impiannya.

Anda mungkin juga menyukai