Anda di halaman 1dari 29

Yoga Febrian, Berhasil Mendapat Beasiswa ke Luar Negeri

Setelah Berkali-Kali Gagal SBMPTN dan Tes Beasiswa


Sering ikutan program Tanya Mentor di Youthmanual? Tanya Mentor Youthmanual adalah
program khusus siswa-siswi SMA/sederajat, yang berbentuk forum tanya jawab. Program
yang bekerjasama dengan SUSBM ini, mengajak para mentor keren untuk menjawab
pertanyaan siswa-siswi SMA/sederajat seputar persiapan dan kegiatan perkuliahan itu sendiri.

Nah, penasaran sama salah satu metor dari program ini, Youthmanual ngobrol lebih panjang
sama Yoga Febrian Pratama buat cerita soal pengalamannya yang pernah gagal SBMPTN
tapi sekarang malah dapat beasiswa ke Jepang!

Cerita, dong, soal pengalaman Yoga ikut SBMPTN, dari persiapan sampai hasilnya!

Saya pertama kali ikut SBMPTN tahun 2015 dengan persiapan seadanya. Waktu itu, saya
nggak serius belajar dan nggak yakin sama pilihan jurusan yang saya ambil. Bahkan pas hari-
H saya bangun telat. Untung masih bisa masuk ke ruangan tes.

Tentu aja dengan usaha yang seadanya itu, saya nggak lulus. Akhirnya saya memutuskan
untuk menunda kuliah selama satu tahun untuk mengeksplorasi minat dan bakat saya. Saya
pengen kuliah di jurusan yang saya mau, dan belajar mengenai apa yang betul-betul menarik
bagi saya.

Selama gap year, saya jatuh cinta sama alam semesta. Akhirnya saya memutuskan buat milih
jurusan International Mechanical and Aerospace Engineering. Tahun berikutnya, saya
memutuskan ikut SBMPTN lagi di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan mulai fokus
untuk belajar mandiri. Tiap minggu, saya menyiapkan jadwal dan target pelajaran. Misalnya,
minggu ini saya harus belajar Bab A dan B. Biasanya, setelah materi pelajarannya saya
pahami, saya godok lagi dengan menyelesaikan soal-soal.

Tiga hari sebelum tes, saya beristirahat. Saya nggak nyentuh buku pelajaran dan
menenangkan diri. Pada hari-H, saya bangun tepat waktu, dan jauh lebih tenang.

Sambil nunggu pengumuman SBMPTN Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara


(FTMD) ITB, saya mempersiapkan diri ikut ujian Tohoku University Jepang. Nggak
disangka-sangka, saya diterima di FTMD ITB. Saya langsung kegirangan sampai lupa ngasih
tau mama saya. Hehehe!

Wow! Selamat, Yoga! Terus nasib ujian Tohoku-nya gimana, tuh?

Awalnya saya nggak tahu banyak soal universitas Jepang. Apalagi saya sempet gagal ujian
program D3 Monbukagakusho. Rasanya semangat saya untuk kuliah di luar negeri jadi pudar.

Suatu hari, saya iseng baca soal Tohoku University yang punya jurusan incaran saya. Karena
kemampuan bahasa Jepang nggak terlalu ditekankan untuk masuk universitas ini, saya iseng
mempersiapkan berkas. Berhubung saya juga suka Jepang dan budayanya, saya pun
memutuskan untuk mendaftar dan ternyata diterima.
Kenapa akhirnya Yoga pilih Tohoku University?

Alasan utama saya memilih Tohoku sebenarnya karena pendidikan di sana berbasis riset.
Sehingga kemungkinan, skill yang saya perlukan untuk jadi ilmuwan dan insinyur bisa lebih
tajam. Pilihan peminatan laboratorium pun banyak, dan sementara ini masih lebih luas
daripada yang tersedia di ITB.

Alasan kedua, di Tohoku saya dapat beasiswa, jadi saya nggak perlu mengeluarkan uang
untuk biaya kuliah.

Keren banget, sih, bisa lulus tes dua universitas sekaligus! Ada kendala nggak saat
persiapan kedua tes tersebut?

Kendala utama saya adalah pembagian waktu untuk belajar. Apalagi bahannya cukup banyak.
Selama dua bulan pertama, saya fokus kepada materi tes masuk ITB, dua bulan berikutnya,
saya fokus kepada materi tes masuk Tohoku. Setiap hari saya belajar menggunakan Teknik
Pomodoro yang bagi saya lebih efisien.

Kendala yang kedua adalah, saya nggak bisa bergantung pada pelajaran di sekolah, karena itu
nggak cukup. Saya mengumpulkan berbagai referensi dari berbagai sumber yang saya punya
(buku, laptop, internet, dan media sosial) untuk belajar. Dan benar aja, banyak ilmu baru yang
saya dapatkan dan ternyata berguna saat tes!

Kendala yang terakhir adalah melawan rasa malas dan stress. Pas belajar, pastinya ada titik
jenuh, ya. Kalau lagi merasa begitu, biasanya saya berhenti belajar dulu.

Trus, kalau udah mulai nggak semangat, saya sering ngeliatin poster universitas tujuan saya
di dinding sambil membayangkan saya berada di sana. Seperti di film 5 Cm yang
mengajarkan bahwa kalau kita punya mimpi dan tujuan, mimpi dan tujuan itu harus ditaruh
sedekat mungkin dengan kita. Nah, itulah yang saya lakukan.

What makes you different with some of your friends?

I think I work hard to pursue my dream and my passion. Makanya saran saya, jangan asal
pilih jurusan. Persiapkan kuliah dengan segenap hati. Banyak anak zaman sekarang kuliah
karena prospek dan lupa akan passion-nya.

Tapi saya selalu ngebet ke passion saya. Mungkin ini yang membuat saya berusaha sebisa
mungkin untuk bisa sampai ke titik ini.

Menurut Yoga, kuliah keluar negeri itu bisa dijangkau semua orang, kok. Yang penting

1. Tekad. Jangan nyerah walau ditolak! Yoga berkali-kali ditolak masuk universitas sebelum
akhirnya berada di posisi sekarang ini. Kalau Yoga berhenti berusaha tahun lalu, Yoga nggak
bakal ada di posisi ini.

2. Perbanyak informasi. Gunakan apa yang kamu punya. Smartphone jangan cuma buat main
Pokemon Go, padahal bisa buat cari informasi penting tentang beasiswa ke luar negeri. Baca
apa yang kamu perlukan dan persiapakan semuanya. Banyak yang mengeluh beasiswa S1
sedikit. Memang jumlahnya nggak sebanyak beasiswa S2/S3, tapi nggak sedikit juga, kok.
Tanya-tanya juga info ke kakak kelas atau kenalan kamu di universitas.

3. Selalu persiapkan sertifikat bahasa, seperti sertifikat TOEFL atau IELTS.

4. Jangan berhenti belajar. Persaingan untuk kuliah di universitas dalam negeri aja besar
banget, apalagi persaingan untuk kuliah di luar negeri dengan beasiswa. Jangan hanya belajar
dari satu sumber. Soal-soal tes universitas di luar negeri sangat menuntut pemahaman konsep,
jadi kamu nggak bisa bergantung dengan satu sumber.
Mahasiswa Ini Mendapat Beasiswa ke Jepang dengan Nilai Pas-
pasan!
Panggilan akrabnya Jamal. Berawal dari SD pinggiran di Kota Malang, berlanjut menjadi
siswa biasa di SMP biasa di Kota Malang, kemudian melanjutkan sekolah di MAN yang
hanya lulus dengan nilai pas-pasan. Siapa sangka anak yang biasa bolak-balik masuk ruang
guru untuk remedial dan hampir tidak lulus UNAS SMA bisa masuk UGM. Siapa sangka
lulusan biasa-biasa saja yang kadang dipandang sebelah mata bisa kuliah di Jepang dengan
Beasiswa INPEX yang hanya memilih 3 orang mahasiswa Indonesia setiap tahunnya.Kini,
Jamal menjadi mahasiswa master di Hokkaido University, Jepang. Berikut ceritanya...

Alasan Memilih Hokkaido University

Jadi sebenarnya cerita mengapa aku memilih Hokkaido University cukup panjang. Ada faktor
kesengajaan dan ada juga yang tidak disengaja. Mungkin aku akan mulai cerita dari faktor
ketidak sengajaan dahulu ya. Jadi pada tahun 2013, saat aku masih menjadi mahasiswa
semester 8, ceritanya aku iseng-iseng mengirim abstrak penelitian ke sebuah konferensi yang
diadakan di Hokkaido University. Pada saat itu aku tidak ada bayangan sama sekali seperti
apa itu Hokkaido, bahkan mungkin saat itu adalah saat pertamaku mendengar nama
Hokkaido University. Sebelumnya aku hanya tahu tentang Tokyo, Kyoto, dan Osaka
University yang diyakini sebagai tiga kampus terbaik seantero Jepang. Untuk Hokkaido
University sendiri, aku hanya tahu bahwa kampus ini ada di Jepang, tidak lebih dari ini. Dan
secara tidak sengaja penelitianku diterima dan dengan jalan yang berliku dan panjang,
akhirnya aku tiba juga di Hokkaido University. Tepat di puncak musim salju 2013, aku tiba di
Jepang dan merasa sangat nyaman dengan suasana Kota Sapporo dan Hokkaido University
tentunya. Untuk alasan mengapa aku merasa nyaman, nanti akan aku ceritakan lebih rinci.
"Pada saat itu, aku bertemu dengan mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan
di Hokkaido University dan beliau nyeletuk Jamal nggak coba cari professor disini?
Barangkali ada yang cocok, lho. Setelah aku pikir, ada benarnya juga. Aku sudah jauh-jauh
dari Indonesia ke Jepang dan tentunya aku pulang dengan mendapatkan hasil semaksimal
mungkin. Segera aku ngepoin profil professor-professor yang ada di Hokkaido University,
dan setelah menemukan salah seorang professor yang cocok, aku membuat appointment
untuk bertemu dengan beliau dan beruntung beliau bersedia untuk kutemui. Setelah
pertemuan yang unforgettable itu, aku tetep keep contact dengan beliau hingga aku sekarang
bisa sampai sini. Saat itu aku sempat membatin, "aku akan kembali lagi ke Sapporo untuk
mengambil sebagian hatiku yang kutinggal di Sapporo"
Tadi yang secara tidak sengaja. Untuk yang disengaja, alasan mengapa aku memilih Jepang
mungkin mirip dengan kebanyakan orang. Kita sejak kecil sudah disuguhi dengan banyak
sekali hal-hal berbau Jepang seperti anime, komik, dkk. Selain itu, Jepang juga salah satu
negara yang maju dibidang sains dan teknologinya. Dan untuk spesifik Hokkaido University-
nya, pertama karena Hokkaido University adalah salah satu kampus top 10 Jepang dan
sekaligus sebagai kampus tercantik sejepang, kemudian karena aku ingin belajar tentang
lingkungan, Hokkaido University punya Graduate School of Environmental Science yang
pertama berdiri di Jepang. Menurut salah satu sempai, untuk bidang Plant Ecology, bidang
yang saya dalami, di Hokkaido University adalah salah satu bidang Plant Ecology terbaik
seJepang. Tidak hanya dari segi bidang ilmunya, kota Sapporo yang bukan kota kecil, dan
juga bukan kota yang megapolitan sangat cocok denganku. Biaya hidup yang relatif
terjangkau dibanding kota-kota penting lainnya di Jepang. Di kota Sapporo sendiri, akses ke
tempat-tempat penting bisa dijangkau dengan mudah hanya dengan bersepeda atau berjalan
kaki. Aku bisa bilang demikian karena aku sudah mengunjungi beberapa kampus lain dan
sejauh ini Hokkaido University punya salah satu akses termudah.

Proses Pendaftaran ke Hokaido University

Untuk proses pendaftarannya, sebenarnya saya apply beasiswa terlebih dahulu, setelah
diterima beasiswanya, baru saya mendaftar ke kampus Hokkaido University. Dan semua
informasi pendaftaran diberitahu ke aku melalui sekretaris Professorku di Jepang dan dari
Foundation beasiswaku. Jadi aku hanya let it flow aja. Tidak terlalu ambil pusing tapi tetap
mematuhi deadline-deadline yang ada.
"Untuk beasiswa, beruntung aku bisa menjadi salah satu penerima beasiswa INPEX
Scholarship Foundation yang hanya diberikan kepada tiga orang setiap tahunnya. Aku sudah
mengetahui informasi tentang beasiswa ini di beberapa semester terakhir kuliahku dari
beberapa grup facebook yang aku ikuti, tapi aku tidak pernah menyangka aku bisa
mendapatkan beasiswa ini. Bener-bener tidak menyangka. Tapi jangan berfikir kalau aku
adalah orang yang cerdas dengan IPK menjulang tinggi atau jadi mahasiswa berprestasi di
Kampus. Ada beberapa hal yang aku yakini menjadi alasan mengapa aku diterima beasiswa
ini"
Untuk kelengkapan berkas sendiri, saat mendaftar beasiswa berkas yang dibutuhkan seperti
application form, ijazah, transkrip, skor tes bahasa inggris, surat rekomendasi, surat
keterangan sehat, dan CV. Sedangkan saat mendaftar ke kampus, syaratnya lebih simpel
seperti application form, ijazah, dan traskrip nilai. Mungkin syarat-syaratnya sudah klasik
banget ya. Jadi mungkin aku akan sedikit berbagi tentang hal-hal yang perlu diperhatikan saat
mendaftar, terutama mendaftar beasiswa karena mendaftar beasiswa lebih sulit daripada
mendaftar ke kampusnya.

Hal-Hal yang Harus Diperhatikan saat Mendaftar Beasiswa INPEX dan


Hokkaido University!

Yang pertama, pastikan kamu tahu passionmu terlebih dahulu dan pastikan kamu itu berbeda
dengan orang lain. Kamu punya jati diri dan kamu yakin dengan belajar ke Jepang, orang lain
juga bisa mendapatkan manfaatnya. Yang kedua, jangan malas mencari informasi, karena
zaman sekarang orang yang aktif mencari informasi akan lebih mendapatkan banyak hal
dibanding dengan orang yang hanya menunggu atau meminta informasi secara pasif. Yang
ketiga, jangan malu untuk meminta pertimbangan orang lain, terutama dalam penulisan
application form. Dulu aku berkali-kali meminta koreksi ke dosen dan orang yang kompeten
tentang bahasa inggris untuk membenahi bahasa inggrisku yang masih berantakan. Yang ke
empat, pastikan kamu bisa membuktikan kalau kamu menyukai bidang yang ingin kamu
dalami di Jepang. Semisal kamu ingin mendalami bidang lingkungan, kamu harus punya
pengalaman yang menunjukkan bahwa kamu memang peduli dengan lingkungan, semisal
kamu punya penelitian dan publikasi ilmiah tentang ilmu lingkungan, kamu aktif dalam
kegiatan sosio-lingkungan, kamu mengetuai organisasi lingkungan, dll.

"Jadi tidak melulu dilihat dari IPK meski IPK memang penting. Bagi kamu yang masih di
awal tahun perkuliahan, kamu masih punya banyak waktu untuk mencari pengalaman
sebanyak-banyaknya untuk mendukung profilmu, tapi bagi kamu yang mungkin sudah di
penghujung tahun atau bahkan sudah terlanjur lulus kuliah, coba cari hubungan antara
pengalamanmu dengan bidang studi yang ingin kamu dalami. Tapi kalau memang benar-
benar tidak ada pengalaman, keep trying sama keep doing your best aja. Karena kesempatan
tidak akan tertutup untuk siapapun yang ingin berusaha"

Proses Seleksi Masuk Hokkaido University

Jadi kalau skema beasiswa dan skema studi S2 di Jepang kebanyakan harus melalui tahapan
yang namanya Research student. Setelah menjadiresearch student selama paling tidak 6
bulan, akan ada ujian masuk yang berbeda-beda tiap jurusan maupun beda universitas. Kalau
menurut pengalamanku, ujiannya ada ujian tulis dan presentasi research plan. Untuk ujian
tulis juga tidak bisa diprediksi, terkadang lebih sulit yang diperkirakan terkadang jauh lebih
mudah dari yang dipersiapkan. Untuk tipsnya sih tentu kita perlu menyiapkan kemungkinan
terburuk, yaitu soal ujian yang sulit. Jadi sebaiknya ya belajar sesuai dengan kisi-kisi yang
diberikan oleh pihak penyelenggara ujian. Untuk cara belajar silahkan sesuaikan dengan cara
belajar masing-masing.

Bahasa yang Digunakan di Hokkaido University

Untuk bahasa pengantar kuliah tergantung mata kuliahnya. Ada yang full Bahasa Inggris, ada
yang bilingual Inggris-Jepang, ada yang full bahasa Jepang, atau bahkan ada juga yang
trilingual, Bahasa Inggris-Jepang-Indonesia. Beruntung sebelum keberangkatan ke Jepang,
pihak beasiswa INPEX juga membiayai biaya persiapan belajar bahasa Jepang di Indonesia.
Sebelum ke Jepang aku sempat belajar bahasa Jepang selama 4 bulan dan aku melanjutkan
belajar Bahasa Jepang setelah tiba di Jepang. Meski telah belajar, tetapi tetap saja memahami
bahasa Jepang apalagi yang ilmiah tidaklah mudah. Di semester pertama aku cukup dibikin
bingung dengan kuliah yang full Bahasa Jepang. Tetapi setelah di semester kedua, aku sudah
bisa memahami penjelasan dosen meski dalam bahasa Jepang.
"Kalau untuk aku pribadi, aku memilih mata kuliah yang aku suka, bukan berdasarkan
bahasanya. Meski dalam bahasa Jepang, tugas-tugas serta komunikasi dengan dosen dapat
dilakukan dalma bahasa Inggris. Dose-dosen juga memberikan kemudahan bagi mahasiswa
asing"
SPP di Hokkaido University
Berhubung semua biaya sudah diurus oleh beasiswa, jadi aku tidak tahu berapa biaya SPP
disini. Tapi setahu saya sih untuk program master sekitar 30 jutaan tiap semester kalau
dirupiahin. Untuk jurusan lain juga kemungkinan kisarannya sama.

Mahasiswa Indonesia di Hokkaido University

Untuk di Hokkaido University sendiri, ada setidaknya 60-an mahasiswa dari Indonesia, tidak
termasuk mahasiswa exchange yang jumlahnya tidak sedikit. Mahasiswa Indonesia di
Hokkaido University menempati posisi ketiga terbanyak setelah mahasiswa Cina dan
mahasiswa Korea. Disini kami juga punya yang namanya Persatuan Pelajar Indonesia (PPI)
Hokkaido.

"Kami PPI Hokkaido sering mengadakan even yang sering melibatkan seluruh warga
Indonesia, tidak hanya mahasiswa, di Hokkaido. Karena mahasiswa Indonesia di Hokkaido
terpusat di Hokkaido University dan hampir dari kami semua tinggal berdekatan satu sama
lain, oleh karenanya, intensitas kami bertemu juga cukup tinggi. Jadi dengan atau tanpa
kumpul-kumpul yang diadakan secara resmipun kami akan sering bertemu"
Kehidupan Mahasiswa Khususnya Mahasiswa Muslim di Hokkaido
University

Untuk mahasiswa di kampus Hokkaido secara umum, mungkin sama seperti mahasiswa pada
umumnya yang disibukkan dengan urusan kuliah, penelitian, dan kegiatan akademik lainnya.
Tidak hanya kegiatan akademik, di Hokkaido University ada banyak kegiatan non akademik
yang bisa dilakukan. Bisa dengan melakukan kerja paruh waktu, mengikuti klub olahraga
maupun organisasi kemahasiswaan. Untuk aku pribadi, aku sering melakukan kerja paruh
waktu sebagai pengajar Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, teaching assistant, dan lain-lain.
Selain itu, aku juga bergabung di salah satu club seni bela diri tradisional Jepang dan menjadi
perwakilan Indonesia di komite pengurus koperasi kampus yang merupakan mahasiswa asing
di Hokkaido University. Aku juga menjadi pengurus di PPI Komisariat Sapporo sekaligus
pengurus PPI Jepang pusat. Sebisa mungkin, aku menyeimbangkan kegiatan akademik dan
kegiatan non-akademik untuk memperkaya soft-skillk

"Sebagai mahasiswa muslim, aku merasa Hokkaido University dan Sapporo sangat muslim
friendly. Di Hokkaido University sendiri, terdapat beberapa tempat sholat yang bisa diakses.
Untuk masjid juga berlokasi tidak jauh dari kampus, hanya 5 menit berjalan kaki dari
kampus. Mungkin Hokkaido University adalah salah satu kampus di Jepang yang memiliki
akses termudah ke Masjid. Ketika bulan puasapun kegiatan shalat tarawih bersama, iktikaf,
buka puasa bersama dan kegiatan lainnya yang biasa dilakukan di Indonesia bisa dilakukan
disini juga. Pada sholat idul fitri maupun sholat idul adhapun kita bisa melakukannya di salah
satu lapangan yang berlokasi di dekat masjid. Komunitas muslim Indonesia di Sapporo juga
rutin mengadakan pertemuan mingguan yang biasa diisi dengan makan bersama, kajian, dan
bincang-bincang untuk mendekatkan satu sama lain secara emosional. Jadi benar-benar tidak
begitu berbeda dengan kehidupan muslim di Indonesia"

Dari segi makananpun sudah banyak sekali restoran masakan halal di sekitaran Kampus,
begitupun di dalam kantin kampus yang juga menyediakan beberapa menu makanan halal.
Jika ingin masak sendiripun, sudah banyak toko yang menjual daging berlabel halal dan toko-
toko produk halal. Jadi kita disini tidak perlu khawatir tidak mendapatkan makanan halal.

Sistem Perkuliahan di Hokkaido University

"Untuk sistem perkuliahan tentu berbeda dengan sistem perkulahan di Indonesia. Pada
umumnya, di kampus Jepang banyak presentasi jurnal maupun presentasi penelitian di
laboratorium masing-masing. Namun kebanyakan dalam perkuliahan tidak ada ujian seperti
di Indonesia yang materinya cukup padat. Di Jepang, penelitian lebih diutamakan daripada
kuliah yang biasa. Oleh karenanya, dalam perkuliahan, aku merasa kalau nilai lebih mudah
didapat daripada perkuliahan di Indonesia"

Tetapi, untuk labku cukup berbeda. Tidak ada banyak presentasi, tidak ada jam kerja,
pokoknya tidak se-strict lab lainnya di Jepang. Beberapa perkuliahan pun hanya
membutuhkan waktu tiga hari intensif dan nilai 2 SKS akan keluar. Ada juga mata kuliah
yang dalam setengah semester sudah selesai. Penelitianpun tidak seperti lab lain yang cukup
under pressure, di labku urusan penelitian banyak menuntut kemandirian tiap anggota lab.
Tapi sekali lagi, apa yang aku alami tidak berlaku di semua kampus di Jepang

Keunggulan Bidang Ilmu di Hokkaido University

Hokkaido University terkenal untuk bidang Pertanian dan Ilmu lingkungannya. Dalam
sejarah berdirinya Hokkaido University, dahulu kampus ini bernama Sapporo Agricultural
College yang bahkan lebih tua usianya daripada kampus Tokyo University yang namanya
sudah menggaung. Karena berangkat dari bidang pertanian, Hokkaido University jadi dikenal
akan bidang pertaniannya yang maju. Hokkaido sendiri terkenal akan produksi hasil
pertaniannya yang bagus dan melimpah dibandingkan dengan daerah lain di Jepang. Tapi
kalau pendapat pribadiku, hal ini bukan berarti bidang lain tidak bagus.

"Bagus tidaknya kampus juga tidak dilihat dari rankingnya, tetapi dari kesesuaian bidang kita
dengan professor. Semisal bidang ilmu perikanan yang menggunakan aplikasi GIS, meski
banyak kampus yang rangkingnya berada di atas Hokkaido University, namun untuk bidang
ilmu ini, salah satu yang paling berkembang se Jepang ada di Hokkaido University. Mungkin
untuk contoh ekstrimnya, sebagus apapun Harvard University di bidang Ilmu Sosialnya,
tetapi kalau bidang kita adalah sastra Indonesia, kuliah di Indonesia akan jauh lebih baik
daripada di Harvard University sekalipun"

Fasilitas Mahasiswa di Hokkaido University

Untuk fasilitas aku rasa sama dengan kampus Jepang lainnya karena dari segi fasilitas
cenderung merata di Jepang. Biasanya semua riset yang dilakukan didalam laboratorium akan
dibiayai secara penuh oleh Lab sehingga kita tidak perlu mencari sumber dana lain untuk bisa
melakukan penelitian. Dan secara umum, di kampus di Jepang, mahasiswa bisa mengakses
berbagai alat-alat canggih secara gratis yang kalau di Indonesia pengguna diharuskan
membayar sekian rupiah untuk bisa menggunakannya. Mahasiswa disini juga bisa keluar
masuk kampus kapanpun selama 24 jam, berbeda dengan di Indonesia yang terkadang
membutuhkan ijin untuk bisa tinggal lebih lama di dalam kampus.

"Hokkaido University itu cantik di setiap musim. Ada sakura dan bunga berwarna warni di
musim semi, ada banyak pepohonan hijau di musim panas, ada warna warni daun berguguran
di musim gugur, dan ada salju halus di musim dingin. Tidak semua kampus bisa menikmati
keindahan empat musim, loh. Kedua, seperti yang sudah aku bilang kalau akses disini sangat
mudah, tidak seperti yang dibayangkan orang sebelumnya. Akses dari airport kurang dari 40
menit dengan kereta, kemudian dari Sapporo Station ke kampus kurang dari 10 menit. Akses
ke tempat-tempat pentingpun bisa dijangkau hanya dengan bersepeda beberapa menit. Masjid
cuma 1 blok dari kampus, dari depan masjidpun kampus sudah bisa terlihat. Beberapa produk
halal juga bisa diakses dengan mudah. Kemudian berhubung kalau kemana-kemana kita tidak
perlu naik kereta atau subway, biaya hidup di Sapporo jadi lebih terjangkau. Berbeda dengan
kota-kota lain yang untuk ke kampus perlu naik subway, atau hanya ingin makan saja perlu
naik bus. Jadi di Hokkaido University, bisa mendapatkan fasilitas riset yang oke,
pemandangan kampus yang oke, dan biaya hidup yang relatif terjangkau"
Bergaul di Lingkungan Internasional
Kalau menurutku pribadi sih yang penting jangan malu memulai pembicaraan dengan orang
asing. Terkadang karena aku tidak begitu percaya diri, aku agak canggung untuk
berkomunikasi dengan Bahasa Inggris. Tetapi setelah mencoba berkomunikasi, meski
terkadang aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, mereka tidak
mempermasalahkannya. Sejak saat itu, aku tidak lagi canggung untuk memulai pembicaraan
dengan orang asing lainnya.

Motivasi

Buat kamu yang ingin berkuliah di luar negeri, terutama di Hokkaido University, tanamkan
baik-baik dalam pikiran kalau usaha tidak akan membohongi hasil dan tidak ada usaha yang
sia-sia. Semua orang yang keluar negeri pasti melalui proses yang namanya usaha maksimal
meski nampak mulus jalannya. Bagi yang masih kuliah, aku sarankan untuk
menyeimbangkan kegiatan akademik dan non akademik, tapi tetap sejalur dengan bidang
ilmu yang kamu suka. Bagi yang sudah lulus kuliah, persiapkan dokumen-dokumen sebaik
mungkin...

"Karena diluar sana ada ratusan atau bahkan ribuan orang yang melakukan hal yang sama
denganmu. Dan ketika semua orang layak dan memiliki kesempatan yang sama untuk
mendapat beasiswa, pastikan kamu punya sesuatu yang berbeda yang tidak dimiliki orang
lain. Karena memang pada dasarnya setiap orang berbeda, tetapi ada yang tau kelebihannya
dan ada yang tidak tahu"
Pengalaman Achmad Taufik Lulus
Beasiswa ke Australia
ABC Perjalanan Achmad Taufik dari Purbalingga ke Wollongong lebih panjang dari banyak
mahasiswa lain.

KOMPAS.COM - Sekolah ke luar negeri dengan beasiswa biasanya banyak ditalikan dengan
mereka yang berprestasi baik di sekolah. Namun tidak demikian dengan Achmad Taufik yang
sekarang menempuh pendidikan S2 di Universitas Wollongong, Australia. Kegagalan menjadi
motivasi baginya untuk bisa berhasil.

Saya gagal memasukkan bola lebih dari 9000 kali dalam karir saya. Kalah hampir 300
pertandingan, dalam 26 pertandingan saya dipercayai untuk mencetak gol untuk
memenangkan pertandingan namun gagal. Saya gagal berulangkali. Dan itulah mengapa
saya berhasil. (Michael Jordan)

Karena merasa sering gagal dan gagal lagi, sejak lama saya menyukai kata-kata mutiara yang
menghubung-hubungkan kesuksesan dan kegagalan seperti di atas. Percaya atau tidak,
rasanya seperti menemukan harta karun apabila menemukan kata-kata bijak seperti itu,
Hmm, masih ada harapan , begitu kurang lebih dalam benak saya.

Meski tidak sehebat kisah tokoh-tokoh besar yang ada di buku-buku motivasi, saya ingin
bercerita tentang kisah kegagalan saya yang kemudian ternyata menjadi keberhasilan.
Blessing in disguise, katanya. Alhamdulillah, sejak awal 2013 saya dapat kuliah S2 gratis di
Australia karena memperoleh beasiswa SPIRIT (Scholarship Program for Strengthening the
Reforming Institution) yang didanai oleh World Bank.

Pada umumnya orang menduga yang hebat-hebat mengenai penerima beasiswa: Indeks
Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi, aktif berorganisasi dan segudang prestasi lainnya. Lalu,
apakah saya demikian?

Dari SD sampai SMP prestasi sekolah saya biasa-biasa saja. Karena cenderung pemalu, saya
juga tidak aktif berorganisasi, OSIS tidak, Pramuka pun nggak. Nilai Ebtanas Murni (NEM)
SMP yang pas-pasan kemudian membuat saya kena getahnya. Meski nilai saya cuma kurang
nol koma, tahun 1987 saya gagal diterima di SMA Negeri 1 Purbalingga yang waktu itu
merupakan satu-satunya SMA negeri di kota kelahiran saya. Pahit rasanya.

Merasa ditolak dan terpaksa berpisah dengan seorang sahabat yang sejak TK sampai dengan
SMP selalu bersama. Saya pun kemudian harus mencari sekolah pengganti. Melihat tetangga
saya yang sekolah di SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) membawa buku teks tebal
berjudul Pengantar Bisnis, saya menjadi tertarik. Wow, keren..!, pikir saya. Tanpa pikir
panjang lagi, saya langsung mendaftar ke sekolah kejuruan tersebut.

Perjalanan saya di SMEA Negeri Purbalingga, yang diawali kekecewaan dan pesona buku
tebal, penuh dengan gelombang, naik dan turun. Meski di semester pertama kelas satu saya
masuk peringkat lima besar dan hampir tidak pernah absen, di semester selanjutnya ranking
saya terus merosot dan absensi saya terus menanjak.

Rupanya saya belum bisa menerima kegagalan. Saya mungkin terlalu bangga dengan sekolah
sebelumnya, SMP Negeri 1 Purbalingga, sekolah favorit yang sebagian besar lulusannya
masuk SMA Negeri 1 Purbalingga.

Saya merasa minder tidak diterima di sekolah umum dan terpaksa melanjutkan di sekolah
kejuruan sehingga saya pun tidak semangat untuk bersekolah. Datang ke sekolah di detik-
detik terakhir menjelang pintu gerbang ditutup pun kemudian menjadi kebiasaan. Terlambat
masuk sekolah, lalu membelokkan sepeda untuk sekedar nongkrong sendiri menjadi filosof
di terminal bus juga jadi langganan.

Saat kelas dua semester satu, peringkat saya jatuh ke posisi 29 dan total absensi meroket
menjadi lebih dari 20 hari.

Karena kebiasaan bolos terus berlanjut, akhirnya ibu saya mendapat surat panggilan untuk
bersama saya menghadap guru BP (Bimbingan Penyuluhan) di sekolah. Di depan ibu saya,
guru BP mengancam, Fik, kalau kamu bolos lagi, kamu tidak naik kelas!, tegasnya sambil
menyodorkan surat peringatan. Rupanya ancaman beliau kali ini salah alamat. Saya bukanlah
murid yang takut apabila diancam tidak naik kelas. Dikira takut tidak naik kelas?! dalam
hati saya menantang.

Puncaknya pada saat ujian kenaikan kelas dua, saya melaksanakan tantangan itu. Bukan guru
yang membuat saya tidak naik, tapi saya sendiri yang memutuskan untuk tidak naik kelas.
Begitu sikap saya. Saya pun minta ijin ke ibu, Bu, saya tidak akan ikut ujian. Percuma saya
naik kelas, tapi nilainya asal-asalan. Saya janji nanti tidak mengulangi lagi, nanti saya akan
lebih rajin. Ibu percaya dengan janji saya dan beliau mengijinkan. Saya harakiri (bunuh
diri) tidak naik ke kelas tiga.

Hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan adalah saatnya pembagian kelas. Semua
tampak bersuka cita, kecuali saya. Dengan sungkan saya mendekati teman-teman lama eks-
kelas dua. Baru mengobrol sebentar, saya ditinggal sendirian karena mereka berhamburan
mencari ruang kelas mereka yang baru di kelas tiga.

Saya lalu mencoba berkenalan dengan beberapa adik kelas satu yang naik ke kelas dua dan
kembali saya ditinggal karena mereka pun mencari ruang kelas mereka yang baru. Dengan
malas, saya pun mengikuti dari belakang. Di daftar murid kelas dua manapun nama saya
tidak ditemukan. Untuk sementara, pagi itu saya pun menjadi gelandangan, tidak punya
ruang kelas. Setelah lapor ke ruang tata usaha, barulah saya ditunjuk untuk kembali ke ruang
kelas dua yang lama dengan teman-teman yang baru, para mantan adik kelas.

Di kelas lama rasa baru, saya bertekad memenuhi janji saya kepada ibu. Saya lebih rajin,
tidak bolos, dan selalu mengerjakan PR. Terkait mengerjakan PR ada sebuah peristiwa yang
tidak dapat saya lupakan (tetapi sudah lama saya maafkan). Suatu hari ada PR akuntansi yang
jatuh tempo. Meski ada segelintir teman yang mencontek pekerjaan teman yang lain sebelum
kelas dimulai, saya tidak tergoda untuk melakukannya, saya yakin dengan pekerjaan saya
sendiri.
Namun ketika PR dikoreksi, pak guru menghampiri meja saya dan beliau menemukan kalau
saya melakukan kesalahan, suatu rekening yang seharusnya di-kredit namun salah saya debit.
Saya pikir kesalahan tersebut sepele, namun reaksinya sungguh di luar dugaan. Dengan nada
merendahkan dan jengkel ia berujar, Bodoh kamu, mau mengulang lagi?" sambil tangannya
menggoreskan kapur ke pipi saya. Saya hanya diam, tapi di dalam hati saya mendidih. Saya
tidak terima dihina serendah itu, suatu saat harus saya buktikan.

Singkat cerita tentang kelas dua jilid dua, janji saya kepada ibu terpenuhi. Akhirnya, saya
berhasil naik ke kelas tiga dengan nilai baik, saya masuk peringkat sepuluh besar.

Suatu hari ketika di kelas tiga, kami anak-anak jurusan akuntansi mendapat kunjungan
serombongan mahasiswa yang memberikan pengarahan ke setiap kelas. Mereka tampak
gagah. Dengan jaket almamater berwarna biru donker beremblem kuning di dada kanan,
samar-samar terbaca tulisan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Ya, hari itu kami
mendapat mentoring mengenai STAN/Program Diploma III Keuangan oleh perkumpulan
mahasiswa Purbalingga yang saat itu tengah kuliah di sana.

Informasi mengenai kesempatan kuliah di STAN sungguh menarik sekaligus menantang.


Bagaimana tidak?! Sudah kuliah gratis, saat tingkat dua mendapat uang saku, apabila lulus
langsung menjadi pegawai negeri lagi - bisa di Departemen Keuangan, BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan), BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan) atau instansi
keuangan lainnya.

Mengingat bapak saya yang sering sakit-sakitan hanya seorang pensiunan dan saya sekolah di
kejuruan, sebelumnya saya tidak terlalu berharap akan kuliah setelah lulus SMEA. Akan
tetapi, mendengar informasi yang mencerahkan tersebut saya jadi memiliki harapan, Hmm,
kesempatan emas! pikir saya. Tapi yang menjadi masalah, persyaratannya juga tidak mudah.
Di samping syarat nilai minimal yang cukup tinggi untuk bisa mendaftar, peserta ujian masuk
kemudian juga harus bersaing dengan puluhan ribu pelajar dari seluruh Indonesia untuk
memperebutkan hanya beberapa ratus kursi.

Bahkan setelah kuliah pun tidak dijamin aman, karena apabila tidak memenuhi Indeks
Prestasi (IP) minimal 2,65 maka langsung dikeluarkan. Saya tertantang. Inilah saatnya untuk
membayar kekalahan, Aku harus mendaftar!, tekad saya.

Hari-hari setelah pengumuman tentang peluang kuliah gratis di STAN membuat saya lebih
semangat untuk belajar. Saya bertekad harus lulus SMEA dengan nilai maksimal agar bisa
mendaftar dan tentu saja supaya berhasil dalam ujian masuk STAN.

Hal pertama yang saya lakukan adalah memberitahu bapak dan ibu tentang niat saya tersebut
dan mohon doa mereka agar saya diberikan kemudahan. Kemudian, persiapan perang pun
digelar. Buku-buku, alat tulis, dan radio tape sebagai teman belajar semua saya siapkan di
meja kecil di sudut kamar. Rupa-rupa gambar dan tulisan penyemangat belajar juga saya
tempelkan di dinding tepat menghadap meja belajar. Si bodoh akuntansi akhirnya mendapat
beasiswa kuliah di STAN. Setelah itu barulah saya sadar, melanjutkan sekolah di SMEA
adalah pilihan yang terbaik buat saya.

Barangkali anda menduga paragraf happy ending di atas akan berlanjut dengan keberhasilan
demi keberhasilan yang klimaksnya mengantarkan saya mendapat beasiswa S2 di Australia.
Cerita sebenarnya tidak demikian. Saya lulus Diploma III STAN dengan nilai yang tidak
terlalu memuaskan. IPK saya hanya 2,868 sehingga menempatkan saya di urutan 313 dari
sekitar 450 wisudawan STAN di tahun 1994. Setelah lulus dari Diploma III STAN dan
berdinas selama dua tahun di Direktorat Jenderal Pajak, saya berhasil lolos ujian seleksi
masuk Program Diploma IV STAN (setara S1).

Saya kemudian kembali melakukan kesalahan. Saya melanggar motto saya sendiri Tidak ada
orang yang bodoh, yang ada hanya orang yang malas belajar. Saya lupa, itu adalah hukum
besi, berlaku kapanpun. Saya malas belajar, maka saya pun menjadi bodoh. Indeks Prestasi
saya saat di tingkat akhir Diploma IV di bawah persyaratan minimal sehingga terima atau
tidak, saya pun dikeluarkan. Ya Anda tidak salah baca, saya di-DO (drop out) dari Program
Diploma IV STAN. Lalu, bagaimana akhirnya saya bisa memperoleh beasiswa S2 Luar
Negeri dengan riwayat pendidikan amburadul seperti ini?!

Saya menyadari tidak bisa mengubah masa lalu saya tetapi mungkin dapat mengubah masa
depan saya. Oleh karena itu, saya hanya fokus kepada hal-hal yang bisa saya ubah. Saya tidak
bisa mengubah kenyataan bahwa saya pernah tidak naik kelas sewaktu SMEA dan
dikeluarkan dari Diploma IV STAN, tapi saya bisa kuliah S1 lagi di manapun, perguruan
tinggi negeri maupun swasta. Saya tidak bisa mengubah nilai ijasah dan IPK saya di masa
lalu, tetapi saya bisa memperbaiki nilai TOEFL, IELTS atau TPA saya untuk berlomba
meraih beasiswa.

Saya tidak bisa mengubah fakta di masa lalu tidak pernah aktif berorganisasi, tetapi saya bisa
belajar untuk berani berbicara di depan pertemuan atau mulai berperan kecil di kegiatan
apapun

Hasilnya, meskipun butuh waktu yang panjang, mimpi saya menjadi kenyataan. Benar
awalnya hanyalah mimpi untuk mendapat beasiswa S2 luar negeri, mengingat ketidaklayakan
riwayat pendidikan saya sebelumnya.

Angan-angan itu tumbuh setelah saya mendapat inspirasi dari para dosen Diploma IV STAN
alumni S2/S3 Luar Negeri sewaktu saya masih berumur 25 tahun sekitar pertengahan tahun
1997. Meskipun kemudian saya drop out, mimpi tersebut tak pernah padam. Tidak ada kata
terlambat.

Karena sudah berkeluarga sehingga ada beberapa hal lain yang lebih saya prioritaskan, saya
baru kembali kuliah S1 tahun 2004 dan lulus tahun 2006 saat saya berumur 34 tahun. Karena
kendala persyaratan administratif, gelar S1 harus tercantum dalam Surat Keputusan (SK)
kepangkatan terakhir, saya baru berkesempatan mendaftar seleksi beasiswa S2 melalui kantor
pada saat berumur 37 tahun.

Setelah usaha pertama mendaftar beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) gagal
di tingat wawancara, akhirnya di kesempatan kedua sekaligus terakhir saya berhasil mendapat
beasiswa S2 Luar Negeri SPIRIT World Bank pada saat saya berusia 39 tahun 9 bulan.
Batas umur maksimal mendaftar beasiswa S2 waktu itu adalah 40 tahun.

Saat ini saya sudah berumur 42 tahun dan terdaftar sebagai mahasiswa tahun kedua Faculty
of Business, University of Wollongong (UoW) mengambil jurusan Master of Commerce
Master of Strategic Human Resource Management (Double Degree).
Memandang berpuluh-puluh burung kakaktua terbang bebas di langit biru Australia dan
hinggap di halaman kampus UoW di Northfields Avenue, saya seakan tak percaya kalau
akhirnya saya benar-benar berada di sana. Satu mimpi kini telah menjadi kenyataan.

Nazura gulfia Kuliah (dan Beasiswa) ke Luar Negeri


"Kenapa sih kamu mau kuliah di luar negeri? Bukannya enggak enak ya, harus adaptasi
lagi sama budaya setempat, ngomong harus pake bahasa Inggris, jauh dari orang - orang terdekat,
enggak bisa makan makanan Indonesia, terus enggak takut apa dikucilkan karena kamu pakai
jilbab?"
Alasan saya dari awal adalah karena saya pengen mendapatkan banyak pengalaman dan
mempelajari hidup lebih banyak Dari awal saya mau kuliah, bukan hanya gelar dengan nilai yang bisa
membuat orang tua saya bangga, tetapi lebih dari itu, adalah pelajaran dan pengalaman hidup yang
mungkin hanya bisa saya dapatkan sekali seumur hidup saya. Dan sekarang saya bisa bilang
dengan yakin bahwa, hal yang membedakan saya dengan orang - orang yang enggak pernah
merasakan kuliah atau tinggal di luar negeri dan jauh dari rumah adalah pola pikir,
pengalaman dan pembentukan kepribadian menjadi diri saya yang seperti sekarang.

Ada yang bilang, sekolah di luar negeri itu jauh lebih enak kehidupannya daripada
sekolah di dalam negeri. Ada yang bilang, sekolah di luar negeri itu sudah pasti mendapatkan
pekerjaan yang bagus dan sukses ke depannya. Ada yang bilang, sekolah di luar negeri membuat
seseorang berubah jadi terkena pergaulan bebas. Ada yang bilang, sekolah di luar negeri membuat
seseorang jadi apatis terhadap Indonesia dan enggak mau pulang. Memang, selalu ada pro dan
kontra ketika membahas kuliah di luar negeri. . Bagi saya, semua pernyataan pernyataan di atas
itu tergantung masing - masing orang dan enggak bisa digeneralisir.

Salah kalau kamu berpikiran bahwa sekolah dan tinggal di luar negeri itu selalu enak. Saya
enggak tau kalau orang lain, tapi pada beberapa bulan pertama, saya sempat mengalami masa - masa
down ketika disana. Harus beradaptasi dengan cara hidup dan peraturan disana, bertemu dengan
berbagai macam orang dari berbagai macam negara, bahasa, pola pikir, sifat dan kebiasaan, belum
lagi tugas - tugas yang menumpuk, jauh dari orang - orang terdekat, dan masih banyak lagi hal
lainnya. Tetapi ya disitulah tantangannya, dan disitu juga saya jadi banyak belajar hal
baru. Kalau mau merasa enak terus yaaa tinggal aja di dalam comfort zone kamu. Enggak susah kan?
hehe. Hal lainnya yang sering salah ditangkap oleh orang lain adalah dengan sekolah di luar negeri
jadi lebih mudah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada yang sekolah di dalam negeri.
Salah banget kalau kamu berpikiran seperti itu. Karena toh itu semua bergantung pada banyak
faktor yang enggak bisa diukur hanya dari sebuah gelar yang didapatkan dari luar negeri.

Banyak orang yang takut tinggal di luar negeri karena takut akan berubah dan terkena
pergaulan bebas. Kali ini saya harus bilang lagi kalau semua itu benar - benar balik lagi ke diri masing
- masing. Kalau memang kamu enggak bisa jaga komitmen kamu dan dari awal kesana memang
berniat "macam - macam" ya bisa banget kamu terkena pergaulan bebas. Tetapi dari pengalaman
saya, saya justru belajar banyak untuk terus menjadi diri saya sendiri dan semakin berpegang
pada komitmen saya. Dan dengan seperti itu orang - orang disana tetap bisa menerima saya,
bahkan menghargai komitmen saya. Jadi benci Indonesia? Saya enggak munafik bahwa saya
sempat malas pulang ke Indonesia. Bukan apa - apa, tetapi saya merasa banyak hal - hal yang saya
suka yang bisa dengan mudahnya terfasilitasi di Inggris dan dengan kondisi saya saat itu (re: kuliah).
They are as simple as menghirup udara segar, naik transportasi publik yang nyaman, belanja baju
murah meriah di charity shop *ups* sampai rutinitas yang akan susah saya dapatkan di Jakarta seperti
masak sendiri, lari sore di taman luas yang rindang atau pantai yang bersih, volunteering dengan
masyarakat setempat, dan masih banyak hal lainnya. Tetapi pada akhirnya, saya justru semakin
termotivasi buat pulang ke Indonesia supaya masyarakat Indonesia bisa mendapatkan fasilitas
yang sama di Indonesia dan merasakan kenyamanan yang saya rasakan disana. Lalu saya juga
berpikir satu hal: kalau setiap orang yang punya kesempatan tinggal di luar negeri jadinya pengen
tinggal disana selamanya, mau jadi apa Indonesia nantinya?. "Kabur" dan menjadi warna negara
orang lain bukanlah solusi terbaik, dan menurut saya, itu adalah pikiran orang - orang yang egois (dan
saya yakin pasti saat ini kamu kembali mengernyitkan kening dan semakin yakin bahwa saya
orangnya sok iyeh banget, ya kan? :p).

"Bagaimana caranya sih bisa kuliah dan dapat beasiswa ke luar negeri?" dulu sih saya begini cara
mempersiapkan kuliah ke luar negeri:

1. REMOVE THE DOUBT


"Doubt kills more dreams than failure ever will". Jadi bagi yang masih ragu - ragu, coba ditanya lagi
ke diri kamu apa yang menjadi prioritas kamu saat ini. Kuliah? kerja? nikah? setiap orang punya
prioritas mereka masing - masing yang enggak bisa disamakan. Saya dulu sempat mengalami masa
dimana saya bingung banget menentukan lebih baik cari pengalaman kerja dulu sampai beberapa
tahun atau lanjut kuliah. Tetapi akhirnya dengan berbagai pertimbangan dan tentunya dibantu dengan
doa dan istikharah, saya yakin untuk melanjutkan kuliah.

2. Quadruple W (Why, What, Where & When)


Jurusan apa yang kamu mau dan kenapa kamu pilih jurusan tersebut? Itu sih yang selanjutnya perlu
kamu tanyain lagi ketika bercermin *apacoba*. Baru deh setelah tau jawabannya, coba di googling
universitas mana yang paling bagus sesuai jurusan kamu. Disini juga terkadang sempat membuat saya
labil memilih antara universitas yang punya ranking tinggi secara keseluruhan atau universitas yang
punya ranking tinggi sesuai jurusan. Kalau dua - duanya seimbang sih oke ya, tetapi kalau nasibnya
kaya universitas saya yang kalau dilihat dari ranking dunia kedudukannya rendah tetapi kalau dilihat
dari ranking jurusan yang saya minati kedudukannya tinggi, saya sarankan lebih baik memilih
universitas dimana punya kedudukan yang tinggi untuk jurusan yang kamu minati. Karena dari
pengalaman saya, orang - orang yang bekerja di jurusan yang akan kamu pilih itu biasanya lebih
mempertimbangkan universitas yang rankingnya lebih tinggi di jurusan tersebut daripada universitas
yang punya ranking tinggi di dunia tetapi rendah di jurusan tersebut. Oh iya, jangan lupa juga lihat
kapan mereka menerima mahasiswa baru. Biasanya sih ada beberapa intake dalam setahun, dan setau
saya, kebanyakan universitas intake di bulan September. Dengan mengetahui informasi tentang kapan
mereka memulai ajaran baru, kamu jadi bisa merencanakan untuk mengambil intake yang mana.

3. HOW?
Setelah mendapatkan beberapa referensi universitas yang diminati, sekarang saatnya mulai
mengumpulkan persyaratan yang diminta. Pada dasarnya sih yang diminta oleh berbagai universitas
itu selain ijazah, transkrip dan dokumen dasar lainnya, yang kamu perlu perhatikan dan mulai
dipersiapkan dari awal adalah TOEFL/IELTS, surat referensi (biasanya dua buah) dari dosen dan
atasan di tempat kerja, serta motivation letter. Nah, di motivation letter ini juga perlu kamu perhatikan
karena biasanya mereka (terutama yang enggak ada interview) akan menilai apakah kamu sesuai
dengan kriteria mereka atau enggak adalah berdasarkan si motivation letter ini. Makanya disini kamu
tunjukkan kelebihan diri kamu dan juga kasih alasan yang jelas kenapa kamu ingin kuliah di
universitas tersebut.

4. GET SCHOLARSHIP
Buat kamu yang punya nasib seperti saya aka keputusan lanjut atau enggaknya kuliah di luar negeri
tergantung pada beasiswa, saya sarankan juga untuk sambil mencari universitas yang kamu tuju juga
sambil dicari beasiswa yang mungkin kamu apply nantinya. Jadi kan beasiswa itu ada banyak
macamnya, ada yang harus dapat beasiswa dulu baru penentuan universitasnya belakangan
(misalnya, Fulbright scholarship), lalu ada juga beasiswa yang mensyaratkan untuk harus ada
LoA/Letter of Acceptance dari universitas yang dituju baru bisa apply beasiswanya
(misalnya, Dikti, Diknas, LPDP), ada juga beasiswa dari pemerintah Indonesia dengan negara yang
dituju (misalnya untuk Inggris, beasiswa Chevening), dan ada juga beasiswa yang disediakan dari
universitas yang dituju itu sendiri (coba cek di @BeasiswaIndo yang biasanya suka memberikan
informasi tentang beasiswa yang ditawarkan dari berbagai universitas atau juga bisa dicek di website
universitas-nya langsung).

Beasiswa Unggulan Dikti


Berhubung beasiswa ini yang berhasil saya dapatkan, kurang lebihnya saya cukup mendapatkan
informasi ketika apply dan mengurus beasiswa ini. Jadi BU Dikti ini adalah satu dari tiga macam
beasiswa yang disediakan oleh Kemendikbud (ketika tahun lalu saya apply sih, hanya tiga macam
beasiswa untuk luar negeri, tetapi coba dicek lagi di website mereka untuk lebih pastinya). Tiga
macam beasiswa tersebut adalah Beasiswa Unggulan DIKTI yang ditujukan khusus untuk Calon
Dosen; Beasiswa Luar Negeri DIKTI yang ditujukan khusus untuk Dosen; dan Beasiswa Unggulan
DIKNAS yang terbuka untuk umum. Nah, untuk BLN dan BU Dikti ini mengcover tuition fee dan
living cost, sedangkan untuk BU Diknas, (saat tahun lalu saya mencari informasinya) beasiswa ini
hanya meng-cover biaya hidup/living cost saja. Untuk informasi selanjutnya bisa dibuka di website
Dikti dan Diknas ya.

5. LAST BUT NOT LEAST


Selalu ingat bahwa semakin besar hal yang kita ingin capai, semakin besar juga perjuangannya. Jadi
jangan keburu menyerah atau keburu pusing duluan melihat list universitas mana aja yang mau dituju,
atau bolak - balik cek kapan beasiswa dibuka, dan informasi lainnya. Saya juga sempat mengalami
begitu kok, rasanya sampai mual nyari informasi terutama beasiswa. Ingat juga bahwa enggak ada
yang enggak mungkin. Saya sendiri selalu mengingatkan ke diri saya saat saya pesimis melakukan
suatu hal, "kalau orang lain bisa, kenapa saya enggak?". Yang membedakan bisa atau enggaknya itu
ya balik lagi ke diri kita masing - masing, seberapa jauh sih usaha yang mau kita berikan untuk
mencapainya? Jangan lupa juga untuk terus berdoa diberikan yang terbaik. Karena kadang kita lupa
ketika kita udah berusaha keras tetapi belum dapat juga, mungkin ada rencana Tuhan yang lebih baik
dari rencana kita.

"Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman. Tinggalkan negerimu dan
merantaulah ke negeri orang. Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan
kawan. Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang"
- Imam Syafi'i
BUDI WALUYO

Cerita anak Indonesia mendapatkan beasiswa S2/S3 di luar negeri, telah banyak kita jumpai.
Bagi sebagian orang akan menganggap sebagai prestasi biasa. Apalagi mahasiswa tersebut
menempuh kuliah di kampus-kampus besar Jawa, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM),
Universitas Indonesia (UI), UIN Syarif Hidayatullah, Institut Pertanian Bogor, (IPB), Institut
Teknologi Bandung (ITB), dan masih banyak lagi kampus-kampus besar di Jawa.

Menurutku pun itu menjadi sepengal cerita biasa. Kemudian apa bedanya dengan mereka
mahasiswa yang menyelesaikan pendidikan S1-nya di kampus-kampung daerah?. Itu jelas
sangat berbeda, dari fasilitas, dan atmosfir belajar kampus di Jawa sangat tinggi di banding
kampus di daerah. Hingga bagi anak daerah yang hendak melanjutkan studi dengan beasiswa
terbilang berat sekali.

Apalagi mereka yang datang dari keluarga kurang mampu secara ekonomi (finance). Bisa
dibayangkan, mereka harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah, hannya sekedar untuk
mengurus syarat seleksi beasiswa. Tidak mudah kan? Apalagi dengan penguasaan bahasa
Inggris yang kurang baik (skor TOEFL/EILTS) dibawah syarat pemberi beasiswa. Bagiku,
hal ini sangat menyulitkan mereka dari anak daerah yang berminat mengikuti seleksi
beasiswa luar negeri.

Dalam beberapa diskusi dengan mereka anak di daerah, sebagian besar memiliki mimipi
untuk melanjutkan pendidikan S2. Namun, saya menemukan sebagian dari mereka putus
semangat, enggan untuk mencoba. Ditambah yang mensyaratkan TOEFL didepan denga skor
minimal, 450-550. Bagi mereka mahasiswa di daerah yang tak memiliki latar belakang
bahasa Inggris akan menjadi hal yang memberatkan sekaligus menjadi pematah semangat.

Bukan itu saja, teman saya mahasiswa S1 jurusan bahasa Inggris pun mengalami kesulitan
dalam mencapai skor TOEFL yang telah ditentukan pemberi beasiswa dalam negeri maupun
luar negeri. Jika anak kampung bisa mendapatkan beasiswa ke luar negeri, baru luar biasa?

Dalam perjalanan mencari informasi beasiswa S2, saya berkenalan dengan seorang teman
penerima beasiswa S2 Internasional Fellowship Program (IFD) Ford Foundation (University
of Manchester, UK), dan Presidential Scholarship, Fulbright, (saat ini sedang menempuh S3,
Lehigh University, negeri Paman Sam). Berbadan kecil, tapi pekerjas keras, tekun dan
istikomah. Orang akrab menyapanya, Budi Waluyo asal Bengkulu, lahir dalam keluarga
sederhana. Pada umur 3 tahun ayahnya meninggal dunia (Innalilahiwainnahilahirojiun).

Dalam detik itu menjadi awal terberat yang harus dilalui Budi bersama adik dan ibunya.
Ibunya harus bekerja sebagai penjual kue dan pembantu rumah tangga dengan gaji Rp 400.00
per-bulan. Dari hasil itu harus disisih untuk bisa menyekolahkan ia dan dua adiknya. Sekolah,
SD, SMP, SMA dan S1 diselesaikan Budi dengan kerja keras berbagai kekurangan
keluarganya.

Dalam kondisi seperti itu, tak dijadikan hambatan bagi seorang Budi untuk mengapai
mimpinya melanjutkan studi S2/S3 ke luar negeri, yang saat ini Budi dapatkan di Paman
Sam. Perjuangan itu tak mudah di lalui dari seorang anak kampung dengan berbagai
keterbatasan ini. Kerja keras, tekun, tak mudah menyerah dan doa seorang ibu doa seorang
terus menemani Budi dalam setiap perjalanan meniti mimpinya dalam memenangkan
beasiswa ke luar negeri.

Inspirasi Paman Sam

Dari pengalaman lika-liku mendapatkan beasiswa S2/S3 di luar negeri itu. Buku Inspirasi
Paman Sam ini penulis ingin berbagi semangat dan pengalaman, mulai dari cerita paling
kocak sampai mengharukan selama menimba ilmu di negeri Paman Sam.

Yang menarik dari buku ini, Budi Waluyo, menceritakan dengan ulasan ringan mudah untuk
dipahami oleh semua kalangan. Berbagai pengalaman bagi mereka para mahasiswa di
Indonesia yang punya kemauan kuat untuk melanjutkan S2/S3 dengan beasiswa, tanpa harus
mengeluarkan biaya pribadi (orangtua). Bermacam keterbatasan, tak membuat penulis
menyalahkan keadaan, keterbatasan ia jadikan sebagai berkah yang, kemudian terus berbenah
untuk sebuah mimpinya.

Buku ini, sangat berguna untuk dibaca bagi mereka para Hunter Scholarship yang hendak
melanjutkan studi S2/S3 ke luar negeri dengan beasiswa. Disela-sela kesibukkanya sebagai
mahasiswa S3 di Lehigh University Paman Sam. Saat ini penulis aktif menulis di blog
pribadinya (www. sdsafadg.com) dan membimbingan ratusan pencari beasiswa S2/S3 luar
negeri dalam satu group Sekolah TOEFL gratis online.

Buku, Inspirasi Paman Sam karya Budi Waluyo ini mengingatkan kita pada penulis Lakar
Pelangi (Andre Hirata), dan 5 Menara (A. Fuadi). Kedua novel tersebut memiliki kesamaan
kisah, bagaimana seorang anak kampung pinggiran dengan bermacam keterbatasan, tak lantas
membuat mereka menyerah untuk melanjutkan sekolah S2 ke luar negeri dengan beasiswa.
Wallahualab bisawab.
Pengalaman Salwa Meraih Beasiswa ke Australia
Mendapat beasiswa keluar negeri adalah impian banyak orang. Kiat apa yang bisa anda
terapkan guna mencapai hal tersebut, dalam proses wawancara atau hal lainnya. Berikut
pengalaman Salwa, yang mendapat beasiswa ADS dan menempuh pendidikan S2 di Flinders
University di Adelaide antara tahun 2010-2012.

Nama saya cukup singkat, Salwa. Orang-orang memanggilku Wawa. Saya alumni Universitas
Negeri Malang (dulu IKIP Negeri Malang), jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Kini saya
bekerja sebagai dosen tetap di Universitas Kanjuruhan Malang sebagai tenaga pengajar
Bahasa Inggris, saya juga mengajar di Universitas Islam Negri Malang serta pengajar di IDP
Malang. Sebelum menjadi dosen,saya pernah bekerja sebagai tentor di salah satu lembaga
bimbingan belajar.

Pada awalnya saya ragu untuk mendaftar sebagai calon penerima beasiswa, apalagi beasiswa
luar negeri, apalagi status saya masih tenaga pengajar honorer (belum PNS), sedangkan
umur telah menginjak usia tiga puluhan dan baru pertama kali mendaftar, apalagi akan
banyak pendaftar yang tentu lebih hebat. Pikiran-pikiran itu terus ada di kepala.

Teringat apa yang dikatakan suami saya waktu itu, Jangan sampai cita-citamu dicuri ,
banyak orang memiliki cita-cita yang baik, namun padam karena dicuri orang, bahkan
banyak pula yang membuang sendiri cita-citanya. Kalimat itu membuatku sadar akan
pentingnya sebuah harapan. Saya juga terinspirasi melihat kegigihan beberapa teman yang
akhirnya bisa mendapatkan beasiswa di luar negeri. Akhirnya, dengan dukungan orang-orang
terdekat terutama keluarga, membuat saya berani mendaftarkan diri.

Setelah melewati beberapa tahapan. Alhamdulillah,saya bisa masuk shortlisted. Ibarat


menaiki tangga, saya sudah berada di tengah. Saya tahu ini tidak mudah. Jika kamu keras
pada hidupmu, maka hidup akan lunak kepadamu, jika kamu lunak pada hidupmu, maka
hidup akan keras kepadamu. Kata-kata motivasi dari Andre Wongso itu melecut semangatku
untuk terus berusaha.

Kini saatnya mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai test. Tentu, yang pertama
adalah tes IELTS dan interview. Yang harus dilakukan sebelum tes IELTS
dan interview adalah sering latihan mengerjakan soal-soal IELTS. Beruntung, karena di
kampus diadakan kursus persiapan IELTS untuk para dosen yang mendapat shortlisted. Ini
Memberi kesempatan untuk lebih mengerti materi yang harus dipelajari.

Membaca buku-buku tentang Australia, menonton film, mengikuti berita


dunia. Browsing apapun yang berhubungan dengan Australia. Seperti, kampus, kota, dan
jurusan untuk study yang saya pilih, adalah persiapan dalam menghadapi interview. Saya juga
memasang peta Australia di tembok kamar. Itu saya sebut sebagai peta mimpi, kutulis di peta
itu, Kuliah S2 di Australia. Itu saya lakukan untuk menvisualisasikan mimpi-
mimpi. Sehingga semakin merasa dekat dan terus memberi autosugesti yang kuat dalam diri
saya.

Namun perlu diingat, mental kita juga perlu dipersiapkan. Kesiapan sukses juga harus
diimbangi dengan kesiapan untuk menang dalam kegagalan. Yah, bukankah kesuksesan
dalam menghadapi kegagalan juga merupakan kesuksesan juga? Seseorang yang sukses
dalam menjalani kegagalannya, pasti mereka yang tak pernah lelah untuk mencoba dan
mencoba lagi. Seseorang yang sukses dalam kegagalannya, pastilah mereka yang bisa
bersabar. Tinggal diri kita yang bisa mengukur manakah yang lebih besar? Optimisme dalam
meraih kesuksesan atau pesimis dan tak melakukan apa-apa. Apapun yang telah kita lakukan
untuk sebuah cita-cita adalah sebuah keberhasilan. Siapkan mental! Karena mendapat
beasiswa ke Luar Negeri bukan keinginan biasa, kita harus siap dengan harga yang harus
dibayar untuk meraihnya. Kerja keras, kerja cerdas dan tentu doa yang melandasi semua itu.
Juga janganlah pesimis, lakukan apa yang bisa membuat diri bergerak maju. Maju selangkah
ataupun sebagai lompatan besar dalam hidup, jadikan itu sebagai hal terpenting, tetaplah
fokus pada tujuan. Hargai apa yang kita dapatkan, syukuri, betapapun kecilnya, jadikan itu
sebuah batu lompatan untuk melangkah dan melangkah lagi.

Lalu tibalah saat pengumuman. Alhamdulillah, mimpi ini menjadi nyata. Saya benar-benar
merasa bersyukur karena mendapat beasiswa Australian Development scholarship (ADS) ke
Australia, dengan hanya sekali daftar.

Disini saya akan berbagi kepada teman-teman tentang pengalaman saat interview, karena
memang penentu keberhasilan di terima atau tidaknya beasiswa (khususnya ADS) salah
satunya adalah interview. Memang saat interview, perasaan nervous itu ada. Yang saya
lakukan saat tes wawancara waktu itu, sepuluh menit sebelum dipanggil, saya sempatkan
menelpon Ibu dan ibu mertua untuk memohon doa. Saya sangat yakin, kekuatan doa seorang
ibu sangatlah luar biasa.

Karena sepuluh menit sebelum dipanggil bukan saatnya membuka buku tentang tes atau
apapun perihal interview. Detik-detik itu terasa betul ujian keimanan, tentang takdir yang
telah Allah tentukan pada kita. Pasrahkanlah semua keputusan pada-Nya, diterima ataupun
tidak adalah hal terbaik yang Allah berikan. Yah, kekuatan ikhlas, itu akan membuat diri kita
tenang dan mengalir. Ambisi yang meledak-ledak melampaui keikhlasan justru akan
menampakkan diri sebagai orang yang sombong, namun keikhlasan yang begitu lembut
melampaui ambisi, akan memancarkan sinar positif sebagai orang yang elegan menjawab
semua pertanyaan.

Tetap santai dan sopan, tunjukkan bahwa kita percaya diri saat menjawab
pertanyaan. Karena pewawancara akan merasakan energi motivasi yang positif, jika kita
menjawab pertanyaan dengan antusias. Dalam menjawab pertanyaan, usahakan memberi
jawaban yang tepat dan tidak mengada-ada. Misalnya ada pertanyaan yang tidak kita ketahui
jawabannya, lebih baik katakan dengan jujur, bahwa kita kurang mengerti. Mereka akan lebih
menghargai kejujuran daripada jawaban asal-asalan. Bisa dipastikan, kita akan semakin
terjebak jika asal menjawab. Hal ini akan menurunkan kredit poin dalam penilaian.

Akan lebih baik lagi jika memiliki jawaban yang menarik bagi pewawancara, seperti
informasi-informasi terbaru yang kita miliki. Pasti akan bisa menjawab dengan lebih percaya
diri, karena telah menguasai materi. Tentu ini akan menambah nilai. Satu hal lagi yang
penting, sebelum wawancara pelajari berkas aplikasi yang kita tulis, karena pewawancara
ingin mengetahui lebih jauh jawaban-jawaban yang telah ditulis dalam aplikasi. Akan lucu
tentunya, jika kita lupa pada apa yang telah kita tulis sendiri.

Berbicara tentang kepercayaan diri saat wawancara, buktikan bahwa kita adalah kandidat
yang layak terpilih. Tunjukkan kompetensi, prestasi dan pemikiran-pemikiran yang kita
miliki. Memang sangat dianjurkan untuk rendah hati, bahkan itulah yang membuat kita jadi
pribadi yang memukau dan disukai. Namun dalam konteks ini, bukan tempatnya untuk
menyembunyikan prestasi.

Dalam memaknai kalimat ini, dimaksudkan agar kita menunjukkan kepada pewawancara,
bahwa kita memiliki kelebihan-kelebihan yang bisa diandalkan dan layak sebagai penerima
beasiswa. Misalnya jika ditanya Apa prestasi-prestasi Anda yang paling dibanggakan?
Ceritakan saja apa adanya, pencapaian-pencapaian terbesar dalam hidup, karya-karya yang
pernah ditulis atau apapun yang membuat pewawancara semakin yakin. Yakinkan, bahwa
mereka tak akan salah pilih. Ceritakan dengan nada yang baik tanpa terkesan
menyombongkan diri dan melebih-lebihkan.

Kadang beberapa pertanyaan yang muncul adalah pertanyaan spontan yang membutuhkan
imajinasi. Saya masih ingat, salah satu pertanyaan waktu itu. perubahan apa yang akan Anda
akan lakukan, jika lima tahun mendatang anda terpilih sebagai rektor?
Ini pertanyaan dadakan yang membutuhkan daya nalar sekaligus imajinasi. Jelas terlihat,
pewawancara ingin mengetahui visi dan jiwa kepemimpinan. Mereka ingin tahu, apakah kita
tipe manusia futuristic yang mempunyai visi. Selain itu, tak jarang pertanyaan-pertanyaan
sederhana juga muncul seperti Apa buku favorit Anda? dalam menjawab pertanyaan ini,
usahakan tidak hanya memberitahu judul dan nama pengarang atau sekilas isi buku itu saja.
Namun, yang diinginkan pewawancara adalah jawaban yang lebih dalam. Alangkah lebih
baik jika dijelaskan, mengapa buku itu berarti bagi diri kita. Apakah yang berubah dari hidup
atau pikiran kita setelah membaca buku itu.

Terakhir, tunjukkan jawaban-jawaban retoris, bahwa kita memiliki semangat, ini penting
untuk menunjukkan kuatnya keinginan yang kita miliki. Diwaktu itu pewawancara
menanyakan pada diri saya, buktikan bahwa Anda mempunyai motivasi kuat untuk
mendapat beasiswa ini. Jawaban saya pada pertanyaan akhir itu adalah, Saat ini, detik ini,
saya berada di sini, berhadapan dengan Anda, setelah melewati berbagai test prasyarat
beasiswa. Ini adalah bukti kuat bahwa saya mempunyai motivasi besar, bahwa saya sangat
menginginkan. Selamat memenangkan beasiswa!.
Kiat Sukses Meraih Beasiswa Luar Negeri dengan Ahmad Fuadi - Penulis
Novel Negeri 5 Menara

Lahir tahun 1972 di Sumatra Barat, beliau adalah penulis novel sekaligus praktisi konservasi
dan juga wartawan. Lahir di keluarga berlatar belakang pendidikan, dimana ibunya adalah
seorang guru SD, sedangkan ayahnya adalah guru sekolah madrasah menjadikan penulis
bermotivasi tinggi ini seorang pekerja keras. Karya pertamanya adalah Novel Negeri 5
Menara. Apakah kamu sudah bisa menebak siapa nama beliau?

Ya! Beliau adalah Ahmad Fuadi. Novel Negeri 5 Menara karya beliau memberikan motivasi
dan semangat untuk meraih cita-cita dan prestasi. Novel ini berisikan cerita-cerita kehidupan
beliau. Buku tersebut sangat disukai dan begitu menginspirasi banyak orang. Perjalanan
hidup Ahmad Fuadi, yang berhasil kuliah ke luar negeri berkat 2 kali beasiswa, menjadi
sebuah cerminan bahwa impian dan cita-cita itu tidak selamanya harus menjadi angan-angan
semata. Namun, semua itu bisa dicapai dengan diwujudkan melalui kerja keras dan
kesungguhan. Mungkin karena inilah, walau baru terbit, novel ini masuk dalam jajaran best
seller pada tahun 2009.

Dalam kurun waktu 9 bulan saja Novel Negeri 5 Menara sudah terjual 100 ribu eksemplar.
Sebuah rekor baru untuk semua buku lokal yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama
sepanjang 36 tahun ini. Sebagian royalti buku ini diniatkan untuk merintis Komunitas
Menara, sebuah organisasi sosial berbasis relawan volunteer) yang menyediakan sekolah,
dapur umum, perpustakaan, dan rumah sakit secara gratis untuk kalangan yang tidak mampu.

Setelah itu, pada tahun 2010 Ahmad Fuadi meraih Anugrah Pembaca Puisi Indonesia dan
masuk nominasi Khatulisiwa Literary Award. Pada saat itu, ada salah satu penerbit Malaysia,
yaitu PTS Litera bahkan tertarik untuk menerbitkan karya Ahmad Fuadi di negaranya dalam
versi Bahasa Melayu.

Seperti apa sih perjalanan hidup Ahmad Fuadi, kok bisa langsung ngetop
lewat novel pertamanya?

Ahmad Fuadi menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertama di tanah kelahirannya
yaitu Maninjau, Agam, Sumatra Barat. Setelah itu, memenuhi permintaan ibunda, beliau
memulai pendidikan menengahnya di KMI Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo.
Masa-masa di pondok pesantren Gontor adalah tahap yang sangat penting dari perjalanan
akademis dari Ahmad Fuadi. Di sana, beliau banyak mendapat pesan dan nasehat dari guru-
guru atau ustad-ustadnya:

man jadda wajada, yang artinya "barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan
menemui kesuksesan"
"orang yang paling baik di antaramu adalah orang yang paling banyak manfaat."

Pesan-pesan tersebut menjadi prinsip yang selalu dipegang dalam hidup beliau. Dan inilah
prinsip yang melandasi Novel Negeri 5 Menara.
Selain itu, selama menjalani hari-hari di pondok pesantren, dirinya dibiasakan untuk selalu
mendengarkan siaran radio yang berbahasa Arab dan Bahasa Inggris. Itulah yang mendorong
beliau untuk berkuliah di luar negeri.
Cita-cita kuliah ke luar negeri kesampaian berkat beasiswa

Semasa kecilnya, Ahmad Fuadi pernah membaca sebuah buku yang mengilustrasikan
seseorang yang sedang memegang sebuah es. Dirinya yang masih polos saat itu sangat
mengagumi buku tersebut. Dari buku itulah, beliau mengenal salju. Kemudian, saat
menginjak umur 15 tahun, Ahmad Fuadi merasakan apa yang ada di buku tersebut melalui
program pertukaran pelajar di Kanada.

Setelah lulus dari pondok pesantren Gontor pada tahun 1992, beliau melanjutkan kuliah
jurusan Hubungan Internasional (HI) di Universitas Padjajaran, Bandung. Sebelum lulus S1,
beliau mengikuti sebuah program ASEAN student gathering yang merupakan program S1 di
mana mahasiswa ASEAN menjalani perkuliahan bersama di University of Singapore. Selain
itu, Fuadi juga pernah mewakili Indonesia ketika mengikuti program Youth Exchange
Program di Quebec, Kanada tahun 1995-1996. Lulus S1 Hubungan International di
Universitas Padjajaran, beliau juga bekerja part time sebagai wartawan majalah Tempo, Voice
of America (VOA). Dan akhirnya pada tahun 1997, Ahmad Fuadi mendapatkan beasiswa
Singapore SIF Asean Fellowship.

Walau demikian, beliau tidak pernah berhenti berusaha. Pada tahun 1999 hingga 2002, beliau
berhasil mendapatkan Fullbright Scholarship dari Amerika Serikat. Dan pada tahun 2004
hingga 2005, beliau sekali lagi mendapatkan Chevening Award dari Pemerintah Inggris.
Selain semua itu, masih ada banyak sekali hal yang diraih dan didapat dari perjalanan
hidupnya ketika ia belajar di luar negeri dengan beasiswaKarena prestasinya, pada tahun
1998, ia mendapat beasiswa S2 di School of Media and Public Affairs, George Washington
University.

Istri Ahmad Faudi yang bernama Yayi juga adalah seorang wartawan Tempo. Keduanya dulu
pernah bermimpi untuk merantau ke Washington University dan akhirnya impian itu menjadi
kenyataan. Selain kuliah, mereka menjadi koresponden TEMPO dan wartawan VOA. Mereka
pernah melaporkan secara langsung berita bersejarah seperti peristiwa 11September 2001 dari
Pentagon, White House dan Capitol Hill. Kemudian pada tahun 2004 keberuntungan
memihak kepadanya lagi, di mana ia mendapat beasiswa Chevening untuk belajar di Royal
Holloway, University of London untuk sebuah bidang dokumenter. Ia juga pernah menjadi
direktur komunikasi di sebuah NGO konservasi The Nature Conservancy sejak tahun 2007
hingga sekarang.

Berikut ini adalah penghargaan beasiswa A.Fuadi yang pernah diraih oleh
Ahmad Fuadi:
Kamu juga bisa mendapatkan beasiswa asal berusaha seperti Ahmad Fuadi. Kamu bisa
memulai dari artikel ini: Cara efektif mencari beasiswa luar negeri. Hotcourses Indonesia
juga menyediakan panduan lengkap mendapatkan beasiswa, dan lihat bagaimana layanan
Hotcourses membantu kamu mencari beasiswa, tanpa biaya.

Tips memanfaatkan waktu sebaik mungkin sewaktu kuliah di luar negeri


dari Amad Fuadi:

Bisa kuliah ke luar negeri, apalagi berkat beasiswa bukanlah hal yang mudah. Jadi tentu saja
harus memanfaatkan waktu secara optimal. Berikut adalah tips dari Ahmad Fuadi:
1. Kerja Part-time

Ada banyak hal yang bisa kita kerjakan di luar kelas kuliah. Bisa juga bekerja part time di
sekitar kampus atau di sekitar kos yang kita tinggali. Selain mendapatkan penghasilan, kita
juga mempelajari etos kerja berupa value dan wawasan yang bisa menjadi bekal kita untuk
menyongsong masa depan yang cerah.

2. Mengikuti Organisasi
Mengikuti organisasi di luar juga sangat berguna untuk kebaikan bersosialisasi kita dengan
orang lain, bisa belajar memahami karakter orang lain, bisa belajar dari teman organisasi kita
dan meningkatkan jaringan atau memperluas teman.

3. Berkontribusi, Berbagi Ilmu, Berbagi Pengalaman


Dan satu hal pesan dari Ahmad Fuadi bahwa yang perlu kita pegang setelah menyelesaikan
masa studi di luar negeri, sebaiknya kita perlu berkontribusi dengan membuat sebuah karya
untuk bangsa tercinta kita, Indonesia. Entah itu menulis atau sebuah dedikasi yang nyata
untuk kemajuan bangsa Indonesia ini. Karena dengan menulis merupakan salah satu cara
untuk berbagi ilmu, berbagi pengalaman, dan bahkan bisa mnginspirasi banyak orang untuk
perubahan yang lebih baik lagi.

Kontribusi Ahmad Fuadi bagi bangsa dan negara


Setelah lulus kuliah, Ahmad Fuadi menjadi direktur di sebuah perusahaan komunikasi di
sebuah NGO konservasi The Nature Conservancy. Saat itu, Ahmad Fuadi teringat akan pesan
dan nasehat ustadnya, bahwa "orang yang paling baik di antaramu adalah orang yang
bermanfaat untuk orang lain". Teringat akan kata-kata itu, kemudian Ahmad Fuadi
memutuskan untuk lebih fokus menjadi seorang penulis dan aktif dalam kegiatan sosial,
terutama dalam penyelenggaraan sekolah PAUD gratis untuk keluarga miskin.

Setelah lulus kuliah, ia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali terbit setelah Soeharto
jatuh. Merasa kesempatan kembali terbuka untuknya, Ahmad Fuadi kembali menjadi
wartawan Tempo pada tahun 1998. Untuk tugas kelas jurnalistiknya yang pertama ia jalani
dalam tugas-tugas reportasenya di bawah para wartawan kawakan Indonesia.

Ahmad Fuadi menguasai bahasa Inggris, Arab dan Perancis. Selain itu, ia pernah menerima
berbagai macam penghargaan:
1. Indonesian Cultural Foundation Inc.
2. Award (2000-2001), Columbus School of Arts and Sciences Award.
3. The Goerge Washington University (2000-2001).
4. The Ford Foundation Award (1999-2000).

Mengikuti kesuksesan novel pertamanya, Ahmad Fuadi menerbitkan novel keduanya yang
merupakan trilogi dari Negeri 5 Menara, yaitu Ranah 3 Warna pada awal 23 Januari 2011.
Kemudian beliau mendirikan sebuah yayasan Komunitas Menara, yang digunakan untuk
membantu pendidikan masyarakat ekonomi kurang mampu, khususnya untuk usia pra
sekolah. Hingga saat ini, Komunitas Menara sudah mempunyai sekolah gratis bagi anak usia
dini di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan.

Selain memberikan inspirasi dari novelnya, Ahmad fuadi juga melakukan kegiatan ceramah,
workshop dan pelatihan-pelatihan ke berbagai daerah sebagai bentuk perwujudan kepada
bangsa Indonesia tercinta. Ahmad Fuadi juga mendirikan sekolah PAUD gratis kepada
masyarakat Indonesia yang diperuntukan untuk keluarga yang kurang mampu. Dan salah satu
prinsip hidup Ahmad Fuadi seperti tercantum dalam Hadist Nabi Muhammad SAW yaitu,
"sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain."

Beliau juga memberikan tips bagi mereka yang termasuk calon penerima beasiswa LPDP,
bahwa perlu ada persiapan yang harus kita siapkan ketika nanti masa studi kita di luar
negeri.Yang harus dipersiapkan di antaranya yaitu, waktu yang sesingkat itu untuk
memperkuat jaringan dan mempelajari budaya. Memperkuat jaringan kita bisa lakukan
dengan banyak mengikuti organisasi. Mempelajari budaya di negeri orang juga mungkin
tidak bisa kita temui di daerah lain.

Hikmah pengalaman hidup dari seorang Ahmad Fuadi

Beberapa hikmah dari perjalanan hidup Ahmad Fuadi yang bisa kita petik di antaranya :

Janganlah takut untuk bermimpi, karena mimpi itulah yang akan mengarahkan diri kita ke
puncak kesuksesan.

Jangan menoleh dari latar belakang kita untuk menggapai mimpi, karena kesuksesan kita
berasal dari usaha keras dan kesungguhan apa yang kita lakukan saat ini. Kita perlu
mendokumentasi terhadap apa yang telah kita lakukan, sehingga bisa dinikmati dan kita bisa
berbagi untuk semua orang.

Menggunakan waktu selama studi dengan sebaik-baiknya dengan kegiatan-kegiatan positif


dan berguna untuk kamu ke depannya.

Membagi apa yang telah kita lakukan kepada orang lain. Karena dengan berbagi kepada
sesama, kita bisa menginspirasi banyak orang dan berarti kita telah membantu masyarakat
Indonesia untuk perubahan yang lebih baik lagi.

Tips Menulis dari Ahmad Fuadi

Ahmad Fuadi adalah sosok pribadi yang gaya bicaranya tenang dan jauh dari kesan formal.
Selain itu, ia selalu merendah kepada orang lain, tidak sombong, dan tidak senang merasa
ditinggikan.

Kata Ahmad Fuadi, ada beberapa macam alasan untuk menulis. Adakalanya menulis untuk
memberi informasi dan ada pula menulis untuk sekedar menghibur. Seyogyanya bahwa
menulis itu dilakukan untuk menebar kebaikan. Hal yang penting yang dirinya percaya terkait
dengan tulis-menulis yaitu, pertama bahwa kata-kata itu sesungguhnya bisa lebih ampuh dari
sebuah peluru. Peluru bisa menembus ke satu kepala, sedangkan kata-kata yang ampuh itu
bisa menembus ke banyak kepala. Selain itu, peluru bisa mematikan, sedangkan kalau kata-
kata ampuh itu bisa dirangkai dengan kalimat yang baik dan bisa lebih menguat bisa
menginspirasi ke banyak orang. Paling tidak, seseorang itu bisa menulis di sebuah SMS atau
sosial media yang bisa menghadirkan tawa kecil orang lain atau inspirasi. Ahamd Fuadi yakin
bahwa dengan menulis, kita bisa melintasi gografis, agama dan bahkan batas sosial. Karena
dengan menulis, kita bisa mengeluarkan gagasan dan menjangkau ke berbagai kalangan.
Hal yang menarik dari novel Negeri 5 Menara ini, yang secara umumnya memiliki tema
keislaman, ternyata bisa menjadikan seorang Ahmad Fuadi diterima dan didengarkan
gagasannya oleh orang-orang nasrani. Karena di cerita islami tersebut nilai keagamaannya
yang baik sehingga bisa menyentuh sampai ke hati tanpa membuat orang lain resah akan
kepercayaan yang dianutnya, dan nilai kebaikan agama itu tidak mengancam agama lain.

Dalam pandangan tentang tulis menulis, Ahmad Fuadi percaya bahwa tulisan yang baik
semestinya menggerakkan dan menghadirkan inspirasi. Beliau memaparkan bahwa tulisan
yang baik itu tidak hanya menghadirkan kekaguman, tetapi memiliki kekuatan untuk
membuat pembacanya seolah-olah ikut bergerak melakukan sesuatu. Dan setelah membaca
sebuah tulisan yang bagus, pembaca bisa merasa bersalah jika tidak melakukan sesuatu itu.
Maka dari situlah sesungguhnya muara dari tujuan menulis itu.

Ahmad Fuadi juga mengatakan bahwa menulis itu bisa membuat awet muda seseorang.
Untuk nasehat yang satu ini dirinya dapatkan dari nasihat salah satu Ustadz di Gontor. Ustad
beliau mengatakan bahwa dengan menulis, maka penulisnya akan tetap hidup lewat gagasan-
gagasan yang dibacanya. Selain itu, penulis itu tidak akan pernah mati karena tulisannya akan
terus dibaca hingga lintas zaman.

Mengapa kita harus menulis?

Ada satu ajaran penting yang selalu ia ingat bahwa sebaik-baik manusia adalah yang paling
bermanfaat untuk orang lain. Hidupnya dihantui dengan sebuah pertanyaan Apa yang saya
(Ahmad Faudi) bisa saya lakukan agar bermanfaat untuk orang lain?" Nah, jawaban yang
paling mendasar bagi Ahmad Faudi yaitu dengan menulis buku atau novel. Sehingga jawaban
dari sebuah pertanyaan Mengapa kita harus menulis?Maka jawabannya yaitu bahwa semakin
besar motivasi yang tumbuh dan semakin besar harapan kita untuk berhasil dan menghasilkan
sebuah karya yang bisa bermanfaat untuk orang lain.

Apa yang akan kita tulis?


Sebaiknya menulis yang terbaik itu adalah apa yang menjadi gairah, dipedulikan, dan apa
yang disenangi. Menulis dengan apa yang paling kita pedulikan, kita tidak akan merasa cepat
bosan menulisnya. Kita bisa bertanya dengan teman-teman atau orang lain hal-hal apa yang
mereka bicarakan tidak pernah bosan ketika didengarkan. Begitu juga dengan menulis hal-hal
apa saja yang kiranya menarik untuk dibahas dan tidak membuat jenuh.

Bagaimana kita menuliskannya?


Untuk menulis agar bisa menghadirkan kesan yang berbeda perlu dilakukan dengan belajar
dan sungguh-sungguh. Menurutnya bahwa menulis itu bisa dilakukan siapa saja, asal dia mau
belajar dan mengikuti langkah-langkah pembelajaran yang tepat.

Kapan sebaiknya menulis?


Saat terbaik untuk memulai menulis yaitu Sekarang. Menurut Fuadi, waktu menulis yang
paling efekti yaitu subuh ketika bangun tidur, dan sore atau malam sepulang kerja. Gunakan
setiap harinya untuk menulis, misalkan sore setengah jam, malam setengah jam, dan subuh
setengah jam. Lakukan itu dengan konsisten, maka lama kelamaan dari selembar menjadi
sebuah, beberapa halaman, dan akhirnya menjadi sebuah buku.
Cerita Orang Bodoh Mendapatkan Beasiswa S3 di Luar Negeri

Saya hanyalah orang yang bodoh. Sejak SD, SMP sampai S2 hanya mendapat nilai pas-
pasan. Masa SD adalah masa yang paling kelam bagi saya. Pada level pendidikan ini saya
hampir tidak lulus. Ada beberapa mata pelajaran yang tidak memenuhi standar kelulusan.
Dengan terpaksa, orang tua saya harus merogoh kocek untuk menebus kekurangan saya
untuk beberapa mata pelajaran.

Setelah lolos dari prahara ketidakmampuan mengerjakan soal pelajaran di sekolah dasar.
Kebodohan saya pun berlanjut sampai saat saya menempuh pendidikan di level Sekolah
Menengah Pertama. Hal ini terbukti dengan nilai raport saya yang pas-pasan. Sejak kelas satu
sampai kelas dua nilai tidak pernah lebih dari 7. Kalau pun ada nilai 7 itupun hanya segelintir
mata pelajaran yang memang tidak sulit, tidak membutuhkan pemikiran. Dalam rentetan nilai
yang tertera di dalam raport, hanya nilai mata pelajaran Bahasa Indonesia yang paling bagus.
Itupun nilainya tidak pernah lebih dari 7.

Saya tidak ingat seberapa buruknya nilai mata pelajaran yang lain. Saya hanya selalu ingat
nilai mata pelajaran bahasa Inggris yang pas-pasan. Mata pelajaran bahasa Inggris selalu
menjadi kenangan bukan karena suka mata pelajarannya, tetapi karena gurunya yang super
galak (hehehehe). Sesuai dengan kepribadian saya yang pemalu. Bahasa inggris selalu
menjadi momok ketika saya sekolah di SMP. Setiap kali guru meminta saya untuk
mengucapkan kata dalam bahasa Inggris saya selalu keringat dingin, karena bingung tidak
bisa mengucapkan. Lebih lucu lagi teman-teman di sekolah selalu tertawa duluan sebelum
saya mengucapkan kata-kata. Namun demikian, karena nasib baik yang masih memihak saya
sehingga saya masih bisa lulus dengan nilai pas-pasan. Bahkan saya lihat-lihat nilai kelulusan
saya untuk mata pelajaran matematike adalah dibawah tiga (alias dua koma,
hahahahaha...).***

Meskipun saya sekolah di pedalaman, wilayah lampung utara, entah kenapa saya memiliki
semangat dan cita-cita yang tidak sederhana (pengenya jadi Menteri hehehe). Oleh karena itu
setamatnya dari SMP saya dihijrahkan orang tua untuk menuntut ilmu di kota pelajar,
Jogjakarta. Saya sampai lupa siapa yang berinisiatif untuk sekolah di kota pelajar ini.
Untungnya saya tidak tahu kalau di kota pelajar itu nilai siswanya rata-rata 8 bahkan lebih
dari itu. Saya merasa beruntung karena ketidaktahuan itu sehingga saya tidak merasa minder
saat membawa raport SMP ke sebuah sekolah swasta di wilayah Gunungkidul saat itu.

Sebagai seorang desa (aliah NDESO) tentu saya tidak tahu sekolah mana yang cocok untuk
saya. Saat menentukan jurusan pun saya tidak tahu menahu. Saya hanya berprinsip jurusan
yang saya ambil bisa siap bekerja. Saat itu yang mengantarkan mendaftar ke sekolah adalah
paklek saya yang seorang guru, sekaligus sebagai sekretaris desa sehingga jurusan yang saya
pilihpun sesuai pilihan paklek saya, yaitu jurusan sekretaris.

Selama sekolah di SMK ada peningkatan sedikit nilai yang saya dapatkan. Jika saat di SD
dan SMP saya menduduki ranking pertama dari belakang, maka di caturwulan (kalau tidak
salah) saya mendaptkan rangking 5 teratas. Mungkin ini sebuah keajaiban bagi saya, karena
saya orang desa dengan nilai pas-pasan saat sekolah di kota justru bisa meraih peringkat yang
lumayan membanggakan (Hehehee.....). Mendapatkan peringkat ke lima adalah sebuah
motivasi bagi saya, oleh karena itu pada saat caturwulan kedua saya pindah dari rumah pakde
ke sebuah Pondok Pesantren dengan maksud mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya.
Selama tinggal di Pesantren semangat belajar saya semakin meningkat. Di tempat ini saya
bertemu dengan berbagai orang yang memiliki berbagai kelebihan. Ada yang pandai di
bidang agama, pertanian, guru, dan lain sebagainya. Keberagaman ini semakin memacu
semangat belajar saya sehingga setelah mendapat peringkat ke lima, secara berturut-turut
saya mendapatkan perintkat 1 sampai saya lulus dari SMK itu. Hanya sekali menduduki
peringkat dua di salah satu caturwulan tetapi saya lupa di kelas berapa. Bahkan saat
pengumuman kelulusan, saya mendapat nilai terbaik dari seluruh siswa di sekolah itu.

Keberhasilan saya mendapat peringkat pertama di SMK semakin memotivasi saya untuk
melanjutkan kuliah. Meskipun orang tua saya dari golongan ekonomi pas-pasan, saya
memaksakan kehendak untuk tetap bisa kuliah dengan berjanji akan sambil bekerja.
Alhamdulillah setelah meyakinkan dengan perjuangan yang cukup lama, akhirnya kedua
orang tua saya mengabulkan keinginan saya. Meskipun saya baru bisa merealisasikan janji
saya kuliah sambil bekerja setelah semester 6. Saat itu saya diberi kesempatan untuk
mengajar Bahasa Inggris di sebuah lembaga kursus yang lumayan terkenal pada masa itu.

Selama kuliah, saya tidak menghadapi kendala yang berarti. Mungkin perjuangan orang tua
tidak kepalang tanggung demi mencarikan biaya kuliah saya. Saya merasa menikmati masa-
masa kuliah dengan semangat. Saat masih kuliah saya tidak berorientasi pada nilai seperti
saat masih di SMK. Saya berprinsip nilai hanyalah syarat administratif sehingga saya harus
lebih banyak berkarya. Akibatnya selama menempuh pendidikan sarjana waktu saya lebih
banyak dihabiskan di organisasi. Saya menduduki organisasi kemahasiswaan dari level
anggota sampai ketua, dari level jurusan, universitas sampai tingkat Wilayah. Selama 5 tahun
lebih waktu saya habis di organisasi. Hal yang membahagiakan, nilai saya tidak terlalu buruk
dibandingkan dengan teman-teman aktivis lainnya. Meskipun aktif di organisasi saya masih
bisa meraih IPK 3 lebih.

Berkat pengalaman mengajar di lembaga kursus dan juga di organisasi menjadikan saya
semakin percaya diri (meskipun hanya percaya pada diri sendiri hehehe). Setelah menempuh
pendidikan sarjana selama 5 tahun saya pun tidak sulit mencari pekerjaan. Pekerjaan pertama
yang saya peroleh setelah lulus adalah diterima bekerja di sebuah organisasi non-profit, Rohe
Foundation. Yaitu sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial keagamaan. Namun
dimikian, saat masih mengikuti masa training kebetulan saya juga mendapat kesempatan
untuk mengikut seleksi untuk menjadi dosen.

Pada saat itu impian saya memang menjadi dosen. Dengan menjadi dosen saya berkeyakinan
saya bisa mengembangkan diri saya ke profesi lain secara mudah. Alhamdulillah, tanpa
menunggu terlalu lama setelah menjadi sarjana saya harus menerima kenyataan diterima
sebagai dosen di alma mater. Saya katakan demikian karena sesungguhnya saya adalah orang
yang tidak suka Bahasa Inggris tetapi harus ngajar di jurusan Sastra Inggris (hehehe...).

keberuntungan saya berlanjut saat saya sudah menjadi dosen. Meskipun dengan perjuangan
yang tidak mudah akhirnya saya diberi kesempatan untuk mendapatkan bantuan dana
(Pinjaman Kantor) untuk melanjutkan kuliah di UGM. Mengingat kemampuan saya yang
pas-pasan, saya hanya mendapatkan pinjaman dengan perjanjian yang sangat berat bagi saya.
Tetapi bagaimanapun saya tetap bersyukur karena perjanjian yang sangat berat itulah
akhirnya saya harus menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana saya tepat waktu. Hal itu
berbeda dengan mereka yang mendapatkan beasiswa yang bisa berleha-leha karena tidak
perlu memikirkan mengembalikan uang ke lembaga tempat bekerja.
Setelah lulus dari pendidikan Master (S2), saya kembali mengajar di alma mater saya.
Kelulusan saya dari S2 bukanlah hal yang luar biasa karena rasanya cukup mudah bagi saya
untuk lulus. Entah mengapa jika banyak teman-teman saya yang belum pada lulus, tetapi saya
merasa lulus dari pasca sarjana UGM bukanlah hal yang luar biasa. Saya pun tidak mengikuti
acara wisuda saat lulus dari UGM. Sehingga teman-teman bahkan keluarga saya pun tidak
ada yang tahu kalau saya sudah lulus Pasca Sarjana. Hanya bagian SDM kantor tempat
bekerja yang mengetahui kalau saya sudah lulus dari UGM.

Setelah lulus dari UGM dengan nilai pas-pasan (sekali lagi hanya tiga koma..). Saya masih
ingin melanjutkan kuliah ke luar negeri. Impian saya menempuh pendidikan S3 sebenarnya
tidak muluk-muluk, yaitu hanya ingin kuliah di Malaysia. Tetapi karena berbagai dorongan
dan motivasi dari lingkungan saya yang pada kuliah di Australia, akhirnya saya pun terbawa
arus untuk mendaftar kuliah di Negara Kangguru. Setelah menjalani berbagai tantangan dan
hambatan, akhirnya saya memiliki kesempatan untuk kuliah di negara makmur ini.
Perjuangan saya untuk mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri tentu bukanlah perkara
mudah mengingat IPK saya yang pas-pasan. Sebuah keberuntungan bagi saya adalah bahwa
universitas-universitas di negara ni bukanlah negara pemuja IPK sehingga setiap mahasiwa
calon S3 tidak dilihat dari berapa tinggi IPKnya. Di negeri ini tulisan dan gagasan orisinal
lebih dihargai dari seorang calon mahasiwa doktor.

Keberuntungan nampaknya memang masih memihak saya, karena saat mendaftar beasiswa
saya justru mendapat dua beassiwa sekaligus. Awalnya saya mendapat beasiswa dari
Universitas yang dimana saya ingin kuliah, namun karena beasiswa beasiswa yang saya dapat
dari Australia hanya beasiswa SPP, maka saya pun harus mendaftar beasiswa lain (biasiswa
DIKTI). Kesalahan mengisi form pendaftaran mengakibatkan saya hanya mendapatkan
beasiswa tuition fee, karena saya tidak mencentang kolom beasiswa untuk biaya hidup.
Bagaimana pun itulah keberuntungan yang saya dapatkan setelah melalui perjuangan dan
rintangan yang melelahkan akhirnya saya pun mendapat beassiwa dua sekaligus dalam waktu
yang bersamaan. Sayangnya, sesuai dengan ketentuan bahwa seorang mahasiswa tidak boleh
mendapatkan beasiswa double.

Demikianlah perjalanan panjang saya untuk bisa mewujudkan cita-cita mencapai pendidikan
yang layak. Mengingat saya adalah orang bodoh maka kesempatan untuk menempuh
pendidikan doktor di luar negeri adalah momen yang luar biasa. Semoga kesempatan ini
menjadi bagian dari upaya saya menghilangkan kebodohan ini.

Akhirnya, semoga cerita ini bisa menginspirasi bagi pembaca agar berusaha lebih keras
mewudjudkan cita-cita, karena siapapun berhak mendapatkan apa yang diimpikannya
sepanjang mau berusaha. Kesuksesan bukan semata-mata ditentukan dari intelektual semata
tetapi kecerdasan emosional dan spritual memiliki peran lebih besar dalam kesuksesan hidup
kita. Jika yang bodoh saya bisa, tentu anda yang lebih cerdas akan lebih mudah
mencapainya.....

Anda mungkin juga menyukai