Anda di halaman 1dari 15

Dr. rer. nat.

Kebamoto, Berkat
Keinginan Menebus Kemiskinan
Posted by: dapaloka on: November 15, 2008

In: feature
1 Comment

Tanpa baju seragam dan bertelanjang kaki. Tidak mandi pagi saat berangkat sekolah
karena terlalu dingin. Lalu ketika perut sudah lapar pada siang hari, ia hanya makan
buah mangga dari kebun teman dekat sekolah. Sepulang sekolah dengan kaki-kaki
mungil dan kulit legam ia bermain bersama teman-teman di padang rumput. Dan
ketika hari sudah sore,dia pulang ke rumah setelah makan seadanyabisa jadi hanya
makan ubilalu tidur. Belajar? Tidak mungkin sebab tidak punya buku. Modalnya
hanya dengar-dengar di kelas.

Pernah karena keasyikan bermain bersama teman-teman di padang, ia sempat


bolos sekolah selama dua minggu. Akibatnya, begitu nongol kembali ke sekolah,
oleh gurunya dia langsung dijemput dengan hukuman berlutut di atas pecahan batu
tajam selama beberapa jam sampai kakinya berdarah-darah.

Setidaknya begitulah gambaran masa kecil Dr. Kebamoto, dosen Fakultas


MIPA UI yang lulusan Universitas Munchen, Jerman selama menjalani masa SD di
kampung halamannya, Waikabubak, Sumba Barat, NTT pada era tahun 1970-an. Dia
anak yang sangat miskin fasilitas. Maklum, kedua orang tuanya miskin dan buta
huruf.

Bukan hanya dirinya atau keluarganya yang miskin. Masyarakatnya memang


miskin. Gedung sekolah yang dibangun masyarakat hanya beratap ilalang dengan
seluruh bahan bangunan, bangku dan meja dari kayu dan bambu. Konstruksi
bangunan pun ala kadarnya sehingga pernah roboh diterpa angin. Akibatnya kegiatan
sekolah sempat dipindahkan ke kantor desa, kemudian pindah ke gedung gereja yang
juga terbuat dari ilalang. Suatu hari ketika diterpa angin yang agak kencang, gereja
pun roboh sehingga masyarakat kembali membangun gedung SD yang ternyata
kemudian roboh juga. Beruntung setelah itu ada proyek pembangunan gedung SD
Inpres.

Kebamoto, seperti teman-teman sebayanya benar-benar tumbuh apa adanya


tanpa motivasi dan arahan apa pun. Mestinya bacaan seperti koran atau buku bisa
menjadi sumber motivasi. Tapi apa boleh buat! Kedua medium ini masih menjadi
barang langka kala itu. Waktu itu koran adalah barang mewah sebab hanya pejabat
tinggi yang bisa membacanya, kenang anak keempat dari lima bersaudara ini.
Kalau pun sempat nemu koran bekas, pasti hanya carikan tidak utuh yang
tentu saja sulit dibaca karena sobekannya tidak teratur. Meski begitu, Kebamoto tetap
berminat membaca koran yang telah menjelma menjadi sampah itu. Ternyata
sampah tersebut mampu membuka wawasan ayah dua anak ini bahwa ada dunia
lain di luar kampungnya. Pengalaman ini kemudian semakin memacu dia untuk tidak
melewatkan setiap sobekan koran yang dia jumpai, juga rajin membaca buku-buku
paket yang tidak seberapa di sekolahnya. Dari buku paket itu saya lihat foto reaktor
nuklir, lalu berangan-angan suatu waktu bekerja sebagai ahli nuklir, jelas penemu
Hard Coating Nano Compositesuku cadang yang lebih keras dari intan dan bisa
dipakai sebanyak 3000 kali. Spare part ini dipasang atau dilapiskan pada alat potong
(cutting tools).

Jujur saja, saat itu saya saksikan kemiskinan di kampung saya dan saya ingin
menebus kemiskinan itu. Makan enak saja tidak pernah. Ini yang membuat saya rajin
membaca, jelas Kebamoto.

Ada kebiasaan dalam masyarakatnya, semiskin apa pun sebuah keluarga,


kalau kedatangan tamu terhormat, dia akan menjamu minimal dengan makan siang
atau makan malam. Setidaknya sang tuan rumah harus menyembelih seekor ayam.
Setelah dimasak, semua daging ayam itu diberikan kepada sang tamu. Tuan rumah
hanya kebagian sayap dan cakarnya saja. Jadi kita anak-anak hanya nonton saja,
kata Kebamoto.

Dalam segala keterbatasan, Kebamoto tumbuh. Namun yang


mengherankan, selama di bangku SD-SMA dia selalu mendapat nilai bagus,
sehingga para gurunya menganjurkan kepada orangtuanya agar mereka mengirim
Kebamoto ke Perguruan Tinggi. Dia beruntung, kedua orang tuanya mengikuti
anjuran tersebut. Dengan demikian, Kebamoto mendapat keistimewaan luar biasa
di antara saudara-saudaranya yang lain. Sebab ketiga kakaknya putus sekolah.
Rupanya, memang begitulah rencana dan jalan Tuhan buat saya, ungkapnya
singkat soal keistimewaan ini.

Selepas SMA, entah dari mana sumbernya, beredar berita di seantero Sumba
bahwa seseorang yang bernama Kebamoto adalah anak yang sangat pintar bahkan
jenius dengan nilai rata-rata sepuluh. Dia lalu menjadi pembicaraan di sekolah, pasar,
mata air, kantor-kantor pemerintahan dan di tempat-tempat lain. Sejumlah wartawan
silih berganti datang mewawancarai orang tuanya. Ini menyebabkan berita itu
tersebar hampir ke seluruh NTT.

Kian hari, berita ini kian meluas, bahkan ada yang kreatif membuat cerita
bahwa setiap kali pulang kampung Kebamoto selalu menggunakan helikopter buatan
sendiri. Ini semua karena Kebamoto pintar.
Tentu saja berita semacam ini berlebihan, terutama soal menggunakan
helikopter buatan sendiri. Tapi apa mau dikata? Berita tersebut sudah terlanjur
membangun citra bahwa seorang Kebamoto adalah orang super pintar. Berita ini
pun sampai ke telinga Kebamoto dan sempat membebani pikirannya. Bagaimana
jadinya kalau saya tidak sempat jadi sarjana? tanya pria kelahiran Sumba Barat, 25
Januari 1963 ini dalam hatinya.

Untungnya, predikat super yang dikenakan padanya memicu semangatnya


untuk tekun belajar. Saya sangat bersyukur tidak ada kesulitan dalam perolehan
nilai akademis, akunya.

Bahkan, karena prestasi akademisnya memuaskan, ketika duduk di bangku


tingkat II Fakultas Fisika UI, dia sudah mendapatkan beasiswa dari Badan Tenaga
Atom Nasional (BATAN). Dan begitu lulus S1, dia langsung diminta menjadi dosen
Fisika di almamaternya. Kemudian, Prof. Dr. Parangtopo yang memintanya menjadi
dosen menyeponsorinya melanjutkan S2-nya di UI, lulus tahun 1992.

Setelah menamatkan jenjang S2, semangat Kebamoto untuk melanjutkan S3


membuncah dan mematok syarat, harus di luar negeri. Melalui perjuangan yang
melelahkan dan sempat membuatnya putus asa, Kebamoto akhirnya mendapat
kesempatan merebut S3 di Universitas Munchen, Jerman. Berkat ketekunan yang
luar biasa, dalam rentang waktu yang sangat singkat (2,5 tahun), dia sudah
menuntaskan kuliahnya dan berhak menyandang gelar doktor dengan predikat magna
cum laude pada tahun 2001. Disertasi berjudul Preparation and Characterization of
Novel Super and Ultrahard Nanocomposites and Investigation of Their Mechanical
Properties. Sekadar informasi, seorang doktor ilmu alam di Jerman mendapat gelar
rer.nat, kepanjangan dari rerum naturalium atau doctor of natural sciences.

Waktu tempuh studi 2,5 tahun untuk tingkat doktoral pada Fakultas Kimia
semakin menegaskan bahwa Kebamoto memang termasuk mahasiswa yang cerdas
dan percaya diri. Konon, kata teman yang berkebangsaan Jerman, mahasiswa yang
paling pintar saja, paling cepat tiga tahun di Fakultas Fisika, bukan di Fakultas Kimia
di mana saya belajar, kata penulis buku Gelombang Nanoteknologi ini.

Dengan kualifikasi kelulusan dan waktu tempuh kuliah yang singkat,


Kebamoto diminati oleh beberapa universitas dan lembaga lain di Jerman dan
Amerika. Dia sempat bekerja di Jerman Selatan dan mendapat gaji yang
menggiurkan. Namun setengah tahun kemudian dia memutuskan pulang ke
Indonesia dan menjadi dosen di Fakultas MIPA UI.

Kini, selain mengajar dan menulis belasan buku, ratusan artikel dan
melakukan puluhan penelitian dan publikasi internasional, Kebamoto secara khusus
mengabdikan sebagian waktu, tenaga, semangat dan pikirannya untuk
memberdayakan manusia muda NTT.
Sejak tahun 2004 dia terjun langsung ke sekolah-sekolah di NTT atau melalui
kerjasama dengan pemerintah setempat, dia melatih para siswa dari tingkat SD-SMA
tentang bagaimana belajar pada umumnya dan belajar Fisika khususnya. Selain itu
dia juga melatih ribuan guru tentang metode mengajar yang efektif dan
menyenangkan di mata para murid.

Hasilnya? Pada tahun 2004 siswa SD yang dilatihnya memeroleh 1 medali


perunggu untuk Matematika dan Honorable Mention untuk IPA dalam Olimpiade
Sains tingkat nasional. Pada tahun 2005, dalam lomba Matematika tingkat
Internasional di Bali anak SD asuhannya dari NTT mendapat 1 medali emas, 3
medali perunggu. Pada saat yang sama, anak yang memeroleh medali emas tersebut
mendapat Satya Lencana dari Presiden SBY. Sedangkan untuk tingkat SMA, anak
asuhnya yang berasal dari Sumba Timur berhasil merebut 1 perunggu dan kemudian
berhasil masuk ITB.

Kemudian secara berturut-turut anak-anak terus meraih prestasi


membanggakan. Bahkan grafik kelulusan di universitas favorit di pulau Jawa
meningkat. Pada tahun 2005 misalnya, 4 anak dari Kabupaten Manggarai (Flores
Barat) dan 1 dari Kabupaten Ende berhasil masuk UI.

Pada tahun 2006 anak-anak SD asuhannya memeroleh 1 perak dan 2


perunggu, SMP (1 perunggu). Pada 2007 anak-anak asuhnya memeroleh 3 medali
perak dan 3 medali perunggu (semuanya tingkat SD).

Yang sangat menggembirakan bagi Kebamoto adalah saat dia menerima


berita dari para guru yang ditraningnya bahwa minat belajar pada siswa meningkat
setelah para guru mereka mendapat pelatihan. Selain itu, para siswa terpacu untuk
berprestasi setelah mengetahui teman-teman mereka berhasil. Kalau anak-anak di
Jakarta yang mendapat medali-medali itu biasa saja bahkan kurang. Tapi ini oleh
anak-anak NTT dari berbagai pelosok yang sangat jauh dari fasilitas memadai,
komentarnya menyangkut prestasi tersebut.

Saya dulu mengalami masa yang sangat sulit. Masa sih mereka harus
mengalami juga masa pahit itu? tanya Kebamoto retoris menjawab HIDUP sambil
melontarkan keinginannya untuk terlibat dalam pembangunan ekonomi kerakyatan di
NTT. Sebab kalau direfleksikan, semua latar belakang dan apa yang saya peroleh
hanyalah given. Jadi saya harus berbuat sesuatu, ungkap pria yang juga gemar
menulis cerpen ini mengakhiri bincang-bincang.
Tidak terlalu mengejutkan ketika bocah laki-laki yang penuh rasa ingin tahu itu
mencapai karier puncak sebagai guru besar matematika. Yang mengejutkan ialah
ketika bocah yang sangat rasional itu akhirnya meyakini keberadaan Allah, Pencipta
Yang Esa.
Selama tahun terakhirnya di sekolah Katolik Notre Dame Boys High, ia
mengungkapkan keberatannya secara rasional terhadap keberadaan Sang Maha
Kuasa. Diskusi dengan kepala sekolah, orang tua, dan teman sekelas tidak bisa
meyakinkan Jeffrey akan keberadaan Tuhan. Dia menjadi atheis pada usia 18 tahun.
Namun, kira-kira sesaat sebelum atau sesudah ia menjadi atheis, Jeffrey bermimpi.
Sebuah mimpi yang berulang.
Ruangan itu sempit dan kosong. Satu-satunya yang ada hanya karpet berpola
dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil di atas, seperti
jendela bawah tanah, yang mengisi ruangan dengan cahaya penuh, tutur profesor
matematika University of Kansas ini dilansir dari onislam.net, Kamis (28/5).
Ia seperti berada dalam satu baris, laki-laki semua. Tidak ada perempuan. Mereka
semua duduk di atas tumit, kemudian bersujud. Ia merasa tenang, sangat tenang.
Saat melihat ke depan, ia menyadari bahwa mereka sedang dipimpin oleh seseorang
yang mengenakan jubah putih panjang. Ia hanya bisa melihat sosok itu dari belakang,
kemudian terbangun.
Mimpi itu kerap menyambanginya. Dia tidak akan terganggu jika hanya oleh mimpi,
tetapi ia merasa kenyamanan yang aneh saat terbangun. Sayangnya, Jeffrey tak tahu
aktivitas apa yang ia lakukan di mimpi itu. Ia merasa tidak masuk akal dan memilih
tidak menganggap penting.
Sepuluh tahun kemudian, dalam ceramah pertamanya di Universitas San Franisco, ia
bertemu seorang mahasiswa Muslim yang menghadiri kelas matematika. Jeffrey
segera menjalin persahabatan dengan dia dan keluarganya. Mereka tidak pernah
membicarakan agama, sampai salah satu anggota keluarga itu memberinya salinan
Alquran.

Baca Juga Daniel Streich, Dari Sang Penentang Menjadi Sang Pembela

Jeffery tidak sedang melakukan pencarian agama. Namun, ia toh mulai membaca
Alquran itu, meski dengan prasangka kuat.

Ia lantas menemukan dirinya telah terlibat dalam pertempuran sengit. Penulis kitab
suci itu seperti mengenalnya lebih baik daripada dia sendiri. Dia seolah-olah bisa
membaca pikirannya. Setiap malam, Jeffrey akan membuat pertanyaan dan keberatan
tertentu, tetapi menghadirkan jawaban di halaman-halaman selanjutnya.

Alquran selalu jauh di depan pemikiran saya, ujar Jeffrey.


Saat itu awal tahun 80-an, tidak banyak Muslim di kampus Universitas San
Francisco. Ia hanya menemukan sebuah tempat kecil di basement sebuah gereja
tempat mahasiswa Muslim biasa sholat.

Jeffery memutuskan untuk pergi dan mengunjungi tempat itu, setelah mengumpulkan
cukup keberanian dalam hatinya. Ketika ia keluar dari tempat itu beberapa jam
kemudian, ia sudah mengucapkan syahadat. Sebuah pernyataan hidup baru.

Waktu sholat Dzuhur tiba sesaat kemudian. Jeffrey mengikuti Muslim yang lain,
berbaris dalam shaf-shaf dan mulai shalat.

Kami sujud dengan tenang di atas karpet merah putih. Tenang, sangat tenang.
Kemudian, kami kembali duduk di atas tumit. Saya melihat ke depan, tampak
Ghassan mengenakan jubah putih panjang. Jendela membanjiri ruangan kecil itu
dengan cahaya.
Mimpi itu! Dia menjerit dalam hati. Persis seperti mimpi!

Ia sudah lupa sama sekali, tapi kini ia tertegun dan takut. Apakah aku bermimpi? Ia
bertanya-tanya. Sebuah aliran dingin mengalir melalui tubuhnya dan membuat dia
bergidik. Ya Tuhan, ini nyata! Kemudian dingin mereda, digantikan oleh kehangatan
yang lembut memancar dari dalam. Air matanya menggenang.

Tuhan akan membawamu berlutut, Jeffrey, kata ayahnya ketika ia membantah


keberadaan Tuhan di usia 18 tahun. Sepuluh tahun kemudian, itu menjadi kenyataan.
Guru besar matematika itu kini berlutut.
ejak awal tahun ini,timbul keinginan untuk melakukan sesuatu yang belum pernah
saya lakukan di blog ini, yaitu membuat postingan wawancara. Ingin rasanya
mewawancarai salah satu tokoh Matematika di Indonesia. Akhirnya beberapa hari
yang lalu keinginan tersebut terlaksana, melalui e-mail saya mewawancarai Prof
Hendra Gunawan dari ITB. Buat belum tahu, siapa beliau silahkan baca cv nya di
sini. Konon katanya beliau adalah salah satu Profesor yang paling produktif di negeri
ini, Silahkan lihat di Google Scholar, betapa aktifnya beliu menerbitkan paper. Saya
sudah 2 kali ketemu beliau. kesan yang saya tangkap, beliau orangnya humble,
bersahaja sama sekali tidak terlihat beliau adalah Guru besar Matematika dari
perguruan tinggi terbaik di negeri ini.

Nahinilah hasil wawancara saya dengan beliau.

Apa cita-cita Prof waktu kecil? Apakah sejak kecil sudah bercita-cita menjadi
Profesor Matematika
Wah, waktu kecil boro-boro tahu apa itu profesor. Seperti kebanyakan anak kecil
waktu itu, cita-cita saya menjadi pilot mungkin karena sering lihat pesawat terbang
melintas di udara!

Apakah Prof masih ingat, sejak kapan prof tertarik dengan matematika?
Apakah ketika SD prof sudah suka matematika?
Sejak SD saya suka berhitung (dulu nama mata pelajarannya kan Berhitung, bukan
Matematika). Kakek saya selalu membanggakan kemampuan berhitung saya di
depan tamu. Padahal cuma ditanya berapa 175 + 86, sederhana seperti itu.

Ketika lulus SMA, mengapa Prof memilih kuliah Jurusan Matematika?


Sejak SD, kekuatan saya yang utama adalah matematika (dan bahasa Inggris),
yang bertumpu pada logika. Menjelang lulus SMA, ada tawaran bagi siswa yang
prestasinya lumayan untuk masuk ke PTN via Program Perintis II, khusus utk
program studi MIPA (kecuali IPB bebas). Saya pilih jurusan Mat ITB, krn yg paling
pas ya itu. Saya tidak jago Fisika/Kimia. Sementara Biologi terlalu feminin, he3x.

Di mata Prof, apa yang menarik dari Matematika?


Matematika menuntut logika, pernalaran dan imajinasi. Itu yg menarik bagi saya.

Siapa Matematikawan favorit, Profesor?


Sejujurnya, waktu itu saya belum kenal siapa-siapa. Bahkan Pythagoras pun tahu
belakangan, setelah doktor. Di sekolah dan di PT (tahap S1) guru dan dosen tidak
pernah mengekspos tokoh-tokoh matematika. Ketika studi S3, saya mulai mengenal
bbrp tokoh matematika, khususnya yg terkait dgn bidang yg saya tekuni. Saya kagum
dgn J. Fourier, C.F. Gauss, J. Von Neumann, G.H. Hardy, J.E. Littlewood dan E.M.
Stein. Saya juga salut kepada Pythagoras dan Euclid.
Salah satu Tugas profesor adalah meneliti. Penelitian matematika itu seperti
apa? Apakah harus menciptakan (atau menemukan) rumus baru?
Penelitian matematika pada dasarnya sama dengan penelitian bidang lainnya, yaitu
memperluas khasanah pengetahuan, yaitu dengan menjawab pertanyaan yg muncul
dari teori atau hasil penelitian sebelumnya. Hasilnya bisa berupa dalil atau rumus
baru, atau secara umum teori baru yang melengkapi atau menyempurnakan teori
sebelumnya. Sebaga contoh dalil Pyhtagoras itu sekarang tidak melulu soal segitiga
siku-siku, tapi berlaku utk sejumlah vektor yg saling tegak lurus di ruang Hilbert
(nah lho!).

Di blog, Prof mengatakan My areas of interest are Fourier analysis, functional


analysis, and their applications. Mengapa Prof memilih itu sebagai area of
interest? (Btw terjemahan yang tepat untuk area of interest, apa yach?)
Sejak S1 saya jatuh hati pada cabang analisis matematika. Ketika studi di Australia,
saya mendalami cabang ini lbh jauh. Dua area tsb merupakan titik temu dari banyak
cabang lainnya. Selain itu bekal pengetahuan yg sy miliki mendukung utk
mendalaminya. Jd ya saya pilih area tersebut.

Matematika itu apa , Prof?


Wah, ini pertanyaan filosofis, saya blm tentu bisa menjawabnya secara filosofis.
Bagi saya, matematika itu dunia lain yg bisa ditembus oleh kemampuan berpikir
dan imajinasi manusia. Di dunia ini, kita bisa menemukan banyak keindahan. Begitu
punya kunci masuk ke dunia ini, anda akan datang terus ke sana. Tak sedikit pula yg
indah di dunia matematika itu bisa diterapkan di dunia nyata di mana kita hidup. Jd,
selain indah, matematika itu berguna.

Pertanyaan klasik, matematika ditemukan atau diciptakan?


Ah, ini juga filosofis! Saya tidak pernah memikirkannya, sy hanya menjalani dan
menikmatinya. Kadang saya merasa menemukan (misal rumus), kadang saya
menciptakan (misal simbol dan istilah), namun sering kali tidak tahu bedanya
(misal metode). Yg pasti, saya menikmati keindahannya!

Saya pernah ditanya siswa SMA, Buat apa belajar Matematika? Untuk apa
susah-susah belajar Trigonometri, Integral, dalam sehari-hari jarang kepakai
ini?
He3x, itu karena belum tahu saja. Tugas guru mencerahkan siswa. Makanya perlu
baca sejarah matematika. Dulu misalnya trigonometri dipakai utk menghitung jari2
bumi dan jarak matahari ke bumi. Kalau sehari-hari cuma ngobrol, makan, jalan-
jalan ke mal ya tidak perlu matematika (yg canggih). Tapi apa hidup cuma itu? Siswa
perlu dicerahkan bagaimana kemajuan peradaban (di negara lain) dicapai.

Punya pendapat tentang perkembangan matematika di Indonesia?


Ketika saya berpidato di Sidang Majelis Guru Besar ITB sy sampaikan pendapat sy
ttg hal ini. Cuplikan naskah pidato sy tsb dapat diunduh dari blog personal
saya http://personal.fmipa.itb.ac.id/hgunawan/various-articles/ . Singkat cerita, walau
ada kemajuan dalam 20 tahun terakhir, kita masih tertinggal dalam matematika
dibandingkan dgn negara sekecil Singapura. Perlu bbrp generasi mendatang utk
mengejar ketertinggalan tsb, itupun kl negara lain tdk makin kencang larinya.

Pada pertemuan kita terakhir, Prof berbicara tentang gelar budaya bernalar.
Nah.. bernalar itu apa, Prof?
Begini, salah satu masalah dgn bangsa kita tersirat dlm dua pertanyaan sebelumnya.
Kita tahu bhw kita tertinggal, dan kita ingin maju. Tapi tahukah kita apa yg membuat
bangsa lain maju? Mereka telah melalui Era Bernalar, the age of reason. Kekuatan
manusia di situ, bisa berpikir, bernalar, menemukan jawaban mengapa ini begini dan
itu begitu, bukan mengarang mitos sendiri atau menerima mitos yg ada. Bernalar itu,
singkat kata, mendayagunakan kemampuan berpikir dan akal sehat kita. Kalau sulit,
ya belajar, jangan lari (ke takhayul, misalnya). Bangsa ini perlu bernalar!

Terakhir, Apakah Prof punya saran bagaimana belajar Matematika yang


benar?
Wah, saya tdk berani mengatakan ini atau itu yg benar. Yg pasti, belajar itu wajib,
selama kita masih bernafas. Belajar Matematika itu perlu, otak manusia dibekali dgn
kemampuan utk itu sayang kalau tidak dipakai. Seperti belajar main piano, kalau
hanya baca buku tentu tdk akan bisa. Jadi harus by doing, praktik, kerjakan,
rekonstruksi, lakukan penelitian. Untuk belajar Matematika ya harus
bermatematika, dan, seperti halnya olahraga, harus rutin.[]
matematikawan indonesia
dikancah dunia
Mungkin tak terbayang jika melihat para muridnya saat ini (yang sebagian besar
mahasiswa pascasarjana Eropa) hanya beberapa tahun lalu, Hadi pernah
menyambung hidup dengan mendatangi banyak resepsi perkawinan orang yang tak
dikenalnya setiap Sabtu-Minggu, hanya supaya bisa makan. Atau bagaimana karena
tak punya uang untuk naik kereta api kelas ekonomi, dia tak keberatan duduk di
kereta barang dengan gerbong sesak penumpang tanpa lampu antara Lumajang-
Bandung demi mengejar impiannya. Subhanallah.
Hadi Susanto: Kebangkitan Nasional Harus Dilakukan Setiap Hari
Hadi Susanto
Tak banyak yang mengenal nama ini: Hadi Susanto. Ia tak beredar di Tanah Air
sejak awal milenium baru, hampir sepertiga dari umurnya yang baru 29 tahun.
Apalagi untuk mendengar reputasinya sebagai salah seorang matematikawan muda
yang sedang memahat nama di jajaran legenda pakar matematika dunia.
Bahkan para pembaca novel superlaris Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-
Shirazy pun tak akan menduga bahwa Hadi Susanto yang menulis kata pengantar
menarik di novel itu adalah Hadi yang di umur 27 tahun meraih gelar doktor
matematika dari Universiteit Twente, Belanda, dan kini mengajar di Nottingham,
Inggris.
Lahir di sebuah desa kecil di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Hadi mencecap
pendidikan di SDN Kunir Lor 1, SMPN Kunir, dan SMAN 2 Lumajang. Saat di
bangku SD, ia selalu terpilih sebagai wakil sekolah dalam lomba cerdas cermat di
tingkat kabupaten. Anehnya, begitu bertanding nilainya hampir selalu nol. Saya
selalu grogi melihat anak dari sekolah lain yang selalu tampak keren dan bergaya,
katanya.
Kini dunia berbalik. Banyak yang grogi melihat prestasi mahasiswa terbaik ITB
tahun 2000 yang juga aktif berkiprah didunia sastra itu. It is impossible to be a
mathematician without being a poet in soul, ungkapnya mengutip Sofia Vasilyevna
Kovalevskaya (1850-1891), matematikawan- cum-penyair Rusia perumus teorema
Cauchy-Kovalevsky.
Saat dikontak harian ini sebagai calon rubrik Tamu berkaitan dengan Hari
Kebangkitan Nasional 2008, pada awalnya Hadi menolak. Saya membaca
wawancara Koran Tempo dengan Pak Anies Baswedan (Rektor Universitas
Paramadina Red.) lewat kiriman e-mail seorang teman. Saya tak sebanding dengan
Pak Anies untuk menjadi `Tamu, katanya dengan suara lembut di ujung saluran
telepon internasional.
Akhirnya, Kamis lalu, calon ayah yang sedang menunggu kelahiran anak pertamanya
pada Juli depan ini bersedia juga diwawancarai wartawan Tempo Akmal Nasery
Basral setelah berkorespondensi lewat surat elektronik dalam beberapa kesempatan
sebelumnya.
Mengapa menurut matematikawan muda yang 26 karya ilmiahnya sudah muncul di
sejumlah jurnal internasional itu kebangkitan nasional tak akan terjadi jika hanya
muncul dari perayaan yang timbul setahun sekali?
Petikannya:
Anda menyelesaikan kuliah dalam tiga tahun dan terpilih sebagai Mahasiswa Terbaik
ITB tahun 2000. Bagaimana ceritanya?
Sebetulnya masa kuliah saya hampir empat tahun. Yang kuliah saja memang tiga
tahun, tapi memasuki tahun keempat saya mendapat kesempatan mengunjungi
Belanda selama delapan bulan untuk mengerjakan TA (tugas akhirRed.) di
Universiteit Twente (UT). Begitu diwisuda, saya diumumkan terpilih sebagai
penerima Ganesha Prize, Mahasiswa Berprestasi Utama ITB, dengan hadiah
mengunjungi Belanda lagi selama tiga bulan. Oleh UT saya ditawari melanjutkan
kuliah di sana. Maka mulai Agustus 2001 saya mengambil program kombinasi
MSc/PhD untuk periode empat tahun.
Tapi, selesai PhD Anda tidak kembali ke Indonesia. Mengapa?
Selesai dari Twente saya melanjutkan studi post doctoral di Massachusetts, Amerika
Serikat. Saya mendapat visiting assistant professorship selama tiga tahun di
University of Massachusetts (UMass), Amherst. Kewajiban saya mengajar dua kelas
per semester selain tugas melakukan riset. Menjelang selesai di UMass, saya
kirimkan sejumlah aplikasi ke universitas di Amerika Serikat dan Eropa. Akhirnya,
sejak Januari 2008 saya menjadi dosen di University of Nottingham, Inggris.
Mengapa saya tidak segera
kembali ke Indonesia, karena saya ingin memperdalam dulu bidang ini. Apalagi
sekarang istri saya sudah di sini. Juli mendatang, insya Allah, anak pertama kami
lahir.
Anda terlihat begitu mudah meniti karier. Berpindah-pindah dari Belanda, Amerika
Serikat, Inggris, sebagai doktor matematika, padahal usia Anda belum lagi 30 tahun.
Apakah semua ini memang semudah yang terlihat?
Tidak. Dua tahun pertama saya kuliah di ITB, kondisi saya sulit sekali. Saya tak bisa
hidup hanya dari beasiswa, harus kerja juga. Uang kerja dan beasiswa yang saya
dapatkan dibagi tiga: untuk kebutuhan saya di Bandung, keperluan orang tua di
Lumajang, dan biaya kuliah adik. Tiap Sabtu-Minggu saya keliling hotel dan gedung
resepsi di Bandung bermodal pakaian rapi. Tanpa tahu siapa yang punya hajat, saya
masuk saja ke pesta orang-orang kaya, yang penting bisa makan. Pernah juga setelah
libur Lebaran, ketika kembali ke Bandung saya tak punya cukup uang untuk membeli
karcis kereta ekonomi. Akhirnya, saya naik kereta barang, duduk di lantai gerbong
bersama sekitar 100-an orang. Perjalanan sekitar 12 jam itu berlangsung malam hari
dan tanpa lampu di gerbong saya. Gelap sekali. Mungkin kalau dituliskan bisa jadi
Laskar Pelangi (judul novel karya Andrea HirataRed. ) versi orang Jawa (tertawa
kecil). Itu beberapa contoh besar. Kalau penderitaan lainnya banyak sekali.
Bagaimana Anda melewati masa-masa sulit itu untuk bersinar di ITB?
Berkat dukungan dan doa banyak orang. Ketika dosen kuliah agama Islam saya,
Ustad Asep Zaenal Ausof, akan berangkat umrah, saya datangi dia dan minta
didoakan khusus. Saat itu kehidupan saya sedang di bawah sekali. Usaha orang tua
saya yang berjualan kain dan baju di pasar bangkrut total.
Kami terjebak rentenir sehingga harus jual sawah, dan akhirnya satu-satunya rumah
yang kami punya persis menjelang saya lulus SMA. Begitu lulus SMA, saya sudah
memutuskan untuk tidak kuliah, tapi keluarga saya, terutama ibu,
tidak setuju. Saya harus terus kuliah. Alhamdulillah, saya lulus UMPTN dan diterima
di ITB, tapi untuk membayar uang masuk yang beberapa ratus ribu saja kami tak
mampu. Akhirnya, saya putuskan lagi untuk tidak mendaftar. Tapi ibu saya berjuang
terus sampai detik terakhir. Akhirnya ketika saya bisa berangkat ke Bandung, dalam
hati saya cuma ada satu tekad untuk berhasil dan membahagiakan keluarga.
Apa yang menyebabkan Anda begitu tertarik untuk mendalami matematika?
Sejak SD saya suka mengamati bagaimana angka-angka bisa dimainkan dengan
operasi-operasi yang saling berhubungan. Di SMP saya mulai menyadari bahwa
dasar dari fenomena alam di sekitar kita bisa dirumuskan melalui matematika. Ketika
sesuatu sudah dituliskan ke dalam persamaan dan rumus, sesuatu itu menjadi berada
di tangan kita yang bisa kita main-mainkan.
Tapi pencerahan saya yang sebenarnya terjadi di ITB ketika mengikuti ceramah
agama yang disampaikan dosen astronomi Pak Mudji Raharto. Beliau salah seorang
astronom yang sampai saat ini selalu menjadi rujukan dalam penentuan awal dan
akhir bulan Ramadan. Ada satu bagian dari ceramahnya yang membuat saya terpana,
bahwa alam semesta ini juga bisa dirumuskan dalam formulasi matematika. Saat itu
saya berkata dalam hati, Tuhan pasti ahli matematika! Sejak itu pula saya melihat
dunia ini seperti tersusun dari angka-angka. Mungkin seperti film The Matrix.
Tetapi mengapa bagi sebagian besar siswa Indonesia, matematika jauh dari
pengalaman yang menyenangkan seperti yang Anda alami?
Matematika menjadi sesuatu yang menakutkan bagi mayoritas siswa Indonesia
karena pesan dari matematika itu sering tidak sampai. Jika kita belajar matematika
sebagai sebuah hafalan, maka matematika menjadi tidak seksi lagi. Mempelajarinya
menjadi sesuatu yang memberatkan. Tapi jika kita tahu bahwa yang dipelajari itu
adalah, dan tidak lebih dari, perumuman dari masalah sehari-hari yang sudah kita
kenal, maka matematika akan menjadi sangat menyenangkan. Di Indonesia ada
beberapa matematikawan yang menguasai betul bagaimana membuat matematika
menjadi menarik, misalnya almarhum Profesor Andi Hakim Nasution yang dulu rutin
mengisi kolom di harian Republika dan almarhum Profesor Ahmad Arifin dari ITB.
Anda dikenal juga punya minat yang besar dalam sastra, misalnya dengan menulis
kata pengantar novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazy yang kini
merupakan film terlaris di
Tanah Air dari jumlah penonton. Puisi-puisi Anda muncul di banyak antologi
bersama. Bagaimana relasi antara matematika dan sastra ini berkelindan dalam
kehidupan Anda?
Sebetulnya saya kenal Ustad Abik (nama panggilan Habiburrahman El-Shirazy
Red.) lewat internet. Saya waktu itu di Belanda, beliau di Mesir. Kami bertemu di
pesantrenvirtual. com. Dari situ sering berdiskusi sastra. Menurut saya hubungan
matematika dengan sastra sangat dekat. Untuk bisa menikmati keindahan matematika
tidak hanya diperlukan logika, tapi juga perasaan, seperti halnya seni. Einstein
mengatakan, Pure mathematics is, in its way, the poetry of logical ideas.
Jadi seorang matematikawan pada dasarnya seorang penyair?
Kurang lebih. Dan itu bukan cuma pendapat Einstein. Sofia Kovalevskaya, wanita
pertama yang mendapat pendidikan formal PhD di Eropa yang terkenal dengan
teorema Cauchy-Kovalevsky, juga seorang penyair. Dia bilang,
It is impossible to be a mathematician without being a poet in soul.
Karl Weierstrass, peletak dasar analisis matematika modern yang juga mentor Sofia,
membenarkan ungkapan muridnya dan menambahkan, It is true that a
mathematician who is not also something of a poet will never be a
perfect mathematician. Kalau kita percaya dengan ucapan Weierstrass ini, maka
saya paling tidak penggemar sastra, karena belum bisa disebut sastrawan (tertawa).
Contoh-contoh yang Anda sebut itu dalam konteks apresiasi, bukan? Bagaimana
dalam konteks kreasi atau penciptaan karya sastra?
Saya kira contohnya juga banyak. Bahkan Hadiah Nobel di bidang sastra pun ada
matematikawan yang memenangkannya. Pada 1904, Hadiah Nobel untuk sastra
diberikan kepada dramawan dan matematikawan Spanyol Jose Echegara y. Pada
1950, Nobel Sastra juga diberikan kepada seorang matematikawan, Bertrand Russell.
Dua orang ini disebut matematikawan karena mereka memang profesor matematika.
Saya mendengar rumor bahwa pada 1999 seorang matematikawan, associate
professor di University of New Mexico,
Gallup, juga sempat dinominasikan sebagai kandidat penerima Hadiah Nobel sastra.
Apakah relasi yang akrab antara matematika dan sastra itu juga terlihat di dunia
Islam?
Ada, misalnya Omar Khayyam yang terkenal dengan Rubaiyyat-nya itu. Selain
sebagai penyair, Omar Khayyam juga terkenal sebagai ahli matematika geometri
yang mengoreksi postulat Euklid. Dan saya kira tema-tema seperti ini harus sering
diperbincangkan.
Mengapa?
Saya lihat dunia anak muda di Indonesia terlalu banyak dijejali dengan tayangan
infotainment, seakan-akan menjadi artis adalah satu-satunya jalan yang harus
ditempuh agar bisa sukses dan terkenal. Ditambah dengan program-program pencari
bakat yang menawarkan ketenaran instan yang tanpa disadari sering kali menipu.
Padahal dunia sains juga menawarkan gaya selebritasnya sendiri, misalnya setelah
buku Sylvia Nasar A Beautiful Mind terbit, publik jadi mengidolakan
matematikawan John Nash Jr. (A Beautiful Mind sudah difilmkan dengan judul
sama, dibintangi oleh aktor Russell Crowe sebagai John Nash Jr. Red.) Bahan-
bahan seperti ini cukup banyak. Saya sendiri terinspirasi untuk menulis polemik
antara Sylvia Nasar dan Prof. Shing-Tung Yau, salah seorang jenius matematika saat
ini yang juga aktif menulis puisi-puisi Cina. Konflik mereka sangat menarik di dunia
matematika, tak kalah hebohnya dengan kisruh Maia-Dhani di televisi Indonesia
(tertawa).
Seperti apa sih kalau selebritas matematika berseteru?
Konflik mereka dimulai ketika Nasar menulis artikel di The New Yorker yang
menuduh Shing-Tung Yau hendak mencuri kredit atas usaha Grigori Perelman yang
berhasil memecahkan satu dari Millennium Prize Problems, yang untuk satu solusi
dari masing-masing problem berhadiah satu juta dolar. Dari sini cerita
yang menggemparkan dunia permatematikaan internasional ini bergulir. Kisah ini,
menurut saya, menarik untuk dibaca anak-anak muda di Indonesia, selain buku-buku
matematika populer yang ditulis oleh mendiang Prof. Hans Wospakrik. Intinya agar
generasi muda kita tahu bahwa pengertian idola dan selebritas itu bukan hanya dari
kalangan artis.
Jadi, Anda mengharapkan ada semacam kebangkitan nasional, dari generasi muda
khususnya, dalam memaknai masa depan?

Ketika kuliah di Bandung, saya melihat kebangkitan nasional itu hanya motto belaka
bagi kawan-kawan yang berasal dari kalangan berada. Dan tidak mungkin perubahan
besar yang diharapkan dari kebangkitan nasional itu akan muncul jika hanya
dihasilkan oleh kesadaran yang muncul setahun sekali. Menurut saya, kebangkitan
nasional harus dilakukan setiap hari, yaitu bangkit untuk bisa bermanfaat bagi orang
banyak, minimal orang-orang yang bisa saya jangkau dengan kedua tangan saya,
dengan membuat mereka bermanfaat pula bagi orang-orang di sekitar mereka.
Dengan saling
menularkan kebangkitan seperti ini, saya kira, arti kebangkitan nasional itu baru
menemukan maknanya.

Bagaimana Anda melihat perkembangan dunia matematika di Indonesia sekarang?


Profesor Achmad Arifin pernah bilang, Matematikawan, khususnya aljabar,
Indonesia masih berada pada taraf memahami pekerjaan orang lain, belum pada
tahap mengembangkan. Saya kira pendapat ini benar. Lihatlah bagaimana guru
besar yang seharusnya menjadi ujung tombak dan tolok ukur kualitas penelitian
justru sering kali minim kontribusinya di jurnal-jurnal internasional. Namun, sebagai
orang yang sejak lulus S1 sampai saat ini belum pernah
tinggal di Indonesia, saya merasa tidak punya hak lebih untuk memberikan saran.
Mesti begitu, saya tahu pasti ada banyak dosen dan periset di Indonesia yang terus
memegang idealismenya. Mereka orang-orang yang sangat militan di tengah segala
keterbatasan dalam melakukan penelitian. Pemerintah dan media massa harus
membantu mereka.
Ada kisah-kisah yang lucu sebagai dosen matematika di luar negeri?
Aksen bahasa Inggris di Nottingham ini kan berbeda dengan di Massachusetts, jadi
saya harus beradaptasi lagi ketika mengajar. Nah, kadang-kadang begitu ada
mahasiswa saya yang bertanya, saya masih belum menangkap inti pertanyaannya,
jadi saya bilang, Coba ulangi lagi?
Eh, mereka bilang nggak jadi. Mungkin mereka pikir dosennya ini ngetes apakah
mereka yakin dengan pertanyaan sendiri atau tidak (tertawa).
**Koran Tempo, Minggu, 18 Mei 2008**

Anda mungkin juga menyukai