Kebamoto, Berkat
Keinginan Menebus Kemiskinan
Posted by: dapaloka on: November 15, 2008
In: feature
1 Comment
Tanpa baju seragam dan bertelanjang kaki. Tidak mandi pagi saat berangkat sekolah
karena terlalu dingin. Lalu ketika perut sudah lapar pada siang hari, ia hanya makan
buah mangga dari kebun teman dekat sekolah. Sepulang sekolah dengan kaki-kaki
mungil dan kulit legam ia bermain bersama teman-teman di padang rumput. Dan
ketika hari sudah sore,dia pulang ke rumah setelah makan seadanyabisa jadi hanya
makan ubilalu tidur. Belajar? Tidak mungkin sebab tidak punya buku. Modalnya
hanya dengar-dengar di kelas.
Jujur saja, saat itu saya saksikan kemiskinan di kampung saya dan saya ingin
menebus kemiskinan itu. Makan enak saja tidak pernah. Ini yang membuat saya rajin
membaca, jelas Kebamoto.
Selepas SMA, entah dari mana sumbernya, beredar berita di seantero Sumba
bahwa seseorang yang bernama Kebamoto adalah anak yang sangat pintar bahkan
jenius dengan nilai rata-rata sepuluh. Dia lalu menjadi pembicaraan di sekolah, pasar,
mata air, kantor-kantor pemerintahan dan di tempat-tempat lain. Sejumlah wartawan
silih berganti datang mewawancarai orang tuanya. Ini menyebabkan berita itu
tersebar hampir ke seluruh NTT.
Kian hari, berita ini kian meluas, bahkan ada yang kreatif membuat cerita
bahwa setiap kali pulang kampung Kebamoto selalu menggunakan helikopter buatan
sendiri. Ini semua karena Kebamoto pintar.
Tentu saja berita semacam ini berlebihan, terutama soal menggunakan
helikopter buatan sendiri. Tapi apa mau dikata? Berita tersebut sudah terlanjur
membangun citra bahwa seorang Kebamoto adalah orang super pintar. Berita ini
pun sampai ke telinga Kebamoto dan sempat membebani pikirannya. Bagaimana
jadinya kalau saya tidak sempat jadi sarjana? tanya pria kelahiran Sumba Barat, 25
Januari 1963 ini dalam hatinya.
Waktu tempuh studi 2,5 tahun untuk tingkat doktoral pada Fakultas Kimia
semakin menegaskan bahwa Kebamoto memang termasuk mahasiswa yang cerdas
dan percaya diri. Konon, kata teman yang berkebangsaan Jerman, mahasiswa yang
paling pintar saja, paling cepat tiga tahun di Fakultas Fisika, bukan di Fakultas Kimia
di mana saya belajar, kata penulis buku Gelombang Nanoteknologi ini.
Kini, selain mengajar dan menulis belasan buku, ratusan artikel dan
melakukan puluhan penelitian dan publikasi internasional, Kebamoto secara khusus
mengabdikan sebagian waktu, tenaga, semangat dan pikirannya untuk
memberdayakan manusia muda NTT.
Sejak tahun 2004 dia terjun langsung ke sekolah-sekolah di NTT atau melalui
kerjasama dengan pemerintah setempat, dia melatih para siswa dari tingkat SD-SMA
tentang bagaimana belajar pada umumnya dan belajar Fisika khususnya. Selain itu
dia juga melatih ribuan guru tentang metode mengajar yang efektif dan
menyenangkan di mata para murid.
Saya dulu mengalami masa yang sangat sulit. Masa sih mereka harus
mengalami juga masa pahit itu? tanya Kebamoto retoris menjawab HIDUP sambil
melontarkan keinginannya untuk terlibat dalam pembangunan ekonomi kerakyatan di
NTT. Sebab kalau direfleksikan, semua latar belakang dan apa yang saya peroleh
hanyalah given. Jadi saya harus berbuat sesuatu, ungkap pria yang juga gemar
menulis cerpen ini mengakhiri bincang-bincang.
Tidak terlalu mengejutkan ketika bocah laki-laki yang penuh rasa ingin tahu itu
mencapai karier puncak sebagai guru besar matematika. Yang mengejutkan ialah
ketika bocah yang sangat rasional itu akhirnya meyakini keberadaan Allah, Pencipta
Yang Esa.
Selama tahun terakhirnya di sekolah Katolik Notre Dame Boys High, ia
mengungkapkan keberatannya secara rasional terhadap keberadaan Sang Maha
Kuasa. Diskusi dengan kepala sekolah, orang tua, dan teman sekelas tidak bisa
meyakinkan Jeffrey akan keberadaan Tuhan. Dia menjadi atheis pada usia 18 tahun.
Namun, kira-kira sesaat sebelum atau sesudah ia menjadi atheis, Jeffrey bermimpi.
Sebuah mimpi yang berulang.
Ruangan itu sempit dan kosong. Satu-satunya yang ada hanya karpet berpola
dominan merah-putih yang menutupi lantai. Ada sebuah jendela kecil di atas, seperti
jendela bawah tanah, yang mengisi ruangan dengan cahaya penuh, tutur profesor
matematika University of Kansas ini dilansir dari onislam.net, Kamis (28/5).
Ia seperti berada dalam satu baris, laki-laki semua. Tidak ada perempuan. Mereka
semua duduk di atas tumit, kemudian bersujud. Ia merasa tenang, sangat tenang.
Saat melihat ke depan, ia menyadari bahwa mereka sedang dipimpin oleh seseorang
yang mengenakan jubah putih panjang. Ia hanya bisa melihat sosok itu dari belakang,
kemudian terbangun.
Mimpi itu kerap menyambanginya. Dia tidak akan terganggu jika hanya oleh mimpi,
tetapi ia merasa kenyamanan yang aneh saat terbangun. Sayangnya, Jeffrey tak tahu
aktivitas apa yang ia lakukan di mimpi itu. Ia merasa tidak masuk akal dan memilih
tidak menganggap penting.
Sepuluh tahun kemudian, dalam ceramah pertamanya di Universitas San Franisco, ia
bertemu seorang mahasiswa Muslim yang menghadiri kelas matematika. Jeffrey
segera menjalin persahabatan dengan dia dan keluarganya. Mereka tidak pernah
membicarakan agama, sampai salah satu anggota keluarga itu memberinya salinan
Alquran.
Baca Juga Daniel Streich, Dari Sang Penentang Menjadi Sang Pembela
Jeffery tidak sedang melakukan pencarian agama. Namun, ia toh mulai membaca
Alquran itu, meski dengan prasangka kuat.
Ia lantas menemukan dirinya telah terlibat dalam pertempuran sengit. Penulis kitab
suci itu seperti mengenalnya lebih baik daripada dia sendiri. Dia seolah-olah bisa
membaca pikirannya. Setiap malam, Jeffrey akan membuat pertanyaan dan keberatan
tertentu, tetapi menghadirkan jawaban di halaman-halaman selanjutnya.
Jeffery memutuskan untuk pergi dan mengunjungi tempat itu, setelah mengumpulkan
cukup keberanian dalam hatinya. Ketika ia keluar dari tempat itu beberapa jam
kemudian, ia sudah mengucapkan syahadat. Sebuah pernyataan hidup baru.
Waktu sholat Dzuhur tiba sesaat kemudian. Jeffrey mengikuti Muslim yang lain,
berbaris dalam shaf-shaf dan mulai shalat.
Kami sujud dengan tenang di atas karpet merah putih. Tenang, sangat tenang.
Kemudian, kami kembali duduk di atas tumit. Saya melihat ke depan, tampak
Ghassan mengenakan jubah putih panjang. Jendela membanjiri ruangan kecil itu
dengan cahaya.
Mimpi itu! Dia menjerit dalam hati. Persis seperti mimpi!
Ia sudah lupa sama sekali, tapi kini ia tertegun dan takut. Apakah aku bermimpi? Ia
bertanya-tanya. Sebuah aliran dingin mengalir melalui tubuhnya dan membuat dia
bergidik. Ya Tuhan, ini nyata! Kemudian dingin mereda, digantikan oleh kehangatan
yang lembut memancar dari dalam. Air matanya menggenang.
Apa cita-cita Prof waktu kecil? Apakah sejak kecil sudah bercita-cita menjadi
Profesor Matematika
Wah, waktu kecil boro-boro tahu apa itu profesor. Seperti kebanyakan anak kecil
waktu itu, cita-cita saya menjadi pilot mungkin karena sering lihat pesawat terbang
melintas di udara!
Apakah Prof masih ingat, sejak kapan prof tertarik dengan matematika?
Apakah ketika SD prof sudah suka matematika?
Sejak SD saya suka berhitung (dulu nama mata pelajarannya kan Berhitung, bukan
Matematika). Kakek saya selalu membanggakan kemampuan berhitung saya di
depan tamu. Padahal cuma ditanya berapa 175 + 86, sederhana seperti itu.
Saya pernah ditanya siswa SMA, Buat apa belajar Matematika? Untuk apa
susah-susah belajar Trigonometri, Integral, dalam sehari-hari jarang kepakai
ini?
He3x, itu karena belum tahu saja. Tugas guru mencerahkan siswa. Makanya perlu
baca sejarah matematika. Dulu misalnya trigonometri dipakai utk menghitung jari2
bumi dan jarak matahari ke bumi. Kalau sehari-hari cuma ngobrol, makan, jalan-
jalan ke mal ya tidak perlu matematika (yg canggih). Tapi apa hidup cuma itu? Siswa
perlu dicerahkan bagaimana kemajuan peradaban (di negara lain) dicapai.
Pada pertemuan kita terakhir, Prof berbicara tentang gelar budaya bernalar.
Nah.. bernalar itu apa, Prof?
Begini, salah satu masalah dgn bangsa kita tersirat dlm dua pertanyaan sebelumnya.
Kita tahu bhw kita tertinggal, dan kita ingin maju. Tapi tahukah kita apa yg membuat
bangsa lain maju? Mereka telah melalui Era Bernalar, the age of reason. Kekuatan
manusia di situ, bisa berpikir, bernalar, menemukan jawaban mengapa ini begini dan
itu begitu, bukan mengarang mitos sendiri atau menerima mitos yg ada. Bernalar itu,
singkat kata, mendayagunakan kemampuan berpikir dan akal sehat kita. Kalau sulit,
ya belajar, jangan lari (ke takhayul, misalnya). Bangsa ini perlu bernalar!
Ketika kuliah di Bandung, saya melihat kebangkitan nasional itu hanya motto belaka
bagi kawan-kawan yang berasal dari kalangan berada. Dan tidak mungkin perubahan
besar yang diharapkan dari kebangkitan nasional itu akan muncul jika hanya
dihasilkan oleh kesadaran yang muncul setahun sekali. Menurut saya, kebangkitan
nasional harus dilakukan setiap hari, yaitu bangkit untuk bisa bermanfaat bagi orang
banyak, minimal orang-orang yang bisa saya jangkau dengan kedua tangan saya,
dengan membuat mereka bermanfaat pula bagi orang-orang di sekitar mereka.
Dengan saling
menularkan kebangkitan seperti ini, saya kira, arti kebangkitan nasional itu baru
menemukan maknanya.