Anda di halaman 1dari 7

MENJADI MANUSIA UGM

Oleh Dr. Ika Dewi Ana

Pusat Inovasi dan Kebijakan Akademik (PIKA)


Universitas Gadjah Mada

Saya masih mengingat dengan jelas saat pertama kali menginjakkan kaki di
Bulaksumur sebagai mahasiswa baru Universitas Gadjah Mada (UGM). Ada perasaan
bangga karena diterima di Universitas paling tua, paling besar, paling lengkap yang ada di
Indonesia. Apalagi, waktu itu saya diterima sebagai mahasiswa UGM tanpa melalui tes.
Waktu itu namanya jalur PMDK. Kalau sekarang adalah jalur SNMPN atau Jalur Undangan.
Namun demikian, rasa gelisah dan galau yang luar biasa juga menyelimuti diri saya saat
itu. Saya anak Yogyakarta. Sejak kecil bersekolah di Yogyakarta. Lalu tiba-tiba menjadi
bagian dari Indonesia yang lengkap, beragam, dan (mungkin, di mata anak muda belia
seperti saya waktu itu) sungguh suatu dunia baru yang luas dan besar.

Ada banyak pertanyaan-pertanyaan sederhana yang muncul saat saya pertama


kali menjadi bagian dari UGM. Apakah saya dapat memenuhi harapan orang tua saya
untuk menyelesaikan pendidikan dengan baik? Apakah saya betul-betul menyukai pilihan
bidang ilmu saya? Ingin jadi apa sebenarnya saya? Bagaimana cara saya belajar nanti agar
saya tetap bertahan menjadi yang dibanggakan orang tua saya dan sekolah saya?
Mungkinkah saya bertahan sementara saya melihat kawan-kawan saya yang masuk
seangkatan saya semuanya adalah anak-anak muda terpilih yang luar biasa? Bagaimana
saya harus belajar? Apakah saya dapat mengikuti kuliah dengan baik? Bagaimana saya
harus menjalin hubungan dengan kawan-kawan baru saya yang beragam? Bagaimana
saya harus menghadapi kakak-kakak angkatan saya? Apakah guru-guru saya di UGM akan
sebaik guru-guru saya yang baik di SMA, SMP, dan SD? Bukankah mereka orang-orang
hebat? Apakah mungkin saya memiliki kedekatan dengan orang-orang hebat itu?

Selain pertanyaan-pertanyaan sederhana, muncul pula berbagai pertanyaan besar


dalam diri saya. Pertanyaan itu misalnya: Akan menjadi seperti apa saya nanti? Karena
saya masuk di Fakultas Kedokteran Gigi, maka pertanyaan saya adalah apakah saya nanti
dapat menjadi dokter gigi yang baik? Saya tidak pernah tahu dunia kedokteran gigi
sebelumnya. Apakah saya nanti akan dikenal di dunia saya? Apakah saya nanti dapat
menyumbangkan sesuatu untuk Indonesia? Kalau semasa SMA saya dapat membawa
nama SMA saya ke level nasional, apakah saya mampu membawa nama UGM ke level

1
nasional juga? Lalu apa yang harus saya lakukan? Saya adalah pemimpi. Sejak kecil saya
ingin menjadi bagian dunia yang luas ini. Mampukah saya mewujudkannya? Bagaimana
saya akan mewujudkannya?

Pertanyaan, kegelisahan, dan kegundahan itu campur aduk menjadi satu.


Ditambah dengan perasaan rendah diri saya yang kadang-kadang muncul saat bertemu
kawan-kawan baru yang bagi saya hebat-hebat, lengkaplah sudah rasanya kegelisahan itu.
Kadang-kadang, sebagai manusia, saya menyembunyikan rasa gelisah dan gundah itu
dengan “berpura-pura” handal, seolah-olah saya mengatakan pada diri saya bahwa saya
lebih baik. Namun saya ingat pesan agama, pesan orang tua saya, pesan guru-guru saya
bahwa kesombongan itu justru akan membawa kerugian pada diri seseorang. Maka, saat
itu, sekalipun gundah dan gelisah dengan diri saya, saya mencoba menjalani segala
sesuatunya dengan baik, sebaik yang saya bisa. Saya berusaha menjaga kejujuran saya
atas setiap hal yang saya lakukan. Saya kerjakan yang harus saya kerjakan. Saya
tersenyum dan menolong, dalam situasi apa pun. Tampaknya pilihan sikap itu yang pada
akhirnya menolong saya.

Waktu demi waktu berjalan. Ada banyak catatan yang saya buat. Ada buku yang
saya tulis. Ada tulisan-tulisan di majalah mahasiswa yang saya buat. Ada tulisan-tulisan di
koran yang saya kirim ke penerbit dan diterima. Waktu itu belum ada blog atau media
sosial lainnya yang berkembang. Waktu demi waktu berjalan. Setiap orang di angkatan
saya melaluinya dengan cara yang berbeda. Ada yang gagal, namun lebih banyak yang
berhasil meniti waktu dengan baik. Apa sebenarnya yang menjadi kunci kawan-kawan
saya itu berhasil (dan saya bersyukur menjadi bagian dari mereka)? Apa yang menjadi
kunci agar kita semua menjadi manusia UGM yang luar biasa? Saya mengingat salah satu
buku yang saya baca: Jadilah seseorang yang luar biasa! Jangan menjadi orang yang
biasa-biasa saja. Benar. Ibarat hidup itu melukis, maka lukislah karya yang luar biasa.

Berikut saya ingin berbagi tentang nilai-nilai UGM yang dicontohkan para
pendahulu kita, yang telah menolong saya meniti lorong waktu, membantu kami semua
alumni menuntaskan masa belajar, dan membantu kami semua alumni punya peran di
dalam dunia kami, di profesi kami, bahkan beberapa terukir namanya dengan indah tidak
saja di Indonesia, tetapi juga di dunia.

1. Manusia UGM Itu Harus Peduli, Inklusif, dan Cinta Tanah Air

Universitas Gadjah Mada didirikan oleh para pendirinya dengan pesan untuk
menjadi “lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi”. Oleh karena itu, dalam setiap Statuta UGM, yang terakhir adalah
berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2013, UGM dikembangkan untuk
menghidupkan kecerdasan berpikir, menggugah keserasian roh kalbu ilmu pengetahuan,

2
dan mengamalkan ilmu pengetahuan dalam hidup kemanusiaan. Pendidikan di UGM
diselenggarakan untuk membangun dan memperdalam keinsafan kebangsaan, persatuan
Indonesia, perikemanusiaan, penghormatan terhadap keyakinan agama, dan kesadaran
akan keberlanjutan alam.

Saya memandang hal ini benar-benar pesan yang luar biasa. Di dalam setiap
agama, kita diajarkan untuk membaca setiap tanda. Membaca setiap fenomena alam
semesta. Mengapa? Karena dengan membaca setiap tanda, lalu memikirkan kaitannya
dengan apa yang harus kita lakukan, maka kita menjadi paham atas suatu situasi. Itulah
kepedulian yang saya maksudkan. Seorang Dr. M. Sardjito, yang namanya diabadikan
sebagai nama Rumah Sakit Umum Pusat di Yogyakarta dan pernah menjadi Rektor UGM,
tidak akan menemukan daun tempuyung sebagai obat sakit ginjal (peluruh batu ginjal)
yang sampai sekarang masih beredar resmi sebagai produk dan karya anak bangsa dari
UGM.

Seorang Dr. Sardjito dan tokoh-tokoh lainnya tidak akan berhasil menyumbangkan
sesuatu untuk negaranya bila ia bukan seorang manusia yang peduli. Kepeduliannya akan
hilang kalau ia mengkotak-kotakkan dirinya, menjadi eksklusif, atau hanya terpaku pada
satu golongan yang disukainya. Kepeduliannya tidak akan hidup bila ia tidak menjadi
manusia inklusif yang mencintai sesama dengan tulus. Ia juga sangat mencintai tanah
airnya, sebagaimana manusia-manusia UGM lainnya saat ini. Terbukti waktu itu Profesor
Dr. Sardjito telah mencontohkan keberanian yang luar biasa saat menjabat sebagai
Direktur Institut Pasteur (Cikal bakal PT Biofarma Tbk.) di Bandung. Dengan keberanian
luar biasa dan kecintaan kepada tanah air, Profesor Dr. Sardjito mengirimkan obat-obatan
dari wilayah Bandung ke wilayah Republik di Bandung Selatan sampai kemudian dikenai
tahanan kota dan markasnya dijatuhi roket berkali-kali.

2. Manusia UGM Itu Harus Tangguh, Berani, dan Tekun

Tidak hanya oleh para pejuang yang pada akhirnya menjadi Rektor UGM, contoh
nyata budi luhur dijumpai pada tokoh Dr. Ir. Sumantri Brojonegoro yang menyelesaikan
studi di Fakultas Teknik UGM setingkat sarjana muda dan melanjutkan pendidikan ke
Technische Universiteit Delft, Belanda. Dr. Ir. Sumantri Brojonegoro berjuang tanpa
pamrih untuk negara, menjadi Rektor Institut Teknologi Bandung, selanjutnya ditetapkan
menjadi Menteri Energi, dan kemudian menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan hingga akhir hayatnya. Namanya diabadikan untuk nama Gelanggang Olah
Raga Mahasiswa, Sumantri Brojonegoro. Mahasiswa dan semua orang yang hidup pada
zamannya mengakui keberanian, kepeloporan, dan jiwa kepemimpinannya. Ia adalah
seorang yang tangguh, berani, dan tekun dengan keilmuannya. Ia tidak ragu
menyampaikan pendapat atau pemikirannya.

3
Beberapa peneliti UGM adalah mereka-mereka yang memiliki ketangguhan,
keberanian, dan ketekunan. Ada peneliti UGM dari Fakultas Biologi yang sepanjang
hidupnya meneliti tentang kadal. Dan itu pun yang diteliti adalah ekor kadal. Coba
bayangkan. Seandainya ia, Profesor Dr. Puniawati, itu “malu” dan tidak berani bertekun
meneliti ekor kadal selama bertahun-tahun, maka pengetahuannya tentang ekor kadal
yang memiliki daya regenerasi tinggi dan suatu saat dapat “diimitasi” kandungannya
untuk perbaikan jaringan tubuh manusia pasti tidak akan pernah sampai.

Kalau tidak berani memulai dan tangguh serta tekun, seorang Profesor Dr. Oemi
Haniin Suseno dan kawan-kawan dari Fakultas Kehutanan UGM, tidak akan pernah
merintis, melestarikan, dan meninggalkan Wanagama – Hutan Pendidikan UGM – yang
sebelum dunia bicara perubahan iklim telah disiapkan UGM untuk menghadapi
perubahan iklim global.

Hanya dengan ketangguhan, ketekunan, dan keberanian (termasuk berani


menjadi pelopor dan berbeda dengan yang lain), maka seseorang akan mencapai apa
yang menjadi cita-cita atau fokusnya. Halangan dan rintangan akan muncul sepanjang
masa belajar di UGM dan setelahnya. Hanya ketekunan, ketangguhan, dan keberanian
untuk kembali ke fokus yang akan menyelamatkan seseorang.

3. Manusia UGM Itu Harus Bersahaja dan Jujur

Kebersahajaan itu dalam maknanya. Kebersahajaan itu memerlukan kejujuran


yang luar biasa. Mari belajar dari para pemimpin Indonesia yang luar biasa. Presiden kita
Ir. Djoko Widodo misalnya, adalah alumni Fakultas Kehutanan UGM. Ia anak desa. Saat
memimpin Solo dan Jakarta misalnya, ia tidak takut mengatakan yang sebenarnya. Ia jujur
dan bersahaja. Memikirkan, mengatakan, dan menjalani segala sesuatu dengan jujur, apa
adanya. Tidak hanya untuk seorang Ir. Djoko Widodo. Sikap bersahaja dan jujur inilah
yang nantinya akan meyelamatkan integritas (keutuhan) seseorang.

4. Manusia UGM Itu Harus Seorang Pelopor, Inovatif, dan Seorang Socio-
Entrepreneur Sejati

Apa itu socio-entrepreneur? Seorang socio-entrepreneur adalah yang dengan


kepeduliannya menangkap dan mewujudkan peluang-peluang secara inovatif dengan
tekad yang kuat untuk membawa manfaat bagi masyarakat Indonesia dan dunia. Ia tidak
akan dapat menangkap dan membaca peluang kalau ia bukan manusia yang peduli. Ia
tidak akan mampu mewujudkan peluang secara inovatif kalau ia bukan seseorang yang
bertekun, tangguh, dan berani. Ia tidak akan mampu mewujudkan peluang-peluang kalau
ia bukan seseorang yang berani mengambil risiko yang dikalkulasi dengan baik,
dipertimbangkan dengan matang dan baik.

4
Banyak sekali tokoh-tokoh Indonesia dari UGM yang dengan budi luhurnya telah
meninggalkan “legacy” bagi bangsa dan negara. Program-program seperti pendidikan
untuk masyarakat kalangan bawah, masyarakat pedesaan, kelahiran program Keluarga
Berencana, kelahiran Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), invensi
benih padi yang mendunia, vaksin, model resolusi konflik yang diadopsi dunia, perintisan
hutan yang pada masa dunia belum menyadari perubahan iklim, program KKN (Kuliah
Kerja Nyata), dan sebagainya telah menjadi contoh kepeloporan, inovasi, dan semangat
socio-entrepreneurial yang berkembang di UGM dan melahirkan berbagai hal untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dan dunia.

Akankah kita meninggalkan peluang untuk belajar dari tokoh-tokoh UGM, tokoh-
tokoh Indonesia, dan tokoh-tokoh dunia dan kehilangan kesempatan menempa diri kita
menjadi pelopor yang inovatif dan seorang socio-entrepreneur yang menorehkan
manfaat selama belajar di UGM?

5. Manusia UGM Itu Harus Rendah Hati dan Bersedia Mendengar

Ya, mendengar dan rendah hati. Humble. Modest. Hanya dengan cara mendengar
dan rendah hati ilmu akan dapat merasuk dengan baik dalam diri kita. Ada cerita
bagaimana seorang padri bersikap saat didatangi seorang tamu, kebetulan seorang
profesor. Sang padri menuangkan teko berisi the ke dalam cangkir. Ia terus menuangkan
teh tersebut ke dalam cangkir yang disajikan, sampai airnya melimpah keluar dari cangkir.
Sang profesor bertanya, “Padri, mengapa Anda tuangkan terus-menerus air teh itu ke
dalam cangkir?” Sang Padri menjawab, “Inilah ibaratnya. Saat kita merasa penuh dan
tidak bersedia mengosongkan pikiran kita, maka air yang masuk akan menumpahkan air
di dalam cangkir. Begitu juga dengan ilmu. Andai kita merasa penuh dan tidak bersedia
mengosongkan pikiran kita, maka pengetahuan yang kita dapat akan melimpah keluar.”
Inilah sebabnya kita perlu belajar cara bersikap rendah hati dan cara mendengar dengan
baik, agar pengetahuan yang kita dapat berlipat, menghargai, dan akhirnya menjadi
manusia yang berilmu.

5
6. Manusia UGM Itu Pembelajar Sepanjang Hayat

Sejalan dengan kesediaan mendengar dan sikap rendah hati, maka akhirnya kita
akan berproses menjadi pembelajar sepanjang hayat. Seseorang yang rendah hati dan
bersedia mendengar (hal-hal yang mendorong ke pengetahuan baru dan kebaikan), pasti
akan merasa terus kurang atas pengetahuan yang dimilikinya. Seorang pembelajar sejati
dan pembelajar sepanjang hayat akan terus membaca dan memanfaatkan berbagai
sumber pengetahuan. Ia tidak akan puas berada di kelas. Ia ingin mendengar lebih banyak,
mengalami lebih banyak, dan belajar lebih banyak. Mengapa? Karena ia ingin menjadi
seseorang yang luar biasa dengan cara menyumbangkan keahliannya.

7. Manusia UGM Itu Berani Mengatakan, Berlaku, Bertindak yang Benar

Hanya mereka yang berani berkata benar, berlaku dan bertindak benar yang pada
akhirnya akan membuktikan keunggulannya. Nilai di kertas yang diperoleh dengan cara
yang tidak benar pasti tidak akan membawa kepada keberhasilan. Untuk berani berkata
benar, ia harus memiliki banyak pengalaman. Ia harus pernah membaca banyak buku dan
banyak hal. Mengapa? Ia hanya akan tahu tentang kebenaran bila pernah mengalami dan
merasakan banyak situasi dan pengalaman. Ia akan mampu mengatakan dengan benar
kalau ia yakin akan kebenaran itu. Ia akan mampu mengatakan kebenaran kalau ia tahu
bagaimana cara mengatakan kebenaran itu dengan arif. Ia akan berkata dengan santun
dan arif bila ia belajar tentang bagaimana berpikir dengan baik, berkomunikasi dengan
baik, dan mengungkapkan dengan baik. Ia akan belajar menguasai bahasanya sendiri. Ia
akan belajar menguasai bahasa ibunya dengan baik. Pada saatnya, bila ia harus
mengatakan kebenaran itu pada dunia, maka ia akan harus belajar menyampaikan
kebenaran itu dengan bahasa dunia. Ia pasti akan berusaha berbahasa internasional
dengan baik.

Lebih dari itu, ia akan mengatakan dan mempertahankan kebenaran itu apabila ia
pun bertindak dengan benar. Your video should align with your audio, begitu konon. Ia
akan bertindak dengan benar bila ia mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak
benar.

8. Manusia UGM Itu Berorientasi Masa Depan

Lebih dari semua itu, manusia UGM itu tidak resah atas kekinian. Mereka adalah
manusia-manusia yang berorientasi masa depan. Seorang manusia yang berorientasi
masa depan tidak akan menodai sikapnya dengan hal-hal yang akan menodai masa
depannya. Ia tidak akan menempuh jalan pintas demi mendapatkan nilai baik, misalnya.
Mengapa? Karena ia adalah seseorang yang memang ingin unggul di masa depan.

6
Sebagai penutup, itulah kira-kira nilai-nilai yang menjadi jawaban atas pertanyaan
saya saat pertama kali mendapat sebutan sebagai mahasiswa UGM. Banyak hal yang
dapat dimanfaatkan untuk belajar, untuk pada akhirnya sampai pada cita-cita yang kita
inginkan. Itu pun bukan berarti segalanya usai. Sebagai pembelajar sepanjang hayat
seperti yang dicontohkan para pemimpin dan pendahulu di UGM, saya masih ingin
berbuat lebih banyak lagi. Pengalaman mengajarkan kepada saya untuk membuka mata
dan hati seluas-luasnya. Di UGM ini, banyak hal luar biasa dapat digali, selain interaksi di
kelas dan di kampus dengan kawan-kawan dan guru-guru kita.

Ada berbagai kegiatan kemahasiswaan. Ada berbagai kursus. Ada arsip UGM yang
menyimpan banyak catatan penting tentang UGM yang dapat kita pelajari. Ada museum
UGM. Ada perpustakaan yang merupakan tempat kita menemukan banyak buku-buku
dan sumber belajar yang lengkap. Ada PIAT (Pusat Inovasi Agro Teknologi) yang
menyimpan beragam anggrek, tanaman, ada melon UGM, dan flora fauna lain hasil riset
UGM. Ada Hutan Wanagama yang dapat menjadi tempat belajar bukan saja tentang
ekosistem hutan tetapi juga tentang kepeloporan para pendirinya. Ada riset-riset yang
dilakukan dosen dan kakak angkatan yang membuka peluang kita bergabung di dalamnya.
Ada Pusat Bahasa tempat kita dapat menempa diri beragam bahasa. Ada lebih dari 2000
mahasiswa asing setiap tahunnya yang dapat mengajari kita banyak hal. Ada tersedia
banyak beasiswa untuk membawa kita belajar dari negara lain, atau dari universitas lain
di seluruh penjuru Indonesia. Ada banyak hal yang dapat menjadi tempat kita untuk
menempa diri. Kalau ingin memanfaatkannya, tinggal bertanya kepada kakak-kakak
angkatan, guru, atau siapa saja.

Jangan pernah berhenti menempa diri agar meskipun saat masuk kita gundah dan
memiliki banyak pertanyaan, suatu saat nanti, kita mampu menjawabnya dengan karya
dan sumbangsih. Pada orang lain. Pada bangsa. Pada dunia. Mendapat kesempatan
menjadi mahasiswa UGM itu pertarungannya luar biasa. Mengalahkan sejumlah besar
kawan kita yang mungkin sebenarnya lebih berhak dari kita. Menyisihkan kesempatan
ribuan orang lainnya. Akankah kita menjadi biasa-biasa saja? Tidak. Kita harus menjadi
luar biasa!

Anda mungkin juga menyukai